SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Kisah yang Hampir Tidak Diingat

| | | 0 komentar
Wajah Ismael Hassan (84) berseri-seri. Pada Sabtu (18/12), di Kompleks Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam Al-Azhar, Rawamangun, Jakarta Timur, ia sibuk menerima ucapan selamat dari koleganya dan orang-orang lain yang menghadiri peringatan 62 tahun Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Memakai setelan jas berwarna gelap, ia juga kelihatan tangkas melayani permintaan sejumlah orang yang mengajaknya berfoto bersama.

Ismael adalah orang yang paham bagaimana para tokoh Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) berjuang di hutan-hutan belantara di Sumatera Barat. Bersama tokoh PDRI, ia ikut berpindah-pindah tempat hunian guna menghindari kejaran Belanda.
Ismael juga mengetahui persis alotnya perundingan Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara dengan delegasi utusan Soekarno-Hatta pada fase akhir PDRI. Perundingan itu bertujuan melunakkan hati Sjafruddin agar mau datang ke Yogyakarta, mengembalikan mandat pemerintahan kepada Soekarno-Hatta. Dalam perundingan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, itu, Ismael bertindak sebagai notulis.

Di sela-sela makan siang seusai acara peringatan, Ismael mengatakan, PDRI merupakan salah satu mata rantai eksistensi Republik Indonesia. Berkat PDRI, pemerintahan Republik Indonesia memiliki kesinambungan.

PDRI dibentuk atas perintah Presiden Soekarno-Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 19 Desember 1948. Serbuan Belanda ke Ibu Kota Yogyakarta membuat kedudukan Dwitunggal itu berada di ujung tanduk. Untuk menjaga kesinambungan pemerintahan, dibentuklah PDRI yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Tidak lama setelah memberikan mandat kepada Sjafruddin sebagai Ketua PDRI, Soekarno-Hatta ditangkap pasukan Belanda.
Selain Sjafruddin, yang menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dalam pemerintahan Soekarno-Hatta, ada delapan orang lain duduk dalam PDRI. Mereka antara lain Jenderal Sudirman sebagai Panglima Angkatan Perang PDRI dan Mr AA Maramis yang menjabat Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India.

PDRI berakhir pada 13 Juli 1949. Selama tujuh bulan melaksanakan mandat, tokoh PDRI di Tanah Air berpindah-pindah tempat hunian guna menghindari kejaran pasukan Belanda. Seminggu sebelum penyerahan kembali mandat, delegasi utusan Soekarno-Hatta yang antara lain terdiri dari Moh Natsir dan J Leimena berunding alot dengan Sjafruddin. ”Waktu itu, Sjafruddin mempertanyakan mengapa PDRI tidak diajak dalam perundingan Roem-Royen (Mei 1949),” ujar Ismael.

Hal lain yang dipertanyakan oleh Sjafruddin adalah isi perjanjian Roem-Royen yang melemahkan republik. ”Keberatan utama Sjafruddin sebenarnya terletak pada perjanjian Roem-Royen itu,” ujar Ismael.

Namun, Sjafruddin akhirnya bersedia mengembalikan mandat pemerintahan kepada Soekarno-Hatta pada 13 Juli 1949. Sjafruddin dan tokoh PDRI lainnya mendarat di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta, pada 10 Juli 1949.

Kurang dikenal

Fragmen PDRI dalam bentang sejarah perjuangan Indonesia mungkin kurang begitu dikenal. ”Hampir tidak diingat lagi. Peran mereka tidak mendapat sorotan,” kata sejarawan Hilmar Farid dalam kesempatan terpisah.
Baru pada tahun 2006, tanggal terbentuknya PDRI, yakni 19 Desember, dinyatakan oleh Pemerintah RI sebagai Hari Bela Negara. Ini merupakan pengakuan luas pemerintah akan peran PDRI setelah ditunggu- tunggu selama berpuluh-puluh tahun oleh mereka yang pernah aktif dalam PDRI.

Mantan Wakil ketua MPR AM Fatwa yang hadir dalam acara peringatan 62 Tahun PDRI itu menegaskan, apa yang dilakukan para tokoh PDRI patut dicontoh oleh generasi politisi ataupun pejabat sekarang. ”Tokoh PDRI berjuang dengan tulus tanpa mengharapkan apa-apa demi negara,” jelasnya.

Bagaimanapun, menurut Hilmar, Sjafruddin akhirnya terlempar dari pusaran kekuasaan di pusat. Lantas, mantan Menteri Keuangan dan Wakil Perdana Menteri ini memiliki sikap yang berseberangan terhadap pemerintah pusat dengan bergabung bersama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958.
Kekuatan PRRI lantas dipukul pemerintah pusat dengan kekuatan militer. Pemerintah pusat melihat PRRI sebagai pemberontakan, tetapi beberapa pendapat menyebut PRRI sebenarnya merupakan ekspresi ketidakpuasan daerah pada pusat.
Peringatan sederhana

Terlepas dari peranan Sjafruddin dalam PRRI yang dianggap sebagai bentuk pembangkangan, PDRI perlu mendapat sorotan lebih layak dalam panggung sejarah Indonesia. Pada periode PDRI ada sejumlah orang yang dengan gigih, tanpa mengharapkan pamrih apa pun, berlarian di hutan, bukan sekadar untuk menyelamatkan diri sendiri, melainkan untuk memastikan bahwa pemerintahan RI tetap eksis di tengah tekanan Belanda.

Peringatan 62 tahun PDRI sendiri berlangsung bersahaja di Kompleks Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam (YAPI) Al-Azhar, Rawamangun, Jaktim. Setiap tahun, peringatan PDRI memang selalu dilakukan di sana, dengan diprakarsai oleh Ismael, ketua sekaligus salah satu pendiri YAPI. Tidak ada pejabat negara atau politisi beken yang hadir. Namun, mereka semua dengan tulus mengenang orang- orang yang pernah memberi warna cukup penting dalam sejarah Indonesia itu. (A TOMY TRINUGROHO)

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/19/03131469/kisah.yang.hampir.tidak.diingat

Operation Alpa : Kerjasama Militer Israel-Indonesia Terbongkar

| | | 0 komentar
Para Pilot TNI AU Pada Waktu Operasi Alpa.
Pemerintah Indonesia sering berdalih tak memiliki hubungan apapun dengan Israel, namun sesungguhnya kerjasama secara rahasia dan diam-diam sudah sering terjadi.
Salah satunya diungkap dalam dialog seorang purnawirawan perwira TNI AU, Marsma (Purn) Djoko F Poerwoko dalam sebuah talk show di Mata Najwa di MetroTV Rabu malam (15/12/), pukul 22:05 WIB. Acara bertema “Rahasia Negara” itu antara lain mengungkap operasi rahasia para perwira AU yang berlatih di Israel.

Poerwoko lulusan AKABRI Angkatan Udara tahun 1973 ini mengakui, militer Indonesia melakukan kerjasama rahasia dengan Israel. Tahun 1980-an ia dan puluhan kawan-kawannya yang juga pilot, menerima tugas dengan sandi “Operasi Alpha”.

Tidak jelas siapa yang merancang operasi tersebut. Namun kata Djoko, mantan Panglima ABRI Jenderal LB. Moerdani, saat itu memberikan pengarahan yang sangat detail. Mereka diberitahu akan mendapat pendidikan di Arizona, Amerika Serikat.

"Yang merancang kami tidak jelas, namun kami langsung dibriefing langsung pak Benny waktu itu. Bagaimana melaksanakan dan bagaimana pelatihan di sana," ujarnya.

Namun ketika sampai di Singapura tujuan berbelok ke Israel dengan terlebih dulu melewati beberapa negara. Para peserta tidak bisa mundur, meski paspor mereka semua ditahan, diambil oleh perwira dari BAIS (Badan Intelejen Strategis) dan diganti dengan Surat Perintah Laksana Paspor.

“Kalau misi ini gagal, negara tidak akan mengakui kewarganegaraan Anda,” demikian kata Djoko menirukan LB. Moerdani ketika di Singapura.

Dari Singapura mereka dibawa menuju German dengan menggunakan Singapore Airlines. Saat itu, para penerbang tempur ini berpakaian sipil dan berlagak layaknya turis. Mereka juga tidak boleh bertegur sapa. Duduknyapun terpisah, namun masih dalam batas jarak pandang.

Sesampai di Jerman mereka digiring oleh Polisi Khusus dan langsung diterbangkan ke Israel. Meski sampai di Tel Aviv, mereka semuanya sesungguhnya masih belum tahu tujuan penerbangan tersebut.

Setiba di di Bandara Ben Gurion, Tel Aviv, semuanya langsung ditangkap oleh petugas militer Israel. Namun, rupanya, itu hanya sekenario saja. Setelah itu mereka diberikan akomodasi yang baik dan berwisata ke beberapa tempat, termasuk ke Barsheeba.

"Tidak masuk imigrasi, tapi kami lewat pintu lain. Tapi ternyata kami diselamatkan," tambah Poerwoko.

Para pilot Indonesia itu kemudian menyadari, jika sesunguhnya mereka akan dilatih oleh AU-Israel untuk mengemudikan A-4 Skyhawk, yang rencananya akan dibeli pemerintah Indonesia. Mereka di latih selama 4 bulan di Gurun Negev. Setelah selesai mereka diterbangkan ke Amerika kembali.

Pria yang juga menulis buku “Menari di Angkasa, Anak Kampung Menjadi Penerbang Tempur”, juga menjelaskan, usai mendapat latihan dari Israel mereka mendapat kemewahan yang berlimpah dari Pemerintah.

Mereka diterbangkan ke New York. Berlibur ke Buffalo, Dallas, Colorado, Phoenix dan terakhir Arizona. Selama perjalanan itu pula mereka wajib mengirimkan post card dan foto foto yang memperkuat alibi bahwa mereka, seolah-olah, benar-benar dididik di Amerika.

“Yang jelas, kita diminta foto sebanyak-banyaknya di Amerika, dan dikirim ke tanah air, " tambahnya. Tujuannya, tak lain agar menghilangkan jejak dari Israel, “ ujar Djoko di MetroTV. Fakta ini menunjukkan adanya hubungan “tersembunyi” antara pemerintah Indonesia dan Israel.

Operasi Alpha dijalankan begitu rahasia, sampai-sampai badan pesawat Skyhawk ditutupi sedemikian rupa dan diberi label F-5. Pilot yang dilatih di Israel tidak hanya mereka yang berangkat bersama Djoko. Tidak ada dokumen terkait operasi tersebut, kata Djoko, karena semuanya dihancurkan.

Oleh karenanya, ketika menuliskan cerita tentang "Operasi Alpha" dibukunya dia menolak dikatakan membongkar rahasia negara, sebab negara sendiri tidak pernah mengakui hal itu ada dan tidak ada dokumen sebagai buktinya.

Hubungan kerjasama tersembunyi Indonesia-Israel lainnya, boleh jadi tidak lama lagi akan terus terkuak.

Sumber: WARTA NEWS

http://www.maju-indonesia-ku.co.cc/2010/12/operation-alpa-kerjasama-militer-israel.html

Nusantara Asal Peradaban Dunia?

| | | 0 komentar
ATAP bangunan itu sangat khas. Disebut tongkonan, rumah adat Toraja menjadi salah satu arsitektur tradisional paling gampang dikenal di Indonesia. Materialnya uru, kayu lokal yang seawet jati. Arahnya selalu utara. Atapnya melengkung.

Meski orang Toraja tinggal di pegunungan, atap lengkung indah itu ternyata terkait dengan citra lautan atau perairan. Bentuk rumah dengan atap lengkung itu menggambarkan perahu.

"Model atap itu menggambarkan perahu yang digunakan Puang Buralangi pada saat berlayar ke Toraja, ribuan tahun silam," kata C.F. Palimbong, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Toraja-Toraja Utara, kepada Tempo beberapa waktu lalu. Dalam mitologi Toraja, Puang Buralangi adalah manusia pertama yang diciptakan Tuhan.

Buralangi ini diciptakan Tuhan di bagian utara langit dan kemudian diturunkan di daerah yang disebut Pongko sebelum pergi ke Toraja dan beranak-pinak di sana. Letak Pongko itu di daerah utara. Itu sebabnya, tongkonan selalu menghadap utara. Tidak ada kepastian di mana Pongko itu berada. "Pongko yang saya pahami adalah Tiongkok atau Cina," kata Palimbong.

Kisah penciptaan Buralangi juga bercerita tentang banjir besar yang merendam daerahnya. "Karena kondisi ini pulalah Puang Buralangi menggunakan perahu ke Toraja," ujarnya. Perahu ini kemudian diabadikan dalam bentuk atap rumah.

l l l
Versi lain mitologi banjir di Toraja, dengan sedikit perbedaan detail, diungkap oleh Stephen Oppenheimer beberapa pekan silam dalam sebuah diskusi di gedung LIPI, Jakarta. Saat itu ia menjelaskan teorinya yang ia tulis dalam buku setebal 800 halaman, Eden in the East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara (edisi Inggris terbit pada 1998, bahasa Indonesia bulan lalu). Inilah buku yang menarik untuk dibicarakan. Sensasional tapi argumentasinya memikat karena bersangkut-paut dengan masa lalu sejarah kita yang misterius. "Karakter khas mitologi di kawasan Indonesia dan Asia Tenggara adalah banyaknya cerita banjir," kata ilmuwan genetika dari Universitas Oxford, London, Inggris, itu.

Kisah banjir ini yang menjadi satu dasar teori Oppenheimer bahwa banyak peradaban tertua di dunia berasal dari kawasan Indonesia, terutama dari wilayah Paparan Sunda, yang sekarang sudah tenggelam menjadi Laut Jawa dan Laut Cina Selatan. Dasar lain yang digunakan Oppenheimer adalah pemetaan genetika.

Paparan Sunda alias Sundaland itu wilayah dataran luas yang berada di wilayah Indonesia dan sekitarnya sekarang. Sebelum dipisahkan oleh laut karena Zaman Es berakhir sekitar 6.000 tahun sebelum Masehi, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan masih menyatu dengan Asia Daratan. Daratan ini juga menghubungkan Kalimantan dengan wilayah selatan Cina.

Oppenheimer percaya, saat Paparan Sunda itu belum tenggelam, penduduknya sudah memiliki kemampuan teknologi bertani, mencari ikan, atau membuat tembikar. Kemampuan pertanian ini boleh dibilang paling tua di dunia. "Belum ada masyarakat lain (di dunia saat itu) yang bisa melakukannya," kata Oppenheimer.

Begitu Paparan Sunda direndam air secara mendadak, penduduknya menyingkir. Mereka membawa serta teknologi pertanian dan sebangsanya ini ke seluruh dunia. Ke barat, pengaruh para imigran dari wilayah Indonesia dan sekitarnya ini sampai Eropa, sedangkan ke timur sampai ke Benua Amerika dengan melewati Selat Bering, yang ribuan tahun lalu masih bisa dilewati dengan berjalan kaki, tidak perlu menggunakan perahu.

Menurut Oppenheimer, peradaban tua Sumeria, 5.000 tahun SM, juga dipengaruhi oleh peradaban orang-orang berpenutur Austronesia-keluarga bahasa yang mencakup bahasa-bahasa di Indonesia-dari Asia Tenggara. Selama ini para ahli sejarah menyatakan di Sumeria sistem hukum sudah dikembangkan, teknik militer sudah cukup maju karena terus terjadi perang antarkota. Roda, salah satu temuan teknologi paling berpengaruh di dunia, juga sudah diciptakan. Dan terutama huruf telah digunakan, yaitu dalam bentuk huruf paku.

Namun Oppenheimer melihat beberapa temuan dari wilayah Sumeria menunjukkan kesamaan dengan kebiasaan atau teknologi Austronesia. Gerabah yang ditemukan di Ur, salah satu kota tua Sumeria, menunjukkan beberapa kesamaan dengan gerabah di kelompok penutur Austronesia di Asia Tenggara seperti cat merah. Begitu pula, ada temuan patung-patung dengan rajah. Seni membuat rajah alias tato itu khas Austronesia. Di Sepik Tengah, Papua Nugini, beberapa suku lokal sampai kini, seperti dilihat Oppenheimer, saat bertahun-tahun menjadi dokter yang meneliti penyakit malaria di Papua Nugini, masih mempraktekkan seni membuat rajah ini.

Tidak hanya teknologi yang disebarkan para penduduk Asia Tenggara ribuan tahun silam ke berbagai penjuru dunia, tapi juga mitologi kisah banjir. Gilgamesh, kisah banjir bandang Sumeria yang memiliki kesamaan dengan banjir Nuh, menurut Oppenheimer, bertolak dari kisah tenggelamnya Paparan Sunda di wilayah Nusantara dahulu kala.

l l l
Sampai dua abad silam, cerita banjir Nuh adalah satu-satunya legenda tentang banjir besar yang dikenal dunia mutakhir. Munculnya mitologi banjir besar, yang sebagian sangat mirip kisah Nuh, baru muncul saat tablet-tablet tulisan huruf paku, semacam buku dari kerajaan tua Sumeria, ditemukan di Irak oleh Hormuzd Rassam pada 1853. Tablet-tablet itu pertama kali diterjemahkan oleh arkeolog Inggris, George Smith, pada awal 1870.

Tablet itu berisi kisah Gilgamesh, Raja Sumeria. Dalam cerita itu, Gilgamesh bertemu dengan Utnapishtim di negeri timur yang mengaku selamat dari banjir besar yang melanda negerinya karena naik perahu besar. Dalam perahu itu, ia membawa semua benih yang bisa ditanam. Setelah beberapa hari, ia melepas burung untuk mengetahui apakah sudah tampak ada daratan. Belakangan arkeolog Inggris lain, Sir Leonard Woolley, pada 1929, menyimpulkan bahwa kisah Utnapishtim dan banjir Nuh itu sama.

Rupanya Utnapishtim bukan satu-satunya kisah tentang air bah yang mirip banjir Nuh. Beberapa kisah serupa mulai teridentifikasi. Di Wales-negeri kecil yang pemerintahannya menyatu dengan Inggris-ada dongeng Danau Llion yang menyembur dan membanjirkan seluruh daratan kecuali Dwyfan dan Dwyfach. Mereka selamat dengan kapal tanpa tiang dan kembali mendiami Pulau Pridain (Britania). Kapal itu berisi sepasang binatang dari setiap makhluk hidup.

Di Lituania, ada dongeng bahwa Pramzimas, sang dewa tertinggi, sudah muak terhadap keburukan manusia sehingga mengirim Wandu dan Wejas. Karena terlalu bersemangat bekerja mengirim air bah, dalam 20 hari tersisa sangat sedikit manusia.

Tapi di Asia Tenggara dan wilayah berpenutur Austronesia lain, seperti di kepulauan Pasifik, menurut Oppenheimer, kisah banjir seperti Nabi Nuh dan Sumeria ini sangat banyak. "Mayoritas dongeng tersebut diceritakan oleh penduduk minoritas yang tinggal di pulau kecil," kata Oppenheimer. Rupanya, di pulau kecil ini, bayangan banjir selalu ada. Kisah air bah pun dianggap "kontekstual" sehingga mitologi bisa awet dan diturunkan selama ribuan tahun.

Di Tahiti, misalnya, ada kisah banjir setinggi gunung, selama sepuluh hari. Jelas bukan tsunami, yang mungkin sudah dikenal di daerah itu, karena lamanya sampai 10 hari. Adapun suku Ami, salah satu suku pribumi di Taiwan, memiliki ciri sama dengan dongeng di Tibet-Burma dan Austro-Asiatik di India Timur. Kisahnya tentang banjir bandang yang singkat, menyelamatkan diri dengan kotak kayu, mendarat di gunung, dan inses orang yang selamat.

Selain tema air bah, yang memiliki sejumlah kemiripan adalah mitologi proses penciptaan dunia serta Habil dan Qabil. Bagi Oppenheimer, hal-hal ini bukan kebetulan. Karena itu, sumbernya pasti dari satu wilayah dan wilayah tersebut, menurut dia, ada kemungkinan di Asia Tenggara. "Mitos banjir pasti datang dari Kepulauan Asia Tenggara-dari kawasan Nusantara, yang kehilangan sebagian besar daratan (setelah Zaman Es berakhir)," tutur Oppenheimer dalam bukunya.

Apalagi kadang kesamaan mitologi ini disertai jejak genetika. Kisah Kalevala, misalnya, berasal dari Finlandia. Dan di negeri itu-serta sejumlah wilayah Eropa utara lain, seperti Estonia-ditemukan jejak-jejak genetis yang serupa dengan Asia Tenggara.

l l l
Dalam peta Journey of Mankind (Perjalanan Umat Manusia) yang dipaparkan di salah satu situs Internet, Oppenheimer memaparkan teori yang dipercaya sebagian besar ahli dunia tentang persebaran manusia sejak lahir di tanah Afrika sekitar 170 ribu tahun silam. Ini adalah persebaran manusia modern, Homo sapiens.

Pada 90-85 ribu tahun silam, sekelompok manusia meninggalkan Afrika ke timur, lewat Laut Merah. Dalam 10 ribu tahun, mereka terus bergeser mengikuti garis pantai Asia hingga sampai ke pantai di Cina.

Setelah Toba meledak-ledakan gunung terbesar yang diketahui umat manusia sekarang sehingga menyisakan Danau Toba-sekitar 74 ribu tahun silam, penduduk di Asia Tenggara menyebar hingga ke Papua dan Australia serta sebagian ada yang kembali ke barat, ke India. Wilayah Asia Tenggara kemudian dihuni orang yang menjadi nenek moyang Austronesia. Mereka inilah yang terkena banjir dan, menurut Oppenheimer, melakukan arus balik perjalanan mempengaruhi negeri-negeri jauh sampai ke Eropa.

Teori ini bertentangan dengan penyebaran Austronesia yang semula dipercaya berasal dari Taiwan. Teori Taiwan sebagai asal-muasal orang Austronesia, disebut teori Out of Taiwan, dibuat berdasarkan pendekatan bahasa. Keluarga rumpun bahasa Melayu itu, jika dirunut, sampai ke suku-suku pribumi di Taiwan (orang Tionghoa masuk Taiwan baru mulai abad ke-17).

Menurut teori yang dikemukakan Peter Belwood pada akhir 1970-an, orang Taiwan masuk wilayah Indonesia dan sekitarnya baru pada 4.000-3.500 tahun sebelum Masehi. Batas waktu ini jauh lebih muda daripada teori Oppenheimer, yang menyatakan bahwa orang Austronesia sudah ada di wilayah ini sejak, mungkin, 50 ribu tahun silam dan mengembangkan teknologi pertanian di sini.

Arkeolog seperti Harry Truman Simanjuntak, profesor dari Universitas Indonesia, tetap memegang teori Belwood ini. "Arkeologi dan linguistik kurang mendukung (teori Oppenheimer)," katanya. Ia merujuk pada sejumlah temuan seperti tembikar yang waktunya tidak melebihi batas 4.000 tahun itu.

Harry bahkan memperkuat temuan Belwood dengan teori bahwa jalur penyebaran dari Taiwan ini tidak hanya lewat Filipina-Kalimantan, tapi juga menyusuri pantai Indocina, kemudian menyeberang ke Sumatera dan Jawa. Teori ini berdasarkan perbedaan gaya tembikar di Indocina-Sumatera-Jawa bagian tengah dengan wilayah lain.

Tapi Oppenheimer berkukuh. "Bahasa bisa menyebar, tapi orangnya (bisa jadi) tidak menyebar," katanya. Jadi mungkin saja bahasa Austronesia memang menyebar dari Taiwan, tapi penduduknya tetap yang itu-itu saja.

Selain itu, ia mengajukan temuan arkeolog Thailand yang menunjukkan bahwa peradaban di Asia Tenggara lebih tua daripada sekadar 4.000 tahun silam. Arkeolog itu, mendiang Surin Pookajorn, menemukan butir beras dari era 7.000-5.000 tahun sebelum Masehi di Semenanjung Melayu. Batas waktu ini lebih tua beberapa tahun dibanding kedatangan orang Austronesia dari Taiwan.

Oppenheimer juga merujuk pada fakta bahwa di beberapa suku di Nusa Tenggara, teknologi beras tidak muncul sampai beberapa puluh tahun lalu. Padahal beras-dan tanaman lain seperti tebu-dipandang sebagai salah satu ciri peradaban Austronesia. "Penghuni di Indonesia sudah ada di sini jauh lebih lama, jauh lebih lama dalam kerangka waktu dibanding dalam Out of Taiwan," katanya.

Dari sisi genetis, pendekatan Oppenheimer itu didukung oleh para pakar genetika. Penelitian hampir 100 ilmuwan genetika Asia, termasuk Profesor Sangkot Marzuki yang memimpin Lembaga Eijkman, sudah memetakan genetika manusia Asia. Hasilnya? "Asia Tenggara adalah pusat penyebaran (manusia modern) setelah Afrika," kata Sangkot.

Teori Oppenheimer memang tidak sedramatis teori mendiang Arysio Nunes dos Santos, profesor fisika nuklir dari Brasil, yang menulis bahwa negeri Atlantis, seperti yang dikisahkan Plato, ada di wilayah Paparan Sunda itu. Seperti dikatakan Harry Truman Simanjuntak, teori Oppenheimer, meski ditentangnya, lebih masuk akal.



Baru Berusia 170 Ribu Tahun

1,6 JUTA TAHUN SILAM
Pithecanthropus erectus hidup di Sangiran.

170 RIBU TAHUN SM
Manusia modern (Homo sapiens) lahir di Afrika.

90-85 RIBU TAHUN SM
Homo sapiens menyeberangi Laut Merah. Semua orang non-Afrika keturunan mereka.

85-75 RIBU TAHUN SM
Homo sapiens bergerak menyusuri pantai Asia sampai ke Cina di pinggir Pasifik.

74-65 RIBU TAHUN SM
Manusia berpindah ke Papua dan Australia dengan perahu.

65-50 RIBU SM
Wilayah Eropa mulai menghangat. Manusia sudah mulai bergerak ke Eropa.

50 RIBU TAHUN SM
Homo erectus soloensis termuda yang ditemukan. Fosilnya ditemukan di Ngandong, dekat Solo. Ini berarti ia hidup berdampingan dengan manusia modern (Homo sapiens) Menurut Oppenheimer, sekitar masa ini nenek moyang orang Indonesia sudah ada di wilayah Asia Tenggara.

25-22 RIBU SM
Dari Asia bergerak ke Amerika lewat Selat Bering.

8.000-6.000 RIBU SM
Berakhirnya Zaman Es. Paparan Sunda (Sundaland) terendam air, mengakibatkan Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, yang semula menyatu dengan daratan Asia, menjadi pulau-pulau sendiri. Menurut teori Oppenheimer, berakhirnya Zaman Es membuat orang Austronesia, termasuk nenek moyang orang Indonesia, menyebar ke seluruh dunia membawa teknologi baru.

5.000 SM
Peradaban Sumeria sudah terbentuk. Peralatan logam, yakni dari perunggu, mulai dipakai. Menurut Oppenheimer, peradaban nenek moyang orang Indonesia mempengaruhi peradaban Sumeria ini.

3.500 SM
Orang Austronesia menyebar ke Pasifik.

3.100 SM
Kerajaan Mesir berdiri.

2.100 SM
Kerajaan di Cina berdiri lewat pemerintahan Dinasti Xia.

Asal Nusantara

Nenek moyang manusia tertua terlacak hingga ke tanah Afrika pada 170 ribu tahun silam. Tapi tanah Asia Tenggara, tempat Indonesia berada, menjadi penting karena menjadi persinggahan utama dan mereka kemudian menyebar ke Asia Daratan.

AFRIKA
Homo sapiens (manusia modern) tertua bisa dirunut sampai ke fosil di Afrika yang sudah berusia sekitar 170 ribu tahun.

SUMERIA
Negeri tua ini tidak hanya mengenal kisah banjir yang serupa dengan kisah di Asia Tenggara. Tapi ada kesamaan gerabah Austronesia dengan di Sumeria. Begitu pula, ada temuan patung-patung dengan rajah. Seni membuat rajah alias tato itu khas Austronesia.

EROPA
Kisah banjir besar juga ditemukan di Lituania. Sedangkan jejak genetis Austronesia terekam di sebagian penduduk Finlandia dan wilayah Eropa utara lain.

TIMUR TENGAH
Peradaban di Timur Tengah sudah ribuan tahun mengenal kisah dongeng air bah, dari kisah Nabi Nuh sampai Galgamesh di Sumeria. Motifnya tidak berbeda dengan di Asia Tenggara atau Polinesia.

ASIA TENGGARA
Saat Sumatera, Jawa, dan Kalimantan masih menyatu dalam wilayah besar yang sekarang disebut Paparan Sunda. Stephen Oppenheimer berpendapat bahwa di wilayah ini, orang Austronesia alias Asia Tenggara sekarang ini sudah ada sejak sekitar 50 ribu tahun silam.

DARI PAPARAN SUNDA
Sejumlah mitologi yang serupa dengan kisah banjir Nuh dan temuan arkeologi menunjukkan ada hubungan antara wilayah Austronesia dan berbagai penjuru dunia. Oppenheimer memperkirakan mitologi ini disebarkan orang berpenutur rumpun Melayu ketika kawasan itu disapu banjir karena Zaman Es berakhir, yang membuat Sumatera, Jawa, dan Kalimantan terpisah.

THAILAND
Ditemukan butir beras dari era 7.000-5.000 tahun sebelum Masehi di semenanjung Melayu. Batas waktu ini lebih tua beberapa tahun dibanding kedatangan orang Austronesia dari Taiwan, yang diperkirakan membawa teknologi pertanian.

ASIA DARATAN
Suku Ami, salah satu suku pribumi di Taiwan, memiliki ciri sama dengan dongeng di Tibet-Burma dan Austro-Asiatik di India Timur. Kisahnya tentang banjir bandang yang singkat, menyelamatkan diri dengan kotak kayu, mendarat di gunung, dan inses orang yang selamat.
Pemetaan genetis menunjukkan bahwa penduduk Asia berasal dari Asia Tenggara, bukan kebalikan: orang Asia Tenggara datang dari Taiwan.

TAIWAN
Di pulau ini, bahasa Austronesia berasal. Hal ini memunculkan teori "Out of Taiwan", yang menyatakan orang Austronesia keturunan Taiwan. Sejumlah jejak arkeologi, seperti gerabah, menunjukkan kerangka waktu "Out of Taiwan", yang ditentang Oppenheimer, masih cocok.

POLINESIA/PASIFIK
Polinesia dihuni orang bertutur Austronesia. Sejumlah dongeng banjir atau penciptaan, dengan motif yang mirip, tersebar di wilayah ini.

NASKAH: Nur Khoiri, Rudy Prasetyo, Muhammad Adnan Husain (Toraja) ILUSTRASI: BONITA KAULITZ
SUMBER: EDEN IN THE EAST, JOURNEY OF MANKIND
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/12/13/IQR/mbm.20101213.IQR135339.id.html#

Jejak Eksil di Mancanegara

| | | 0 komentar
Arti Armunanto sedang menempuh studi di Universitas Leipzig, Jerman Timur, ketika gerakan 30 September (G-30-S) 1965 meletus. Arti tengah menjalani tugas sebagai mahasiswa ikatan dinas dari Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Tragedi politik menyiutkan nyali Arti untuk pulang ke Tanah Air. "Saya memutuskan untuk tetap berada di Jerman Timur sembari melihat perkembangan yang terjadi di Tanah Air," katanya.

Keputusan putri Menteri Pertambangan di era Soekarno, Armunanto, itu menetap di Jerman bukan tanpa alasan. Saat itu, kepemimpinan Soekarno jatuh ke tangan Soeharto. Rezim Soeharto secara perlahan melucuti orang-orang Soekarno yang pernah berkuasa di pemerintahan. Mereka yang dianggap tersangkut dengan pemberontakan G-30-S, yang disebut-sebut pelakunya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), ditangkap dan dibunuh. Menteri-menteri Kabinet Dwikora ditahan dengan prosedur hukum yang tidak jelas. Termasuk ayah dan keluarga Arti.

Keluarga Armunanto dikabarkan dipenjara dan meninggal dunia. Arti, yang sebatang kara, merasa riskan untuk kembali ke Tanah Air. Ia takut dituduh sebagai orang PKI dan dibunuh pula. Padahal, kata Arti, dirinya sama sekali tidak tahu-menahu tentang G-30-S tersebut.

Nasib apes seperti yang dialami Arti menimpa pula ribuan warga negara Indonesia lain. Informasi yang minim kala itu menyebabkan sejumlah warga yang ada di luar negeri enggan balik. Terhadap mereka, rezim Orde Baru ketika itu menganggapnya sebagai pelarian tahanan politik (tapol) 1965.

Mereka yang tidak mau mengakui kepemimpinan Soeharto langsung dicabut paspornya. Dengan begitu, status para tapol atau eksil tersebut dalam kondisi tidak punya kewarganegaraan alias stateless. Sehingga mereka harus mencari suaka politik ke berbagai negara di belahan dunia. Hidup mereka terlunta-lunta, karena harus menerjang berbagai macam problematika kehidupan di negeri orang. Terutama terkait dengan kompleksitas budaya, sosial, ekonomi, keamanan, dan politik.

Tragedi G-30-S/PKI 1965, kata Ari Junaedi, sesungguhnya masih menyisakan sejuta persoalan. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini meneliti kasus tragedi tersebut, khususnya para eksil yang hingga kini masih berkeliaran di luar negeri.

Ari menyatakan tertarik meneliti kiprah eksil itu lantaran pertimbangan kemanusiaan. "Saya merasa masih banyak ketidakadilan yang dituduhkan kepada orang-orang yang distigma PKI," kata Ari, yang pernah menjadi staf khusus Presiden Megawati Soekarnoputri.

Penelitian Ari menarik disimak, karena menguak tema transformasi identitas dan pola komunikasi para pelarian politik tragedi 1965 di Swedia, Jerman, Belanda, dan Prancis. Pendekatannya lewat studi interaksi simbolik. Studi lapangan inilah yang kemudian dijadikan disertasi Ari. Agustus lalu, disertasi itu telah disidangkan di hadapan tim promotor dan dinyatakan cum laude. Akhirnya Ari berhak menyandang gelar doktor ilmu komunikasi pada kampus FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung.



Pelarian politik tragedi 1965, demikian hasil studi yang dilakukan Ari, berasal dari berbagai kelompok. Yakni, mahasiswa yang ditugaskan belajar tapi berstatus ikatan dinas dari Pemerintah Indonesia. Seperti halnya Arti Armunanto itu. Lalu ada pula kelompok delegasi Indonesia yang muhibah ke luar negeri semisal diplomat beserta keluarga. Atau utusan delegasi resmi yang tengah berada di luar negeri. Dan, kelompok yang memang memiliki pilihan politik.

Menurut Ari, faktor yang menyebabkan para eksil memilih menetap di negara pilihannya tak lain karena alasan pragmatis, ideologis, dan psikologis. "Ketika terjadi tragedi 1965, para eksil terkena pencabutan paspor sehingga tidak bisa pulang ke Tanah Air. Padahal tidak sedikit mereka itu yang sama sekali tidak terkait dengan PKI," kata Ari yang mantan wartawan itu.

Pada umumnya, sebagaimana angin politik saat itu, mereka dikirim ke sejumlah negara blok komunis. Di antaranya Uni Soviet, Cekoslovakia, Polandia, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Bulgaria, Kuba, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan sebagainya. Seiring waktu berjalan, para eksil itu kemudian menyebar ke berbagai negara Eropa agar bisa bertahan hidup. Seperti ke Prancis, Swedia, Jerman, dan Belanda.

Di negara-negara itulah Ari harus pontang-panting menembus para eksil yang dijadikan subjek dan objek penelitian selama bertahun-tahun. Ari melakukan wawancara mendalam dan partisipan observer terhadap 27 eksil yang tersebar di empat negara tersebut.

Ke-27 narasumber tersebut dipilih sebagai informan yang mewakili generasi pertama dan kedua. Total jumlah para eksil itu, setelah beranak pinak, kini diperkirakan mencapai lebih dari 1.500 orang. Generasi pertama yang masih hidup memasuki usia 68-80 tahun.

Selama di luar negeri, para eksil berusaha keras agar dapat diterima di negara tujuan dan menetap seumur hidup. Walaupun cara yang mereka tempuh itu sebagai imigran gelap. Bahkan sampai ada yang memanipulasi identitas dan bekerja secara ilegal.

Sebagian dari mereka terpaksa menjalani pekerjaan kasar meskipun berpendidikan tinggi. Yang mengherankan, kata Ari, walaupun mereka sudah puluhan tahun terasing di negeri orang, tapi rasa kebangsaan Indonesianya tak pernah luntur.

Mereka sudah berkebangsaan Belanda, Jerman, atau beristrikan wanita Rusia, berketurunan campuran, namun jiwa raga mereka masih Indonesia. Transformasi identitas diri mereka berjalan secara terbuka dan tersembunyi. Para eksil harus memiliki identitas baru lewat proses dan konsekuensi yang diterimanya. Identitas baru itu dinyatakan terbuka sebagai pegangan untuk menunjukan eksistensinya.

Namun di sisi lain, para eksil dihadapkan pada identitas laten yang telah melekat dalam dirinya sebagai warga negara Indonesia. Identitas ini disembunyikan supaya mereka tetap aman dari ancaman yang menghambat hidupnya pada posisi identitas baru.

Tidak sedikit dari para eksil yang kini jumlahnya masih sekitar 1.500 orang, sangat berharap ketika meninggal dunia jasadnya minta dikuburkan di tanah kelahiran. "Mereka (para eksil) berkali-kali menyatakan bila nanti mati jasadnya dikuburkan di tanah kelahirannya di Indonesia. Kerinduan mereka kepada kampung halaman tidak pernah hilang," kata Ari.

Ari melanjutkan, pola komunikasi para eksil terjadi melalui dua ragam. Baik secara intraetnik maupun interetnik. Pada saat berkomunikasi dengan intraetnik, penggunaan bahasa ibu menjadi dominan. Sedangkan ketika berkomunikasi interetnik, bahasa asing di tempat mereka tinggal menjadi bagian dari proses komunikasi.

Pola penggunaan bahasa asing ini unik. Karena penggunaannya berlandaskan pada indoktrinasi, kesadaran diri, dan alamiah. Tempat berinteraksi biasanya dilakukan di restoran-restoran khas Indonesia yang didirikan oleh para eksil.

Pola komunikasi itu berlanjut pada identifikasi antarbudaya baru dari para eksil. Bentuk komunikasi intra dan interetniknya terbentuk lewat komunikasi antar personal, kelompok, dan massa. Secara akulturasi, komunikasi personal konsisten dengan budaya pribumi. Sedangkan komunikasi kelompok berjalan melalui komunitas seni, budaya, perkumpulan, dan komunitas tertentu lainnya. Adapun komunikasi massa lewat penggunaan media massa seperti buku, radio, dan surat kabar.

Disertasi itu, kata Ari, dipersembahkan untuk para eksil di Indonesia dan mancanegara. Ia meminta pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mau menuntaskan persoalan status politik para eksil yang selama ini dicap pembangkang. "Pemerintah seharusnya menghapus stigma komunis dan memberikan kemudahan pengurusan kewarganegaraan baru bagi para eksil tragedi 1965 bersama keluarganya. Kalau tidak, jangan sampai kita menjadi bangsa yang pendendam," katanya.

Deni Muliya Barus
[Laporan Utama, Gatra Nomor 47 Beredar Kamis, 30 September 2010]
URL: http://www.gatra.com/2010-10-04/versi_cetak.php?id=141792

Perempuan Perkasa dari Nguter

| | | 0 komentar
Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka"
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa Akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

Begitulah penyair Hartoyo Andangjaya melukiskan keperkasaan wanita desa dalam bait ketiga puisinya yang berjudul Perempuan-perempuan Perkasa. Di antara jutaan perempuan desa nan perkasa di bumi Nusantara ini, sebagian datang dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Mereka adalah perempuan penjual jamu gendong alias mbok jamu asal Nguter yang menyebar ke pelbagai kota di Indonesia.

Untuk memuliakan keperkasaan perempuan penjual jamu gendong itu, warga secara gotong royong membangun monumen "Jamu Gendong". Monumen ini berupa patung sosok perempuan penjual jamu setinggi 1,6 meter, terbuat dari batu kali.

Patung mbok jamu itu tampak "perkasa". Ia menggendong bakul yang di dalamnya terdapat sejumlah botol berisi berbagai jenis jamu. Tangan kirinya menjinjing ember berisi air. Mengenakan kebaya lurik dan berkain batik. Parasnya manis, matanya tajam menatap lurus ke depan.

Monumen yang terletak di Desa Gupit, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo, itu dibangun warga desa setempat pada awal 1990-an. Kemudian monumen itu direnovasi dan diresmikan Bupati Sukoharjo, Bambang Riyanto, pada 24 Mei 2004. Perempuan Desa Gupit kebanyakan menjadi penjaja jamu gendong di kota-kota besar. Dari 1.600 kepala keluarga, sepertiganya berjualan jamu gendong.

Di wilayah Kecamatan Nguter, bukan hanya perempuan Desa Gupit yang menjadi penjual jamu gendong. Di desa lainnya banyak pula warga yang bekerja sebagai bakul jamu. Jumlahnya 50-100 orang setiap desa. Perdagangan jamu gendong bermula dari tradisi warga yang secara turun-temurun memanfaatkan tanaman berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit dan nenambah stamina.

Lantaran terasa khasiatnya, warga pun meracik dan membuat jamu dalam bentuk cair. Akhirnya mereka memberanikan diri menjualnya. Lama-kelamaan, makin banyak warga yang meniru. Tradisi itu menyebar pula ke desa-desa lainnya di Kecamatan Nguter. Sebagian kini dibuat menjadi jamu dalam kemasan dan dijual di Pasar Nguter.

Karena sebagian warganya bekerja sebagai penjual jamu, beberapa di antaranya memilih menjual jamu di luar desa. Sebagian warga, terutama perempuan, merantau ke kota-kota terdekat, seperti Semarang dan Solo, dan belakangan sampai ke Surabaya, Jakarta, bahkan ke luar Jawa.

Usaha menjual jamu itu ternyata menguntungkan. Mereka pun kembali ke desa membawa uang tidak sedikit. Setidaknya mereka bisa membantu kebutuhan keluarga dan meningkatkan taraf hidup. Kemudian mereka mengajak tetangga, kenalan, atau saudara untuk menggeluti pekerjaan itu. "Ada pula yang meri (kepingin) melihat kesuksesan mereka, jadi ikut merantau juga," kata Kepala Desa Gupit, Suyadi.

Produksi jamu pun berkembang di Nguter. Produsen jamu skala kecil atau rumah tangga terus tumbuh. Kini jumlahnya tak terhitung. Yang terbesar adalah pabrik jamu Gujati, yang --dalam perkiraan Suyadi-- berdiri sejak 1990-an.

Suyadi berkisah bahwa pemilik pabrik jamu Gujati adalah orang Bali. Namun pengelolaannya diserahkan kepada seorang warga asal Bandung. Mayoritas pekerja pabrik jamu itu adalah warga Nguter. Pangsa jamu Gujati masih lokal, seperti Solo, paling jauh Surabaya.

Pada hari-hari biasa, rumah para perantau itu kerap kosong. Bapak-ibu merantau. Anak yang besar dan selesai sekolah biasanya juga ikut mengadu nasib di daerah lain. Sedangkan anak-anak yang masih kecil biasanya dititipkan kepada saudara atau kakek-neneknya di kampung lain. Ketika Gatra mengunjungi desa itu, memang banyak rumah yang kosong melompong, sehingga sulit mencari penjual jamunya.

Mereka hanya pulang ketika Lebaran atau pada saat saudara mengadakan hajatan. Ketika mudik, mereka sangat dermawan. Tanpa ada komando, warga perantau ikut membantu pembangunan desa atau menyumbang kas. "Karena menganggap kampung ikut menjaga rumah mereka selama ditinggal," kata Suyadi. Sayangnya, pihak kelurahan dan kecamatan tak punya data tentang kontribusi dan perputaran uang warga Gupit di perantauan untuk kampung halamannya.

Hasil kerja di luar kota itu rupanya turut mengangkat ekonomi keluarga. Setidaknya tampak pada rumah mereka di Gupit. Umumnya rumah mereka permanen, besar, berlantai keramik, bercat menarik, dan tergolong mewah. Bandingkan dengan kebanyakan rumah warga yang tidak merantau: hanya dari gedek (anyaman bambu), kayu, dan lantai biasa atau malah masih tanah.

Meskipun di rumah di kampung halamannya mewah, di perantauan ternyata mereka tinggal di tempat yang sangat sederhana. Menempati rumah petak berukuran tak lebih dari 16 meter persegi. Malah ada yang mengontrak kamar 2 x 3 meter. Kehidupan mereka juga sederhana: makan secukupnya, terkadang tidur beralaskan tikar.

Pergulatan hidup perempuan penjual jamu gendong di perantauan tidaklah ringan. Mereka harus berjalan sepanjang hari menyusuri kerasnya kehidupan di lorong-lorong kota sambil menggendong bakul berisi 7-10 botol jamu. Tak jarang mereka juga harus berhadapan dengan orang-orang jail. Toh, mereka tak pernah mengeluh.

Mereka senantiasa menabung untuk biaya pulang dan biaya sekolah anak-anak serta membangun rumah. Ada ribuan warga Desa Nguter yang merantau sebagai penjual jamu gendong. Dari merekalah perekonomian desa itu bisa berkembang. Selain itu, tingkat pendidikan warga juga membaik karena kian banyak warga yang bisa membiayai anak mereka untuk menamatkan pendidikan SMA atau universitas.

Namun tidak selamanya kaum peremuan itu mampu menjual jamu gendong. Mereka akan berhenti sebagai mbok jamu ketika usia menjelang senja. "Saya sudah tak kuat lagi bejalan kaki sambil menggendong jamu," kata Satutik, 53 tahun, yang berhenti menjual jamu gendong tatkala usianya menginjak kepala lima.

Perempuan perkasa asal Nguter itu mulai berjualan jamu ketika usianya masih belasan tahun. Selama 20 tahun ia berjualan jamu gendong di kawasan Jakarta Utara. "Saya jadi bakul jamu buat biaya sekolah anak-anak," tutur Satutik, yang mengaku selalu mengirim uang untuk biaya sekolah anak-anaknya di desa. "Setelah anak-anak selesai (sekolah) dan kerja sendiri, saya berhenti," katanya.

Ia merantau ke Ibu Kota bersama suaminya yang bekerja sebagai kuli bangunan. Dua putranya tak diajak. Mereka dititipkan kepada saudara Satutik, yang juga punya anak sebaya anak-anaknya. Penghasilan dari menjual jamu disisihkan dan dititipkan kepada saudaranya di kampung.

Setelah anaknya lulus sekolah, Satutik memilih pulang kampung. Tapi tak ada istilah pensiun berjualan bagi perempuan "perkasa" seperti Satutik. Setelah tak lagi menjajakan jamu gendong, kini ia berjualan nasi rames di kampungnya.

Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)
[Astakona, Gatra Nomor 51 Beredar Kamis, 26 Oktober 2010]
URL: http://www.gatra.com/2010-11-06/versi_cetak.php?id=142765

Patriotisme Bandit di Era Perjuangan

| | | 0 komentar
PARA JAGO DAN KAUM REVOLUSIONER JAKARTA 1945-1949
Penulis: Robert Cribb
Penerbit: Masup, Jakarta, Agustus 2010, xvi + 304 halaman

Sejarah bandit Indonesia pernah mengalami pasang-surut. Komplotan yang bermain di dunia hitam itu kadang disebut bandit, maling, rampok, penyamun, preman, atau jagoan. Ada juga yang disebut lenggaong untuk penjahat besar atau jawara.

Pada Pemilu 1982, rezim Orde Baru pernah memanfaatkan kaum preman ini sebagai tukang pukul dan agen provokator. Anehnya, pada 1983, gerombolan preman ini "dihabisi" melalui operasi penembakan misterius (petrus). Jauh sebelumnya, para bandit pernah punya peran sejarah, seperti tertuang dalam buku ini.

Robert Cribb menyingkap heroisme kaum bandit yang bersatu melawan penjajah Belanda untuk mempertahankan Proklamasi 1945. Gerombolan bandit Jakarta sepakat bergabung dalam Lasykar Rakyat Jakarta Raya (LRJR), walau ada juga yang mengabdi pada penjajah Belanda dalam pasukan HAMOT (Hare Majesteits Ongeregelde Troepen).

Sejarawan Australia itu menilai, koalisi antara dunia hitam Jakarta dan kelompok nasionalis muda radikal dalam wadah LRJR tersebut merupakan hasil dari situasi yang tidak biasa. Kajian buku ini memberikan nilai tambah bagi kita bahwa akar sosial revolusi Indonesia itu lebih kompleks. Gerakan nasionalis dalam banyak hal tentu merupakan konsekuensi atas kontradiksi-kontradiksi dalam sistem kolonial Belanda yang berevolusi.

Kolonialisme yang menciptakan kesengsaraan itu membakar semangat gerakan nasionalisme. Dan yang tak bisa dimungkiri, kolonialisme justru melatih (mendidik) orang yang secara tak langsung kelak memimpin perlawanan. Semangat proklamasi ternyata ikut menarik komunitas bandit untuk melawan penjajah.

Gembong-gembong bandit pada saat itu turut berjuang, baik dalam LRJR maupun organisasi perjuangan lainnya. Imam Syafe'fi alias Bang Pi'fie, gembong jawara di kawasan Senen, misalnya. Aksi kriminalnya membuat dia kaya raya dan menjadi tuan tanah. Ia sempat menjadi Menteri Keamanan Rakyat pada Kabinet 100 Menteri di zaman Bung Karno. Bang Pi'fie wafat pada 1982.

Lain halnya dengan Haji Darip, jagoan asal Klender kelahiran tahun 1900. Dia putra pemimpin gerombolan yang terkenal, Gempur. Darip dimitoskan punya jimat kekebalan dan pandai merekrut penjahat untuk menjadi pengikutnya.

Haji Darip pernah memimpin pemogokan buruh kereta api pada 1923. Wilayah kekuasaannya (perdikan) membentang dari Klender hingga Pulogadung; dari Jatinegara sampai Bekasi. Setiap orang Cina, Eurasia, bahkan Eropa, jika melewati wilayah kekuasaannya, pasti dijarah serta harus berteriak "merdeka!" dan wajib membayar 2 gulden.

Kawanan bandit yang "patriotis" itu juga melakukan aksi teror secara sporadis. Pada 19 Oktober 1945, sebanyak 68 orang serdadu Angkatan Laut Jepang dibantai di Bekasi dalam perjalanan mereka ke Penjara Ciater. Pada 23 November 1945, sekelompok tentara Belanda dan Inggris tewas dihajar kawanan bandit Bekasi.

Buku ini cukup menarik karena mengungkap fenomena unik itu dalam sejarah. Ulah komunitas bandit Jakarta dan sekitarnya menyita perhatian polisi kolonial. Karena para bandit memilih jalur politik, akhirnya mereka harus berkomunikasi dengan komunitas lainnya.

Bila harus ada kritik terhadap buku Robert Cribb ini, tentu karena daya endus sejarawan ini yang kurang tajam. Sebab, sejak VOC membangun pangkalan pertama di dekat muara Sungai Ciliwung pada 1610 sampai Jepang masuk Jakarta pada 1942, segala kemarahan terpendam di hati rakyat. Terlebih ketika penjajah memosisikan kaum pribumi sebagai warga kelas tiga dan komunitas Cina sebagai warga kelas dua.

Ledakan-ledakan secara massif pun bermunculan setelah proklamasi. Dipastikan, komunitas yang pernah "dimanjakan" penjajah yang memicu kecemburuan sosial menjadi korban para pejuang yang berasal dari komunitas bandit. Satu lagi yang luput dari perhatian Cribb, yakni peran ulama Bekasi yang terkenal, seperti KH Nur Ali yang "menjinakkan" kejalangan kaum bandit untuk menjadi patriotik.

Faisal Haq
Penggiat sosial
[Buku, Gatra Nomor 3 Beredar Kamis, 25 November 2010]
URL: http://www.gatra.com/2010-12-04/versi_cetak.php?id=143492

Yogyakarta: Istimewa Sepanjang Masa

| | | 0 komentar
Sejarah keistimewaan Yogyakarta terentang sebelum Republik Indonesia berdiri. Eksistensi Kesultanan Yogyakarta bermula dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin Paku Buwono II dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah kekuasan Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono Senapati Ingalaga Abdul Rakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah atau Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I.

Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755. Lewat perjanjian itu, Pemerintah Hindia Belanda memfasilitasi penyelesaian diplomatik untuk mengakhiri pertikaian antara Paku Buwono II dan Pangeran Mangkubumi. Berikutnya, perjanjian itu menempatkan Kesultanan Yogyakarta dalam status daerah istimewa atau dalam bahasa Pemerintah Hindia Belanda disebut zelfbestuurende lanschappen.

Status itu setara dengan dependence state atau hampir seperti negara bagian. Model ini menempatkan kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan diatur dan dilaksanakan berdasarkan perjanjian atau kontrak politik yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda bersama-sama dengan Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.

Selama penyelenggaraan kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia, status istimewa itu terus disandang Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Di antara rentang itu, pada 1 Maret 1813, atas bantuan Pemerintah Inggris, Pangeran Notokusumo --adik Sri Sultan HB I-- atau Paku Alam I memimpin Kadipaten Pakualaman yang masih terletak di dalam wilayah Ngayogyakarta.

Untuk Kerajaan Ngayogyakarta, kontrak politik terakhir dengan Pemerintah Hindia Belanda terjadi pada 1940. Perjanjian politik itu ditandatangani Dr. Lucien Adam mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Sri Sultan HB IX mewakili Kesultanan Yogyakarta, dimasukkan dalam lembaran negara Kerajaan Belanda sebagai Staatsblad 1941 No. 47.

Ketika menandatangani kontrak itu, Sri Sultan HB IX baru berusia 28 tahun dan belum lama pulang dari Nederland untuk menuntut ilmu di Universitas Leiden. Perjanjian itu menyebut Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai bagian wilayah Hindia Belanda di bawah kedaulatan Baginda Ratu Belanda yang diwakili gubernur jenderal. Ngayogyakarta Hadiningrat menjalankan pemerintahan sipil di Yogyakarta dan mendapat biaya operasional dari Pemerintah Hindia Belanda sebesar 1.000.000 gulden per tahun.



Status istimewa itu tetap berlangsung ketika masa pendudukan Jepang. Pemerintah Jepang menyebut Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Yogyakarta Kooti Hookookai. Jepang di ambang kekalahan dan tidak dapat memenuhi janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Hingga akhirnya Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya 19 Agustus 1945, Sri Sultan HB IX selaku penguasa Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alam VIII selaku pemimpin Kadipaten Pakualaman secara sendiri-sendiri dalam waktu hampir bersamaan mengirim kawat ucapan selamat kepada Soekarno dan Hatta.

Pada tanggal yang sama, diperkirakan setelah menerima kawat ucapan selamat itu, Soekarno menandatangani piagam penetapan yang isinya memberi kepercayaan kepada Sultan HB IX dan Paku Alam VIII untuk memimpin pada kedudukannya masing-masing. Yakni sebagai pemimpin Kesultanan Yogyakarta dan penguasa Kadipaten Pakualaman alias status quo.

Piagam yang ditandatangani pada 19 Agustus 1945 itu baru diterima di Yogyakarta pada 6 September 1945 melalui dua utusan dari Jakarta. Sebelumnya, pada 20 Agustus, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII kembali mengirim telegram ke Jakarta, yang berisi dukungan penuh kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Dukungan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman terhadap kedaulatan Indonesia dipertegas melalui maklumat yang dikeluarkan masing-masing pemimpin "kerajaan" itu pada 5 September 1945. Inti maklumat itu adalah penegasan status kedua kerajaan yang mereka pimpin sebagai daerah istimewa yang menjadi bagian negara Republik Indonesia.

Maklumat yang terdiri dari tiga pasal itu juga menyebutkan bahwa kedua raja itu tetap menjadi pemimpin dan pemegang kekuasaan di daerah dan kerajaan masing-masing, dengan bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia.

Menyusul maklumat tersebut, berikutnya keluar instruksi dari Jakarta mengenai pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta yang berfungsi sebagai badan pekerja yang memiliki kekuatan legislatif; sebagai wakil rakyat masing-masing daerah serta bertugas membuat peraturan dan haluan penyelenggaraan pemerintahan di daerah istimewa itu.

Setelah badan pekerja terbentuk, Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII secara bersama-sama mengeluarkan amanat yang isinya tunduk pada UUD negara Republik Indonesia dan mengakhiri dualisme kepemimpinan di antara keduanya melalui pembentukan satu badan legislatif sebagai perwakilan rakyat kedua daerah.

Sembari menunggu undang-undang yang mengatur susunan daerah yang bersifat istimewa, seperti diamanatkan Pasal 18 UUD 1945, pada 18 Mei 1946 Sultan HB IX dan Paku Alam VIII --tas persetujuan dewan daerah-- mengeluarkan Maklumat Nomor 18 yang mengatur kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dalam maklumat ini, nama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara resmi digunakan untuk menandai bersatunya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.

Pada periode itu, DIY menunjukkan keistimewaannya dalam lintas sejarah revolusi di Indonesia. Pada 5 Januari 1946, karena alasan keamanan, ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Pada masa-masa genting menjelang agresi militer Belanda I dan II itu, Sri Sultan BH IX sebagai ketua dewan kota sering menyiarkan maklumat yang membesarkan hati, dengan memberi kesan bahwa pemerintahan RI yang berada di Yogya terus berjalan. Dan lambat laun Yogyakarta menjadi pusat kegiatan perjuangan.



Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil Konferensi Meja Bundar, Indonesia memasuki babak sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribu kota di Yogyakarta sejak 1946 hanyalah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.

Setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Negeri Belanda, Yogyakarta juga menjadi tuan rumah dan saksi dalam tahapan sangat penting penentuan kedaulatan RI. Yakni penyatuan Republik Indonesia Serikat dengan negara kesatuan Republik Indonesia dan diresmikan sebagai satu negara berdaulat bernama negara kesatuan Republik Indonesia pada 15 Agustus 1950.

Dengan perubahan sistem ketatanegaraan itu, DIY tidak lagi menjadi ibu kota RI. Secara resmi, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY ditempatkan sebagai daerah istimewa setingkat provinsi. Dan sekitar satu bulan sebelum peristiwa G-30-S/PKI, tepatnya pada 1 September 1965, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, Yogyakarta dijadikan sebagai sebuah provinsi.

Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia pada 1973. Dengan begitu, urusan pemerintahan sehari-hari di DIY dijalankan Paku Alam VIII.

Pada masa itu, kebijakan tentang status Yogyakarta diteruskan pemerintah pusat dengan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah. Kecuali mengenai status kepala daerah dan wakilnya, undang-undang itu memiliki semangat menyusun tata pemerintahan DIY sama dengan daerah lainnya. Keistimewaan Yogyakarta mulai kabur.

Usai berhenti dari posisi Wakil Presiden RI, tahun 1978, Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk merevitalisasi keistimewaan DIY, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendak bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu terus dilestarikan sampai masa mendatang, sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU Nomor 3/1950.

Pada 1988, Sultan HB IX wafat, dan pemerintah menunjuk Paku Alam VIII sebagai penjabat Gubernur atau Kepala Daerah Istimewa Yogyajarta. Sepuluh tahun kemudian, Paku Alam VIII wafat. Hal ini menimbulkan masalah bagi Pemerintah Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Untuk menanggulangi masalah itu, dalam UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY.

Pada tahun 2000, MPR-RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam Pasal 18B. Dalam pasal ini, keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.

Sejak itu, perihal Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta menjadi wacana berkepanjangan, utamanya menandai benturan antara konsep pemilihan gubernur secara langsung atau melalui mekanisme penetapan seperti masa-masa sebelumnya.

Yogyakarta memang istimewa. Hal ini barangkali juga dapat ditandai dari perdebatan dan wacana tentang keistimewaannya yang tidak kunjung tuntas.

Bambang Sulistiyo (dari berbagai sumber)
[Laporan Khusus, Gatra Nomor 5 Beredar Kamis, 9 Desember 2010]

Yang Miskin dan Terpinggirkan Zaman

| | | 0 komentar
Bangunan itu masih terlihat megah. Sejak pertama menyusuri komplek Keraton Surakarta Hadiningrat melalui Alun-alun Utara--memasuki bagian Sitihinggil, Gerbang Kori Brojonolo, Kori Kamandungan, Kori Sri Manganti, hingga ke Pelataran Kedaton--masih terlihat jelas jejak-jejak kemegahan arsitektural bangunan yang didirikan sejak 1744 itu.
Keraton ini turut diarsiteki oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I, yang juga mendesain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tak heran bila masing-masing elemen arsitektur bangunan itu sama-sama memiliki makna simbolis. Misalnya saja, sebuah cermin besar yang ditempatkan di pintu gerbang Kori Kamandungan, bermakna agar para pengunjung bercermin dan berintrospeksi sebelum masuk ke dalam Keraton.

Namun, bila diperhatikan secara seksama, beberapa sudut bangunan di Keraton Surakarta sudah terlihat rusak. Kulit-kulit tembok mengelupas serta lumut menghiasi beberapa bagian tembok. Tubuh keraton yang rompal di sana-sini serta pilar-pilar kayu yang mulai mengeropos, jelas menandai memudarnya kharisma dan wajah Keraton Surakarta yang dulu merupakan salah satu bangunan yang paling eksotik di masanya.
“Bisa dibilang 50 persen bangunan Keraton Surakarta rusak parah. Entah itu dindingnya mengelupas atau kosong dan tidak terawat, “ ujar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger, putra Pakubuwono XII.

KGPH Puger menjelaskan beberapa bangunan yang rusak, di antaranya adalah tempat-tempat yang sering digunakan untuk kegiatan kerajaan, kampung-kampung abdi dalem, Kali Putri, Keputren, dan Kampung Kepatihan.

Ini menjelaskan bagaimana Keraton Surakarta terseok-seok untuk bertahan di tengah gerusan zaman, karena tak punya biaya menghidupi dirinya sendiri.
"Kalau dari keraton sendiri, jelas tidak bisa. Nah, sekarang kami dari mana sumber pendanaannya? Kalau hanya mengandalkan dari pemasukan obyek wisata, jelas sangat-sangat kurang, “ katanya.

Menurut KGPH Puger, keraton memang tidak memiliki dana untuk merawat bangunan yang berdiri di tanah seluas 70 hektare itu. Apalagi pasca bergabungnya keraton ke pangkuan Republik Indonesia, semua aset kekayaan milik keraton termasuk tanah dan perusahaan, telah dinasionalisasi oleh negara.

“Dulu, kami punya perusahaan air minum, perkebunan, pertanian, pajak, kereta api, gula dan bangunan-bangunan yang sekarang dijadikan untuk kepentingan pemerintah NKRI,” ujar KGPH Puger. Saat masih milik keraton, perusahaan-perusahaan itu menjadi penopang untuk membiayai kebutuhan keraton.
Proses penyerahan aset itu sendiri, kata dia, diambil atas inisatif Pakubuwono XII untuk ikut membantu NKRI. “Negara ini beruntung. Dulu tidak punya apa-apa, tapi kemudian dibantu oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia untuk menopangnya,” ia menerangkan.

Awalnya, kata dia, Keraton Surakarta menitipkan asetnya kepada NKRI agar dimanfaatkan dengan sistem bagi hasil. "Namun, lama kelamaan Sinuhun ditinggal begitu saja," ia mengeluhkan. Padahal, keraton masih harus membiaya perawatan keraton, upacara-upacara tradisional, serta menggaji para abdi dalem.

Kekuasaan Kasunanan pun semakin menyusut seiring bergabungnya mereka dengan NKRI. Alhasil, kata dia, pihak keraton tak mampu membiayai ongkos perawatan keraton yang notabene adalah bangunan peninggalan budaya yang musti dilindungi.
Bangunan keraton yang dulu menjadi tempat tinggal abdi dalem, kini kosong dan tak terawat, karena sudah tidak ditempati lagi. Jangankan merawat bangunan, untuk menggaji abdi dalem saja, KGPH Puger mengatakan, tidak mencukupi.

Kondisi serupa kurang lebih juga dialami oleh keraton-keraton dan kerajaan-kerajaan lain. Misalnya saja keraton Kanoman Cirebon, yang kondisinya tak kalah memprihatinkan.

Pintu gerbang Keraton Kanoman yang biasa dibuka saat acara Grebeg Syawal terlihat telah memudar warnanya. Suasana di dalam bangunan utama keraton juga dipenuhi dinding berlapis lumut. Benda-benda yang dipajang di museum, ornamen ukiran, banyak yang tak terawat, kusam dan berdebu. Eternit lapuk, bahkan ada juga yang sudah jebol.
Belum lagi pembangunan kota yang tak memperhatikan aspek tata ruang, sehingga lokasi Keraton Kanoman tersembunyi dan dikelilingi bangunan-bangunan lain. Untuk masuk ke Keraton Kanoman, pengunjung musti masuk dari Pasar Kanoman yang terkesan kumuh dan penuh para pedagang.

Praktis, kini keraton-keraton mengandalkan dana dari pemerintah untuk membiayai hidupnya. Keraton Surakarta, misalnya, mendapatkan subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan operasional, termasuk untuk membayar listrik telepon dan air.

Pada 2010, Keraton Surakarta mendapatkan anggaran sebesar Rp300 juta untuk biaya operasional. Namun tak semua keluarga kerajaan di masa lalu mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Misalnya saja, Puri Agung Pemecutan, yang merupakan sisa kerajaan yang berlokasi di Denpasar Bali. Menurut Anak Agung Ngurah Putra Darma Nuraga, yang merupakan keturunan dari Raja Pemecutan, puri mereka sama sekali tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah.

Padahal, Puri Agung kerap kali mengadakan berbagai upacara untuk melestarikan adat dan tradisi mereka. "Di Bali tak pernah ada bantuan dari pemerintah untuk puri-puri. Sebagaimanapun besarnya upacara yang dilakukan, semuanya dana dari keluarga kami sendiri. Tidak ada sesen pun dana bantuan pemerintah,” kata dia kepada VIVAnews.com.
Padahal, kata dia, awal dari pemerintahan modern NKRI semua berawal dari dukungan kerajaan-kerajaan termasuk dari Bali. “Terbentuknya NKRI tidak terlepas dari peran kerajaan itu sendiri," katanya.

Keluarga puri, ia menjelaskan, tidak memiliki uang untuk mengembangkan purinya. "Inilah yang harus diperhatikan pemerintah. Janganlah memperhatikan pemerintahannya saja, namun cikal bakal NKRI diabaikan.”

Mirisnya lagi, kendati beberapa keraton mendapatkan subsidi dari pemerintah, terkadang hal itu juga tak sepenuhnya mengatasi permasalahan yang dihadapi. Pertengahan September lalu, berbagai media massa mengungkap kabar yang menyedihkan: Keraton Surakarta menunggak biaya listrik selama tiga bulan.

Oleh pihak PLN, Keraton Surakarta dinyatakan menunggak pembayaran tagihan listrik sebesar Rp30 juta antara Juli-September 2010. Aliran listrik ke Keraton sempat diancam diputus oleh PLN. Pihak DPRD sempat mempertanyakan pengelolaan dana dari pemerintah oleh keraton. Namun, pihak keraton mengatakan bahwa tunggakan ini terjadi akibat telatnya pencairan dana dari pemerintah.

Apapun alasanya, kabar ini sudah pasti akan semakin menjatuhkan wibawa keraton di mata masyarakat. Sepertinya, keraton-keraton dan kerajaan yang ada di nusantara, khususnya yang tak memiliki kekuasaan eksekutif seperti Keraton Yogyakarta, memang menghadapi tantangan yang berat untuk bisa terus bertahan di zaman modern. (Laporan: Fajar Sodiq dan Peni Widarti | kd)
• VIVAnews

Semangat Bung Tomo Di Hari Pahlawan

| | | 0 komentar
Bismillahirrohmanirrohim.. MERDEKA!!! Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini tentara inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara jepang mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera puitih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka Saudara-saudara di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di surabaya ini di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara dengan mendatangkan presiden dan pemimpin2 lainnya ke Surabaya ini maka kita ini tunduk utuk memberhentikan pentempuran tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya Saudara-saudara kita semuanya kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara inggris itu dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya ingin mendengarkan jawaban rakyat Indoneisa ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indoneisa yang ada di Surabaya ini dengarkanlah ini tentara inggris ini jawaban kita ini jawaban rakyat Surabaya ini jawaban pemuda Indoneisa kepada kau sekalian hai tentara inggris kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita: selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah! keadaan genting! tetapi saya peringatkan sekali lagi jangan mulai menembak baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti menyerang mereka itukita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka Dan untuk kita saudara-saudara lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar percayalah saudara-saudara Tuhan akan melindungi kita sekalian Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! MERDEKA!!! FOTO ANTARA/M Risyal Hidayat

sumber http://foto.antarajatim.com/index/detailstory/25#

Menilik Keraton Yogya

| | | 0 komentar
Sultan Yogya tak hanya berkuasa di keraton, tapi juga punya kaki di pemerintahan daerah.
Berbalut surjan dan jarik, empat bupati dan wali kota Yogyakarta berjalan jongkok. Dengan cara laku ndodok itu, mereka mendekati singgasana Sultan Hamengkubuwono X. Mengekor di belakang adik-adik Sultan dan kerabat keraton, mereka menunggu giliran sungkeman.

“Maju,” titah Sri Sultan.
Mereka bergerak, mencium lutut Sultan. Lalu hening.
"Mundur," suara Sultan kembali terdengar. Itu tanda satu sungkeman berakhir, dan bertukar giliran. Satu per satu. Mereka menghaturkan sembah. Mencium lutut sang raja Jawa.

Digelar setiap Idul Fitri, tradisi sungkeman dimulai dua setengah abad silam, sejak Sultan Hamengkubuwono I bertahta. Ritual itu disebut Grebeg Syawal Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Yang hadir, keluarga dan abdi dalem keraton. Itu simbol hormat dan patuh kepada raja.

Bupati dan walikota? Lima pejabat teras itu memang bukan abdi dalem keraton yang bekerja untuk raja. Tak juga ada gelar bangsawan sebagai tanda kerabat keraton. Secara struktural, mereka bawahan Sultan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lantas mengapa bupati dan walikota ikut mencium lutut raja?

Seorang kerabat keraton, Heru Wahyukismoyo, mengatakan, kehadiran bupati dan wali kota di setiap Grebeg Syawal bersifat fakultatif. Bukan titah Sultan. Juga bukan kewajiban. “Mereka yang tak punya hubungan kekerabatan dengan keraton biasanya mengajukan diri ikut sungkeman,” ujarnya.

Meleburnya para abdi republik ke dalam tradisi keraton, juga tampak pada upacara pemandian pusaka (jamasan). Soalnya, tiap kabupaten dan kotamadya punya pusaka sendiri pemberian raja. Pusaka itu menjadi identitas daerah. Senjata ini harus dimandikan, atau dibersihkan setahun sekali. Sesuai adat keraton.
Grebeg Syawal dan Jamasan adalah potret betapa keraton masih menjadi patokan kekuasaan politik dan budaya di Yogyakarta. Tentu, itu tak lepas dari posisi Sultan, yang sekaligus gubernur bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Peperintahan Karaton

Di tengah kesibukannya sebagai gubernur pemimpin empat kabupaten dan kotamadya, Sultan Hamengkubuwono X tetap menjalankan perannya memimpin kerajaan. Sebagai raja bertahta (Ngarso Dalem), ia bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan keraton (Peperintahan Karaton).

Layaknya sebuah negara, Peperintahan Karaton punya struktur birokrasi dengan tugas dan fungsi sampai ke tingkat bawah. Konsepnya semacam departemen, dan dinas dalam birokrasi modern. Lembaga pembantu Sultan ini dipegang oleh para pengageng.
Tulang punggung pemerintahan keraton ada pada di Pengageng Sri Wandowo. Itu semacam sekretariat negara. Jabatan itu kini dipegang adik kandung Sultan, Gusti Bandoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo. Dia bertugas sebagai perantara, antara Sultan dan pengageng, atau abdi dalem lainnya di kawedanan.

Dalam memimpin keraton, Sultan tak lagi terjun langsung ke dalam rapat-rapat, atau pembahasan program. Sultan hanya memberikan persetujuan, atau instruksi. Semua titahnya dituang dalam surat keputusan (dhawuh dalem), yang ditulis dalam bahasa Jawa halus.
Dalam setahun, Sultan setidaknya membuat lebih dari tiga keputusan. Terakhir, dia menaikkan gaji dan program pendidikan bagi abdi dalem. “Segala keputusan yang diambil Sultan, akan dilaksanakan hingga tingkat bawah melalui Gusti Joyo,” kata GBPH Yudhaningrat, yang juga adik Sultan.

Walau tak terlibat langsung di rumah tangga keraton, Sultan tetap muncul pada setiap upacara besar keraton. Misalnya Grebeg Syawal dan Pisowanan Ageng. Sultan tetap menjadi simbol tertinggi keraton.

Di Peperintahan Karaton, Gusti Joyo adalah nomor satu. Dia mengendalikan sejumlah kawedanan, lembaga yang menangani aneka urusan keraton. Mulai dari perawatan museum dan benda antik, organisasi adat dan budaya Jawa, tanah, bangunan, tari, gamelan, makanan tradisional, gelar, hingga upacara kesultanan.

Setiap kawedanan punya pemimpin, kantor, dan abdi dalem. Mereka berkantor di lingkungan keraton, wajib pakai surjan, kemben, dan jarik. Sementara yang beraktivitas di luar, boleh pakai busana modern. Umumnya batik.

Abdi dalem bekerja berdasar aturan rumah tangga keraton, dan surat dawuh dalem. Sekitar 1.000 dari 3.000 abdi dalem mendapat bayaran. Kecil memang, hanya Rp5-35 ribu sebulan. Bayaran ini sebagai simbol kasih sayang raja kepada rakyatnya yang mengabdi.
"Hampir semua abdi dalem punya pekerjaan lain guna menopang ekonomi keluarga. Sebagai abdi dalem, saya bekerja setiap hari. Saya punya 12 hari untuk mengurus sawah," kata Joyo Pradata, yang menjadi abdi dalem sejak 1975.

Selain mendapat kucuran dana APBN, keraton mencukupi kebutuhan internal melalui pengelolaan aset. Ada sejumlah tanah milik keraton yang disewakan kepada masyarakat. "Pemasukan ini kemudian diolah bendahara keraton untuk rumah tangga keraton," kata Gusti Yudha. Dia tak menyebutkan berapa persisnya kebutuhan dan belanja keraton setiap tahunnya.

Kekuasaan menciut

Menilik sejarah, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, pada mulanya, adalah negara dependen di bawah Kerajaan Belanda. Memiliki wilayah kekuasaan sendiri, sekaligus berwenang penuh mengelola sumber daya ekonomi.
Meski di bawah Sultan, pada zaman kolonial itu pemerintahan dibagi dua. Pertama, Parentah Ageng Karaton, untuk urusan domestik keraton. Kedua, Parentah Nagari, untuk urusan luar. Dalam tugasnya, Sultan dibantu Pepatih yang dulunya adalah kepanjangan tangan Belanda.

Restorasi pemerintahan keraton terjadi pada masa Sultan Hamengkubuwono IX. Keraton memutuskan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai konsekuensinya, administrasi keraton dijalankan berdasar peraturan daerah di Indonesia.

Parentah Ageng Keraton masih bertahan. Namun, tak lagi menyentuh ranah politik. “Jadi, bisa dikatakan kekuasan keraton menciut. Dulunya punya kekuasaan politik, layaknya sebuah negara merdeka, kini hanya berkuasa secara kultural,” kata sejarawan UGM, Djoko Suryo.

Pemerintah pusat mengakomodasi kekuasaan Sultan lewat aturan keistimewaan. Aturan ini memuat ketetapan raja bertahta sebagai kepala daerah atau gubernur. Tak seperti nasib raja-raja lain di Nusantara, Sultan masih punya jangkauan politik di kancah pemerintahan modern.

Walau Sultan punya dua kaki di pusat pemerintahan daerah dan keraton, namun tak ada struktur yang mengikat keduanya. Tiap pemerintahan berjalan sendiri. Keraton bergerak sesuai sistem tata praja. Pemerintahan daerah berjalan sesuai peraturan perundangan yang berlaku di seluruh Indonesia.
Pengamat politik lokal Universitas Gadjah Mada, Arie Dwipayana, memberi contoh menarik.

Adalah GBPH Yudhaningrat, yang hendak berkarier sebagai birokrat. Meski dia Panglima Keprajuritan Keraton, Yudhaningrat tetap melewati aturan kepegawaian. Dia lalu mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil.

Begitu juga soal kenaikan pangkat. Sultan tak mencampuradukkan gelar keraton dan pangkat kepegawaian. “Buktinya, Yudhaningrat tak punya posisi penting dalam birokrasi pemerintahan,” kata Arie.

Meski demikian, tautan kultural antara sistem pemerintahan daerah dan keraton tak terhindarkan dalam konsep keistimewaan ini. Arie menyebutnya sebagai politik kebudayaan. "Politik kebudayaan ada untuk mengikat struktur politik modern ke sistem politik tradisional,“ ujarnya.

Prosesi Grebeg Syawal yang diikuti bupati dan wali kota adalah potret paling nyata. “Kalau dipikir-pikir itu kan sama saja memposisikan bupati sebagai abdi dalem,“ ujar Arie. “Dulu juga pernah ada sistem di mana setiap bupati diberi gelar KRT. Tetapi sekarang sudah tidak berlaku.”

Kini, keistimewaan yang mengakomodasi kekuasaan Sultan di struktur pemerintahan modern, itu tengah diuji di tingkat pusat. Dalam draf Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta, terbuka kemungkinan gubernur Yogyakarta bukan berasal dari kalangan keraton.

Jika itu terjadi, Sultan kelak hanya menjadi simbol kultural. Dengan posisi yang mungkin lebih baik dari raja-raja lain di nusantara. (Laporan Juna Sanbawa dan Fajar Sodiq, Yogyakarta | np)
• VIVAnews

Inggit Garnasih

| | | 0 komentar
Batang pohon cempaka yang meranggas, kering, dan keriput itu masih berdiri di halaman rumah Inggit Garnasih yang meninggal dunia 26 tahun lalu. Setiap hari Inggit mengambil bunga cempaka dan mencampurnya dengan ramuan lain untuk dijadikan bedak dan lulur yang ia jual di sekitar Bandung.

Kini rumah mantan istri Presiden RI Soekarno di Jalan Inggit Garnasih Nomor 8, Kota Bandung, itu sudah sepi. Rumah yang tahun 1994 dibeli Pemerintah Provinsi Jawa Barat tersebut hanya dijaga oleh keluarga petugas dari Biro Umum Pemerintah Provinsi Jabar. Beberapa ruangan di rumah itu kosong. Hanya cempaka, lukisan Inggit berdampingan dengan Soekarno, serta lukisan Soekarno yang mengingatkan pada kisah hidup pemiliknya.
Semasa hidup, Inggit sering bercerita kepada Tito Asmara Hadi, cucu keempat Inggit dari anak angkatnya, Ratna Juami atau Omi. Menurut Tito, Inggit yang lahir di Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung, 17 Februari 1888, itu menikah dengan Koesno atau Soekarno pada 24 Maret 1923. Sebelumnya, Inggit pernah menikah dengan saudagar Bandung, Sanusi.
Saat menikah, Soekarno masih kuliah di Technische Hoogeschool te Bandung atau Institut Teknologi Bandung. Ia sering berkumpul untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. "Soekarno bukan tipe lelaki yang bisa mencari nafkah sehingga Bu Inggit harus bekerja untuk keluarga dan kegiatan pergerakan," kata Tito.

Diskusi, berpidato ke berbagai tempat, dan lain-lain dilakukan Soekarno setiap hari dari pagi hingga pagi. Jika diskusi dilakukan di rumah mereka, Inggit menyediakan konsumsi. Inggit mendapatkan uang dari membuat dan menjual bedak, lulur, pakaian, dan kutang. Ia juga menjadi agen cangkul, parang, dan sabun. Soekarno sempat ditawari menjadi dosen dan pegawai pemerintah, tetapi ditolak. Soekarno hanya bertahan beberapa bulan membuat biro teknik tahun 1926. Inggit sering mendampingi Soekarno berpidato dan menjadi penerjemah bagi orang Sunda yang tak bisa berbahasa Indonesia.
Meski penuh derita, Inggit menjalankan tugasnya dengan ikhlas dan bersemangat.
Bahkan, tak jarang ia melakukan hal berbahaya untuk membantu Soekarno. Saat Belanda memenjarakan Soekarno di Banceuy, di perutnya Inggit menyelipkan buku sebagai bahan pembelaan Soekarno. Saat penjaga penjara lengah, secepatnya ia menyerahkan buku itu kepada Soekarno. Berkat buku itu, Soekarno bisa menulis Indonesia Menggugat.
Pangkat untuk rakyat

Ketika Soekarno dipindahkan ke Penjara Sukamiskin, Inggit berjalan kaki 10 kilometer mengunjungi Soekarno. Ia tak punya uang untuk ongkos naik delman.
Ketika Soekarno dibuang ke Ende tahun 1933, Inggit membawa Omi dan ibunya, Amsi, untuk menemani Soekarno di pembuangan. Ia juga turut serta saat Soekarno dibuang ke Bengkulu tahun 1938. Di pembuangan, Inggit tetap bekerja membuat bedak, lulur, dan pakaian. Ia juga pernah dengan berani berjalan kaki menemui Soekarno dari Bengkulu ke Padang melewati hutan. Ia hanya berhenti saat makan sambil berdiri karena jika duduk ia takut tak bisa kembali berdiri.

Di Bengkulu, Inggit dan Soekarno mengangkat Fatmawati sebagai anak mereka. Sebelumnya, Fatmawati adalah teman main Omi. Namun, tahun 1942, Soekarno meminta izin menikahi Fatmawati. Karena tak mengizinkan, Inggit meminta bercerai dan kembali ke Bandung. "Bu Inggit menikah 20 tahun dengan Soekarno dan selama 14 tahun mendampingi di pembuangan," kata Tito.

Pulang ke Bandung, rumah Inggit sudah hancur. Teman-temannya membangunkan kembali beberapa tahun kemudian. Meski sudah bercerai, Inggit yang berusia lebih tua 12 tahun dari Soekarno tetap berhubungan baik. Soekarno pernah mengunjunginya tahun 1964 dan 1966. Saat bertemu, Inggit selalu mengingatkan Soekarno bahwa baju berpangkat yang dipakainya berasal dari rakyat. Karena itu, ia harus terus berjuang untuk rakyat.
Inggit meninggal tahun 1984. Di hari sebelum meninggal, ia tetap membuat lulur dan bedak untuk menyambung hidup.

Inggit Garnasih memang bukan satu-satunya istri Presiden Sukarno (Bung Karno tak sudi namanya ditulis sebagai Soekarno karena sangat Belanda).

Ketika pemilihan legislatif, banyak yang kemari untuk berziarah dan diliput oleh wartawan. Tetapi, ketika mereka sudah jadi anggota dewan, apalagi yang Dewan di Jakarta, sekarang ini tidak terlihat.
-- Oneng Rohiman, penjaga makam

Namun, Inggit berpengaruh besar bagi Sukarno sejak pemuda dari Blitar di Jawa Timur itu kuliah di Bandung dan indekos di rumah Inggit yang saat itu masih berstatus istri Haji Sanusi.

Inggit lantas menjanda, dan dinikahi Sukarno sebagai istri kedua. Istri pertamanya adalah Utari binti Haji Umar Said Cokroaminoto, bapak kos sekaligus guru politik Sukarno di Kampung Peneleh, Surabaya.

Lazim diketahui, Inggit Garnasih adalah perempuan tangguh yang mendampingi Sukarno pada masa-masa paling sulit dari kehidupan Sukarno selama 20 tahun.
Sebut saja sejak Sukarno dikurung di Penjara Banceuy, Sukamiskin, hingga bersedia mengikutinya ketika dibuang ke Pulau Ende, bahkan sampai Bengkulu.

Namun, justru di Bengkulu pula, Sukarno mulai gandrung kepada Fatmawati. Gadis putri tokoh Muhammadiyah lokal itu dinikahi Sukarno tahun 1943, tetapi kemudian menggugat cerai tahun 1954 karena Sukarno giliran jatuh hati pada janda bernama Hartini.
Lain Bengkulu, lain pula Bandung. Di Bengkulu, pemerintah setempat menaruh hormat pada Fatmawati dengan memuliakan namanya sebagai nama bandar udara.
Adapun di Bandung, orang ramai seolah sudah melupakan Inggit. Meninggal tahun 1984 atau 14 tahun setelah Sukarno meninggal, Inggit dimakamkam di Pemakaman Umum Porib, Caringin, Kota Bandung.

Makam di daerah Bandung Selatan ini tampak tidak layak bagi Inggit jika melihat jasa-jasanya dalam perjuangan bangsa Indonesia.

Penutup makam nyaris roboh karena ada dua tiang yang sudah tidak berdiri tegak dan miring terlihat menahan beban. Bahkan tembok tiang sudah retak-retak.
Tak hanya itu, eternit penutup makam pun terlihat bocor. Air hujan menetes ke ruang makam. Properti makam seperti batu nisan, lantai makam, serta foto-foto Inggit dan Sukarno tampak lusuh termakan waktu. Begitu juga dengan warna cat tiang kayu mulai lusuh.
"Waduh, kalau tidak diperbaiki, ini pasti roboh. Tetapi, bagaimana mau memperbaiki, tidak ada yang menyumbang baik itu dari pemerintah maupun dari pribadi-pribadi," ungkap penjaga makam, Oneng Rohiman.

Oneng mengeluhkan kurangnya kepedulian dari masyarakat Indonesia, terkait makam Inggit Garnasih. Padahal kalau melihat jasa-jasanya, kata Oneng, sangat besar.
Dijelaskan Oneng, dalam hal pembayaran listrik saja, dirinya harus mengeluarkan secara pribadi sebesar Rp 50.000 per bulannya. Tidak pernah ada yang menyumbang apalagi digratiskan oleh pemerintah.

"Soal listrik harusnya digratiskan atau dibayar pemerintah kota. Namun, tidak apa-apa, saya masih bisa membayar karena saya tahu perjuangan Ibu Inggit," kata Oneng.
Oneng juga mengeluhkan para politikus nasionalis yang sering kali hanya memanfaatkan nama Inggit Garnasih untuk kepentingannya.

"Coba saja ketika zaman pemilihan legislatif, banyak yang kemari untuk berziarah dan diliput oleh wartawan. Tetapi, ketika mereka sudah jadi anggota dewan, apalagi yang Dewan di Jakarta, sekarang ini tidak terlihat," kata Oneng.

Dikatakan Oneng, dirinya juga sangat heran ketika banyak kepala daerah ataupun wakil kepala daerah yang berasal dari kalangan nasionalis sangat kurang peduli terhadap makam Bu Inggit. Padahal, bantuan yang dibutuhkan untuk keadaan makam tidak seberapa.
Oneng menceritakan, hanya ada dua kepala daerah yang menurutnya peduli pada makam Inggit Garnasih, yakni almarhum Ateng Wahyudi dan Nu'man Abdul Hakim.

Ateng Wahyudi saat menjabat sebagai Wali Kota Bandung berhasil membangun kompleks makam. Saat itu, kata Oneng, Ateng menambahkan bangunan agar makam tertutup.
Adapun Nu'man Abdul Hakim saat menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat merenovasi kompleks makam. Bahkan, dia membangun fasilitas air wudu untuk para tamu yang akan menunaikan shalat di kompleks makam Inggit.

Disinggung mengenai jumlah penziarah, kata Oneng, masih belum menurun. Namun, yang ziarah ke makam Inggit banyaknya para pejuang dan anak-anak pejuang, baik itu dari Bandung, Jakarta, Bengkulu, Blitar, maupun Surabaya.

"Kalau momen politik banyak. Tetapi kalau hari-hari biasa, paling dua sampai tiga orang per minggu. Kalau keluarganya cukup sering," kata Oneng.

Oneng dan dua penjaga makam Inggit kini hanya berharap ada kepedulian dari masyarakat terhadap makam Inggit. "Ya, sekarang saya hanya ingin ada kepedulian," kata Oneng. (SOB)

kompas.com

Bangunan Garuda di Cileungsi

| | | 1 komentar
Jika Anda rajin blogwalking atau menjenguk milis, mungkin Anda telah menemukan ini: bangunan raksasa Garuda Pancasila di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Anda layak berdecak kagum, tak habis pikir ternyata ada orang kita yang memiliki ide membangun Garuda Pancasila raksasa.

Bangunan ini sejatinya sudah lama berdiri. Namun kedahsyatannya baru diketahui publik luas setahunan ini berkat teknologi google earth. Dari angkasa, bangunan itu memukau dengan desain Garuda Pancasila yang cukup jelas. Ada sayap, kepala, maupun perisai berlambang 5 sila.

Bangunan apakah itu? Nama resminya adalah Graha Garuda Tiara. Jika ingin menyaksikannya, silakan masukkan koordinat S 6.417919 E 106.957672 ke google earth (ketik saja cileungsi kidul pada "kolom cari") atau google map. Dengan mudah, tampilan bangunan Garuda Pancasila itu kentara.

Sejumlah blogger telah menampilkan bahasan Graha Garuda Tiara ini dalam blognya. Disebutkan bahwa bangunan itu milik keluarga Cendana yang dibangun sekitar 1995 namun macet pada 1997. Para remaja yang terlibat Kirab Remaja Nasional, program reguler Orba, sering diinapkan di sini.

"Tampaknya kompleks gedung ini tidak lagi dipergunakan dan terbengkalai, tersangkut kasus dana Jamsostek senilai 75 milyar," tulis blog beralamat ryosaeba.wordpress.com.

Sedangkan blog Arief di katawaktu.multiply.com mengisahkan bahwa kompleks Graha Garuda Tiara itu direncanakan rezim Soeharto sebagai kompleks olahraga, lengkap dengan hotel, yang konon untuk menandingi Senayan, kompleks olahraga peninggalan Soekarno.

Arief menceritakan, dulu dia memiliki seorang teman yang bekerja sebagai front desk di Hotel Garuda Tiara Convention, Cileungsi. "Dari penuturannya, teman saya menceritakan bahwa hotel tersebut cukup mewah dan banyak dihuni oleh para ekspatriat yang bekerja di kawasan Bekasi, Cibinong dan sekitarnya," tulisnya.

Seiring jatuhnya Soeharto dari kekuasaan, berakhir sudah riwayat Graha Garuda Tiara. Dari peta google earth, yang telihat hanya rumput ilalang yang memenuhi kawasan ratusan hektar itu. "Bangunan hotel yang tadinya berdiri megah kini menjadi rumah hantu," tulis Arief. (kilasberita.com/amz/dtc)

Ada Dua Kiblat Di Paramaribo

| | | 0 komentar
Waktu menunjukkan pukul 13:15 dan cuaca sangat cerah, langit tak berawan. Terdengar alunan azan yang memanggil umat untuk melaksanakan shalat Jumat di wilayah Blauwgrond, Paramaribo, Suriname, Amerika Selatan.

Sebagian jemaah di Masjid Darul Fallah yang masih berada di luar segera memasuki mesjid itu, sementara jemaah di Masjid Pemuda Indonesia yang berada tepat di seberang Mesjid Darul Fallah belum juga terlihat.

Muhammad Rofiq Muslimin seorang ustad muda usia, naik ke atas mimbar. Alumnus Al Azhar tahun 2003 itu memulai memberikan kutbah Jumat dan jemaah yang sebagian besar orang tua mendengarkannya dengan tekun.

Ustad kelahiran Demak, 25 tahun lalu itu menyampaikan kutbah dengan bahasa Jawa yang diselingi bahasa Belanda dengan mengutip sejumlah ayat-ayat Al Quran.

Dijelaskannya bahwa dalam beragama tidak boleh setengah-setengah, tetapi harus menyeluruh. "Jangan mengambil sebagian aturan yang kita senangi dan meninggalkan yang tidak disukai," katanya.

Langsung maupun tidak, pernyataan itu bisa dikaitkan dengan penyelenggaraan salat Jumat di Mesjid Pemuda Indonesia yang tepat di seberang Mesjid Darul Fallah.

Sekilas tidak ada perbedaan bentuk bangunan kedua mesjid tersebut, namun jika dilihat dari arah kiblat, terdapat perbedaan mencolok.

Mesjid Pemuda Islam berkiblat ke arah barat sebagaimana umumnya mesjid di Indonesia tanpa mempertimbangkan letak geografis Suriname yang berbeda dengan Indonesia padahal Mesjid Darul Fallah berkiblat ke Timur.

Mesjid Pemuda Islam masih mempertahankan tradisi lama yang mengarahkan kiblat ke barat seperti di Indonesia, sementara letak Ka`bah berada ke arah timur Suriname.

Bangunan mesjid Pemuda Islam adalah gambaran dari keluguan orang Jawa yang dipaksa berimigrasi oleh Belanda 114 tahun lalu. Para imigran itu mempertahankan tradisi yang dibawa dari Indonesia, termasuk dalam menentukan arah kiblat.

Dubes RI untuk Suriname Suparmin Sunjoyo ketika menerima delegasi dari Depnakertrans yang dipimpin Direktur Pemukiman Kembali Ditjen Mobilitas Penduduk Depnakertrans, Sugiarto Sumas, menjelaskan mesjid yang berkiblat ke arah barat bukan hanya mesjid Pemuda Indonesia.

Terdapat sejumlah mesjid lainnya di Suriname yang didirikan oleh keluarga keturunan Jawa yang mengarahkan kiblatnya ke Barat.

Ustadz Ali Arifin yang sudah bermukim 21 tahun di Paramaribo mengatakan untuk meluruskan arah kiblat itu kepada jemaah mesjid itu dilakukan pendekatan secara persuasif.

"Secara perlahan mereka akan berevolusi, baik karena tingkat pemahaman keagamaannya semakin tinggi atau karena orang yang dipanuti sudah tiada," kata Ali yang merupakan alumnus sebuah universitas di Libya itu.

Dari sejumlah kasus, jemaah di mesjid berkiblat barat itu bershalat ke timur karena mereka menyadari bahwa posisi mereka di Suriname memang berbeda dengan di Indonesia.

Artinya, arah kiblat pun juga berbeda pula. Sebagaimana arah kompas, mereka pun bershalat ke arah timur.

Karena itu Ali, Rofiq dan ustadz lainnya melakukan pendekatan secara persuasi karena penentuan kiblat di sejumlah mesjid tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan dan menjadikan tradisi di Indonesia sebagai acuan.

Dakwah di pedalaman Ustad Ali, mantan aktivis Muhammadiyah Padang itu, berdakwah tidak hanya pada masyarakat Jawa tradisional tersebut tetapi juga pada masyarakat Kreol (Afrika) dan Amerindian (Amerika Indian) di pedalaman Suriname.

Imam Mesjid Nabawi, Paramaribo, itu secara berkala berdakwah ke pedalaman.

"Cukup banyak orang Kreol yang dahulunya beragama Islam atau keturunan Islam, tetapi karena kemiskinan atau pengaruh majikannya beralih agama," katanya.

Indikasinya terlihat pada nama mereka yang masih berbau Islam, seperti Adam, Hawa, atau nama Islam lainnya.

"Kita menyampaikan dakwah itu melalui perbuatan dan sejumlah bantuan sosial seperti membantu membangun fasilitas umum, seperti perbaikan jalan desa, kamar mandi, MCK, pola hidup bersih dan sebagainya," kata Ali.

Secara bersamaan lalu diperkenalkan tentang ketuhanan dan dasar-dasar ilmu agama lainnya.

"Umumnya mereka bisa menerima. Karena itu tidak sedikit orang keturunan Afrika dan Amerindian yang memeluk agama Islam. Bagi yang bernama Yoseph kita ganti menjadi Yusuf dan bagi yang lain kita carikan nama baru yang Islami," katanya.

Tantangan lain adalah menyadarkan kembali generasi kedua, ketiga keturunan Jawa untuk kembali memeluk agama Islam.

Saat ini cukup banyak dari mereka yang memeluk agama lain karena berbagai sebab, termasuk karena perkawinan dengan etnis lain atau karena rendahnya pengetahuannya tentang agama.

Rofiq menyatakan kondisi itu menjadi tantangan bagi dirinya dan pendakwah lainnya. Sebagian dari keturunan Jawa itu hanya lupa menjalankan syariat agama Islam, tetapi sebagian lain memang betul-betul beralih agama.

Untuk yang pertama lebih mudah untuk mengajaknya kembali menjalankan syariat Islam. Untuk yang kedua, Rofiq menyatakan hal itu tergantung kepada hidayah (petunjuk) dari Allah.

Dia kembali kepada inti utama dalam beragama, yakni tidak ada paksaan dalam beragama. Hal itu menjadi pegangan bagi dirinya dalam berdakwah. Mereka, para pembawa kabar kemenangan itu hanya bisa menyampaikan, tetapi tidak bisa memaksa orang untuk memeluk suatu agama.

Pukul 14:00, suasana di Mesjid Pemuda Islam masih tetap sepi. Minggu ini mungkin jemaahnya tidak menyelenggarakan salat Jumat. Entahlah minggu-minggu berikutnya. [Erafzon SAS, Antara]
URL: http://www.gatra.com/2004-12-14/versi_cetak.php?id=50513

Julian Assange, Pemberontak Nyentrik nan Cerdas

| | | 0 komentar
Ada sejumlah fakta yang membuat Anda berpikir bahwa Julian Assange adalah tipikal pemberontak yang nyentrik, pemberani dan cerdas, dan mungkin menjadi idola Anda. Pergi kemana-mana mengenakan ransel. Tidak pernah tinggal di satu tempat, dan selalu berkomentar tajam.

Berikut adalah sejumlah fakta mengenai Julian Assange, pendiri situs WikiLeaks yang Kamis waktu setempat akan segera mengetahui apakah dia akan dibebaskan lewat uang jaminan senilai 200 ribu pounsterling (317 ribud dolar AS) dalam hubungannya dengan dakwaan kejahatan seks di Swedia, atau malah tidak.

Kehidupan Pribadi:

Assange lahir di Townsville, Australia, pada Juli 1971, dari pasangan yang berkecimpung di dunia teater dan sering melanglang buana. Ibunda Assange adalah seniman teater boneka.

Semasa remaja, Assange mendapatkan reputasinya sebagai programer komputer canggih. Pada 1995 dia ditahan dan dinyatakan bersalah karena terlibat peretasan. Dia didenda, tapi tidak sampai dipenjara, dengan catatan dia mau berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya itu.

Di usia 20an akhir, dia berkuliah di Universitas Melbourne University mengambil jurusan matematika dan fisika.

Assange tidak memiliki tempat tinggal tetap dan seringkali terlihat membawa-bawa sebuah ransel, pindah dari satu kota ke kota lainnya, dan tinggal dengan teman-temannya di banyak negara, dari Islandia sampai Kenya.

Dia digambarkan oleh orang-orang yang penah bekerjasama dengannya sebagai orang yang sangat cerdas, bermental baja, tekun, dan sedikit paranoid.

Dia terkenal karena gaya hidupnya yang luar biasa rahasia. Pernah suatu ketika dia dilaporkan membawa banyak ponsel dan percaya bahwa dia selalu dibuntuti seseorang.

Assange diincar di Swedia untuk diperiksa karena tuduhan pemerkosaan, penganiyaan seks, dan tindakan senonoh. Dia tengah berjuang melawan upaya ekstradisi dirinya ke Swedia. Dia membantah semua tuduhan itu.

Pengadilan Inggris mengabulkan permohonan penangguhan penahanannya dengan uang jaminan, namun jaksa mengajukan banding sehingga dia tetap harus menghuni bui.

Kendati Assange tengah menghadapi masalah hukum, WikiLeaks terus menyiarkan sejumlah bagian dari total sekitar 250.000 kawat diplomatik yang diperoleh situs itu, bekerjasama dengan banyak suratakbar di seluruh dunia untuk memperbesar dampak pengaruh mereka.

Laman WikiLeaks:

Assange mulai mengoperasikan WikiLeaks pada 2006, dengan menciptakan sebuah media pertemuan berbasis web bagi para pembocor dokumen.

Lamannya ini mempunyaia lima staf tetap, beberapa lusin relawan aktif dan 800 relawan paruh waktu.

Assange mengaku menerima ratusan dokumen dan tidak memiliki cukup sumber untuk mengelola semua itu.

Assange mengatakan dia masih meyakini masih adanya ruang untuk jurnalisme investigatif dan berharap bahwa WikiLeaks dapat melengkapi media tradisional.

Dia mengatakan bahwa WikiLeaks tidak pernah mengkompromikan sumber-sumbernya.

Assange adalah pengguna fanatik jejering sosial seperti Facebook dan Twitter, dan dia kadangkala men-tweet kalimat-kalimat tajam di Twitter.

Laman WikiLeaks memiliki antara 300.000 sampai 400.000 pengikut (follower). (*)

Reuters/Adam/Jafar/ antaranesw

Menguak Jejak Pepera di Papua

| | | 0 komentar
Dalam sejarah politik Indonesia, penyelenggaraan penentuan pendapat rakyat di Papua adalah sebuah misteri. Dalam misteri itu terpendam emosi dan sejarah relasi Papua dengan keindonesiaan. Tepat di jantung misteri itu pulalah, masyarakat Papua selalu mempersoalkan keindonesiaannya sampai kini.

Melalui proyek besarnya di tahun 2000, PJ Drooglever berhasrat untuk membongkar misteri itu. Hasil dari proyek penuh ambisi itu adalah terbitnya buku berjudul Een Daad van Vrije Keuze: De Papoea’s van westelijk New-Guinea en de grenzen van het zelbeschikkingsreecht pada tahun 2005. Tahun 2009, buku ini diterbitkan di Eropa dalam edisi bahasa Inggris. Tepat lima tahun kemudian buku itu terbit dalam bahasa Indonesia.

Karena buku ini membahas pelaksanaan penyelenggaraan penentuan pendapat rakyat (act of free choice/pepera), sambutan masyarakat Papua begitu antusias. Sejak terbit pertama di Belanda, buku ini telah menyihir banyak orang di Papua meskipun isi yang dikandung oleh buku ini terdengar secara samar-samar, tentu plus dengan bumbu-bumbunya. Akibatnya, dalam sekejap isi buku ini menjadi perbincangan dalam segala forum dan di semua tempat meskipun yang memperbincangkannya belum pernah bersitatap dengan buku bertebal hampir 900 halaman ini.
Dengan telah hadirnya edisi bahasa Indonesia, saat ini semua yang samar-samar dari buku ini menjadi benderang dan bisa dibaca oleh semua pihak di Papua dan luar Papua. Oleh karena itu, diskusi yang produktif mengenai temuan Drooglever pantas untuk digelar.

Papua, salah urus

Buku yang ditulis oleh profesor senior dalam bidang sejarah di Instituut voor Nederlandse Geschiedenis ini menguraikan masalah yang paling sensitif dalam relasi sejarah Papua dan Indonesia dengan Belanda, yaitu permasalahan seputar penyelenggaraan pepera dan suasana politik dunia yang melingkupinya.

Buku ini terdiri dari 14 bab, tetapi intinya hadir di dua bab terakhir. Pada bab 13 Drooglever mengungkapkan betapa kecewanya Ortiz Sanz (utusan PBB) kepada Indonesia karena mendapatkan Papua yang didatanginya telah berada dalam situasi yang salah urus. Sementara itu, gagasan referendum yang dibayangkan oleh Ortiz Sanz gugur sebelum bisa ia diskusikan secara matang karena pepera mengambil jalan musyawarah dalam pelaksanaannya (hal. 782). Akibatnya, posisi diplomat Bolivia yang menjadi utusan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB U Than ini untuk melaksanakan peran advis, bimbingan, dan turut serta dalam perancangan pepera menjadi minimal (hal. 682).

Sementara dalam bab 14 menyoroti permasalahan pembentukan dewan-dewan daerah yang akan menjadi Dewan Pepera. Prosesnya penuh dengan tekanan, begitu Drooglever menyimpulkan. Meskipun demikian, akibat berubahnya orientasi dan kepentingan masing-masing negara terhadap Indonesia, negara-negara lain tidak mampu untuk memengaruhi perkembangannya. Demi membangun kerja sama yang baik dengan Indonesia di masa depan, Belanda dan Amerika Serikat menerima hasil pepera.

Untuk kondisi itu, Drooglever mencatat bahwa Sekjen PBB bertolak dari laporan Ortiz Sanz dan tentu saja laporan dari pemerintah menerima penyelenggaraan pepera dengan menyatakan pemilihan bebas (act of free choice) telah terjadi di Papua meskipun dengan menggunakan kata sandang ’an’ (suatu). Sejak itu kedaulatan Indonesia di Papua diterima oleh komunitas internasional dengan segala dinamikanya (hal. 785).
Setelah hasil pepera diterima di kancah internasional, konflik mengenai Papua berakhir, sekaligus juga menandai berakhirnya perlombaan persenjataan global dengan medannya Indonesia waktu itu. Sebab, selama konflik itu, Rusia dan Cina telah memasok senjata besar-besaran ke Indonesia (hal. 385). Belanda juga memobilisasi persenjataannya. Sementara Amerika Serikat ingin mengendalikan kehadiran ribuan senjata modern itu, dengan sekaligus mengendalikan Indonesia.

Pelurusan sejarah

Meskipun tuntutan pelurusan sejarah di Papua tidak berkorelasi langsung dengan penulisan buku ini, tetapi orang-orang di Papua melihat hasil kerja Drooglever ini sebagai pelurusan sejarah yang mereka nantikan. Itulah yang menjadi penjelas mengapa buku ini disambut begitu gegap-gempita di Papua.

Buku ini sesunguhnya merupakan sebuah proyek historiografi semata, bukan politik. Demikian penegasan Drooglever. Hal yang paling menarik dari buku ini adalah cara penulisnya menempatkan pelaksanaan pepera di Papua dalam posisi Papua sebagai titik tuju pandangan dan kepentingan dunia dengan menariknya jauh ke belakang sampai pada abad ke-18.

Dalam situasi seperti itulah Papua kemudian menjadi agenda PBB di tahun 1960-an ketika Belanda dan Indonesia berebut pengaruh dunia. Sementara AS menjadi pihak pengaturnya dengan melibatkan Australia, sedangkan Indonesia memancing masuk Rusia dan China.

Singkatnya, Papua hanya sekadar menjadi wilayah perebutan, sementara orang-orang Papua menjadi pemain figuran dalam seluruh proses pertarungan politik global pasca-Perang Dunia II itu. Dalam seluruh permainan itu, tokoh-tokoh Papua yang telah mencoba menjadi tokoh protogonis sepertinya kelelahan karena kurang diapresiasi oleh semua pihak.

Buku ini sungguh mengagumkan karena berhasil menyajikan secara detail dan menyeluruh mengenai problematika dekolonisasi Papua dan dinamika politik yang melingkupi penyelenggaraan pepera.

Sudah sepantasnya buku ini disimak oleh berbagai kalangan, khususnya kalangan akademisi di Indonesia dan Papua. Sebab, Drooglever telah membuka jurus tantangan, dan sekaligus menunggu balasan dalam kajian-kajian sejarah politik yang adil dan bernas dari para akademisi Indonesia. Hanya dengan itu tantangan Drooglever bisa dijawab. Semoga.

Aminuddin Al Rahab Penulis Buku Heboh Papua dan Papua Roadmap

• Judul: Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri
• Penulis: PJ Drooglever
• Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
• Cetakan: I, 2010
• Tebal: 867 halaman
• ISBN: 978-979-21-2280-0

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/16/03553149/menguak.jejak.pepera.di.papua

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?