SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

"People Power" Siap Begerak

| | | 0 komentar
Para mantan aktivis era reformasi tahun 1998 yang tergabung dalam Indonesia Crisis Center (ICC) menanti sikap tegas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait kasus hukum yang menjerat dua Pimpinan KPK nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Mereka sepakat Presiden harus segera membebaskan keduanya dari proses hukum yang tidak jelas sebagaimana direkomendasikan oleh Tim Delapan.

Seperti yang diberitakan, Senin (23/10) besok Presiden SBY sedianya memberikan sikap terkait kasus Bibit dan Chandra tersebut seteleh menerima rekomendasi dari Tim Delapan serta berkonsultasi dengan Kapolri dan Jaksa Agung.

"Sikap kami jelas, mereka harus segera dibebaskan. Kasus ini jelas upaya sistematis pengkerdilan KPK. Semua sudah terbukti dari verifikasi Tim Delapan," kata mantan aktivis 98 Haris Rusly dalam acara deklarasi "Pengkhianatan Reformasi", di Gedung KPK, Minggu (22/11).

Haris menuntut Presiden harus segera memberikan kepastian kepada masyarakat yang telah resah dengan berbagai desas-desus yang berkembang akibat kasus yang melibatkan banyak petinggi negara ini.

"Presiden harus memberi kepastian, apakah akan menjalankan rekomendasi Tim Delapan atau tidak. Sikap diam Presiden justru menunjukkan dia tengah mengabaikan rekomendasi dari tim yang dibentuk berdasarkan surat keputusannya sendiri," tegas mantan aktivis 98 dari Universitas Gajah Mada ini.

Haris juga mengingatkan, jika sikap yang ditunjukkan Presiden pada Senin besok tidak sesuai dengan harapan masyarakat, maka ancaman gerakan rakyat yang revolusioner bisa muncul kembali.

Ia menilai selama ini masyarakat sudah jelas melihat bahwa proses hukum terhadap Bibit dan Chandra merupakan tindakan kriminalisasi yang tidak berdasar, sehingga keduanya harus segera dibebaskan dari segala tuntutan.

"Jika Presiden mengabaikan, ancamannya jelas people power akan bergerak kembali. Dan ini potensinya besar. Hawanya sudah terasa sekali," pungkas juru bicara ICC ini.

Pemain-pemain Bola yang Bunuh Diri

| | | 0 komentar
ADA pelajaran penting di balik kematian kiper Jerman, Robert Enke, beberapa waktu lalu. Popularitas ternyata tak menjamin kebahagiaan. Berbagai persoalan hidup terus saja menghajarnya. Karena tak kuat menanggung beban, dia memilih bunuh diri.

Enke bukan satu-satunya tokoh dari kalangan sepak bola yang kehilangan nyawa dengan tragis. Masih banyak nama-nama lain yang melakukan tindakan konyol tersebut. Berikut pelaku-pelakunya.

Justin Fashanu
Pada 1998, Justin Fashanu tewas gantung dri. Mantan pemain Manchester City era 1990-an itu nekat melakukannya karena dia tidak kuat dengan anggapan negatif terhadapnya.

Sebelum tewas, Fashanu dituduh mencabuli anak berumur 17 tahun. Itu dilakukannya usai menenggak minuman keras di apartemennnya. Tuduhan itu makin kuat ketika banyak bermunculan pemberitaan soal Fashanu yang bergabung di komunitas homoseksual.

Sergio Lopez Segu
Sergio Lopez Segu tewas secara tragis. Pada 4 November 2006, dia menabrakkan diri ke sebuah kereta api yang berjalan cepat. Nyawanya melayang seketika. Dia tewas di umur 39 tahun.

Mantan gelandang Barcelona era 1990-an tersebut nekat melakukannya karena tak kuat menahan cobaan hidupnya. Pemain yang sukses mengantarkan Barcelona menjuarai Piala Winners 1989 itu memang pensiun dini karena cedera lutut. Ini membuatnya depresi berat. Ditambah lagi pernikahannya gagal.

Paul Vaessen
Agustus 2001, sepak bola Inggris dihebohkan dengan tewasnya Paul Vaessen, Pemain Arsenal itu bunuh diri di bak mandi dengan cara mengonsumsi heroin hingga over dosis. Sebelumnya dia sempat ditangani oleh psikiatris, tapi gagal.

Perjalanan kaier pencetak gol kemenangan Arsenal ke gawang Juventus pada semifinal Piala Winners 1980 itu memang menyedihkan. Di musim pertamanya, dia memesona. Namun, di musim-musim berikutnya dia rentan cedera.

Vaessen lalu pensiun. Beberaap pekerjaan sempat digeluti. Mulai dari tukang pos hingga buruh bangunan. Sepertinya Vaessen tak bisa menerima kenyataan dan stres. Karena frustrasi, narkoba lalu dijadikan pelarian hingga mengakhiri hidupnya.

Asgotino Di Bartolomei
Kematian legenda AS Roma, Agostino di Bartolomei, juga menyedihkan. Pada 30 Mei 1994, dia menembak dirinya tepat di jantung. Diduga, Bartolomei bunuh diri karena depresi.

Dugaan penyebab depresi bermacam-macam. Diperkirakan dia tak kuat dengan bebam ekonomi yang mengimpit. Ada juga yang menduga dia tidak siap ketika pensiun dari sepak bola.

Kehidupannya berakhir mengenaskan. Selama aktif sebagai pemain, sepak terjang Bartolomei memang meyakinkan. Dia punya andil besar mengantarkan Roma merebut scudetto pada 1983. Tapi, setelah itu kariernya meredup dan sederet masalah pribadi terus-terusan mengganggunya.

Sandor Kocsis
Sandor Kocsis adalah striker hebat Barcelona di kurun waktu 1958-1965. Pada 22 Juli 1979, saat berumur 49 tahun, dia meninggal dunia. Sampai saat ini, banyak yang percaya dia tewas karena bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari lantai empat di sebuah rumah sakit. Namun, ada juga yang memberitakan murni kecelakaan.

Menjelang akhir hayatnya, kesehatan Kocsis memang menurun drastis. Striker yang punya julukan Golden Head ini menderita kanker perut dab leukimia. Diduga, karena sulit menyembuhkan dua penyakit itu, Kocsis stres lalu bunuh diri.

Juan Gamper
Juan Gamper adalah aktor penting di balik lahirnya Barcelona. Pria kelahiran Swiss ini juga presiden pertama klub asal Spanyol tersebut. Selama menjadi presiden, Barcelona dibawanya meraih beberapa gelar, di antaranya 11 Championnat de Catalunya dan enam Copa del Rey.

Gamper sangat menyokong nasionalisme Catalan. Akibatnya, pria yang juga pendiri klub asal Swiss, FC Zurich ini pun diusir keuar dari Spanyol. Karena tak kuat dengan perlakuan tersebut, Gamper bunuh diri.

Matthias Sindelar
Matthias Sindelar adalah salah satu pemain besar yang pernah dilahirkan Austria di era 1930-an. Tapi perjalanan hidupnya tragis. Kematiannya masih kontroversial. Ada yang bilang bunuh diri, namun ada juga yang menyebut dibunuh secara "halus".

Pada 23 Januari 1939, Matthias Sindelar bersama pacarnya, Camilla Castagnola ditemukan tewas di sebuah apartemen di Wina, Austria. Kematiannya diduga akibat keracunan kabon monoksida dari pemanas yang bocor. Dugaan lain, rezim Nazi terlibat karena saat itu Sindelar menolak bermain mewakili Jerman.

C16-09

Pahlawan

| | | 0 komentar
PADAsuatu saat,ketika kebetulan sedang berada di Belanda, saya sempat membaca sebuah surat kabar setempat memuat reportase mengenai seorang purnawirawan pimpinan militer Kerajaan Belanda yang dieluk-elukan sebagai pembela kepentingan dan penjunjung kehormatan militer Kerajaan Belanda di masa perang kemerdekaan Indonesia.


Perwira senior ini disanjung memiliki semangat keperwiraan, kepemimpinan, kedisiplinan, pengabdian, pengorbanan.Pendek kata,semua syarat untuk dinobatkan sebagai pahlawan mutlak terpenuhi. Pahlawan militer Kerajaan Belanda itu lahir di Istanbul,Turki, sebagai putra seorang warga Belanda beristri warga negara Yunani.

Selama masa Perang Dunia (PD) II, anak campuran Belanda- Yunani ini masuk ke dinas militer Belanda dan memperoleh pelatihan militer di Inggris. Setelah PD II usai,serdadu muda Belanda ini dikirim ke Sulawesi, tempat dia pada 1946 ditugaskan sebagai komandan Depot Special Forces, salah satu unit komando elite KNILuntuk menumpas kaum pemberontak yang ingin menghalangi pengembalian Hindia Belanda kembali menjadi jajahan Kerajaan Belanda.

Januari 1950,komandan muda Belanda ini memimpin Angkatan Perang Ratu Adil di Jawa Barat untuk melaksanakan kudeta terhadap pemerintahan Soekarno.Ternyata kudeta itu gagal, maka serdadu Belanda ini melarikan diri ke Singapura. Meski berulang kali Pemerintah Republik Indonesia menuntut perwira Belanda ini ke mahkamah militer atas kejahatan perang dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, Pemerintah Belanda tidak pernah menggubris, bahkan melindungi sampai akhirnya pendekar militer Belanda ini meninggal dunia di Purmerend, Belanda, pada 1987.

Nama pahlawan militer yang dielu-elukan koran Belanda itu adalah Westerling. Saya tidak percaya mengenai apa yang saya baca di media massa cetak Belanda itu sampai merasa perlu untuk berulang kali mengulang membacanya. Bagi saya, nama Westerling identik angkara murka seperti Hitler,Caligula,dan Attila. Bagi saya, Westerling adalah seorang penjahat perang bengis tak kenal perikemanusiaan yang menumpas ribuan jiwa rakyat Indonesia tidak berdosa, kecuali ingin memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negaranya!

Tidak pernah terlintas di benak, apalagi sanubari saya bahwa Westerling bisa dieluelukan sebagai seorang pahlawan, pembela kehormatan negara dan bangsa. Saya lupa bahwa Indonesia memang bukan Belanda. Apa yang dianggap pahlawan di Indonesia, belum tentu di Belanda. Begitu pun sebaliknya. Saya tidak pernah meragukan kemahapahlawanan Pangeran Diponegoro.

Tetapi jurnal sejarah perusahaan VOC milik Kerajaaan Belanda,yang ratusan tahun menjajah dan mengisap kekayaan Nusantara, mengabadikan nama Pangeran Diponegoro sebagai seorang pemberontak yang merusak ketenteraman kehidupan kaum penjajah di masa yang disebut oleh VOC sebagai Perang Jawa pada 1825–1830.Apabila Westerling bagi bangsa Indonesia adalah penjahat perang, maka Diponegoro bagi sejarawan VOC adalah teroris. Meski dihukum mati oleh pengadilan yang dikuasai Amerika Serikat, sebagian rakyat Irak tetap menganggap Saddam Hussein adalah seorang pembela kedaulatan bangsa dan negara mereka yang layak dihormati sampai akhir zaman.

Nama Jenderal George Armstrong Custer diabadikan dengan goresan tinta emas dalam lembaran sejarah militer United States of America atau Amerika Serikat (AS).Sebaliknya,nama Crazy Horse, pendekar Sioux yang mengalahkan laskar AS dan menewaskan Jenderal Custer di pertempuran Little Bighorn, Montana, pada 1876 selalu dikenang Suku Sioux sebagai pahlawan pembela hak-hak asasi penduduk asli Amerika.

Saya sempat terperangah ketika menyaksikan patung Rahwana berdiri tegak dan megah di tengah Kota Kolombo, Sri Lanka, sebagai lambang semangat kepahlawanan bangsa tersebut. Itu akibat saya lupa bahwa nama Sri Lanka di masa lalu adalah Alengkadiraja, Soekarno dan Hatta sebelum memproklamirkan kemerdekaan bangsa In-donesia sempat berulang kali ditangkap, dijebloskan ke penjara, dibuang ke pengasingan karena divonis pengacau dan pemberontak oleh para penegak hukum kaum penjajah.(*)

JAYA SUPRANA

Pelacur Markonah Kibuli Bung Karno

| | | 0 komentar
Raja Idrus dan Ratu Markonah. Kedua nama ini membuat geger Indonesia pada zaman presiden Soekarno. Waktu itu sekitar tahun 1950-an, Indonesia sedang berjuang membebaskan Irian Barat. Markonah berumur 50-an. Wajahnya lumayan menarik. Tapi ia memiliki cacat di matanya sehingga selalu memakai kaca mata hitam.

Pasangan suami-istri itu mengaku sebagai raja dan ratu Suku Anak Dalam, Sumatera. Mereka lantas menemui sejumlah pejabat dengan mengaku sedang melakukan muhibah ke sejumlah daerah di tanah air. Dengan dandanan yang meyakinkan, para pejabat pun menyambut dengan tangan terbuka atas kunjungan Raja Idrus dan sang permaisuri.

Hebatnya para pejabat memberikan sambutan yang luar biasa kepada mereka. Mereka dijamu, dielu-elukan, diajak foto bersama dan mendapat liputan media massa. Entah bagaimana ceritanya, kemudian ada seorang pejabat yang memperkenalkan sang raja dan ratu itu kepada Presiden Soekarno.

“Pejabat ini, saya nggak tahu namanya, menyampaikan ke Bung Karno, kalau Raja Idrus dan Ratu Markonah sudah seharusnya diterima di istana. Sebab raja dan ratu itu bisa membantu pembebasan Irian Barat,” jelas sejarahwan Universitas Indonesia (UI) Anhar Gonggong saat berbincang dengan detikcom.

Kala itu Bung Karno memang sedang membutuhkan dukungan rakyat untuk membebaskan Irian Barat yang masih dikuasai Belanda. Maka Soekarno pun mengundang Idrus dan Markonah ke Istana Merdeka. Di istana, tentu saja keduanya mendapat sambutan dan dijamu layaknya tamu terhormat. Tidak ketinggalan mereka juga diberi uang untuk misi membantu pembebasan Irian Barat. Bahkan diberitakan mereka menginap dan makan gratis di hotel selama berminggu-minggu.

Pertemuan Idrus dan Markonah dengan Bung Karno pun diberitakan media massa waktu itu. Koran Marhaen dan Duta Masyarakat waktu itu memasang foto pertemuan Markonah dengan Bung Karno. Di foto itu, Markonah dengan kaca mata hitamnya bersama sang suami berpose bersama Bung Karno. Di keterangan foto disebutkan, Raja Idrus dan Ratu Markonah akan membantu pembebasan Irian Barat.

Namuan kenyataan sering kali tidak seindah harapan. Fakta berbicara lain tentang Raja dan Ratu unik tersebut. Idrus dan Markonah yang dianggap raja dan ratu yang bisa membantu Indonesia membebaskan Irian Barat ternyata hanya penipu kelas kakap. Kedok mereka terbongkat saat suami istri itu jalan-jalan di sebuah pasar di Jakarta.

“Saat itu ada tukang becak yang mengenali Idrus, karena Idrus itu ternyata tukang becak. Dari sinilah wartawan melakukan investigasi dan membongkar kedok penipu itu. Markonah ternyata seorang pelacur kelas bawah di Tegal, Jawa Tengah. “Lucu itu, presiden kok bisa tertipu,” beber Anhar Gonggong yang kemudian tertawa terkekeh.

Anhar menganalisa, Soekarno bisa tertipu Idrus dan Markonah karena ia sedang mencari dukungan rakyat untuk proyek pembebasan Irian Barat. Selain itu juga, karena sebagai pemimpin, Bung Karno ingin menunjukkan dirinya dekat dengan rakyat. “Itu penyakit pemimpin kita, selalu ingin kelihatan dekat dengan rakyat,” ulas Anhar.

Skandal Idrus dan Markonah merupakan kasus penipuan nasional pertama yang dialami negeri ini dengan korban istana. Ternyata penipuan dengan korban istana tidak berhenti pada zaman Soekarno. Kasus serupa bahkan kembali berulang pada pemerintahan selanjutnya.


sumber kompasiana

Antara Minah dan Anggodo, Beda Banget!

| | | 0 komentar
Mantan Sekretaris Fraksi PDI-P, Jacobus Majong Padang, mengaku miris atas terjadinya ketimpangan hukum yang kini sedang dipertontonkan oleh pemerintahan SBY-Boediono. Politisi yang kerap disapa Kobu ini berujar, kaum Marhaen—sebutan kaum proletar—kini seakan makin diproklamasikan tertindas, belum merdeka.

"Yang dipertontonkan jelas sekali, perlakuan hukum yang tidak adil. Contoh konkret nenek Minah di Banyumas, Jawa Tengah. Dia dihukum 1,5 bulan karena mencuri 3 buah kakao di kebun. Meski sudah berusaha meminta maaf, aparat tetap menegakkan hukum. Dalih, menegakkan hukum adil bagi yang melanggar hukum," kata Kobu, Sabtu (21/11).

Menurut Kobu, aparat hukum dalam kasus hukum yang dihadapi Minah berusaha menegakkan hukum seakan demi keadilan. Hal ini seakan kontras dengan apa yang terjadi, baik terhadap dugaan penyuapan yang dilakukan Anggodo Widjojo, maupun kasus skandal aliran dana Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun.

"Terkesan, aparat penegak hukum ingin menutupi adanya pencurian uang negara sebesar Rp 6,7 triliun di Bank Century. Keadilan sangat mahal di negeri ini. Kaum Marhaen memang belum merdeka. Pemerintah jangan pertontonkan ketimpangan hukum," kata Kobu lirih.

Tragedi "Sengkon-Karta" Gorontalo

| | | 0 komentar
Oleh: Oleh Debby Hariyanti Mano

Pada ulang tahunnya yang ke-61 pada 1 Juli 2007 lalu, sudah seharusnya Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bertabur ucapan selamat dan kado penghargaan atas prestasi kerjanya selama ini.

Namun, tragedi "Sengkon-Karta" yang terulang di Gorontalo mungkin menjadi kado terburuk atau bahkan kado yang paling bermakna bagi Polri diusianya yang ke-61 tahun itu.

Masih jelas dalam ingatan banyak orang bahwa pada 1974 pernah terjadi kasus yang menimpa Sengkon dan Karta, di mana masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara atas tuduhan merampok dan membunuh suami-istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi, Jabar.

Ternyata, kebenaran dan nasib baik saat itu berpihak pada Sengkon dan Karta serta berbalik menjadi tombak yang `melukai` para penegak hukum yang menjebloskannya ke penjara, setelah pembunuh asli (sebenarnya) Sulaiman-Siti Haya terungkap.

Kini, lagi-lagi tiga lembaga penegak hukum di Indonesia mendapat tamparan keras dengan adanya kasus "peradilan sesat" terhadap Risman Lakoro dan Rostin Mahaji, warga Kabupaten Boalemo, Gorontalo, yang menjalani hukuman di balik jeruji besi atas kesalahan yang tak pernah dilakukannya.

Pada tahun 2002, suami istri tersebut divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tilamuta atas pembunuhan terhadap anak gadisnya, Alta Lakoro.

Tetapi, pada Rabu 26 Juni 2007, kebenaran terkuak. Alta yang menjadi korban dalam "pembunuhan palsu" tersebut datang ke kampung halamannya dan menggemparkan warga Desa Modelomo, Kecamatan Tilamuta, Boalemo, yang menyakini Alta telah tewas.

Mulanya Alta hanya berniat melayat atas meninggalnya anak tirinya di Boalemo. Tetapi, kedatangannya tersebut disambut dengan mata melotot alias kaget dan tak percaya oleh masyarakat setempat karena sebelumnya Alta diyakini telah tewas menjadi korban kekerasan orang tuanya.

Warga tak menyangka, kerangka `Alta` yang sebelumnya menjadi awal mula proses penyidikan atas kasus pembunuhan yang dituduhkan kepada Risman-Rostin tersebut, kini menjadi manusia utuh lagi.

Dipaksa Mengaku

Meskipun lega karena anaknya masih hidup, namun Risman-Rostin yang sudah terlanjur menjalani masa tahanannya di Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo hingga tuntas, menyatakan keberatan atas terenggutnya masa depan dan nama baik keduanya.

Risman-Rostin yang sehari-harinya bekerja sebagai petani penggarap tersebut akhirnya angkat bicara soal kronologis penyidikan hingga vonis hakim atas diri mereka pada 2001. Risman mengaku telah memukul anaknya, Alta Lakoro, di bagian kaki agar anak gadisnya tersebut tidak pulang ke rumah larut malam.

Pemukulan tersebut berbuntut kaburnya Alta pada hari yang sama dan menghilang tanpa jejak, hingga pada tahun 2002 Risman dan Rostin dipanggil pihak kepolisian untuk dimintai keterangan sehubungan dengan penemuan kerangka manusia.

"Polisi memaksa kami untuk mengakui bahwa kerangka tersebut adalah kerangka Alta," ujar Risman kepada ANTARA.

Anehnya, kata dia, saat kedua orang tua Alta itu ingin melihat kerangka yang dimaksud, polisi tidak pernah memperkenankannya.

Yang lebih menyedihkan, Risman mengungkapkan bahwa keduanya dipaksa untuk mengakui penganiayaan yang mengakibatkan kematian terhadap anaknya.

"Kami terus disiksa bahkan meninggalkan cacat di tubuh saya," ujarnya sambil memperlihatkan jari-jarinya yang tampak tak normal lagi akibat penganiayaan dimaksud.

Sejak dari pemeriksaan di tingkat polisi, kemudian berlanjut ke Pengadilan Limboto dengan tuntutan tiga tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) hingga putusan oleh Hakim, keduanya bahkan tidak disediakan penasihat hukum secara cuma-cuma karena tak sanggup membayar. Padahal, ancaman hukuman atas pasal yang dituduhkan pada mereka lebih dari lima tahun penjara.

Merasa tak sanggup dihimpit penderitaan tersebut, akhirnya Risman-Rostin pasrah dan terpaksa rela atas tuduhan pelanggaran terhadap Pasal 170 dan 351 ayat 3 KUHP.

"Kami awalnya tidak mau mengakui kesalahan yang dituduhkan, tetapi karena terus disiksa, kami akhirnya tak tahan lagi," ujarnya dengan nada sedih mengenang masa pahit itu.

Pengakuan Alta

Pascakegemparan dengan kemunculannya, Alta enggan ditemui wartawan untuk sekedar berbagi cerita atas atas kaburnya ia sejak tahun 2001 tersebut.

"Saya gugup dan stress kalau ada kamera. Saya tidak mengira ini semua terjadi akibat kabur dari rumah," ujarnya ketika ditemui ANTARA di salah satu sudut Kota Gorontalo.

Saat dipukul orang tuanya dan dikunci dalam kamar pada tahun 2001, Alta mengaku kabur melalui pintu jendela dan menumpang sebuah truk hingga sampai ke Kota Gorontalo.

Dalam masa `pelarian` tersebut, ia sempat bekerja menjadi pelayan di sebuah rumah makan, dan telah menikah hingga dua kali dan melahirkan dua anak yang semuanya telah meninggal dunia.

Sejak kabur, ia tak pernah lagi mengunjungi dan memberi kabar kepada orang tuanya, dan bahkan sama sekali tidak mengetahui peristiwa tragis yang menimpa Risman-Rostin.

"Saya baru tahu waktu datang melayat ke Boalemo bahwa orang tua saya dipenjara tiga tahun," katanya.

Awalnya ia takut bertemu kedua orang tuanya karena merasa bersalah atas kejadian tersebut. Namun, atas dorongan dari keluarga akhirnya ia pun mau melakukan hal itu dan menceritakan kejadian sebenarnya.

Ajukan PK

Kasus `Sengkon-Karta" versi Gorontalo ini menyisakan banyak kejanggalan dan terjadi pertama kali di Indonesia, karena ternyata korban pembunuhan `kembali hidup`.

Dalam babak `Sengkon dan Karta`, pembunuh sebenarnya terungkap ketika Sengkon sedang sekarat di LP Cipinang, Jakarta, dan menimbulkan rasa iba dari seorang narapidana di tempat yang sama bernama Gunel.

Gunel, sang pembunuh sebenarnya dengan jujur dan merasa berdosa meminta maaf kepada Sengkon yang harus mendekam di penjara karena perbuatan yang tidak dilakukannya.

Gunel yang saat itu juga masuk LP Cipinang karena kasus lain itu, kemudian mengaku bahwa ia bersama teman-temannya telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya, bukan Sengkon dan Karta.

Setidaknya pengakuan Gunel menutup kasus Sengkon Karta dengan `Happy Ending`.

Namun, kasus Risman dan Rostin harus kembali menjalani proses yang panjang dan melelahkan untuk bisa `mengadili` balik para penegak hukum yang menjebloskannya ke Lapas Gorontalo.

"Kami akan mengajukan Peninjauan Kembali, merehabilitasi nama baik serta melaporkan hal ini ke Komnas HAM," kata Salahudin Pakaya, salah seorang anggota tim kuasa hukum Risman-Rostin

Terlebih lagi, katanya, vonis terhadap Risman-Rostin, dinilai cacat hukum karena hanya memenuhi satu unsur barang bukti, yakni pengakuan terdakwa.

Salahudin menjelaskan bahwa seharusnya yang dijadikan dasar pengambilan keputusan minimal ada dua dari lima alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat-surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

"Tapi, dalam kasus ini pengakuan terdakwa menjadi satu-satunya bukti. Itu pun pengakuan yang terpaksa dari terdakwa," katanya.

Sementara kerangka yang diduga Alta dan dijadikan barang bukti pada tahun 2001, tidak masuk dalam kategori barang bukti karena ternyata tidak melalui proses identifikasi yang legal, yakni visum et repertum.

"Siapa yang menemukan kerangka pun bagi kami belum jelas. Sedangkan yang memperkuat dugaan hanya baju Alta yang ditemukan bersama kerangka tersebut," ujarnya lagi.

Seharusnya kasus `Sengkon-Karta` tak terulang lagi dan membuka mata serta nurani bagi para penegak hukum yang seharusnya memberi keadilan bagi masyarakat, terlebih pada kaum lemah seperti Risman dan Rostin.

Namun, kini Risman dan Rostin pun kembali menjadi korban "salah adili" dan terpaksa harus menelusuri sebuah lorong gelap jalur hukum yang pernah dilalui Sengkon-Karta.

Dua kasus serupa tapi tak sama itu seakan menguatkan anekdot bahwa di dunia ini yang ada hanya pengadilan, bukan keadilan. (*)
COPYRIGHT © 2007 ANTARA

Elegi Minah dan Tiga Buah Kakao di Meja Hijau...

| | | 0 komentar
Minah (55) hanya dapat meremas kedua belah tangannya untuk menepis kegalauan agar tetap tegar saat menyampaikan pembelaan atau pleidoi di hadapan majelis hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (19/11).

Tanpa didampingi pengacara, ia menceritakan bahwa alasannya memetik tiga buah kakao di kebun PT Rumpun Sari Antan 4, pertengahan Agustus lalu, adalah untuk dijadikan bibit.

Nenek tujuh cucu yang buta huruf ini sesekali melemparkan pandangan kepada beberapa orang yang dikenal guna memperoleh kekuatan. Ia berusaha memastikan bahwa pembelaannya dapat meyakinkan majelis hakim.

Dengan menggunakan bahasa Jawa ngapak (dialek Banyumasan) bercampur bahasa Indonesia, Minah menuturkan, tiga buah kakao itu untuk menambah bibit tanaman kakao di kebunnya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. ”Kalau dipenjara, inyong (saya) enggak mau Pak Hakim. Namung (cuma) tiga buah kakao,” ujar Minah kepada majelis hakim.

Minah mengaku sudah menanam 200 bibit pohon kakao di kebunnya, tetapi ia merasa jumlah itu masih kurang. Namun, belum sempat buah tersebut dibawa pulang, seorang mandor perkebunan, Sutarno, menegurnya. Minah lantas meminta maaf dan meminta Sutarno untuk membawa ketiga buah kakao tersebut.

Alih-alih permintaan maafnya diterima, manajemen PT RSA 4 malah melaporkan Minah ke Kepolisian Sektor Ajibarang, akhir Agustus lalu. Laporan itu berlanjut pada pemeriksaan kepolisian dan berakhir di meja hijau.

Minah sudah berusaha melepaskan diri dari jerat hukum. Tapi usahanya sia-sia. Hukum yang mestinya mengayomi masyarakat dengan menegakkan keadilan, bagi nenek Minah, ternyata tak punya nurani. Hukum kita rupanya tak memberi ampun bagi orang kecil seperti Minah. Tetapi, koruptor pencuri miliaran rupiah uang rakyat melenggang bebas dari sanksi hukum.

Di Jawa Tengah, misalnya, empat bekas anggota DPRD dan aparat Pemerintah Kota Semarang yang menjadi terpidana kasus korupsi dana APBD Kota Semarang tahun 2004 sebesar Rp 2,16 miliar divonis bebas. Mereka bebas dari sanksi hukum setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali mereka. MA menyatakan keempat terpidana itu tidak melakukan tindak pidana.

Muramnya penuntasan masalah hukum di Jateng masih ditambah lagi dengan putusan hakim yang hanya memberikan hukuman percobaan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Salah satunya dijatuhkan kepada Ketua DPRD Jateng periode 1999-2004, Mardijo. Terdakwa korupsi dobel anggaran APBD Jateng sebesar Rp 14,8 miliar ini hanya diberi hukuman percobaan selama dua tahun.

Minah memang tak mengerti masalah hukum seperti para terpidana dan terdakwa kasus korupsi itu. Namun, dengan berkata jujur, ia memiliki keyakinan bahwa ia mampu menghadapi rimba hukum formal yang tidak dimengertinya sama sekali.

Terhitung tanggal 13 Oktober sampai 1 November, Minah menjadi tahanan rumah, yakni sejak kasusnya dilimpahkan dari kepolisian kepada Kejaksaan Negeri Purwokerto. Sejak itu hingga sekarang, ia harus lima kali pergi pulang memenuhi panggilan pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Purwokerto, dan persidangan di Pengadilan Negeri Purwokerto.

Rumah Minah di dusun, di pelosok bukit. Letaknya sekitar 15 kilometer dari jalan utama Ajibarang-Wangon. Perjalanan ke Purwokerto masih menempuh jarak sejauh 25 kilometer lagi. Jarak sepanjang itulah yang harus ditempuh Minah setiap kali memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri Purwokerto dan Pengadilan Negeri Purwokerto.

Satu kali perjalanan ke Purwokerto, Minah mengaku, bisa menghabiskan Rp 50.000 untuk naik ojek dan angkutan umum. Ditambah lagi untuk makan selama di perjalanan. ”Kadang disangoni anak kula (kadang dibiayai anak saya),” katanya.

Sebelum menyampaikan putusan, majelis hakim juga pernah bertanya kepada Minah, siapa lagi yang memberikannya ongkos ke Purwokerto. ”Saya juga pernah dikasih Rp 50.000 sama ibu jaksa, untuk ongkos pulang,” kata Minah sambil menoleh kepada jaksa penuntut umum Noor Haniah.

Noor Haniah yang mendengar jawaban itu hanya dapat memandang lurus ke Minah.

Elegi Minah tentang tiga kakao yang diambilnya melarutkan perasaan majelis hakim. Saat membacakan pertimbangan putusan hukum, Ketua Majelis Hakim Muslich Bambang Luqmono sempat bersuara tersendat karena menahan tangis.

Muslich mengaku tersentuh karena teringat akan orangtuanya yang juga petani.

Majelis hakim memutuskan, Minah dihukum percobaan penjara 1 bulan 15 hari. Jadi, Minah tak perlu menjalani hukuman itu, dengan catatan tidak melakukan tindak pidana lain selama masa percobaan tiga bulan.

Persidangan ditutup dengan tepuk tangan para warga yang mengikuti persidangan tersebut.

Kasus Minah bisa menjadi contoh bahwa penuntasan masalah hukum di negeri ini masih saja berlangsung tanpa mendengarkan hati nurani, yaitu rasa keadilan....

sumber kompas

Warga Diancam Oknum Pemerintah Agar Menolak Greenpeace

| | | 0 komentar
Sejumlah aktivis Greenpeace membatalkan keputusan mereka untuk meninggalkan hutan rawa gambut Semenanjung Kampar, Riau dengan tetap bertahan di kamp perlindungan iklim menyusul didapatkannya dukungan dari warga setempat.

"Kami menarik keputusan kemarin dan menyatakan tetap bertahan di rawa gambut ini karena diminta warga," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, di Semenanjung Kampar, Riau, Minggu (15/11).

Sebelumnya, ratusan warga dari Semenanjung Kampar mendatangi Kamp Perlindungan Iklim Greenpeace yang berada di tepi Sungai Kampar dan menyatakan dukungan agar para penggiat lingkungan itu tidak ke luar dari daerah itu.

Menurut warga, jumlah masyarakat yang menolak kehadiran Greenpece di Semenanjung Kampar dan melakukan demonstrasi sehari sebelumnya jauh lebih sedikit dibanding warga yang mendukung.

Karena sejak para penggiat lingkungan itu hadir dan kemudian mendirikan kamp yang bertujuan menyelamatkan hutan Indonesia, membawa dampak positif bagi warga khususnya terkait ancaman kerusakan hutan alam di daerah itu.

Bustar membantah jika aksi dukungan warga tersebut merupakan manuver terhadap perlawanan masyarakat yang tidak menginginkan Greenpeace. Pihaknya juga mengaku tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk aksi dukungan tersebut.

Pihaknya juga telah berkonsultasi baik dengan kuasa hukum atau kepolisian setempat dan keputusan Greenpeace untuk tetap bertahan di area lahan gambut itu bukan merupakan tindakan yang melawan hukum.

"Opini terjadi penolakan di tengah masyarakat merupakan hal yang tidak benar, namun sepenuhnya diserahkan kepada keputusan aparat hukum setempat," katanya.

"Secara profesional, jika polisi ingin mengusir kami silakan, tapi kami akan tetap bertahan bersama masyarakat," tegasnya.

Di lokasi itu warga mendukung Greenpeace setelah sehari sebelumnya mereka ikut berdemonstrasi. Mereka mengaku menyesal dan menyatakan ketidaktahuan kalau mereka telah diperalat.

Suwandi (20), warga Desa Teluk Meranti, mengatakan, beberapa hari sebelum aksi penolakan itu digelar tekanan dan ancaman yang didapat warga dari aparatur pemerintah setempat cukup tinggi.

Bagi mereka yang berstatus sebagai guru honor akan diberhentikan dan bagi mereka yang berstatus pegawai negeri sipil diancaman mutasi jika tidak mendukung hengkangnya Greenpeace dari kawasan hutan alam itu.

"Warga telah dibodohi, diadu domba dan diperalat. Jika mereka tetap mengusir Greenpeace maka PT Riau Andalan Pulp and Paper juga harus diusir karena telah merusak hutan kami," ujarnya.


BNJ

Editor: bnj

Sumber : ANT

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?