SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Mereka Masih Akrab dengan Kemiskinan

| | | 0 komentar
Oleh Stevano Lilinger
Lapangan Purpura dekat pantai Uhun, Pulau Kisar, Selasa pagi 17 Agustus 2010, tampak ramai dikunjungi warga Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Maluku. Mereka berkumpul untuk menyaksikan peringatan HUT RI ke-65.

Purpura dijadikan lokasi peringatan kemerdekaan karena memang desa itulah satu-satunya yang memiliki tanah lapang, cocok untuk pelaksanaan upacara dengan peserta berjumlah banyak.

Upacara itu sendiri menjadi sangat istimewa bagi warga Pulau-Pulau Terselatan, selain baru pertama kali, peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan itu merupakan acara penutup Sail Banda 2010, satu kegiatan reli dan lomba perahu layar bertaraf internasional yang melibatkan puluhan peserta dari 19 negara.

Dipimpin Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu selaku inspektur upacara, acara ini dihadiri sejumlah pejabat sipil dan militer, termasuk Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun, Sofie Ralahalu (istri Gubernur), Penjabat Bupati MBD Angky Renyaan, Pangdam XVI Pattimura Majen TNI Syafruddin Hatta, Kapolda Maluku Brigjen Pol, Totoy Herawan Indra.

Danlantamal VII Kupang Laksma Amry Husaini yang diundang khusus terlihat duduk bersama tokoh lintas agama, anggota DPRD Maluku dan Kabupaten setempat bersama tamu undangan lainnya. Mereka menempati tribun kehormatan berukuran lebih kurang 50 meter x 5 meter.

Di luar mereka, warga Pulau Kisar tua dan muda juga hadir. Namun, warga setempat yang harus menempuh perjalanan sejauh 7-12 KM itu, hanya mendapat tempat di belakang peserta upacara.

Lagu-lagu perjuangan terdengar menggaung dari perangkat tata suara berdaya listrik cukup besar, paling tidak terukur dari bunyinya yang terdengar mengalahkan deru ombak Pantai Uhun.

Beberapa menit sebelum pukul 10.00 WIT, acara pun dimulai. Derap pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) yang terdiri atas pasukan 17, 8 dan 45 terlihat gagah dan berbaris rapih menuju podium utama.

Cindy Lokarleky, siswa SMA Negeri I Pulau Pulau Terselatan, dipercayakan mengambil duplikat bendera pusaka yang diserahkan Gubernur untuk selanjutnya bersama anggota Paskibraka lainnya dibawa menuju tiang bendera untuk dikibarkan.

Ribuan mata masyarakat yang hadir tertuju pada para paskibraka, dan ini menjadi tontonan langka bagi warga di Pulau Kisar seluas 117,59 kilometer persegi yang merupakan salah datu dari delapan pulau terluar di Kabupaten MBD.

Cindy dan rekan-rekannya sukses mengibarkan Sang Merah-Putih hingga ke puncak tiang. Upacara itu berlangsung khidmat, kendati beberapa acara seperti atraksi perang pasukan kuda terpaksa dibatalkan.

Usai memimpin upacara itu, Gubernur, Wakil Menteri Perindustrian dan rombongan lainnya diundang menuju lokasi penancapan bendera merah putih di atas bukit pantai itu, yang diawali simulasi perang merebut pulau Kisar oleh pasukan elite dari Batalyon Marinir Pertahanan Pangkalan (Yonmarhanlan) Lantamal VII Kupang.

Skenario penyerangannya dilakukan pagi-pagi. Dengan menggunakan tiga perahu karet, pasukan marinir Yonmarhanlan Lantamal Kupang mendarat di pantai Uhun, namun belum sempat tiba di bibir pantai, masih di tengah laut, mereka diserang musuh dari negara asing yang mengetahui kedatangan pasukan itu.

Kontak senjata antara prajurit Marinir dan musuh tak dapat dielakan dan bakutembak berlangsung seru, karena musuh sempat bersembunyi di perbukitan batu sepanjang bibir pantai itu.

Namun dengan semangat juang tinggi pasukan Indonesia berhasil melumpuhkan musuh sekaligus membawa bendera merah putih yang terbuat dari tembaga dan menyerahkanya kepada Gubernur Karel Albert Ralahalu untuk ditancapkan di atas perbukitan batu di pulau itu.

Disaksikan ribuan masyarakat dan para tamu undangan Gubernur Maluku menancapkan bendera merah putih di pantai itu, yang dilanjutkan dengan penandatanganan prasasti pulau-pulau terluar.

Belum Merdeka?

Namun, keramaian dan suasana hingar-hingar di lapangan Purpura itu berbanding terbalik dengan suasana lengang di rumah kecil keluarga Kamanasa di Desa Ohoirata Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan di Pulau Kisar, yang berjarak sekitar 15 kilometer dari lokasi peringatan kemerdekaan.

Adalah Sevnat Kamanasa (42) bersama istrinya Tenci Kamanasa (39) dan kelima anaknya yang masih kecil seakan tak hirau dengan acara yang langka terjadi di pulau yang berhadapan dengan Negara tetangga Timur Leste itu.

Pasangan suami istri dengan lima anaknya, Marlon (17), Jhanter (12), Teguh (9), Charlos (6) sibungsu Gion (3), lebih memilih mengolah ladang yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari rumahnya.

"Jagung yang ditanam di ladang hanya bisa menghasilkan separuh saja, karena selebihnya mati dan kering akibat kemarau. Kami lebih memilih bekerja di kebun dan berharap hasil panen kali ini lebih baik," ujar Sevnat, saat ditemui di rumahnya yang hanya memiliki satu kamar dan berada di tengah rimbunan pohon koli yang berjejeran di samping kiri-kanan.

Keberhasilan mengolah lahan inilah yang dianggap sebagai "kemerdekaan" sesungguhnya oleh keluarga kecil ini.

Di gubuk kecil berukuran 5x6 meter persegi, keluarga besar Kamanasa tinggal. Beratapkan daun pohon koli, berdinding anyaman bambu yang sebagian pondasinya terbuat dari tanah liat dan berlantai tanah.

Sevnat dan istrinya membesarkan kelima buah hatinya dengan menggantungkan hidup dari hasil kebun. Walaupun sesekali di tengah senggang menunggu hasil panen kebun, dia menyempatkan diri menjadi pekerja buruh angkut di Pelabuhan Nama, yang hasilnya tidak seberapa.

"Kadang seminggu upah yang saya dapat hanya 150.000 ribu rupiah, tergantung pada kapal yang masuk di Kisar," ujarnya.

Bahkan, beberapa kali terpaksa Sevnat harus meminjam uang di kas koperasi buruh angkut untuk memenuhi biaya sekolah empat anaknya dan juga kebutuhan hidup sehari hari.

Rumah kecil dengan satu kamar itu terpaksa ditempati Sevnat dan keluarganya, karena mereka tidak mampu membuat yang lebih besar lagi, mengingat hasil panen jagung selama semusim dalam setahun hanya mampu menghasilkan empat hingga tujuh kaleng minyak, dengan harga jual Rp125 ribu per kaleng.

Di rumah itu tidak ada perabotan yang berharga. Hanya sebuah lemari pakaian yang tampak masih baru. Selebihnya perabot yang lain sudah terlihat usang. Pakaian yang mereka miliki juga terbatas, sehingga tidak heran jika kelima anaknya terlihat memakai baju kusam dan kotor, bahkan sering dipakai berulang kali sebelum diganti.

"Kalau kakaknya pakai baju baru sepulang dari Gereja atau ibadah terpaksa dibuka dan diberikan kepada adiknya yang juga ingin melakukan hal yang sama," kata Ibu Tenci malu-malu.

Tenci mengatakan, saat malam tiba, nyala pelita menjadi penerang satu-satunya. Di bawah sinar redup pelita itu pula empat dari lima anaknya yang sudah bersekolah menghafal pelajaran pada malam hari.

"Tahun 1997 sudah dipasang tiang listrik lengkap dengan kabelnya, tetapi entah kenapa kabelnya diambil lagi, tinggal tiang berdiri tanpa aliran listrik. Bahkan upah memasang tiang-tiang ini tidak dibayar," ujar Sevnat yang diiyakan istrinya yang setia mendampinginya selama 13 tahun terakhir.

Kasur berukuran 1,5 x 1 meter persegi menjadi satu-satunya pengalas kamar tidur yang pengap bagi keluarga ini melepas lelah pada malam hari, setelah seharian berpacu mengolah ladang di bawah terik matahari.

"Kami tidur berdempetan, terkadang bapak harus tidur di dipan yang terbuat dari bambu di luar rumah," tutur Tenci, sambil menunjukkan sebuah balai-balai bambu yang berjarak dua meter dari rumahnya.

Dipan ini juga berfungsi ganda karena dijadikan meja makan bagi keluarga Kamanasa.

Warga miskin

Keluarga Sevnat adalah potret dari sekitar 73 persen warga Kisar yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, dan jauh dari sentuhan pembangunan. Mereka menggantungkan hidup dari hasil ladang diantara dua musim yakni musim barat dan timur.

Musim Barat berlangsung Desember hingga April, dan musim timur pada paruh Mei hingga September, sedangkan September-Desember panas sangat terik terasa memanggang kulit. Rumput pun ikut terbakar terik matahari.

Di saat warga kesulitan bertani, seringkali bantuan dari pemerintah berupa beras (raskin) tidak cukup untuk memenuhi hidup sehari sehari. Kondisi ini sudah dianggap biasa bagi warga di beranda depan NKRI itu karena telah berlangsung turun-temurun.

Rupilus Jermias (60) dan Tomi Ratuhaurasa (52), dua keluarga miskin di Ohoirata juga mengaku bantuan raskin yang diberikan pemerintah sering datang terlambat hingga setahun, itu pun jumlahnya hanya satu kilogram atau hanya cukup untuk sekali makan saja.

"Raskin biasanya datang sekali setahun. Jatahnya 15-25 kilogram per keluarga, tetapi itu hanya di atas kertas saja. Bahkan kami pernah mendapat jatah 4 cupak (ukuran kaleng susu) beras raskin," kata Rupilus yang turut dibenarkan oleh Tomi.

Kendati demikian masyarakat tetap bisa bertahan hidup mengonsumsi persediaan makanan berupa jagung, kacang-kacangan dan biji mangga kering maupun sayuran di sekitar tempat tinggal mereka.

Tidaklah heran, jika jumlah warga miskin di Kabupaten Maluku Barat Daya masih tinggi, mencapai 57 persen dari seluruh penduduk di Kabupaten yang baru dimekarkan dari induknya Maluku Tenggara Barat (MTB) pada 16 September 2008 itu, sebanyak 74.295 jiwa.

Jauh Panggang dari Api

Kondisi perekonomian di MBD ibarat jauh panggang dari api, di tengah kesulitan mengais rupiah, mereka dihadapkan pada tingginya harga kebutuhan pokok. Contohnya, harga beras mencapai Rp12.000 per kilogram atau dua kali lipat lebih mahal dibanding di Ambon, ibu kota Provinsi Maluku maupun di kabupaten yang lain.

Kebutuhan pokok warga di MBD lebih banyak suplai dari Kupang (NTT), Surabaya (Jawa Timur), dan Makassar, Sulawesi Selatan menggunakan kapal laut.

Ironisnya fluktuasi harga kebutuhan pokok sering bervariasi dan puncak kemahalannya terjadi di saat musim barat dan timur karena tingginya gelombang laut, sehingga tidak memungkinkan bagi kapal perintis yang membawa kebutuhan pokok untuk berlayar.

Ketika musim gelombang itu pulalah hasil bumi warga Kisar sulit terjual.

"Transportasi udara yang diharapkan saat cuaca tidak bersahabat juga belum mampu manjawab kebutuhan transportasi masyarakat daerah itu, karena hanya dilayani penerbangan Merpati dengan jadwal tidak tentu, padahal seharusnya seminggu dua kali," kata Penjabat Bupati MBD. Frangky Renjaan.

Kebutuhan akan air bersih menjadi masalah lain bagi warga yang mendiami 46 pulau di kabupaten itu, yang secara geografis memiliki enam pulau terluar yakni Leti, Kisar, Marsela, Maiti Marang, Wetar dan Ustutun.

Masyarakat harus memanggul ember dan jerigen berkilo-kilo meter bahkan terkadang menggunakan perahu menuju sumber mata air. Barisan antrean warga untuk mengambil air menjadi pemandangan sehari-hari di Kisar dan pulau lainnya.

"Masalah kemiskinan, listrik, air bersih dan berbagai persoalan lainnya merupakan masalah klasik yang belum terpecahkan sejak Indonesia merdeka 65 tahun silam," kata Kepala Desa Nomaha, Weinan Reytu.

Angky Renjaan mengaku perubahan di kabupaten baru itu berjalan lamban. Apalagi dana yang tersedia untuk menopang pembangunan masih sedikit karena DPRD setempat baru terbentuk dan belum ada kepala daerah defenitif.

"Tiap tahun APBD Kabupaten Maluku Barat Daya hanya sekitar Rp200 miliar, Rp70 miliar di antaranya dipakai untuk belanja rutin dan sisanya untuk membiayai seluruh program pembangunan," katanya.

Masalah keamanan juga menjadi kebutuhan warga di pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste ini, karena mereka sering terganggu oleh maraknya pencurian ikan oleh nelayan dari Alor yang sering kali mengancam nelayan setempat dengan bom.

Semua masalah itu seakan melengkapi derita dan kemiskinan Rofilus Jermias Tomi Ratuhaurasa, Sevnat Kamanasa, serta puluhan ribu warga pulau terluar itu, entah hingga kapan.

http://oase.kompas.com/read/2010/08/22/08001186/Mereka.Masih.Akrab.dengan.Kemiskinan-8

36 Tahun Mereka Terkubur di Bumi Srilangka

| | | 0 komentar
Oleh Jafar Sidik
Rabu usai waktu Isya, 4 Desember 1974, 111 warga Blitar, 16 orang dari Lamongan, 50 warga asal Sulawesi Selatan, 2 orang penduduk kota Surabaya, dan 3 dari Kalimantan Timur, terbang dari Bandara Djuanda, Surabaya.
Tujuan terakhir mereka adalah Mekah, tetapi pesawat mesti singgah dulu di Srilangka karena harus mengisi dulu bahan bakar. Mereka hendak menunaikan rukun Islam yang kelima, haji.
Saat itu tak ada penerbangan langsung ke Mekah, sementara Garuda Indonesia Airways harus mencarter maskapai lain karena armada kurang.
Jenis pesawat carteran yang ditumpangi 128 calon haji Indonesia itu adalah DC-8 55f produksi McDonald Douglash tahun 1966, milik maskapai Belanda, Martin Air.
Sementara itu di Srilanka, empat jam sejak pesawat Martin Air itu tinggal landas dari Surabaya, Peerkhan Seiyadu yang saat itu berumur 36 tahun, dikejutkan oleh deru suara pesawat yang lebih keras dari biasanya.
Saat itu pukul 8 malam waktu Srilanka, Sieyadu melihat pesawat yang terbang terlalu rendah dari arah timur dan tampak hendak menghindari tebing tinggi berselimutkan kabut.
"Terlambat, tebing tinggi itu tak bisa dihindari. Pesawat itu menabrak tebing, lalu memercikan api, hancur berkeping-keping," kisah Sieyadu kepada ANTARA, 36 tahun kemudian, di Maskeliya, Srilanka, Kamis (19/8).
Pria beribu Afghanistan dan berayah India ini kini berusia 72 tahun, tapi dia hafal betul detail kecelakaan yang dicatat sebagai salah satu kecelakaan transportasi terburuk di Srilanka itu.
Seiyadu menuturkan, tidak ada satu pun korban ditemukan dalam keadaan utuh, kecuali jenazah pramugari berkebangsaan Belanda, yang kondisi tubuhnya pun sudah sangat mengkhawatirkan.
Beberapa minggu setelah peristiwa tragis dan investigasi mengenai kecelakaan itu rampung, pemerintah Indonesia membangun monumen, sekitar 400 meter dari tebing di mana kecelakaan terjadi.
Tebing itu dikenal sebagai puncak kelima dari rangkaian tujuh puncak yang belum pernah ditaklukan manusia. Orang Srilanka menyebutnya "Anjimalai" atau "Seven Virgins."
Di daerah itu, ada satu puncak yang terkenal ke seluruh dunia, Adam`s Peak atau Sri Pada, yang diyakini banyak pemeluk agama di Asia Selatan dan sebagian Timur Tengah sebagai tempat suci.
Kaum Muslim dan Kristen mempercayai puncak itu sebagai tempat di mana Nabi Adam pertama kali menjejakkan kaki di bumi.
Pemeluk Budha yang mayoritas di Srilanka sendiri meyakini telapak kaki di puncak gunung itu adalah milik Sidharta Budha Gautama, sedangkan umat Hindu mengklaimnya sebagai jejak Dewa Syiwa.
Daerah berbukit-bukti di Maskeliya itu sekilas mirip kawasan sekitar Danau Toba di Sumatera Utara, sementara jalanan yang menjadi jalur untuk mencapainya mirip daerah Pusuk, Gili, di Pulau Lombok.
Situs sekitar bencana itu sendiri sebenarnya indah menawan, menyerupai wilayah sekitar Gunung Bromo di Jawa Timur atau sekitar Gunung Papandayan di pertemuan Garut dan Pangalengan, Jawa Barat.
Monumen kecelakaan haji itu hingga kini tetap terawat, tapi hanya Kedutaan Besar RI di Colombo yang rutin menapaktilasi perjalanan iman ke-128 orang yang kemudian dimaklumatkan sebagai syuhada atau mati syahid oleh pemerintah Indonesia.
"Tak pernah ada keluarga korban yang datang ke sini," ujar Seiyadu yang kini telah memiliki cucu empat orang.
Pengakuan Seiyadu dibenarkan para diplomat Indonesia dari Kedutaan Besar RI di Colombo.
"Kami rutin ke sini, setidaknya untuk mewakili keluarga korban menziarahi para warga Indonesia itu," kata seorang diplomat muda.
Kamis tanggal 19 Agustus 2010, Duta Besar RI di Srilanka dan seluruh stafnya memang mengunjungi monumen di Seven Virgins, yang jauhnya sekitar 6 jam atau sekitar 220 km dari pusat kota Kolombo.
Perjalanan itu memang pantas disebut perjalanan ziarah, sehingga ketika mengakhiri kunjungan ke monumen, rombongan perwakilan RI di Srilanka itu menggelar salat gaib untuk mendoakan para korban kecelakaan pesawat 36 tahun silam itu.
Ampel
Laporan-laporan resmi menyebutkan, penyebab kecelakaan adalah adanya kesalahan navigasi, tetapi bukan pada pesawat dan pilot pesawat tersebut.
Pemerintah RI sendiri menilai pesawat terbang terlalu rendah dari tinggi minimum (safe altitude) adalah 10.200 kaki, sementara tinggi puncak kelima Seven Virgin yang ditabrak pesawat sekitar 4.600 kaki.
Delapan hari setelah kecelakaan dan setelah melewati investigasi mendalam yang dilakukan banyak pihak, pada 8 Desember 1974, Menteri Agama RI Mukti Ali, menyampaikan pernyataan resmi pemerintah di Surabaya.
Waktu itu Mukti menayatakan, "Menurut berita yang diterima, pesawat tersebut terdapat terbakar di daerah bukit-bukit di sekitar Colombo."
Kendati tak dipaparkan rinci, Mukti Ali mengungkapkan bahwa kondisi jasad para calon haji itu begitu buruk sehingga tak mungkin dimakamkan di Tanah Air. Hanya sebagian kecil saja yang bisa dibawa ke Indonesia.
"Menurut instruksi Presiden maka bagian-bagian daripada syuhada haji itu yang masih diperdapat (didapatkan) dikumpulkan menjadi satu peti dan supaya dikubur di Surabaya ini," kata Mukti Ali dalam pernyataan publik yang lembarannya disimpan rapi Kedubes RI di Colombo.
Pemerintah Indonesia kemudian membangun satu kuburan di pemakaman Ampel, Surabaya. Hingga kini, keluarga korban kecelakaan haji di Srilanka itu kerap menziarahi pemakaman Ampel ini.
Namun yang dikuburkan di Ampel hanya sebagian kecil saja, karena sebagian besar jenazah dikubur secara massal di Maskeliya, Srilanka, yang sekaligus menjadi monumen itu.
Diantara yang meninggal terdapat dua pramugari Martin Air berkewarganegaraan Indonesia, sementara total awak pesawat sembilan orang, termasuk pilot veteran yang asal Belanda, Lamme.
Mengutip pidato Mukti Ali 36 tahun silam di Surabaya, kedua awak Martin Air yang berkewarganegaraan Indonesia itu adalah Lilik Herawaty, mahasiswi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya dan Abdul Hamid Usman, mahasiswa IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Para calon haji yang menjadi korban rata-rata berumur 40 sampai 65 tahun.
Anak cucu ke-128 calon haji yang meninggal syahid ini mungkin hingga kini rutin menziarahi Ampel, namun tak ada yang pernah mengunjungi pekuburan massal nenek moyang mereka yang ada di Maskeliya, Srilanka.
"Selama ini memang hanya pihak Kedubes yang sering ke Maskeliya," kata Dubes Djafar Husein, usai ziarah Kamis itu.
Sampai kini, Kedubes RI di Colombo masih menyimpan rapi semua dokumen berkaitan dengan kecelakaan itu, termasuk laporan barang-barang dan identitas milik para calon haji yang telah menjadi syuhada itu. (*)

sumber http://oase.kompas.com/read/2010/08/21/05525369/36.Tahun.Mereka.Terkubur.Bumi.Srilangka-5

Yang Beda Yang Dibungkam

| | | 1 komentar
Pejabat negara setempat, khususnya di wilayah Departemen Agama, selalu menanyakan penganut Sunda Wiwitan masuk agama mana: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, atau Khonghucu. Penganut Sunda Wiwitan akan menjawab: agamanya, ya, Sunda Wiwitan. Birokrasi tentu kesal, dan dari sinilah perlakuan-perlakuan tidak adil akan diterima penganut Sunda Wiwitan.

Jatikusuma masih beruntung. Pemerintahan Abdurrahman Wahid saat itu memiliki kepekaan terhadap persoalan yang dia hadapi. Jatikusuma akhirnya bisa melangsungkan acara pernikahan sakral itu.

Jatikusuma tak sendiri. Pengalaman serupa juga terjadi di desa Baturejo, Pati, Jawa Tengah. Di sana ada komunitas yang menyebut diri Sedulur Sikep. Banyak orang lebih mengenalnya sebagai komunitas Samin. Di Pati, kata samin sangat gampang diasosiasikan sebagai polos dan bodoh. Di kalangan masyarakat santri Pati, saminan jadi istilah untuk Sedulur Sikep yang berkonotasi “pinggiran”, ngeyelan (keras kepala), sukar dipahami, tak punya aturan dan semaunya sendiri.

Nah, bulan lalu, ada dari Sedulur Sikep ini yang hendak mengadakan pasuwitan alias upacara pernikahan. Belum-belum, modin yang biasa mengurusi soal nikah-menikah menolak memberi restu. Bahkan, ia mengancam akan melakukan aksi pengerahan massa.

Tahu apa alasannya? Bukan karena Sedulur Sikep tak pernah memberi sedekah—atau sebut saja upeti—meski bukan tak mungkin itu jadi salah satu sebab. Sedulur Sikep tidak pernah mau menganut satu pun dari agama resmi. Ini yang jadi alasan utama bagi modin.

REMEH kelihatannya. Tapi itulah fakta. Penganut Sunda Wiwitan maupun orang Sedulur Sikep sudah terlanjur dicap negara sebagai anonimitas, tak punya status. Di zaman Orde Baru, orang macam begini akan diidentifikasi sebagai subversif. Setiap penduduk harus memiliki identitas yang lengkap. Petugas sensus yang ditunjuk Badan Pusat Statistik tidak diperkenankan mengosongkan kolom agama pada lembar identitas penduduk. Kolom agama harus diisi.

Ya, pembangunan nasional—inilah mantra ajaib Orde Baru. Dengan mantra ini, Orde Baru melakukan mobilisasi massa besar-besaran. Kiai-kiai dikumpulkan. Pendeta-pendeta dihimpun. Tetua-tetua adat diorganisir. Mereka semua diinstruksikan untuk menyukseskan pembangunan nasional. Dari sini, muncullah program yang mengesankan itu: “bersih desa”.

Program “bersih desa” membuat semua penduduk harus dicatat identitasnya. Targetnya, setiap penduduk harus “bersih”. Maka, yang “cacat politik” ditandai sebagai eks-tahanan politik atau eks-narapidana politik (eks tapol/napol). Yang “cacat hukum” dapat stempel “sampah masyarakat/bromocorah”. Dan, tak kalah hebatnya, yang “cacat budaya” memperoleh status “masyarakat primitif”, “tak beragama”, “tak beradab”.

Ada perlakuan khusus buat yang “cacat budaya”, yang disebut belum beragama itu. Buat mereka, program bersih desa adalah menghadirkan kiai, pendeta, biksu, dan tokoh-tokoh agama lainnya. Beramai-ramai. Tugas tokoh agama itu memberi “pencerahan spiritual”. Itu bahasa halus, padahal maksud sebenarnya adalah memaksa kaum “cacat budaya” itu memeluk agama resmi.

Buntutnya, terjadilah persaingan merebut umat. Ini membuat masyarakat yang hendak “diagamaresmikan” itu jadi tercerai-berai. Ada pengucilan. Mereka yang tak mau bergabung ke dalam agama resmi akan disingkirkan.

Lihatlah apa yang terjadi di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Di sebagian desa di sana, agama Bodhe nyaris musnah oleh invasi Buddha. Vihara-vihara dibangun. Anak-anak muda dididik dan dikirim menjadi biksu-biksu baru. Mereka harus mengubah identitas agamanya sebagai pemeluk Buddha. Mereka berubah dari Bodhe ke Buddha. Padahal keduanya sama sekali berbeda.

Hal serupa juga dialami orang Dayak di Kalimantan Selatan, yang berubah menjadi orang Banjar.

Begitulah, mantra pembangunan nasional ternyata sangat erat terkait dengan invasi agama-agama itu. Jane Monnig Atkinson, penulis The Art and Politics of Wana Shamanship, melihat dengan jelas keterkaitan itu. Atkinson, yang pernah lama bermukim di suku terpencil Wana, Sulawesi Tengah ini, mengatakan bahwa alasan penghilangan praktik-praktik pagan tradisional dari daftar agama-agama yang absah di Indonesia sudah jelas.

Eksplisit, kata Atkinson, konsep agama adalah konsep kemajuan, modernisasi, dan kesetiaan kepada tujuan-tujuan nasionalis. Penduduk yang dianggap bodoh, terbelakang atau cuek terhadap visi nasionalis adalah orang-orang yang secara de facto tidak memiliki agama. Pendeknya, lanjut Atkinson, agama adalah garis pembagi yang mempertentangkan massa petani dan penduduk kota di satu sisi, dengan komunitas tradisional yang kecil—yang tidak terintegrasi dengan politik ekonomi nasional—di sisi lain.

PENGALAMAN jadi target untuk “diagamaresmikan” juga dialami komunitas Bayan. Kelompok masyarakat di kawasan Nusa Tenggara Barat ini lebih dikenal sebagai penganut ajaran Wetu Telu. Mereka masih belum lupa bagaimana para ulama dikerahkan dari berbagai daerah Lombok buat mengislamkan mereka. Ada yang menerima dengan terpaksa. Tapi, yang menolak dan tetap bertahan dengan tradisi mereka juga tidak sedikit.

Tengoklah, sejumlah penduduk desa di kawasan Bayan sampai kini masih kokoh memegang keyakinannya. Di sini, masjid tak boleh dibangun. Mereka ramai-ramai menolak “Islam resmi”. Semangat ini juga banyak dialami oleh komunitas-komunitas lokal di Sulawesi Selatan.

Amatoa, salah satu komunitas lokal di Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, punya cerita. Sebuah masjid yang berdiri di depan pagar batas wilayah adat mereka hingga kini dibiarkan kosong dan lusuh. Pasalnya, orang-orang Amatoa tak kenal masjid sebagai bagian dari tradisi mereka. “Di sini semua orang Amatoa itu Islam,” kata Thamrin, salah seorang warga komunitas Amatoa. Toh, keislaman Amatoa di Bulukumba tak menjadikan orang seperti Thamrin bisa tidur nyenyak.

Komunitas Amatoa cemas dengan peraturan daerah Bulukumba. Seiring otonomi daerah, tirani mayoritas bergeser dari kekuasaan pusat ke propinsi dan kabupaten. Mayoritas Islam di Bulukumba mendesak untuk menerapkan syariat Islam sebagai peraturan daerah. Padahal, bagi kelompok masyarakat macam Amatoa, syariat Islam hanya mengingatkan pada trauma masa lalu ketika Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menyerbu mereka.

Tampaknya, benturan demi benturan terus saja terjadi. Para pemeluk keyakinan lokal tak pernah merasa merdeka hingga hari ini. Sentimen kolektif macam agama, etnis, bangsa, selalu saja dianggap mengancam, biang disintegrasi. Tapi, buat negeri Kanada, sentimen kolektif seperti itu bukan sebuah petaka, bukan ancaman.

Negeri ini punya kebijakan menarik. Namanya multicultural policy. Sejak kebijakan itu berlaku pada 1971, Kanada memberi restu bagi suara kolektif apapun yang mau menyerukan identitas agama, etnis, bangsa dan bahasa. Tentu pro kontra kebijakan ini selalu ada. Tapi bukti positif hasil kebijakan ini muncul dalam suatu survei oleh lembaga terkenal, The Angus Reid Group, tahun 1991.

Dari 3.325 responden yang dipilih untuk diwawancari, 78 persen percaya, Kanada mendorong nilai-nilai bersama. Lantas 91 persen di dalamnya yakin, nilai-nilai tersebut penting dalam mengikat mereka secara bersama sebagai sebuah bangsa. Selain itu, hampir tiga perempat (73 persen) percaya, kebijakan multikulturalisme menjamin orang-orang Kanada dari latar belakang yang berbeda-beda memiliki rasa kebersamaan sebagai orang Kanada. Dan yang melegakan, 90 persen yang diwawancarai masih mengidentifikasi dirinya sebagai bangsa Kanada.

Nah, jika mau belajar dari Kanada, tentu kelak tak perlu cemas dengan artikulasi: Bugis-Indonesia, Jawa-Indonesia, Cina-Indonesia, Papua-Indonesia. Ini justru jadi mozaik kekayaan identitas: agama, etnis, dan bangsa di Indonesia. Jadi, saat orang Papua mengibarkan bendera yang bukan merah putih, tak perlu gusar. Siapa takut? Desantara / M. Nurkhoiron

sumber http://www.desantara.org/page/information/essay-articles/2496/Yang%20Beda%20Yang%20Dibungkam

Warisan Tanpa Ahli Waris

| | | 0 komentar
Oleh Rusmanadi
Secara bergantian, empat lelaki Dayak Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, itu mengayunkan tongkat bambu panjang di tangan kanan mereka.

Ayunannya bergerak naik-turun dengan irama teratur dan konstan, membuat ujung bambu yang dibentuk sedemikian rupa, mengeluarkan nada-nada indah.

Saat seorang dari mereka berpindah posisi, yang lain segera menggantikannya. Begitu pula dengan posisi bambu yang kadang diayunkan dengan tangan kanan, terkadang dengan tangan kiri.

Ayunan-ayunan tongkat bambu yang berfungsi layaknya alat musik itu membentuk sebuah lubang kecil pada tanah ketika pangkalnya dientakkan. Begitu lubang terbentuk, dengan cekatan kaum wanita memasukkan benih padi ke dalamnya.

Itulah kesenian khas masyarakat adat Dayak Meratus yang mengiringi prosesi menanam padi atau biasa di sebut "manugal".

Sebuah prosesi kebudayaan dan tradisi berupa tarian dengan disertai entakan-entakan batang bambu yang mampu menghasilkan nada-nada indah itu merupakan pengiring kegiatan bercocok tanam yang disebut ’bahilai’.

Masyarakat adat Dayak Meratus tak memerlukan organ atau biola untuk dapat menciptakan komposisi-komposisi musik yang memikat.

Mereka, yang dekat dan hidup berdampingan dengan alam, amat pandai beradaptasi dan memanfaatkannya, bahkan dalam urusan bermusik sekalipun.

Melalui media sebatang bambu yang pada bagian ujungnya dibuat sedemikian rupa agar menghasilkan bunyi, bagian pangkalnya difungsikan sebagai alat pembuat lubang pada tanah.

Prosesi itu dilakukan bukan tanpa maksud dan tujuan. Bukan pula sekadar bersenang-senang atau pengusir rasa lelah belaka.

Lebih jauh lagi, padi bagi masyarakat adat Dayak Meratus adalah sesuatu yang suci, sedangkan huma yang digarap adalah Ibu Pertiwi tempat mereka menggantungkan harap. Karena itu, proses menanam padi dilakukan dengan keceriaan, kegembiraan dan beribu pengharapan.

Tapi jangan harap menemukan pemandangan indah nan eksotik itu lagi sekarang ini. Datanglah ke kawasan Kecamatan Batang Alai Timur (BAT) misalnya dan bertanyalah kepada pemuda Dayak di sana.

Tahukah mereka dengan bahilai? Mohon jangan kecewa bila jawabannya adalah "tidak tahu".

Keadaan kini telah berubah. Gempuran ilmu dan teknologi dengan beragam kemudahannya membuat Facebook mungkin lebih dikenal oleh mereka.

Bahilai kini tinggal sebuah kata yang pernah diucapkan dan kenangan bagi para tetua masyarakat adat Dayak Meratus di sana.

Menyedihkan memang, ketika sebuah kebudayaan luhur yang luar biasa dan tidak semua orang dapat melakukannya, harus tersingkir dan terkalahkan oleh zaman.
Bahilai kini bagi masyarakat adat Dayak Meratus hanyalah sebuah warisan yang ironisnya tidak seorang pun mewarisinya.

Kondisi itu menimbulkan keprihatinan seorang Mido Basmi, tokoh adat Dayak Meratus di Desa Hinas Kanan.

"Saat ini, budaya dan kesenian adat Dayak Meratus seperti tari bagintor, bakanjar, dan babansai hanya digelar saat ada aruh bawanang atau upacara adat lainnya, yang pelaksanaannya terkadang hanya sekadar simbol ritual adat, tanpa makna," ujarnya sambil menghela napas, tercekat.

Paling menyedihkan tentu saja adalah nasib balihai yang tak lagi dikenal generasi muda Dayak Meratus.

Prihatin akan punahnya budaya dan kesenian adat mendorong ia membentuk sebuah kelompok seni yang mengajarkan berbagai kesenian dan prosesi adat kepada generasi muda Dayak Meratus.

Namun sayangnya, hal itu tak bertahan lama dan bahkan kelompok itu bubar sebelum padi tugalan sempat tercicipi.

Saat mengelola kelompok seni tersebut, pernah ia mencoba meminta bantuan kepada pemerintah daerah setempat untuk pengadaan kostum. Namun, permintaan itu tidak pernah ditanggapi meski yang diminta hanya sekadar baju kabaya (kebaya), sarung dan kakamban (selendang) sebagai perlengkapan panggung. Itu saja.

Seiring dengan bubarnya satu-satunya kelompok seni yang pernah ada itu, kini tak ada lagi upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya adat Dayak Meratus, hingga di ambang kepunahan.

Juliade, koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, menganggap hilang dan tidak dikenalnya lagi kesenian serta budaya adat disebabkan dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan oleh masyarakat adat itu sendiri dan faktor eksternal berupa dukungan dari pemerintah daerah setempat.

"Faktor internal merupakan sikap dan kepedulian dari generasi muda Dayak Meratus yang kini enggan melestarikan kesenian dan budayanya sendiri," ujarnya.

Dalam hal ini, kemajuan ilmu dan teknologi ikut berperan menjadi salah satu pendorong sikap apatis pada generasi muda Dayak Meratus. Kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kesenian dan budaya serta pengaruh asing sangat mudah masuk untuk kemudian merasuk dalam diri generasi muda Dayak Meratus.

Lambat laun, hal itu memengaruhi generasi muda Dayak Meratus untuk mengikuti budaya luar, termasuk gaya hidup. Andai saja pengaruh asing yang masuk dijadikan penambah pengetahuan, tentu akan lebih arif dan bijaksana.

"Namun yang terjadi adalah yang diikuti hanya style-nya tanpa peduli apakah hal itu cocok atau tidak dengan keseharian dan budaya yang ada. Sehingga yang terjadi sekarang ini bahkan banyak dari mereka yang malu mengaku sebagai orang Dayak," ujar Juliade, menyayangkan.

Peran dan dukungan pemerintah daerah setempat juga dinilai sangat kurang, bila tidak ingin dikatakan tidak ada sama sekali.

Hal itu diperparah oleh lembaga-lembaga yang mengayomi masyarakat adat Dayak, yang justru lebih berorientasi pada perbaikan ekonomi, taraf hidup, lingkungan, dan pengakuan dari masyarakat luar.

Bahkan, LPMA Borneo Selatan sendiri dalam hal ini juga memiliki program kerja yang lebih cenderung ke arah hal itu.

Penyebab dari kurangnya konsentrasi program untuk masalah kesenian dan budaya sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan dan anggapan masyarakat luar terhadap masyarakat adat, di mana mereka sering kali dianggap tertinggal, terbelakang, dan primitif.

Mido Basmi pun mengatakan hal serupa. "Akhirnya lembaga dan masyarakat adat disibukkan oleh upaya serta keinginan untuk membuktikan keberadaan mereka sehingga melupakan urusan lain di luar itu," ujarnya.

Bagitu pula dengan masyarakat adat yang telah terpelajar, mereka lebih terkonsentrasi kepada satu titik masalah hingga nilai budaya dan seni tertinggalkan.

Ada secercah harapan ketika kemudian LPMA Borneo Selatan kemudian merencanakan penambahan divisi baru di tubuh lembaga mereka. Mereka akan membentuk divisi khusus untuk menangani masalah kesenian dan budaya adat dengan harapan dinas pendidikan setempat dapat memasukkannya sebagai materi dalam kurikulum muatan lokal.

Menyoal masalah itu, Kadisdik HST, Agung Parnowo, mengaku hanya dapat mengakomodasi bila memang hal itu diprogramkan oleh Dinas Pemuda Olahraga Seni Budaya dan Pariwisata (disporabudpar) setempat.

"Dalam kurikulum, kita hanya mengajarkan budaya Indonesia secara global, termasuk budaya masyarakat adat Dayak. Namun bila Disporabudpar bisa memprogramkannya secara khusus, tidak tertutup kemungkinan hal itu bisa dilakukan," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Disporabudpar HST, Muhammad Yusuf, mengaku saat ini pihaknya tengah melakukan pendataan tentang potensi kekayaan daerah, termasuk seni dan budaya.

"Kami tengah menyusun program pengembangan seni, budaya, dan pariwisata daerah yang di dalamnya termasuk seni dan budaya masyarakat adat sehingga dapat diketahui kesenian dan budaya apa yang dapat dikembangkan atau perlu penanganan," ujarnya.

Namun, hal itu dapat terwujud bila masyarakat adat setempat ikut berperan serta menginformasikan dan mendukungnya.

Sekarang, terpulang kepada masyarakat adat Dayak Meratus itu sendiri, adakah sebuah keinginan dalam diri mereka untuk melestarikan adat istiadat, seni, dan budaya nenek moyang? Bila memang ada terbersit keinginan itu, harapan kiranya dapat dilambungkan mengingat peluang yang diberikan pihak Disporabudpar HST.

Setidaknya, tak salah bila masyarakat adat menagih janji di kemudian hari. Walaupun untuk sementara ini, pemuda Dayak Meratus nampaknya lebih menikmati jelajah Facebook dibandingkan ikut batandik (prosesi adat berupa tarian).

sumber http://oase.kompas.com/read/2010/08/20/06091989/Warisan.Tanpa.Ahli.Waris

Misteri Polisi Desersi Pengawal Dulmatin

| | | 0 komentar
Mantan anggota polisi dari Polres Depok, Jawa Barat, Sofyan Tsauri, memainkan peran dominan dalam menyambungkan sel teroris Dulmatin di Jawa dengan elemen militan di Aceh. Sofyan ditangkap di Pamulang, Tangerang Selatan, 9 Maret lalu, sesaat setelah Dulmatin ditembak. Sofyan alias Abu Haikal, menurut polisi, bertindak sebagai pengawal Dulmatin.

Keterlibatan sejumlah pemuda rekrutan Front Pembela Islam (FPI) Aceh dalam pelatihan militer di perbukitan Krueng Linteung, Aceh Besar, yang dikelola Dulmatin, tak lepas dari kiprah Sofyan. Menurut Ketua FPI Aceh, Yusuf Qardhawi, awalnya para pemuda Aceh itu direkrut untuk disiapkan berjihad ke Palestina, merespons serangan Israel ke Gaza, pada akhir 2008.

Dari 400-an calon yang mendaftar, terpilih 125 orang. Pada tahap awal, 15 dari 125 relawan terpilih dilatih di Dayah Darul Mujahidin, Blang Mangat, kota Lhokseumawe. Dayah ini dipimpin Teungku Muslim Attahiri, Sekretaris FPI Aceh. Ia dikenal lantang menyerukan syariat Islam dan gencar merazia pelanggar Qanun Syariat Islam.

Sofyan turut memberi pelatihan. Tapi, pada saat itu, Yusuf tidak tahu bahwa Sofyan adalah anggota polisi. Fase berikutnya, 18 relawan dari FPI Aceh dikirim ke FPI Jakarta untuk menjalani pelatihan lanjutan di Parung, Bogor. Yusuf dan Abu Rimba, buronan polisi yang kemudian menyerahkan diri, turut dikirim ke Jakarta. Selama pelatihan di Jakarta, mereka sering diundang ke rumah istri kedua Sofyan di Depok. Kebetulan istri keduanya berasal dari Aceh.

Pada saat di rumah itulah, Yusuf baru tahu bahwa Sofyan anggota polisi. Tapi, secara tidak langsung, kepada Yusuf diperlihatkan surat pemecatan Sofyan dari Polres Depok, sejak Januari 2009. Surat itu dibiarkan tergeletak di meja, sehingga Yusuf bisa membacanya. Ada tiga alasan pemecatan itu: aktivitas jihad, jarang berkantor, dan poligami.

Singkat cerita, rencana pengiriman mujahidin ke Palestina itu dibatalkan karena situasi di Palestina sudah mereda. Selepas pelatihan 10 hari di Parung, Sofyan menemui Yusuf, minta dipilihkan sembilan orang terbaiknya untuk dilatih Sofyan sendiri di Depok. Ketika di Parung, Sofyan tak ikut melatih.

Sofyan menawarkan jihad di Indonesia saja. Sembilan orang terpilih itu ditampung di sebuah kontrakan di belakang Universitas Gunadarma, Kelapa Dua, Depok. Peserta pelatihan diberi makan gratis dan dibekali uang saku. "Kami tidak diberitahu, itu uang dari mana," kata Yusuf, yang banyak menemukan keganjilan pada diri Sofyan.

Pelatihan itu berlangsung dua bulan. Siang hari mendapat pelatihan, malamnya peserta memperoleh doktrin jihad, termasuk menonton VCD untuk pemompa semangat jihad. Yusuf merasa ada yang aneh, meski Sofyan mengaku sudah dipecat dari keanggotaannya sebagai polisi, pelatihan itu bisa dilakukan di lapangan Brimob Depok.

Tak semua pemuda asal Aceh itu setuju dengan jihad yang dianut Sofyan. Mereka berniat untuk jihad ke Palestina, bukan Indonesia. Jihad ala Sofyan dirasa ganjil, antara lain membolehkan membunuh dan mengambil harta kerabat yang dianggap sesat. Yusuf yang risi dengan konsep jihad Sofyan itu akhirnya memilih pulang ke Aceh bersama tiga temannya sebelum pelatihan berakhir.

"Saya memutuskan belajar pada ulama di Aceh saja," tutur Yusuf. "Saya khawatir dengan apa yang diajarkan di rumah Sofyan. Apalagi, mereka sering menjelek-jelekkan FPI. Mereka Wahabi, FPI Sunni." Tersisa enam pemuda Aceh yang berlatih di Depok sampai akhir pelatihan.

"Setelah itu, kami putus kontak dengan teman-teman," katanya. Hingga akhirnya tersiar kabar bahwa beberapa teman pelatihan di Depok dinyatakan sebagai buronan pelatihan teroris di Aceh Besar. Abu Rimba, yang tak ikut pelatihan di Depok, hanya ikut di Parung, pun dinyatakan buron. Abu Rimba akhirnya menyerahkan diri. "Saya dengar, Abu Rimba direkrut di Aceh sepulang dari Jakarta," kata Yusuf.

***

Peran penting Sofyan yang lain adalah merintis pembukaan kamp pelatihan militer di Aceh. Itu dilakukan lewat pintu Yudi Zulfahri, pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota Banda Aceh. Alumnus Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Jatinangor, Jawa Barat, ini mengalami puncak radikalisasi ketika bertemu Sofyan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Awalnya, Sofyan adalah tipe mahasiswa yang haus mendalami agama. Selama kuliah di STPDN, ia rajin ikut berbagai pengajian. Ia pernah hampir masuk NII (Negara Islam Indonesia) yang memang agresif merekrut pengikut dari kalangan mahasiswa. Meski batal masuk NII, Yudi tetap rajin membaca buku bertema jihad dan menonton VCD seputar jihad.

Selepas kuliah, Yudi sempat pulang ke Aceh, lalu ke Bandung untuk berbisnis. Kemudian ia pindah ke Jagakarsa, Jakarta, untuk merintis usaha. Di Jagakarsa, Yudi ikut kelompok pengajian yang berafiliasi pada Oman Abdurrahman, terpidana kasus kepemilikan bahan peledak di Cimanggis, Depok.

Di sana pula Yudi berkenalan dengan Sofyan Tsauri dari jaringan pengajian asuhan Oman itu. Keduanya malah bekerja sama dalam bisnis senjata mainan. Keduanya makin akrab karena sama-sama meminati buku dan VCD jihad. Sofyan pernah menjadi relawan tsunami ke Aceh lewat jalur Bulan Sabit Merah. Dari sana, Sofyan mendapat istri kedua orang Aceh.

Pada akhir 2008, Yudi kembali bekerja di Pemerintah Kota Banda Aceh. Tak berselang lama, Sofyan berkunjung ke Aceh bersama istrinya. Sofyan dan Yudi berbincang menggagas basis pelatihan di Aceh untuk perjuangan menegakkan syariat Islam sepenuhnya.

Pada awal 2009, Sofyan kembali ke Aceh bersama Hamzah, yang belakangan diketahui sebagai Dulmatin. Mereka membicarakan rencana pembukaan kamp pelatihan (tadrib) di Aceh. Rencana ini sempat tertunda ketika pada Juli 2009 terjadi peledakan bom Marriott II dan The Ritz-Carlton di Jakarta. Ini juga mengisyaratkan, jaringan Dulmatin dan pengebom Marriott II bergerak sendiri-sendiri.

Yudi dan beberapa koleganya mulai mencari lokasi dan mengumpulkan perlengkapan. Yudi memperoleh senjata dari Sofyan. Dana dipasok dari Hamzah alias Dulmatin. Yudi juga sering berkunjung ke kontrakan Dulmatin di Pamulang. Sofyan bukan hanya berperan meretas jalan pembentukan kamp pelatihan di Aceh, melainkan juga mengawal Dulmatin ke Aceh.

***

Menurut Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri pada saat jumpa pers, Rabu dua pekan lalu, Sofyan adalah pendiri sekolah latihan menembak di Depok untuk para teroris. "Dia juga pemasok senjata," kata Bambang. Sedangkan Yudi, menurut Bambang, adalah rekrutan pertama asal Aceh yang dipakai untuk membuka jalan pelatihan militer di Aceh.

Sofyan ditangkap di rumah mantri Fauzi Syarif di Pamulang. Keduanya berkenalan dalam pengajian asuhan Abu Jibril. Bagi Ketua DPP FPI Bidang Nahi Mungkar, Munarman, sosok Sofyan ini penting dicermati. "Kami tidak yakin dia desersi polisi, tapi infiltrasi," kata Munarman. "Dari informasi yang kami kumpulkan, dia agen yang disusupkan untuk menjebak pemuda FPI Aceh."

Menurut Munarman, relawan jihad asal Aceh anak baik-baik. Buktinya, mereka sukarela menyerahkan diri. Ketika menggelar pelatihan di Aceh, mereka melakukannya secara terbuka dan tidak ada masalah. "Tidak ada pelanggaran hukum," Munarman menambahkan. "Sofyan ini yang aktif merekrut saat anak-anak batal ke Palestina."

Kapolres Depok, Komisaris Besar Saidal Mursalin, kepada pers memastikan bahwa Sofyan desersi sejak Februari 2009 karena tidak pernah masuk kantor. Setelah ditangkap di Pamulang, Sofyan dipindahkan ke tahanan Polda Aceh.

Anehnya, ketika di Polda Aceh, Selasa lalu, Ketua FPI Aceh, Yusuf Qardhawi, tak sengaja melihat Sofyan bisa melenggang bebas ke luar tahanan dan sempat berteriak menyapa Yusuf, "Hai, Teungku Suf!" Sofyan lalu naik mobil Vitara bersama anggota polisi lainnya, melaju menuju pusat kota.

Asrori S. Karni, dan Hendra Syahputra (Banda Aceh)
[Nasional, Gatra Nomor 20 Beredar Kamis, 25 Maret 2010]

Terorisme, Masjid, dan Budaya Jawa

| | | 0 komentar
Mata Densus 88 rupanya sangat tajam dalam memantau gerak-gerik terorisme dan para pelakunya di Indonesia. Dalam satu bulan terakhir saja, Densus 88 menangkap puluhan teroris dan menembak mati beberapa di antara mereka. Dari berbagai peristiwa penangkapan teroris dan tembak-menembak pasukan Densus 88 dengan para teroris, kita tersadar bahwa terorisme di Indonesia ternyata terus tumbuh dan berkembang.

Kematian tiga gembong teroris --Azahari, Noor Din Mohd. Top, dan Dulmatin-- ternyata belum melumpuhkan gerak dan aktivitas mereka. Mereka tampaknya terus melakukan konsolidasi sambil merekrut anggota baru dan memikirkan pola-pola serangan alternatif agar tidak mudah diendus aparat keamanan. Tapi aparat keamanan pun tidak kalah sigap, sehingga Densus 88 mampu mengendus para teroris di mana pun mereka berada.

Dalam penangkapan para teroris di Jakarta dan Krawang, Mei ini --sebelumnya di Temanggung, Malang, dan Solo-- ternyata masjid dan langgar masih menjadi ''tempat aktivitas dan persembunyian'' mereka. Mereka mengadakan pengajian di masjid dan berusaha menarik minat masyarakat agar bergabung dengan para teroris. Tapi, untunglah, masyarakat jarang yang tertarik pada pengajian ''keras'' yang disampaikan guru-guru teroris itu.

Salah seorang yang sering diidentifikasi polisi sebagai guru para teroris adalah Abu Bakar Ba'asyir, seorang mubalig dari Sukoharjo, Jawa Tengah. Fenomena Ba'asyir ini secara sosiologis menarik, karena dia hidup di lingkungan pusat kebudayaan Jawa yang halus, penuh unggah-ungguh dan tepo seliro.

Lingkungan budaya Jawa yang selalu mengalah, menghindari konflik, justru dipilih Ba'asyir untuk mengembangkan kegiatan-kegiatannya. Meski Ba'asyir dalam berbagai kesempatan menolak tuduhan bahwa dirinya ideolog para teroris, sang ustad sering mengatakan bahwa pihaknya sangat hormat kepada para mujahid yang memilih ''senjata'' untuk menegakkan Islam. Dengan berlindung pada penafsiran ayat-ayat Quran secara sepihak, Ba'asyir juga sering mengemukakan pendapat yang senada dengan wacana terorisme, misalnya dalam hal demokrasi.

Menurut Ba'asyir, tidak ada demokrasi dalam Islam. Karenanya, jika ingin menegakkan syariat Islam, jangan memakai demokrasi. Pendapat ini jelas debatable karena dalam Quran ada istilah ''syura'' (musyawarah), yang oleh sebagian besar ulama Islam dianggap sebagai dasar-dasar demokrasi.

Meski kemudian ada ulama yang menolak pendapat itu, melihat kecenderungan dunia modern yang pro-demokrasi, penolakan Islam terhadapnya hanya menimbulkan marjinalisasi Islam di tengah arus utama dunia. Ini jelas tidak menguntungkan untuk citra Islam, yang ujungnya kurang baik terhadap dakwah Islam.

Masjid di Jawa

Dalam sistem pemerintahan Jawa, masjid, pasar, dan keraton merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Hal ini tercermin pada bangunan Keraton Yogyakarta yang berdampingan dengan Masjid Kauman dan Pasar Beringharjo. Di Keraton Solo, hal seperti itu juga terjadi.

Sejarawan Kuntowijoyo (almarhum) mengemukaan bahwa kesatuan keraton, masjid, dan pasar merupakan simbol menyatunya kerajaan (kekuasaan), agama (spiritualitas), dan pasar (ekonomi). Karena itu, dalam tradisi Jawa, baik di pusat kerajaan maupun di tingkat desa, bangunan masjid mesti menyatu dengan balai desa dan pasar.

Fenomena ini menarik karena ''masjid'' disimbolkan sebagai bagian dari sebuah sistem dalam pemerintahan Jawa. Sayangnya, harmoni keraton, masjid, dan pasar itu ''rusak'' setelah ada pemberontakan PKI pada 1965 (Johns, 198).

Robert R. Jay dalam bukunya, Religion and Politics in Rural Central Java, menunjukkan bukti-bukti menguatnya ortodoksi Islam setelah munculnya pemberontakan PKI. Asumsi Jay ini muncul setelah ia melihat dua masjid di Kelurahan Kebonsari, Jawa Timur. Keberadaan dua masjid ini, tulis Jay, merupakan indikasi cukup jelas mengenai kekuatan ortodoksi dan komunitas.

Di Desa Tegalroso, Magelang, sebelum tahun 1965, hanya ada satu masjid dan tiga langgar. Masjid itu berada di Dusun Playon, sedangkan tiga langgar ada di Dusun Calonan, Petung, dan Gambas. Menurut Mbah Parto, sesepuh Desa Tegalroso, sekitar satu setengah bulan setelah PKI dituduh terlibat dalam pemberontakan September 1965, sebanyak 13 aktivis PKI di Tegalroso digelandang tentara. Karena takut dituduh sebagai simpatisan PKI, mereka yang tak pernah menunaikan salat kemudian rajin melaksanakan salat di masjid dan langgar.

Orang-orang desa pun mulai belajar membaca Quran. Orang-orang yang dianggap paham agama dan fasih bacaan Qurannya diminta menjadi guru mengaji. Warga desa tidak hanya diajari salat, melainkan juga diminta ikut pengajian Kiai Chudlori, pimpinan Pesantren Tegalrejo. Dampaknya, bangunan masjid dan langgar pun bertambah, karena orang yang menunaikan salat dan mengaji juga bertambah.

Di Dusun Calonan, yang sebagian warganya adalah orang NU, setelah peristiwa pemberontakan PKI, warga ramai-ramai membangun madrasah ibtidaiyah. Seorang warga desa, Pak Parjan, menginfakkan tanahnya untuk membangun madrasah itu. Menurut Pak Parjan, mengutip pendapat seorang kiai, ''Sebuah masjid bisa diumpamakan gudang beras, sedangkan madrasah digambarkan sebagai sawah. Gudang beras tidak akan berfungsi jika tidak ada beras yang akan disimpan di sana.

Di madrasah, para murid dididik menjadi muslim yang baik. Jika banyak muslim yang baik, banyak pula orang yang mendatangi masjid. Jika satu masjid tidak mencukupi, mereka berusaha membangun masjid atau langgar yang lain.

Apa yang dikatakan Pak Parjan itu ternyata benar. Madrasah dan masjid makin lama makin berkembang. Ketakutan warga desa dicap sebagai pengikut PKI menjadikan mereka mengirimkan anaknya ke madrasah, dan mereka pun rajin menunaikan salat di masjid. Semua ini meningkatkan pengaruh budaya santri.

Salah satu keberhasilan pemberantasan PKI di desa-desa di Jawa adalah berkat kampanye rezim Orde Baru, yang menyatakan bahwa orang-orang PKI tidak bertuhan dan karenanya tidak boleh hidup di negara Pancasila. Atmosfer seperti inilah yang terjadi pasca-pemberontakan PKI, sehingga agama menjadi hal penting bagi setiap penduduk.

Gelombang anti-komunis itu, tulis Clifford Geertz, akhirnya menimbulkan pengertian bahwa barang siapa yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui secara resmi oleh negara akan dicap sebagai ateis (Creating Islamic Tradition, 1991). Inilah yang menimbulkan dilema. Soalnya agama yang diakui resmi oleh rezim Orde Baru hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Agama Konghucu dan Yahudi, misalnya, tidak diakui. Dampaknya: orang-orang yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui resmi oleh rezim itu setiap saat hidupnya terancam karena bisa dicap sebagai PKI.

Dalam perkembangannya, karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, jumlah masjid pun bertambah sangat cepat. Organisasi Islam juga makin banyak. Apalagi, setelah rezim Orde Baru jatuh, perkembangan organisasi Islam seperti cendawan di musim hujan.

Jika sebelumnya di desa-desa di Jawa orang hanya mengenal NU dan Muhammadiyah yang ''adem-ayem'' dan ''harmoni'' dengan lingkungan masyarakat kampung, kini muncul berbagai organisasi Islam yang ''panas'' dan demonstratif. Antara lain Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Jamaah Islamiyah, dan terakhir Ansharut Tauhid. Kondisi ini ternyata menimbulkan berbagai friksi di desa dan disharmoni di kalangan masyarakat Jawa.

Gus Yusuf Chudlori, putra Kiai Chudlori, pimpinan Pesantren Tegalrejo, pernah mengeluh. Pada saat ini, menurut Gus Yus, muncul benih-benih perpecahan di kalangan umat Islam di desa-desa di Jawa akibat masuknya ideologi-ideologi Islam dari Timur Tengah (Kompas 17/09/09). Mereka mendanai pembangunan masjid. Tapi, setelah jadi, masjid itu tidak boleh difungsikan sesuai dengan tradisi Jawa, seperti untuk marhabanan, mauludan, haul, dan peringatan-peringatan tradisonal Islam lainnya.

Mereka mengajarkan Islam yang ''lain'' --bukan Islam yang biasa dipelajari masyarakat tradisional Jawa. Bahkan, lebih jauh lagi, ungkap Gus Yus, organisasi itu tak hanya mempersoalkan akidah Islam tradisional, melainkan juga mempersoalkan kekuasaan dan negara kesatuan Republik Indonesia.

Keberadaan ''masjid lain'' dan ceramah-ceramah ''keras'' itulah yang, boleh jadi, akan menimbulkan persoalan baru di kalangan Islam Jawa. Jika dulu orang Tegalroso membangun masjid secara gotong royong dan menyumbang rupiah demi rupiah, dan setelah berdiri menjadi milik warga desa, pada masa kini masjid tertentu yang "didanai orang-orang lain benar-benar menjadi milik orang lain dan menjalankan agama dengan cara lain''.

Itulah sebabnya, banyak orang kampung kaget tapi tidak heran ketika polisi kemudian menggerebek jamaah masjid seperti itu. Fungsi masjid yang adem dan harmoni, setelah dimasuki ''anasir'' lain, menjadi panas dan disharmoni. Inikah masjid yang menumbuhkan terorisme? Wallahu a'lam bishawab.

M. Bambang Pranowo
Guru besar sosiologi agama UIN, Jakarta
[Kolom, Gatra Nomor 29 Beredar Kamis, 27 Mei 2010]

Cinta Bawa Dewi Soekarno Kembali

| | | 0 komentar
"Dewiku tercinta, Saya dalam keadaan baik dan sangat sibuk dengan konferensi bersama semua panglima militer untuk menyelesaikan konflik di kalangan militer. Jangan khawatir, sayang!, Sayang dan 1000 ciuman, Soekarno."


Untaian kata cinta itu dilayangkan oleh Soekarno kepada pujaan hatinya, Ratna Sari Dewi. Surat singkat itu dikirim melalui kurir Sang Presiden pada 2 Oktober 1965.

Situasi yang memanas di dalam tubuh militer setelah peristiwa 30 September 1965 nampaknya meluluhkan hati Soekarno yang keras. Cintanya membuat Soekarno tak melupakan Dewi, tak lupa melayangkan seribu ciuman kepada wanita Jepang itu.

Naoko Nemoto adalah nama aslinya. Perkenalan dan kisah cintanya dengan Sang Proklamator membawanya ke Indonesia, kemudian menjelma menjadi Ratna Sari Dewi, ketika Indonesia baru saja lahir.

Naoko dilahirkan dalam keluarga sederhana pada 6 Februari 1940. Keluarganya menetap di Tokyo, Jepang, tepatnya di Shibuya-Ku, Kamiyama-Cho.

Keadaan keluarga yang tak berkelimpahan, mendorong Naoko untuk bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah lanjutan pertama pada 1955.

Empat tahun kemudian, nasib mengubah hidupnya.

Saat itu, Juni 1959, Soekarno melepas lelah di salah satu kawasan kenamaan di negeri Sakura, Akasaka`s Copacabana. Sang Presiden merasa perlu melepas penat di sela kunjungan kerjanya yang padat, menguras tenaga dan pikiran.

Tanpa rencana, pandangan mata Soekarno menghampiri Naoko Nemoto yang anggun dan gemulai. Melalui perantaraan kolega di Jepang, Soekarno akhirnya berhasil bercengkrama dengan sang dara.

Hari berganti, keduanyapun semakin akrab. Semakin lama Soekarno memandang Naoko, semakin luluh hatinya, dan jatuhlah hati itu dalam dekapan dara Sakura.

Bukan Soekarno kalau tidak melakukan hal yang di luar kebiasaan. Dia boyong Naoko ke Tanah Air. Sejumlah literatur menyatakan keduanya sempat berkelana ke Pulau Dewata, hingga akhirnya bersanding di pelaminan pada 1962.

Jadilah Naoko dara nusantara, Ratna Sari Dewi, lengkap dengan status kewarganegaraan Indonesia. Jadilah dia Ibu Negara, bersama empat Ibu Negara lainnya yang telah disunting oleh Soekarno sebelumnya.

Cinta mempertahankan para Ibu Negara di samping Soekarno. Cinta Soekarno bulat, satu, kemudian dia bagi merata kepada para istrinya.

Cinta Soekarno kepada Ratna Sari Dewi meluap-luap. Ia ceritakan semua seluk beluk pekerjaan kepada Dewi. Dalam setiap surat yang dia kirim di tengah sibuknya aktivitas sebagai petinggi negeri, Soekarno selalu menyapa Dewi dengan sebutan "Dewiku" atau "Sayang".

Saking dekatnya hati mereka, para wartawanpun berusaha mendekati Dewi dengan satu alasan, hanya Dewi yang mengetahui apa yang dilakukan oleh Soekarno.

Begitupun Dewi. Dia menyayangi suaminya sepenuh hati. Meski kadang fisik mereka terpisah samudera, hati Dewi melayang menghampiri Soekarno di tanah air. Hatinya menyertai Sang Presiden dalam setiap pekerjaan, sampai akhir hayatnya.

Secara fisik, Dewi datang ke Indonesia pada 20 Juni 1970, malam hari, sekitar pukul delapan. Bersama anak buah kasihnya dengan Soekarno, Kartika, yang saat itu masih berumur empat tahun. Dewi langsung menuju Wisma Yaso.

Dewi mendampingi suaminya yang sekarat hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam kekuasaan Orde Baru.

Cinta Soekarno

Kepustakaan Presiden yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menyebut Soekarno menambatkan hati kepada Dewi bukan hanya karena kecantikannya, namun karena cita rasa Indonesia yang tertanam dalam diri wanita itu.

Kepustakaan tentang para presiden Indonesia itu menyebut Dewi fasih melantunkan tembang "Bengawan Solo" saat hati dan mata mereka petama kali bertemu di negeri Sakura.

Sampai kini, 65 tahun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Dewi tetap merasa sebagai warga negara Indonesia (WNI).

"Saya lebih lama jadi WNI daripada Anda, ya. Dari 1959. 51 tahun saya WNI," kata Dewi ketika ditemui di Istana Merdeka setelah upacara penurunan bendera untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke-65 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pemakai kebaya cokelat itu berada di Indonesia selama tiga hari. Menginjakkan kaki di tanah air pada Senin (16/8) sore dan kembali ke Jepang Rabu (18/8) malam .

"Abis saya kerja di Jepang sekarang," kata Dewi memberi alasan.

Tiga hari di Indonesia dia manfaatkan untuk mengenang suaminya. Selasa pagi hari, dia bergegas untuk melihat kharisma suami tercinta diabadikan dalam sebuah patung di Universitas Bung Karno, Jakarta.

"Sembilan meter tinggi. Bagus sekali...," katanya lirih, sambil tersenyum.

Dia menyempatkan diri kembali ke tanah air untuk menghadiri peresmian patung setinggi sembilan meter itu. Setelah terhambat pembangunannya selama masa Orde Baru, patung itu kini tegak berdiri. Girang Dewi dibuatnya.

"Tadi pagi saya sangat bahagia dan bangga," katanya.

Hati Dewi juga melompat kegirangan ketika sore harinya dia ke Istana Merdeka yang pernah menjadi rumahnya dulu.

Dengan langkah pelan, dia tiba di Istana Merdeka, sore hari sesaat sebelum upacara penurunan bendera dimulai. Dia harus dipapah menaiki tangga istana, meunuju panggung kehormatan tempat dulu suaminya menghabiskan waktu.

Ia mengaku ingin ke Indonesia, dan selalu ingin. Hingga akhirnya, dia pertama kali bisa mengikuti upacara kenegaraan di Istana dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono.

Begitu senang Dewi, hingga dia sangat menyesal tidak membawa kamera foto pribadi.

"Jadi saya tidak dapat ambil foto. Tapi tadi sore saya dapat banyak foto," katanya sambil selalu tersenyum.

Dewi memang tak muda lagi. Dia tetap mengenakan kebaya, meski gurat dan keriput sudah timbul di kulit wajahnya.

Cintanya kepada Indonesia sebesar cintanya kepada Soekarno. Dia mencintai Soekarno karena dia sadar Soekarno juga mencintainya dengan sepenuh hati.

Selalu terngiang curahan hati Soekarno tentang dirinya jika ajal menjemput, "Satukan aku dengan dia dalam satu peti."


sumber kompas.com 19 agustus 2010

Kisah Fasisme Hindia-Belanda

| | | 0 komentar
Tulisan berikut merupakan ulasan atas buku yang ditulis oleh Wilson yang berjudul “Orang dan Partai Nazi di Indonesia” yang dimuat di KOMPAS.COM. Pengaruh fasisme Jerman yang dikenal dengan Nazisme ini masuk lewat pengaruh Belanda di Indonesia lewat partai fasis yang pada awalnya didirikan oleh orang-orang Belanda di tanah Hindia-Belanda (nama Indonesia pada zaman Belanda dulunya).

Ideologi fasis Jerman ini kemudian mendapatkan lahan yang subur pada masyarakat Jawa yang terbiasa dengan budaya raja-raja seperti Dr. Notonindito seorang anggota PNI zaman dulu dan pemimpin Parindra, Woerjaningrat Soekardjo Wirjopranoto. Sebagaimana para pemimpin fasis Eropa seperti Hitler dan Mussolini yang memuja-muja kekaisaran Romawi sebagai teladan, kaum fasis Jawa di Indonesia mengelu-ngelukan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara terutama kerajaan-kerjaan Jawa yang utamanya adalah kerajaan Majapahit. Gagasan fasisme Jawa ini kemudian dikembangkan oleh Sukarno, penguasa fasis pertama di Republik Indonesia, yang juga menggunakan “keagungan” dan lambang-lambang kerajaan Majapahit, sebagai dasar daripada kekuasaannya di tanah Indonesia. Sukarno sendiri menjadi penguasa di Indonesia utamanya lewat dukungan kaum fasis Jepang. Sampai kinipun, masih banyak orang Jawa yang berkecenderungan fasis yang masih menggunakan kerajaan Majapahit sebagai pengesahan daripada usaha mereka untuk meraih kekuasaan.

***

Oleh: Faiz Manshur

Mendengar kata fasisme, biasanya pikiran kita menerawang ke masa lalu di negeri orang. Sejarah fasisme seolah-olah milik bangsa Jerman, Spanyol, Italia dan Jepang. Padahal, di negeri ini pernah punya partai fasis. Bahkan sekarang karakter fasisme masa lalu masih ada yang mewarisi.

Namun melalui buku ini, Wilson, alumni Fakultas Sejarah Universitas Indonesia yang membuka mata kita untuk mengenal masa lalu fasisme di negeri ini.

Munculnya politik fasisme di negeri ini dimulai sejak kemenangan Partai Nazi Jerman yang memenangkan Pemilu 1933. Kemenangan ini menurut Wilson menjadi pegangan politik baru bagi kaum Indo di negeri Jajahan Hindia-Belanda.

Telah menjadi wacana umum, bahwa sejarah fasisme berakar dari krisis ekonomi dan politik berkepanjangan yang menimpa suatu bangsa. Fasisme memiliki dasar filosofi fascio (Italia), fascis (Latin), yang berarti seikat tangkai kayu.

Di tengah kayu ini terdapat kapak pada zaman Kekaisaran Romawi. Fascis ini merupakan simbol dari kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan politik fasis adalah diktator; ekonomi, politik, sosial, seni, budaya, hingga agama semuanya harus berjalan sesuai dengan selera penguasa.

Dari sisi “psikologi-politik”, Wilson melihat, menjelang Perang Dunia II Hindia-Belanda terdapat suatu kondisi di mana stratifikasi rasialnya menyediakan bibit-bibit subur bagi fasisme. Sebagian kaum Indo memandang ide-ide fasisme merupakan suatu harapan untuk tetap menjaga kepentingan ekonomi mereka dalam arus perubahan politik dunia. (hlm 102).

Pada tahun ini juga muncul partai fasis di Hindia-Belanda, yakni Nederlandsch Indische Fascisten Organisatie (NIFO), Facisten Unie (FU). Pengaruh fasisme yang begitu kuat di masa krisis saat itu juga menghipnotis kalangan bumi putera. Bulan Juli 1933, Partai Fasis Indonesia (PFI) berdiri.

Dr. Notonindito, bekas anggota PNI Lama asal Pekalongan adalah tokoh teras pendiri partai fasis ini. Ide dasar pendirian PFI ini memang agak unik karena tidak didasarkan kepentingan ideologi, melainkan oleh cita-cita pembangunan kembali kerajaan-kerajaan Jawa seperti Majapahit dan Mataram, Sriwijaya di Sumatera, dan kerajaan-kerajaan di Kalimantan.

Gema fasisme yang melanda dunia menuai respon beragam dari kalangan pergerakan di Indonesia. Kelompok PNI Baru, PKI dan Partindo adalah kelompok yang menentang gigih fasisme. Alasan dasarnya karena fasisme adalah benteng terakhir dari kapitalisme untuk mempertahankan diri dari krisis ekonomi dan politik (Hlm 178).

Sedangkan di luar kedua kelompok ini, Wilson menilai kaum pergerakan “kebingungan” dalam merespon fasisme. Kelompok PSII dan Parindra misalnya, karena percaya ramalan politik Jayabaya menganggap fasisme Jepang sebagai “saudara tua” yang akan membebaskan bumiputera dari belenggu kolonialisme Belanda.

Istilah “Indonesia Raya” dan “Indonesia Mulia” yang getol dikampanyekan oleh Parindra misalnya, mengingatkan kita pada ide “Jerman Raya” milik kaum Nazi Jerman yang mengakibatkan pembantaian jutaan orang Yahudi. (Hlm 179). Bahkan Agus Salim melihat potensi fasisme sebagai solusi mengusir kolonial.

Fasisme lama tinggal catatan sejarah. Terbukti tidak organisasi atau negara yang menganut fasisme lagi. Namun, sebagaimana kekhawatiran Mansour Fakih (Alm) delapan tahun silam, krisis gawat yang terus melanda negeri ini tidak mustahil menjadi bibit-bibit persemaian fasisme. Hal ini bisa dibuktikan oleh fakta berbagai organisasi yang gemar mobilisasi massa, arak-arakan, dan gemar melakukan tindak kekerasan untuk memaksakan kehendaknya.

Rekaman sejarah yang ditulis secara objektif dengan penafsiran yang cerdas ternyata mampu menjadikan masa lalu nampak dekat dengan kenyataan masa kini.

Buku ini juga mengisyaratkan kepada kita, bahwa fasisme yang mengancam kehidupan umat manusia itu tidak selalu berupa partai atau gerakan militer, melainkan juga dalam hal cara berpikir, mengambil sikap, berorganisasi, bahkan dalam hal berdakwah.


sumber http://www.varajambak.com/2009/12/24/pengaruh-nazisme-pada-fasisme-jawa-di-indonesia/

Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger

| | | 0 komentar
Oleh: Julius Pour*

"BANYAK suami menilai istrinya bagaikan mutiara. Tetapi sebenarnya, mereka justru merusak dan tidak menghargai kebahagiaan istrinya? Mereka memuliakan istrinya, mereka cintai sebagai barang berharga, mereka anggap 'mutiara', tetapi sebagaimana orang selalu menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan istrinya dalam kurungan atau 'pingitan'. Bukan untuk memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya, begitu katanya. Melainkan untuk menjaga, untuk menghormati, untuk memuliakan. Perempuan mereka anggap sebagai Dewi, tetapi selalu mereka jaga, awasi dan selalu 'dibantu' sehingga menjadi insan yang sampai mati justru tidak akan pernah
bisa menjadi dewasa"Hal ini dikemukakan Soekarno dalam Sarinah, buku yang secara rinci mengemukakan pandangan Bung Karno terhadap perempuan. Bahwa mereka, adalah bagian mutlak perjuangan kemerdekaan, oleh karena itu peran sertanya sejajar dan sangat dibutuhkan.
Sarinah diterbitkan di Yogyakarta tahun 1947, di tengah perang kemerdekaan. Tetapi yang menarik, buku tersebut sengaja ditulis Bung Karno. Sementara kita tahu, hampir semua karyanya pada umumnya berasal dari transkrip pidato dan jarang yang sengaja dipersiapkan sebagai buku. "Atas permintaan banyak orang, apa yang pernah saya kursuskan, kemudian saya tulis dan saya lengkapi, Sarinah inilah hasilnya," katanya dalam pengantar buku.

Awal tahun 1946, akibat tekanan politis dari Pemerintah Belanda yang tidak menghendaki bekas jajahannya merdeka, Pemerintah Republik terpaksa mengungsi dari Jakarta. Dan di Yogya, setiap dua minggu sekali, Bung Karno menyelenggarakan kursus wanita di ruang belakang Istana Kepresidenan. Bahan-bahan kursus, dengan bantuan Mualliff Nasution, sekretaris pribadinya, dikumpulkan, dilengkapi, dan ditulis ulang oleh Bung Karno, dipersiapkan menjadi buku.

Bahwa judul bukunya demikian, alasannya sederhana. "Saya namakan Sarinah, sebagai tanda terima kasih. Ketika masih kanak-kanak, pengasuh saya bernama Sarinah. Ia mbok saya. Ia membantu Ibu saya, dan dari dia saya telah menerima rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya menerima pelajaran untuk mencintai orang kecil. Dia sendiri orang kecil, tetapi budinya besar. Semoga Tuhan membalas kebaikannya."

Sarinah hadir dalam kehidupan Bung Karno sejak tinggal di Mojokerto, Jawa Timur, pertengahan tahun 1917. Sebagaimana dikisahkan melalui Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, dia dilahirkan di Surabaya (1901) dengan nama Kusno. Oleh karena sejak kecil sering sakit, sesuai kebiasaan setempat, ayahnya mencari nama baru, Soekarno. "Karena itu, Soekarno menjadi namaku sebenarnya dan satu-satunya. Pernah ada wartawan goblok menulis nama awalku Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanya Soekarno. Dan memang, dalam masyarakat kami, tidak luar biasa memakai satu nama.

Di Mojokerto, Bung Karno kecil tinggal bersama ayahnya, seorang guru, Raden Soekemi Sosrodihardjo. Ibunya, Ida Ajoe Njoman Rai, keturunan bangsawan Bali, dan Sukarmini kakak kandungnya yang dua tahun lebih tua. Sesudah beberapa waktu, datang orang kelima, sosok yang disebutnya, "Bagian rumah tangga kami. Dia tidak pernah kawin, tidur dengan kami, makan apa yang kami makan, tetapi tidak mendapat gaji sepeser pun. Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta kasih, tetapi bukan dalam pengertian jasmaniah. Dan mulai mengajarku mencintai rakyat."

Dengan nada plastis yang digemarinya, Bung Karno melukiskan, "Selagi Sarinah memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku selalu duduk di sampingnya. Dia kemudian mengatakan, Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia pada umumnya."

Bung Karno menambahkan, "Sarinah adalah nama biasa. Akan tetapi, Sarinah yang ini bukan wanita biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang paling besar dalam hidupku."



Kurang kasih sayang ibu

Sangat menarik mencermati kedekatan Bung Karno dengan ibunya, sebagaimana pernah dipesankan Sarinah. Ternyata, tidak ada buku atau tulisan yang khusus dipersembahkan Bung Karno kepada ibunya. Dalam otobiografinya, namanya hanya sepintas disebutkan, memberikan pangestu sewaktu Bung Karno masih kecil. Selain itu, sebelum tidur, sering menceriterakan kisah kepahlawanan. Dan semasa perang kemerdekaan, menghardik para gerilyawan yang mencoba menghindari pertempuran.

Bagaimana sesungguhnya keakraban Bung Karno dengan ibunya, dan dengan begitu penghargaannya kepada kaum wanita, sempat menumbuhkan beragam analisis. Kita bisa saja berspekulasi, oleh karena terlampau diagungkan, sosok Sarinah mungkin hanya imajiner. Sulit mencari bukti, apakah Sarinah benar-benar ada. Dan jika demikian, apakah memang begitu besar perannya dalam membentuk kepribadian Bung Karno?

Prof SI Poeradisastra, dalam kata pengantar buku Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (terbit tahun 1981) pernah mempersoalkan masalah ini. Ada foto Bung Karno sedang menjumpai ibunya. Dia berlutut di hadapan wanita tua tersebut dengan sangat khidmat. Tetapi, demikian Poeradisastra, dua hal tetap menjadi pertanyaan.

Pertama, mengapa Ida Ajoe tidak pernah menengok putranya, baik ke Jakarta maupun ketika masih berada di Yogyakarta? Hal tersebut tidak dia lakukan, bahkan juga sesudah tahun 1950, sewaktu kedaulatan Republik Indonesia sudah diakui dunia internasional; ketika suasana mulai tenang dan Bung Karno telah dikukuhkan (lagi) sebagai presiden.

Perjalanan ke Jakarta dilakukan hanya saat suaminya wafat di zaman Jepang. Sedangkan sampai sekitar tahun 1950, sewajarnya ibu ini belum terlalu sepuh untuk tidak sanggup mengunjungi putra dan cucunya yang sudah menetap di Istana Negara, Jakarta. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kedua, mengapa sampai ada dua monumen kasih sayang dari Bung Karno kepada Sarinah? Buku tentang perjuangan kaum wanita, dan nama toko serba ada pertama di Indonesia. Tetapi, justru tidak ada kenangan khusus untuk Ida Ajoe Njoman Rai?

Atas dasar dua pertanyaan tersebut, Poeradisastra menarik kesimpulan, "Bung Karno adalah penderita kekurangan kasih sayang ibu, sehingga dia akhirnya malah mengidealkan dan mengidolakan Sarinah, sebagai wanita tua yang sepenuhnya memberikan kasih sayangnya."

Dalam impian, "kehilangan" sebuah kasih sayang mungkin saja bisa dipenuhi dengan cara menampilkan sosok Sarinah. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, perasaan "kehilangan" tersebut tampaknya baru bisa diperoleh sesudah hadir Inggit Garnasih, induk semang Bung Karno ketika berkuliah di THS Bandung.


Benih cinta pertama

"Aku sangat tertarik kepada gadis-gadis Belanda. Aku ingin sekali mengadakan hubungan cinta dengan mereka," begitu pernyataan Bung Karno. Alasannya sangat luas dan mendasar. Sebagai lelaki tampan yang sejak remaja sangat percaya diri, Bung Karno mengaku, "Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui untuk bisa memperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih dan membikin mereka tunduk kepada kemauanku."

Mungkin saja semua pernyataan tersebut benar. Tetapi juga mungkin, daya khayal Bung Karno sangat melambung. Oleh karena dia kemudian mengungkapkan, cinta pertamanya tertuju kepada Pauline Gobee, anak gurunya. Kemudian muncul deretan nama, semuanya gadis keturunan Belanda, yakni Laura, Raat, Mien Hessels.

Bagaimanapun, sesuatu yang semula mungkin belum sempat dia bayangkan, hidup perkawinan justru sudah dimulai Bung Karno ketika usianya belum genap 20 tahun. Tahun 1921, di Surabaya, dia menikah dengan Siti Oetari, gadis usia 16 tahun, putri sulung tokoh Serikat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemilik rumah tempatnya menumpang ketika dia di sekolah lanjutan atas. Beberapa saat sesudah menikah, Bung Karno meninggalkan Surabaya, pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tjokroaminoto, ayah mertuanya, membantu mencarikan tempat indekos dengan menghubungi teman lamanya, Sanusi, seorang guru.

Bencana sering datang bagai pencuri, mendadak dan tidak terduga. Begitu Bung Karno tiba di Bandung, dijemput Sanusi di stasiun dan langsung diajak ke rumahnya, api gairah sudah mulai menyala. "Sekalipun aku belum memeriksa kamar, tetapi jelas ada keuntungan tertentu di rumah ini. Keuntungan utama justru berdiri di pintu masuk dalam sinar setengah gelap. Raut tubuhnya tampak jelas, dikelilingi oleh cahaya lampu dari arah belakang. Perawakannya kecil, sekuntum bunga cantik warna merah melekat di sanggul dengan senyum menyilaukan mata. Namanya Inggit Garnasih, istri Haji Sanusi."

Inggit Ganarsih
Menurut Bung Karno, "Segala percikan api yang memancar dari anak lelaki berumur dua puluh tahun, masih hijau dan belum punya pengalaman, telah menyambar seorang perempuan dalam umur tiga puluhan tahun yang matang dan berpengalaman." Percikan gairah tersebut tidak hanya berhenti membakar Bung Karno. Secara bersamaan menghanguskan simpul tali perkawinan yang baru satu tahun dia jalani. Meskipun alasannya, kata Bung Karno, "Oetari dan aku tidak dapat lebih lama menempati satu tempat tidur, bahkan satu kamar pun tidak. Jurang antara kami berdua semakin lebar. Sebagai seseorang yang baru saja kawin, kasih sayangku kepadanya hanya sebagai kakak."

Siti Oetari dicerai dan dikembalikan kepada Tjokroaminoto. Sementara itu, menurut Bung Karno, Sanusi adalah seorang tukang judi yang setiap malam terus-menerus menghabiskan waktunya di tempat bilyar. Maka mudah diduga apa yang bakal terjadi, "Aku seorang yang sangat kuat dalam arti jasmaniah dan pada hari-hari itu belum ada televisi. Hanya Inggit dan aku berada di rumah yang selalu kosong. Dia kesepian. Aku kesepian. Perkawinannya tidak betul. Perkawinanku tidak betul. Adalah wajar, hal-hal yang demikian itu kemudian tumbuh".

Apa pun alasannya sehingga mereka berdua menjadi dekat, Poeradisastra tetap menilai Inggit Garnasih seorang wanita luar biasa. "Kekasih satu-satunya yang mencintai Soekarno tidak karena alasan harta dan takhta, yang selalu memberi dan tidak pernah meminta kembali. Satu-satunya wanita yang bersedia menemani Soekarno dalam kemiskinan dan kekurangan."

Ditambahkannya, "Saya harus meminta maaf sebesar-besarnya kepada semua janda Soekarno, dengan segala jasa dan segi positifnya masing-masing. Tetapi saya harus mengatakan bahwa hanya Inggit merupakan tiga bentuk dalam satu kepribadian, yakni ibu, kekasih, dan kawan yang selalu memberi tanpa pernah meminta. Kekurangannya, Inggit tidak melahirkan anak."

Inggit Garnasih lebih tua 15 tahun dari Bung Karno sehingga lebih dewasa dalam bersikap ketika menghadapi saat-saat gawat. Wanita Sunda ini bagaikan induk ayam yang sayapnya selalu siap memberi perlindungan. Janda cerai selama empat bulan tersebut kemudian menikah dengan Bung Karno pada pertengahan tahun 1923.

Selama 20 tahun hidup perkawinannya bersama Bung Karno, dengan setia dia menjenguk suaminya ketika disekap di Penjara Sukamiskin. Dengan kesetiaan luar biasa mengikuti suaminya menjalani pengasingan di Flores, sambil mengajak ibu dan dua anak angkatnya. Asmi, ibu mertua Bung Karno, tutup usia ketika mendampingi menantunya di tempat pembuangan.


Memulai hidup baru lagi

Ada sebuah kalimat bersayap, hidup dimulai pada usia 40 tahun. Pada usia tersebut Bung Karno mungkin ingin merintis hidup baru, dengan memakai alasan sangat mendasar, soal anak.

Dengan kebesaran jiwa yang sulit dicari bandingannya, Inggit akhirnya menyerahkan Bung Karno kepada Fatmawati, bekas putri angkatnya dalam masa pembuangan di Bengkulu. Gadis yang ternyata berani dan bahkan sudah menjalin kasih sayang dengan ayah angkatnya, dan yang kemudian menjadi istri dari bekas suami ibu angkatnya.

Bencana dimulai dengan kedatangan Hassan Din bersama istri dan putrinya, Fatmawati, untuk mencari tempat indekos di Bengkulu. Secara kebetulan usia anak gadis tersebut sepadan dengan Ratna Djuami, anak angkat Bung Karno. Maka hari itu juga, Fatmawati langsung ditinggal pulang dan diserahkan pengawasannya kepada pasangan Bung Karno-Inggit. Pesona Fatmawati dilukiskan oleh Bung Karno, "Rambutnya seperti sutera di belah tengah dan menjurai ke belakang berjalin dua. Dengan senang hati aku menyambutnya sebagai anggota baru keluarga kami." Sesudah beberapa waktu tinggal bersama, Bung Karno berkomentar, "Aku senang terhadap Fatmawati. Kuajari dia bermain bulu tangkis. Ia berjalan-jalan denganku sepanjang tepi pantai yang berpasir, sementara alunan ombak berbuih putih memukul-mukul mata kaki."

Fatmawati

Dalam perjalanan waktu, hubungan mereka semakin bertambah erat. Meskipun, menurut Bung Karno, "Apa yang ditunjukkan Fatmawati kepadaku adalah sekadar pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih 20 tahun dari padanya dan dia memanggilku Bapak. Bagiku dia hanya seorang gadis yang menyenangkan, salah seorang dari anak-anak yang selalu mengelilingiku untuk menghilangkan kesepian yang mulai melarut dalam kehidupanku. Yang kuberikan kepadanya kasih sayang seorang bapak."

Walau disembunyikan, akhirnya Inggit menyadari terjadinya percikan bunga-bunga cinta. "Aku merasa ada sebuah percintaan sedang menyala di rumah ini. Sukarno, jangan coba-coba menyembunyikan diri. Seseorang tidak bisa berbohong dengan sorot matanya."

Bung Karno masih mencoba berkilah, "Jangan begitu. Dia itu tidak ubahnya seperti anakku sendiri."

Inggit mengingatkan, "Menurut adat kita, perempuan tidak rapat kepada laki-laki. Kebiasaan anak gadis lebih rapat kepada si ibu, bukan kepada si bapak. Hati-hatilah, Engkau harus mendudukkan hal ini menurut cara yang pantas."

Bung Karno kemudian semakin sadar, "Fatmawati sudah menjadi perempuan cantik. Umurnya sudah 17 tahun dan ada kabar akan segera dikawinkan. Usia istriku mendekati usia 53 tahun. Aku masih muda, kuat dan sedang berada pada usia utama dalam kehidupan. Aku ingin anak, istriku tidak dapat memberikan. Aku menginginkan kegembiraan hidup, Inggit tidak lagi memikirkan soal-soal demikian"

Menurut versi Bung Karno, dengan cara sopan dia sudah pernah mengajukan izin untuk bisa menikahi Fatmawati. Dalam buku Kuantar ke Gerbang, karya Ramadhan KH berdasar wawancara dengan Inggit Garnasih, Bung Karno sambil menahan tangis bertanya, "Bukankah aku bisa mengawininya, sementara kita tidak usah bercerai?"

"Oh, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu. (Oh dimadu? Kalau harus dimadu, pantang aku)," jawab Inggit sengit. "Boleh saja kau kawin, tetapi ceraikan diriku lebih dulu."

Akhirnya Bung Karno menceraikan Inggit setelah Jepang menduduki Indonesia dan mereka berdua pulang ke Jawa. Pada bulan Juni 1943, Bung Karno kawin dengan Fatmawati memakai cara nikah wakil, sebab mempelai putri masih tertinggal di Sumatera. Bulan November 1944, lahir putra pertama, Mohammad Guntur. Bung Karno langsung mengucapkan syukur, "Aku tidak sanggup melukiskan kegembiraan yang diberikan kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan akhirnya, Tuhan Maha Pengasih mengkaruniai kami seorang anak."


Menyembunyikan nama istri

Dalam autobiografinya yang terbit bulan November 1965 tetapi dikerjakan Cindy Adams sejak tahun 1963, Bung Karno mengungkapkan semua kisah perkawinannya, mulai dari Oetari, Inggit, Fatmawati sampai ke Hartini. Tetapi, melarang dicantumkannya kisah pernikahan dengan Naoko Nemoto (Maret 1962), Haryati (Mei 1963), dan Yurike Sanger (Agustus 1964).

Nama Dewi dan Haryati baru muncul dalam buku kedua Cindy Adams, terbit tahun 1967 dengan judul, My Friend the Dictator. Oleh karena itu buku tersebut juga masih melupakan Yurike Sanger, pelajar SMA berusia 16 tahun, bekas anggota "pagar ayu" Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Kepada Majalah Swara Kartini, Yurike sempat mengungkapkan bahwa Bung Karno pernah berjanji kepadanya, "Adiklah, istri Mas yang terakhir".



Haryati

Di antara semua pernikahannya, yang kemudian memicu persoalan justru ketika menikahi Hartini. Wanita asal Ponorogo kelahiran tahun 1924 ini mengungkapkan, bertemu pertama dengan Bung Karno tahun 1952 di kota tempat tinggalnya, Salatiga, Jawa Tengah. "Bapak langsung menyatakan sangat tertarik kepada diri saya." Malahan ketika diberi tahu bahwa sudah punya lima orang anak, muncul komentar spontan, "Benar, sudah lima orang anak dan masih tetap secantik ini?"

Cinta pandangan pertama tersebut muncul seketika, dan Bung Karno menyebutkan, "Aku jatuh cinta kepadanya. Dan kisah percintaan kami begitu romantis sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal tersebut." Jatuh cinta bisa terjadi kapan dan di mana saja. Tetapi, yang kemudian menyulut reaksi pro-kontra, khususnya di kalangan wanita pada masa itu, oleh karena Bung Karno masih terikat perkawinan dengan Fatmawati, sementara status Hartini, ibu rumah tangga dengan lima orang anak.

Suasananya lebih diperburuk oleh karena secara kebetulan Dewan Perwakilan Rakyat sedang membicarakan Keputusan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1952 untuk mengatur tunjangan pensiun bagi janda pegawai negeri. Isu paling utama, bagaimana pembayaran gaji dilakukan jika istri pegawai negeri lebih dari satu? Isu ini kemudian mengangkat persoalan, apakah seorang pegawai negeri boleh mengambil istri baru? Dan kalau diizinkan, bagaimana persyaratannya?

Dengan munculnya isu itu, sejumlah ormas wanita penentang keputusan pemerintah melakukan unjuk rasa dan mengirim delegasi ke berbagai pihak. Termasuk menghadap Presiden Soekarno, yang saat itu sedang menjalin percintaan backstreet dengan Hartini. Mereka meminta Presiden memberi teladan dan ikut memperjuangkan lahirnya sebuah undang-undang perkawinan yang adil, sebagaimana dulu semangatnya pernah disebutkan Bung Karno dalam buku Sarinah. Para pimpinan ormas wanita tersebut mengemukakan, seandainya Presiden menghendaki poligami, minimal dia wajib untuk mengikuti ketentuan hukum Islam dan harus meminta persetujuan istri pertama lebih dahulu.

Ketegangan antara Bung Karno dengan ormas-ormas wanita penentang poligami mencapai puncaknya ketika Fatmawati, berkat dukungan kuat dari sebagian besar ormas wanita memutuskan "meninggalkan Istana Negara dan memulai kehidupan baru, terpisah dari suaminya."

Dilengkapi tekad Bung Karno yang tampaknya sudah tidak bisa disurutkan, setelah menjalin cinta gelap antara Jakarta-Salatiga, bulan Juli 1953, Bung Karno menikah dengan Hartini di Istana Cipanas. Bertindak sebagai wali nikah, oleh karena Bung Karno tidak bisa hadir, komandan pasukan pengawal pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo.

Bung Karno mengungkapkan, "Fatmawati sangat marah atas perkawinan ini. Sebetulnya dia tidak perlu marah. Istriku pertama dan juga yang kedua adalah pemeluk Islam yang saleh serta menyadari hukum-hukum agama." Ditambahkannya, "Aku tidak menceraikan Fatma karena anak kami sudah lima orang. Bagi orang Barat, mengawini istri kedua selalu dianggap tidak beradab, tidak sopan dan tindakan kejam."

Sayang, Bung Karno ternyata tidak hanya berhenti sampai kepada istri kedua. Cindy Adams tanpa sengaja bertemu Haryati di Istana Tampaksiring, Bali, semasa mengikuti kunjungan Presiden Filipina Diosdado Macapagal. Tampaknya, Haryati waktu itu sudah lebih dulu dikirim ke Bali untuk mendahului rombongan resmi.

Haryati menjelaskan, "Kami menikah di Jakarta bulan Mei 1963 dan Bapak berpendapat, sangat bijaksana kalau pernikahan ini tidak usah diumumkan kepada masyarakat luas. Kami berdua saling mencintai, tetapi menghadapi berbagai kesulitan. Selain itu, Bapak sudah mempunyai tiga istri dan usianya sekarang 63 tahun, sedangkan saya baru
23 tahun." Kesulitan semacam ini tidak hanya menimpa Haryati. Oleh karena situasi serupa juga pernah dijalani Ratnasari Dewi. Dalam My Friend the Dictator, Dewi mengungkapkan, "Saya dikenalkan kepada Bapak di Hotel Imperial Tokyo oleh para rekan bisnis dari Jepang". Pertemuan pertama tersebut membawa kesan sangat dalam. Tidak lama kemudian, Bung Karno mengundangnya ke Jakarta, untuk bertamasya selama dua minggu.

Kunjungan tersebut diakhiri dengan perkawinan pada awal Maret 1962, setelah Naoko Nemoto pindah agama dan Bung Karno memilihkan nama sangat indah, Ratnasari Dewi. Tetapi perkawinan tersebut membawa korban. Ibu Naoko, seorang janda, kaget dan langsung meninggal mendengar putrinya menikah dengan orang asing. Disusul hanya 26 jam sesudahnya, Yaso, saudara lelaki Naoko, melakukan bunuh diri. "And I was so alone. I had lost my whole family."

Dewi menjelaskan, "Mengingat situasi serba tidak menguntungkan, mengambil orang asing sebagai istri baru, maka selama beberapa waktu pernikahan kami disembunyikan. Saya merasa sangat tersiksa, harus selalu sendirian dan bersembunyi di rumah. Satu-satunya kegembiraan, Bapak sangat memperhatikan segala macam keperluan saya. Bapak menyulutkan rokok saya, Bapak dengan setia membawakan buah-buahan."


Kelemahan dan kekuatan

Tulisan ini bukan untuk menunjukkan kelemahan kepribadian Bung Karno sebagai seorang lelaki. Tetapi ingin mengungkapkan betapa kemudian Bung Karno melupakan pesan Sarinah, semakin berani menyerempet bahaya, dan bahkan, melalaikan persyaratan aturan perkawinan menurut hukum Islam. Ketika otobiografi Bung Karno terbit, para istri Bung Karno kecewa. Hartini sangat marah, sebab namanya hanya muncul selintas, sedangkan Inggit dan Fatmawati diceriterakan panjang lebar.



Ratna Sari Dewi

Ratnasari Dewi bahkan sempat mengamuk, hanya karena namanya sama sekali tidak disebut. Yang justru paling senang dengan buku tersebut adalah Bung Karno, oleh karena dia langsung memerintahkan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia.

Tidak ada malaikat di antara manusia, setiap orang memiliki kelemahan dan kekurangan. Wanita pada satu sisi merupakan titik lemah Bung Karno, tetapi di sisi lain sesuatu yang mampu memberikan gairah dan semangat hidup. "I'm a very physical man. I must have sex every day," katanya dengan kebanggaan meluap kepada Cindy Adams.

Maka, sebuah kelemahan bisa berubah menjadi kekuatan, tergantung kepada situasi dan kondisi yang dihadapi. Tetapi ketika usianya sudah semakin lanjut, dilengkapi keruwetan pribadi akibat semakin kompleksnya pengaturan jadwal oleh karena yang harus dikelolanya semakin banyak, ketajaman analisis yang selama ini dimiliki Bung Karno mulai tumpul.

Akan tetapi, seberapa besar minus nilai Bung Karno sebagai lelaki, sama sekali tidak menghilangkan perannya sebagai pejuang kemerdekaan. Dan juga tidak akan melenyapkan sumbangannya dalam memimpin perjuangan untuk kemerdekaan bangsa dan Tanah Airnya, Indonesia, yang sangat dicintainya.

Mengamati perjalanan Bung Karno-sebagai akibat masa kecil yang mungkin kurang bahagia-dia berusaha mengimbangi dengan mengembangkan daya khayal sangat dahsyat. Khayalan tersebut tercipta dengan hadirnya sosok Sarinah; seorang wanita yang jauh lebih tua, lebih matang sekaligus punya kemampuan melindungi dan memberikan selimut kehangatan kepada batin Bung Karno. Oleh karena itu menjadi jelas, mengapa perkawinannya dengan Siti Oetari hanya bertahan kurang dari dua tahun. Kekosongan tersebut kemudian dipenuhi Inggit Garnasih, wanita sederhana yang rela mengabdi dengan sepenuh jiwa raganya.

Sering orang mempersoalkan, derita Bung Karno jauh lebih ringan dibanding para pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya. Mereka diasingkan ke Digul atau Banda, sementara Bung Karno "hanya" ke Flores dan Bengkulu. Tetapi, di Digul atau Banda, mereka tidak terpencil, karena ada ratusan atau paling tidak sejumlah rekan lain dengan semangat dan daya nalar setara. Di sisi lain, Bung Karno harus tinggal sendirian, tanpa ada teman dengan tingkat intelektual sepadan di sekitarnya. Sungguh beruntung, dalam kesendirian tersebut di sampingnya tetap hadir Inggit Garnasih.

Sesudah Inggit terpaksa dan dipaksa surut ke belakang, frekuensi "ketergelinciran" Bung Karno semakin sering terjadi. Bung Karno yang merasa tetap perkasa, semakin tua justru semakin tambah percaya diri. Malahan mungkin merasa tidak memerlukan sayap pelindung, yang selama ini tanpa dia sadari menghangatkan batinnya.

Ia mengkhayalkan dirinya burung rajawali yang sanggup terbang sendirian menjelajah angkasa luas. Ia mungkin lupa, dalam kekosongan jiwa, rajawali tersebut telah merapuh, tidak ubahnya burung pipit yang selalu harus berusaha mencari perlindungan.


* Julius Pour Wartawan Kompas.

Sumber : Kompas - Jumat, 1 Juni 2001

Warga Lihat 2 Teroris Cawang Ditangkap Masih Hidup, RS Polri Bilang Sudah Tewas (Lho??)

| | | 0 komentar
Warga Lihat 2 Teroris di Cawang Masih Hidup Saat Dibawa ke Mobil

Sejumlah warga di sekitar lokasi penyergapan teroris di Cawang, Jakarta Timur melihat kalau dua dari 3 teroris yang ditangkap masih hidup. Hal ini berlawanan dengan keterangan dari pihak RS Polri yang menyatakan 3 teroris di Cawang sudah tak bernyawa saat masuk ke rumah sakit.

"Yang hidup dua orang. Yang meninggal satu. Tahunya masih hidup karena mereka dibawa ke dalam mobil. Sedangkan yang satu ditembak," kata salah seorang warga di sekitar lokasi yang enggan disebut namanya, Kamis (13/5/2010).

Warga tersebut menceritakan saat itu tiga orang yang diduga teroris turun dari taksi. Satu di antaranya langsung menaiki motor yang ada di lokasi. Dua orang lainnya berjalan ke arah Pusat Grosir Cililitan (PGC).

Namun tiba-tiba saja sejumlah pria berbadan tegap yang bermuka kumel dan kucel datang dari segala arah. Belum sempat mengendari motornya, seorang pria tersebut kemudian ditembak.

"Dia terus tersungkur. Terus nggak lama dia takbir," jelasnya.

Menurut saksi, warga di sekitar lokasi termasuk kakak ipar dan kakak kandungnya ikut menyaksikan kejadian bak mirip film-film Hollywood tersebut. Tanpa melawan dan tanpa memberontak, pria yang mau naik motor itu ditembak.

Karena mendengar suara tembakan ke arah temannya, dua orang laki-laki lainnya kemudian berlari. Pria-pria berbadan tegap itupun mengejar kedua pria tersebut. Keduanya pun tertangkap.

"Kata kakak saya yang lihat langsung, satu dipukul pakai pistol. Satu lagi dipukul pakai batu besar wajahnya sampai berdarah-darah. Mereka tidak melawan dan tidak memberontak," ungkapnya.

Melihat kejadian tersebut, warga sekitar masih tak tahu apa gerangan yang terjadi. Tiba-tiba saja ada orang yang berteriak rampok. Tak lama kedua pria yang ditangkap tersebut ditaruh di tengah-tengah warga. Mendengar teriakan rampok tadi, warga kemudian ikut menghakimi kedua pria tadi.

"Nggak tahu siapa yang berteriak. Jadi warga ikut gebukin," imbuhnya.

Setelah itu, lanjut saksi ini, keduanya pun dibawa hidup-hidup ke mobil. Sedangkan satu pria yang sudah tewas tersebut juga sudah digotong ke dalam mobil.

Sebelumnya keterangan saksi ini berbeda dengan keterangan Kepala RS Polri Brigjen Pol Budi Siswanto. Budi menjelaskan ada 5 jenazah yang masuk ke RS Polri. 3 jenazah dari Cawang dan dua jenazah dari Cikampek Timur. Hingga kini belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian mengenai kronologi yang terjadi.


http://www.matabumi.com/berita/warga-lihat-2-teroris-cawang-ditangkap-masih-hidup-rs-polri-bilang-sudah-tewas-lho

Ba’asyir Ustadz Yang Istiqomah, Lugu dan Santun

| | | 0 komentar
Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab menjenguk Abu Bakar Ba’asyir di Mabes Polri, Selasa (10/8). Rizieq didampingi mantan Ketua YLBHI Munarman dan aktivis Islam yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI).

“Kedatangan kami selain untuk menengok Abu Bakar Ba’asyir, juga menanyakan kepada Mabes Polri kenapa ustadz yang istikomah, lugu, dan santun kok ditahan. Namun, tetap dalam koridor hukum,” kata Rizieq di Mabes Polri.

Dia menambahkan, FPI akan mengeluarkan pernyataan sikap terkait penangkapan Ba’asyir. Ketua FPI itu tiba di Mabes Polri pukul 11.30 WIB. Ba’asyir ditangkap Tim Densus 88 Antiteror di Banjar, Patroman, Ciamis, Jawa Barat, Senin (9/8) dinihari, dalam perjalanan pulang menuju Solo, Jawa Tengah.

Ia dituduh terlibat dalam serangkaian kegiatan teroris. Penangkapannya dua hari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutarakan dirinya menjadi target teroris. Sebelum Ba’asyir, sebuah rumah di Cibiru yang disangka teroris digerebek Densus 88. Penggerebekan juga dilakukan di Subang, Padalarang, dan Cileunyi. Saat ini orang yang dituduh teroris berjumlah lima orang. Mereka dituduh memiliki hubungan dengan Ba’asyir.

Selain Ketua FPI Habib Rizieq, anak amir Jamaah Anshorut Tauhid Abu Bakar Ba’asyir, Abdul Rohim juga datang di Mabes Polri menjenguk ayahnya. Ia mengaku tidak percaya dengan tuduhan tersebut.

“Kami punya pengalaman masa lalu dengan tuduhan bermacam-macam. Tapi ujungnya, beliau tidak terbukti,” ujar anak ketiga Ba’asyir itu.

Menurut dia, tuduhan itu merupakan rekayasa. Pemeriksaan terhadap Amrozi yang memaksakan keterkaitan ayahnya merupakan salah satu bukti rekayasa itu. “Semua tidak tepat. Kami menyakini rekayasa polisi. Dari dulu seperti itu,” ujarnya.

Ba’asyir merupakan orang yang tidak pernah setuju cara-cara penegakan syariah dengan kekerasan. “Prinsipnya dia tidak suka kekerasan. Dia tidak suka bom bunuh diri, dan kekerasan dalam memperjuangkan Islam,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi menjelaskan, penangkapan Ba’asyir bukan pesanan baik dari seseorang ataupun dari negara lain. “Tidak ada sama sekali, pesanan dari manapun,” kata Ito seraya menambahkan bahwa Ba’asyir akan terus diperiksa meskipun enggan menjawab pertanyaan penyidik. wnd

Ustadz ABB : Amerika Inginkan Dirinya Mati!

| | | 0 komentar
Selasa, 17 Agustus 2010 sore, sekitar pukul 17.00 Bareskrim Mabes Polri tampak ramai pengunjung. Tampak hadir sekitar kurang lebih seratus orang jamaah yang mengunjungi Ustadz Abu Bakar Ba’asyir (ABB). Nampak juga Ustadz Abu Jibriel beserta keluarga dan rombongan datang mengunjungi Ustadz ABB.

“Ini ujian untuk menjadi lebih mulia,” pesan Ustadz Abu Jibriel kepada Umi Icun (Umi Aisyah, istri Ustadz ABB) sesaat sebelum meninggalkan Mabes Polri.

Ustadz ABB yang didampingi oleh istri dan anak bungsunya, Ustadz Abdul Rahim Ba’asyir telihat lebih tegar dan lebih ikhlas. Pengunjung yang masuk dipersilahkan menemui Ustadz ABB secara bergantian, Ustadz ABB sempat menceritakan kronologis penangkapannya.

“Saat itu saya disuruh buka pintu saya diam saja, digedor-gedor saya diam saja,” imbuh Ustadz ABB dengan penuh semangat. “Terus saya ditodong senjata, langsung saya bilang: Saya doakan dilaknat Allah kamu, sambil menunjuk anggota densus yang menodongkan senjata kepada beliau.”

Bertepatan dengan genapnya usia Beliau yang ke 72, keluarga dan para pengunjung membawakan berbagai macam kebutuhan Ustadz dan membawa berbagai makanan untuk dinikmati saat berbuka puasa dengan keluarga.

Ironis, bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia ke-65, negeri ini masih belum bisa lepas dari bayang-bayang pihak asing. Penangkapan Ustadz Abu bakar Ba’asyir merupakan suatu cobaan bagi kaum muslimin yang merindukan tegaknya syariah Islam di negri ini.

Beliau sempat mengatakan penangkapannya ini adalah sebuah fitnah yang sengaja dirancang oleh Amerika dari dulu yang menginginkan Ustadz ABB mati, atau menjalankan hidupnya selamanya di penjara.

Semoga Allah senantiasa memberikan Beliau kesabaran dan senantiasa istiqomah di jalan Allah dan keluarga diberikan kekuatan dalam menghadapi ujian ini dan semoga seluruh kaum muslimin tidak pernah gentar dengan tekanan-tekanan para thagut yang tidak menginginkan Islam tegak di bumi ini.

(Malika Alexandrina/arrahmah.com)

Source: http://arrahmah.com/index.php/news/read/8805/ustadz-abb-amerika-inginkan-dirinya-mati

Ustadz Abu Korban Operasi Intelijen

| | | 0 komentar
Wawancara Suara Islam dengan Pengamat Politik dan Militer, Kol (Purn) Y. Herman Ibrahim seputar penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan operasi intelijen di belakangnya.

Penangkapan Ustadz Abu benar-benar menggegerkan jagat politik Indonesia. Betapa tidak, selain perlakuan sangat kasar dari aparat Densus 88 terhadap ulama kharismatis yang namanya telah mendunia itu, juga penangkapannya ternyata hasil dari operasi intelijen polisi yang penuh dengan fitnah terhadap Ustadz Abu yang menginjak usia sepuh 72 tahun tersebut.

Ustadz Abu difitnah turut membiayai latihan militer sejumlah pemuda Islam di Aceh pada awal tahun ini. Padahal latihan militer itu dimaksudkan untuk pengiriman sukarelawan ke Gaza jika terjadi lagi perang Palestina melawan Israel. Selain itu dapat dari mana dana Rp 700 juta yang dituduhkan kepada Ustadz Abu yang selama ini tidak setuju dengan aksi-aksi terorisme. Padahal Untuk membayar sewa kantor JAT yang dipimpinnya di Pejaten Pasar Minggu sebesar Rp 18 juta pertahun saja kembang kempis.

Ternyata sekarang terbukti, sumber pendanaan utama bahkan penyediaan ribuan peluru dan senjata organik ternyata berasal dari Sufyan Tsauri, intelijen polisi yang pura pura sebagai desertir dan sengaja disusupkan ke tengah-tengah para pemuda yang masih polos cara berfikirnya tersebut. Padahal mereka hanya akan dijadikan umpan untuk menjerat Ustadz Abu dan sekarang telah terbukti kebenarannya.

Berikut ini wawancara Tabloid Suara Islam dengan pengamat intelijen sekaligus mantan perwira intelijen Kodam III Siliwangi, Y. Herman Ibrahim seputar operasi intelijen terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang berujung pada penangkapannya.

Bagaimana menurut anda tuduhan terlibat terorisme terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir ?

Saya yakin Ustad Abu sebagai target. Jadi tujuan utamanya tuduhan terlibat terorisme untuk menjeratnya. Saya kira ini bukan hanya sekedar isyu politik, tetapi juga berbagai macam isyu lainnya. Karena semua pihak memanfaatkan isyu terorisme untuk kepentingan mereka sendiri.

Sebenarnya sumber utamanya adalah perangnya AS. Karena Indonesia banyak tergantung pada AS, maka kita wajib mengikuti irama perang yang dibawaAS. Ustadz Abu dituduh memperoleh dana untuk latihan militer di Aceh, saya kira perlu diklarifikasi. Sebab kalau kebetulan dia memberikan dana kepada ikhwan yang berangkat ke Aceh, itu soal lain. sebab membantu orang lain belum tentu terorisme.

Berarti indikasi penangkanpan Ustadz Abu atas pesanan AS adalah benar ?

Saya haqqul yakin ! Memang dari dulu AS ingin Ustad Abu ditahan dengan berbagai tuduhan, tetapi tidak pernah terbukti dia melakukan makar, tidak terbukti dia merencanakan membunuh Presiden Megawati, tidak terbukti dia terlibat Bom Bali I meski sudah menjalani hukuman 4 tahun penjara. Ustadz Abu selama ini kan tidak setuju dengan berbagi aksi pemboman itu. Pemboman itu kemungkinan ijtihad para pelakunya sendiri, tidak ada hubungannya dengan Ustadz Abu apalagi atas restunya. Saya haqqul yakin, pemboman itu atas ijtihad para pelakunya sediri, buka atas perintah Ustadz Abu.

Ustadz Abu pernah diminta AS untuk ditahan di kamp penyiksaan militer AS Teluk Guantanamo, Kuba ?

Ya memang pemerintah AS secara resmi pernah meminta kepada Presiden Megawati agar menyerahkan Ustadz Abu, tetapi tidak dikasihkan. Sebab Presiden Megawati tidak berani mengambil resiko dengan beban politik yang harus ditanggungnya nanti. Memang tekanan waktu itu ada, bahkan salah seorang anggota CIA sempat mengatakan kalau Abu Bakar Ba’asyir tidak diserahkan ke AS, maka nanti akan ada hal yang buruk.

Kemudian hal itu benar-benar terjadi dengan meledaknya Bom Bali I (2002). Disini AS menunjukkan bukti bahwa bom Bali memang benar-benar ada . Jadi kelemahan gerakan Islam di Indonesia saat ini ada pada penguasaan informasi dan pendanaan, sehingga sangat tergantung kapada pihak lain. Celakanya justru tergantung dari intelijen, sehingga dapat dimanfaatkan pihak ketiga sebagai kaki tangan AS untuk menyediakan dananya terutamna dari kalangan intelijen.

Apakah penangkapan Ustadz Abu hasil dari operasi intelijen ?


Saya kira demikian dan saya yakin akan hal iitu. Kalau peran Ustadz Abu benar sesuai dengan tuduhan polisi, seharusnya perlu kita pertanyakan dana itu dari mana kalau memang benar seperti itu. Saya dengar memang Ustadz Abu dikasih dana, tetapi untuk membantu fakir miskin dan yatim piatu, bukan terorisme.

Ustadz Abu ditangkap, nungkinkah Mabes Polri akan kembali dapat kucuran dana dari AS dan Australia seperti ketika menangkap Ustadz Abu tahun 2002 lalu ?


Pendidikan polisi anti teror kan dananya dari Australia. Hal ini menjadikan keyakinan agar dana terus menerus mengalir, maka isyu teroris harus tetap ada atau kalau tidak ada diada-adakan. Mengapa para pemuda yang latihan militer di Aceh harus dituduh sebagai teroris dan ditembak serta dibunuh. Sebenarnya negara sangat memerlukan mereka untuk dilatih militer bagi pertahanan negara dari intervensi asing. Lha apa bedanya dengan kegiatan Menwa yang justru dibiayai dari APBN. Padahal sama-sama membela negara dari bahaya intervensi asing.

Mengapa Densus 88 terus menyasar para mantan pejuang Afghanistan, Mindanao, Ambon dan Poso. Sementara para separatis Kristen seperti RMS dan OPM dibiarkan berkeliaran bahkan membunuh aparat ?

Ini bagian dari operasi intelijen. Memang Islam berusaha untuk dimatikan, sepertinya umat Islam Indonesia tidak boleh berpolitik. Padahal dakwah harus dengan menggunakan politik dan kekusaan, bahkan sepertiga ayat Al Qur’an mengenai masalah politik.

Mengapa sejak BAKIN Ali Moertopo hingga BIN Hendro Priyono sekarang, umat Islam selalu menjadi sasaran operasi intelijen ?

Dulu umat Islam sukses membantu penumpasan PKI. Kemudian intelijen AS sengaja membuat gerakan NII (Negara Islam Indonesia) untuk menyudutkan umat Islam. Kemudian pemerintah membuat Operasi Khusus (Opsus). Jadi sesungguhnya intelijen sangat berjasa dalam mendirikan gerakan NII. Kemudian muncul Asas Tunggal Pancasila dan umat Islam menolaknya.

Kita tahu sejak dulu Ustadz Abu tidak pernah mau menerima Pancasila. Pada zaman Orba, Ustadz Abu pernah ditangkap dan dihukum 4 tahun penjara. Ketika dibebaskan sementara dan keputusan MA keluar kemmudian harus dihukum 9 tahun, maka Ustadz Abu bersama almarhum Ustadz Abdullah Sungkar hijrah ke Malaysia dan baru kembali tahun 1999 lalu.

Memang selama ini umat Islam selalu gagal memperjuangkan penerapan Syariah Islam di Indonesia, sehingga memicu sebagian dari mereka untuk memperjuangkannya dengan caranya sendiri. Tetapi kemudian dimanfaatkan oleh intelijen dengan membentuk Komando Jihad, Teror warman, Kelompok Imron dan sebagainya. Semua ini rancangan intelijen Opsus untuk mendiskreditkan umat Islam Indonesia.

Sekarang semakin terungkap, ternyata penyandang dana latihan teroris di Aceh adalah Sufyan Tsauri, mantan desertir Brimob dan anggota intelijen yang diduga kuat sengaja disusupkan ke teroris. Bagaimana komentar anda ?

Mengenai Sufyan Tsauri saya tidak tahu persis. Tetapi jamaah Ngruki di Solo tahun 1990-an pernah memiliki santri dari Bintara Polri. Dia bertugas di intelkam Solo, sering bolos dan kemudian mengajukan pensiun dini. Dia sempat ditahan setelah dilaporkan Den Intel Kodam IV Diponegoro sebagai aktifis Ponpes Ngruki yang dipimpin Ustadz Abu. Saya kira tentata atau polisi termasuk para mantan, kalau masuk jamaah layak dicurigai ternasuk saya dan almarhum ZA Maulani, ha ha ha. Saya kira skenario pelatihan militer di Aceh, jelas semuanya itu kerjaan intelijen. Bayangkan, Abdullah Sonata yang baru keluar dari penjara sudah mengadakan pelatihan, dananya darimana kalau bukan dari intelijen.

Saya sangat menyayangkan kelakuan Densus 88 dalam penangkapan Ustadz Abu seperti disiarkan di televise. Ustadz Abu seorang ulama besar yang dihormati bahkan namanya sampai ke Timur Tengah, kok ditangkap seperti menangkap penjahat. Apa aparat Densus 88 itu tidak dididik dengan HAM, etika dan moral. Lha kalau begitu apa bedanya dengan preman bersenjata ! Mereka beraninya hanya dengan orang tua yang tidak berdaya seperti Ustadz Abu, jelas ini sangat memalukan. Peristiwa ini sangat menyakiti hati umat Islam Indonesia yang akan menanggung bebannya secara mendarah daging dalam waktu lama. Jelas ini suatu ketidakadilan dan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Ustadz Abu dan umat Islam Indonesia.

Karena semua ini atas permintaan AS, maka kita juga menyayangkan mengapa Kopassus TNI AD justru kerjasama dengan AS. Padahal di Pakistan dan Afghanistan, Taliban sukses melawan pasukan AS bahkan NATO yang menjarah negerinya. Tetapi disini sebagai negara dengan rakyat Islam terbesar di dunia, justru pemerintahnya bekerjasama dengan penjajah AS. Sekarang AS diambang kekalahan memalukan dalam bertempur melawan Taliban di Afghanistan.

Apakah penangkapan Ustadz Abu akan diikuti dengan penangkapan tokoh-tokoh umat Islam seperti Habib Rizieq dan lainnya ?

Kalau Habib Rizieq kan mainnya di hilir sedangkan Ustadz Abu di hulu, jadi lebih berbahaya main di hulu. Kalau di hilir memberantas maksiyat dan penyakit masyarakat lain, kalau di hulu kan penegakan Syariat Islam yang pasti akan dimusihi negara. Jadi Habib Rizieq tidak diannggap terlalu berbahaya bagi pemerintah.

Apakah penangkapan Ustadz Abu dalam rangka rivalitas para petinggi Polri untuk menggantikan Kapolri BHD yang akan pensiun ?

Memang semuanya memanfaatkan isu teroris. Saya kira biarkan saja mereka itu bertikai sendiri memperebutkan kursi panas Kapolri dengan berantem sendiri. (*)

http://www.suara-islam.com/news/berita/wawancara/1109-ustadz-abu-korban-operasi-intelijen

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?