SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Bung Hatta & Sepatu Bally yang Tak Pernah Terbeli

| | | 0 komentar
Dandanan mentereng, rumah, dan mobil mewah agaknya sudah menjadi gaya hidup para pejabat saat ini. Masyarakat pun kembali merindukan figur-figur pemimpin yang sederhana dan pantas untuk dijadikan teladan.

Suatu hari, di tahun 1950, Wakil Presiden Muhammad Hatta pulang ke rumahnya. Begitu menginjakkan kaki di rumah, ia langsung ditanya sang istri, Ny Rahmi Rachim, tentang kebijakan pemotongan nilai mata ORI (Oeang Republik Indonesia) dari 100 menjadi 1.

Pantas saja hal itu ditanyakan, sebab, Ny Rahmi tidak bisa membeli mesin jahit yang diidam-idamkannya akibat pengurangan nilai mata uang itu. Padahal, ia sudah cukup lama menabung untuk membeli mesih jahit baru. Tapi, apa kata Bung Hatta?

"Sunggguhpun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapa pun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi, ya?" jawab Bung Hatta.

Kisah mesin jahit itu merupakan salah satu contoh dari kesederhanaan hidup proklamator RI Bung Hatta (1902-1980) dan keluarganya. Sejak kecil, Bung Hatta sudah dikenal hemat dan suka menabung. Akan tetapi, uang tabungannya itu selalu habis untuk keperluan sehari-hari dan membantu orang yang memerlukan.

Saking mepetnya keuangan Bung Hatta, sampai-sampai sepasang sepatu Bally pun tidak pernah terbeli hingga akhir hayatnya. Tidak bisa dibayangkan, seorang yang pernah menjadi nomor 2 di negeri ini tidak pernah bisa membeli sepasang sepatu. Mimpi itu masih berupa guntingan iklan sepatu Bally yang tetap disimpannya dengan rapi hingga wafat pada 1980.

Bung Hatta baru menikah dengan Ny Rahmi 3 bulan setelah memproklamasikan kemerdekaan RI bersama Bung Karno atau tepatnya pada 18 November 1945. Saat itu, ia berumur 43 tahun. Apa yang dipersembahkan Bung Hatta sebagai mas kawin? Hanya buku "Alam Pikiran Yunani" yang dikarangnya sendiri semasa dibuang ke Banda Neira tahun 1930-an.

Setelah mengundurkan diri dari jabatan Wapres pada tahun 1956, keuangan keluarga Bung Hatta semakin kritis. Uang pensiun yang didapatkannya amat kecil. Dalam buku "Pribadi Manusia Hatta, Seri 1," Ny Rahmi menceritakan, Bung Hatta pernah marah ketika anaknya usul agar keluarga menaruh bokor sebagai tempat uang sumbangan tamu yang berkunjung.

Ny Rahmi mengenang, Bung Hatta suatu ketika terkejut menerima rekening listrik yang tinggi sekali. "Bagaimana saya bisa membayar dengan pensiun saya?" kata Bung Hatta. Bung Hatta mengirim surat kepada Gubernur DKI Ali Sadikin agar memotong uang pensiunnya untuk bayar rekening listrik. Akan tetapi, Pemprov DKI kemudian menanggung seluruh biaya listrik dan PAM keluarga Bung Hatta.

Bung Hatta adalah pendiri Republik Indonesia, negarawan tulen, dan seorang ekonom yang handal. Di balik semua itu, ia juga adalah sosok yang rendah hati. Sifat kesederhanaannya pun dikenal sepanjang masa. Musisi Iwan Fals mengabadikan kepribadian Bung Hatta itu dalam sebuah lagu berjudul "Bung Hatta".

Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu


sumber http://www.detiknews.com/read/2011/11/15/170957/1767957/10/?992204topnews

Menggugat Pembantaian Rawagede

| | | 0 komentar
Menggugat Pembantaian Rawagede

Dia sudah cukup renta. Pada usia 87 tahun, dengan geligi tandas dan langkah agak limbung, Saih bin Sakam menyimpan kenangan buruk itu. Dia bersyukur, selamat dari pembantaian keji Belanda di Rawagede, Karawang, Jawa Barat, 64 tahun silam. Tapi Saih tak pernah lupa.

Dengan sisa kekuatannya—bahkan untuk memakai sepatu dia harus dibantu orang lain, Saih pergi ke Belanda pada November tahun lalu. Junito Drias dari Radio Nederland, sempat merekam lawatan Saih ke negeri yang pernah merampas hidup keluarganya itu. “Saya tak dendam,” ujar Saih. Wajahnya penuh kerut. Pecinya sedikit melorot.

Mengenang kembali proklamasi Republik Indonesia 66 tahun silam, tentu kisah Saih ini patut kembali disimak. Dia adalah saksi dari pembantaian keji, sebuah kejahatan perang Belanda di Indonesia: 431 warga Rawagede tumpas. Termasuk ayah, dan kawan-kawan Saih.

Sebagai saksi tragedi Rawagede, Saih ingin menuntaskan hal mengganjal itu dalam sisa hidupnya. “Daripada kepikiran terus, yang penting Belanda minta maaf kepada Indonesia,” ujar Saih dalam rekaman video Radio Nederland itu.

Kisah itu bermula 9 Desember 1947, tatkala Belanda melancarkan agresi ke republik Indonesia yang masih muda. Sekitar 300 serdadu Belanda menyerbu Rawagede, kampung petani miskin yang jadi basis gerilyawan republik.

Dipimpin Mayor Alphons Wijnen, ratusan serdadu Belanda menyisir desa itu. Tak satu pun jejak gerilyawan ditemukan. Warga juga bungkam. Murka oleh pembangkangan itu, Wijnen memaksa semua lelaki di atas 15 tahun berkumpul di lapangan. Matahari belum tinggi saat itu. Warga pun berbaris di lapangan.

Para serdadu itu tiba-tiba mengokang senjata. Lalu, trat-tat-trat-tat. Peluru melesat, ratusan warga roboh bersimbah darah. Ada yang mencoba lari, tapi peluru laknat itu lebih cepat ketimbang kaki-kaki kurus para petani.

Saih bin Sakam lolos dari maut. Dia hanya terluka di punggung, dan tangan. Kepada Radio Nederland, Saih menunjukkan bekas luka tembak itu. “Diberondong peluru di badan seperti ini”, ujar Saih. Di punggung, ada bekas lingkaran hitam. “Belum puas kali, maka saya ditembak lagi di bagian tangan,” ujar Saih.

Menurut dia, korban pembantaian hari itu hanya kaum lelaki. Kebanyakan pemuda. Para perempuan dan anak-anak, selamat. (Baca detil kisah pembantaian di Yang Terserak di Rawagede)

Mencari Lukas

Apa yang dicari Belanda di Rawagede? “Mereka mencari Kapten Lukas Kustario,” ujar sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr Baskara Wardaya kepada VIVAnews, pekan lalu di Yogyakarta. Lukas adalah komandan kompi Siliwangi .

Dijuluki “Begundal Karawang”, Lukas memang orang paling diuber Belanda. Ulahnya memusingkan. Dia kerap menyerang pos militer. Dia memimpin pasukannya membajak kereta api, menggasak senjata, dan amunisi kumpeni.

Rawagede sendiri adalah jalur lintasan para gerilyawan. Berbagai laskar rakyat singgah di sana. Juga para begundal dan perampok.” Lukas adalah target Belanda,” kata Baskara. Rakyat Rawagede sendiri membela gerilyawan itu.

Itu sebabnya, kata Baskara, mereka bungkam. Karena bungkam itu, Belanda marah. “431 orang dibunuh. Ada beberapa yang lolos, dan pura-pura mati. Mereka lalu menceritakan peristiwa itu,” kata Baskara menambahkan.

Saih pergi ke Belanda atas undangan Komite Kehormatan Utang Belanda. Dia sebetulnya ingin bertemu Ratu Belanda saat ini, Beatrix. “Kepinginnya sih Ratu bertemu, dan minta maaf. Tapi yang penting, berjabat tangan. Kita kan juga berterima kasih, dan saya memaafkan,” kata Saih. Sayang, untuk alasan yang kurang jelas, Ratu Beatrix menolak bertemu Saih.

Selain Ratu Beatrix, Saih juga ditampik oleh parlemen Belanda dari Komisi Luar Negeri. Tak jelas juga alasannya. Namun ada yang melegakan: Saih boleh bercerita kepada anak-anak sekolah di Kota Gronigen, Belanda Timur Laut.

Kepada anak-anak SD, Saih bercerita bahwa dia tak akan menggugat tentara Belanda. Dia ingin Belanda minta maaf kepada Indonesia, dan membayar ganti rugi. Para pelajar itu terperanjat. Mereka tak menyangka Belanda pernah sekejam itu.

Kadaluwarsa?

Tapi, belum lagi sampai cita-citanya itu, Saih bin Sakam meninggal pada 7 Mei 2011. Dialah korban terakhir tragedi Rawagede yang masih hidup sampai abad ke-21. Dia pergi, justru saat Belanda mulai membuka kasus itu di pengadilan.

Para kerabat korban pembantaian itu terus melaju (Lihat kronologinya di Infografik: Banjir Darah di Rawagede). Pada 20 Juni 2011, mereka menuntut Belanda, melalui pengadilan di Den Haag. Tujuannya, Belanda harus mengakui adanya pembantaian, meminta maaf, dan memberi ganti rugi.

Meski tak disuarakan resmi, Pemerintah Indonesia kabarnya mendukung langkah korban pembantaian Rawagede itu.

Dukungan pemerintah itu diungkapkan Ketua Yayasan Rawagede Sukarman kepada VIVAnews, di Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Karawang pekan lalu. Sukarman adalah cucu salah satu korban. Ia telah bolak-balik ke Den Haag mengikuti proses pengadilan kasus Rawagede di Pengadilan Belanda.

Menurut Sukarman, sebelum menggugat ke Belanda 15 Agustus 2008 lalu, mereka meminta izin ke Komisi I dan Komisi III DPR, serta ke MPR. “Kami juga diundang ke Departemen Luar Negeri, dan langsung dihubungkan ke Biro Eropa. Mereka katakan, lanjutkan tuntutan itu,” ujar Sukarman.

Selama proses gugatan itu pun, Sukarman dibantu oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda. Sidang kasus itu dibuka 20 Juni 2011. Penggugat adalah sanak saudara korban Rawagede. Tergugat adalah pemerintah Belanda.

Perang argumen pun muncul di meja hijau. Pengacara pengugat adalah Liesbeth Zegveld. Dia aktif membela kasus hak-hak azasi manusia internasional, termasuk kejahatan kemanusiaan di Srebrenica, Bosnia.

Di sidang itu, Zegveld bercerita seperti halnya kesaksian Saih bin Sakam. Komite Utang Kehormatan Belanda juga menuntut ganti rugi bagi korban Rawagede. Ada juga sengketa soal jumlah korban. Penggugat mengatakan yang tewas 431 orang. Belanda dalam Nota Ekses 1969, mengatakan hanya 150 orang.

Selain itu, fakta baru diajukan oleh penggugat, berupa dokumen korespondensi. Disebutkan, para petinggi Belanda tak meragukan Wijnen bersalah. Jenderal Simon Spoor menulis surat kepada jaksa agung, bahwa Pengadilan Militer akan menghukum Mayor Wijnen. Tapi, Jaksa Agung tak jadi menggugat Wijnen. Alasannya, kasus itu 'tak ada lagi campur tangan, dan perhatian asing'.

Zegveld menilai para janda yang suaminya dibunuh militer Belanda di Rawagede, diperlakukan tak adil. Ini jika dibandingkan korban kejahatan perang dunia kedua terhadap Yahudi. Hak mereka sebagai korban perang dunia kedua diakui, dan menerima ganti rugi. “Ada kebiasaan Belanda tak menolak tuntutan korban perang dunia kedua hanya karena kadaluwarsa. Kebijakan ini juga harus berlaku bagi janda dari Rawagede,” ujar Zegveld, seperti dikutip Radio Nederland.

Sebelumnya, pengacara Belanda GJH Houtzagers mengatakan kasus pembunuhan oleh serdadu Belanda itu sudah kadaluwarsa. Lagipula, korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, telah meninggal Mei lalu. Houtzagers juga memberi argumen lain. Katanya, ada kesepakatan Belanda dan Indonesia pada 1966. Isinya, kedua pihak setuju mengakhiri sengketa keuangan.

Houtzagers mengingatkan Indonesia dan Belanda kini bekerjasama dalam banyak hal. “Belanda membantu tak saja desa Rawagede, tapi juga wilayah lain. Kedua negara memandang ke depan, membangun masa depan bersama, dan bukan melihat masa lalu,” kata Houtzagers.

Pintu ke kasus lain

Yang menarik, kata Zegveld, jika kasus Rawagede menang di pengadilan. Dampaknya positif bagi korban aksi militer Belanda lainnya di Indonesia. Mereka bisa menuntut ganti rugi juga.

“Kami ingin memberi tahu kepada masyarakat Belanda kejadian sebenarnya. Ini bukan kasus Rawagede saja. Di Sulawesi Selatan ada pembantaian Raymond Westerling, ada juga kasus Kaliprogo di Jawa Tengah, Gerbong Maut di Bondowoso, dan sebagainya”, kata Jeffry Pondaag dari Komite Utang Kehormatan Belanda.

Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda, Batara R Hutagalung sepakat. Dia mengatakan banyak aksi pembantaian Belanda sekitar 1945-1950 di Indonesia yang tak terungkap di dunia internasional. Ironisnya, Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) justru bermarkas di Den Haag, Belanda.

Batara yakin, jika Belanda konsisten, maka kasus ini bisa menang. Dia mengajukan contoh. Dua tahun lalu, ada bekas tentara Jerman dijatuhi hukuman seumur hidup. Dia membantai empat warga sipil di Belanda semasa perang. “Dia dihukum karena membunuh empat orang. Maka logikanya, yang membantai puluhan ribu bisa dimajukan ke pengadilan internasional. Itu sebabnya kami mengajukan kasus Rawagede,” kata Batara kepada VIVAnews.

Berhasilkah gugatan dari Rawagede? Hakim Pengadilan Den Haag mengatakan masih mempelajari pleidoi kedua pihak. Mereka segera memberi putusan dalam waktu 90 hari, atau pertengahan September 2011 ini.(np)

Renne R.A Kawilarang, Nila Chrisna Yulika, Anggi Kusumadewi

Laporan Erick Tanjung |Yogyakarta

www.vivanews.com
http://sorot.vivanews.com/news/read/240339-menggugat-pembantaian-rawagede

Yang Terserak di Rawagede

| | | 0 komentar
Senin, 8 Desember 1947. Lukas Kustario menghimpun kekuatan di Rawagede. Dia seorang serdadu. Pangkat Kapten. Suka nekat dengan nyali seribu. Petinggi militer Belanda memberinya julukan si Begundal Karawang. Kerjanya selalu bikin berang kumpeni.

Berkali-kali Lukas sukses menggempur pos militer Belanda. Dia juga jadi momok sebab kerap menyergap mendadak patroli serdadu Kumpeni di daerah-daerah di sekitar Bekasi dan Karawang.

Berkali-kali diserbu dengan cara mengejutkan, militer Belanda membuat perhitungan dengan Lukas. Dan suatu ketika petinggi serdadu di Jakarta mendengar informasi Lukas bakal melintas di Rawagede.

Rawagede adalah sebuah desa di Rawamerta. Terletak di antara Bekasi dan Karawang, Rawagede sudah menjadi markas gabungan semua laskar pejuang kemerdekaan. Di situ ada Laskar Citarum, Barisan Banteng, Hizbullah, juga kelompok laskar lain yang menyala semangatnya mengusir Belanda.

Di kawasan itu banyak orang kaya. Semangat mereka untuk merdeka juga membara. Itu sebabnya para laskar membangun basis di sini. Kaum berada itu suka cita menyumbang logistik. Tanpa diminta. Bukan hanya telur ayam. Kerbau pun mereka sumbang. Demi republik.

Pagi itu, Kapten Lukas hendak menghela pasukan ke Cililitan. Menyerang basis serdadu kumpeni di Jakarta. Persiapan sudah matang. Tapi sungguh celaka tiga belas. Pukul sembilan pagi, seorang mata-mata melapor ke Markas Belanda. Belanda berang. Pasukan bersenjata bergegas. Menyusun siasat menyerbu duluan. Pukul empat sore masuk berita dari Karawang. Rawagede bakal dibumihangus.

Penduduk di sana gemetar. Apalagi Kapten Lukas yang cekatan itu sudah membawa pasukan. Sudah tiba di Cibinong. Dan yang terjadi sore itu memang bukan perang. Tapi pembunuhan. Warga desa dihajar ribuan serdadu kumpeni. Berusaha bertahan warga desa membangun benteng. Serdadu Belanda susah merangsek.

Tapi benteng itu cuma sakti sejenak. Sebab serdadu Belanda menganti siasat. Menyerbu dari semua sudut. Jadilah kampung itu terkurung. Warga setempat menyebut siasat model beginian sebagai pengepungan “letter O”. Pukul 12 malam Rawagede sudah di “letter O” oleh Belanda.

Warga kampung melawan ribuan serdadu, jelas bukan perang. Kalah jumlah. Kalah senjata. Di keremangan Selasa subuh, 9 Desember 1947, sebagian warga berusaha kabur dari neraka jahanam itu. Berlari ke arah sawah. Celaka, Belanda sudah menunggu di situ.

Sebagian ditangkap. Sisanya putar balik. Kembali ke desa. Tapi mereka yang berlari pulang itulah yang sial. Pelor berdesing mengejar. Menancap di badan, berjatuhan, lalu mati. Merasa di atas angin, pasukan Belanda merangsek masuk desa. Warga yang bertahan lintang pukang mencari perlindungan.

Tapi yang ada cuma rumah penduduk yang gemetar. Yang mengunci rapat pintu rumah. Cuma sedikit yang membuka pintu. Tapi Belanda justru menaruh curiga dengan rumah-rumah yang terkunci rapat itu. Pintu didobrak, mengeledah semua sudut rumah, dan mengiring penghuni keluar.

Di halaman kampung mereka dibariskan. Laki-laki disuruh berjejer. Ketakutan tiada terkira menyapu wajah mereka. “ Di mana Lukas?” bentak seorang tentara Belanda. Mereka yang berjejer ketakutan itu diam seribu bahasa. Dipaksa buka mulut, mereka cuma menjawab, “Tidak tahu.” Para serdadu Belanda itu murka alang kepalang.

Dan “tidak tahu” itu bisa berarti kematian. Peluru langsung menghujam. Mereka yang berjejer itu berjatuhan. Tersungkur menemui ajal termasuk para lelaki belia belasan tahun. Warga di sana menyebut penembakan model beginian, di dredet.

Pukul 12 siang serdadu Belanda menemukan sebuah rumah yang dipenuhi pejuang dan warga. Dari wanita tua hingga anak-anak Belia. Pasukan Kumpeni langsung memberondong. Sebagian langkah seribu masuk hutan. Banyak pula yang lari lewat saluran air. Berlari sembunyi ke arah sungai. Banyak yang masuk ke dalam air. Juga sembunyi di bantaran sungai, di antara rerimbunan rindang pohon. Agak aman memang.

Tapi itu cuma sementara. Sebab serdadu Belanda menghela anjing galak ke bantaran sungai. Anjing-anjing itu menggonggong seperti sedang berburu. Tahu ada warga di sana, para serdadu beramai-ramai memberondong. Mereka berjatuhan bersimbah darah. Mayat-mayat mengambang dan hanyut. Air sungai berubah merah darah.

Hari itu, 9 Desember 1947, 431 warga laki-laki sipil Rawagede mati bersimbah darah. Hari itu, para lelaki punah dari kampung ini. Hanya tersisa kaum wanita. Mereka menangis sejadi-jadinya. Mengenang anak, suami dan ayah yang bertebar tanpa jiwa di sawah-sawah dan bantaran sungai.

Para wanita itu cuma bisa termangu. Ratusan jenasah itu urung dimakamkan sebab malam sudah datang. Esok harinya, Rabu 10 Desember 1947 ratusan wanita kampung bahu membahu mengangkut jenazah. Mengubur anak, suami, juga ayah.


***

Pagi 9 Desember 2008. Nikolas van Dam berdiri tegak. Duta Besar Belanda untuk Indonesia itu berdiri di depan Monumen Rawagede. Bangunan itu berbentuk bunga melati yang belum lagi mekar. Bagian belakang monumen itu bersambung dengan Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga. Ratusan makam berjajar. Di sana terpampang tulisan besar mengenang kepiluan dari masa lalu itu, ‘Esa Hilang Dua Terbilang.’

Hari itu, Van Dam menghadiri peringatan 61 tahun tragedi Rawagede. Tragedi itu dikenang setiap tahun. Entah untuk membunuh kepiluan itu, warga kemudian menganti nama Rawagede menjadi Desa Balongsari. Tapi duka itu tetap di kenang. Tanggal 9 Desember 2008, warga desa memenuhi kawasan pemakaman itu.

“Atas nama pemerintah Belanda, saya ingin menyampaikan rasa penyesalan yang dalam atas segala penderitaan yang harus dialami,” kata Van Dam di hadapan keluarga para korban pembantaian. Sesudah diperingati selama 61 tahun, itulah kali pertama seorang pejabat Belanda hadir di pemakaman itu.

Peristiwa itu, lanjut Van Dam, merupakan salah satu contoh paling menyedihkan dari cara Belanda dan Indonesia saling berpisah, “Dengan begitu menyakitkan dan penuh kekerasan.” Tindakan brutal para serdadu itu, lanjutnya, telah menaruh Kerajaan Belanda pada tempat yang salah dalam sejarah, sampai kapan pun.

Van Dam hadir di pemakaman itu atas desakan Van Bomel. Harry van Bomel adalah salah seorang anggota parlemen negeri kincir angin itu. Dia wakil Partai Sosialis. Tanggal 18 November 2008, tiga pekan sebelum peringatan itu, Bomel mengajukan mosi ke parlemen Belanda (Tweede Kamer). Bomel meminta parlemen agar mendesak pemerintah mengirim Duta Besar ke acara peringatan pemakaman ini.

Sesudah melewati perdebatan berhari-hari, anggota parlemen menerima usulan itu. Lalu keputusan parlemen pun terbit. Parlemen Belanda mulai membahas kasus ini, sesudah keluarga korban pembantaian itu mengajukan gugatan ke Pengadilan Belanda, 15 Agustus 2008. Pengadilan atas kasus ini kemudian menyedot perhatian media massa dan pemerhati hak asasi manusia internasional.

Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede, yang juga anak salah seorang korban pembantaian, bolak-balik Jakarta-Den Haag untuk menghadiri proses peradilan dan melakukan audiensi dengan parlemen Belanda. Oktober-November 2010, ia pergi ke Belanda membawa korban pembantaian yang ditemukan selamat dan masih hidup. 15-30 Juni 2011, ia kembali bertolak ke Belanda sambil membawa sejumlah janda.

***

Tanggal 9 Agustus 2011. Panas menyergap Desa Balongsari. Terik mentari terasa membakar kulit. Namun Suryadi dan Junaedi tetap setia menyapu dan merawat monumen itu. Kepada VIVAnews.com yang berkunjung ke situ, mereka berkisah soal pembantaian itu.

“Warga benar-benar sakit hati karena dibantai tanpa tahu apa salahnya,” kata Junaedi. Pembantaian itu, katanya, sudah jadi ingatan kolektif warga. Diperingati bersama-sama.

Menjadi desa yang tergolong makmur ditahun 1947 itu, kini Rawagede berjalan lambat. Tertinggal dari desa-desa di sekitar. Sekitar 80 persen penduduk desa hidup di bawah garis kemiskinan. Mayoritas warga jadi buruh tadi.

Siang 9 Agustus 2011 itu, sejumlah warga terlihat melintas di jalan kering berdebu. Memakai topi tani, membawa pacul. Sejumlah warga terlihat menumpang sepeda ontel menjaja barang kerajinan tangan.

Surya, Kepala Urusan Kelurahan Desa Balongsari, menegaskan bahwa kehidupan warga desa memang belum menggembirakan. “Hanya 20 persen warga desa ini yang tergolong mampu. Sisanya hanya buruh tani dan usaha kecil-kecilan,” kata Surya.

Ironisnya, dari total areal persawahaan di desa itu, hanya 30 hektar yang dimiliki oleh penduduk asli Rawagede. Sisanya dikuasai pendatang. Desa ini terlihat garing. Sungai yang dulu merah darah itu, kini kering kerontang. Jika ada air menggenang, warnanya hitam pekat.

Di beberapa tempat di pinggir sungai, tampak berdiri kakus seadanya bertiang bambu. Rumah-rumah penduduk yang reyot tampak berselang-seling dengan sedikit rumah yang layak.

Siang 9 Agustus itu, VIVAnews bertemu dengan Nenek Cawi di Sampurna Raga. Dia sudah tua renta. Usianya 87 tahun. Artinya, nenek Cawi berusia 23 tahun ketika pembantaian itu terjadi. Meski renta, dia merekam jelas tragedi itu. Kakak dan suaminya mati pada hari itu.

Dia lalu berkisah. “Saat itu saya sedang tidur, lalu dibangunin suami. ‘Bangun... bangun... banyak Belanda.’ Waktu itu perempuan nggak boleh keluar rumah. Harus diam di rumah saja. Nggak boleh ikut-ikutan lelaki.”

Di luar terdengar bunyi tembakan. Nenek renta ini berusaha mengulang kisah jahanam itu. “ Dor dor dor, tekdung tekdung tekdung, dredededet. Sorenya, perempuan nyariin mayat. Laki saya mati. Rata-rata laki kena tembakan di kepala. Ada yang sampai kepalanya putus. Kakak saya kena di dada. Dihitung ada 9 lubang,” ujar Nenek Cawi. Esok harinya, lanjut nenek Ciawi, kaum wanita susah payah memilah-milah mayat sanak saudara sebab banyak mayat yang berantakan.

Kehidupan setelah pembantaian itu, berjalan sangat sulit. Susah, karena isi desa ini hampir perempuan semua. Semua mengungsi dari Rawagede. “Jadi 15 hari pertama setelah pembantaian, desa kosong,” kenangnya.

Apakah nenek tua ini masih menyimpan dendam? Dan menghendaki para pembantai itu dihukum berat. Ditanya soal itu, sang nenek terdiam sejenak. Lalu, “Saya mah orang bodoh. Itu urusan orang pinter. Ibu sudah nggak ada dendam. Ibu yakin anak-cucu Ibu akan bales,” katanya.

Balas, yang dimaksudkan nenek renta ini bukan membunuh. Tapi menuntut keadilan atas penderitaan panjang itu. Dan itulah yang kini dilakukan salah seorang cucunya, Sukarman.

Berhari-hari, bertahun-tahun kemudian Rawagede menjadi kampung janda. Penyair kondang, Chairil Anwar, mengenang pembantaian itu lewat sajak Karawang Bekasi. Chairil menulis sajak itu di daerah Anjun, dekat Masjid Agung Karawang.

Karawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Chairil Anwar (1948)


www.vivanews.com
http://sorot.vivanews.com/news/read/240341-jejak-berdarah-rawagede

Ibu Harus Pilih, Anak Mana yang Akan Mati

| | | 0 komentar
Perjalanan para pengungsi Somalia menuju negara tetangga untuk mencari makan kadang menghabiskan waktu berhari-hari. Dalam perjalanan, seorang ibu tidak jarang terpaksa meninggalkan anak mereka yang tidak berdaya, demi kelangsungan hidup anak yang lainnya.

Kenyataan pahit ini harus dijalani oleh Wardo Mohamud Yusuf, seorang ibu berusia 29 tahun. Wardo telah berjalan selama dua minggu di tengah terik menuju perbatasan Kenya. Di tempat ini, dia berharap mendapatkan makanan dan minuman di tenda pengungsian yang disediakan negara jiran.

Wardo menggendong anak perempuannya yang berusia satu tahun di punggungnya, sementara anak lelakinya yang berusia empat tahun berjalan bersamanya. Dua minggu berjalan dengan makanan dan minuman yang minim, bocah lelaki malang tersebut ambruk.

Wardo langsung memberikan sedikit minuman yang dia bawa di kepalanya kepada putranya. Namun, karena tidak sadarkan diri, bocah itu tidak dapat meneguk air untuk menghilangkan dahaga. Wardo berteriak minta tolong, keluarga dan kerabatnya tidak ada yang berhenti. Mereka tetap berjalan, mengkhawatirkan diri mereka sendiri.

Akhirnya, Wardo harus memilih. Sebuah pilihan yang ibu manapun pasti sulit melakukannya.

"Akhirnya, saya putuskan untuk meninggalkan dia, menitipkannya kepada Tuhan, di tengah jalan," ujar Wardo ketika diwawancara di kamp pengungsi di Dadaab, Kenya, dilansir dari laman Daily Mail, Jumat, 12 Agustus 2011.

Pengalaman serupa pernah dialami oleh Faduma Sakow Abdullahi, janda 29 tahun. Dia mengaku berjalan berhari-hari dari kampung menuju Dadaad bersama lima orang anaknya yang berusia 5, 4, 3, 2 dan seorang bayi yang baru dia lahirkan.

Tinggal sehari lagi sampai di kamp pengungsian, putra dan putrinya yang berusia 5 dan 4 tahun tidak bangun setelah istirahat sejenak di bawah pohon. Air yang dia bawa tinggal sedikit, Faduma mengaku tidak ingin menyia-nyiakan air yang bisa diberikan kepada anak-anaknya yang lain itu.

Dia harus memilih, memberikan air kepada anak-anaknya yang sekarat dan membiarkan bayinya kehausan, atau meninggalkan kedua anaknya di jalan dan memberikan air kepada anaknya yang lain. Akhirnya dia memilih untuk meninggalkan mereka berdua. Ragu, Faduma sempat bolak-balik untuk memastikan kedua anaknya telah tewas.

Baik Faduma maupun Wardo sadar betul apa yang mereka lakukan. Mereka mengaku selalu dihantui rasa bersalah yang teramat besar. Wardo mengatakan dia selalu terbayang putranya ketika melihat anak sebayanya bermain. Dr. John Kivelenge, ahli masalah kejiwaan di Dadaad mengatakan keputusan mereka adalah keputusan yang normal.

"Itu adalah reaksi normal di tengah situasi yang abnormal. Mereka tidak mungkin duduk dan menunggu lalu mati bersama-sama," kata Kivelenge.

"Namun setelah beberapa bulan, mereka akan mengalami post-traumatic stress disorder. Mereka akan mendapatkan mimpi buruk dan kilas balik peristiwa tersebut," lanjut Kivelenge lagi.

Menurut laporan pemerintah Amerika Serikat, kelaparan di Somalia telah menewaskan 29.000 anak-anak di bawah umur lima tahun dalam tiga bulan terakhir. Kelaparan antara lain disebabkan kemarau panjang, mahalnya harga pangan, dan konflik berkepanjangan.



www.vivanews.com
http://dunia.vivanews.com/news/read/240260-ibu-harus-pilih--anak-mana-yang-akan-mati

Menguak Sejarah Perbudakan di Indonesia

| | | 0 komentar
Perbudakan ternyata tak hanya dialami bangsa Afrika yang dibawa ke Benua Amerika, tetapi juga dialami nenek moyang kita. Mereka dipaksa bekerja tanpa upah oleh Belanda.

Meski Belanda, yang kala itu menjadi pedagang budak terbesar di dunia, secara resmi menghapus perbudakan di seluruh wilayah jajahannya pada pada 1 Juli 1863.

Sejarawan Universitas van Amsterdam, Lizzy van Leeuwen, mengatakan bahwa penghapusan perbudakan di Oost Indie atau Indonesia, baru berakhir secara resmi 100 tahun lalu saat Belanda menghapus praktek perbudakan yang diterapkan di Kepulauan Sumbawa. "Ini adalah sejarah yang belum terungkap," van Leeuwen seperti dimuat situs Radio Nederland.

Dia menambahkan, hal ini terkait sejarah perbudakan di timur. Tak hanya di Indonesia melainkan juga di wilayah Asia Tenggara. Mencakup jangka waktu yang sangat panjang dan meliputi berbagai bentuk perbudakan. "Mengingat cakupan ini, masalah perbudakan di wilayah sekitar Samudera Hindia sulit sekali untuk diungkap. Sedikit sekali penelitian tentang masalah ini," jelas van Leeuwen.

Dalil van Leeuwen diperkuat sebuah penelitian yang dilakukan oleh sejarawan Amerika Serikat, Marcus Vink. Menurut Vink, Belanda juga menjalankan praktek perbudakan di Indonesia.

"Jan Pieterszoon Coen membunuh semua penduduk asli Pulau Banda untuk membuka perkebunan pala. Ia kemudian membeli budak-budak dari wilayah Pulau Banda. Dari situlah dimulai praktek perdagangan budak di Indonesia," jelas Van Leeuw.

Perbudakan, kata dia, sejatinya sudah menjadi bagian dari sistem kemasyarakatan di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Sumbawa, Bali dan Toraja. Penjajah Belanda membiarkan praktek perbudakan itu terus berlangsung karena itu menguntungkan posisi mereka di wilayah jajahan.

Namun, berbeda dengan masyarakat Suriname yang sampai sekarang terus memperingati sejarah kelam perbudakan, di Indonesia hal itu sama sekali tidak terjadi.

Menurut van Leeuw, ada beberapa penjelasan. Pertama, orang tidak lagi merasakan dampak perbudakan di wilayah Indonesia itu secara nyata. Ini berbeda dengan situasi di Barat di mana orang bisa melihat hubungan perbudakan dengan masa kini secara jelas.

Selain itu, lanjut van Leeuwen, di wilayah Hindia Belanda, perbudakan tidak terjadi dalam skala industrial seperti yang terjadi di Suriname.

Kebanyakan budak dipakai untuk keperluan rumah tangga. "Tapi, bukan berarti budak di sana hidupnya lebih nyaman. Terjadi berbagai hal mengerikan, bagaimana budak-budak rumah tangga itu dihukum dengan sangat kejam. Hal itu bahkan masih terus saja terjadi sampai abad ke-20 di beberapa rumah tangga di Oost Indie."

Fakta yang menyedihkan, tambah van Leeuwen, saat ini praktek perbudakan masih saja terjadi di dunia. Misalnya, anak-anak yang dipaksa bekerja dengan kondisi yang memprihatinkan, wanita yang diperdagangkan sebagai budak seks, dan nasib para tenaga kerja wanita Indonesia yang diperlakukan kejam di negara lain.


www.vivanews.com
http://nasional.vivanews.com/news/read/232591-menguak-sejarah-perbudakan-di-indonesia

Brigade Of Gurkha (Suku Yang Dilahirkan Untuk Berperang)

| | | 0 komentar
Gurkha sebenarnya bukanlah Special Force, namun mereka dikenal dengan reputasinya yang menakutkan. Ada 2 suku di Nepal yang dikenal masyarakat luas, yaitu Sherpa yang dikenal sebagai suku pendaki / pemandu di Himalaya, satu lagi Gurkha, yang gemar berperang.

Semasa zaman kolonial sewaktu terjadi Perang di Nepal, Inggris begitu terkesan atas kegigihan dari pasukan Gurkha kemudian merekrut mereka bekerja untuk East India Company di India dan Britis


Gurkha terkenal dengan kemampuan berperangnya yang alamiah, agresif di medan pertempuran, tidak takut mati, loyalitas yang tinggi, tahan dalam berbagai medan, fisik yang kuat dan pekerja keras. Sehingga Gurkha begitu disegani oleh kawan, ditakuti oleh lawan.

Semula mereka menjadi tentara bayaran (mercenaries) akhirnya masuk dalam jajaran British Army yang digaji layaknya tentara Inggris sendiri atau legiun asing pada umumnya. Mereka mempunyai unit sendiri dengan nama Brigade of Gurkha sebagai salah satu bagian dari jajaran top angkatan bersenjata Inggris.

Dibentuk sejak tahun 1815, Pasukan Gurkha telah terlibat dalam berbagai medan pertempuran bersama Inggris. Ketika berkecamuk PD I sebanyak 100.000 prajurit Gurkha masuk dalam Brigade of Gurkha.

Mereka ikut bertempur di medan perang Perancis, Mesopotamia, Persia, Mesir, Gallipoli, Palestina dan Salonika. Mereka mendapatkan 2 penghargaan bergengsi Victoria Crosses.

Brigade Of GurkhaPada PD II sebanyak 112.000 tentara Gurkha bersama Pasukan aliansi Commonwealth bahu membahu dalam perang di Suriah, Afrika Utara, Italia dan Yunani sampai Malaysia dan Singapura mereka mendapat 10 Victoria Crosses.

Seiring dengan pengalaman tempurnya yang mengunung, Gurkha menjelma menjadi kekuatan yang mengerikan, bahkan melebihi pasukan elit sekalipun.

Semasa berkecamuk perang Malvinas (Falkland War, 1982), dalam suatu front pertempuran, Inggris mempropagandakan kepada pihak militer Argentina akan menyertakan 1 batalyon Gurkha-nya. Mendengar itu tentara Argentina lari tunggang langgang meninggalkan pos-pos mereka.

Sewaktu PD II di front pertempuran Tunisia (Afrika Utara), pasukan Gurkha sudah kehabisan amunisi mereka membuang senapan-senapan, berlarian naik ke atas tank-tank Jerman di tengah-tengah hujan peluru dan menggorok tentara Jerman dengan senjata tradisional mereka, khukri.

Khukri

Khukri adalah sejenis pisau yang berbentuk unik sedikit melengkung mengarah ke depan. Di disain khusus sedemikian rupa, sehingga dapat menebas leher dengan sekali babatan bersih.

Ada sedikit cerita mengenai khukri, sekali khukri dihunus dari sarangnya pantang tidak meminum darah. Itulah sebabnya tentara Gurkha ketika sehabis mengasah / membersihkan khukri selalu mengiris jari tangannya.


Saat ini bukan hanya Inggris yang merekrut Gurkha dalam jajaran pasukannya, Singapura, India, Malaysia, Brunei, Hongkong (sebelum penyerahan ke RRC) tercatat memakai Gurkha dalam kesatuan angkatan bersenjata mereka. Bahkan di Brunei, Gurkha dipakai sebagai Special Force Penjaga Sultan Brunei.

Tarmizi Abdul Hamid ; Selamatkan Secarik Kebesaran Aceh

| | | 0 komentar
Abad ke-17 hingga ke-19 adalah masa kegemilangan tradisi literasi di Aceh. Puluhan ribu manuskrip berupa mushaf kitab suci, tasawuf, tauhid, fikih, astronomi, sejarah, seni, sastra, hingga ilmu pengobatan ditulis oleh intelektual dan ulama besar masa itu. Sayangnya, keberadaan warisan luhur masa lalu itu kini terancam punah. Sebagian musnah oleh waktu, ribuan terpampang di negeri seberang, sisanya tercecer tidak dipedulikan.

Adalah Tarmizi Abdul Hamid, warga Lampineung, Banda Aceh, Provinsi Aceh, yang sejak 16 tahun silam giat mengumpulkan lembar demi lembar manuskrip kuno yang masih tersisa. Menyelamatkan secarik kebesaran masa lalu Aceh adalah tujuannya.

Dia bukanlah akademisi, sejarawan, ataupun kolektor benda antik bermodal besar. Keseharian Tarmizi hanyalah seorang pegawai negeri level menengah di Badan Pengembangan Teknologi Pertanian Banda Aceh.

Tidak kurang dari 500 manuskrip kuno Aceh kini tersimpan di sudut rumahnya. Ada mushaf Alquran kuno, buku tasawuf, tauhid, hukum Islam, falak, hingga ilmu pengobatan. Lembaran-lembaran naskah kuno tersebut sudah berwarna kecoklatan. Sebagian tidak utuh lagi karena rusak atau hilang. Beberapa lembar tampak berlubang dimakan rayap dan ngengat.

Manuskrip tersebut umumnya dibuat pada abad ke-16 hingga abad ke-19. Dengan demikian, usia buku-buku koleksi Tarmizi rata-rata sudah 3-5 lima abad.

Sore itu, Tarmizi dengan bangga menunjukkan kitab Luffat al Tullab, salah satu koleksinya. Kitab ini karangan Syeikh Zakaria Ansari yang ditulis tangan pada abad ke-16. Bagian luarnya sobek, bekas gigitan rayap menghias pinggir buku. Manuskrip ini bertutur bermacam topik, mulai dari hukum Islam, cara berjihad, seni dan sastra, sejarah, hingga pengobatan.

Dari tuturan mengenai pengobatan di kitab itu, Tarmizi beberapa kali mencoba mempraktikkannya dengan meramu obat. Ramuan itu sangat jelas disebutkan di buku tersebut. Hasilnya tak mengecewakan. Penyakit batuk dapat disembuhkan dengan ramuan tradisional itu.

Kitab Luffat al Thulab dibuat pada masa akhir Kerajaan Samudera Pasai. Saat itu kertas adalah barang yang sangat langka di Aceh. Media tulisan sebagian besar berupa kulit kayu. Kertas didatangkan dari Eropa dan China oleh kerajaan. Itu pun sangat jarang karena membutuhkan waktu pesan 10-20 tahun.

Koleksi Tarmizi yang terbanyak berasal dari masa abad ke-17 hingga ke-19. Menurut Annabell Gallop, peneliti sejarah Asia Tenggara dari British Library, London, yang sore itu ikut berkunjung ke rumah Tarmizi, banyaknya temuan manuskrip dari abad ke-17 hingga ke-19 karena pada masa itu tradisi tulis-menulis memuncak di Aceh. Hal ini tak lepas dari kehadiran para penjajah dari Eropa yang memungkinkan kertas dapat didatangkan ke Aceh.

Kitab-kitab tersebut ditulis dalam aksara Arab-Jawi. Sebagian besar dituturkan dengan bahasa Melayu. Bahasa ini digunakan karena menjadi bahasa serantau atau lingua franca masa itu.

Di Perpustakaan Nasional Inggris di London tersimpan sekitar 10 manuskrip kuno asal Aceh. Dibandingkan dengan manuskrip kuno dari Jawa dan Malaysia, manuskrip kuno Aceh memang tidak banyak yang dikoleksi di Inggris. Hal tersebut karena Inggris tidak pernah masuk ke Aceh, kecuali saat Thomas S Raffles pesiar ke daerah ini pada pertengahan 1800-an.

Manuskrip kuno Aceh mempunyai keunikan dan bercitarasa seni tinggi. Setidaknya ini terlihat dari ornamen pada setiap bagian penanda halaman kitab koleksi Tarmizi. ”Walau, memang tak sebagus ornamen manuskrip dari Pattani dan Trengganu,” kata Gallop yang mengaku heran dengan minimnya kepedulian pemerintah terhadap koleksi Tarmizi.

Keprihatinan

Tahun 1995, Tarmizi mendapat tugas dinas ke Brunei. Di Brunei, dia berkesempatan mengunjungi perpustakaan nasional. Di situ dia mendapati ribuan manuskrip kuno Aceh bernilai sejarah tinggi terpajang. ”Saya sangat prihatin. Naskah-naskah kuno itu tak pernah saya lihat di Aceh. Di Aceh juga tak ada perpustakaan yang mempunyai koleksi sejarah Aceh selengkap itu,” tuturnya.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, Tarmizi bertekad mencari dan mengumpulkan manuskrip kuno Aceh. Itu tidak mudah. Manuskrip tersebar di seluruh wilayah Aceh, bahkan di provinsi-provinsi sekitarnya. Banyak orang yang masih menyimpan manuskrip tersebut, tetapi tidak menyadari betapa pentingnya itu sehingga tak dipelihara dengan baik.

Tidak hanya di Aceh, Tarmizi bahkan berburu manuskrip kuno Aceh hingga ke pelosok-pelosok Sumatera Utara dan Riau. Kadang dia menukar kitab kuno itu dengan Alquran baru, beras, atau padi.

”Kalau semuanya diganti dengan uang, saya jelas tidak mampu. Apalagi, tak ada standar harga pasti atas kitab-kitab itu,” ujarnya.

Ratusan juta rupiah sudah dia keluarkan untuk mendapatkan manuskrip-manuskrip tersebut. Enam petak sawah warisan orangtuanya di Kabupaten Pidie sudah habis demi upaya tersebut.

Karena ketiadaan biaya, Tarmizi pun hanya bisa merawat koleksinya dengan cara tradisional. Kitab-kitab berusia ratusan tahun itu dibungkus kain putih, diberi kapur barus, lada hitam, lada putih, dan cengkih. ”Yang penting tak dimakan rayap,” katanya.

Tak sekalipun dia mendapat bantuan dari pemerintah untuk pemeliharaan. Bantuan restorasi manuskrip kuno justru pernah datang dari Pemerintah Jepang usai tsunami 2004 lalu. Dari sekitar 500 koleksi Tarmizi, sebanyak 56 naskah kuno berhasil direstorasi. Sayangnya, Tarmizi kesulitan merestorasi naskah-naskah lain karena ketiadaan biaya.

Tarmizi tidak menyerah. Dia pun mendigitalisasi naskah-naskahnya ke komputer. Sebanyak 23 naskah kuno berhasil didigitalisasi. Namun, biaya lagi-lagi menjadi kendala. Dia juga kesulitan mendapatkan orang yang mampu membaca teks kuno.

Dia kemudian mengajak kawannya yang peduli pada naskah kuno untuk mengalihaksarakan naskah koleksinya dari Arab-Jawi ke latin. Tak sia-sia, dua kitab rampung, yaitu Nazam Aceh (Syair Perempuan Tasawuf Aceh) karangan Pocut di Beutong dan Hujjah Baliqha Ala Jama Mukhashamah karya Jalaluddin bin Syekh Jamaluddin Ibnu Al Qadhi.

Saat ini, Tarmizi dan kawannya sedang menyelesaikan alih aksara kitab lainnya.

Ia tak pernah menjual atau mengomersialkan koleksinya. Jerih payah dan uang ratusan juta rupiah yang digunakan untuk mendapatkan dan memelihara manuskrip-manuskrip kuno itu didedikasikannya untuk pengetahuan generasi masa kini dan mendatang.

”Saya sangat senang dan bangga jika ada orang yang mau belajar dan meneliti manuskrip-manuskrip kuno ini,” katanya.

Tarmizi Abdul Hamid

• Lahir: Pidie, 31 Desember 1964 • Pekerjaan: PNS di Balai Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Banda Aceh • Pendidikan terakhir: Fakultas Pertanian Universitas Abul Yatama, Banda Aceh (1997) • Istri: Nurul Husna (39) • Anak: 1. Salsabila Humaira (12) 2. M Rafi Halis (5)


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/06/19/01471780/Selamatkan.Secarik.Kebesaran.Aceh

Korban: Nasib Kami Lebih Buruk dari Binatang

| | | 0 komentar
Di masa jayanya, empat pria itu memegang jabatan penting di Khmer Merah, juga dekat dengan sang penguasa, Polpot. Kini, nasib berbalik. Mulai Senin 27 Juni 2011, di masa tuanya, mereka harus duduk sebagai pesakitan, mempertanggungjawabkan perbuatannya: turut andil dalam pembantaian 1,7 juta orang. Hampir seperempat populasi rakyat Kamboja kala itu.

Mereka --tangan kanan Pol Pot, "kakak kedua" Nuon Chea, mantan Presiden Kamboja Khieu Samphan, mantan Perdana Menteri Kamboja Ieng Sary, dan mantan Menteri Sosial Kamboja Ieng Tirith, diadili dalam kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi 41 tahun lalu.

Pada 1970-1979, saat itu, darah tumpah di Kamboja dan nyawa dianggap tak berharga. Warga hidup dalam teror saat Khmer Merah mendeklarasikan dimulainya 'tahun nol' --sebuah revolusi yang merelokasi paksa warga ke desa-desa demi membangun sebuah utopia negara agraris.

Mimpi itu tak pernah tercapai, yang terjadi justru kematian massal. Ada yang dieksekusi, sakit, kelaparan, atau karena dipaksa kerja rodi.

Para terdakwa boleh menyangkal perbuatannya, namun korban tak akan pernah lupa. Pol Phala (59), salah satunya. Saat periode brutal itu terjadi, ia berusia 25 tahun. Perempuan itu masih ingat saat pasukan Khmer Merah mengusir warga dari kota.

“Waktu itu aku baru keguguran, mereka mengizinkanku beristirahat, tapi hanya sehari. Setelah itu mereka memaksaku berjalan jauh,” kata dia seperti dimuat situs Al Jazeera.

Kata Pol Phala, ia merasa seperti binatang, berjalan kaki dengan tubuh kesakitan berlumuran darah. “Nyatanya, kami semua seperti binatang, tapi makanan yang kami dapatkan bahkan lebih buruk dari makanan hewan.”

Mayat bergelimpangan jadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan. “Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana melarikan diri, dan harus ke mana,” tambah dia.

Sampai akhirnya mereka tiba di Desa Sambo. Awalnya, Khmer Merah menyuruh mereka membuat benteng sawah. Tapi, kemudian mereka dipaksa membangun dam besar. “Kami bekerja tanpa alat, hanya dengan tangan. Sangat berat. Jika belum selesai, mereka tak akan memberi kami makan,” kata Pol Phala.

Bagaimana jika ada yang berontak? Kata dia, Khmer Merah pasti akan membunuh siapa pun yang tak menurut. Mereka akan memukuli orang itu di depan yang lain, hingga tewas, lalu menyeret jasadnya pergi.

Para penjaga yang bertugas mengawasi penduduk berusia antara 15-16 tahun. Buta huruf. Meski tergolong anak-anak mereka tak segan bertindak brutal, hingga tega membunuh.

Korban yang lain adalah Lon Him, seorang mahasiswa bisnis yang dipaksa jadi budak pertanian. Awalnya, saat melihat Khmer Merah untuk kali pertamanya, ia merasa sangat gembira. Perang sudah usai, kehidupan akan kembali normal. Tapi, ia salah besar.

Dengan todongan senjata, tentara memaksa mereka meninggalkan Phnom Penh. Menuju desa. Yang menentang, langsung dieksekusi mati. Di desa, warga dipaksa bekerja di sawah dan menggotong karung penuh beras sejauh 5 kilometer.

“Selama 12 jam dalam sehari, kerjaku mengangkut berkarung-karung beras,” kata dia.

Kerja keras tak diimbangi makan cukup. Tiap hari mereka hanya mendapat jatah potongan gedebok pisang dicampur sedikit beras --untuk dimasak sebagai bubur. Dengan tenaga seadanya, mereka tak boleh nampak malas. Akibatnya bisa fatal.

Beberapa orang dihilangkan paksa, dibunuh, biasanya mereka adalah orang yang bisa membaca dan dianggap terlalu banyak omong. Yang selamat adalah mereka yang bisa menyembunyikan asal-usulnya.

Selama itu, Lon Him kehilangan ayah dan empat saudaranya. “Mereka memperlakukan kami seperti binatang, padahal kami adalah manusia,” kata dia.

Puluhan tahun berlalu, ia mengaku masih menyimpan marah di hatinya. “Kami berharap ada keadilan untuk mereka yang tewas, yang kehilangan keluarga, dan mereka yang selamat dalam kondisi memprihatinkan.”

Sementara, kisah Hum Hoy (52) sedikit berbeda. Khmer Merah memberinya tugas berjaga di luar penjara. Sejauh itu, ia belum pernah menyiksa tahanan. Sampai suatu hari, Khmer Merah memintanya bersumpah sebagai kader.

“Saya lalu mengambil tongkat besi dan memukul tahanan di bagian leher belakang hingga tewas,” kata dia.

Namun, Hum Hoy berdalih, ia tak punya pilihan. Jika menolak, ia akan dicap sebagai ‘musuh revolusi’ dan menerima perlakuan buruk. Apakah dengan menjadi kader berarti ia aman? Tidak.

“Setiap orang diperintahkan untuk memata-matai yang lain. Untuk mencari kesalahan sesama kader. Saat itu saya selalu merasa ketakutan,” kata dia. “Jika pemegang pangkat tinggi mengeluarkan perintah, kami harus menurutinya agar selamat.” (art)

www.vivanews.com
http://dunia.vivanews.com/news/read/229643-korban--nasib-kami-lebih-buruk-dari-binatang

Kisah Bocah-bocah Penggali Emas di Afrika

| | | 0 komentar
Bocah kurus berkulit legam dan tanpa baju itu mengayak mangkuk berisikan air keruh kecoklatan. Harapannya hanya satu, mendapatkan emas, tidak peduli kandungan merkuri di dalam air sedikit-demi-sedikit menggerogoti tubuhnya yang mungil dari dalam.

Sementara itu, bocah belasan tahun lainnya, memasuki lubang kecil di tanah. Mengeruk dasar sebisanya, membawanya ke permukaan dan memberikannya ke bocah lainnya untuk diayak. Gambaran yang menyedihkan, tapi inilah kenyatan hidup yang dialami oleh ratusan anak kecil di Afrika, khususnya di Senegal.


Seorang pengusaha perhiasan asal Inggris, Deirdre Bounds, menceritakan bahwa sebagian emas di Inggris dihasilkan secara ilegal dari tangan anak-anak ini. Bounds mengaku dia tidak akan membeli emas yang dijual oleh para pengusaha yang mempekerjakan anak-anak itu.

"Saya tidak percaya apa yang saya lihat. Anak-anak ini menghabiskan waktunya dari pagi hingga malam di lubang yang kecil dan berbahaya, hanya untuk mencari butiran emas," ujar Bounds dikutip dari laman Daily Mail, Sabtu, 25 Juni 2011.

"Mereka terpapar merkuri, yang sangat beracun. Mereka memegangnya dengan tangan kosong," lanjutnya lagi.

Bounds mengatakan bahwa anak-anak ini tidak bersekolah. Di pertambangan, sanitasi dan kebersihan lingkungan juga sangat buruk. Bukan hanya anak-anak, di tempat ini juga terlihat ibu-ibu turut mencari emas sambil menggendong bayi-bayi mereka. Padahal, merkuri yang dihirup atau terkena kulit dapat menyebabkan penyakit paru-paru ataupun gagal ginjal pada bayi mereka.


Seorang penambang, Djimba Sidibe, 14, mengatakan dia telah menghabiskan seluruh hidupnya mencari emas. Dia sadar bahwa apa yang dia lakukan berbahaya, namun apa daya, perut yang kosong harus diisi.

"Ketika di tambang, saya turun ke dalam lubang dan mulai menggali tanah. Di bawah sana sangat panas dan memecahkan batu sangat sulit. Tembok lubang sangat rapuh, jika sampai runtuh maka kamu terkubur," ujar Sidibe.

Menurut program survey National Geographic, The Real Price of Gold, sebanyak 90 persen penambang emas adalah pekerja di pertambangan ilegal di seluruh dunia. Terbanyak adalah di Afrika dan Amerika Selatan. Sebanyak 10 sampai 30 persen perhiasan emas di seluruh dunia dilaporkan berasal dari galian tangan para anak-anak ini.

Bounds mengatakan bahwa terdapat undang-undang asal usul bagi pertambangan berlian yang disebut dengan nama 'Kimberley Process'. Hal ini untuk memastikan berlian tidak diperoleh dengan cara ilegal,
seperti mempekerjakan anak-anak ataupun kerja paksa. Berlian ilegal ini disebut sebagai berlian darah (blood diamond). Namun, untuk pertambangan emas, undang-undang asal usul semacam itu masih belum dikeluarkan.

Untuk itu, Bounds menyerukan kepada para penjual emas di seluruh Inggris untuk memastikan sumber emas-emas mereka. Berdasarkan penelitiannya, kebanyakan perusahaan perhiasan di Inggris berbohong
mengenai sumber emas mereka.

Bounds mengusulkan agar para pengusaha perhiasan melakukan daur ulang emas ketimbang terus membelinya dari penambang. "Jika kita mulai melakukan ini, maka industri ini akan lebih tertib," ujarnya.

Mungkin juga sudah waktunya bagi kita untuk melakukan hal yang sama. Pertanyakan asal-usul emas yang kita beli. Siapa tahu, cincin emas yang kita pakai dihasilkan dari darah seorang anak Afrika.

www.vivanews.com
http://dunia.vivanews.com/news/read/229189-kisah-bocah-bocah-penggali-emas-di-afrika

Mereka Setia Bercocoktanam Huma

| | | 0 komentar
Warga Baduy luar dari Kampung Cipaler, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Banten, Jawa barat, membawa hasil panen dari ladang menuju rumah masing-masing. Saat ini, masyarakat Baduy tengah menjalani masa panen dan sebulan kemudian akan mengadakan pesta untuk mensyukurinya. Foto diambil Selasa (16/3).
Komunitas Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, hingga kini masih mempertahankan cara bercocoktanam huma ladang dengan pola berpindah-pindah karena dapat meningkatkan produktivitas.

"Sejak nenek moyang kami hingga sekarang tetap pertanian huma ladang dengan menanam pisang, padi dan tanaman pangan lainya," kata Ketua Wadah Musyawarah Masyarakat Baduy (Wammby) Kasmin Saelani di Rangkasbitung, Senin.

Ia mengatakan, pola tanam huma ladang dengan cara berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat lainya sangat cocok karena bisa menyuburkan lahan pertanian tanpa menggunakan pupuk kimia.

Bahkan produksi aneka jenis tanaman pangan di huma cukup bagus untuk meningkatkan kesejahteraan.

Karena itu, kata dia, sejak dulu hingga kini belum pernah ditemukan warga Baduy terancam kekurangan pangan.

Sistem pola tanam tradisional Baduy mereka membuka hutan dengan cara tebang bakar sebab sisa-sisa pembakaran tersebut bisa dijadikan pupuk organik untuk menyuburkan lahan pertanian.

Pembukaan hutan untuk dijadikan garapan huma, selain di kawasan tanah hak ulayat juga menggarap lahan milik warga luar dengan penghasilan sistem bagi hasil.

Lahan pertanian yang ada di kawasan tanah hak ulayat sudah sempit dengan seluas 5.101 hektare dan peruntukan pertanian hanya 2.585 hektare atau 51 persen.

Masyarakat Baduy hingga kini berharap pemerintah daerah dan provinsi agar bisa membebaskan lahan milik warga luar khususnya di perbatasan untuk dijadikan lahan pertanian Baduy.

Saat ini, kata dia, banyak warga Baduy menggarap huma milik warga perbatasan, seperti di Kecamatan Bojongmanik, Cirinten, Sobang, Muncang, dan Gunungkencana.

"Kami akan memperjuangkan kepada pemerintah, karena tahun ke tahun penduduk Baduy terus bertambah. Saat ini jumlah warga Baduy mencapai 11.300 jiwa, sedangkan lahan pertanian tidak bertambah," ujarnya.

Sementara itu, sejumlah warga Baduy saat ditemui di huma di Kecamatan Cirinten mengaku musim panen tahun 2010 lalu produksi gabah huma menurun akibat curah hujan cukup tinggi.

Namun, saat ini diperkirakan sangat bagus karena tanamanya begitu subur dan hijau. "Kami berharap musim panen padi huma selama enam bulan ke depan bisa melimpah tanpa serangan penyakit dan hama," ujar Pulung (45) warga Baduy Luar.


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/06/08/01014081/Mereka.Setia.Bercocoktanam.Huma

"Robin Hood" Banglades Dibekuk

| | | 0 komentar
Polisi Banglades membekuk seorang pencuri "murah hati" yang dianggap sebagai Robin Hood modern di wilayah tenggara negeri itu.

Badiul Haq Nasir (45) menyumbangkan hasil mencuri itu ke beberapa panti asuhan dan masjid, jelas Babul Akhter, kepala polisi setempat.

"Menurut warga desa, dia sangat murah hati. Dia bersedia membantu siapa saja yang membutuhkan," kata Akhter.

Namun, para tetangga mengenalnya sebagai pengusaha sukses yang tinggal di sebuah rumah megah bak "istana" dan memiliki banyak rumah.

Pencuri baik hati itu menyumbangkan sebagian dari 2 juta taka (Rp 230 juta) hasil dia merampok baru-baru ini ke sebuah masjid di desanya, kata Akhter. Namun, pihak penerima tidak mengetahui asal uang itu.

"Nasir mungkin pencuri paling efisien di negeri ini. Dia bisa membuka setiap kunci, membobol berbagai jenis lemari besi ataupun toko emas hanya dengan obeng dan kunci pas," imbuh Akhter.

Nasir ditangkap pada Rabu (8/6/2011) setelah diburu selama sepekan. Wajahnya terekam kamera CCTV sebuah toko di kota pelabuhan Chittagong, Banglades.

"Saat ditangkap dia minta keringanan hukuman. Alasannya dia pencuri yang murah hati," pungkas Akhter.




Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/06/10/15091826/Robin.Hood.Banglades.Dibekuk

"The Musalman", Koran yang Ditulis Tangan

| | | 0 komentar
Ketika banyak surat kabar gulung tikar diterjang media online, surat kabar The Musalman bertahan dengan caranya sendiri. Koran sore yang terbit di Chennai, Tamil Nadu, India, itu ditulis tangan.

Terbit empat halaman setiap hari, koran berbahasa Urdu tersebut bertiras 21.000, yang semuanya pelanggan. Dibutuhkan waktu tiga jam bagi tiga katib (reporter dan kaligrafer) untuk menulis berita di setiap halaman, sebelum diproses hingga menjadi koran yang siap dikirim ke pelanggan.

Jika ada breaking news, seluruh halaman itu harus ditulis ulang. Namun, kini mereka sudah menyediakan sebuah kolom kecil di halaman muka untuk berjaga-jaga apabila ada berita baru.

Lain lagi yang terjadi apabila ada kesalahan tulis. Satu halaman tersebut harus diganti dan ditulis ulang.

Dengan ditulis tangan, surat kabar ini sekaligus melestarikan tradisi kaligrafi rakyat India. Bagi Pemimpin Redaksi The Musalman Syed Arifullah, mempertahankan tradisi adalah urusan hidup atau mati.

"Kami mempertahankan tradisi ini selama 84 tahun dan setelah tahun ketiga tahun pertama memimpin koran ini, saya memutuskan untuk mendedikasikan hidup saya untuk Musalman," kata Arifullah yang memimpin surat kabar itu sejak ayahnya meninggal.

"The Musalman adalah tentang kaligrafi, dan setiap orang tertarik pada kaligrafi. Jika Anda menyalakan komputer, ada perbedaan antara kami dan koran lain. Kaligrafi adalah jantung Musalman. Jika Anda mengeluarkan jantung itu, tidak ada lagi yang tersisa," ujar Arifullah.

Surat kabar itu diterbitkan pertama kali pada 1927 oleh kakek Arifullah, Syed Azmatullah, yang kemudian mewariskannya kepada Syed Faizullah. Ayah Arifullah itu meninggal pada usia 76 tahun akibat infeksi paru-paru. Sejak itu Arifullah menjadi penanggung jawab surat kabar ini.

Bagi para karyawannya, The Musalman menjadi simbol seni yang hampir punah. Dengan bekerja di koran tersebut, mereka tidak hanya melestarikan tradisi kuno, tetapi juga bahasa Urdu.

Karyawan Musalman tergolong setia. Salah satu reporternya, Rehman Hussain, kini berusia 50 tahun dan sudah bekerja di situ selama lebih dari 30 tahun. "Karena bisa berbahasa Urdu, kami dihormati. Dan saya akan bekerja bersama Musalman sampai napas penghabisan," kata Hussain.

Kantor The Musalman sangat sederhana, bahkan cukup tidak nyaman untuk bekerja. Kantor itu suram karena penerangan yang buruk. Suasananya juga bising karena mesin cetak berada di kantor yang sama.

Belum lagi gaji mereka yang sangat kecil. Koran itu hampir tidak menghasilkan laba karena biaya produksi yang cukup tinggi. Namun, bagi para kaligrafer Musalman, bekerja di situ merupakan dedikasi.

"Kecintaan kami terhadap pekerjaan inilah yang membuat saya terikat kepada Musalman," kata Usman Gani, salah satu editor.


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/06/09/09164383/.The.Musalman.Koran.yang.Ditulis.Tangan

Ngampar Bide dalam Tradisi Gawai Dayak

| | | 0 komentar
Tradisi tak lekang oleh zaman. Sebaris kalimat yang biasa digunakan untuk mengingatkan kita bahwa sesuatu yang tradisional pun layak ditampilkan meski tahun terus berganti, hingga 26 tahun kemudian.

Begitu pula yang dilakukan masyarakat dari suku Dayak di Kalimantan Barat yang masih mempertahankan tradisi leluhur saat akan memulai "Gawe", yang selanjutnya disebut Gawai atau pesta. Yakni upacara "Ngampar bide" atau menghampar tikar. Upacara yang hanya digelar saat akan memulai Gawai Dayak di rumah Betang Panjang Pontianak.

Upacara tersebut selalu dilakukan saat menjelang Pekan Gawai Dayak,yakni pesta panen padi masyarakat Dayak yang dilaksanakan di Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalbar.

"Ngampar bide", menurut Ketua Panitia Pekan Gawai Dayak XXVI Kalbar, Herculanus Didi, dilaksanakan pada Rabu (18/5) atau dua hari sebelum pembukaan secara resmi Pekan Gawai Dayak oleh Gubernur Kalbar.

Ritual itu diadakan supaya mendapatkan kemudahan dari sang pencipta untuk melaksanakan acara tahunan tersebut yang akan dimulai pada Jumat (20/5).

"Ritual ’ngampar bide’ artinya ’bepinta’ (meminta), ’bepadah’ (memberitahu) kepada Jubata atau Tuhan supaya kegiatan kita mendapatkan kemudahan dan kelancaran," kata Herculanus Didi di Rumah Betang Panjang, Jl Sutoyo, Pontianak.

Ritual tersebut dari bahasa Kanayatn, yakni sub suku yang menggunakan bahasa Bekati atau Ahe yang tersebar dari Kabupaten Kubu Raya, Pontianak, Bengkayang, Landak dan kini di Kota Pontianak.

"Ngampar" yang berarti menggelar atau menghamparkan, sementara "Bide" mengandung pengertian sebagai tikar atau tempat untuk berserah. "Upacara ini harus digelar sebelum memulai Gawai (pesta)," kata Didi lagi.

Tak berbeda jauh dengan Didi, Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kalbar, Yakobus Kumis, mengatakan "Ngampar bide" upacara adat yang dilaksanakan untuk memulai acara Pekan Gawai Dayak.

Intinya izin permisi. Kehadirat Jubata serta meminta pertolongan kepadanya agar pelaksanaan Pekan Dawai dapat berjalan dengan lancar dan sukses. "Hanya untuk Pekan Gawai Dayak," katanya.

Ritual itu juga tidak ada dalam acara Naik Dango atau upacara sejenisnya dengan tujuan yang sama, untuk bersyukur kepada Jubata setelah keberhasilan dalam panen padi, yang digelar oleh warga Dayak di sejumlah kabupatem/kota di Kalbar.

Dalam ritual tersebut ada tiga tahapan, pertama upacara Nyangahatn manta’ atau bapipis yakni doa adat sebelum seluruh peragaan adat disiapkan.

Kedua, Bapadah kapanyuku atau pantak pantulak atau upacara adat yang dilakukan untuk meminta perlindungan kepada penjaga di sekitar kompleks Rumah Betang agar tidak ada hambatan atau rintangan sehingga pelaksanaan berjalan lancar dan sukses.

Dan ketiga, upacara Nyangahatn masak atau upacara adat doa puncak dari seluruh proses "Ngampar bide", di mana seluruh peraga adat sudah tersaji dan merupakan inti dari doa atau nyangahatn.

Imam

Sejumlah hidangan, tempayan, nampan, tempat sirih dan isinya berupa pinang, gambir, daun sirih, kapur, potongan daging babi, ayam, beras pulut (ketan), beras putih, telur ayam, lemang dan kue cucur terhidang di ruang pertemuan Rumah Betang Panjang.

Seorang imam (pemimpin doa) didampingi seseorang yang menyiapkan bahan-bahan tersebut, duduk di hadapan sesajian dengan mulut komat-kamit membaca doa. Imam terlihat sesekali menepis lembaran daun selasih, pandan dan rijuang, ke hidangan itu setelah dibasahi air.

Sang imam, Kanisius Kasan (61), sudah memimpin upacara tersebut selama lima tahun terakhir, tampak tekun membaca doa. salah satu doa yang dibacakan Kasan, terdengar menyebut nama beberapa orang yang dianggap "raja" atau pemimpin di masyarakat Dayak. Di antaranya Gubernur Kalbar, Cornelis.

"Kami mendoakan beliau (Gubernur Cornelis) karena kami menganggapnya sebagai raja bagi orang Dayak," kata Kasan ketika ditemui usai ritual.

Kasan secara turun-temurun memiliki kemampuan sebagai seorang ahli spiritual atau dukun di masyarakat Dayak.

Pada Pekan Gawai Dayak XXVI 2011, Kasan diminta kembali memimpin upacara tersebut.

Ia mengatakan "Ngampar bide" sebagai ritual yang dihadiri para tokoh Dayak untuk menyiapkan Gawai, membahas persiapan gawai atau pesta termasuk memohon perlindungan Jubata (Tuhan Yang Maha Esa) agar Pekan Gawai Dayak yang berlangsung 20-24 Mei dapat berjalan lancar dan sukses.

Menurut dia lagi, dalam bacaan yang disampaikan saat "Ngampar bide" yang menggunakan bahasa Kanayatn, disebutkan akan ada pertemuan (bahaum) untuk pesta. Dalam ritual itu juga disampaikan jadwal dan tanggal berapa pesta diadakan. Supaya orang-orang yang mendengarkan menjadi tahu tentang acara tersebut.

"Bapak pergi, ibu tidak. Jadi dikasih tahu. Gawai tahun ini, Ngampar bide diadakan tanggal 18 Mei. Jadi orang dikasih tahu ada bahan-bahan yang dipakai seperti bambu dan kayu api untuk masak," kata dia.

"Ngampar bide" dilakukan juga agar saat pesta tidak ada gangguan, katanya.

Ritual itu berlangsung di ruang pertemuan Rumah Betang, berlanjut ke sebuah pondok yang disebut pagugu padagi terdapat patung kayu yang disimbolkan sebagai "nek nukukng" atau patung keramat, kemudian ke pintu gerbang kompleks rumah Betang yang terdapat sebuah tempayan penolak bala, "nek pantulak" supaya orang tidak bertengkar atau berkelahi.

Sebagian sesaji ditinggalkan di sekitar patung kayu dan di dalam mangkuk, kemudian diletakkan di atas tempayan dan digantung pada dua tombak penyangga tempayan tersebut. Bahan-bahan tersebut seperti sirih, pinang, kapur, gambir, dan rokok daun nipah ditambah sedikit air. "Itu untuk menghentikan perkelahian," kata Kasan lagi.

Ia mengatakan, pernah saat Pekan Gawai beberapa tahun lalu terjadi perkelahian di sekitar kompleks Rumah Betang karena ada peserta Gawai yang mabuk, dan bahan-bahan yang ada di dalam tempayan, berfungsi untuk menghentikan perkelahian itu.

Kebiasaan mabuk saat Gawai kini pelan-pelan ditinggalkan generasi muda Dayak. Pelarangan mabuk karena banyak mengkonsumsi tuak, salah satu minuman khas Dayak, berulang kali diingatkan para tokoh dan pemimpin Dayak, termasuk Gubernur Cornelis yang dibanggakan warga Kanayatn.

Ada Ngampar bide, maka ada pula "Gulung bide", yakni ritual menutup Pekan Gawai Dayak yang akan diadakan pada Selasa (24/5) pagi. Ritual itu sebagai tanda berakhirnya pesta panen padi tersebut secara adat.

Sedangkan secara resmi, Pekan Gawai akan ditutup oleh Gubernur pada malam harinya. "Ngampar bide", merupakan satu dari sekian banyak tradisi dan budaya Dayak yang belum dikenal masyarakat umum, bahkan oleh sebagian generasi muda suku yang mendiami pulau Kalimantan itu sendiri. Masih ada ritual adat lainnya, namun akankah sama dengan "Ngampar bide" yang tetap dipertahankan hingga tak lekang oleh zaman?


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/05/23/23163396/Ngampar.Bide.dalam.Tradisi.Gawai.Daya

"Narcotank", Truk Perang Geng Narkoba

| | | 0 komentar
Kartel Meksiko narkoba benar-benar serius dalam menanggapi "perang melawan narkoba" yang digencarkan pemerintah dan aparat keamanannya. Tak hanya melengkapi organisasi dengan persenjataan lengkap, mereka pun mempunyai kendaraan tempur.

Karena tidak mungkin membeli tank atau panser, mereka membuat sendiri kendaraan lapis baja. Militer Meksiko berhasil menemukan dan menyita beberapa kendaraan yang mereka sebut sebagai narcotank. Sementara warga dan media menjulukinya "Los Monstruos", yang berarti "Sang Monster".

Kendaraan "perang" organisasi narkoba Meksiko ini tak ubahnya kendaraan perang. Kendaraan yang dimodifikasi dari truk itu dilapisi pelat baja setebal 2,5 sentimeter dan mampu menahan peluru kaliber 50. Kacanya pun antipeluru. Kendaraan gabungan tiga truk tersebut juga dilengkap senjata.

Angkatan bersenjata Meksiko mengumumkan, Minggu (4/6/2011), patroli rutin militer menggerebek sebuah gudang di Camargo, Tamaulipas, yang berbatasan dengan kota Rio Grande City, Texas, Amerika Serikat. Dari gudang itu, mereka menemukan dua dump truck berlapis baja untuk mengangkut "pasukan".

Sebagai kendaraan tempur, kemampuan narcotank cukup mengagumkan. Menurut blog narkoba Meksiko, truk lapis baja itu mampu melaju hingga kecepatan 96 kilometer per jam. Juga bisa menyebar paku atau mengucurkan oli ke jalan untuk menghambat lawan.

Dalam beberapa kali konfrontasi dengan aparat Meksiko, geng narkoba menggunakan truk raksasa ini, termasuk yang terjadi di Jalisco bulan lalu. Tentara Meksiko melawan salah satu narcotank. Karena peluru tidak bisa menembus badan mobil, tentara akhirnya menembaki bannya.

Diduga terdapat sekitar 100 truk serupa milik kartel-kartel narkoba di seluruh Meksiko.

Di laut pun kartel narkoba Meksiko mempersiapkan diri. Mereka merancang kapal selam yang mampu mengirimkan berton-ton narkoba lewat perairan dan lolos dari deteksi.

Tahun lalu pihak berwenang menemukan sebuah terowongan sepanjang 670 meter. Terowongan yang dilengkapi rel dan ventilasi ini untuk mengangkut mariyuana dari sebuah rumah di Tijuana, Meksiko, ke gudang di Otay Mesa, California, Amerika Serikat.

Pekan lalu tentara menemukan sebuah gudang senjata dan amunisi yang cukup besar di sebuah bungker di Negara Bagian Coahuila, yang berbatasan dengan AS. Gudang itu diduga milik kartel Zeta. Di dalamnya ditemukan 150 senjata laras panjang, pistol, 92.000 butir peluru, 4 mortir, dan 2 pelontar granat.

Selain berperang melawan polisi dan tentara, kartel narkoba juga bersaing dengan kartel lain. Persaingan itu sangat sengit dan menewaskan ribuan orang dalam beberapa tahun terakhir.


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/06/08/10143585/Inilah.Narcotank.Truk.Perang.Geng.Narkoba

Sumpit Dayak Lebih Ditakuti daripada Peluru

| | | 0 komentar
Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru.

Yang membuat pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit yang beracun. Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek.

"Makanya, tak heran penjajah Belanda bilang, menghadapi prajurit Dayak itu seperti melawan hantu," tutur Pembina Komunitas Tarantang Petak Belanga, Chendana Putra, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (2/6/2011).

Tanpa tahu keberadaan lawannya, tiba-tiba saja satu per satu serdadu Belanda terkapar, membuat sisa rekannya yang masih hidup lari terbirit-birit. Kalaupun sempat membalas dengan tembakan, dampak timah panas ternyata jauh tak seimbang dengan dahsyatnya anak sumpit beracun.

Tak sampai lima menit setelah tertancap anak sumpit pada bagian tubuh mana pun, para serdadu Belanda yang awalnya kejang-kajang akan tewas. Bahkan, bisa jadi dalam hitungan detik mereka sudah tak bernyawa. Sementara, jika prajurit Dayak tertembak dan bukan pada bagian yang penting, peluru tinggal dikeluarkan. Setelah dirawat beberapa minggu, mereka pun siap berperang kembali.

Penguasaan medan yang dimiliki prajurit Dayak sebagai warga setempat tentu amat mendukung pergerakan mereka di hutan rimba.

"Karena itu, pengaruh penjajahan Belanda di Kalimantan umumnya hanya terkonsentrasi di kota-kota besar tapi tak menyentuh hingga pedalaman," Chendana.

Tak hanya di medan pertempuran, sumpit tak kalah ampuhnya ketika digunakan untuk berburu. Hewan-hewan besar akan ambruk dalam waktu singkat. Rusa, biawak, atau babi hutan tak akan bisa lari jauh. "Apalagi, tupai, ayam hutan, atau monyet, lebih cepat lagi," katanya.

Bagian tubuh yang terkena anak sumpit hanya perlu dibuang sedikit karena rasanya pahit. Uniknya, hewan tersebut aman jika dimakan. "Mereka yang mengonsumsi daging buruan tak akan sakit atau keracunan," kata Chendana.

Baik hewan maupun manusia, setelah tertancap anak sumpit hanya bisa berlari sambil terkencing-kencing.

"Bukan sekadar istilah, dampak itu memang nyata secara harfiah. Orang atau binatang yang kena anak sumpit biasanya kejang-kejang sambil mengeluarkan kotoran atau air seni sebelum tewas," tambah Chendana.


Dwi Bayu Radius
Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/06/02/14431016/Sumpit.Dayak.Lebih.Ditakuti.daripada.Peluru

Melegendanya Laut Jawa

| | | 0 komentar
Monumen Karel Doorman di Ereveld Kembang Kuning - Surabaya
Laut Jawa memiliki kisahnya sendiri. Sebelum perang dunia berakhir telah tercatat tiga invasi militer terbesar dalam sejarah yang melintasi Laut Jawa. Tak hanya dari sisi besaran armada, invasi tersebut juga berdampak merubah tatanan dan sejarah Tanah Jawa.

Kisah pertama tentang Laut Jawa mungkin masih kita ingat ketika invasi militer Jepang 1942 dalam perintah Laksamana Takagi Takeo. Setelah serangan ke Filipina, Tarakan, dan Selat Makassar, militer Jepang menghadapi serangan penentuan di Laut Jawa pada 27-28 Februari 1942 yang dikenal dengan “Pertempuran Laut Jawa”. Alhasil, dalam pertempuran dengan kekuatan tak sebanding itu militer Jepang tidak mengalami kesulitan berarti dan mendarat dengan mudah di pantai Kragan, dekat Rembang 1 Maret 1942. Kampanye berikutnya, Jepang mampu meruntuhkan emperium Hindia Belanda yang dibangun ratusan tahun hanya dalam waktu delapan hari!

Invasi militer Tentara Kerajaan Inggris di bawah komando Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty pada 1811 menjadi kisah legenda berikutnya. Misi utama Inggris adalah menghilangkan otoritas pengaruh Perancis di Lautan Timur yang mencakup wilayah Asia Pasifik. Setidaknya 100 kapal yang mengangkut 12.000 orang! Jumlah yang tiada banding hingga Perang Dunia Kedua. Mereka berhasil merapat dan memulai invasi militer mereka dari Cilincing. Hasilnya, Inggris secara resmi menduduki Jawa pada 1812-1816. Untuk alasan ini, Gubernur Jenderal Lord Minto mempromosikan Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Jawa, menetap di Buitenzorg, kini Bogor.

Jauh sebelum pasukan Auchmuty menjejakkan kakinya di Jawa, invasi militer Kubilai Khan telah merambah pedalaman Jawa. Khan adalah seorang penguasa Mongol terkemuka abad ke-13, pendiri Dinasti Yuan. Armada cucu Genghis Khan itu mendarat di pantai Rembang 1293. Invasi mereka telah berdampak secara tidak langsung terhadap tahta baru Kerajaan Majapahit. Kelak kerajaan ini akan menurunkan raja-raja Jawa yang juga akan mengubah sejarah di Tanah Jawa.


Terdapat tiga plat tembaga yang menampilkan Kapal De Zeven Provincien dalam pertempuran di Pantai Timur Inggris di bawah komando Michiels Adriaanszoon de Ruyter abad ke-17, plat kedua menampilkan profil Karel Doorman dengan semboyannya yang melegenda “”Aku serang sekarang, semua ikuti aku”, kemudian plat terakhir menampilkan Kapal Perang De Ruyter yang dikomandoi Karel Doorman dan tenggelam di Pertempuran Laut Jawa.


Dari ketiga ekspedisi militer yang melintasi Laut Jawa, menurut saya Pertempuran Laut Jawa-lah yang memiliki cakupan serangan luas, hampir seribu orang kehilangan hidup mereka di pertempuran dua malam yang dimenangkan oleh Jepang itu. Untuk mengenang mereka yang binasa saat penentuan nasib terakhir Hindia Belanda di Laut Jawa, Kerajaan Belanda mendirikan sebuah monumen di Ereveld Kembang Kuning Surabaya, sebuah taman makam kehormatan bagi korban perang yang dikelola Oorlogsgravenstichting. Monumen yang diresmikan pada 7 Mei 1954 itu mengabadikan nama seorang Laksamana Muda yang turut melegenda di Pertempuran Laut Jawa, Karel Doorman.

http://heritage.blog.nationalgeographic.co.id/2011/03/16/melegendanya-laut-jawa/

Abdul Qahhar Mudzakkar: Perang-Perangan, Sekolah, Organisasi, dan Nikah Muda

| | | 0 komentar
Di kampung Lanipa, Ponrang, dalam wilayah Luwu yang dikelilingi hutan belukar, disitulah Kahar lahir dan menjalani masa kecil. Dia lahir pada tanggal 24 Maret tahun 1921.

Kahar kemudian bergabung dengan anak-anak yang lain, bermain dan berlari kekanak-kanakan. Permainan masa kecilnya adalah perang-perangan. Dari permainan itu, karakter keberaniannya terbentuk.

Kahar bermain hingga Maghrib menjelang. Sehabis bermain, dia langsung pulang ke rumah untuk mandi dan menyiapkan diri mengikuti shalat Maghrib. Shalat maghrib diimami langsung oleh ayahnya, Malinrang. Sehabis shalat, dia lalu mengaji, diajari oleh ibunya, Kaesang.

Malinrang adalah seorang pedagang. Dia berdagang sampai ke wilayah Kalimantan; bahkan Malaysia. Dari hasil dagang, dia banyak membeli tanah di daerah Luwu. Dia pun terkenal sebagai tuan tanah. Dari hasil usahanya, Malinrang ingin anaknya bersekolah tinggi. Pada umur 7 tahun, Kahar pun dimasukkan ke Sekolah Rakyat (SR) di Lanipa.

Sejak kecil, Kahar juga sudah mengenali organisasi pergerakan, semisal Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia. Dia biasa mendengarnya dari cerita tamu-tamu yang biasa mengunjungi ayahnya atau cerita orang-orang yang sedang asyik bermain domino. Kahar memang sangat hobi bermain domino. Bahkan, dia biasa bermain domino sampai pagi. Orang-orang sekitarnya pun menggelarinya La Domeng, pemain domino.

Kahar selesai dari SR pada 1934. Dia kemudian melanjutkan ke Sekolah Standar Muhammadiyah (SSM) di daerah Palopo. Dia terdaftar sebagai siswa di SSM pada 1935. Di SSM, pikiran Kahar terbuka. Dia banyak memperoleh pengetahuan baru, tentang perhitungan, membaca, organisasi, dan pengkaderan.

Kahar selesai dari SSM pada 1938. Dia kemudian melanjutkan sekolahnya ke tanah Jawa. Dia bersekolah di Muallim Muhammadiyah (MM) di Solo, Jawa Tengah. Solo adalah pusat pendidikan kala itu dan juga tempat lahir dan berkembangnya organisasi Muhammadiyah.

Di MM, Kahar banyak mengikuti kegiatan-kegiatan kepemudaan. Dia pun bergabung dengan organisasi pemuda yang diasuh Muhammadiyah, Hizbul Wathan. Kahar juga sangat kagum kepada seorang gurunya: Prof. Abdul Qahhar Mudzakkir. Saking kagumnya, Kahar sampai menggubah namanya menjadi Abdul Qahhar Mudzakkar.

Baru setahun mendiami Solo, Kahar sudah menguasai daerah itu. Dia pun banyak berkeliling dan bergaul dengan para pemuda. Suatu ketika, dia bertemu dengan gadis Solo yang menarik hatinya, Warlina. Dia pun berkenalan dengannya dan menjadi akrab. Merasa sudah cocok dengan Warlina, Kahar segera melamarnya dan diterima. Pernikahan Kahar-Warlina pun berlangsung dengan sangat sederhana.

Sibuk mengurusi keluarga dan aktif di organisasi kepemudaan, membuat Kahar malas bersekolah. Kahar pun akhirnya tidak menyelesaikan sekolahnya di MM. Bersama istrinya, dia pun kembali ke Luwu, kampung halamannya.

[Dirangkum dari pelbagai sumber]

http://sejarah.kompasiana.com/2011/06/03/abdul-qahhar-mudzakkar-perang-perangan-sekolah-organisasi-dan-nikah-muda/

Abdul Qahhar Mudzakkar: Berdagang dan Menggalang Organisasi Pergerakan dan Militer

| | | 0 komentar
Pada Mei 1943, Kahar menetap di Solo. Dia bersama Warlina, istrinya, membuka usaha. Dia mengelola sebuah toko kain.

Usaha beli-jual kainnya kemudian berkembang. Dia pun mengajak teman-teman sekampungnya untuk berkongsi: Muhammad Idrus, Abdul Mannan, dan Saleh Sjahban. Keempatnya bersatu membuka toko dagang yang diberi nama Toko Luwu.

Toko Luwu yang banyak dikunjungi ternyata bukan hanya dijadikan sebagai tempat bisnis, tapi juga dijadikan sebagai tempat pertemuan para pemuda untuk membahas persoalan bangsa.

Pada 17 Agustus 1945, Kahar mendengar pidato proklamasi kemerdekaan Soekarno. Namun dia juga mendengar bahwa tentara sekutu, Belanda diboncengi Inggris, ingin kembali menguasai Indonesia. Dia pun memutuskan untuk pergi ke Jakarta.

Di Jakarta, dia mengumpulkan para pemuda dan pedagang Sulawesi guna membentuk organisasi pergerakan guna melawan tentara sekutu. Maka terbentuklah Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (GEPIS) yang kemudian berganti nama menjadi Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS). APIS kemudian menjadi suborganisasi dari Angkatan Pemuda Indonesia (API).

Apa kontribusi API dalam usaha meraih kemerdekaan? API turut serta merancang rapat besar menyambut proklamasi kemerdekaan. Rapat itu dilaksanakan di Lapangan Ikada pada 19 September 1945.

Dalam rapat yang dihadiri puluhan ribu massa itu, Kahar dengan parang dipinggangnya menjadi pengawal Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moehammad Hatta. Rapat di Ikada pun berhasil dimana Soekarno menyampaikan pidatonya yang dahsyat membakar semangat massa.

Sadar bahwa APIS ruang lingkup dan kekuatannya kecil, Kahar dan teman-temannya kemudian mendirikan organisasi yang lebih besar, yaitu Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Terpilih sebagai Ketua adalah Bart Ratulangi, sedangkan Kahar menjadi Sekretaris Umum.

Seberapa nesar kekuatan KRIS? Melalui kekuatan KRIS, Kahar berhasil bernegosiasi untuk membebaskan para tahanan di penjara Nusakambangan yang kebanyakan orang Bugis-Makassar.

Tentang KRIS, bukannya bertambah kuat, ternyata di dalam tubuhnya terjadi perpecahan dalam bentuk kelompok-kelompok, ada kelompok minahasa, ada kelompok Bugis-Makassar, dan lainnya. Realitas tersebut membuat Kahar memutuskan diri untuk keluar dari KRIS.

Kahar kemudian membentuk organisasi militer bernama Batalyon Kemajuan Indonesia (BKI). Anggotanya adalah pemuda-pemuda yang dibebaskan Kahar dari penjara Nusakambangan. BKI kemudian bernaung di bawah Tentara Republik Indonesia (TRI).

Sumber: Kahar Muzakkar, oleh A. Wanua Tangke dan Ahmad Nasyaruddin

http://sejarah.kompasiana.com/2011/06/05/abdul-qahhar-mudzakkar-berdagang-dan-menggalang-organisasi-pergerakan-dan-militer/

Abdul Qahhar Mudzakkar: Bersekutu dengan Jepang dan Terusir dari Luwu

| | | 0 komentar
Pada 1941, Kahar membawa istrinya Warlina ke Luwu. Mereka pun menetap di Palopo. Kahar kemudian bekerja membantu ayahnya dan juga mengaktifkan gerakan Hizbul Wathan Muhammadiyah. Wilayah kerajaan Luwu dijajah oleh Belanda kala itu.

Setahun kemudian, Kahar mendengar bahwa tentara Jepang mendarat di Indonesia dan telah memasuki Makassar. Jepang hendak mengambil alih kekuasaan dari Belanda.

Karena hal tersebut, pikiran strategis Kahar muncul. Dia mengumpulkan pemuda-pemuda Hizbul Wathan dan memberi arahan untuk bersekutu dengan Jepang.

“Kawan-kawan! Hari ini, saya sengaja mengumpulkan kalian di sini untuk menyampaikan informasi yang sangat penting, dan ini untuk kepentingan masa depan kita. Tentara Jepang telah masuk ke Makassar. Sekarang kita harus menentukan sikap: apakah kita menolak kedatangan mereka atau menerimanya sebagai kelanjutan penjajahan terhadap bangsa kita?”

“Menurut saya, kita tidak boleh langsung melakukan perlawanan, sebab kita tidak punya kekuatan senjata. Kita terlebih dahulu perlu bekerja sama untuk mengusir Belanda. Setelah merasa kuat, kita balik haluan melawan Jepang. Bagaimana pun, Belanda dan Jepang sama-sama penjajah. Keduanya tidak boleh dibiarkan, harus diusir!”

“Untuk itu, strategi awal kita adalah kooperatif dengan pemerintah Jepang,” Kahar memutuskan.

Kahar kemudian seorang diri menemui tentara Jepang di Makassar dan pemerintah Jepang pun bersepakat. Tentara Jepang dibantu pemuda-pemuda Palopo berhasil menangkapi orang-orang Belanda, termasuk orang-orang pribumi yang membantu Belanda.

Jepang pun mengambil alih Sulawesi (Celebes) dari Belanda. Sulawesi kemudian dijadikan sumber pangan beras yang kemudian disalurkan ke seluruh wilayah Indonesia. Kahar sendiri dipekerjakan di kantor Administrasi Jepang, Nippon Dahopu, di Makassar.

‘Tak lama, jiwa pemberontakan Kahar muncul. Apalagi Kahar menilai hubungan bangsawan Kerajaan Luwu sangat mesra dengan Jepang, sampai-sampai Raja Luwu tidak mampu melindungi rakyat jelata yang hasil panennya diperas oleh Jepang.

Langkah strategis kembali diambil Kahar, memecah kaum bangsawan di Kerajaan Luwu menjadi dua: pro Jepang dan kontra Jepang. Strategi yang kemudian dicium oleh Jepang.

Kahar pun dipecat dari Nippon Dahopu. Sebagian kaum bangsawan juga menaruh benci padanya karena telah memecah kesatuan di Kerajaan Luwu.

Karena hal tersebut, Raja Luwu pun menjatuhkan hukum adat kepada Kahar, yaitu mengusir Kahar dari Luwu atau yang dalam bahsa Bugis disebut ripaoppangi tana.

Keputusan Raja Luwu tersebut mengagetkan masyarakat Luwu karena yang pertama kalinya terjadi. Sebelumnya, tidak ada satu pun orang Luwu yang pernah diusir dari kampung halamannya.

Bagi Kahar, pengusiran tersebut sangat mengganggu harga dirinya (siri’). Dia pun berjanji -setelah terusir- akan kembali ke tanah Luwu memperlihatkan kemampuannya.

Selanjutnya, Kahar bersama istrinya kembali ke kampung halaman istrinya di Solo, Jawa Tengah.

Sumber: Kahar Muzakkar, oleh A. Wanua Tangke dan Ahmad Nasyaruddin

http://sejarah.kompasiana.com/2011/06/04/abdul-qahhar-mudzakkar-bersekutu-dengan-jepang-dan-terusir-dari-luwu/

Diktaktor Rumania : Ceauşescu dan istrinya dihukum mati

| | | 0 komentar
Lahir 26 Januari 1918 – meninggal 25 Desember 1989 pada umur 71 tahun adalah politikus Rumania yang menjadi sekjen Partai Komunis Rumania dari 1965 hingga 1989, Presiden Dewan Negara dari 1967, dan Presiden Rumania dari 1974 hingga 1989.

Awal kekuasaannya sebagai presiden Rumania ditandai dengan kebijakan terbuka terhadap Eropa Barat dan Amerika Serikat, yang berbeda dengan negara-negara Pakta Warsawa lainnya selama Perang Dingin. Dekade kedua kekuasaan Ceauşescu berciri meningkatnya pemujaan kepribadian dan hubungan yang memburuk dengan negara-negara Barat dan Uni Soviet. Rezim Ceauşescu dijatuhkan pada Desember 1989. Bersama dengan istrinya, Nicolae Ceauşescu dihukum mati.

Lahir di desa Scorniceşti, Ceauşescu pindah ke Bukares pada usia 11 tahun untuk bekerja di pabrik. Ia bergabung dengan Partai Komunis Rumania pada awal tahun 1932 dan ditangkap pada tahun 1933. Ia kembali ditangkap pada tahun 1934. Penangkapan tersebut membuatnya dijuluki "agitator komunis berbahaya" dan "penyebar propaganda komunis dan anti-fasis" dalam catatan polisi. Ceauşescu lalu bergerak diam-diam, namun kembali ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1936 selama dua tahun di Penjara Doftana karena aktivitas anti-fasis.

Setelah keluar dari penjara tahun 1940, ia bertemu dengan Elena Petrescu (menikah tahun 1946). Ceauşescu kembali ditangkap tahun 1940. Pada tahun 1943, ia dipindah ke kamp konsentrasi Târgu Jiu. Setelah Perang Dunia II, ketika Rumania mulai jatuh ke dalam pengaruh Uni Soviet, Ceauşescu menjadi sekretaris Uni Pemuda Komunis (1944–1945).

Setelah komunis berkuasa di Rumania tahun 1947, Ceauşescu menjadi Menteri Agrikultur, lalu menjadi Wakil Menteri Angkatan Bersenjata. Pada tahun 1954, Ceauşescu menjadi anggota penuh Politburo dan berhasil meraih posisi tertinggi kedua dalam hirarki partai.

Tiga hari setelah meninggalnya Gheorghiu-Dej pada Maret 1965, Ceauşescu menjadi sekjen pertama Partai Pekerja Rumania. Ia mengubah nama partai menjadi Partai Komunis Rumania, dan menyatakan Rumania sebagai Republik Sosialis Rumania. Pada tahun 1967, ia mengkonsolidasikan kekuatannya dengan menjadi presiden Dewan Negara. Pada tahun 1974, ia menjadi "Presiden Rumania".

Awalnya, Ceauşescu menjadi figur yang populer di Rumania dan Dunia Barat karena kebijakan luar negerinya yang independen. Pada tahun 1960-an, ia mengakhiri partisipasi aktif Rumania dalam Pakta Warsawa (meskipun Rumania masih merupakan anggota); menolak mengambil bagian dalam invasi Cekoslowakia 1968 oleh Pakta Warsawa, dan dengan terbuka mengutuk tindakan tersebut.

Pada tahun-tahun berikutnya, Ceauşescu mengejar kebijakan terbuka terhadap Amerika Serikat dan Eropa Barat. Rumania adalah negara komunis pertama yang mengakui Jerman Barat, bergabung dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan menerima Presiden Amerika Serikat Richard Nixon.

Pada tahun 1971, Rumania menjadi anggota General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Rumania dan Yugoslavia juga menjadi satu-satunya negara Eropa Timur yang terlibat dalam perdagangan bebas dengan European Economic Community sebelum runtuhnya blok komunis.

Ceauşescu juga berusaha melakukan mediasi terhadap konflik-konflik internasional agar Rumania memperoleh penghargaan dunia.

Ia menegosiasikan beberapa urusan internasional, seperti dibukanya hubungan AS dengan Cina tahun 1969 atau kunjungan presiden Mesir Anwar Sadat ke Israel tahun 1977. Selain itu, Rumania juga menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina.

Pada tahun 1974, ia menjadi "Presiden Rumania". Ceauşescu terus mengejar kebijakan luar negeri yang independen. Namun, ia menolak untuk melakukan reformasi liberal.

Mulai tahun 1972, Ceauşescu mencanangkan program sistematisasi yang berusaha membangun "masyarakat sosialis multilateral yang maju". Program penghancuran, pemindahan kembali dan konstruksi dimulai di pedesaan, yang memuncak pada usaha membentuk kembali ibukota negara. Berbagai gereja dan bangunan sejarah di Bukares dihancurkan tahun 1980-an untuk diganti dengan bangunan bergaya lain. Ceauşescu juga berencana menghancurkan banyak desa untuk memindahkan petani ke kota, sebagai bagian dari program "urbanisasi" dan "industrialisasi".

Pada tahun 1966, untuk meningkatkan jumlah penduduk Rumania, rezim Ceauşescu melarang aborsi dan kontrasepsi. Selain itu, diterapkan kebijakan lain untuk meningkatkan tingkat kelahiran, seperti pajak khusus bagi penduduk berusia diatas 25 tahun yang tidak mempunyai anak.

Pemerintah Rumania juga berusaha mengurangi tingkat perceraian dengan mempersulit proses perceraian.

Pada akhir tahun 1960-an, jumlah penduduk mulai meningkat, begitu pula dengan tingkat kemiskinan dan tunawisma. Selain itu, pembuangan anak menimbulkan masalah baru. Jumlah anak yatim piatu terus meningkat.

Kunjungan Ceauşescu ke Republik Rakyat Cina, Korea Utara dan Vietnam Utara tahun 1971 membuahkan inspirasi baginya. Ia tertarik dengan gagasan transformasi nasional secara penuh seperti Revolusi Kebudayaan di Cina. Ceauşescu lalu mulai meniru sistem di Korea Utara. Buku mengenai ideologi Juche Korea Utara mulai diterjemahkan dalam bahasa Rumania. Pada tanggal 6 Juni 1971, ia menyampaikan pidato yang dikenal sebagai Tezele din iulie (Theses Juli). Pada pidato tersebut, terdapat 17 proposal.
Theses ini dikatakan sebagai awal revolusi kebudayaan kecil di Rumania.

Pada tahun 1978, Ion Mihai Pacepa, anggota senior Securitate, membelot ke Amerika Serikat. Pengkhianatannya memberikan pukulan keras bagi rezim Ceauşescu. Buku Pacepa tahun 1986, Red Horizons: Chronicles of a Communist Spy Chief (ISBN 0-89526-570-2), membuka beberapa rahasia dalam rezim Ceauşescu, seperti kegiatan mata-mata terhadap industri Amerika.

Setelah pengkhianatan Pacepa, Rumania menjadi semakin terisolasi. Biro intelijen Ceauşescu menjadi subjek infiltrasi oleh intelijen asing. Ceauşescu mencoba melakukan reorganisasi, namun sia-sia.

Kebijakan luar negerinya yang independen menarik perhatian negara-negara Barat. Ceauşescu dapat meminjam uang sebesar lebih dari $13 milyar dari Barat untuk mendanai program ekonomi. Sayangnya, pinjaman ini malah menghancurkan Rumania. Untuk memperbaikinya, Ceauşescu berusaha membayar utang Rumania. Ia mengadakan referendum dan berhasil mengubah konstitusi, menambah larangan untuk meminjam uang di masa depan.

Pada tahun 1980-an, Ceauşescu memerintahkan ekspor produk agrikultur dan industri negara untuk membayar utang. Akibatnya, terjadi shortage di Rumania. Standar hidup orang Rumania terus berkurang.
Utang ini berhasil dibayar sepenuhnya pada musim panas tahun 1989 sebelum jatuhnya Ceauşescu.

Demonstrasi di kota Timişoara pecah karena usaha pemerintah Rumania untuk mengusir pastor Hongaria László Tőkés. Tőkés dituduh menghasut kebencian etnis oleh pemerintah. Anggota kongregasi etnis Hongaria mengelilingi apartemennya untuk menunjukan dukungan mereka kepada Tőkés. Pelajar Rumania lalu bergabung dalam demonstrasi, yang menyebar menjadi demonstrasi anti pemerintah. Tentara militer, polisi dan Securitate menembak demonstran pada 17 Desember 1989. Pada 18 Desember 1989, Ceauşescu berkunjung ke Iran, menyerahkan tugas meredam revolusi di Timişoara kepada subordinatnya. Pada saat kembalinya Ceauşescu pada 20 Desember, situasi menjadi semakin tegang.

Pada pagi hari tanggal 21 Desember, Ceauşescu memberikan pidatonya yang mengutuk insiden di Timişoara. Selama pidato berlangsung, banyak massa yang mengolok-olok Ceauşescu. Tiba-tiba terdengar suara bom dan senapan, dan kekacauan meletus. Ceauşescu dan istrinya panik, dan bersembunyi di dalam sebuah bangunan.
Revolusi telah menyebar ke seluruh kota-kota besar di Rumania pada 22 Desember. Ceauşescu mencoba untuk memberikan pidato pada massa yang berkumpul di depan bangunan Komite Pusat. Namun, ia ditolak dan massa mencoba masuk, sehingga Ceauşescu melarikan diri dengan helikopter.

Ceauşescu dan istrinya melarikan diri dari ibukota ke kediamannya di Snagov. Mereka lalu melarikan diri lagi ke Târgovişte. Dekat Târgovişte, mereka meninggalkan helikopter dan menggunakan jalur darat. Ceauşescu akhirnya ditangkap polisi. Pada hari Natal tanggal 25 Desember, Ceauşescu dan istrinya dihukum mati di Târgovişte.
Nicolae Ceauşescu dan istrinya Elena dimakamkan di kuburan Ghencea, Bukares.

Nicolae dan Elena Ceauşescu memiliki tiga anak: Valentin Ceauşescu (lahir 1948), Nicu Ceauşescu (1951–1996) dan Zoia Ceauşescu (1949–2006). Setelah kematian orang tuanya, Nicu Ceauşescu memerintahkan pembangunan kembali gereja Ortodoks dengan tembok yang didekorasi potret orang tuanya

sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Nicolae_Ceausescu

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?