SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Penerjemah I La Galigo Berpulang

| | | 0 komentar
Muhammad Salim, penerjemah epos I La Galigo dan peneliti naskah lontarak, berpulang untuk selamanya, Minggu (27/3/2011) sekitar pukul 18.30, dalam usia 75 tahun. Kepergiannya menyisakan keresahan terhadap keberlanjutan pendokumentasian dan pelestarian naskah lontarak di seluruh Sulawesi Selatan.

Salim kelahiran Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, 4 Mei 1936. Minggu sore, ia masih ikut rapat. Sabtu, ia mengundang Kompas mendiskusikan nasib Yayasan Budaya Sulawesi Selatan (YBSS), tempatnya mengabdi sebagai tenaga ahli bahasa Bugis, 5 tahun terakhir.

Kepergiannya mendadak. ”Seusai wudu, Bapak duduk lalu berbaring. Dadanya sakit. Setelah itu, Bapak pergi selamanya,” kata Hj Djamiah (65), istri Salim selama 54 tahun, Senin.

Salim tak pernah sakit keras. Pola hidupnya sehat. Ia rutin berolahraga pukul 04.30-06.30. Ia juga dikenal santun dan sederhana. Namanya dikenal seiring dedikasinya mendokumentasikan lontarak di seluruh Sulawesi Selatan (Sulsel). Selain menerjemahkan Sureq Galigo selama 5 tahun 2 bulan atas biaya Universitas Leiden, Belanda, Salim berinisiatif mencari lontarak hingga ke pedalaman Sulsel, untuk diterjemahkan dan dibukukan.

Lebih dari 100 lontarak dikumpulkan. Belum semua dibukukan karena dana. Hasil penerjemahan I La Galigo sebanyak 12 jilid pun baru dibukukan dua jilid. Kendati tamatan Sekolah Guru Bawah, Salim merupakan rujukan para profesor dan peneliti asing.

Hingga wafat, ia setia menjaga YBSS. Padahal, ia bertugas tanpa honor. Dalam percakapan terakhir dengan Kompas, 21 Maret, ia mengkhawatirkan kelanjutan YBSS. ”Kalau bukan saya yang menjaga, siapa lagi? Tak banyak orang mau bekerja tanpa dibayar,” ucapnya. Ia bermimpi menonton pentas I La Galigo arahan Robert Wilson di Fort Rotterdam, Makassar, 23-24 April mendatang. (SIN)

Sumber :Kompas Cetak

Sejarah Bandung Lautan Api

| | | 0 komentar
Pada tanggal 24 Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo-Halo Bandung" ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api.

Insiden Perobekan Bendera

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang. Mereka berkomplot dengan Belanda (tentara NICA) dan memperalat Jepang untuk menjajah kembali Indonesia.

Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI pada hari Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945, cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia. Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh Moeljono.

Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.

Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.


Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda. Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan.

Bandoeng Laoetan Api

Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan politik "bumihangus". Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946.

Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota.

Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi. Di sana-sini asap hitam mengepul membubung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun berubah menjadi lautan api.

Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI dan rakyat tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI bersama rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia.

Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu. Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal. Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.

Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air”
A.H Nasution, 1 Mei 1997

Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.

Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.

Peringatan Halabcheh, Tinjauan Kembali Terhadap Sebuah Tragedi

| | | 0 komentar
Ketika mantan presiden dan diktator Irak, Saddam Husein, dihukum gantung, media-media massa Barat menyatakan bahwa berkas-berkas kejahatan Saddam selama hidupnya telah dilimpahkan kepada sejarah, dan lambat laun segala sesuatunya akan terlupakan. Namun, fakta yang sebenarnya lebih akurat daripada opini yang dipoles oleh media-media massa Barat itu. Sejarah tidak akan menghapus catatan kejahatan Saddam dan bukti dukungan Barat terhadap kekejian Rezim Baath itu.

19 tahun yang lalu, tanggal 16 Maret 1988, Saddam Husein melakukan sebuah kejahatan anti kemanusiaan yang paling keji dalam sejarah. Pada hari itu, kota Halabcheh di Irak menjadi sasaran serangan senjata destruksi massal oleh Rezim Saddam. Kota ini mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan kota Nagasaki, Hiroshima, serta kota-kota di Vietnam. Dalam pembantaian massal di Halabcheh, lebih dari 15 ribu orang tewas.

Lebih dari itu, serangan senjata kimia yang dilancarkan oleh Saddam tidak hanya menimpa kota Halabcheh, namun juga dialami oleh warga Iran di kawasan barat dan selatan negara ini. Tentu saja, tragedi di Iran tak akan terjadi jika lembaga-lembaga internasional dan Dewan Keamanan PBB tak membisu dalam menyikapi tragedi Halabcheh.

Robert Fisk, seorang wartawan terkenal asal Inggris, dalam artikelnya yang ditulis beberapa tahun lalu usai perang Irak-Iran, mengatakan, "Dalam sebuah dokumen rahasia yang tak dipublikasikan, disebutkan adanya pengiriman senjata-senjata kimia dan biologi yang berfungsi ganda dari AS ke Irak. Sebelum dan setelah tahun 1985, perusahaan-perusahaan AS mengirimkan senjata-senjata biologi ke Irak setelah diratifikasi oleh negara ini.

Disebut-sebut juga bahwa pengirim senjata destruksi massal itu di antaranya adalah perusahaan yang memproduksi mikroba antraks dan sejumlah virus lainnya." Melalui laporan tersebut dapat disimpulkan bahwa AS telah terbukti mengirimkan bahan-bahan senjata dwifungsi kepada Irak, yang disetujui oleh pemerintah Washington dalam rangka membantu pembuatan instalasi-instalasi senjata kimia di Irak.

Muhammad Salam, seorang wartawan Associated Press yang menyaksikan langsung serangan-serangan senjata kimia Irak terhadap tentara Iran di timur Basrah mengatakan, "Pasukan Irak untuk pertama kalinya mengunakan gas-gas kimia, yang sebagaimana gas Mustard, dapat merusak syaraf manusia." Muhammad Salam juga menyatakan, "Sejak awal, Iran sudah menyatakan bahwa AS telah mengirimkan senjata kimia ke Irak, namun Washington terus menepis tudingan tersebut."

Koran San Fransisco Chronicle edisi 12 November 2006 menulis, AS mengirimkan 14 bahan berbahaya yang dapat digunakan untuk produksi senjata kimia ke Irak, dan hal ini sengaja dilakukan semata-mata untuk mengalahkan Iran. Koran ini seperti media-media massa lainnya, juga menyinggung kunjungan Donald Rumsfeld ke Irak dan pertemuannya dengan Saddam Husein. Rumsfeld datang ke Irak pada bulan Desember 1983 dan pada tanggal 24 Maret 1984. Menurut koran ini, "Rumsfeld menemui Saddam di saat PBB dalam laporannya mengumumkan bahwa Irak dinyatakan sebagai pelaku kejahatan perang karena menggunakan gas Mustard dalam menyerang tentara-tentara Iran."

Berdasarkan laporan resmi dan dokumen Reagan di awal April 1982, AS sama sekali tak dapat menerima kekalahan Irak dalam perang Iran, serta tak membiarkan Saddam kalah. Untuk itu pada tahun 1983, AS secara resmi menjadi pendukung utama Irak dalam perang Iran. Di samping itu, AS bersedia mengirimkan dana milyaran USD serta menfasilitasi pengiriman senjata dan teknologi dwifungsi ke Irak melalui makelar-makelar senjata. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kemampuan Irak dalam memproduksi senjata kimia terkait erat dengan kerjasama perusahaan-perusahaan AS dan Eropa.
Dalam laporan yang disampaikan kepada Konferensi Perlucutan Senjata Nuklir, Republik Islam Iran menyatakan bahwa jumlah serangan senjata kimia yang dilakukan Irak antara tahun1981 hingga 1988 adalah sebanyak 242 kali dan menelan korban sebanyak 44 ribu orang. Disebutkan juga, Baghdad mengakui bahwa pihaknya dalam perang Irak menggunakan enam ribu unit bom kimia kepada Mantan Ketua Tim Inspeksi Senjata Destruksi Massal PBB, Hans Blix.

Berdasarkan laporan yang disusun oleh tim penyidik PBB terkait senjata nuklir Irak, Irak mendapatkan fasilitas militer dan senjata kimia dari 150 perusahaan Barat. Koran Al-Qais, terbitan Kuwait, yang mengutip pernyataan para pakar dan inspektur senjata destruksi Irak, pada bulan November 2006 menulis, "Perusahaan-perusahaan pemasok utama untuk Irak terdiri atas 22 perusahaan AS, 23 perusahaan Italia, dan 13 perusahaan Swiss."

Sangat ironis, AS yang di masa lampau menjadi pendukung Saddam kini mengklaim diri sebagai penentang senjata pembunuh massal. Bahkan, AS kini menduduki Irak dengan alasan untuk membasmi senjata pembunuh massal. AS juga terus-menerus menekan Iran yang sedang berupaya mendayagunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. Padahal di saat yang sama, AS sendiri tengah memproduksi senjata nuklir generasi baru yang merupakan ancaman besar bagi keselamatan umat manusia.





sumberhttp://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=141:peringatan-halabcheh-tinjauan-kembali-terhadap-sebuah-tragedi-&catid=59:perspektif&Itemid=101

Pembantaian Muara Angke

| | | 1 komentar
Awal tahun 1610-an etnis Cina di Batavia berjumlah hampir 5000 orang lebih. Jumlah mereka yang banyak memang dibutuhkan oleh pemerintah kolonial, untuk mengisi pekerjaan kasar seperti kuli angkut dan buruh pabrik. Itu menjadi mungkin karena orang-orang Belanda yang menetap di Batavia rata-rata adalah tentara, pelaut (sangat temporer) dan kelas menengah seperti pelancong dan politikus, tentu bourjuis eropa tidak mungkin melakukan pekerjaan kasar.

Maka orang-orang Cina-lah yang melakukan itu untuk mereka. Jan Pieter Zoon Coen yang mendirikan Batavia menyadari kondisi itu, karenyalah ia mengangkat “Tsu Ming Kang” sebagai kapten orang-orang Cina di Batavia.

Pada tahun 1620 perjudian yang dijalankan oleh etnis Cina mendapat izin resmi dari pemerintah kolonial, Tsu Ming Kang dan Gonthaay (ajudannya) ditugaskan oleh Belanda untuk mengambil pajak dari setiap bisnis judi. Pada waktu itu salah satu bisnis etnis Cina yang paling populer adalah bisnis gula. Etnis Cina memiliki banyak sekali perkebunan tebu di ‘Ommelanden’ atau wilayah si luar Batavia atau yang mengelilingi Batavia.

Karena perkembangan pabrik-pabrik gula, mereka terus mendatangkan pekerja-pekerja Baru dari Cina daratan untuk mengisis posisi buruh-buruh pabrik. Dari 1680 sampai 1720 etnis Cina di Batavia hidup relatif makmur.

Petakanya dimulai awal 1720 ketika unsur tanah perkebunan mulai mengalami kejenuhan, lalu pemerintah Inggris mulai menyaingi pasar Eropa dengan meningkatnya kwalitas perkebunan tebu di India Barat, sehingga Belanda mengalami permasalahan ekspor gula. Tapi pekerja-pekerja dari Cina daratan tetap berdatangan. Sehingga pada tahun 1725 pengangguran di kalangan etnis Cina meningkat drastis, dan meningkat terus di tahun-tahun berikutnya.

Para pengangguran inilah yang kemudian mengganggu keamanan di wilayah Batavia dan sekitarnya. Pemerintah kolonial menyadari kondisi ini akan merepotkan mereka, dan mereka mengeluarkan dua peraturan yang dikeluarkan secara beruntun antara tahun 1690 dan 1710-20. Peraturan pertama adalah mengurangi jumlah imigran Cina, sebuah peraturan yang diberikan untuk kapal-kapal Cina yang mengangkut imigran-imigran dari Cina daratan.

Peraturan kedua adalah memberikan status penduduk ‘Permisibrief’ kepada Cina yang sudah menetap terutama yang memiliki posisi baik sebagai pebisnis maupun petugas dan pegawai. Tapi kedua peraturan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena pejabat Belanda sangat mudah disuap, apalagi mereka (belanda) sangat menyukai barang-barang buatan Cina seperti Guci, kain dan lukisan. Sehingga tetap saja imigran Cina membludak di Batavia dan sekitarnya. Karena peraturan itu gagal diterapkan.

Van Imhoff seorang pejabat ‘Raff Van Indie’ atau ”Dewan Nusantara” sebuah organisasi yang mengurusi permasalahan sosial politik di Nusantara, memutuskan untuk menangkap semua orang Cina yang tidak bekerja, baik yang memiliki status ‘Permisibrief’ maupun yang tidak. Kondisi ini membuat ketegangan baru di kalangan etnis Cina, dan mereka yang tidak bekerja kemudian bersembunyi di rumah-rumah.

Mereka yang ditangkap di janjikan akan dibawa ke Ceylon dan dipekerjakan sebagai buruh pengupas buah vanili, tapi mereka tidak pernah sampai ke pulau itu, mereka dilempar ke laut dalam perjalanan. Isu itu membuat etnis Cina di Batavia berang dan mulai mempersenjatai diri, dengan senjata api dan meriam buatan, membentuk barisan pemberontak yang awalanya hanya berjumlah 60 sampai 100 orang. Dan ketakutan menyebar di Batavia.

Van Imhoff terkenal sebagai pejabat yang diplomatis dalam sejarah Batavia. Ia datang ke “Tanah Abang” tempat berkumpulnya etnis Cina dan mengadakan perundingan, tetapi ia pun tidak bisa menangani situasi. Tetapi ia dan ‘Nie Hue Kong’ seorang kapten Cina yang menjadi pegawai Belanda terus melakukan pendekatan agar ketegangan mereda.

Tetapi ‘Nie Hue Kong’ yang merupakan pegawai kolonial tidak dianggap oleh pemberontak, dan belakangan diketahui ‘Nie Hue Kong’ memiliki pabrik gula tempat pemberontakan dan pemogokan berlangsung. Ketika barisan pemberontak berada di depan gerbang Batavia. Sekelompok pasukan Batavia yang dilengkapi dengan 100 orang pasukan berkuda Bugis menyerang pemberontak dan mereka kocar-kacir. Isu menyebutkan bahwa cina-cina pemberontak menyusup ke Batavia dan warga Batavia ketakutan dan sentimen terhadap etnis Cina meningkat.

Pada hari minggu 9 oktober 1740 pemerintah Belanda menggeledah setiap rumah etnis Cina di Batavia. Awalnya hanya penggeledahan, kemudian menjadi pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan, pribumi dan para budak turut andil dalam kekejian tersebut. Gubernur Jenderal Valkeeiner yang selalu berseteru dengan Van Imhoff pada tanggal 10 oktober 1740 memerintahkan pembunuhan terhadap orang Cina yang berada di penjara dan rumah sakit.

Pembantaian baru berhenti setelah tanggal 10 oktober 1740, setelah pemerintah Belanda menarik mundur semua pasukan dan menyuruhnya untuk kembali ke asrama, untuk pembantaian itu serdadu bawahan mendapat 6 dukat sedangkan perwira dua kali lebih besar. Efek dari pembantaian itu adalah merebaknya pemberontakan anti Belanda di seluruh Indonesia.

Contohnya di Mataram, ketika rakyat ikut bersama pemberontak Cina bersama menyerang Belanda. Setelah kejadian itu Valkeeiner ditangkap dan dipenjara, dan dijatuhi dihukum mati. Tapi dia meninggal di penjara pada tahun 1751, hukuman matinya tidak sempat dilaksanakan. Menjadi sebuah catatan khusus bahwa kaisar CIna pada waktu itu Tsj’ien Lung (1736-1796).

Tidak mengambil acuh pada pembantaian itu, padahal para pedagang dan pelaut Cina menyebarkan berita pembantaian itu ke Cina daratan. Hal itu disebabkan karena Cina sedang membangun sebuah jaringan dagang baru dengan Belanda, Inggris dan Spanyol, dan pada tahun itu mereka (kekaisaran Cina) sedang menghadapi permasalahan internal, seperti pemberontakan dan produksi pangan yang bermasalah.

Hubungan ekonomi menjadi lebih besar dari masalah kemanusian itu sendiri. Tapi kasus pembantaian Oktober 1740 itu merupakan sebuah monumen sejarah pembantaian pertama di pulau jawa yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap etnis yang dicap non pribumi.

Dalam sejarah selanjutnya di Indonesia etnis Cina bahkan yang lahir dan besar di Indonesia tetap mendapatkan sentimen bahwa mereka bukanlah warga yang nasionalis hanya memanfaatkan Indonesia sebagai lahan bisnis. Tentu hal ini harus dipertanyakan lebih lanjut. Etnis Cina berbeda dengan etnis Arab yang pernah mendapat sentimen juga dari penduduk pribumi.

Tapi dalam kasus masyarakat Arab situasi yang dihadapi sedikit berbeda. Arab datang ke Indonesia dengan misi dagang dan menyebarkan agama Islam, dan di dekade awal kedatangan masyarakat Arab pada awal abad ke-17 sudah melakukan pernikahan dengan pribumi.

Di kalangan etnis Cina pernikahan seperti itu tidak mudah dilakukan, karena pertama sejarah poligami di kalangan masyarakat Cina tidak sepopuler masyarakat Arab, dan biasanya Cina pendatang membawa keluarga mereka ketika bermigrasi ke Indonesia.

Sedangkan yang tidak membawa keluarga lebih cenderung memilih menikah dengan sesama etnis karena struktur sosial dan etiket sosial etnis Cina sangat ketat, termasuk dalam hal tatacara makan, minum, bertemu dengan orang tua, mengucapkan salam, sehingga sangat sulit untuk membawa seseorang dari luar kebudayaannya untuk masuk ke kebudayaan mereka pada waktu itu, dan mungkin juga sekarang.

sumber http://ahmadsyarifali.wordpress.com/2010/06/30/segelas-teh-untuk-cina-singkeh-pembantaian-muara-angke/

Pembantaian My Lai , Sisi Lain Kekejaman Amerika di Vietnam

| | | 2 komentar
Pembantaian Mỹ Lai adalah pembantaian yang dilakukan oleh tentara AS terhadap ratusan warga sipil Vietnam yang tidak bersenjata, dan kebanyakan perempuan dan anak-anak, pada 16 Maret 1968, pada saat Perang Vietnam. Pembantaian ini menjadi lambang kejahatan perang Amerika di Vietnam, dan segera membangkitkan kemarahan di seluruh dunia serta mengurangi dukungan masyarakat di dalam negeri terhadap perang itu sendiri. Peristiwa ini kadangkala juga dikenal dengan nama Pembantaian Son My atau Pembantaian Song My.

Latar belakang

Pada saat Perang Vietnam, Provinsi Quang Ngai di Vietnam Selatan dicurigai menjadi tempat perlindungan kaum gerilyawan Angkatan Bersenjata Pembebasan Rakyat dan kader-kader lainnya dari Front Nasional untuk Pembebasan Vietnam (FNPV), yang juga disebut "Viet Cong" atau "VC" oleh pasukan-pasukan AS dan simpatisan mereka. Tempat ini secara tidak resmi disebut Pinkville (karena warna merah jambu yang dicetak pada peta) oleh militer AS, dan provinsi ini sering dibom dan ditembaki. Pada 1968 hampir semua rumah di seluruh provinsi ini telah hancur atau rusak.

Militer menganggap penting bahwa para tenaga lapangan FNPV dimusnahkan. Karena itu, mereka tidak mengukur sukses dari berapa banyak wilayah atau lokasi strategis yang direbut (misalnya), melainkan berdasarkan "jumlah mayat" mereka - jumlah keseluruhan mereka yang dicurigai sebagai tenaga lapangan FNPV yang terbunuh.

Tentara dianjurkan oleh atasan mereka untuk melebih-lebihkan perhitungan mereka untuk memberikan kesan keberhasilan militer. Karena tekanan itu, dan karena kenyataannya seringkali para tenaga lapangan FNPV sulit sekali dibedakan dari rakyat biasa, seringkali ada kesenjangan yang sangat luas antara jumlah mayat yang dilaporkan dalam suatu misi tertentu dengan jumlah senjata musuh yang direbut.

Menurut Doug Linder, profesor hukum di Universitas Missouri-Kansas City, para G.I. menyebarkan lelucon bahwa "apapun yang mati dan bukan putih adalah VC [Viet Cong]" dengan tujuan menghitung mayat semata. Tidak diragukan bahwa banyak warga sipil yang terbunuh di provinsi itu, sehingga semakin membakar sentimen anti-Amerika yang sudah ada di wilayah tersebut.

Para pemberontak kadang-kadang ditampung dan dilindungi oleh warga sipil di daearh itu. Namun, tentara-tentara Amerika merasa frustrasi karena keterlibatan rakyat setempat. Ditambah dengan ketidakmampuan mereka untuk mengejar musuh yang selalu lolos dan meluasnya rasa takut akan disergap, kemarahan ini semakin menambah kemungkinan mereka melakukan balas dendam yang kejam terhadap warga sipil.

Pembantaian

Charlie Company (Kompi C), Brigade ke-11, Divisi Americal tiba di Vietnam pada Desember 1967. Bulan pertama mereka di Vietnam berlalu tanpa kontak langsung dengan musuh.

Pada Serangan Tet, Januari 1968, serangan-serangan dilakukan di Quang Ngai oleh Batalyon ke-48 dari FNPV. Intelijen militer AS membentuk pandangan bahwa Batalyon ke-48, setelah mengundurkan diri, berlindung di desa Son My. Sejumlah kampung tertentu di desa itu - yang dinamai sebagai My Lai 1, 2, 3 dan 4 (yang dijuluki "Pinkville" ) - dicurigai melindungi anggota Batalyon itu. Suatu serangan besar-besaran terhadap kampung-kampung itu direncanakan oleh pasukan-pasukan AS.

Pada malam menjelang serangan itu, Charlie Company dinasihati oleh komando militer AS bahwa warga yang benar-benar sipil di My Lai akan meninggalkan rumah mereka untuk pergi ke pasar pada pk. 7 pagi hari berikutnya. Mereka diberitahukan bahwa mereka dapat menyimpulkan bahwa semua orang yang tinggal di rumah pastilah Viet Cong atau simpatisan aktif Viet Cong. Mereka diperintahkan menghancurkan desa itu. Pada saat briefing (taklimat), Kapten Ernest Medina ditanyai apakah perintah itu termasuk membunuh kaum perempuan dan anak-anak; mereka yang hadir dalam briefing itu belakangan memberikan jawaban yang berbeda-beda tentang tanggapan Medina.

Pasukan-pasukan AS tidak menemukan pemberontak di desa itu pada pagi hari 16 Maret 1968. Tentara-tentara itu, satu pleton yang dipimpin oleh Letnan William Calley, membunuh ratusan warga sipil – terutama kaum lelaki tua, perempuan, anak-anak, dan bayi. Sebagian disiksa atau diperkosa. Lusinan digiring ke sebuah lubang dan ditembak mati dengan senjata otomatis.

Pada satu kesempatan, Calley mengungkapkan maksudnya untuk melemparkan sejumlah granat ke sebuah liang yang penuh dengan warga desa. [1]
Jumlah yang pasti dari orang-orang yang terbunuh berbeda-beda dari sumber yang satu ke sumber lainnya; yang paling sering disebut adalah 347 dan 504 korban. Sebuah peringatan di tempat pembantaian itu mencantumkan 504 nama, dengan usia yang merentang dari 82 tahun yang paling tua hingga 1 tahun yang paling muda. Menurut laporan seorang letnan Angkatan Darat Vietnam Selatan kepada para atasannya, ini adalah suatu insiden pertumpahan darah yang "mengerikan" oleh suatu pasukan bersenjata yang berusaha melampiaskan kemarahannya.

Seorang awak helikopter Angkatan Darat AS menyelamatkan sejumlah warga sipil dengan cara mendarat di antara pasukan-pasukan Amerika dan sisa-sisa orang Vietnam yang bersembunyi di lubang perlindungan. Penerbang berusia 24 tahun, Perwira yang diberi kuasa Hugh Thompson, Jr., mengkonfrontir para pemimpin pasukan itu dan mengatakan kepada mereka bahwa helikopternya yang dilengkapi persenjataan akan menembaki mereka bila mereka melanjutkan serangan atas warga sipil.

Dengan dukungan dua anggota lainnya dari awak helikopter itu — Spesialis Lawrence Colburn dan Spesialis Glenn Andreotta — Thompson mengarahkan evakuasi desa itu. Para awak itu dipuji karena berhasil menyelamatkan sekurang-kurangnya 11 jiwa, namun lama sesudah itu mereka dikecam sebagai pengkhianat. Pada 8 April 1968, Glenn Andreotta dan Charles Dutton, para awak di pesawat pengintai OH-13 (62-03813) "Warlord", terbunuh ketika pesawat mereka ditembak jatuh dan terbakar. Baru 30 tahun kemudian, setelah sebuah laporan televisi mengenai kejadian itu, ketiga perwira ini dianugerahi Medali Prajurit, penghargaan tertinggi angkatan darat untuk keberanian tanpa melibatkan kontak langsung dengan musuh.

Pada musim semi 1972, kamp (di My Lai 2) tempat mereka yang bertahan pada pembantaian My Lai itu dipindahkan, dihancurkan oleh pengeboman udara dan artileri ARVN (Vietnam Selatan). Penghancuran itu dipersalahkan pada teror Viet Cong. Namun, kebenarannya diungkapkan oleh para relawan Quaker di tempat itu, melalui kesaksian oleh Martin Teitel pada kesempatan "hearing" di hadapan Sub-komite untuk Menginvestigasi Masalah-masalah yang Terkait dengan Pengungsi dan Pelarian pada Mei 1972. Bulan Juni tahun yang sama laporan Teitel tentang kejadian itu muncul dalam koran New York Times.

Upaya untuk menutup-nutupi

Penelitian-penelitian awal mengenai insiden My Lai ini dilakukan oleh Komandan Brigadi Infantri Ringan ke-11, Kolonel Oran Henderson, berdasarkan perintah dari Perwira Asisten Komandan Americal, Brigadir Jenderal Young.

Hendersen mewawancarai sejumlah perwira yang terlibat dalam insiden ini, kemudian mengeluarkan sebuah laporan tertulis pada akhir April, yang isinya menyatakan bahwa sekitar 20 warga sipil secara tidak sengaja terbunuh pada operasi militer di My Lai. Pada saat ini tentara masih menggambarkan perisitwa ini sebagai kemenangan militer yang mengakibatkan kematian 128 orang pada pihak lawan.

Enam bulan kemudian, seorang perwira muda dari Infantri Ringan ke-11 (Brigade Jagal) yang bernama Tom Glen menulis surat yang menuduh Divisi Americal (dan seluruh satuan lainnya dari militer AS, bukan hanya pribadi-pribadi) telah melakukan kebrutalan rutin terhadap warga sipil Vietnam. Surat itu sangat rinci isinya, tuduhannya mengerikan, dan isinya menggemakan keluhan-keluhan yang diterima dari tentara-tentara lain.

Colin Powell, yang saat itu seorang Mayor muda di Angkatan Darat AS, diperintahkan meneliti surat itu, yang tidak secara spesifik mengacu kepada My Lai (Glen belum mengetahui kejadian-kejadian di sana). Powell menulis: "Sebagai bantahan langsung terhadap penggambaran ini adalah kenyatan bahwa hubungan antara tentara-tentara Amerika dan rakyat Vietnam sangat baik." Belakangan, bantahan Powell disebut sebagai upaya "memutihkan" berita tentang My Lai, dan pertanyaan-pertanyaan tetap disembunyikan dari publik.

Pada 4 Mei 2004, Powell, yang saat itu merupakan Menteri Luar Negeri AS, berkata kepada Larry King, "Maksud saya, saya berada dalam kesatuan yang bertanggung jawab atas My Lai. Saya tiba di sana setelah My Lai terjadi. Jadi, dalam peperangan, hal-hal yang mengerikan seperti ini sesekali terjadi, namun semuanya itu harus disesali."
Bangkai di My Lai itu mungkin akan lenyap dalam sejarah apabila bukan karena seorang perwira lainnya, Ron Ridenhour, yang, secara bebas dari Glen, mengirimkan surat kepada Presiden Nixon, Pentagon, Departemen Luar Negeri, Kepala Angkatan Bersenjata, dan sejumlah anggota Kongres.

Salinan-salinan surat ini dikirim pada Maret 1969, tepat setahun setelah kejadian itu. Kebanyakan penerima surat Ridenhour mengabaikannya, kecuali anggota Dewan Perwakilan Morris Udall. Ridenhour mengetahui tentang kejadian-kejadian di My Lai lewat orang lain, melalui pembicaraan dengan anggota-anggota Charlie Company, sementara ia masih menjadi tentara. Akhirnya, Calley dituduh melakukan sejumlah pembunuhan terencana pada September 1969, dan 25 perwira lainnya serta relawan belakangan didakwa dengan kejahatan-kejahatan terkait. Baru dua bulan kemudian publik Amerika mengetahui tentang pembantaian dan peradilan itu.

Wartawan investigatif independen Seymour Hersh, setlah percakapan menadlam dengan Ridenhour, membuka cerita My Lai pada 12 November 1969, dan pada 20 November majalah Time, Life dan Newsweek semuanya meliput kisahnya, dan CBS menyiarkan di televisi wawancara dengan Paul Meadlo.

The Plain Dealer (Cleveland) menerbitkan foto-foto yang sangat jelas tentang penduduk desa yang mati terbunuh di My Lai. Sebagaimana terbukti dari komentar-komentar yang dibuat pada percakapan telepon 1969 antara Penasihat Keamanan Nasional AS Henry Kissinger dan Menteri Pertahanan Melvin Laird, yang baru-baru ini diungkapkan oleh Arsip Keamanan Nasional, foto-foto tentang kejahatan perang itu terlalu mengejutkan para perwira senior hingga mereka tidak bisa dengan efektif menutup-nutupinya. Menteri Pertahanan Laird terdengar mengatakan, "Ada terlalu banyak mayat anak-anak yang berserakan di sana; foto-foto ini memang otentik."

Pengadilan militer

Pada 17 Maret 1970, Angkatan Darat A.S. mendakwa 14 perwiranya telah menyembunyikan informasi yang berkaitan dengan insiden ini. Kebanyakan dari dakwaan ini kemudian dibatalkan.

Letnan A.D. William Calley dinyatakan bersalah pada 1971 telah melakukan pembunuhan terencana dengan memerintahkan penembakan dan mulanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Namun dua hari kemudian, Presiden Richard Nixon memerintahkan ia dibebaskan dari penjara. Calley menjalani tahanan rumah selama 3½ tahun di markasnya di Fort Benning, Georgia, dan kemudian diperintahkan bebas oleh seorang hakim federal. Calley mengklaim bahwa ia cuma mengikuti perintah dari kaptennya, Ernest Medina; Medina menyangkal bahwa ia telah memberikan perintah itu, dan dibebaskan dalam peradilan yang terpisah.

Kebanyakan dari para perwira yang terlibat dalam insiden My Lai ini tidak mendaftar lagi di angkatan bersenjata. Dari ke-26 orang yang mula-mula dikenai dakwaan, Letnan Calley adalah satu-satunya yang dinyatakan terbukti bersalah.

Sesudah pembantaian

Berita yang meledak mengenai pembantaian ini membangkitkan kemarahan gerakan perdamaian Amerika, yang menuntut penarikan mundur pasukan-pasukan AS dari Vietnam. Hal ini juga menyebabkan lebih banyak calon wajib militer yang mendaftarkan diri sebagai penentang berdasarkan nurani. Mereka yang telah selamanya menentang perang merasa menang; dan mereka yang berada di pinggiran gerakan menjadi lebih vokal.

Namun pergeseran yang lebih besar terjadi pada sikap masyarakat umum terhadap perang Vietnam. Orang yang sebelumnya tidak tertarik akan perdebatan perang/damai mulai menganalisis masalahnya dengan lebih cermat. Kisah-kisah mengerikan tentang prajurit-prajurit yang lain mulai ditanggapi lebih sungguh-sungguh, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya muncul ke permukaan.

Sebagian dari kemarahan publik kemudian diarahkan kepada para prajurit itu sendiri. Citra veteran Vietnam yang bermasalah semakin meningkatkan kesulitan para prajurit yang bergumul dengan gangguan stres pasca-trauma, penyalahgunaan obat-obatan dan ketiadaan tempat tinggal.

Sebagian pengamat militer menyimplkan bahwa My Lai memperlihatkan kebutuhan akan relawan dalam jumlah yang lebih banyak dan dengan kualitas yang lebih baik untuk memberikan kepemimpinan yang lebih kuat di antara anggota pasukan. Sementara pertempuran Vietnam berlarut-larut, jumlah tentara karier yang terdidik baik dan berpengalaman di garis depan menurun dengan drastis sementara bertambahnya korban dan rotasi pasukan mengakibatkan pukulan hebat.

Para pengamat ini mengklaim bahwa tidak adanya orang-orang muda yang cerdas yang tidak ikut serta dalam wajib militer karena mereka menjadi mahasiswa atau melayani di dalam negeri, menyebabkan sangat berkurangnya jumlah perwira baru yang baik. Banyak perwira baru yang usianya bahkan belum lagi 20 tahun, seringkali kurang cerdas dan tidak bertanggung jawab.

Mereka menunjuk kepada Calley, seorang pemuda pengangguran dan putus sekolah di perguruan tinggi, sebagai contoh tentang seseorang yang masih mentah dan tidak berpengalaman, yang dipaksa segera menjalani latihan perwira.

Yang terlibat

Pleton Satu

William Calley - Letnan yang memimpin Kompi C, satu-satunya orang yang terbukti bersalah
David Mitchell - Sersan
Ronald L. Haeberle - Juru foto kompi
Charles Sledge - Operator Radio - memberi kesaksian bahwa ia melihat Calley dengan sengaja membunuh seorang anak kecil
Paul Meadlo - Prajurit Satu - memberi kesaksian bahwa ia takut ditembak bila ia tidak ikut serta
Dennis Conti - Prajurit Satu - mengaku mulanya ia tersesat, dan harus mencari kompinya
James Dursi - Prajurit Satu
Allen Boyce - Prajurit Satu
Ronald Grzesik - Prajurit Satu
Robert Maples - Prajurit Satu, mengaku menolak ikut serta
Varnado Simpson - Prajurit Satu, bunuh diri karena rasa berasalah dalam tragedi My Lai
Harry Stanley - mengaku menolak ikut serta
Gary David Roschevitz - tidak diketahui nasibnya
Elmer Haywood - tidak diketahui nasibnya
William Lloyd - tidak diketahui nasibnya
Lenny Lagunuy - tidak diketahui nasibnya
Sidney Kye - tidak diketahui nasibnya
Robert Bergthold - tidak diketahui nasibnya
Robert Mauro - tidak diketahui nasibnya
Robert Lee - tidak diketahui nasibnya
Isaiah Cowan - tidak diketahui nasibnya
Bruce Cox - tidak diketahui nasibnya
Harry Stanley - tidak diketahui nasibnya
Charles Hall - tidak diketahui nasibnya
Roy Wood - tidak diketahui nasibnya
Herbert Carter - tidak diketahui nasibnya
David Mitchell - tidak diketahui nasibnya
Gregory Olsen - tidak diketahui nasibnya
Daniel Simone - tidak diketahui nasibnya

Intervensi

Hugh Thompson, Jr. - Perwira yang diberi kuasa
Lawrence Colburn - Juru tembak di helikopter
Glenn Andreotta - Kepala awak helikopter
Dan Millians - Penerbang evakuasi medis
Brian Livingstone - Penerbang evakuasi medis
Reginald Forsythe - Juru foto tempur

sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:My_Lai_massacre.jpg

Orang Belanda Pelopor Penjajahan Indonesia

| | | 0 komentar

CORNELIS de Houtman (lahir di Gouda, Belanda, 2 April 1565 – Tewas di Aceh, 1599), adalah seorang penjelajah Belanda yang menemukan jalur pelayaran dari Eropa ke Nusantara dan berhasil memulai perdagangan rempah-rempah bagi Belanda. Saat kedatangan de Houtman, Kerajaan Portugis telah lebih dahulu memonopoli jalur-jalur perdagangan di Nusantara. Meski ekspedisi de Houtman banyak memakan korban jiwa di pihaknya dan bisa dikatakan gagal, namun ekspedisi de Houtman yang pertama ini merupakan kemenangan simbolis bagi pihak Belanda karena sejak saat itu kapal-kapal lainnya mulai berlayar untuk berdagang ke Timur.

Awal perjalanan

Pada tahun 1592 Cornelis de Houtman dikirim oleh para saudagar Amsterdam ke Lisboa/Lisbon, Portugal untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai keberadaan "Kepulauan Rempah-Rempah". Pada saat de Houtman kembali ke Amsterdam, penjelajah Belanda lainnya, Jan Huygen van Linschoten juga kembali dari India. Setelah mendapatkan informasi, para saudagar tersebut menyimpulkan bahwa Banten merupakan tempat yang paling tepat untuk membeli rempah-rempah. Pada 1594, mereka mendirikan perseroan Compagnie van Verre (yang berarti "Perusahaan jarak jauh"), dan pada 2 April 1595 berangkatlah ekspedisi perseroan ini di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Tercatat ada empat buah kapal yang ikut dalam ekspedisi mencari “Kepulauan Rempah-rempah” ini yaitu: Amsterdam, Hollandia, Mauritius dan Duyfken.

Ekspedisi de Houtman sudah direcoki banyak masalah sejak awal. Penyakit sariawan merebak hanya beberapa minggu setelah pelayaran dimulai akibat kurangnya makanan. Pertengkaran di antara para kapten kapal dan para pedagang menyebabkan beberapa orang terbunuh atau dipenjara di atas kapal. Di Madagaskar, di mana sebuah perhentian sesaat direncanakan, masalah lebih lanjut menyebabkan kematian lagi, dan kapal-kapalnya bertahan di sana selama enam bulan. (Teluk di Madagaskar tempat mereka berhenti kini dikenal sebagai "Kuburan Belanda").

Tiba di Tanah Jawa

Pada 27 Juni 1596, ekspedisi de Houtman tiba di Banten. Hanya 249 orang yang tersisa dari pelayaran awal. Penerimaan penduduk awalnya bersahabat, tapi setelah beberapa perilaku kasar yang ditunjukkan awak kapal Belanda, Sultan Banten, bersama dengan orang-orang Portugis yang telah datang lebih dulu di Banten, mengusir rombongan “Wong Londo” ini.

Ekspedisi de Houtman berlanjut ke utara pantai Jawa. Namun kali ini, kapalnya takluk ke pembajak. Saat tiba di Madura perilaku buruk rombongan ini berujung ke salah pengertian dan kekerasan: seorang pangeran di Madura terbunuh sehingga beberapa awak kapal Belanda ditangkap dan ditahan sehingga de Houtman membayar denda untuk melepaskannya. Kapal-kapal tersebut lalu berlayar ke Bali, dan bertemu dengan raja Bali. Mereka akhirnya berhasil memperoleh beberapa pot merica pada 26 Februari 1597.

Saat dalam perjalanan pulang ke Belanda, mereka singgah di Kepulauan St. Helena, dekat Angola untuk mengisi persediaan air dan bahan-bahan lainnya. Kedatangan mereka ini dihadang oleh kapal-kapal Portugis yang merupakan pesaing mereka.

Akhirnya pada akhir 1597, tiga dari empat kapal ekspedisi ini kembali dengan selamat ke Belanda. Dari 249 awak, hanya 87 yang berhasil kembali.

Akibat dari ekspedisi de Houtman

Meski perjalanan ini bisa dibilang gagal, namun juga dapat dianggap sebagai kemenangan bagi Belanda. Pihak Belanda sejak saat itu mulai berani berlayar untuk berdagang ke Timur terutama di tanah Nusantara. Beberapa ekspedisi memang mengalami kegagalan, sementara lainnya sukses gilang-gemilang dengan keuntungan berlimpah-limpah dari total modal ekspedisi yang dikeluarkan.

Totalnya dalam rentang waktu antara 1598 dan 1601 ada 15 ekspedisi dikirim ke Nusantara, yang melibatkan 65 kapal. Sebelum Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) didirikan pada 1602, tercatat 12 perusahaan telah melakukan ekspedisi ke Nusantara dalam masa 7 tahun, yakni: Compagnie van Verre (Perusahaan dari Jauh), De Nieuwe Compagnie (Perusahaan Baru), De Oude Compagnie (Perusahaan Lama), De Nieuwe Brabantse Compagnie (Perusahaan Brabant Baru), De Verenigde Compagnie Amsterdam (Perhimpunan Perusahaan Amsterdam), De Magelaanse Compagnie (Perusahaan Magelan), De Rotterdamse Compagnie (Perusahaan Rotterdam), De Compagnie van De Moucheron (Perusahaan De Moucheron), De Delftse Vennootschap (Perseroan Delft), De Veerse Compagnie (Perusahaan De Veer), De Middelburgse Compagnie (Perusahaan Middelburg) dan De Verenigde Zeeuwse Compagnie (Perhimpunan Perusahaan Kota Zeeuw).

Kedatangan kapal-kapal inilah yang menjadi cikal bakal penjajahan Belanda atas tanah Nusantara.

Tewas di Aceh
Tahun 1598, Cornelis de Houtman bersama saudaranya Frederick de Houtman diutus lagi ke tanah Nusantara di mana kali ini ekspedisinya merupakan ekspedisi dalam jumlah besar. Armada-armadanya telah dipersenjatai seperti kapal perang.

Pada 1599, dua buah kapal pimpinan de Houtman yang bernama de Leeuw dan de Leeuwin berlabuh di ibukota Kerajaan Aceh. Pada awalnya kedua kapal ini mendapat sambutan baik dari pihak Aceh karena darinya diharapkan akan dapat dibangun kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan. Dengan kedatangan Belanda tersebut berarti Aceh akan dapat menjual hasil-hasil bumi, khususnya lada kepada Belanda.

Namun dalam perkembangannya, akibat adanya hasutan dari pihak Portugis yang telah lebih dahulu berdagang dengan Kerajaan Aceh, Sultan Aceh menjadi tidak senang dengan kehadiran Belanda dan memerintahkan untuk menyerang kapal-kapal mereka. Pemimpin penyerangan adalah Laksamana Keumala Hayati. Dalam penyerangan ini, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya tewas sementara Frederick de Houtman ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Frederick de Houtman mendekam dalam tahanan Kerajaan Aceh selama 2 tahun. Selama di penjara, ia menulis buku berupa kamus Melayu-Belanda yang merupakan kamus Melayu-Belanda pertama dan tertua di Nusantara.


sumber http://sepaku88.blogspot.com/2011/03/inilah-orang-belanda-pelopor-penjajahan.html

PBB, Alat Legalisasi Kejahatan Amerika dan Sekutunya di Dunia Ketiga

| | | 0 komentar
Lembaga Keamanan Dunia yang satu ini telah menjadi payung hukum bentuk agresi/intervensi/ Invasi kejahatan Amerika dan sekutunya terhadap negara negara yang ditargetkan menjadi kawasan jajahan dan jarahan. PBB (persyarikatan Bangsa Bangsa) lebih menyerupai lembaga legalisasi kejahatan Amerika dan sekutunya untuk meng-obrak abrik negara negara orang lain, sebenarnya model baru dari bentuk penjajahan Masa lampau, yang di innovasi dengan menggunakan embel embel HAM. Padahal Amerika dan sekutunya adalah penjahat perang yang ambisi membunuh, menjarah harta negara negara tertentu yang menjadi targetnya.



Di Veitnam misalnya: Kejahatan Amerika dalam serangan ke Vietnam tidak terbatas kepada penggunaan senjata kimia saja. Sepanjang sepuluh tahun perang Vietnam, yaitu sejak awal dekade 1960-an hingga tahun 1975, kira-kira dua juta lima ratus ton bom telah diledakkan di Vietnam dan ratusan ribu orang tewas karenanya. Pasukan AS menjatuhkan bom begitu saja tanpa merasa perlu memberi penjelasan mengapa mereka harus melakukan agresi ke tanah Vietnam dan mengapa rakyat bangsa itu harus dibunuh. Atas nama pelanggaran ham dak aksi kemanusian, amerika menjadi negara paling buas membunuh dan membantai di negara tersebut, , tetapi apakah badan Dunia yang bernama PBB bisa menjinakkan boom waktu yang bernama Amerika. Apa yang dapat di banggakan dari Amerika, kecuali kalau ada negara yang suka menjilat pantas Amerika.

Selain dari itu, tentara Amerika dengan menggunakan bom-bom pembakar yang disebut bom napalem, membakar jutaan hektar hutan Vietnam sehingga memberikan pukulan besar terhadap keselamatan lingkungan hidup regional dan rakyatnya, arogansi amerika jelas merupakan Indikasi sebagai negara kanibal yang berpakaian HAM.

Perang Korea misalnya, Orang-orang Amerika pada perang Korea yang terjadi pada tahun 1950 hingga 1953, juga menggunakan bom napalem ini, demikian pula dalam Perang Dunia Kedua. Kejahatan Amerika adalah kejahatan terbesar di dunia, bukan nazi. Tetepi karena Negara paman Sam ini pandai yang berkelit dan pencitraan setelah membantai dan membunuh masyarakat, ternyata bisa menyulap dunia masih menyukai America. Padahal Amerika hanya berlindung di balik cadar kejahataannya yang compang camping dengan percikan darah dan dosa jutaan umat manusia.

Pada jam 8:15 pagi tanggal 6 Agustus tahun 1945, jarum waktu di Hiroshima bagaikan terhenti dengan dijatuhkannya sebuah bom berdaya ledak dahsyat ke kota itu. Ketika itu, warga Hiroshima baru saja bangun dari tidur dan aktivitas harian mereka baru saja dimulai. Mereka sebenarnya sudah mengetahui bahwa bom-bom akan dijatuhkan di kota mereka. Orang-orang Amerika dengan pesawat besar mereka telah menjatuhkan bom di 66 kota besar Jepang setiap hari. Pengeboman di Tokyo saja telah menewaskan seratus ribu orang sipil.


Beberapa hari sebelum bom atom dijatuhkan di Hiroshima, Laksamana Arthur Ranford berkata, “Jepang akan segera menjadi sebuah negara tanpa kota, dengan rakyat tidak berumah.” Mungkin rakyat Jepang mengira bahwa maksud Jenderal Amerika ini ialah pengeboman bertubi-tubi dan setiap hari sebagaimana yang selama ini dilakukan Amerika. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Amerika akan menjatuhkan bom yang daya ledaknya mencapai 15 ribu ton TNT di atas sebuah kota yang berpenduduk 350 ribu orang. Dalam sekejap, pengeboman ini menewaskan kira-kira 100 ribu orang. Jumlah korban tewas hingga akhir tahun 1945 meningkat menjadi 140 ribu orang.

Pembantaian My Lai

Pembantaian Mỹ Lai adalah pembantaian yang dilakukan oleh tentara AS terhadap ratusan warga sipil Vietnam yang tidak bersenjata, dan kebanyakan perempuan dan anak-anak, pada 16 Maret 1968, pada saat Perang Vietnam. Pembantaian ini menjadi lambang kejahatan perang Amerika di Vietnam, dan segera membangkitkan kemarahan di seluruh dunia serta mengurangi dukungan masyarakat di dalam negeri terhadap perang itu sendiri. Peristiwa ini kadangkala juga dikenal dengan nama Pembantaian Son My atau Pembantaian Song My….Kalau kemudian Amerika berlagu dengan mengedepankan pembelaan HAM itu hanya sebagai senjata mengelak dari berbagai tuduhan, dan bukan tidak mungkin Amerika dan sektunya, suatu saat akan menjadi penjajah transparan, tanpa mengindahkan lagi peringatan PBB, karena PBB sendiri bagi Amerika merupakan legalisasi undang undan dan resolusi untuk membantai masyarakat Dunia, bukan mengamankan dunia.

Pada waktu perang Irak Para wanita wanita Iraq ditempatkan di dalam penjara berukuran 2,5 m x 1,5 meter dan selama “dalam proses penahanan,” setiap malam mereka diperkosa secara berkelompok sampai pingsan. Banyak dari wanita wanita ini yang belum dan sudah menikah dan memiliki suami dan anak, sehingga hanya beberapa orang saja yang berani membuka mulut dan mengangkat kasus mereka ke pengadilan. Kini, sekelompok pihak pengacara wanita di Irak mengajukan tuntutan kejahatan perang terhadap kaum wanita wanita wanita Iraq dan anak-anak , jelas ini merupakan kejahatan terlampir Amerika dalam menghalalakan sebuah tindakan berupa pembantaian juga menghalakan pemerkosaan oleh Amerika yang menjadi kiblat pemikiran para pendukung pluralis.

Di Afghnistan juga, tentara tentara Amerika terlibat pembantian dengan berbagai alasan yang di buat buat sebagai pembenaran sepihak bahwa Amerika tidak salah, adalah sebuah rekayasa pembelaan, menghindari segala tuduhan yang dilakukan oleh Amerika. Yang jelas Ageresi Amerika di banyak negara, sangat tak dapat dibenarkan, apapun Alasannya, termasuk hujan Tomahawk yang bertubi tubi menghujani Tripoli Libya, sehingga banyak menelan Korban, jelas merupakan Aksi Amerika dan sekutunya untuk merampas kedaulatan Negara Asing, termasuk bentuk penjajahan baru diabad Moderen.

Masihkah ada yang berpikir kalau Amerika Dan Sekutunya itu baik hati….. ?

sunberhttp://sosbud.kompasiana.com/2011/03/30/pbb-alat-legalisasi-kejahatan-amerika-dan-sekutunya-di-dunia-ketiga/

Vietnam: Tragedi kemanusiaan itu

| | | 0 komentar

Kita sering terunduk pilu, tercekam dalam kebisuan menyaksikan korban manusia yang terjadi karena kemurkaan alam. Tapi dilain pihak, kita, yang katanya umat paling beradab di alam semesta ini begitu tega menghabisi nyawa lawannya. Hanya demi sebuah perasaan ‘benar‘ yang atas lawannya yang ‘salah‘. Demi yang namanya ‘kehormatan bangsa’, perang dan pembunuhan manusia atas manusia lain ‘dihalal’kan. Lalu, “kehormatan bangsa” yang manakah yang dipertaruhkan Amerika Serikat ketika menyulut PerangVietnam?

Perang Vietnam atau Vietnam War (dalam lafal Vietnam disebut Kháng chiến chống Mỹ -perang melawan agresi Amerika) adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang lazim disebut untuk perang antara tentara Vietnam Selatan (kita sebut saja: Selatan) yang didukung militer Amerika Serikat (kita sebut saja:AS) dan dipihak lain adalah tentara Vietnam Utara (kita sebut saja: Utara) yang didukung gerilyawan komunis Vietnam Selatan (kita sebut saja, sesuai yang biasa disebut AS sebagai “Vietcong“)

Sebuah perang besar dan terpanjang dalam sejarah peradaban modern abad 20, seusai Perang Dunia II, yang memakan korban jutaan nyawa manusia. Perang ini dimulai saat AS memulai keterlibatannya,1957 sampai jatuhnya ibukota Selatan, Saigon, 1975. (Sebenarnya sulit untuk menentukan secara tepat kapan mulainya keterlibatan AS di Vietnam, karena sejak Perancis masih berkuasa, AS sudah memberikan bantuan berupa “military advisory“. Tapi yang biasanya dipakai sebagai patokan adalah saat Eisenhower menyetujui akan mendukung penuh rezim Selatan, 1957)

Adalah tidak mungkin menuliskan secara rinci, perang besar yang melibatkan masa kepemimpinan 5 orang Presiden AS (Eisenhower, Kennedy, Johnson, Nixon dan Ford) dalam 1-2 halaman seperti ini. Tulisan ini hanya berniat untuk sekadar berbagi, sekadar mengingatkan bahwa tragedi besar umat manusia seperti ini pernah terjadi.

Selama Perang Dunia II, Vietnam dikuasai Jepang yang menyelenggarakan pemerintahan bersama Perancis yang pro Jerman-Italia (Perancis-Vichy). Dalam masa pendudukan itu, Ho Chi Minh mendirikan Partai Nasionalis Vietnam (Việt Minh), 1941 yang berafiliasi komunis. Setelah Jepang menyerah pada Sekutu dan Pemerintahan Perancis dipulihkan (Perancis - de Gaulle), Ho Chi Minh mendeklarasikan kemerdekaan Vietnam, 2 September 1945.

Tapi ternyata Perancis tidak mau melepaskan daerah jajahannya begitu saja dan perang segera berkobar, yang berpuncak pada kekalahan Perancis di Dien Bien Phu, Mei 1954.

Perancis yang kehabisan “bensin” memutuskan segera meninggalkan Vietnam. Perjanjian damai ditandatangani di Jenewa (Geneva, Geneve)-Swiss 20 Juli 1954. Sambil mengakui kemerdekaan Laos dan Kamboja, Perancis juga meninggalkan bom waktu dengan membelah Vietnam menjadi 2, Utara diserahkan pada Việt Minh di bawah Ho Chi Minh yang Komunis dan Selatan dibawah tanggungjawab Kaisar Bảo Đại, penguasa Vietnam Lama. Sang Kaisar yang hidup di pengasingan menunjuk Ngô Đình Diệm sebagai Perdana Menteri, pelaksana kekuasaan sehari-hari di Selatan (Belakangan, September 1954, Diem samasekali menggusur Bao Dai dan mengangkat diri jadi Presiden).

Utara dan Selatan ini, seperti yang diramalkan, ternyata memang tidak bisa rukun.

Januari 1957 Uni Sovyet mengajukan usulan ke PBB untuk menerima opsi terbaginya Vietnam ini dan menerima VietnamUtara sebagai anggauta PBB. Tapi usulan ini diveto oleh AS (yang menolak Vetnam yang komunis).

AS yang sukses menahan komunis usai Perang Korea 1953 dan mabuk kepayang pada Teori Dominoyang di’temukan’ oleh Harry Truman segera ter-obsesi pada kondisi Vietnam.

Dalam kunjungannya ke AS, Mei 1957, Diem sebagai Presiden Selatan berhasil “menyeret” AS untuk mengeluarkan pernyataan bersama bahwa AS akan mendukung Selatan dalam menegakkan kebebasannya (dari komunis), apapun yang terjadi.

Tapi, meskipun sudah memutuskan untuk membantu, sesungguhnya AS belum terlalu jauh terlibat. Bantuan yang diberikan hanya bersifat penasehat dan pelatihan militer. Meskipun sudah ada korban jatuh, AS masih menahan diri.

Keterlibatan secara lebih langsung terjadi usai kunjungan Wapres Lyndon B. Johnson ke Saigon, Mei 1961 Dalam laporannya Johnson meyakinkan bahwa Selatan memerlukan bantuan lebih besar untuk menahan laju Komunis “Diem is the only boy we got out there“.

AS di bawah John F. Kennedy segera tanggap dengan meningkatkan bantuan militer, dari jumlah 400 orang dan hanya sebagai penasehat militer (1957) menjadi 16.000 orang tentara taktis membantu operasi pasukan Selatan (1961).

Dengan alasan Utara menembaki kapal pesiar mereka di perairan internasional 2 - 4 Agustus 1964 AS mengumumkan kepada dunia secara sepihak bahwa AS akan segera mengamankan perairan Teluk Tonkin dengan mengirimkan bantuan kepada Selatan. Di bawah dokumen berjudul “Gulf of Tonkin Resolution“, Konggres AS segera menyetujui dan memberi kuasa kepada Presiden untuk mengadakan operasi militer di wilayah Asia Tenggara tanpa menyatakan perang terlebih dahulu. Belakangan (1971) baru ketahuan kalau yang namanya ‘kapal pesiar‘ itu adalah kapal perusak AS USS Maddox dan USS C.Turner Joy yang sedang menjalankan tugas intelejen di perairan Utara. Press release dan persetujuan Konggres ini segera menjadi alasan AS untuk mengerahkan pesawat tempurnya dan mulai melakukan pengeboman ke wilayah Utara. Populasi tentara AS di Selatan segera meningkat tajam 500.000 orang! Tindakan AS ini dilakukan sambil teriak-teriak kepada sekutunya di SEATO (South East Asia Treaty Organization, Thailand, Korea Selatan, Filipina), dan ANZUS (Australia, New Zealand) untuk mengirim bantuan tentara ke Selatan. Jadi, benar-benarAS mempergunakan ‘baju‘nya sendiri, tanpa keterlibatan dan persetujuan PBB.

Atas tindakan itu, Paman Ho (panggilan pemimpin Utara Ho Chi Minh) memperingatkan AS, seperti yang pernah dilakukannya 2 dekade sebelumnya terhadap Perancis: “Kami adalah tuan rumah yang baik. Kalau AS sebagai tamu kami menginginkan perang selama 20 tahun, kami akan melayaninya selama 20 tahun. Apabila mereka menginginkan perdamaian, kami akan berdamai dan segera mengundang mereka untuk minum teh“.

12989428931129434237

tentara AS dalam operasi sumber:Google

Dengan dukungan militer sebesar itu, kondisi keamanan di Selatan memang menjadi “baik” Kondisi ekonomi yang sepenuhnya ditopang AS berangsur meningkat. Dengan cepat dan kemakmuran menjelang. Penduduk Selatan, AS dan dunia segera memberi apresiasi. Komandan militer AS untuk Vietnam, Jend.William Westmoreland menjadi selebriti dadakan. Majalah TIME mendaulatnya menjadi “1967 Man of theYear“.

Bahkan dalam wawancaranya di National Press Club, November 1967, yang disiarkan ke seluruh dunia, dengan meyakinkan dia berujar: “Kondisi Vietnam sudah membaik dan kami sudah sampai pada satu titik dimana akhir perang sudah dapat dilihat dengan mata

1298942062871105662

sumber: Google

Perayaan Tet adalah perayaan Tahun Baru Vietnam (Tahun Baru dalam sistem penanggalan bulan, mirip 1 Suro di Jawa). Vietcong merespons penyataan Westmoreland di atas dengan serangan serentak dan mendadak di hari raya Tet, akhir Januari 1968 pada 100 kota di Selatan, termasuk di Saigon. Serangan yang paling spektakular dilakukan oleh 19 orang gerilyawan Vietcong yang mampu menguasai Kedutaan Besar Amerika di Saigon selama 6 jam!.

Korbannya sungguh fantastis, 300 orang tentara AS tewas dan terluka, 1.000 orang di pihak Vietcong dan lebih dari 3.000 orang sipil tewas dan terluka. Bangunan dan fasilitas kota hancur lebur, mayat bergelimpangan malang melintang, darah bersimbah di mana-mana. Perlu waktu berbulan-bulan untuk memulihkan kondisi seperti semula.

12989419361532875242
sumber : Google

Serangan tersebut memang gagal. Dan secara teknis Vietcong dan Utara yang menderita kekalahan. Tapi berhasil menunjukkan pada dunia bahwa mereka masih eksis. Dan efek psikologis yang ditimbulkannya kepada AS sungguh besar. Sanggupkah AS terus menerus menahan serangan gerilya kota seperti itu?

Ternyata memang perang tidak dapat diselesaikan dengan cepat. Di front Utara, kondisi benar-benarstag. Serangan udara AS ke sasaran strategis di Utara karena tidak mendapat dukungan yang memadai dari Infanteri, nyaris tidak berguna. Di Selatan, gerilyawan Vietcong mengembangkan gerilya kota dengan sangat effektif. Dengan terowongan “tikus” (yang kini jadi obyek wisata itu) mereka benar-benar menjelma seperti tikus, bisa muncul dan menghilang dalam sekejap. Dikira sang tikus tidak ada, meleng sedikit dan ikan di piring sudah lenyap di gondol. Ketika ketahuan dan dikejar, begitu saja mereka menghilang ditelan bumi, atau membaur diantara penduduk sipil.

1298942163297323706

sumber: Google

Tentara AS sungguh kewalahan membedakan mana yang sipil mana yang gerilyawan Vietcong. Seluruh penduduk desa dibunuh dan kampungnya dibakar hanya untuk mencari gerilyawan Vietcong yang diduga bersembunyi di situ.

AS yang kewalahan terpaksa berpikir ulang untuk melanjutkan perang. Serangan Tet itu membuat AS menyimpulkan sendiri secara ekstrim, bahwa AS tidak mungkin memenangkan perang. Seiring naiknya Richard M. Nixon sebagai Presiden, 1968, AS dibawah desakan masyarakatnya, segera merubah kebijakan politiknya di Vietnam dari semula “bagaimana caranya memenangkan perang” menjadi “bagaimana caranya mundur dari gelanggang tanpa kehilangan muka“. Menyetujui desakan dunia internasional untuk menandatangani Perjanjian Perdamaian Paris, 27 Januari 1973. Perjanjian ini antara lain memuat hal seperti: AS yang akan segera menarik bantuan langsungnya di Selatan secara berangsur, batas teritori Utara dan Selatan dikukuhkan ulang dan pemilihan umum akan segera dilangsungkan untuk menyelesaikan masalah Utara-Selatan ini. Tapi perjanjian ini tidak disetujui Selatan yang menuduh AS meninggalkan sekutunya. Kedua belah pihak kelihatannya tidak benar-benar bermaksud mematuhinya sampai krisis minyak melanda dunia, Oktober 1973.

Embargo minyak Iran atas AS membuat harga minyak melambung tak terkendali, pundi-pundi AS menyusut dengan cepat. Perang Vietnam hanyalah pemborosan anggaran. AS yang secara serius terancam bangkrut, segera mematuhi perjanjian Paris dengan menarik tentaranya keluar dari Vietnam.

Tanpa dukungan dana dan kekuatan militer AS, kejatuhan rezim Selatan dapat dihitung dengan hari. Secara berangsur satu-persatu wilayah Selatan jatuh ke pihak Utara. Dan Utara bersiap untuk memberikan pukulan terakhir ke Selatan dibawah sandi Kampanye 275 yang mengumumkan pernyataan Ho Chi Minh bahwa “pembebasan” seluruh Selatan akan diselesaikan sebelum hujan turun Mei1975. Serangan besar-besaran dan pernyataan itu membuat efek psikologis yang luar biasa.

1298943330491099218

Panik! sumber : Google

Seluruh Selatan dilanda kepanikan, pengungsian besar-besaran terjadi, dan perlawanan Selatan menjadi tidak berarti. Provinsi Darlac jatuh 13 Maret, Quang Tri 19 Maret. Hue 26 Maret. Dan kota kedua terbesar di Selatan, Da Nang menyerah 29 Maret. Tanggal 25 April 1975 presiden Nguyen Van Thieumeletakkan jabatannya, menunjuk penggantinya Tranh Van Huong, dan kabur ke Taiwan. Huong hanya bertahan 3 hari menjadi presiden dan ikut melarikan diri meninggalkan negara yang benar-benar dalam chaos. Seluruh personil AS termasuk Duta Besar Graham Martin selesai di evakuasi keluar, 29 April.

Dan tanggal 30 April 1975 presiden pengganti Duong Van Minh, menandatangani pernyataan menyerah tak bersyarat kepada tentara Utara yang sudah menguasai istana kepresidenan

129894263199264174

semburan napalm sumber: Google

Perang memang berarti bencana dan tragedi kemanusiaan. Korban secara langsung yang terbunuh dalam perang tercatat 300.000 di pihak AS/Selatan, 1.100.000 di pihak Vietcong/Utara dan lebih dari 3 juta penduduk sipil yang tidak tahu apa-apa. Angka akan tetap menjadi angka, tak ada artinya. Tapi bayangkanlah populasi sebuah kota sebesarMedan yang tumpas habis demi mempertahankan sebuahideologi.

Belum terhitung korban tak langsung yang terus berjatuhan sampai sekarang karena ternyata AS melakukan perang kimia dengan menyemprotkan Napalm untuk membakar dan herbisida jenis Dioxin yang mematikan tumbuhan, merontokkan kanopi hutan, merusak padi di sawah guna mengganggu persediaan pangan. Tindakan itu membuat tanah menjadi steril dan mengkontaminasi penduduk sipil dan bahkan tentara AS sendiri

Ah, sudahlah. Tidak tega saya menuliskannya lebih lanjut


sumber http://sejarah.kompasiana.com/2011/03/01/remembering-vietnam-tragedi-kemanusiaan-itu/

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?