SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Dana revolusi

| | | 1 komentar

Suhardiman, mengungkit soal dana revolusi yang dihimpun berdasar perpu no.19 tahun 1960. konon berjumlah ratusan juta dolar tersimpan di luar negeri dan hanya subandrio yang mampu mencairkannya.(nas)


Dana Revolusi? Sesuatu yang boleh jadi tak banyak lagi diingat orang. Menurut Suhardiman, inilah dana yang dihimpunkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 19 tahun 1960. Isinya, antara lain, mewajibkan semua perusahaan negara menyetorkan lima persen dari keuntungannya pada pemerintah -- bagi Dana Revolusi.

Yang disebut perusahaan negara di situ termasuk pula berbagai perusahaan Belanda yang baru dinasionalisasikan -- seperti perkebunan-perkebunan besar. "Bisa dibayangkan," kata Suhardiman, "betapa besar dana itu."

Suhardiman -- brigjen (pur) kelahiran Gawok, Surakarta, 18 Desember 1924 -- ingat benar adanya setoran wajib bagi Dana Revolusi itu. Soalnya, ketika peraturan itu berlaku, ia berkedudukan sebagai Direktur Utama PT Jaya Bhakti perusahaan di lingkungan TNI AD yang bergerak di bidang impor ekspor umum. "Sebagai pimpinan PT Jaya Bhakti, saya yang menyetor lima persen dari, laba perusahaan kepada pemerintah untuk Dana Revolusi itu," kata Suhardiman.

Padahal, kalau dana itu dikumpulkan, pemerintah tengah mengharamkan bantuan asing. Inilah politik dengan slogan Go to Hell with Your Aids. Akibatnya, tak ada bank devisa di dalam negeri. "Dus, semua kekayaan negara yang berupa valuta asing, atau yang dianggap sama dengan valuta asing, disimpan di luar negeri," kata Suhardiman. "Termasuk Dana Revolusi itu."

Menurut Suhardiman, yang mengaku kala itu juga merupakan pembantu utama Menteri Pertama Ir. H. Djuanda, sebagian dana itu disimpan berupa poundsterling, sebagian yang lain berwujud emas lantakan. Yang terang, katanya, yang bertanggung jawab atas Dana Revolusi itu adalah Presiden Soekarno dan Subandrio. Subandrio, memang, sejak 18 Februari 1961, senantiasa menduduki posisi penting, seperti wakil menteri pertama, merangkap menteri luar negeri, serta juga mengkoordinasikan hubungan ekonomi dan perdagangan luar negeri.

Suhardiman yakin bahwa Dana Revolusi yang dikumpulkan selama 1960-1965, belum terpakai. "Sebab, perubahan keadaan begitu cepat. Peristiwa terjadi, det-det-det, dan Bandrio ditahan," katanya. "Dan kini, bayangkanlah, berapa besar jumlahnya, setelah 20 tahun dana itu tersimpan di bank internasional." Jika diandaikan bunga depositonya dipukul rata 5% setahun, tambah Suhardiman, itu berarti dana itu telah berganda seratus persen.

Suhardiman tak tahu persis berapa besar dana itu. Ia juga mengatakan tak tahu di bank internasional mana dana itu ditanamkan. "Ada yang bilang dana itu mencapai 850 juta poundsterling," ujar Suhardiman. Menurut sumber TEMPO, dana itu disimpan berupa lantakan emas, yang pada 1964 bernilai 3 juta dolar AS. Kabarnya, "harta revolusi" itu disimpan di Bank Barclay London, Inggris, ketika harga emas cuma 34 dolar AS per ounce (28,34 gram). Padahal, kini, harga emas berkisar 385 -- 400 dolar AS se-ounce.

Mengapa kini tiba-tiba Suhardiman teringat pada Dana Revolusi itu? "Saya mengeluarkan statemen tentang Dana Revolusi itu dalam kaitan dengan prospek politik dan ekonomi kita tahun 1987," jawabnya. Prospek ekonomi itu masih akan suram, karena harga migas masih turun, sementara ekspor nonmigas belum lancar. "Sektor keuangan negara masih menipis," katanya. "Dana Revolusi itu adalah harta negara yang belum dimanfaatkan. Lumayan untuk membantu APBN."

Dana Revolusi adalah dana yang dihimpunkan untuk kepentingan revolusi yang menurut Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi sendiri -- belum selesai. Menilik tahun peraturan yang mengaturnya, yakni 1961, agaknya pada mulanya dimaksudkan untuk dana pembebasan Irian Barat. Sebab, ketegangan hubungan RI-Belanda dalam hal Irian ini memuncak pada 17 Agustus 1960. Pada waktu inilah, RI memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda. Dan selanjutnya, bertepatan dengan hari ulang tahun dimulainya aksi militer ke-2 Belanda, 19 Desember 1961. Presiden Soekarno mengucapkan Tri Komando Rakyat (Trikora), di Yogya. Dengan Trikora ini, maka mulailah konfrontasi total melawan Belanda.

Operasi militer itu terang membutuhkan biaya, antara lain untuk membeli senjata. Irian Barat akhirnya kembali ke pangkuan RI, 1 Mei 1963. Tapi toh revolusi berlanjut terus. Soekarno kini mulai mecanangkan konfrontasi melawan Malaysia. Bung Karno menganggap Malaysia merupakan proyek neokolonialisme Inggris, "yang membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai." Kita tahu, operasi gerakan bersenjata Ganyang Malaysia ini berlandaskan Dwi Komando Rakyat (Dwikora).

Konon, menurut suatu sumber dalam Februari -- Maret lalu, datang dua pengacara Amerika, menemui Subandrio dan pemerintah. Keduanya menyatakan sanggup menguruskan Dana Revolusi itu untuk dicairkan. "Tapi kedua pengacara AS itu minta jasa terlalu tinggi. Yakni 40% dari uang simpanan itu," kata sumber TEMPO. Dan, konon, Subandrio sendiri sudah menyatakan bersedia membantu menguruskan pencairan Dana Revolusi itu. Tapi, agaknya, persoalan terbentur pada status Subandrio, yang tengah menjalani hukuman seumur hidup. Kabarnya, Subandrio telah menyatakan permintaannya bahwa ia bersedia mengurus Dana Revolusi itu asalkan ia dibebaskan dari hukuman.

Adakah dana itu bercampur", misalnya, dengan kekayaan pribadi Subandrio? Masih banyak, memang, perkara yang belum jelas. Sebab, tak kurang Bung Karno sendiri, misalnya, pernah disebut turut menerima dana-dana revolusi, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid III, untuk SMP, hal itu disebutkan. Bunyinya: "Dalam pada itu Presiden Sukarno sendiri menerima komisi dari perusahaan asing yang melakukan impor ke Indonesia. Pada pelbagai bank di luar negeri tersimpan uang jutaan dolar atas nama Presiden."

Buku itu kemudian menimbulkan heboh setelah Nugroho Notosusanto, sang pengarang, yang kemudian menjadi Menteri P & K, meninggal. Sebab, banyak pihak tak mempercayainya. Dalam kasus Dana Revolusi ini, adakah kontroversi yang sama akan terulang?
sumber : tempointeraktif

Meninjau Kembali Kasus ”Malari” 1974

| | | 1 komentar
Oleh Asvi Warman Adam

Tanggal 12-13 Januari lalu, Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi berkunjung ke Indonesia. Sama sekali tidak ada demonstrasi menyambut kedatangannya. Berbeda sekali dengan yang terjadi 28 tahun silam.

Selasa 15 Januari 1974, paling kurang 11 orang meninggal, 300 luka berat dan ringan, serta 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Sedikitnya 160 kg emas hilang dari sejumlah tokoh perhiasan. Peristiwa itu terjadi ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974).

Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Karena penjagaan aparat keamanan ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara, kecuali beberapa orang yang dapat diamankan petugas. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00 pagi PM Jepang tersebut berangkat dari Istana tidak dengan mobil, melainkan diantarkan oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari gedung Bina Graha ke pangkalan udara.

Peristiwa 15 Januari 1974 yang dikenal dengan nama ”Malari” (bisa berarti ”Lima Belas Januari” atau bisa pula ”Malapetaka 15 Januari”) 1974, dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada orang yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang (yang dibakar adalah mobil dan sepeda motor buatan negeri matahari terbit itu).

Juga ada sejarawan Belanda yang mengulas peran Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI) Hariman Siregar yang cukup menonjol saat itu serta proses pengadilannya kemudian. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap kekuatan tertentu di dekat Presiden Soeharto yang memiliki kekuasaan menentukan, yakni aspri presiden (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain). Ada pula analis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas antara Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo.

Tuntutan mahasiswa minimal berkisar pada tiga pokok persoalan, yaitu pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi terutama mengenai modal asing yang didominasi Jepang, dan pembubaran lembaga yang tidak konstitusional seperti aspri presiden. Waktu itu korupsi sudah mulai memperoleh akses ke istana melalui istri presiden, Tien Soeharto, yang memiliki ide membangun Taman Mini yang merupakan miniatur dari rumah adat dan perangkat budaya nusantara.

Gagasan itu ditentang para mahasiswa dan kalangan intelektual karena meskipun tidak dibiayai melalui APBN pasti akan menimbulkan KKN. Seperti kita ketahui, kemudian biaya pengelolaan anjungan tiap daerah masih dibebankan pada masing-masing provinsi.

Setelah terjadi demonstrasi yang disertai di tempat lain dengan kerusuhan, pembakaran dan penjarahan, maka Jakarta pun menjadi berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkopkamtib dan langsung mengambil alih jabatan tersebut. Aspri presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Sutopo Juwono didubeskan dan diganti Yoga Sugama. Sebagai kelanjutan dari tuntutan mahasiswa diberlakukan beberapa ketentuan hidup sederhana, terutama bagi PNS (pegawai negeri sipil) dan pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam perusahaan swasta. Apabila mengadakan pesta, maksimal dua kali dalam setahun dengan jumlah tamu undangan tak lebih dari 250 pasangan.

Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 telah mencoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan itu menyebabkan ia untuk selanjutnya mengambil sikap yang ekstra hati-hati dan waspada terhadap semua orang dan golongan, serta melakukan sanksi yang tak berampun terhadap orang atau kelompok yang dianggapnya bisa mengusik ketenangannya dalam memerintah. Setelah ”kecolongan” yang hampir berakibat fatal, maka Presiden Soeharto pada masa selanjutnya sangat selektif memilih pembantu dekatnya.

Kemudian kita ketahui, ia melakukan strategi ”ajudanisasi”, seleksi pemimpin setelah menjadi ajudan presiden. Dari pengalaman bertahun-tahun sebagai ajudan, Soeharto mengetahui persis sikap dan kepribadian orang itu dan setelah itu, baru dipilihnya menduduki jabatan penting. Yang jelas, sang ajudan itu pasti akan loyal kepada sang komandannya.

Peristiwa 15 Januari 1974 tidak berdiri sendiri, oleh sebab itu seyogianya ditengok dan dikaji dalam rangkaian sejarah Orde Baru. Kita dapat memandangnya tahun 1974 itu sebagai babak baru hubungan Soeharto dengan para pembantunya.

Pangkopkamtib Soemitro terpental dalam peristiwa Malari itu, tetapi kemudian lawannya, yakni Ali Moertopo dan Soedjono Humardani secara berangsur-angsur juga tersisih. Ali Moertopo tidak pernah sampai menduduki Kepala Bakin yang diidamkannya, tetapi kemudian dijadikan Menteri Penerangan dan selanjutnya Wakil Ketua DPA sebelum akhirnya meninggal.

Malari 1974 merupakan koreksi frontal masyarakat (melalui gerakan mahasiswa dan kalangan kampus) yang nyaris berhasil menumbangkan Soeharto, jika Soemitro tidak ragu-ragu pada saat-saat terakhir. Kegagalan itu menyebabkan Soeharto menata kembali semua sistem kendali pemerintahannya dan membuatnya betul-betul tak tergoyahkan. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental. Jadi dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai ”arus balik” sejarah Orde Baru.

Sebelumnya yang dianggap musuh bersama, barulah PKI dan ormas-ormasnya serta Sukarnoisme. Tetapi setelah Januari 1974, semua golongan yang kritis, baik kiri dan kanan dicurigai (disebut ekstrem kiri dan ekstrem kanan), diawasi dan dijadikan kambing hitam segala kerusuhan.

Represi dijalankan secara sistematis. Mulai dari masalah domestik yang diatur dengan UU Perkawinan (yang berlaku efektif sejak 1 Oktober 1975, kemudian diikuti dengan peraturan yang pada intinya mengarah kepada ”pelarangan poligami” bagi PNS). UU Parpol dan Golkar diundangkan 27 Agustus 1975 dengan tujuan mempersulit PNS jadi anggota parpol dan menggiring mereka masuk Golkar. Setelah itu, kehidupan politik disterilkan dari ”virus demokrasi” dan ”cuci otak” pun dilakukan. Pada Pemilu 1977 sistem kepartaian disederhanakan menjadi hanya 3 partai. Dilakukan Penataran P4 bagi seluruh masyarakat sejak tahun 1978.

Malari sebagai Wacana
Di dalam buku Otobiografi Soeharto (yang terbit tahun 1989) kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung sama sekali. Padahal mengenai Petrus (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang. Dalam Otobiografi Sudharmono dibahas tentang upaya yang dilakukan dalam rangka penertiban pegawai negeri sipil agar tidak melakukan korupsi dengan membatasi kegiatan mereka dalam perusahaan swasta.

Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks dari kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak tahun 1973. Yoga Soegomo berada di New York ketika terjadi kerusuhan

15 Januari 1974. Tetapi lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta untuk menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala Bakin. Dalam waktu dua bulan ia berhasil membuat ”buku kuning” tentang peristiwa tersebut yang boleh dikatakan versi resmi pemerintah. Menurut Yoga, kegiatan di berbagai kampus baik ceramah maupun demonstrasi yang mematangkan situasi dan akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah.

Awalnya adalah diskusi di UI (13-16 Agustus 1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo dan TB Simatupang. Disusul kemudian dengan peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan ”Petisi 24 Oktober”. Kedatangan Ketua IGGI, JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Kumulasi dari aktivitas itu akhirnya mencapai klimaksnya dengan kedatangan PM Jepang Tanaka Januari 1974 yang disertai bukan saja demonstrasi, tetapi juga kerusuhan.

Dalam buku-buku yang ditulis oleh Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Ali Moertopo dan Soedjono Humardani merupakan pembina GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Lewat organisasi ini dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kiai Nur dari Banten.

Sedangkan Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Kegiatan yang antara lain perusakan mobil Jepang, Toyota Astra dan Kantor Coca Cola itu dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Sumitro-Sutopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166). Sebaliknya dalam ”dokumen Ramadi” diungkapkan rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus sehingga akhirnya ”ada seorang jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”.

Jangan Mimpikan Orde Baru
Perlu disadari konteks sejarah ini, karena kalau tidak, kita akan terpaku kepada salah satu aspek dari peristiwa 15 Januari 1974. Dengan melihatnya dalam konteks upaya penumpukan kekuasaan pada satu tangan yaitu pada Soeharto, serta pelestariannya dengan menghalalkan segala cara, maka kita segera menyadari betapa pahitnya proses yang telah dilalui selama ini. Betapa kejam represi yang telah dijalankan. Jadi bila kemudian terwujud aspek stabilitas –yang merupakan unsur pertama dari trilogi pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan)—itu dicapai dengan biaya sangat mahal. Dengan mengorbankan demokrasi dan HAM. Kalau kini orang bernostalgia dengan stabilitas keamanan, janganlah dilupakan bahwa semasa Orde Baru itu dicapai dengan darah dan air mata.

Kita hidup pada masa yang berbeda. Ketika pers jauh lebih bebas. Ketika orang bebas mengeritik, presiden sekalipun. Ketika otonomi daerah mulai merambat dengan berbagai aspek positif dan eksesnya. Ketika banyak hal yang diharapkan pada awal reformasi, ternyata makin jauh dari kenyataan. Ketika kaki sering tersandung tetapi kita harus melangkah kembali meskipun dengan terseok-seok. Jelas masa transisi itu tidak sama dengan masa kejayaan pemerintahan Soeharto. Yang penting janganlah memimpikan kembali Orde Baru.

Penulis adalah sejarawan pada LIPI..

Kasus Talangsari Lampung

| | | 0 komentar
Peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut pemerintah tidak akan mentolelir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila.
Pemerintah melalui aparat setempat baik sipil maupun militer mulai mencurigai dan melontarkan berbagai stigma terhadap aktivitas Jema’ah yang tinggal di dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Situasi menjadi tidak menentu setelah pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif. Berturut-turut pada tanggal 5 Februari 1989 terjadi penculikan terhadap 5 orang jema’ah yang sedang meronda di Pos Kamling. Kemudian Tanggal 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) menyerang dusun Talangsari III tanpa didahului proses dialog. Kapten Soetiman melakukan penembakan membabibuta terhadap jema’ah dan setelah kehabisan peluru, jema’ah yang tadinya bertahan balik menyerang hingga akhirnya menewaskan Kapten Soetiman.
Kemudian pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerbuan oleh pasukan yang dipimpin Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung). Dampak dari penyerangan tersebut banyak jatuh korban diantarnya pembunuhan langsung 45 orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, penyiksaan 36 orang, peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 173 orang. Hampir seluruh rumah beserta perabotannya didusun tersebut habis dibakar oleh ABRI. Setelah peristiwa itu, digelar peradilan untuk mengadili para jama;ah yang tertangkap dan ditahan. Peradilan diantarnya digelar di Tanjung Karang Lampung, Jakarta, Jawa Tengah dan Lombok Nusa Tenggara Barat. Rata-rata Jema’ah ditahan di Tahanan Kodim Metro Lampung, Korem Garuda 043 Garuda Hitam Bandar Lampung, LP Rajabasa, Kodam Diponegoro, Nusakambangan dan tempat-tempat lainnya. Hukuman tertinggi adalah seumur hidup dan sejak reformasi bergulir 1998 seluruh tahanan sudah dibebaskan.

Soedjinah, Pimpinan Gerwani Dan Pendukung Bung Karno

| | | 0 komentar
In memoriam :
Berikut di bawah adalah sekelumit dari riwayat hidup Soedjinah, seorang wanita Indonesia yang dalam hidupnya dari sejak muda belia sudah ikut dalam perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, yang kemudian menjadi pimpinan organisasi wanita yang terbesar di Indonesia, Gerwani. Soedjinah dipenjara selama belasan tahun oleh rezim militer Orde Baru setelah ditangkap dalam tahun 1967 karena ia aktif melakukan kegiatan-kegiatan bersama sejumlah kawan-kawannya dalam gerakan PKPS (Pendukung Komando Presiden Sukarno).

Soedjinah, yang pernah beberapa tahun mewakili gerakan wanita Indonesia dalam Gabungan Wanita Demokratik Sedunia (GWDS) dan ikut dalam berbagai konferensi internasional, telah mengalami bermacam-macam siksaan selama dalam tahanan militer, seperti halnya banyak wanita lainnya yang pernah ditahan atau dipenjarakan selama bertahun-tahun oleh rezim Suharto dkk.

Dengan menyimak sejenak riwayat hidupnya, yang berupa wawancara dengan HD Haryo Sasongko (editor buku "Terempas Gelombang Pasang" karya Soedjinah, terbitan ISAI) maka kita semua ingat kembali kepada kekejaman dan kesewenang-wenangan rezim Suharto terhadap orang-orang kiri, termasuk anggota dan simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno.

Riwayat hidup Soedjinah, yang menggambarkan bagaimana ia telah berjuang untuk bangsa, dan khususnya untuk kebangkitan dan kebebasan wanita Indonesia, perlu diketahui oleh banyak orang, terutama generasi muda dewasa ini dan di masa-masa yang akan datang.. Selain itu, penyajian secara singkat kisah hiduppnya ini juga untuk mengingat kembali betapa besar kekejaman rezim militer Suharto dkk terhadap ratusan ribu -- bahkan jutaan -- orang-orang yang tidak bersalah apa-apa.

Soedjinah, yang di harituanya – sampai wafatnya -- terpaksa tinggal di sebuah rumah jompo di Jakarta, hanyalah seorang dari begitu banyak kader-kader, aktifis, dan pimpinan Gerwani, yang telah dipersekusi di seluruh Indonesia. Sekarang ini masih banyak di antara mereka yang tetap terus mengalami berbagai penderitaan sebagai eks-tapol.

Mengingat itu semualah maka berikut ini disajikan wawancara dengan Soedjinah, yang dilakukan oleh HD Haryo Sasongko dalam bulan Desember 2000, yang selengkapnya adalah sebagai berikut.

Umar Said

* * * *

Tanggal 6 September 2007, SOEDJINAH telah meninggal dunia. Untuk mengenang wafatnya tokoh wanita yang pernah terlibat dalam perjuangan fisik di masa revolusi kemerdekaan dan perjuangan politik di masa prakemerdekaan, namun nasib dirinya sendiri tidak merdeka sampai di akhir hidupnya, berikut dikutip kembali sinopsis wawancara dengan SOEDJINAH, diangkat dari kumpulan dokumen tentang Korban Tragedi '65. Karena wawancara dilakukan pada tahun 2000, jadi tidak mencakup kisah SOEDJINAH ketika masuk ke rumah Jompo. Semoga ada manfaatnya. (HD. Haryo Sasongko)

« Menyaksikan dan merasakan hidup terjajah, Soedjinah terpanggil untuk ikut bergerilya membantu Tentara Pelajar dan laskar-laskar lainnya yang berniat mengusir penjajah. Karena tak tahan melihat darah, dia memilih sebagai kurir. Selama Perang Kemerdekaan dia tak pernah absen, baik dalam menghadapi Clash I atau Clash II. Usai penyerahan kedaulatan barulah dia kembali ke sekolah, kuliah dan kemudian aktif di Pemuda Rakyat serta Gerwani. Dari sana dia kemudian melanglang buana, menghadiri berbagai forum pertemuan internasional. Namun tragedi 1965 membawanya masuk penjara dan disekap di sana selama 16 tahun. Toh, di balik terali besi itu, dia terus melanjutkan perjuangannya. Dia pun menulis pengalaman, puisi dan cerita pendek di kertas yang dicurinya dari petugas penjara. Kini di masa tuanya, tanpa suami tanpa anak, Soedjinah memanfaatkan kemampuannya berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman dengan menjadi penerjemah dan memberikan kursus di LSM maupun di rumah kontrakannya.

Ikut Bergerilya dan Melanglang Buana

Sebagai anak pertama dari seorang Abdi Dalem Kraton Kasunanan Sala yang lahir pada tahun 1929 ini, Soedjinah mendapat kesempatan mengecap pendidikan HIS selama tujuh tahun sampai tamat yang kala itu sebenarnya hanya terbuka bagi keluarga orang-orang Belanda atau keluarga bangsawan saja. Hal itu terjadi karena Soedjinah “didekati” oleh seorang putera Mangkubumi. Karena itu pula Soedjinah sudah menguasai bahasa Belanda sejak masa kanak-kanak. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di MULO, namun kali ini tidak sampai tamat karena baru menginjak tahun pertama Jepang datang. Sehingga Soedjinah harus melanjutkan pendidikan di sekolah Jepang selama tiga tahun dan selesai di masa penjajahan Jepang.

Ketika itu Soedjinah mulai merasakan perlakuan penjajah Belanda maupun Jepang yang sama-sama merendahkan bangsanya. Mula-mula dia harus memberi hormat terhadap orang-orang Belanda dan kemudian terhadap orang-orang Jepang. Sementara orang-orang pribumi tetap menjadi warga kelas tiga pada strata yang paling bawah. Lebih-lebih Soedjinah sangat sakit hati karena ketika itu – dengan alasan untuk biaya perang – Jepang menyita harta benda milik rakyat pribumi seperti emas atau berlian sambil melakukan pemerasan serta pelecehan seksual terhadap kaum wanita.

Karena itu sejak Proklamasi Kemerdekaan Soedjinah menyambut gembira dengan ikut serta di badan-badan perjuangan. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, Soedjinah pada tahun 1946-47 (Clash I) masuk dalam Barisan Penolong sebagai kurir dan membantu logistik dapur umum di tengah medan pertempuran yang terjadi antara lain di daerah Ampel dekat Salatiga hingga Tengaran dekat Semarang. Dia bergaul akrab dengan para laskar pejuang muda yang kebanyakan dari TP (Tentara Pelajar), antara lain dipimpin oleh Achmadi yang di kemudian hari menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Bung Karno.

Pada Clash II yang berlangsung hingga tahun 1949, Soedjinah juga ikut aktif bergerilya bersama tentara dan TP sampai di Bekonang dan tempat tempat lain. Salah seorang pimpinannya yang masih diingat Soedjinah ialah Soebroto yang di kemudian hari juga menjadi menteri. Ketika itu Soedjinah berperan sebagai kurir antar pasukan gerilya yang berada di desa dan di perkotaan. Siang malam harus jalan kaki menyusup di pedesaan untuk menghindari patroli Belanda.

Tahun 1950 ketika terjadi cease fire, Soedjinah kembali ke kota (Sala) untuk melanjutkan sekolah sampai dapat menyelesaikan SMAnya di Yogyakarta pada tahun 1952. Ketika itu Soedjinah pernah mendapatkan beasiswa untuk 5 tahun. Dia manfaatkan beasiswa itu untuk masuk ke Universitas Gajah Mada di fakultas sosial politik yang sayangnya hanya sampai tiga tahun saja karena beasiswa sudah tidak ada lagi. Selanjutnya Soedjinah aktif di Pesindo yang di kemudian hari menjadi Pemuda Rakyat dan juga di Gerwis yang di kemudian hari menjelma menjadi Gerwani. Bahkan ketika Gerwis menyelenggarakan Konferensi Nasionalnya yang pertama di Surabaya pada tahun 1951, Soedjinah sudah ikut serta di mana ketika itu juga ada SK Trimurti sebagai salah seorang ketuanya. Pada masa itu di samping Gerwis juga sudah ada organisasi wanita Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang sudah berdiri sejak 1946 dan Aisyiyah dari Masyumi. Sejak Konferensi Nasional yang pertama itu, Gerwis sudah menjadi anggota Gabungan Wanita Demokratis Sedunia.

Dalam Kongres Gerwis di Jakarta pada 1954, barulah namanya berubah menjadi Gerwani dan sekretariatnya pun pindah dari Surabaya ke Jakarta dengan Ketua Umum Umi Sardjono. Sejak itu pula Gerwani mengembangkan sayapnya dan jumlah keanggotaannya terus meningkat di seluruh Indonesia. Soedjinah semakin aktif di organisasi ini. Aksi-aksi menentang kenaikan harga bahan pokok, pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi salah satu tema perjuangan Gerwani yang banyak menarik simpati masyarakat wanita, sehingga sebelum pecahnya tragedi 1965, Gerwani merupakan organisasi wanita terbesar di Indonesia.

Ketika pada tahun 1955 diselenggarakan Festival Pemuda Sedunia di Praha Chekoslovakia, Soedjinah mengikutinya sebagai wakil dari Pemuda Rakyat. Seusai Festival, Soedjinah mendapat tugas dari Gerwani untuk bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia yang berkedudukan di Berlin Timur selama dua setengah tahun. Di sinilah puteri Abdi Dalem Keraton Kasunanan Sala ini medapat banyak pengalaman dalam pergaulan dengan wakil-wakil gerakan wanita berbagai negara, baik dari AS, negara-negara Eropa Barat, Timur, Australia, Afrika maupun sesama negara-negara di Asia. Ketika itu wanita Asia yang mengikuti kegiatan kewanitaan di forum internasional baru dari India, China dan Indonesia. Selama aktif bekerja di Berlin Timur itu, Soedjinah mendapat kesempatan pula untuk memperdalam pengetahuan dalam bahasa Inggris dan Jerman yang dilakukannya seusai tugas kantor.

Dari Gerakan Wanita Demokratis Sedunia itu pula Soedjinah kemudian mendapat tugas “melanglang buana” dengan mengikuti kongres-kongres di Eropa seperti di Prancis, Denmark, Italia, Austria, Finlandia, Yugoslavia, Swedia dan juga Uni Soviet dan China. Tahun 1957 Soedjinah baru kembali ke Indonesia dan banyak membuat karya-karya jurnalistik berupa laporan perjalanan yang pernah dilakukannya di berbagai suratkabar, di samping menjadi penerjemah untuk bahasa Inggris, Belanda dan Jerman bagi tamu-tamu asing yang mengunjungi sekretariat Gerwani. Di samping karya-karya jurnalistik, untuk menambah pendapatan guna menopang biaya hidup (karena dana dari organisasi tidak mungkin mencukupi), Soedjinah juga membuat karya-karya sastra dengan menulis cerita pendek, esai atau puisi dan dimuat di berbagai media.

Tahun 1963 Soedjinah aktif sebagai penerjemah untuk perwakilan kantor berita asing di Indonesia, antara lain Pravda (Uni Soviet) di samping dia sendiri aktif menulis pemberitaan di suratkabar dalam negeri. Karena itu Soedjinah sering juga keluar masuk Istana Merdeka dan bertemu tokoh-tokoh nasional. Ketika diselenggarakan Kongres Buruh Wanita Internasional di Rumania, Soedjinah ditunjuk oleh pimpinan Sobsi sebagai penerjemah untuk delegasi Gerwani Indonesia. Selanjutnya mendapat undangan untuk mengunjungi China.

Haappp ... Lalu Ditangkap

Aktivitasnya di DPP Gerwani di Bagian Penerangan dan Penerjemahan, membuat dia harus sering tidur di kantor. Sampai kemudian, terjadilah Peristiwa Gestapu dan dirinya bersama kawan-kawan lainnya ditangkap dalam suatu penggerebegan yang dilakukan oleh suatu aparat keamanan. Padahal, semua personil Gerwani sedang sibuk menyiapkan suatu acara, sehingga mereka kaget ketika di siang hari tanggal 1 Oktober 1965 mendengar warta berita tentang telah terjadinya peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal di Lubang Buaya dan juga tentang telah dibentuknya Dewan Revolusi untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal. Mereka benar-benar tak tahu menahu tentang hal itu. Konsentrasi mereka masih pada rencana penyelenggaraan Kongres Gerwani. Terdorong keingintahuannya, Soedjinah pada hari itu pergi ke kantor CC PKI dan ternyata kantor itu sudah dirusak massa. Soedjinah tak mau kembali ke kantor DPP Gerwani, tetapi juga tak pulang ke rumah tempat tinggalnya. Dia pilih berkeliling menyelinap dari tempat ke tempat untuk mencari informasi lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.

Dan informasi memang terus mengalir. Penangkapan-penangkapan telah terjadi atas diri para tokoh Gerwani. Rumah yang ditempati Soedjinah dan dalam keadaan sudah dikosongkan, juga kantor DPP Gerwani itu sendiri, ternyata sudah dijarah. Dia menginap dari satu tempat ke lain tempat secara sembunyi-sembunyi di rumah kenalan atau saudara. Tak pernah ada tempat yang diinapinya sampai tiga malam berturut-turut. Pernah juga dia tinggal di rumah mantan Kolonel Suwondo dari Divisi Brawijaya yang dikenalnya sebagai pendukung Bung Karno.

Di tengah situasi politik yang memanas, Soedjinah bersama sejumlah kawannya yang sehaluan dalam mendukung Bung Karno sempat membuat buletin bernama PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno). Ketika itu Soeharto sudah mencium adanya kegiatan tersebut dan siapa yang terbukti sebagai pendukung Soekarno ditangkap. Selama dua tahunan, Soedjinah terus “bergerilya” sambil menyebarkan buletin ini ke tengah masyarakat. Termasuk ke kedutaan-kedutaan negara asing. Sampai akhirnya dia tertangkap pada 17 Februari 1967 di rumah seorang kawan (yang juga ikut ditangkap) di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan.

Soedjinah dibawa ke suatu tempat – mungkin sebuah sekolah tionghoa di daerah Pintu Besi yang dijadikan semacam posko di Gunung Sahari Jakarta Pusat - oleh petugas keamanan yang menangkapnya dan mulailah dia menyaksikan bahkan mengalami sendiri berbagai bentuk penyiksaan yang amat kejam bahkan banyak tahanan yang sampai mati dalam penyiksaan. Dia sendiri (seperti kawan-kawan lainnya yang sama-sama tertangkap, antara lain Soelami, Soeharti dan Sri Ambar) ditelanjangi dan dipukuli dengan rotan oleh delapan orang tentara berbaju loreng. Seorang di antaranya, Letkol Acep, pimpinan di posko tersebut, konon pernah dididik oleh CIA. Ketika kelihatan Soedjinah hampir mati - dan dia memang pura-pura mati - barulah seorang tentara melerai agar penyiksaan dihentikan sehingga tahanan dapat dibawa ke pengadilan. Padahal di bagian belakang halaman gedung tempat penyiksaan itu sudah digali lubang-lubang untuk mengubur mayat mereka yang mati disiksa.

Soedjinah bersama tiga kawannya yang tidak sampai mati dalam penyiksaan itu akhirnya dibawa ke tempat lain secara berpindah-pindah hingga lima kali (yang masih diingat, Kodam Jayakarta, kantor CPM Guntur), untuk kemudian ditahan di Penjara Wanita Bukitduri guna diajukan ke pengadilan karena terbukti menerbitkan PKPS. Karena dianggap sebagai orang berbahaya, maka Soedjinah dimasukkan ke sel khusus untuk diisolasi. Di Bukitduri inilah Soedjinah bertemu dengan banyak kawan-kawan sesama Gewani, baik tingkat pimpinan, aktivis hingga anggota biasa dan simpatisan.

Di tempat ini pula dia bertemu dengan anak-anak perempuan muda yang ditangkap di Lubang Buaya. Mereka berusia sekitar 14 tahunan sehingga dapat dipastikan bukanlah anggota Gerwani, karena batas minimal usia agar bisa menjadi anggota Gerwani adalah 18 tahun. Dari merekalah Soedjinah mendapat kepastian bahwa tidak ada adegan mencungkil mata apalagi memotong alat kelamin para jenderal. Mereka di sana karena ikut latihan sukarelawan Dwikora dari Pemuda Rakyat dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Merekalah yang ketika ditangkap malah diperkosa oleh aparat yang menangkapnya dan dipaksa untuk mengaku sebagai anggota Gerwani. Di antara mereka yang menghadapi pemaksaan dan penyiksaan itu – ada yang bernama Emi - adalah pelacur muda yang masih buta huruf, dan baru saja bebas dari Penjara Bukitduri sebulan sebelumnya akibat kasus kriminal.

Di sel isolasi khususnya, Soedjinah tidak dapat berkomunikasi dengan siapa pun karena tertutup rapat dan hanya ada lubang kecil untuk bernafas. Sehari hanya diberi kesempatan keluar untuk “angin-angin” selama satu jam dengan penjagaan ketat. Makanan hanya diberikan sekali sehari sekitar dua sendok nasi saja atau jagung rebus sekitar 40-60 butir. Bila ada kesempatan keluar sebentar, dia makan daun apa saja yang ada di dekatnya untuk menutup rasa laparnya Dia diisolasi penuh di tempat ini selama 8 tahun, untuk selanjutnya dipisah di sel isolasi untuk tahanan kriminal. Di sel ini Soedjinah dapat mencuri-curi kesempatan agar bisa berdialog dengan tahanan kriminal dan mendapatkan banyak informasi dari mereka tentang kenapa mereka ditahan dan bagaimana pula perlakuan aparat penguasa terhadap tahanan politik maupun tahanan kriminal selama di dalam selnya.

Sementara itu pemeriksaan atas dirinya masih berjalan terus. Di antara mereka yang melakukan pemeriksaan itu adalah bekas teman sekolah Soedjinah. Ketika kemudian diajukan ke depan pengadilan di Pengadilan Jakarta Pusat pada tahun 1975 (hanya empat orang anggota Gerwani yang ketika itu diajukan ke depan pengadilan, yakni Soedjinah, Soelami, Soeharti dan Sri Ambar karena terbukti menyebarkan buletin PKPS dan nyata-nyata menentang rezim Soeharto-Nasution), seorang hakim yang mengadilinya adalah teman kuliahnya ketika di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hakim itu – keponakan SK Trimurti – masih mengenal baik siapa Soedjinah - ketika itu menjadi terdakwa II - yang kemudian divonisnya dengan hukuman 18 tahun. Vonis ini tidak berubah ketika Soedjinah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sesama aktivis Gerwani lainnya yang juga mendekam di Penjara Bukitduri, seperti Tanti Aidit, Ny. Mudigdo dan Umi Sardjono - semua pimpinan Gerwani - yang bertemu dengan Soedjinah tidak ada yang diadili karena tidak ada bukti apa-apa yang dapat diajukan ke depan pengadilan kecuali sebagai aktivis Gerwani itu saja.

Sekitar tahun 1980, dari Penjara Wanita Bukitduri Soedjinah dipindahkan ke Penjara Tangerang. Di tempat inilah dia mendapatkan kesempatan untuk menuliskan semua yang dialaminya selama di Penjara Bukitduri, termasuk pengakuan sesama tahanan – para gadis remaja yang tertangkap di Lubang Buaya dan dipaksa mengaku sebagai anggota Gerwani itu – di kertas-kertas yang dicurinya. Ketika itu, karena mempunyai kemampuan melukis, Soedjinah diberi tugas membuat disain untuk kain bordir yang akan dikerjakan sesama tahanan wanita. Sebagai “disainer” tentu saja dia membutuhkan kertas dan pensil. Dan inilah memang yang sesungguhnya dia cari. Sebagian kecil dari kertas yang disediakan petugas penjara itu dia curi, disembunyikan, yang kemudian dipakai untuk menuliskan catatan-catatan tentang pengalaman sesama tahanan, juga puisi bahkan cerita pendek. Catatan yang ditulis di toilet di dalam selnya ini kemudian diselundupkan lewat seorang wartawan dari Harian Sinar Harapan (kini Suara Pembaruan) yang menyaru sebagai arsitek dan tukang bangunan sehingga bisa sering datang mendekatinya. Tulisan yang dikumpulkan oleh si wartawan itulah yang di kemudian hari diserahkan kembali kepada Soedjinah sesudah dia bebas dan diterbitkan oleh Lontar sebagai buku.

Di penjara Tangerang, Soedjinah memang sedikit mendapatkan kebebasan, tidak dikurung dalam sel lagi. Namun tetap dengan baju biru karena statusnya masih tetap “disamakan” dengan tahanan kriminal.Dia banyak memberikan bimbingan dan pelajaran bahasa Inggris kepada para tahanan kriminal sehingga mereka memanggilnya “mamie” kepada Soedjinah. Tahun 1983 dia baru dibebaskan sehingga dia total menjalani hidup di belakang terali besi selama 16 tahun dari 18 tahun yang harus dijalaninya. Di luar penjara, tidak berarti dia benar-benar bebas merdeka. Di samping masih dikenai wajib lapor diri di Kodim Jakarta Selatan sampai 1997, KTPnya juga diberi stigma “ET” sampai 14 tahun kemudian dan tanda itu baru hilang setelah Soeharto lengser.

Ketika dibebaskan, Soedjinah tinggal di rumah saudaranya – Widodo yang juga pernah mendekam di Pulau Buru – yang berada di Gandul. Menyadari dirinya tak mungkin bisa bekerja di instansi pemerintah berhubung stigmatisasi pada KTPnya itu, maka untuk menghadapi hari-hari depannya Soedjinah hanya bisa mengandalkan kegiatan memberikan les bahasa asing untuk menghidupi dirinya. Dia mengambil sertifikat untuk penerjemah bahasa Belanda di Erasmushuis selanjutnya dia mengambil sertifikat sebagai guru bahasa Inggris di LIA. Dengan modal inilah Soedjinah menapaki hari-hari kebebasannya dalam usia tua sebagai penerjemah dan guru bahasa Inggris di sejumlah LSM, antara lain Kalyana Mitra dan Solidaritas Perempuan serta Yasalira yang dikelola oleh Kartini Syahrir.

Beberapa karya terjemahan telah dihasilkan pula, antara lain dari tulisan Carmel Budiardjo dan sejumlah penulis dari Australia. Kini, Soedjinah yang pernah mendapatkan Award dari Hawaii University dan Hamlet Award karena ketekunannya untuk terus menulis meskipun berada di dalam penjara, tinggal seorang diri di sebuah rumah sewa ukuran kecil yang harus dibayarnya setiap bulan Rp 125.000,- Di rumah itu pula dia memberikan les bahasa Inggris untuk beberapa orang sambil terus menulis buku. Agar bisa lebih konsentrasi dalam menekuni pekerjaannya, dia tak mau repot-repot memasak dan mencuci pakaian sendiri. Semua diserahkan kepada tetangganya dan dia tinggal memberikan uang lelah kepada tetangganya itu.

Kini dia sedang menunggu bukunya “Terhempas Gelombang Pasang” yang berisi memori pribadinya selama dalam penahanan yang diterbitkan oleh ISAI dan “Mereka yang Tersisih” (kumpulan 18 cerpen) yang diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Yayasan Lontar. Dengan pengeluaran bulanan sekitar Rp 500.000,- Soedjinah yang beragama Islam dan kini berusia 72 tahun ini masih bisa menyisakan sedikit uang untuk membantu saudara-saudaranya di Sala yang mengalami kesulitan mengarungi sisa hidupnya karena identitas mantan tapol dan stigmatisasi pada KTPnya. Karena sikapnya yang suka menjalin keakraban dengan tetangga, sejak bebas hingga kini Soedjinah tak pernah mengalami kesulitan dalam mensosialisasikan diri di lingkungan masyarakatnya. Demikian juga bila dia sekali waktu pulang ke Sala, kota kelahirannya. Para tetangga menyambutnya dengan baik , lebih-lebih karena orangtuanya dulu dikenal sebagai seorang guru mengaji.

Awas Komunis, Waspadai Anak-Anak PKI!

| | | 0 komentar
Oleh : Yoseph Tugio Taher


"Atas kekejaman PKI, maka pemerintah mengeluarkan Tap MPRS Nomor 25 tahun 1966 tentang larangan ajaran komunis beredar di Indonesia".

Kalau boleh kita bertanya, kekejaman apa dan bagaimana yang dilakukan oleh PKI? Apakah buktinya bahwa PKI melakukan kekejaman? G30S? Apa hubungannya G30S dan PKI? Apa bukti akurat bahwa G30S didalangi PKI seperti yang dituduhkan oleh Soeharto serta klik dan para pengikutnya?

Sebelum kejadian G30S, Letkol. Untung Samsuri yang tidak asing bagi Soeharto karena dia adalah anak mantunya Soeharto (istri Untung adalah hasil carian Bu Tien Soeharto), mendatanginya dan melaporkan rencananya untuk melakukan gerakan menangkap para jenderal yang diduga akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Soeharto mengatakan bahwa sikap itu sudah benar. "Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu." demikian kata Soeharto menurut Letkol Untung, seperti yang diceritakan kepada dan kemudian dikisahkan kembali oleh Subandrio, yang selama Orba ditahan bersama Letkol. Untung. Malahan, menurut penjelasan Untung, Soeharto menawarkan bantuan pasukan. "Kalau perlu bantuan pasukan akan saya bantu. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah" (Soebandrio: Kesaksianku ttg G30S http://www.wirantaprawira,net)
Segera setelah itu, Panglima Kostrad, Soeharto merealisasi janjinya kepada Untung, dengan memberi perintah pertelegram No. T.220/9 pada tanggal 15 September 1965 dan mengulanginya lagi dengan radiogram No. T.239/9 tanggal 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya Jawa Timur dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro Jawa Tengah untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan tempur penuh. Ketika datang ke Kostrad diterima oleh Soeharto dan juga dilakukan inspeksi pasukan pada tanggal 29 September 1965. Sedangkan Yon 328 Siliwangi datang dengan tanpa peluru. Tanggal 30 September 1965 jam 17.00 Yon 454 diperintahkan ke Lubang Buaya untuk bergabung dengan pasukan lainnya guna melakukan gerakan pada malam harinya. (Pengakuan Soebandrio dan Fakta Kebenaran Korban Tragedi65 oleh LPRKROB, YPKP65 dan Pakorba http://kontak.club.fr/index.htm) Kalau Kalau kita lihat fakta diatas, nah, di mana dan bagaimana kedudukan Soeharto dalam mempersiapkan G30S?
Lagipula, dengan tiadanya pencegahan oleh Soeharto ketika Untung menyampaikan maksudnya, begitu juga ketika Kolonel A.Latif melaporkan hal itu kepada Soeharto, maka mereka merasa benar dan menjadi berani. Apalagi dengan dorongan moral dari Soeharto. Andaikata, ya, andaikata Soeharto mencegah niat Untung dan Latief pada saat itu, dan melaporkannya kepada atasannya, Yani, Nasution bahkan Bung Karo, maka tidak akan bakal terbunuh 6 jenderal yang merupakan putra-putra bangsa. Namun, Soeharto tidak mencegah, malahan justru memberikan bantuan, karena sesungguhnya Soeharto berkepentingan dengan hilangnya para jenderal yang memang menjadi rivalnya semenjak tahun 50-an ketika dia menjadi Panglima Kodam VII Diponegoro, terutama Jenderal Yani yang pernah menempelengnya karena korupsi Soeharto, lagipula yang kedudukannya sebagai Pangad memang diincar oleh Soeharto.

Kenyataan sejarah memang demikian. Begitu ke enam jenderal diculik dan ternyata dibunuh terutama Jenderal A.Yani, serta merta Soeharto mengangkat dirinya menjadi Panglima Angkatan Darat, mengabaikan dan mengengkari perintah Presiden/Pangti ABRI yang telah menetapkan Pranoto Reksosamudro menjadi caretaker Pangad. Selanjutnya, Soeharto yang mengangkat dirinya sendiri menjadi Pangad, melibas teman-temannya dalam G30S seperti Letkol. Untung Samsuri, Kolonel Latief yang punya hubungan sangat dekat dengan Soeharto serta Brigjen Supardjo.. Watak dan perilaku Soeharto adalah sebagai "menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan". Seperti kucing yang pura-pura tak acuh, melihat dan membiarkan tikus makan keju, setelah si tikus kekenyangan, maka serta merta si kucing menubruknya. Begitulah dapat diibaratkan dengan Soeharto!

Soeharto melancarkan rekayasa dan fitnah keji bahwa G30S didalangi oleh PKI, dan sebagai kelanjutan dan realisasi fitnah dan rekayasanya itu, Soeharto membunuh tanpa proses hukum dan pengadilan para pemimpin dan tokoh-tokoh PKI, karena kekuatirannya, kalau pemimpin PKI terutama D.N. Aidit sempat bicara, akan terbukalah tentang persekongkolan Untung-Latief dan Soeharto. Jadi, tanpa perikemanusiaan, Soeharto membunuh semua pimpinan PKI dan juga golongan militer yang kiranya bisa bicara membukakan belang dan keterlibatan Soeharto. (Silahkan telusuri website: Kolektif(i)nfoCoup d'etat 65"kolic65@progind.net)

Rekayasa dan fitnah Soeharto gampang sekali membangkitkan massa yang anti kepada PKI. Soeharto menggunakan AD dan massa untuk mengharu birukan Jakarta, menangkap dan membunuhi orang-orang PKI, merampas atau membakar rumah-rumah mereka, memperkosa anak-anak mereka. Indonesia yang berbudaya tinggi dan beragama berubah menjadi negeri serigala, Dan Soeharto, sesuai dengan taktiknya, "nglurug tanpa bala" justru menggiring massa untuk berbuat lebih biadab dan melupakan perikemanusiaan. Nah, siapa yang kejam dan biadab? PKI ataukah Soeharto dengan Angkatan Daratnya serta massa yang terdiri dari para mahasiswa/pelajar yang tergabung dalam organisasi KAMI/KAPPI yang setiap hari melakukan aksinya, melakukan pengganyangan dengan menyembelih orang-orang PKI yang sementara mereka melakukan aksi kejam dan biadabnya, menjadi pembunuh-pembunuh bangsa sendiri, Kedutaan Amerika di Jakarta mensuplai 5000 nasi bungkus lengkap dengan lauk pauknya setiap hari buat mereka yang telah melakukan kerja keras membunuhi PKI. (Kolektif(i)nfoCoup d'etat 65"kolic65@progind.net)

Nah, siapa yang kejam?

Kemudian tampil Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD, yang tahun 1964 baru lulus training di Australia, yang kemudian dengan 400 orang anggotanya, Kolonel Sarwo Eddhi Wibowo merasa bangga dengan kebuasann dan perilakukanya sebagai penjagal bangsa Indonesia, melakukan pembunuhan atas orang-orang yang dituduh komunis di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.

Hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta, yang lebih dikenal sebagai Komisi Lima yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Mayjen. Dr. Soemarno, dengan anggota-anggota Moejoko (Polri), Oei Tjoe Tat SH, Mayjen. Achmadi ( ex. Brigade.XVII/TP) dan seorang lagi tokoh Islam, menyebut bahwa jumlah korban pembunuhan yang dilakukan atas perintah Soeharto sekitar 500.000 orang. Bahkan menurut pengakuan mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Panglima RPKAD, kepada Permadi SH, jumlah yang dibunuh mencapai sekitar 3.000.000 ( baca: tiga juta!) orang. "Itu yang ia suruh bunuh dan ia bunuh sendiri" kata sumber itu. (http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/08/26/0011.html)

Nah, sekali lagi, siapa yang kejam? Tiga juta PKI yang dibunuh, ataukah Soeharto dan Sarwo Edhi Wibowo, (yang kebetulan adalah ayah dari Kristiani Herawati yang menjadi istri Mantan Jenderal Susilo Bambang Yudoyono, yang sekarang menjadi Presiden RI)? Dan ratusan ribu orang-orang yang dituduh komunis dan tak sempat dibunuh, ditangkap dan ditahan atau dipenjarakan tanpa proses selama belasan tahun. Ratusan ribu tahanan ditempatkan di dalam kamp-kamp yang sangat tidak memadai dan dibawah standar kemanusiaan. Tempat, kesehatan, makanan dan lain-lain yang sangat minim yang semuanya itu hanya bertujuan untuk melenyapkan secara pelan dan bertahap.

Seorang staf Kedubes AS, Josepf Lazarsky, Kepala Perwakilan Stasiun CIA di Jakarta, yang datang ke Kostrad dan melihat begitu banyak manusia yang ditahan diberbagai tempat, bertanya pada Soeharto tentang proses hukum para tahanan itu. Soeharto menjawab singkat, "kalau ditahan terus siapa nantinya yang akan memberi makan mereka?" (Jenderal Soeharto Menuju Tahta kekuasaan-http://www.progind.net/ modules/wfsection/article.php?articleid=76, copied 10/11/2005 dan Maruli Tobing-Kompas 9 Pebruari 2001-"Perang Urat Syaraf")

Tidakkah dari ucapan Soeharto itu kita bisa melihat bagaimana iktikadnya? Dan memang kenyataannya, di samping para tahanan yang mati karena sakit, kurang makan dan tekanan bathin dsb. karena ditahan belasan tahun tanpa proses dan pengadilan, banyak yang diambil malam dari tempat tahanannya dan dibunuh. Ini sejarah yang tidak mesti dilupakan begitu saja! Nah, sekali lagi siapa yang kejam?

Dan puluhan juta keluarga mereka, dipersulit hidupnya dengan segala peraturan dan hukum diskriminatif dan tuduhan-tuduhan murahan seperti ada indikasi, terlibat tidak langsung, bersih lingkungan dan segala macam pembatasan, tidak boleh ini tidak boleh itu, yang derita mereka itu, berlanjut dan berlanjut berkepanjangan bahkan sampai hari ini, di saat pemerintah dan Negara yang katanya sudah menganut paham "reformasi"! Nah. siapa yang kejam? Orang-orang PKI yang dijadikan korban sembelihan dan dianggap sebagai hewan, ataukah Soeharto dengan Orde barunya yang ditopang kuat oleh Angkatan Darat dan partai Golkar dan antek-anteknya?

Selama kekuasaannya, Soeharto dan Ordebarunya selalu bernyanyi "melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekwen", namun semua prakteknya adalah melanggar dan mengingkari perikemanusiaan. Dia menjadi penjahat kemanusian yang terbesar diabad modern ini, dan melanggar Pancasila yang merupakan dasar negara dan falsafah bangsa
Setiap orang yang beragama senantiasa bersembahyang dan berdoa kepada Tuhannya, "Ya Allah, ampunilah dosa hamba," namun setelah selesai ‘berdoa", mereka melakukan dosa lagi dengan membunuhi manusia dengan tuduhan komunis, manusia yang adalah juga ciptaan Tuhan. Perbuatan apa namanya yang seperti itu?

Soeharto bahkan tidak segan-segan menahan dan membunuh Bung Karno yang telah memberinya pengampunan, pangkat dan jabatan. Tak heran kalau Drs. Mohammad Hatta, Mantan Wakil Presiden RI, menjadi marah melihat kekejaman Soeharto atas Soekarno. (Namun, masih ada orang yang mengatakan bahwa Soeharto adalah "anak kesayangan" Soeharto. Bah, sungguh keblinger!)

Lebih dari itu, untuk mengelabui dan membodohi rakyat, Soeharto dan Orde barunya mendengungkan lagu Pancasila yang dianggap Sakti.. Dia tampil sebagai "pembela" Pancasila yang sakti. Namun, "Logika mana yang dapat membenarkan bahwa Pancasila dianggap sakti ketika militer dan rakyat berhasil ‘menyelamatkannya' dengan melenyapkan jutaan nyawa manusia Indonesia yang notabene mengakui Pancasila sebagai miliknya juga? Jikapun yang dibunuh itu adalah kaum komunis, adakah Pancasila menuntun bangsa ini untuk menghabisi nyawa mereka" (Wilson Lalengke , Hoki -30-Sep-2007)

Bahkan, Soeharto dengan tidak tahu malu, menginterpretasikan Pancasila seenaknya dan tidak mengakui Bung Karno sebagai penggali dan pencetus Pancasila, dan tidak mengakui 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, bahkan menetapkan 18 Agustus 1945sebagai hari lahir Pancasila. (Lihat Hoki/Opini 01-Jun-2008 dengan judul Selamat Hari Lahir Pancasila).

Rakyat mengetahui dan menyadari bahwa Pancasila adalah hasil galian dan cetusan Bung Karno yang diumumkan sebagai falsafah bangsa dan Negara pada 1 Juni 1945. Interpretasi Pancasila haruslah dari penggali dan pencetusnya, Bung Karno dan bukannya dari Soeharto. Dan rakyat juga memahami akan isi pidato Bung Karno tentang Pancasila pada 6 Desember 1965 (dua bulan sesudah G30S), yang mengatakan:
"Pancasila adalah pemersatu, adalah satu ideologi yang mencakup segala. Dan aku sendiri berkata, aku ini apa? Aku Pancasila. Aku apa ? Aku perasan daripada Nasakom. Aku adalah Nasionalis, aku adalah A, aku adalah sosialis, kataku. Tetapi banyak orang memakai Pancasila ini sebagai hal yang ant." (Revolusi belum selesai, halaman 217).

Sedang sebelumnya dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora di Bogor pada tanggal 6 November 1965 (yaitu kita-kira sebulan lebih setelah terjadinya G30S, ketika para pembesar militer pendukung Soeharto mulai menggunakan Pancasila untuk menyerang Bung Karno), beliau mengatakan:

Jangan kira, Saudara-saudara, kiri is alleen maar (keterangan : bahasa Belanda, yang artinya : hanyalah ) anti-imperialisme. Jangan kira kiri hanya anti-imperalisme, tetapi kiri juga anti-uitbuiting (penghisapan). Kiri adalah juga menghendaki satu masyarakat yang adil dan makmur, di dalam arti tiada kapitalisme, tiada exploitation de l'homme par l'homme, tetapi kiri. Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa ? Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah anti-kapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation de l'homme par l'homme. Pancasila adalah anti-exploitation de nation par nation. Karena itulah Pancasila kiri" (Revolusi belum selesai, halaman 77).

Jadi rakyat yang melek yang memahami arti pidato Bung Karno, Bapak Bangsa dan Bapak Pancasila itu, dengan sendirinya tidak mengindahkan keputusan "pemerintah" Soeharto dengan MPRSnya yang mengeluarkan TAP/25 tahun 1966, karena TAP 25/1966 itu adalah melanggar dan tidak sesuai dengan jiwa Pancasila! Rakyat Indonesia sekarang, kendatipun masih tetap menderita, bukanlah rakyat Indonesia tahun 1966 yang bisa dan gampang dikibuli (atau diancam dengan bedil dan bayonet) Soeharto dan rezimnya! Bahkan lebih dari itu, rakyat menginginkan supaya TAP 25/1966 itu dicabut karena tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia dan Pancasila.

Si penulis artikel, dengan seenaknya menuduh "keterlibatan PKI dalam peristiwa pengkhianatan dan pemberontakan pada tahun 1965" Dapatkah sipenulis tersebut memberikan bukti tentang "keterlibatan PKI" atau hanyakah sekedar berucap seperti rekayasa dan fitnah yang dilontarkan oleh Soeharto dan kliknya?

Prof. John Roosa sejarawan dari University of British Columbia (Kanada), dalam bukunya yang berjudul "Dalih pembunuhan massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto", [halaman 95 dan 99] mengatakan "Rezim Soeharto membangun sebuah dunia fantasi tersendiri yang unsur-unsurnya, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965, terbukti masih bertahan gigih untuk tampak sebagai kebenaran abadi bagi bangsa Indonesia. Sekalipun arus propaganda terus membanjir selama tiga puluh tahun lebih, tentara Soeharto tidak pernah membuktikan bahwa PKI telah mendalangi G30S. Satu-satunya bukti bahwa PKI memimpin G30S adalah karena Angkatan Darat menyatakan demikian"

Seharusnya, si penulis artikel itu mempelajari secara mendalam terlebih dahulu, mengapa Indonesia yang dikatakan kaya raya, kok rakyatnya miskin. Apakah kemiskinan itu disebabkan oleh komunis, oleh PKI ataukah oleh Soeharto dan rezimnya serta penerusnya yang secara terang maupun tersembunyi masih berkuasa atas bumi dan bangsa Indonesia, menggadaikan Indonesia kepada pihak asing sedang rakyat mati kelaparan seperti tikus yang mati dilumbung padi? (silahkan lihat tulisan "Negara Kaya Kok Rakyat Miskin?" oleh : Adi Jaya, Hoki 8/2/09)

Tidakkah kita bisa melihat bahwa "gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja" hanya untuk golongan Soeharto dan kroni serta penjilat-penjilatnya, serta semua pejabat dan pimpinan yang bertambah gendut, (di satu sisi menjadi pejabat dan pemimpin rakyat, sedang di sisi lain menjadi kapitalis yang menghisap rakyat dan menjual negeri dan hasil bumi kepada bangsa asing) sedang puluhan juta rakyat Indonesia masih miskin dan sengsara, ratusan ribu bayi-bayi kekurangan gizi, ibu-ibu menderita kekurangan makan, bahkan rakyat miskin yang kurang makan setiap kali ada yang mati terinjak-injak karena memperebutkan taburan, "sedekah, angpao, zakat" dari orang-orang yang berkelebihan, sedang kapitalis asing maupun nasional panen di bumi persada dan para pejabat bertambah gendut karena penghisapan dan korupsi, dan berpesta pora dengan ribuan tamu dihotel mewah dengan kue tart yang berukuran garis tengah 2½ meter, atau menguntil-until uang puluhan ribu hanya untuk dijadikan kembang sebagai kado pernikahan? Apakah semua hal itu kesalahan komunis?

Kejahatan kemanusiaan Soeharto dan kliknya terlalu besar. Kalau kita mau mengaji sejarah, kekejaman Soeharto yang menggunakan G30S sebagai dalih untuk melakukan pembunuhan massal, sama halnya dengan Kaisar Romawi kuno Nero yang membakar kota Roma kemudian mempersalahkan kaum Kristen dan membunuhinya; sama dengan nazi Hitler yang membakar Kantor DPR Jerman tahun 1933 dan menuduhnya sebagai perbuatan komunis, kemudian menyalahkan dan menghabiskan anggota komunis Jerman, atau seperti George Bush yang meyerang dan menghancurkan Irak yang diduga punya senjata pembunuh massal yang kemudian terbukti bahwa senjata pembunuh massal itu tidak pernah ada, namun Irak sudah porak poranda.

KabarIndonesia - Jumlah orang-orang yang ditahan Soeharto dalam kamp-kamp tahanan yang tersebar di segenap pelosok tanah air, selama belasan tahun dan kemudian dilepas bagai melepas ayam dari kandang, banyak sekali. Dan pemerintah tidak ambil peduli dengan segala derita dan kehancuran mereka, baik jasmani maupun rohani, baik ekonomi maupun keluarga. Bahkan banyak peraturan-peraturan pemerintah militer yang mengharuskan melacak, mengawasi mereka ke mana pergi.

Sebagai contoh: Seorang siswa SMEA di Makassar, AA, ditangkap tanggal 5 Okt 1965, ditahan dan dibebaskan dari tahanan Kamp Moncong Loe, Sulawesi Selatan, tanggal 20 Des 1977 (setelah meringkuk selama 12 tahun), mengirim surat mengadukan nasibnya kepada Presiden SBY.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia dengan alamat PO BOX-SMS 9949 tanggal 19 Januari 2007 mengirim surat balasan yang ditandatangani oleh Sardan Marbun dari Staf Khusus Presiden Selaku Pengelola PO Box 9949, dengan tembusan kepada Presiden RI.

Dalam balasannya itu dikatakannya antara lain bahwa: Masalah G. 30 S/PKI adalah masalah lalu, yang proses penyelesaiannya dilaksanakan sesuai kebijakan pada periode yang sama.

Kita bisa melihat bagaimana pemerintah mencoba berlepas tangan dengan memberikan jawaban seperti itu. Jawaban serupa itu hanya menunjukkan ketidak becusan pemerintah serta masih tunduk dan mengikut cara dan pola berpikir orde baru dan tidak peduli dengan rakyat dan menganggap apa yang dilakukan orde baru sebagai benar. Kemana rakyat mesti mengadu, meminta perlindungan dan keadilan? Dimana janji SBY yang hendak merehabilitasi para eks tahanan politik Soeharto? Semua omong kosong!

Karena inilah mereka, para korban yang diabaikan pemerintah itu berdasarkan hukum dan peraturan yang ada dan berlaku mencari perlindungan dalam organisasi-organisasi sesama mereka yang legal, yang diizinkan pemerintah, seperti YPKP, PAKORBA dan LPR KROB (Lembaga Perjuangan Rezim Korban Rezim Orde Baru) yang kiranya dapat memperjuangkan dan melindungi nasib mereka dan agar supaya pemerintah melek, membuka mata terhadap penderitaan mereka.

Kalaupun YKPP (Yayasan yang didirikan oleh alm. Pramudya Ananta Toer serta 6 orang teman lainnya pada tahun 1999) dan Pakorba mengadakan rapat, mereka adalah membicarakan tentang korban-korban Soeharto/Orde baru yang berserakan di segenap pelosok tanah air, dan menyusun daftar korban dari seluruh Indonesia yang tak terhitung jumlahnya, yang sebagian telah diserahkan kepada Komnas HAM untuk diketahui oleh DPR dan Pemerintah Indonesia.

Dan jutaan mereka yang menjadi korban kekejaman Soeharto/orde baru/AD, melalui yayasan, melalui organisasi mereka, menuntut rehabilitasi, menuntut rekonsiliasi, menuntut pemulihan hak sebagai manusia dalam bumi nusantara. (Sekitar seribu lebih daftar nama korban pembunuhan massal di daerah-daerah serta perkosaan 65/66 di Sumatera Utara, oleh rezim Soeharto/orde baru pernah disiarkan dalam milis temu_eropah. Silahkan menelusurinya).

Namun, masih ada juga beberapa orang aparat keamanan yang melakukan teror dan intimidasi dengan membubarkan rapat para pimpinan YKPP yang hanya dihadiri oleh 5 orang, dengan alasan yang dicari-cari. (silahkan lihat berita Hoki/Opini berjudul: " Teror Masyarakat oleh Oknum Aparat Kepolisian" tanggal 10/2/09)

Si penulis artikel dalam Hoki yang mengatakan dan menuduh dengan gegabah bahwa Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65-66 dan PAKORBA melaksanakan rapat di Tangerang baru-baru ini , antara lain adalah membahas untuk "Menolak Pancasila sebagai dasar Negara.".

Nauzzubillah..........! Bagaimana mungkin seorang cerdik pandai bisa berbicara dan menulis "berita" dengan menipu dan membodohi rakyat seperti itu? Rakyat Indonesia mengetahui dan menyadari, bahwa PANCASILA ADALAH KIRI. (lihat kutipan pidato Bung Karno diatas/tulisan bagian 1). Nah, kalau Pancasila memang sudah kiri, mengapa mesti ditolak atau diganti? Tidak ada manusia atau organisasi yang cinta Bung Karno dan Indonesia mau mengganti Pancasila! Yang penting adalah MEMPERTAHANKAN PANCASILA sebagai dasar Negara dan falsafah bangsa, karena sekarang ini ada golongan yang kasak kusuk ingin merobah dasar Negara. supaya berdasarkan agama. Bukankah begitu?
Kalau kita mau ngaca dan belajar sejarah, maka pada tahun 1956/1957, golongan agama di DPR/Konstutante berusaha keras agar Dasar Negara, Pancasila, diganti, ditukar dengan falsafah agama. Namun, saat itu, justru PKI dan PNI yang mati-matian mempertahankan Pancasila sebagai Dasar Negara. Jadi, sejak semula, PKI mempertahankan Pancasila dan berdiri dibelakang penggali Pancasila Bung Karno. Ini sejarah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah!
Semenjak menjadi presiden RI tahun 2004, SBY telah berjanji untuk merehabilitasi para tapol yang dibuang ke pulau Buru dan tapol lainnya (Suara Pembaruan tanggal 17 Maret 2005). Namun, sampai mereka semua itu, (yang bisa keluar dari tahanan dalam keadaan masih hidup), pada mati satu persatu, (contohnya, Pramudya Ananta Toer), rehabilitasi itu tidak kunjung tiba. Hanya janji dan nyanyi "Tinggi gunung seribu janji, lain di mulut lain di hati!" Janji SBY hilang bersama angin lalu. Bahkan mendendangkan lagu baru: "Membicarakan G30S sebagai tidak produktif...." (MyRMNews, 1 Okt. 2006)..
Karenanya, tak heran kalau saat ini masih ada perwira Intel AD, Asisten Intelijen Kasdam 1/Bukit Barisan, kolonel (Inf) Arminson yang barangkali masih tidur dan mimpi (atau lebih tepat barangkali disebut ‘nglindur, mengigau') seolah-olah masih berada di jaman Soeharto, yang tanpa memikirkan Kemanusiaan, Deklarasi HAM, Pancasila dan UUD Republik Indonesia, bernyanyi dan bersuara "Waspadai anak-anak PKI". (Harian Duta Masyarakat 18 Januari 2009)

Beliau lupa pada sejarah, atau barangkali tidak tahu, bahwa jaman dulupun banyak anak-anak orang PKI yang menjadi penganut partai lain seperti PNI, Perti, NU bahkan Masyumi! Bahkan ada yang bapaknya PKI anaknya GPII/Masyumi. Ucapan Perwira AD itu hanya menunjukkan, betapa parahnya beliau dicekoki dengan doktrin dan rekayasa licik Soeharto, yang telah menjadi kanker dalam darahnya hingga begitu takut akan PKI., seperti melihat hantu di siang bolong. Kasihan!

Kalau kita mau melihat kebelakang, seruan Perwira Intel AD itu adalah merupakan penerusan, kelanjutan dari doktrin militer yang statis dan phobi, mengikut hukum dan ketentuan yang diciptakan oleh Soeharto, Amir Mahmud, Soedomo dan sebagainya, yang mengatakan "pelaksanaan pengawasan selanjutnya" terhadap bekas tapol adalah menggunakan JUKLAK PANGKOPKAMTIB No.: JUKLAK-04/KOPKAM/II/-1974 tanggal 21 Pebruari 1974".

Contoh yang bisa kita lihat adalah menjelang pemilihan umum tahun 2004, Komandan Kodim 0207/Simalungun, Letkol. Inf. Marwan Saragih, memerintahkan kepada Koramil "harus bekerja keras mendata eks. PKI. Jika memang masih ada ditemukan eks anggota PKI diwilayah Koramil 02/ST, Danramil harus benar-benar menguasai alamat mereka yang pasti. Pekerjaan mencari data-data yang lengkap tentang eks PKI bukanlah pekerjaan main-main dan tidak bisa ditawar-tawar, untuk itu Koramil 02/ST diminta benar-benar serius. Jika memang eks. Anggota PKI sudah meninggal, Danramil harus memiliki data lengkap di mana kuburannya dan jika memang masih hidup di mana alamatnya yang jelas" (Harian Sinar Indonesia Baru Medan, 17 Januari 2004).

Masya Allah........kepada PKI yang matipun masih ketakutan hingga mesti didata kuburannya! Sayang sekali Komandan Kodim itu tidak memerintahkan mencari dan menyelidiki kuburan massal orang-orang komunis yang meraka bantai tahun 65/66, perempuan-perempuan yang mereka perkosa beramai-ramai kemudian dibunuh!.

Dan kini, menjelang Pemilihan Umum 2009, Perwira Intel AD, Asisten Intelijen Kasdam 1/Bukit Barisan itu bersuara agar mewaspadai anak-anak PKI. Jadi nampak bahwa pihak militer Indonesia belum ada kemajuan dalam cara berpikirnya. Belum berubah, masih berada ditakuk pemikiran ‘mbahnya' (fasis Soeharto). Masih menggunakan iklan "bahaya komunis" sebagi iklan yang murah. Barangkali, menjelang pemilihan umum tahun 2014 nanti (5 tahun lagi) mungkin mereka akan berteriak: "Waspadai cucu-cucu PKI".

Seruan untuk me "Waspadai anak-anak PKI" dan menyelidiki semua anak-anak PKI dan meneliti silsilahnya, "udek-udek gantung siwur canggah wareng" mengikut bahasa Jawa, adalah suatu penipuan untuk mengalihkan pandangan masyarakat terhadap pejabat pemerintahan baik sipil maupun militer yang tidak becus memperbaiki ekonomi bangsa, koruptor, salah urus dan tidak bisa mengatasi penderitaan dan kesengsaraan dan kelaparan rakyat yang makin menjadi-jadi dan segala macam kerusakan bangsa yang diwariskan oleh rezim Soeharto. Karena tidak becus memperbaiki dan mensejahterakan rakyat, sekali lagi mereka menjadikan komunis sebagai pelarian dan kambing hitam.

Semenjak zaman Soeharto, selama 32 tahun (bahkan sampai sekarang!) pengikut-pengikut Soeharto melukiskan dengan berbagai cara, merekayasa dan memaksakan pembentukan pendapat umum mengenai kebengisan, kelicikan dan kebiadaban PKI, mengingkari kemanusiaan orang komunis, penggambaran mereka sebagai mahkluk kejam, asusila dan ateis. Penyalah gunaan rasa keagamaan untuk menghasut, dan menanam kebencian terhadap komunis. Tidak jarang komunis disebut tidak bertuhan, ateis, malah musuh Tuhan. (Wiyanto Rahman SH dalam Sarasehan Leuven Belgia: Peristiwa G30S Dalam Tinjauan Ulang, http://arus.kerjabudaya.org/htm/ 1965_Seminar_Leuven.htm)

"Orang komunis digambarkan sebagai manusia setan yang paling jahat dari yang jahat, sehingga sah untuk diapakan saja, disembelih, dicincang, diperkosa, ditusuk kemaluannya atau duburnya sampai tembus kemulut dan dipanggang seperti sate, dipancung didepan anak istrinya, dimasukkan karung hidup-hidup dan dilempar ke sungai, dst, tanpa ada rasa bersalah dan berdosa, dipenggal lehernya dan kepalanya ditancapkan diatas bambu dan dipajang di simpang-simpang dan sepanjang jalan, sedang tubuhnya dibuang ke sungai-sungai agar tidak mengkontaminasi bumi Aceh dan Sumatera Utara.. (http://www.americanfreepress.net/) Semua standar ganda kemanusiaan yang ditanamkan rezim militer Orba meracuni jutaan orang Indonesia sampai saat ini, suatu kejahatan sejarah dan kejahatan besar kemanusiaan.

Adanya ucapan bahwa harus diusahakan supaya "anak-anak PKI tidak mengulangi sejarah gelap bangsa indonesia" dan "harus ada upaya sistematis dari semua komponen bangsa agar anak-anak PKI tidak bisa menyusup masuk birokrasi, apalagi sampai menjadi pejabat" mencerminkan bahwa fikiran jahat dan busuk yang berlandaskan nalar yang tidak waras masih tetap merajalela di kalangan pimpinan militer pendukung Soeharto. Ucapan semacam ini jelas-jemelas merupakan kecerobohan atau kesesatan cara berfikir yang secara gebyah-uyah menggolongkan semua anak-anak PKI sebagai orang-orang yang perlu disisihkan, atau dikucilkan, atau diperlakukan tidak adil. Menganggap bahwa semua anak-anak PKI adalah orang-orang tidak baik yang perlu diwaspadai atau dicurigai mencerminkan sikap yang gegabah (dan dungu !) serta nalar yang tidak waras (untuk tidak menggunakan kata-kata "gila") Sebab, apakah mentang-mentang anak-anak PKI maka mereka harus mendapat perlakuan sewenang-wenang, atau harus tidak dianggap sebagai warganegara RI yang biasa, atau tidak sebagai manusia seperti lainnya?

Perlu direnungkan oleh kita semua (terutama oleh kalangan pimpinan militer) bahwa sama sekali bukanlah kesalahan mereka bahwa sudah dilahirkan sebagai anak-anak PKI. Mereka tidak bisa memilih sendiri siapakah sebaiknya orang tua mereka. Dan, karenanya, juga bukanlah merupakan "dosa" mereka (harap perhatikan tanda kutip pada kata ini) bahwa orang tua mereka dulunya menjadi anggota atau simpatisan PKI. (Kalau mereka bisa memilih sendiri, barangkali mereka akan memilih Asisten Intelijen Kasdam 1/Bukit Barisan, kolonel (Inf) Arminson sebagai ayahnya, agar beliau ini nggak repot-repot mewaspadai "anak-anaknya" yang puluhan juta jumlahnya!-pen)

Dalam kaitan ini patut dicatat bahwa menurut keterangan berbagai sumber sejarah, jumlah anggota PKI (dalam 1965) ada sekitar 3 juta, sedangkan simpatisan atau pengikutnya yang tergabung dalam berbagai macam ormas (buruh, tani, nelayan, pegawai negeri, pemuda, mahasiswa,wanita, intelektual dll) ditaksir sekitar 20 juta. Karena itu, bisalah kiranya kita perkirakan bahwa jumlah anak-anak PKI itu besar sekali dan tersebar di seluruh Indonesia. (Nah, kalau korban Soeharto yang dituduh PKI yang berjumlah 20 juta itu, setiap orangnya punya anak 2 atau 3, dan mereka beranak pula, nah, selama lebih 40 tahun, berapa puluh juta "anak-anak" PKI yang mesti diwaspadai oleh Asisten Intelijen Kasdam 1/Bukit Barisan, kolonel (Inf) Arminson?-pen)

Anak-anak PKI adalah manusia biasa dan juga warganegara RI. Jadi, dari sudut ini nyatalah bahwa "seruan" pimpinan militer untuk mewaspadai anak-anak PKI, adalah pandangan yang sesat dan tujuan yang sama sekali tidak menguntungkan persatuan rakyat dan juga tidak memupuk rekonsiliasi nasional. Seruan pimpinan militer yang demikian ini hanyalah memperpanjang kesalahan atau kejahatan rejim militer Soeharto dan memperbesar dosa-dosanya yang sudah bertumpuk-tumpuk selama puluhan tahun.Dengan sikap yang memusuhi anak-anak PKI yang jumlahnya tidak sedikit itu, pimpinan militer (terutama TNI AD) melestarikan dendam yang sudah berlangsung selama lebih dari 40 tahun dan bahkan mengkobarkannya terus di kalangan generasi muda dewasa ini dan juga generasi yang akan datang. Anak-anak PKI itu adalah warganegara RI dan juga manusia biasa, yang mempunyai hak-hak fundamental, seperti yang lainnya. Karenanya, adalah hak mereka yang sah, dan kewajiban mereka yang mulia untuk melawan atau berontak terhadap perlakuan yang tidak adil yang dikenakan terhadap mereka.

Sebagian terbesar anak-anak PKI (yang jumlah pastinya sulit ditaksir) sejak kecil sampai dewasa telah hidup dalam macm-macam penderitaan yang berbeda-beda kadarnya , sebagai akibat dibunuhnya ayah atau ibu mereka atau dipecati dari pekerjaan dan ditahan secara sewenang-wenang. Dari segi ini saja sudah kelewat besar dosa pimpinan militer, karena menyiksa begitu banyak anak-anak yang tidak bersalah apa pun dan dalam jangka waktu yang sangat lama pula. Sekarang, dengan seruan "waspadailah anak-anak PKI", berarti bahwa perlakuan tidak adil (bahkan sering tidak manusiawi) terhadap anak-anak PKI ini akan ditrapkan sepanjang hidup mereka !!! (Dari catatan A.Umar Said/ http://kontak.club.fr/index.htm)

Sungguh, mereka-mereka itu telah dibutakan matanya. Seperti kintel yang ketika musim hujan bernyanyi dengan satu lagu yang sama "awas komunis, waspadai anak-anak PKI". Mereka tunduk dan membebek kepada rekayasa dan cara-cara licik Soeharto yang hanya dengan cara demikian bisa naik ketampuk atas, setelah terlebih dulu menghancurkan PKI melalui fitnah dan rekayasa, kemudian mempreteli dan melenyapkan Bung Karno. Mereka tidak bisa dan tidak mau melihat kebenaran sejarah, seperti yang diungkapkan oleh Bung Karno bahwa PKI sangat besar jasanya terhadap kemerdekaan bangsa kita ini.

Sebagai penutup tulisan ini, kita kutip sebagian kecil Amanat Presiden RI Bung Karno di depan rapat umum Front Nasional di Istora Senayan Jakarta, tanggal 13 Februari 1966, (beberapa bulan setelah G30S) sebagai berikut:

"Kita punya kemerdekaan sekarang ini, Saudara-saudara, hasil daripada keringat dan darah, ya Nas, ya A, ya Kom. Jangan ada satu golongan berkata, ooh, ini kemerdekaan hanya hasil perjuangan kami Nas saja. Jangan ada satu golongan berkata, ooh, ini kemerdekaan adalah hasil daripada perjuangan-perjuangan kami A saja. Jangan pula ada golongan yang berkata, kemerdekaan ini adalah hasil daripada perjuangan kami, golongan Kom saja"

"Tidak . Sejak aku masih muda belia, Saudara-saudara, aku melihat bahwa golongan-golongan ini semuanya, semuanya membanting tulang, berjuang, bahkan berkorban untuk kemerdekaan Indonesia. Saya sendiri adalah Nas, tapi aku, demi Allah, tidak akan berkata kemerdekaan ini hanya hasil dari pada perjuangan Nas. Aku pun orang agama, bisa dimasukkan dalam golonban A, ya pak Saifuddin Zuhri, saya ini ? Malahan, saya ini oleh dunia Islam internasional diproklamir menjadi Pahlawan Islam dan Kemerdekaan. Tetapi demi Allah, demi Allah, demi Allah SWT, tidak akan saya berkata bahwa perjuangan kita ini, hasil perjuangan kita, kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan daripada A saja."

"Demikian pula aku tidak akan mau menutup mata bahwa golongan Kom, masya Allah, Saudara-saudara, urunannya, sumbangannya, bahkan korbannya untuk kemerdekaan bukan main besarnya. Bukan main besarnya !"

"Karena itu, kadang-kadang sebagai Kepala Negara saya bisa akui, kalau ada orang berkata, Kom itu tidak ada jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, aku telah berkata pula berulang-ulang, malahan di hadapan partai-partai yang lain, di hadapan parpol yang lain, dan aku berkata, barangkali di antara semua parpol-parpol, di antara semua parpol-parpol, ya baik dari Nas maupun dari A tidak ada yang telah begitu besar korbannya untuk kemerdekaan Indonesia daripada golongan Kom ini, katakanlah PKI, Saudara-saudara".

"Saya pernah mengalami. Saya sendiri lho mengalami, Saudara-saudara, mengantar 2000 pemimpin PKI dikirim oleh Belanda ke Boven Digul. Hayo, partai lain mana ada sampai ada 2000 pimpinannya sekaligus diinternir, tidak ada. Saya pernah sendiri mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri, pada satu saat 10 000 pimpinan daripada PKI dimasukkan di dalam penjara. Dan menderita dan meringkuk di dalam penjara yang bertahun-tahun".

"Saya tanya, ya tanya dengan terang-terangan, mana ada parpol lain, bahkan bukan parpolku, aku pemimpin PNI, ya aku dipenjarakan, ya diasingkan, tetapi PNI pun tidak sebesar itu sumbangannya kepada kemerdekaan Indonesia daripada apa yang telah dibuktikan oleh PKI. Ini harus saya katakan dengan tegas."

"Kita harus adil, Saudara-saudara, adil, adil, adil, sekali adil. Aku, aku sendiri menerima surat, kataku beberapa kali di dalam pidato, surat daripada pimpinan PKI yang hendak keesokan harinya digantung mati oleh Belanda, yaitu di Ciamis. Ya, dengan cara rahasia mereka itu, empat orang mengirim surat kepada saya, keesokan harinya akan digantung di Ciamis. Mengirim surat kepada saya bunyinya apa ? Bung Karno, besok pagi kami akan dihukum di tiang penggantungan. Tapi kami akan jalani hukuman itu dengan ikhlas, oleh karena kami berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Kami berpesan kepada Bung Karno, lanjutkan perjuangan kami ini, yaitu perjuangan mengejar kemerdekaan Indonesia".

"Coba; coba, coba, coba ! Lha kok ada sekarang ini golongan-golongan yang berkata bahwa komunis atau PKI tidak ada jasa di dalam kemerdekaan Indonesia ini. Sama sekali tidak benar ! Aku bisa menyaksikan bahwa di antara parpol-parpol malahan mereka itu yang telah berjuang dan berkorban paling besar."
("Revolusi belum selesai", Editor :Budi Setiyono dan Bonnie Triyana, Penerbit Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (MESIASS), Semarang. Cuplikan diatas diambil dari tulisan A. Umar Said, http://kontak.club.fr./index.htm, yang berjudul: Bung Karno: "Sumbangan dan pengorbanan PKI besar sekali!") ***

“SAYA KORBAN SALAH TANGKAP”

| | | 0 komentar
Kesaksian Sumilah, Wanita Korban Geger Komunis 1965:


Meskipun tampak tegar dan ceria, dera siksa puluhan tahun tetap menggetar dari relung hati Sumilah. Demikianlah kesan pertama bertemu dengan wanita korban geger komunis 1965 itu. Penderitaannya di masa lalu, kini telah menjadi kebanggaan tersendiri yang mengangkangi segala kemunafikan sejarah bangsa ini.



POSMO EXCLUSIVE-Berbekal sebuah alamat yang diberikan oleh Syarikat Indonesia, posmo exclusive bertandang ke sebuah rumah wanita korban geger komunis 1965 di kabupaten Kulonprogo, Jogjakarta. Apa yang terungkap dari wanita bernama Sumilah ini, sungguh menunjukkan sisi gelap bangsa Indonesia kala itu. Sumilah ketika itu, telah berusia 25 tahun dan bekerja sebagai guru di SDN Kalasan III, Prambanan, Sleman, Jogjakarta. Kepada posmo exclusive, Sumilah berkenan kembali menceritakan pengalamannya hidup di era tahun 1960-an yang penuh tragedi itu.

Pada sekitar tahun 1960-1965-an, Sumilah adalah seorang gadis belia penuh cita-cita dan vitalitas. Seorang pengagum Bung Karno. Saat ini pun Sumilah mengaku masih mengidolakan presiden pertama RI itu. Sumilah sungguh kagum terhadap Bung Karno karena mampu menggugah semangat rakyat Indonesia untuk bangkit dan menjadi cerdas. “Sampai saat ini, belum ada tokoh sehebat Bung Karno itu”, ujarnya kepada posmo exclusive, bangga.

Berangkat dari kekaguman itu, Sumilah yang tamatan Sekolah Guru Bantu (SGP) mengajar di sebuah SDN Kalasan III. SGP, jelas Sumilah, adalah pendidikan setingkat SLTP ditambah pendidikan guru selama setahun. Dengan ijazahnya itu, Sumilah menjadi Guru Bantu sambil mengikuti Kursus Guru A (KG A) di Bogem. Pada tahun 1963, Sumilah lulus ujian persamaan. Kelulusan ini diperlukan untuk menjadi guru sekolah dasar negeri.

Niat Sumilah menjadi guru itu terdorong ingin mencerdaskan bangsa seperti diletupkan dalam berbagai pidato Bung Karno. Saat itu, Sumilah juga sudah aktif dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ketika PGRI itu pecah menjadi dua, PGRI Vak Sentral dan PGRI Non Vak Sentral, Sumilah ikut PGRI Non Vak Sentral. Perpecahan ini tentu tidak lepas dari dinamika politik tanah air yang sedang giat membangun negeri pasca perang kemerdekaan. Demikian pula dengan Sumilah. Semangatnya menggebu untuk terus memajukan diri dan bangsanya.

Lalu bersama kawan-kawan seusia, Sumilah sekolah lagi di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Kotabaru, Jogjakarta. Dari Kalasan, Prambanan, Sleman, Sumilah dan kawan-kawan bersepeda penuh keceriaan menuntut ilmu ke Kotabaru Jogjakarta. Di sela kesibukannya mengajar dan sekolah, bersama-sama kawan pula Sumilah masih menyempatkan diri menjadi tenaga pengajar kelas sore untuk Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Sungguh ketika itu, Sumilah adalah gadis penuh vitalitas dan pengabdian. Perawan dengan masa depan cerah. Hanya saja ketika itu, Sumilah belum punya pacar.



Geger PKI

Sumilah, gadis cerdas asal Kulonprogo itu tak pernah menyangka. Masa mudanya yang sebegitu indah dan penuh harapan, akhirnya terhempas. Belum sempat lulus dari FKIP PGRI jurusan Sejarah Antropologi, Sumilah mendadak ditangkap. Saat itu, tahun 1965, Sumilah tepat berusia 25 tahun. Manakala terdengar kabar pembunuhan enam jendral dan satu perwira di Jakarta pada dini hari 1 Oktober 1965, situasi menjadi tidak menentu.

Di Jogjakarta, menurut Sumilah, kabar yang terdengar sangat simpang-siur. Disebutkan PKI terlibat dalam pembunuhan para jendral itu. Padahal, menurutnya, saat itu PKI adalah partai yang legal. Kesimpang-siuran kabar terjadinya pembunuhan para petinggi militer di Jakarta itu menimbulkan ketegangan dan ketakutan. Tetapi, Sumilah muda saat itu tak peduli dan menganggapnya hanya persoalan politik di tingkat pusat, Jakarta. Terlebih, Sumilah sama sekali tidak memiliki kepentingan dengan dunia politik. Sumilah hanya ingin mengejar cita-cita. Membangun negeri dengan menjadi guru. Tetapi, niatan tulus itu terbantahkan oleh realitas sadis yang merenggut semua masa depannya.

Tanpa sepengetahuan Sumilah, seluruh guru yang aktif di PGRI Non Vak Sentral ditangkap. Sumilah sendiri tertangkap paling akhir. Itu pun baru disadarinya ketika bertemu dengan kawan-kawan seprofesi ketika berada di penjara. Sumilah menuturkan, pada suatu siang ketika sedang mengajar di kelas 6 SD, dua orang pria berpakaian serba putih dan berpeci putih mendatanginya. Dua orang itu memberikan surat, sambil menyuruh Sumilah untuk segera datang ke Kantor Polsek Kalasan. Saat itu juga, Sumilah meluncur ke Polsek Kalasan masih dengan seragam mengajarnya.

Ketika tiba di Kantor Polsek Kalasan, Sumilah dibiarkan duduk menunggu sampai sore. Sedikit pun tak ada pemberitahuan mengapa dirinya dipanggil dan dibiarkan saja menunggu. Secara kebetulan seorang muridnya, Harjanti, terlihat melintas di Kantor Polsek itu. Sumilah meminta tolong untuk dibawakan baju ganti. Belakangan kemudian Sumilah tahu, saat itu ternyata di dalam penjara Polsek Kalasan sudah penuh dengan tahanan laki-laki. Sumilah ditawan di ruang tunggu karena hanya ia seorang yang wanita.

Selama sehari semalam, Sumilah dibiarkan berada di Polsek Kalasan. Pada pagi, saat Sumilah hendak mencuci muka, seorang sipir mengawalnya dengan menodongkan bedil. “Saat itu pun saya belum mengerti, mengapa saya diperlakukan begitu”, kenang Sumilah.

Sesudah sehari semalam di Polsek Kalasan, Sumilah bersama puluhan tahanan pria diangkut dengan truk menuju Gedung Jeverson di utara Tugu Jogjakarta. Saat itulah, Sumilah mengetahui ternyata kawan-kawannya mengajar sudah lebih dulu ada di Gedung Jeverson. Sesudah dipindahkan ke Gedung Jeverson, bersama puluhan tahanan lain Sumilah dipindahkan lagi ke LP Wirogunan, Jogjakarta. Di LP itulah kemudian Sumilah dipenjarakan selama 4 tahun.

Belakangan Sumilah mengetahui, aktifitasnya di PGRI Non Vak Sentral dan semangatnya mengajar dalam program Pemberantasan Buta Huruf dianggap sebagai kegiatan di bawah naungan GERWANI alias PKI. “Semua anggota PGRI Non Vak Sentral ditangkap dan dianggap onderbow GERWANI/PKI”, terang Sumilah.



Salah Tangkap

Tamatlah sudah masa muda Sumilah. Tetapi, Sumilah masih memiliki kesaksian lain berupa kasus salah tangkap yang terkait dengannya. Ketika itu di LP Wirogunan, pada sekitar 1967-1968, seluruh tahanan masih dalam proses introgasi. Saat itu, introgasi dilakukan di Gedung Jeverson, dengan Jaksa Militer (Mahmilub) dan Jaksa Sipil. Sumilah mengaku sangat beruntung, dirinya diperiksa oleh seorang Jaska Sipil bernama Hadi Sasongko, SH. Jika diperiksa oleh Jaksa Militer, menurut Sumilah, pemeriksaan selalu dengan penyiksaan, dilecehkan dan diperkosa.

Ketika diperiksa, Sumilah kukuh menjawab pertanyaan Jaksa dengan jawaban tidak. “Pokoknya, semua pertanyaan mengarah pada apakah saya PKI, GERWANI dan terlibat dalam pesta harum bunga atau mencungkil mata para jendral yang dibunuh di Jakarta itu. Saya selalu menjawab, tidak”, terang Sumilah.

Dari Jaksa Sipil yang baik hati itu, Sumilah mengetahui dalam kelompok tahanannya ada seorang wanita dari Madukismo-Bantul yang sengaja disusupkan sebagai mata-mata.”Wanita itu bernama Nurgianti. Di dalam penjara, Nurgianti selalu mengaku-aku sebagai pelaku pesta harum bunga di Lubang Buaya dan mencungkil mata para jendral”, kata Sumilah, yang kemudian saat itu meyakini, Nurgianti adalah mata-mata. Apa lagi, setiap malam Nurgianti selalu ‘dibon’ oleh para sipir. “Dibawa ke lantai atas. Ya, pasti diperkosa”, kata Sumilah.

Sesudah selesai semua proses pemeriksaan, Sumilah dikembalikan lagi ke LP Wirogunan. “Dalam catatan pemeriksaan saya, ditulis kata MERAGUKAN. Artinya, saya tidak terbukti terlibat dalam peristiwa apa pun yang menyangkut G 30 S”, terang Sumilah.

Tetapi, setelah dikembalikan lagi ke LP Wirogunan, masih ada proses pemeriksaan lagi untuk membuat pengelompokan tahanan berdasarkan berat-ringannya hukuman. “Ketika saya dipanggil lagi, saya katakan Sumilah itu ada dua. Sumilah dari Kulonprogo atau Sumilah yang lain dari Prambanan. Lalu seorang sipir tidak jadi memanggil saya dan memanggil Sumilah dari Prambanan yang ketika itu masih berusia 14 tahun. Dari pemeriksaannya, Sumilah dari Prambanan itu mengaku terlibat karena takut dengan ancaman para interogator. Akhirnya, saya selamat dan dimasukkan di LP Wirogunan di kelas C. Sedangkan Sumilah dari Prambanan dibawa ke penjara khusus wanita di Plantungan, Semarang”, beber Sumilah.

Sumilah dari Prambanan, menurut Sumilah dari Kulonprogo, ditangkap karena sering menari dan menyanyi genjer-genjer di kelurahan. “Sumilah-Prambanan dan Sumilah saya dari Kulonprogo, sama-sama tidak tahu apa-apa. Tapi, nasib saya masih agak beruntung”, jelas Sumilah.

Sumilah Kulonrpogo, keluar dari LP Wirogunan pada tahun1970, ketika ada pembelaan HAM Internasional. Tiga tahun kemudian, Sumilah baru bisa menikah dan kini memiliki dua putra. Sayang, sang suami lebih dulu menghadap pada Sang Pencipta, membuat Sumilah menjadi orangtua tunggal dengan beban stigma buruk komunis yang dituduhkan tanpa bukti. Sejak keluar dari penjara itu, Sumilah tinggal di desa kelahirannya, Kulonprogo. Berpasrah diri menjadi petani, karena tak mungkin lagi menjadi guru seperti dulu.

Jika mengingat kembali kisah Soekardjo Wilardjito, pada tahun 1970-an, seluruh tapol memang banyak yang dibebaskan sebagai syarat permintaan hutang Soeharto kepada Amerika. Sumilah bebas dengan syarat harus melapor setiap hari Kamis ke KORAMIL setempat. Kewajiban melaporkan diri atau apel ini baru berakhir ketika Soeharto lengser dari kursi kepresidenan.

“Sejak Soeharto lengser itu, KTP saya juga sudah tidak diberi tanda ET. Tapi, hak-hak saya belum kembali. Semua upaya yang saya lakukan bersama sejumlah LSM, berhenti di tengah jalan. Saya mohon, pemerintah memperhatikan nasib Sumilah-Sumilah yang lain itu”, ujar Sumilah mewanti-wanti.

sumber : derapkaki.multiply.com

PERISTIWA TANJUNG PRIOK

| | | 1 komentar
Kronologi Peristiwa Tanjung Priok
Versi Abdul Qadir Djaelani

Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.

Sabtu, 8 September 1984

Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa'adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.

Ahad, 9 September 1984

Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa'adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.

Senin, 10 September 1984

Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa'adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima.

Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa'adah.

Selasa, 11 September 1984

Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

Rabu, 12 September 1984

Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa'adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, "Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya." Selanjutnya, Amir Biki berkata, "Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita)." Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.

Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, "Mundur-mundur!" Teriakan "mundur-mundur" itu disambut oleh jamaah dengan pekik, "Allahu Akbar! Allahu Akbar!" Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, "Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!" Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.

Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.

Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.

Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih.

Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).

Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.

Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.

Sumber: Buku Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data, Yogyakarta: Gema Insani Press.

WIJI THUKUL

| | | 0 komentar
Y. B. Mangunwijaya, dalam sebuah pertemuan di Solo (30/10/1984), mengungkapkan kerinduannya akan tampilnya ‘Splendor Veritatis’ (Lat. Splendor kecemerlangan atau cahaya; Veritas kebenaran). Splendor Veritatis atau Cahaya Kebenaran adalah orang yang mampu memberikan sumbangannya yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan pemanusiawian dirinya.
Orang-orang dengan fungsi dan daya Splendor Veritatis semacam ini sesungguhnya ada, akan tetapi mereka lebih cenderung bersembunyi di balik ritualitas simbolik. Mereka antara lain seniman dan ilmuwan di perguruan tinggi. Seniman bersembunyi di balik slogan “resi di atas angin,” dan ilmuwan “di dalam menara gading”. Keduanya tidak banyak mempedulikan keretakan diri manusia yang mengalami krisis dalam skala global, yang kini sudah dalam stadium parah.
Harapan YB Mangunwijaya itu barangkali sudah terwujud dalam diri penyair muda Wiji Thukul (1963 – …). Wiji Thukul muncul dengan prinsip kreativitas puitik yang tegas: menyuarakan kenyataan yang keras dan menekan dalam kehidupan nyata. Seperti yang diharapkan Mangunwijaya, estetika untuk penikmatan pancaindra ataupun intelektual bagi Wiji Thukul bukanlah hal yang utama. Hal yang utama justru adalah penjaminan eksistensial dalam pergulatan to be or not to be. Seperti “Rumah Jawa,” kata Mangunwijaya memberikan analogi, bukan soal teknis-pragmatis, melainkan merupakan sumber energi kehidupan.
Tulisan ini bermaksud mengemukakan sebuah kajian awal tentang Wiji Thukul, khususnya mengenai visi dan sikap kreatif baru yang secara sadar dimiliki penyair ini. Wiji Thukul adalah seorang penyair yang punya warna tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia modern. Dia kini banyak menyita perhatian pengamat sastra Indonesia, bukan hanya karena penyair ini “menghilang secara misterius” pada saat-saat tumbangnya rezim Orde baru, melainkan juga karena dia menawarkan sebuah visi dan sikap kreatif baru. Kehadiran Wiji Thukul tampaknya memberi warna tersendiri dalam bidang puisi Indonesia mutakhir.
Untuk itu, akan dikemukakan latar belakang kehidupan penyair, tema-tema yang menonjol dalam puisi-puisinya, dan akhirnya saya akan memberikan sebuah catatan tentang visi dan sikap kreatif baru yang ditawarkan Wiji Thukul.


BIOGRAFI
Wiji Thukul lahir 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, yang mayoritas penduduknya tukang becak dan buruh. Dia sendiri datang dari keluarga tukang becak. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara dia berhasil menamatkan SMP (1979), masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) jurusan tari, tetapi tidak tamat (1982).
Wiji Thukul selanjutnya berjualan koran, kemudian oleh tetangganya dia diajak bekerja di sebuah perusahan mebel antik sebagai tukang pelitur. Pada waktu bekerja sebagai tukang pelitur itu dia dikenal sebagai penyair pelo (cadel) yang sering mendeklamasikan puisinya untuk teman-teman sekerjanya.
Wiji Thukul menulis puisi sejak masih duduk di bangku SD. Dia mulai tertarik pada teater ketika SMP. Dia bergabung dalam kelompok teater JAGAT (Jagalan Tengah). Bersama kelompok ini dia pernah keluar masuk kampung ngamen puisi dengan iringan berbagai instrumen musik: rebana, gong, suling, kentongan, gitar, dsbnya. Tiga bulan menjadi wartawan Masa Kini.
Istrinya Sipon bekerja sebagai tukang jahit. Wiji Thukul juga membantu istrinya dengan menerima pesanan sablonan kaos, tas, dll. Dia memiliki dua orang anak: Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Prestasi tertinggi di bidang sastra: dia menerima WERTHEIM ENCOURAGE AWARD (1991) dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda bersama WS Rendra.
Sejak Peristiwa 27 Juli 1996 yang menghebohkan, Wiji Thukul menjadi salah seorang korban politik Orde Baru. Hingga sekarang belum juga diketahui di mana Wiji Thukul berada.
Karya-karya Wiji Thukul telah dihimpun dalam sebuah buku yang diberi judul Aku Ingin Jadi Peluru (2000) dan diterbitkan Penerbit Indonesia Tera, Magelang. Penerbit ini sangat berjasa dalam menghimpun karya-karya Thukul yang semula tersebar di berbagai manuskrip dan terbitan. Dari Taman Budaya Surakarta, diperoleh dua buah manuskrip, yakni “Darman dan Lain-lain”, dan “Puisi Pelo”. Kumpulan terakhir “Baju Loak Sobek Pundaknya” diperoleh dari Jaap Erkelens (Perwakilan KITLV di Indonesia). Sisanya diperoleh dari Mbak Sipon (istri Wiji Thukul). Terbitnya buku ini sangat memudahkan kita menelusuri karya-karya Wiji Thukul.
Aku Ingin Jadi Peluru berisi 136 puisi yang dibagi atas lima buku atau lima kumpulan puisi. Buku 1: Lingkungan Kita Si Mulut Besar berisi 46 puisi.. Buku 2: Ketika Rakyat Pergi berisi 17 puisi. Buku 3: Darman dan Lain-lain berisi 16 puisi. Buku 4: Puisi Pelo berisi 29 puisi. Dan Buku 5: Baju Loak Sobek Pundaknya berisi 28 puisi. Dalam catatan penerbit, Buku 5 merupakan kumpulan sajak-sajak yang ditulis Wiji Thukul ketika ia berada di masa pelarian.
Dalam proses kreatifnya, Wiji Thukul memiliki prinsip tersendiri. Puisi bagi dia adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan dirinya selaku orang kecil, orang-orang tertindas, yang secara kebetulan mewakili suara kaum tertindas pada umumnya. Dia sesungguhnya tidak bermasud membela rakyat (penyair kerakyatan), melainkan membela dirinya sendiri, lingkungan, komunitas yang menghidupi dirinya: tukang pelitur, istri tukang jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan hidupnya yang melarat.


sumber : truedhiet.wordpress.com

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?