SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Penari Terakhir Ronggeng Gunung

| | |
Oleh Cornelius Helmy

Meski gincu merah di pipi mulai pudar tersapu keringat, mata Raspi tetap berbinar-binar. Rasa lelah sepertinya enggan meninggalkan jejak di wajah si maestro tari ronggeng gunung terakhir ini. Saat pagi mulai menanti di persimpangan hari, Raspi tetap bersemangat menari.

"Saya senang ternyata banyak yang ikut menari. Semakin banyak yang ikut menari, ronggeng gunung semakin terasa nikmatnya. Tarian ini adalah tarian rakyat,” ujar Raspi dalam bahasa Sunda selepas menari selama 2 jam tanpa henti pada malam pergantian tahun menuju 2011 di lapangan parkir Kebun Binatang, Bandung, Jumat (31/12/2010) mulai pukul 24.00.

Perasaan bangga pun berlipat ganda karena ternyata banyak anak muda di kota besar masih ingin mengetahui dan belajar ronggeng gunung, satu hal yang jarang ia temui lagi. ”Ronggeng gunung semakin sepi peminat, khususnya generasi muda, dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya.

Mereka lebih memilih pentas organ tunggal ketimbang kendang, ketuk, dan gong ala ronggeng gunung. Alasannya, lebih murah dan mutakhir. Kalaupun ada yang menanggap, biasanya hanya kerabat Raspi, yang tinggal dekat rumahnya di Cikukang, Desa Ciulu, Kecamatan Banjarsari, Ciamis, Jawa Barat. Itu pun sebatas penari pendamping atau belajar memainkan musik pengiring.

”Hinaan atau cemoohan sudah sering saya dengar saat pentas atau mencoba mengajarkan ronggeng gunung. Ronggeng gunung dianggap kuno dan membosankan,” katanya. Namun, Raspi tidak peduli. ”Saya hanya ingin menari,” ujar perempuan asal Ciamis ini.

Tak berbekas

Ronggeng gunung adalah tarian khas dari Ciamis. Konon, tarian ini muncul atas nama cinta dan dendam Dewi Siti Samboja, putri ke-38 Prabu Siliwangi, karena kekasihnya, Raden Anggalarang, tewas di tangan perompak. Namun, perlahan dendam itu berubah menjadi ungkapan syukur masyarakat pegunungan Ciamis atas hasil ladang dan sawah.

Raspi mengatakan, tari ini sempat menemukan masa emasnya pada 1970-1980. Saat itu, ia selalu kewalahan memenuhi panggilan pentas. Selama 40 tahun menari, ia pernah merasakan dibayar dari Rp 200 hingga Rp 3 juta per pertunjukan.

Akan tetapi, masuk tahun 1990-an ronggeng gunung perlahan tenggelam di tengah gemerlap kehidupan modern. Banyak penari ronggeng dan pemusiknya pensiun karena tidak ada lagi yang mengundang mereka. Puncaknya, Raspi bersama lingkung seni Panggugah Rasa—satu-satunya kelompok ronggeng gunung yang bertahan—paling banyak hanya sekali pentas dalam tiga bulan selama tahun 2010.

”Sepi sekali dalam beberapa tahun terakhir. Biasanya panggilan tampil ada saat bulan haji atau Syawal sebagai pengisi acara syukuran atau ruwatan,” katanya.

Kini, keberadaan ronggeng gunung pun terancam tak berbekas. Fakta bahwa Raspi adalah maestro ronggeng gunung terakhir membuktikan bahwa kesenian ini rentan menambah daftar merah kesenian rakyat yang terancam punah di Jabar.

Hingga tahun 2010, tercatat ada 40 kesenian terancam punah. Baru lima yang bisa direvitalisasi, yaitu gamelan ajeng dari Karawang, angklung badud (Kota Tasikmalaya), parebut seeng (Kabupaten Bogor), lisung (Ciamis), dan sandiwara (Ciamis).

Buah ketekunan

Kecintaan Raspi kepada ronggeng gunung tidak lepas dari perjalanan hidupnya sejak kecil. Ia mempelajarinya secara tidak sengaja saat kabur dari rumah karena hendak dinikahkan saat berusia 13 tahun. Guru pertamanya adalah Maja Kabun dari Padaherang, Ciamis.

Raspi mengakui tidak mudah mempelajari ronggeng gunung. Ronggeng wajib memiliki fisik kuat. Alasannya, ronggeng harus memiliki kemampuan olah vokal dalam nada tinggi sekaligus menari dalam waktu lama. Ronggeng gunung biasanya dipentaskan 2 jam hingga 12 jam per pertunjukan.

Raspi memiliki pengalaman menarik saat penari asal Amerika Serikat, Hally, minta diajari tari ronggeng gunung. Hally dikatakan termasuk cepat menguasai gerakan tari. Namun, dia menyerah saat belajar menari dan menyanyi dengan nada tinggi secara bersamaan.

Hally tambah kewalahan saat harus mengingat lagu-lagu khas ronggeng gunung. Biasanya, ada enam hingga delapan lagu yang dibawakan dalam satu pertunjukan.

Judul lagu antara lain ”Kudup Turi”, ”Sisigaran Golewang”, ”Raja Pulang”, ”Onday”, ”Kawungan”, ”Parut”, dan ”Trondol”. Sebagian besar bertema kerinduan kepada kekasih dan sindiran kepada perompak pembunuh Anggalarang.

”Sekarang saya mencoba meneruskan tarian ini kepada Nani Nurhayati, anak kandung saya. Namun, setelah sembilan tahun, Nani belum terlalu mahir dan masih harus banyak belajar,” katanya.

Ketekunannya mempertahankan akar ronggeng gunung perlahan mulai membuahkan hasil. Ia berhasil mendapat penghargaan dari Taman Mini Indonesia Indah tahun 1997 dan penghargaan dari Gubernur Jawa Barat 10 tahun kemudian. Yang teranyar adalah bantuan dana pembuatan pedepokan seni Rp 200 juta dari Pemerintah Provinsi Jabar tahun 2009.

Namun, yang paling bisa menenangkan hatinya adalah munculnya pengembangan, seperti ronggeng kaler dan kidul. Ronggeng kaler populer di daerah utara, seperti Kuningan, sedangkan ronggeng kidul tumbuh di daerah selatan, seperti Garut dan Tasikmalaya. Keduanya memakai perangkat gamelan lengkap.

Ronggeng gunung pun disajikannya lebih bervariasi, seperti perbedaan tari untuk hiburan atau adat. Ronggeng upacara adat biasanya dibawakan dengan pakem tertentu, seperti pentingnya tata urutan lagu, sedangkan ronggeng untuk hiburan biasanya lebih fleksibel karena tidak ada pakem urutan lagu.

”Ke depan, saya berharap perhatian tidak hanya itu. Saya ingin semua pihak turut membantu melestarikan dan mempertahankan ronggeng gunung sepeninggal saya nanti,” katanya.

Kini di masa tuanya, Raspi masih menyimpan harap. Ke depan, ia berharap semakin banyak masyarakat yang tertarik mementaskan dan mempelajari ronggeng gunung sebagai warisan tradisional bangsa. Ia ingin menjaga ronggeng gunung tetap dikenal masyarakat sekaligus memberikan suntikan semangat kepada generasi muda bahwa ronggeng gunung juga bisa diandalkan membiayai kebutuhan hidup.

”Kalau sekarang, rumah layak pun saya belum punya karena hanya tinggal di rumah reyot. Kadang-kadang suka risi karena punya sanggar baru, tapi rumahnya tidak layak. Semoga ini tidak dialami ronggeng selanjutnya,” ujar Raspi malu-malu sembari menutupi mulut dengan kedua tangannya.


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/01/08/15182696/Penari.Terakhir.Ronggeng.Gunung

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?