SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Madagaskar, Borobudur dan Persaudaraan

| | | 0 komentar
Madagaskar Mencari Akar

PEREMPUAN setengah baya itu tak kunjung melepaskan jabat tangan Prof Dr Timbul Haryono yang menemuinya di Pasar Andravohangy, pinggir Kota Antananarivo, ibu kota Madagaskar. Mata ibu itu menatap lurus ke muka arkeolog yang juga Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM tersebut dan tak henti-hentinya menggelengkan kepala keheranan. Ia merasa bertemu dengan kakaknya yang telah tiada. "Anda persis seperti kakak saya, sorot mata, dagu, dan senyum itu milik kakak saya!" katanya dalam bahasa Malagasi.

Peristiwa semacam itu sering terjadi dan menimpa semua warga Indonesia yang berada di Madagaskar. Menilik bentuk wajah, sorot mata, warna kulit, rambut, bentuk tubuh, dan bahasa mereka, sebagian besar bangsa Madagaskar mirip bangsa Indonesia. Sebagian lainnya berkulit hitam bak bangsa Afrika daratan, lengkap dengan rambut keritingnya, sebagian lagi mengambil wajah India dan Komoro.

Itu baru dari bentuk tubuh. Dari makanan dan cara memasaknya juga tak banyak beda. Singkong, ubi jalar, talas, semua jenis sayuran, bahkan cara memasaknya tak jauh beda dengan di Indonesia. Hanya saja mereka tak mengenal santan. Buah mangga, lengkeng, jeruk, nangka, jambu mete, bahkan kemiri pun ada. Pohon-pohon itu seolah tumbuh begitu saja, menyebar nyaris di seluruh Madagaskar.

Di pasar-pasar tradisional, baik di Antananarivo maupun sepanjang jalan menuju kota pelabuhan Mahajanga, sekitar 600 kilometer barat laut ibu kota Madagaskar itu, tak ubahnya seperti di Indonesia tahun 1960-an. Mereka belum sepenuhnya menggunakan satuan kilogram tapi tumpukan. Misalnya tomat atau kentang ditumpuk masing-masing berisi lima buah, persis sebagaimana dilakukan pedagang di kota-kota kecil di Tanah Air. Satu hal lagi, jual beli selalu didahului dengan tawar-menawar. Dan, harga penawaran untuk orang asing, bisa lima kali lipat.

Pasar-pasar di Antananarivo, misalnya, di dalam gedung kosong atau hanya berisi kotak-kotak kayu mirip gudang, tetapi di luar pasar tenda-tenda didirikan memenuhi seluruh halamannya. Menurut Marbun, rohaniawan Indonesia yang sudah enam tahun bertugas di negeri itu, pasar itu muncul secara alami karena pertemuan kepentingan penjual dan pembeli. Ketika pemerintah membangun gedungnya, awalnya mereka masuk, namun akhirnya kembali membangun tenda-tenda di luar pasar. Tak ubahnya pasar di Palmerah, Jakarta, atau pasar-pasar lain di Jakarta.

Bentuk tubuh, keadaan alam, dan perilaku manusianya, membuat rata-rata bangsa Malagasi yakin bahwa mereka satu nenek moyang dengan bangsa Indonesia. Itulah sebabnya berbagai upaya untuk mempertegas pendapat tersebut dengan mengumpulkan bukti-bukti antropologi, sejarah, dan realita terus dikumpulkan. Bangsa Madagaskar benar-benar mencari akar siapa diri mereka.

BERKUNJUNG ke Antananarivo, ibu kota Madagaskar, pusat kotanya bak Semarang di Jawa Tengah, hanya saja perbukitannya lebih banyak. Sedangkan jika ke pinggir sedikit mirip Kota Cianjur di Jawa Barat. Bedanya, di ibu kota negara itu terdapat bangunan-bangunan peninggalan Prancis yang cukup kokoh dan megah. Toko-toko pada siang hari tutup untuk istirahat, sore buka kembali. Pada hari Sabtu kebanyakan tutup dan hari Minggu semua kantor dan toko tutup. Hanya pasar tradisional tetap buka dan pasar semacam ini banyak bertebaran di seluruh kota dalam skala kecil maupun besar. Kaki lima berderet sepanjang jalan besar.

Kota Antananarivo yang berpenduduk sekitar tiga juta orang itu, hingga luar kota dipenuhi pejalan kaki. Rata-rata penduduk Madagaskar pejalan kaki yang kuat. Mereka berjalan dengan cepat dan lincah kemungkinan karena tuntutan alam dan adanya musim dingin. Itulah sebabnya rata-rata postur bangsa Madagaskar, wanita khususnya, langsing dan indah. Bisa dikatakan, susah mendapatkan orang berbadan gemuk terkecuali keturunan Perancis atau India.

Kendaraan umum mayoritas produk Eropa, dua tahun terakhir masuk merek Toyota dan KIA dalam jumlah yang sangat sedikit. Bus kota rata-rata merek Mercedes keluaran tahun 1980-an, konon diimpor dalam keadaan bekas pakai, namun masih sangat bagus untuk ukuran Indonesia. Mobil merek Peugeot dan Renault mendominasi jalanan, namun hanya sedikit yang keluaran di atas tahun 2000.

Walau tarif bus kota sekali naik hanya 1000 franc Madagaskar atau sekitar Rp 1.250, namun rata-rata penumpangnya naik untuk jarak yang cukup jauh. Biasanya untuk jarak kurang dua kilometer mereka memilih jalan kaki. Maklum taraf hidup mereka masih rendah, rata-rata di bawah 500 dolar AS. Itulah sebabnya pejalan kaki begitu banyak terlihat di Antananarivo maupun kota-kota lain. Penduduk luar kota berjalan kaki berduyun-duyun, lelaki-perempuan, seolah tiada habisnya hingga malam hari.

Ibu kota negara itu terletak di sebuah lembah subur, dikelilingi bukit-bukit dari beberapa gunung. Jika kita pergi ke salah satu bukit, pemandangan Kota Antananarivo sungguh indah. Selain rumah-rumah dan bangunan Perancis tertata rapi, hamparan sawah masih tampak menghijau. Namun, jika kita mendekat akan segera menemui rumah-rumah penduduk miskin di antara gedung-gedung tersebut. Rumah terbuat dari tanah merah berlantai tanah bertebaran di segala penjuru kota.

Penduduk kota itu padat, namun keadaannya jauh dari jorok. Sampah tidak ada yang berserakan, apalagi di sungai. Penduduk sangat disiplin, tak ada yang membuang sampah ke dalam got atau sungai. Tak terlihat WC umum di pinggir-pinggir sungai atau got sebagaimana di Kota Jakarta atau kota lain di Indonesia. Tampaknya peninggalan disiplin dari Perancis ini tetap diterapkan walau penjajahannya sudah berakhir puluhan tahun lalu.

Di pinggir Kota Antananarivo, di beberapa area sawah yang belum diolah, penduduk membuat batu bata merah. Sistem pembuatannya tak beda dengan di Pulau Jawa, pembakaran dilakukan di tempat itu juga, hanya ukuran batu batanya lebih besar, mirip batu bata zaman dulu. Bulan Oktober merupakan bulan sibuk bagi pembuat batu bata karena mereka mengejar waktu agar sebelum musim dingin bulan Desember sudah selesai dibakar. Mereka menjual dengan harga sekitar Rp 2.000 setiap buah.

MEMASUKI kampung-kampung di Madagaskar dan mengikuti upacara di sebuah gereja Katolik, agama terbesar di Madagaskar, mendapatkan fakta bahwa kepercayaan tradisional justru mendominasi kehidupan masyarakatnya. Akulturasi yang kental dalam upacara gereja merupakan salah satu petunjuknya. Musik pujian yang dilantunkan ditambah tari-tarian tradisional yang mengiringi upacara, semua berbau tradisional.

Hal itu memperkuat dugaan bahwa bangsa Malagasi merupakan percampuran berbagai suku di Indonesia, bahkan dengan bangsa-bangsa lain yang datang terlebih dahulu maupun kemudian. Percampuran itulah yang memudahkan mereka untuk berakulturasi hingga kini. Menurut Romo Marbun, perkawinan antarsuku, antarbangsa, dan juga antaragama tidak pernah menjadi masalah di Madagaskar. Meskipun demikian tradisi tetap menyatukan mereka, misalnya dalam hal poligami, upacara kelahiran anak, dan kematian. Mereka mengikuti acara-acara gereja, namun hanya sedikit yang bersedia melakukan upacara perkawinan gereja. Aturan tentang perkawinan gereja tak sejalan dengan tradisi mereka yang memperkenankan kawin-cerai dan poligami.

Di sebuah taman makam di Antananarivo, bangunan makam tak beda dengan di Tapanuli. Di sini juga ada upacara pemindahan tulang, bangunan makam dibuat sekokoh mungkin bahkan dikunci kuat-kuat. Juga ada kepercayaan bahwa kematian merupakan sisi gelap sehingga begitu salah satu anggota keluarga meninggal, seluruh barang di rumah itu harus dibersihkan, minimal dicuci. Ini menjadi kepercayaan rata-rata suku Merina, bahkan mereka yang sudah modern pun melakukannya.

Lain lagi dengan suku Simiheti, mereka selalu mengenakan pakaian paling buruk ketika melayat orang meninggal. Tujuannya, begitu selesai melayat pakaian itu dibuang, tidak boleh masuk rumah lagi. Di beberapa suku, minimal suku Jawa, sehabis melayat orang harus membersihkan diri sebelum masuk rumah agar tidak membawa sial ke semua penghuni rumah itu.

Mengenal lebih banyak lagi masyarakat Malagasi, menurut Romo Marbun, kita akan menemukan budaya daerah Tapanuli, Aceh, Jawa, Bajo, Melayu, Flores, Dayak, dan lain-lain. Semula setiap daerah memiliki ciri budaya khas dan gampang ditengarai dengan nama kotanya. Misalnya, ada kota bernama Ramli Marantsetra yang dihuni penduduk yang kemungkinan berasal dari keluarga Ramli, tokoh Suny dari Aceh; Ambu Malasa yang berpenduduk asal Malaya; dan beberapa kota lain yang jika dirunut melalui kebiasaan penduduknya bisa menandakan dari mana kemungkinan mereka berasal.

Semua suku dari Indonesia tersebut akhirnya bercampur dengan budaya bangsa Komoro yang sekaligus membawa agama Islam dan India. Kini semua itu diyakini telah melahirkan satu bangsa: Malagasi yang bernaung dalam negara Madagaskar.

REPUBLIK Madagaskar yang nama resminya Repoblika Demokratika Malagasy terletak di sebuah pulau keempat terbesar di dunia setelah Greenland, Irian Jaya, dan Kalimantan. Menurut perkiraan, sekitar abad 8-9, penduduk Indonesia berimigrasi ke Madagaskar dan hidup bersama pendatang dari Afro-Arab sehingga melahirkan kelompok etnis Malagasi. Ketika orang Eropa mulai masuk ke sana dan mencari rempah-rempah, Madagaskar pun menjadi tempat perdagangan sekaligus daerah operasi perompak.

Di Madagaskar ketika itu terdapat beberapa kerajaan, antara lain Antemoro, Antesaka, Betsileo, dan Merina. Kerajaan Merina akhirnya mendominasi kerajaan lain, terutama dalam pemerintahan Raja Andrianaminimerina (1787-1810). Dan, ketika anaknya, Radama I, memerintah, ia mendapat bantuan dari Inggris untuk menguasai seluruh Madagaskar. Hubungan dagang juga dilakukan dengan Perancis, namun hubungan inilah yang menyebabkan Madagaskar menjadi wilayah jajahan Perancis pada tahun 1868.

Ketika akhirnya Madagaskar merdeka (1960), sepuluh tahun kemudian pertikaian politik di dalam negeri pun meledak. Pertikaian ini menyebabkan perekonomian Madagaskar terpuruk karena pengusiran orang asing, penindasan terhadap organisasi buruh, dan penahanan orang-orang sipil. Tahun 1975 Komodor Didier Ratsiraka menjadi presiden dan akhirnya membawa negara ini masuk dalam kelompok sosialis dan merasionalisasi semua perusahaan.

Setelah berkuasa 18 tahun, pada tahun 1993 Ratsiraka dikalahkan Albert Zafy dalam pemilu, namun di pemilu berikutnya ia berhasil merebut kembali jabatan presiden. Dan, terakhir dalam pemilu tahun 2002 ia dikalahkan oleh Marc Ravalomanana, politikus yang juga pengusaha.

Begitu pemilu usai terjadi pertikaian karena Didier Ratsiraka tidak mau mengakui kekalahannya. Keadaan ini memperburuk perekonomian Madagaskar, namun kini mulai bangkit setelah Didier Ratsiraka melarikan diri ke Perancis dan Marc Ravalomanana menggantikannya. Presiden baru yang berlatar belakang pengusaha itu mulai memprivatisasi perusahaan-perusahaan negara, dan itu juga tidak mudah. Terakhir beberapa kali terjadi pemogokan buruh stasiun pompa bensin karena begitu diswastakan, buruhnya merasa terancam PHK dengan kedatangan para ahli dari Eropa.

Sisa-sisa sifat sosialis masih terasa hingga kini. Para pejabatnya berpakaian sederhana, bahkan sangat sederhana bagi ukuran protokoler yang umumnya berlaku. Wali Kota Mahajanga, misalnya, berkantor dengan mengenakan sandal, bertopi, dan menyapa siapa saja yang ditemuinya. Sekjen Kementerian Luar Negeri Madagaskar bahkan hanya berkaos oblong warna oranye ketika mendampingi menterinya merundingkan kerja sama dengan delegasi Indonesia.

Pemerintahan Ravalomanana ini tampaknya membawa angin baru bagi hubungan dengan Indonesia. Seorang sejarawan Madagaskar menginformasikan, pada zaman Didier Ratsiraka pencarian jati diri bangsa Madagaskar seolah dinadirkan. Dari awal, Perancis seolah memang menghindari pimpinan dari suku Merina berkuasa karena suku tersebut merupakan mayoritas bangsa Madagaskar dan kerajaannya pernah menguasai seluruh negara itu. Suku ini sangat dekat dengan budaya Melanesia. Perancis lebih dekat dengan suku-suku di luar Merina, dan Ravalomanana merupakan orang pertama dari suku Merina yang memerintah Madagaskar setelah merdeka.

Akibatnya, menurut Dr Christian, di Madagaskar terdapat dua kelompok sejarawan, kelompok kampus yang propemerintah (didukung Perancis) dan kelompok nonkampus yang masih merindukan jati diri nenek moyangnya.

Diduga Perancis takut jika sejarah asal muasal bangsa ini diungkit, akan membangkitkan fanatisme kelompok etnis kerajaan Merina. Itulah sebabnya hubungan Madagaskar-Indonesia tidak kunjung ditingkatkan karena Pemerintah Madagaskar tidak membuka perwakilan di Indonesia.

Perubahan sikap Pemerintah Madagaskar ini jelas tercermin dari pernyataan para pejabatnya. Presiden Ravalomanana sendiri ketika menerima awak perahu bersama Kepala Perwakilan RI Richard Simbolon tegas menyebutkan bahwa kita bersaudara. Sebelumnya, dalam upacara menyambut kedatangan awak kapal Borobudur di Pelabuhan Mahajanga tanggal 15 Oktober lalu. Gubernur Mahajanga, Kolonel Toto Vincent menegaskan bahwa ekspedisi Indonesia untuk meyakinkan siapa mereka sudah dilakukan tiga kali: Saremanuk (1985), Ammana Gappa (1991), dan terakhir Samudraraksa Borobudur bulan Oktober ini. Bukti sudah nyata, sebaiknya ditindaklanjuti.

Pernyataan Menteri Kebudayaan Madagaskar lebih tegas lagi: bangsa Indonesia memang nenek moyang bangsa Madagaskar dan itu tak perlu diperdebatkan lagi. Begitu usai upacara ia mengajak delegasi Indonesia berunding mengenai langkah apa setelah ekspedisi ini. Dan, sore itu juga lahirlah beberapa kesepakatan yang akan segera disusun dalam kesepakatan bersama (MOU), antara lain menyangkut pertukaran misi kebudayaan, pengisian museum dengan benda-benda yang berkait dengan kedua bangsa, pertemuan para ahli sejarah dari kedua negara untuk rekonstruksi asal-usul penduduk Madagaskar, dan kunjungan menteri itu ke Indonesia bulan Januari mendatang.

Ekspedisi sudah cukup, Madagaskar sudah mengaku Indonesia-lah nenek moyangnya, sesudah itu mau apa? Jawaban itu yang diharapkan Madagaskar. (mamak sutamat)


Kisah Perjalanan Awak Perahu Borobudur

Perahu Zig-zag Melawan Angin

UPACARA pelepasan itu hampir menjadi pangkal musibah. Seusai Presiden Megawati meninjau perahu, lalu melepasnya ke laut lepas, perahu yang semula diikat tali di kiri dan kanan harus dilepas. Begitu bersemangatnya penarikan tali itu, Nick Burningham tak sempat mengelak saat tali menjerat kakinya dan ia pun terseret hampir jatuh ke laut. Hari itu, Jumat 15 Agustus 2003 pukul 16.10, masih di Marina Ancol, Jakarta Utara.

EKSPEDISI Samudraraksa Borobudur hari itu dimulai, namun sebenarnya belum siap berlayar. Dari Marina Ancol memutar masuk Pondok Duyung untuk lego jangkar. Banyak peralatan belum dipasang selain generator listrik yang masih rusak dan antena. Mujoko, anak lulusan IPB jurusan ilmu kelautan, selama dua hari berkeliling Kota Jakarta mencari baterai untuk generator. Tanpa generator perahu bisa "hilang" sebab alat itulah sumber listrik di perahu.

Pukul 06.00 tanggal 17 Agustus, perahu itu akhirnya angkat jangkar. Baru beberapa meter menjelang keluar Pondok Duyung, sebuah kapal besar masuk, awak perahu panik dan segera memutar arah. Pemutaran arah bagi perahu layar bukanlah masalah sederhana karena harus tahu dari mana arah datangnya angin. Ketika cobaan itu lepas, perahu pun melenggang menuju Selat Sunda. Pantai masih jelas walau makin lama makin tersamar.

Panjang perahu itu 18,29 meter, lebar 4,25 meter, terbuat dari tujuh jenis kayu dengan tiang layar dari bambu, layar terbuat dari kain tetoron merek Famatex, serta bercadik bambu di kiri dan kanannya. Dua motor masing-masing berkekuatan 22 PK menempel di kiri dan kanan perahu, fungsinya untuk melakukan manuver ketika perahu hendak berangkat atau berbelok serta mendorong manakala perahu mati angin. Di bagian depan kanan, di luar perahu, terdapat "kamar mandi", beberapa bambu disilangkan untuk pijakan kaki dan tempat ember bertali, diberi sekat agar awak lain di atas perahu tak bisa menonton. Jika ombak besar datang dari arah kanan maka pengguna pasti akan basah kuyup.

Di geladak tengah ada ruang untuk istirahat, kiri-kanan perahu dipenuhi jeriken isi air bersih disamping bensin untuk persediaan generator dan motor tempel. Di palka kiri-kanan dipasang tempat tidur susun, 17 buah, begitu sempit, seolah penggunanya tak perlu berpindah posisi tidur. Di bagian belakang ditata sebagai dapur, ruang nakhoda, tempat cuci piring, pompa air, kompor, persediaan minyak, dan tempat perabot makan.

Begitulah keadaan perahu yang dicontoh dari relief Candi Borobudur yang dibuat pada abad ke-8 tersebut. Perahu berawak 16 orang multibangsa itu (Indonesia, Amerika, Swiss, Australia, Inggris, Selandia Baru, Afrika Selatan) akan berlayar ke Afrika melewati Seychelles, Madagaskar, Afrika Selatan, dan berakhir di Ghana dalam jangka empat bulan. Di setiap pemberhentian akan dilakukan penggantian awak perahu, terkecuali di Madagaskar karena jarak Seychelles-Madagaskar relatif dekat. Apakah benar-benar bisa ditempuh dalam empat bulan, semua tergantung kecepatan dan arah angin.

Dari tujuh awak perahu dari Indonesia yang mengikuti pelayaran Jakarta-Madagaskar, tiga di antaranya berasal dari Pulau Pagerungan, tempat perahu itu dibuat. Mereka memang pelaut: Julhan, ahli mesin motor; Muhammad Abdu, pelaut berpengalaman; dan Sudirman, tukang kayu yang ikut membuat perahu tersebut. Ketiganya merupakan tulang punggung pelayaran ini. Lainnya Niken Maharani (IPB), Shierlyana Junita (UI), Mujoko (IPB), dan IG Putu Ngurah Sedana kapten TNI-AL yang bertindak sebagai nakhodanya.

PUKUL 23.15 hujan deras mengguyur perahu, para awak perahu segera berhambur keluar untuk berhujan-hujan. Maklum sudah beberapa hari mereka tidak sempat mandi segar. Mereka bagai anak kecil berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak, begitu tulis Niken dalam catatannya. Pontus Krook dan Paul Bayly yang terlambat bergabung kebingungan ketika sedang bersabun ternyata hujan berhenti.

Keesokan harinya, 18 Agustus, pantai Cilegon tampak jelas dari perahu. Namun, angin tiba-tiba mati. Untuk menghindari karang Kepulauan Sayangan, mereka mendayung di kiri-kanan perahu. Sebelah kiri tim Indonesia dan sebelah kanan orang bule. Semangat mendayung begitu kuat, akibatnya perahu hanya berputar ke kiri karena tim Indonesia kalah kuat. Akhirnya motor dihidupkan, arah layar dibenahi dan secara perlahan perahu bergerak. Dan, 19 Agustus perahu bercadik itu pun masuk perairan Samudra Hindia.

Dalam perjalanan menuju Seychelles ini awak perahu dibagi dalam dua kelompok, masing-masing bertugas selang empat jam. Setiap regu dibagi tugas untuk pegang kemudi, memompa air, menjaga depan, dan mencek tali-tali, memeriksa galon-galon air apakah masih terikat erat, serta memasak. Awak dari Indonesia pun dibagi ke dalam kedua kelompok tersebut.

Niken dan Sherly lebih banyak bertugas sebagai penerjemah. Maklum komando dipegang Nick Burningham, pelaut asal Australia, sementara petugas yang mengendalikan perahu terutama pasang-gulung layar dan pindah layar adalah para pelaut asal Pagerungan, Bajo, Sulawesi Selatan, yang tidak tahu bahasa Inggris. Kedua gadis ini ketika tugas jaga harus berlari ke depan dan belakang serta berteriak-teriak menerjemahkan perintah komandannya.

TANGGAL 21 Agustus angin Samudra Hindia begitu kencang, perahu melaju dengan kecepatan rata-rata 8 knot per jam. Rasanya, enggak ada kerjaan membuat "Qta" (maksudnya: kita-Red) boring. Nick minta saya belajar mengemudi dan panjat tiang layar. Gila! Begitu tulis Niken di buku catatannya.

Menurut Niken ia memang lalu belajar mengemudikan perahu, semula terasa berat, namun setelah itu menjadi biasa. Mata ke depan, sesekali melihat kompas agar arah perahu tidak melenceng. Nick sering berteriak minta agar jangan sampai lupa menengok kompas. Namun, di tengah samudra luas di mana mata memandang hanyalah cakrawala, memang membuat jenuh. Hiburan satu-satunya jika melihat di kejauhan ada kapal atau melihat ikan- ikan beterbangan di sisi perahu. Kalau sudah begitu semua berteriak, semua naik ke geladak.

Begitu jenuhnya, akhirnya Nick mengadakan sayembara: siapa yang pancingnya dapat ikan duluan akan diberi 25 dolar AS. Semua mencoba dan baru tanggal 27 Agustus Kapten Putu memenangkan pertandingan. Namun, itu pun setelah perahu diombang-ambingkan ombak setinggi sekitar 9 meter. Ombak besar itu datang tanggal 24 Agustus, terus-menerus membuat awak perahu kelelahan. Di sini kelihaian pemegang kemudi diuji. Ia harus bisa membuat perahu berada di atas ombak, jangan sampai menerjangnya. "Pada saat itu kami hanya bisa berdoa, bayangkan ombak setinggi perahu di depan kita," kenang Niken.

Ketika ombak reda dan Matahari muncul di cakrawala timur, keindahan laut pun seolah tiada duanya. "Bagus sekali, saya tak bisa menggambarkannya," begitu aku Mujoko ketika ditanya. Dan, pada tanggal 1 September, setelah melihat peta, Req Hill berteriak bahwa Seychelles tinggal separuh perjalanan lagi.

Buleleng, begitu istilah Niken untuk awak non-Indonesia, berpesta memeriahkan perjalanan itu. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa walau tinggal separuh, namun semua tergantung pada arah dan kecepatan angin. Pouria Mahroueian, awak dari Afrika Selatan, menjawab keceriaan itu dengan melantunkan lagu Blowing in the Wind yang dipelesetkan: … the answer my friend is depend on the wind, the answer is depend on the wind. Lagu itu akhirnya menjadi lagu wajib pada saat kesepian, di samping lagu Krisdayanti, Menghitung Hari.

Esok harinya, tali penyusur layar muka bagian bawah putus. Tali itu menjorok di luar perahu sehingga sangat sukar memperbaikinya. Julhan dengan cekatan menyusur bambu hingga di luar perahu dan menyambung tali tersebut. Sungguh pekerjaan yang mengagumkan bagi mereka yang melihat. Dalam keadaan bergoyang oleh ombak, Julhan dengan ringan meniti bambu hingga keluar perahu. Salah langkah, ia akan terpeleset dan masuk samudra. Ini untuk kedua kalinya tali putus. Sebelumnya, tali layar putus pada dini hari tanggal 26 Agustus. Maklum tali tersebut terbuat dari serat pepohonan pantai yang biasa digunakan pelaut zaman dulu.

Hujan tiada henti turun, padahal tak seorang pun yang membawa jas hujan. Menurut Niken, pada saat hujan begitu, air menembus pakaian dalam sehingga membuat orang masuk angin.

PADA tanggal 8 September Putu ulang tahun. Awak perahu sibuk menyiapkan pesta walau seadanya, namun tetap mengharukan. Apalagi Allan Cambell, ship’s master, menyatakan bahwa pelabuhan tujuan tinggal 735 mil atau sekitar tiga hari lagi. Semua bergembira. Dan, benar, pada tanggal 12 September pukul 01.42 perahu Borobudur tiba di Pelabuhan Seychelles setelah mengarungi 3.300 mil dalam 26 hari.

Niken menggambarkan pelabuhan tersebut sebagai berikut: "Qta" lego jangkar di depan gunung, cahaya Port Victoria tampak jelas dan indah. Semakin terang kota itu semakin cantik karena terletak di atas bukit, sementara air laut hijau jernih mengundang "Qta" untuk berenang.

Tujuh belas hari mereka berada di Seychelles. Selain untuk mengisi perbekalan, mereka menunggu kedatangan awak perahu yang baru. Di negara ini Shirley digantikan Muhammad Habibie, mahasiswa ITS Surabaya. Sementara itu, empat awak: Nick Burningham, Paul Bayly, Reg Hill, dan Pouria digantikan Corrina Gillard, Clair Armitage, Danielle Eubank, dan Richard Kruger.

PELAYARAN dari Seychelles menuju Madagaskar sangat berat. Angin sering mati. Kalaupun ada, angin pun bertiup dari arah depan, membuat seluruh awak perahu harus bekerja keras. Selama dua hari angin mati, artinya tidak ada tiupan angin yang bisa menggerakkan perahu tersebut. Motor tempel di kiri kanan perahu hanya sedikit menolong, maklum tenaganya tidak seberapa. Kalau sudah begini, Muhammad Abdu, kepala dusun yang sudah banyak berlayar segera "berbicara" dengan angin.

Manusia tidak boleh mendahului kehendak-Nya, begitu Muhammad memberitahukan sikapnya di atas geladak perahu ketika berlabuh di Mahajanga, Madagaskar. Ditegaskan sebagai manusia harus bersikap wajar, "Jika merasa senang janganlah terlalu senang, tetapi jika merasa susah jangan terlalu susah," katanya menambahkan. Dalam setiap awal perjalanannya, ia selalu melafalkan Surat Al An-aam yang intinya kepasrahan kepada Tuhan. Doa pasrah inilah yang membuatnya tegar dan yakin bahwa Tuhan selalu mendampinginya.

Jika ia "berbicara" kepada angin, sebenarnya ia berbicara pada dirinya sendiri. Ia berbicara dalam bahasa Bajo, intinya minta agar angin datang dan menolongnya. Awak yang lain selalu tersenyum kecut mendengar ia "berbicara" kepada angin. Apalagi bagi buleleng yang tentunya tak masuk di akal mereka walau akhirnya angin pun datang.

Perbedaan budaya ini sempat sulit dipadukan. Orang-orang Bajo yang begitu akrab dengan laut, bisa mendeteksi angin dengan cuping telinganya. Mereka tahu angin akan datang dari arah mana dengan mengandalkan daun telinga. Awan yang berarak bisa menjadi tanda apakah hujan juga membawa pusaran angin. Tetapi, bagi buleleng, mereka berpegang pada peta, kompas, kecepatan angin, dan ramalan cuaca. Mereka tidak mau lepas dari kompas, sementara para pelaut ini berpegang pada letak bintang-bintang di langit.

Pelayaran Seychelles-Madagaskar merupakan ujian untuk membuktikan mana yang benar. Angin yang datang dari depan tak bisa ditahan dengan layar perahu walau menggunakan motor tempel. Akhirnya awak perahu asing menyerah dan Muhammad beserta rekan-rekannya berhasil melakukan perjalanan zig-zag dengan memindah-mindahkan arah layarnya. Layar dipasang dalam sudut tertentu agar angin "menyenggol" dan membawa perahu ke kiri atau ke kanan.

Pekerjaan ini melelahkan karena memindahkan layar untuk mendapatkan embusan angin dengan arah yang kita inginkan bukanlah sederhana. Pertama, layar diturunkan kemudian digeser, baru dinaikkan lagi dan dicari sudut yang pas. Itu dilakukan berulang-ulang sehingga salah satu layar robek dan tali pengikat layar putus.

Semua pekerjaan itu menjadi tanggung jawab awak Pagerungan karena hanya merekalah yang mampu dan mengerti. Awak yang lain hanya membantu sebagaimana diminta oleh pelaut asli tersebut melalui penerjemah.

Semua ini membuat perjalanan menjadi lambat walau akhirnya selamat sampai tujuan, Pelabuhan Mahajanga, 600 kilometer barat laut Antananarivo, ibu kota Madagaskar. Jarak yang hanya sekitar 700 mil itu harus ditempuh dalam 17 hari, bandingkan dengan Jakarta-Seychelles yang 3.300 mil dalam 26 hari.

WALI Kota Mahajanga, Page’s, hari Selasa 14 Oktober 2003 naik perahu bersama para petugas imigrasi. Perahu sehari sebelumnya memang sudah masuk pelabuhan, namun karena sudah sore mereka lego jangkar sekitar 300 meter dari dermaga. Di mana pun mereka berlabuh (kecuali di Marina Ancol) tidak akan merapat ke dermaga untuk menjaga agar cadik di kiri-kanan perahu tidak rusak terbentur dermaga. Maklum terbuat dari bambu.

Hari itu tercapai sudah alur perdagangan rempah-rempah Indonesia-Madagaskar. Setelah memperbaiki mesin motor tempel yang rusak dan mengikuti berbagai acara yang disiapkan KBRI Madagaskar, tanggal 25 Oktober perahu bertolak ke Afrika Selatan. Rute ini paling berbahaya karena harus melampaui Tanjung Harapan yang merupakan tempat pertemuan arus Samudra Hindia dengan Samudra Atlantik. Beberapa awak turun, termasuk Muhammad Habibie yang baru naik dari Seychelles, tanpa ada penggantian. Kini mereka tinggal bertiga belas.

"Niken insya Allah akan ikut sampai pelabuhan terakhir," kata gadis berjilbab itu mantap. (mamak sutamat)




Niken Maharani

GADIS itu mengaku baru pada hari terakhir mendaftarkan diri ikut Ekspedisi Samuderaraksa Borobudur. Itu pun karena sehari sebelumnya sang ibu menyodorkan Kompas yang memuat iklan pendaftaran tersebut. "Ini barangkali cocok buat kamu," kata maminya yang prihatin melihat anak ketiganya selalu murung. Maklum, Niken sebelumnya termasuk gadis yang tak bisa diam. Walaupun tidak mengikuti perkumpulan resmi, namun selama kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) ia selalu mengikuti kegiatan pencinta alam.

Lulus pada tahun 2002, Niken yang mengambil jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan belum tergerak mencari pekerjaan. Satu musibah membuatnya merana, kakek yang juga berfungsi ayah baginya, meninggal hampir setahun lalu. Ini yang membuatnya murung hingga akhirnya ia mendaftarkan diri ikut pelayaran menuju Afrika, dan kini dalam perjalanan menuju Cape Town, Afrika Selatan.

Niken yang kelahiran Bandung itu tidak menyangka bahwa "kapal" yang hendak diikutinya itu hanya sebuah perahu kayu kecil dan digerakkan layar, sebab iklan tersebut tidak menyebutkan bagaimana bentuk perahunya. Ia mengetahui bentuk perahu tersebut justru dari ibunya yang kemudian memperlihatkan gambar perahu tersebut yang dimuat di koran. Ia terkejut, semua anggota keluarga terkejut sehingga dilakukanlah sidang mendadak.

"Tapi semua menyerahkan kepada saya dan saya tetap berangkat karena takdir itu kan di tangan Yang Kuasa," kata Niken dalam pembicaraan di KBRI Madagaskar minggu lalu. Akhirnya ia benar-benar berangkat pada tanggal 15 Agustus diantar kedua orangtuanya hingga Pantai Marina, Ancol. Ia kini merupakan satu-satunya wanita Indonesia yang ikut berlayar dengan perahu kayu mengikuti rute perdagangan kayu manis, Jakarta-Seychelles -Madagaskar-Cape Town, dan akan berakhir di Ghana pada akhir tahun 2003 ini.

Gadis yang tak pernah melepaskan jilbabnya walau sedang berkutat di atas perahu yang berlayar di Samudera Hindia ini, punya fungsi inti. Ia memang tidak harus memanjat layar, tetapi tugas pokoknya menjadi penerjemah yang dilakukan dalam hempasan gelombang setinggi delapan meter. Ini bukanlah tugas yang ringan, Niken harus pontang-panting menyampaikan perintah Nick Burningham, pimpinan operasi kepada para pelaut asal Bajo atau sebaliknya. Perintah harus segera disampaikan karena keterlambatan bisa berakibat fatal. Sesekali jika sedang bertugas, ia juga mengemudikan perahu.

Niken merasa, persiapan pelayaran ekspedisi tersebut sangat singkat. Setelah beberapa tahapan tes, dari 700 pelamar terpilih sepuluh orang, termasuk Niken. Mereka diajak ke Bali untuk melihat dan meresmikan perahunya. Saat itu perahu belum sempurna. Kesepuluh calon tersebut diperingkat dan diputuskan untuk peringkat 1-5 dites pelayaran dari Bali ke Surabaya, 6-10 diikutkan trayek Surabaya-Semarang, dan mereka yang terpilih langsung ikut dari Semarang ke Jakarta. Dalam perjalanan mereka dilatih bagaimana mengendalikan perahu tersebut.

Niken masuk kelompok yang berangkat dari Surabaya dan begitu sampai di Jakarta, ia diminta ikut pelatihan dasar keselamatan selama tiga hari. Itu saja bekal yang diberikan. Dan pada tanggal 14 Agustus, Niken ke Bandung untuk berpamitan dengan kedua orangtuanya. Esok harinya Presiden Megawati melepaskan perahu tersebut di Pantai Marina.

"Setiap orang toh akan mati, jadi bagaimana kita mempersiapkan diri aja!", kata Niken ringan. Dan saat ini Niken berjuang dalam pelayaran paling berat menempuh Tanjung Harapan yang ombaknya terkenal ganas. (ms)


Orang Malagasy dan Kebudayaannya

BANGSA Malagasy yang mendiami Pulau Madagaskar sekarang ini adalah percampuran bangsa Asia-Afrika. Diduga mereka telah ada di Madagaskar sekitar 1.500 atau 2.000 tahun meskipun dari artefak batu yang ditemukan menunjukkan adanya kemungkinan budaya lain yang pernah hidup.

HAMPIR sebagian besar imigran merupakan bangsa Melayu-Polinesia yang telah mengarungi Lautan Hindia dari Indonesia dan Asia Tenggara. Sebagian imigran yang lain adalah dari Afrika, serta para pedagang Arab, India, dan Portugis. Meskipun demikian, tampak sekali bahwa imigran yang pertama berasal dari Asia Tenggara atau Indonesia.

Suku bangsa

Berdasarkan data-data etnografis, di Madagaskar ada 18 suku, yaitu Antaifasy (orang pasir) yang tinggal di bagian tenggara di sekitar Farafangana; Antaimoro (orang pantai) yang tinggal di bagian tenggara sekitar Vohipeno dan Manakara. Mereka umumnya mendapat pengaruh budaya Arab. Antaisaka, Antankarana (yang tinggal di daerah berbatu karang), Antambahoaka (suku yang paling kecil jumlahnya yang tinggal di pantai sebelah tenggara; Antrandroy tinggal di daerah selatan sekitar Ambovombe. Warna kulit hitam dan kehidupannya semi nomadik.

Suku lainnya adalah Antanosy atau orang pulau yang tinggal di pulau kecil di sungai Fanjahira; suku Bara di daerah bagian barat daya dekat Toliara. Mereka adalah penggembala sapi. Nama "Bara" diperkirakan berasal dari pengaruh bahasa Bantu (Afrika). Suku Betsileo yang berdiam di sebelah selatan "the Hauts Plateaux" sekitar Fianarantsoa. Suku-suku lainnya adalah Betsimisaraka, Bezanozano, Mahafaly, Sakalava, Sihanaka (orang rawa); Tanala (orang yang tinggal di hutan); Makoa, Merina (orang dataran tinggi); Tsimihety (orang yang tidak memotong rambutnya). Selain itu masih ada kelompok suku lainnya yang datang dari India, Cina, dan Timur Tengah.

Adat istiadat

Bangsa Malagasy memiliki berbagai adat dan upacara ritual yang terkadang berbeda di masing-masing suku. Mereka memiliki kepercayaan menghormati pohon besar karena dianggap sebagai tempat tinggal arwah. Sesajian akan ditempatkan di bawah pohon. Suku Antaisaka yang tinggal di pantai tenggara memiliki kepercayaan bahwa rumah mereka mempunyai pintu kedua khusus untuk arwah nenek moyang. Apabila ada sanak saudara meninggal dunia, si mati akan dibiarkan beberapa hari sebelum dikubur.

"Famadihana"

Famadihana (yang berarti mengembalikan si mati) adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Upacara tersebut dalam rangka menghormati si mati sebagai penghubung antara manusia hidup dengan Zanahary atau Tuhan. Seluruh anggota keluarga yang berasal dari berbagai tempat di Madagaskar akan berkumpul untuk melaksanakan upacara yang biasanya dilakukan pada musim dingin (Juli sampai September). Upacara diawali dengan pembukaan makam oleh keluarga. Tulang-tulang yang telah terkubur kurang lebih dua atau tiga tahun diambil diiringi dengan tarian, nyanyian, dan musik yang merdu yang ditujukan kepada arwah. Sisa-sisa tulang yang telah diambil tersebut kemudian dibawa melalui jalan-jalan desa sehingga ia (arwah) tahu akan perubahan lingkungan yang telah terjadi sejak kematiannya.

Sisa tulang tersebut, setelah dibersihkan, dilumuri dengan minyak suci dan diberi pakaian kemudian dikembalikan ke makam. Upacara Famadihana dapat berlangsung berhari-hari sampai makanan dan minuman habis. Untuk biaya yang besar ini sering mereka harus menabung terlebih dahulu.

Seseorang yang telah meninggal dinamakan Lazan-ko Razana atau "ia yang sudah menjadi nenek moyang". Bagi orang Malagasy, si mati adalah pelindung terhadap keturunannya. Mereka memiliki hal-hal yang dianggap tabu dan disebut dengan istilah fady. Taha adalah upacara korban darah yang bertujuan untuk menyelamatkan hidup manusia atau mencegah seseorang. Sebagai media, seperti kayu, tanah, rumput, batu, dan binatang digunakan untuk kelengkapan upacara. Kadang kala, si dukun harus tinggal beberapa hari di tengah pekuburan untuk berkomunikasi dengan arwah guna menyerap ilmunya. Benda-benda seperti tersebut di atas dipakai untuk menyerap aspek-aspek negatif dalam kehidupan dan kemudian dibuang di sebelah selatan rumah. Bagi orang Malagasy hidup harus dilindungi dengan cara apa pun agar dapat hidup panjang.

Upacara fatidra dipimpin oleh seorang mpitsika dengan menggunakan berbagai objek seperti: tujuh macam tumbuh-tumbuhan, tujuh ekor ayam jantan, dua fragmen tulang manusia, air suci yang diambil dari sumber air terdekat, seekor ayam jantan yang organ hati telah dikeluarkan, sebuah tombak.

"Tromba"

Tromba adalah upacara religius agar terjadi kontak atau komunikasi dengan arwah melalui medium seseorang yang dalam keadaan trance disebut saha. Upacara tersebut dilakukan dalam rangka usaha penyembuhan suatu penyakit atau untuk mendapatkan petunjuk dalam segala kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Dalam kondisi trance, si medium seolah-olah mengadakan perjalanan di alam arwah. Upacara ritual ini didasari atas kepercayaan tentang reinkarnasi seorang raja atau arwah yang merasuk dalam tubuh seseorang.

Peran mediator dalam menghubungkan manusia dengan dunia supranatural menggunakan apa yang disebut sikidy, yaitu sejenis biji tanaman: fano (Piptadenia chrysostach), tsiafakomby (Coesalpina), kily (asam), buncis.

"Sambatra" (Savatsy)

Sambatra adalah upacara khitanan yang biasa dilaksanakan dengan pesta besar pada musim dingin (Juli sampai September). Upacara ini meskipun telah terpengaruh oleh perkembangan zaman, namun masih dilaksanakan sebagian masyarakat desa setiap tujuh tahun. Dalam periode upacara tersebut semua anak yang lahir 7 tahun terakhir diwajibkan menjalani khitanan. Hari yang dipilih adalah hari Jumat (bahasa Malagasy: Zuma) pada bulan purnama ketika bunga-bunga sedang mekar dan tanah berbau harum. Dalam khitanan ini keluarga membangun lapa (tempat untuk khitanan). Selama beberapa hari diadakan pesta dengan tarian dan musik, macam-macam lomba olahraga. Si anak yang akan dikhitan juga ikut dalam aktivitas tersebut. Pada saat malam ketika ayam jantan berkokok yang pertama kali, beberapa orang pergi ke sebuah sumber air yang dianggap suci untuk mengambil air rano mahery. Selama perjalanan pulang orang-orang yang membawa air suci tersebut meneriakkan kata-kata zanoboro mahery dan manatody ambato sampai tiba di lapa. Kemudian juru khitan melaksanakan tugasnya.

Bahasa

Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Otto Chr Dahl, berdasarkan data-data bahasa, bahasa Malagasy banyak pengaruh dari kata-kata dalam bahasa Melayu dan bahasa Sanskerta. Beberapa contoh kata-kata dalam bahasa Malagasy yang mirip dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa, seperti dalam kata bilangan: roa (Mlg) = dua (2); telo (Mlg, dibaca telu) = telu (3); fito (Mlg, dibaca fitu) = pitu (7); valu (Mlg) = wolu (8). Kata-kata lain yang memiliki kemiripan antara lain: mora (baca mura) = murah (bhs Jawa); vulan = wulan (bhs Jawa); vato (baca vatu) = watu (bhs Jawa); aho (baca ahu) = aku (bhs Jawa); sofina (baca sufin) = kuping (bhs Jawa). Ada juga beberapa kata yang mungkin serapan dari bahasa Sanskerta. Dahl sampai pada kesimpulan bahwa nenek moyang orang Malagasy datang dari Indonesia. Peristiwa migrasi tersebut telah terjadi sekitar abad ke-7 Masehi.

Penelitian yang dilakukan oleh Adelaar juga menunjukkan adanya kata-kata bahasa Malagasy yang menyerap kata-kata bahasa Melayu, seperti: horita = gurita; fano (baca fanu) = penyu; hoala = kuala; tanjona = tanjung; varatra = barat; firaka = pirak; hihy = gigi; fify = pipi; molotra = mulut; haranka = kerangka.

Kemiripan dalam kata dan kemiripan dalam fisik tubuh membawa orang Malagasy pada pengakuan bahwa nenek moyang mereka adalah orang Indonesia. Keadaan seperti tersebut merupakan modal penting untuk menjalin persahabatan kedua bangsa dalam berbagai kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

Prof Dr Timbul Haryono MSc Arkeolog, Dekan Fakultas Ilmu Kebudayaan UGM

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0310/30/sorotan/657135.htm

Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 30 Okt 03
Catatan: -
URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=3071&coid=1&caid=34

Mengenang 66 Tahun Tenggelamnya Junyo Maru

| | | 0 komentar
Beberapa waktu lalu Martin Luning, seorang warga Australia menghubungi saya. Ia adalah cucu dari Hans Luning (1907-1995), seorang tawanan perang Jepang yang selamat dari bencana tenggelamnya Junyo Maru. Ingatan saya pun mengembara pada salah satu insiden bencana terbesar Perang Dunia II itu.

Dalam memoarnya Hans Luning menulis, “Sekitar setengah enam pagi kami terbangun karena kilatan cahaya dan guncangan seisi kapal. Pada awalnya saya pikir itu ledakan boiler. Kami melompat bebarengan berebut menuju ke dek. Beberapa detik setelah ledakan pertama, gelegar ledakan kedua menyusul. Asap mesiu menerpa kami. Sirene kapal meraung menyadarkan kita bahwa kapal telah terkena torpedo. Suasana panik. Kapal kami masih tinggi di air, tapi tanpa berpikir lebih lanjut, saya melompat ke laut”.

Kapal kargo berbendera Jepang, Junyo Maru, berisi orang-orang tawanan perang Jepang. Kapal naas yang berlayar dari Tanjung Priuk menuju Padang itu telah ditorpedo oleh kapal selam Inggris H.M.S. Tradewind di perairan dekat kota Muko Muko, Bengkulu pada 18 September 1944. Rupanya buruknya komunikasi menyebabkan komandan kapal selam H.M.S. Tradewind tak mengetahui bahwa kapal kargo Jepang itu mengangkut para tawanan perang.

Junyo Maru mengangkut sekitar 6.500 orang terdiri atas 2.300 orang Belanda, Amerika, Inggris, dan Australia; dan 4.200 kuli Jawa. Setelah terjadi bencana dahsyat itu, sekitar 680 tawanan perang dan 200 kuli Jawa berhasil diselamatkan oleh kapal motor Jepang, artinya lebih dari 5 ribu nyawa lainnya telah binasa di lautan. Mereka yang selamat pun harus rela didera kerja paksa untuk membangunjaringan rel kereta Pekanbaru-Muaro Sijunjung sejauh 220 km!


Monumen Junyo Maru - Ereveld Leuwigajah Cimahi, Jawa Barat

Ereveld Leuwigajah
“Untuk menghormat kepada mereka yang tidak tersebut namun telah mengorbankan hidupnya dan tidak beristirahat di taman makam kehormatan”

Di Ereveld Leuwigajah Cimahi, sebuah taman makam kehormatan untuk para korban-korban tawanan perang, Stichting Herdenking Junyo Maru (Yayasan Junyo Maru) mendirikan Monumen Junyo Maru. Monumen tersebut mengenang tak hanya bagi mereka yang tewas dalam bencana kapal Junyo Maru, namun ditujukan juga bagi semua yang binasa di laut kala perang 1942-45. Plakat monumen yang diresmikan 21 September 1984 itu tertulis, ” Herdenking Slachtoffers Zeetransporten 1942-1945, Stichting Junyo Maru”.

Kini enampuluh enam tahun telah berlalu. Dari sebuah pemakaman sunyi Monumen Junyo Maru berpesan kepada kita bahwa perang dan pertikaian di mana pun itu, hanya akan membawa kekacauan dan kesengsaraan bagi mereka yang bertikai, maupun para warga sipil tak berdosa.

sumber http://heritage.blog.nationalgeographic.co.id/2010/11/10/mengenang-66-tahun-tenggelamnya-junyo-maru/

Gunung Kami Siapa Punya

| | | 0 komentar
Gunung ulah dilebur. Lebak ulah dirusak.

Di sela sayup musik jaipong, Saki terus menghujamkan tembilangnya ke tanah basah. Sesekali tembilang berderak menghantam batu.

Dengan kakinya yang kekar, lelaki 42 tahun ini mendorong batu menggelinding ke dasar gundukan. Di bawah, seorang sudah menunggu untuk memunguti batu.

Sejak 10 tahun terakhir, Saki menggali tanah di Desa Klapa Tujuh, Cihideung Udik, Ciampea, Kabupaten Bogor. Kini tanah itu berubah menjadi ngarai dengan tebing dangkal.

”Kerja begini mah kerja kasar. Kalau nggak biasa ya nggak kuat. Tapi kalau saya mah, karena udah kerjaan sehari-hari, gak terasa kasar lagi,” kata Saki.

Saki mengaku pernah menjadi pedagang sayur di Pasar Anyar, Bogor. Sayang, usahanya lebih sering tekor ketimbang untung. Dia kembali ke desa dan menjadi tukang batu.

Dengan menggali dan memecah batu, Saki mendapatkan Rp 30 ribu per hari. Penghasilan itu untuk menghidupi istri dan empat anak.

Saki tinggal di kawasan Gunung Salak yang subur dan kaya sumber daya alam. Selain hutan dan pertanian, Gunung Salak memiliki mata air besar yang dialirkan ke botol-botol minuman kemasan.

Di Pongkor, PT Aneka Tambang melakukan penggalian emas sejak tahun 1998. Gunung Salak juga menyimpan panas bumi yang sekarang digarap untuk pembangkit tenaga listrik.

Kekayaan Gunung Salak tidak melimpah ke keluarga Saki. Dia tetap menjadi tukang batu di tanah airnya, sama dengan bapaknya dulu. ”Waktu muda, saya sudah ikut orang tua jadi tukang batu,” ujarnya.

Seperti kebanyakan orang tua di Cihideung Udik, Saki memiliki anak yang masih menganggur. ”Bujang saya dua, masih nganggur. Mau kerja di sini kerja apa? Nggak ada kerjaan,” katanya.

Nasib Acih, warga Cihideung Udik, setali tiga uang dengan Saki. Anak lelaki Acih yang berusia 20 tahun, kerjanya hanya ngalor-ngidul keliling kampung. “Mau kerja apa atuh? Kalau ada kerjaan pabrik di sini, enak. Saya juga mau,” ujar Acih.

Suami Acih sopir truk pengangkut batu dan pasir dari tempat Saki bekerja. Sekali tarik, suami Acih diupah Rp 5 ribu. “Paling sehari dapat Rp 20 ribu.”

Acih mengajak saya mampir ke rumahnya tidak jauh dari lokasi penambangan batu. Kabut baru beranjak turun dari puncak Salak.

Acih berkisah tentang siasatnya mengolah tanaman di sekitar rumah untuk makanan keluarga di kala paceklik. ”Kalau lagi nggak ada duit, saya masak sayur katuk. Beras minjam dulu sama tetangga,” tuturnya.

Sesekali Acih meminjamkan ikan emas yang dipeliharanya di tambak depan rumah kepada tetangga yang menggelar hajat. Di desa ini, sudah tradisi pinjam-meminjam bahan makanan seperti ayam dan ikan. ”Kalau ada orang hajat, biasanya minjam (ikan) berapa kilo. Nanti kalau kita perlu, yang minjam bayar lagi pakai ikan. Ya, hitung-hitung nabung,” kata Acih.

Acih pernah menjual ikan-ikan peliharaannya. Sebagian hasilnya dibelanjakan alat masak dan penanak nasi listrik. Penanak nasi itu disiapkan sebagai bekal anaknya menikah. “Di sini orang nikah ngumpulin barang. Saya beli magic com untuk anak saya. Jadi, waktu nikah dia sudah punya,” ujarnya.

Untuk menutupi kebutuhan keluarga, Acih kerap meminjam uang ke bank atau tukang kredit. Pinjaman dicicil setiap bulan dari upah menjahit jilbab. Acih menerima upah Rp 1.500 per jilbab.

Pengangguran dan Budaya Kota

Belasan remaja usia tanggung malu-malu naik ke atas panggung. Sore itu mendung. Badai mengancam di kejauhan.

Setelah angin kencang dan hujan deras reda, Festival Gunung Salak dilanjutkan. Dalam undangan ”pesta warga Gunung Salak” dicantumkan beberapa petinggi perusahaan akan hadir.

Ide menggelar musyawarah desa melibatkan warga dan perusahaan pengelola Gunung Salak, batal. Hingga malam, pihak perusahaan tak kunjung datang.

Jadilah sore itu panitia hanya menyerahkan hadiah kepada anak-anak kampung yang memenangi lomba balap karung, egrang, dan balap gundu. Sebagai hiburan, panitia dara remaja diminta naik pentas untuk menyanyi.

Gadis-gadis Cihideung Udik ramai-ramai naik panggung. Mereka menyanyikan tiga lagu dangdut “koplo” yang sedang populer: Keong Racun, Cinta Satu Malam, dan Hamil Muda. Mereka fasih menyanyikan lagu dengan lirik berbau mesum itu. Meski sesekali sumbang, penyanyi-penyanyi dadakan ini tampak riang diiringi orkes jaipong.

Dalam salah satu lagu yang mereka nyanyikan, saya mendengar lirik “belah duren”. Kata ini menurut pengertian awam, bermakna bercinta pertama kali di malam pengantin.

Remaja berusia 15 tahunan ini tidak lagi canggung menyanyikan lagu dengan diksi berkonotasi “mesum” tersebut.

Fakta ini menunjukkan kebudayaan populer melalui televisi menyusup ke kehidupan pemuda desa tanpa negosiasi alot. Serta merta para gadis merasa up to date jika mampu melekatkan identitas bintang televisi dalam hidup sehari-hari.

Risma, siswa kelas III SMP Hanura Cihideung Udik, mengatakan teman-temannya tak melanjutkan sekolah selepas SMP. Sebagian menganggur, menunggu pinangan jejaka yang mencari pasangan. Sebagian lagi merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh pabrik.

“Kebanyakan mereka putus sekolah karena alasan ekonomi,” ujar Risma yang mengaku berniat sekolah hingga perguruan tinggi.

Risma menggengam handphone. Menurut dia, sebagian besar temannya memiliki telepon genggam. Ganjil jika ada teman yang tak memiliki HP. Telepon genggam, apalagi berkamera, menjadi identitas anak muda di banyak kampung. “Saya punya Facebook,” kata Risma.

Tren teknologi dan budaya pop, pincang karena tak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan remaja Cihideung Udik. Musik populer, televisi, HP, sepeda motor, dan Facebook, menyebar di tengah anak muda tanpa pekerjaan.

Ryan, pemuda Cihideung Udik, mengaku tak punya pekerjaan tetap. Saban hari hanya nongkrong. Kadang-kadang bekerja serabutan. Pada tahun 2007 Ryan pernah bekerja menjaga toko di Glodok, Jakarta. Upahnya per bulan Rp 300 ribu plus uang makan Rp 15 ribu per hari.

Menurut Ryan, kebanyakan bujangan di kampungnya pengangguran. Anak muda malu menyentuh cangkul dan bergelut di ladang. Sebagian besar terpengaruh nilai kota yang diperoleh lewat televisi dan internet. ”Di sini, anak-anaknya gengsi ke sawah. Pada gaya, padahal nggak punya duit,” ujarnya. (E1)

sumber & Foto: VHRmedia/ Hervin Saputra
sumber Foto : sumber & Foto

Memutus Silaturahmi Kera Gua Kreo

| | | 1 komentar
“Kanthi sesaji iki, tak jaluk sira gelem urip sinisihan karo menungsa.”

Bibir Mbah Jamad bergetar saat mengucapkan kalimat itu. Kakek 87 tahun, warga Dusun Talunkacang Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, Semarang, ini seperti gamang.

Mbah Jamad yang biasa memimpin ritual Sesaji Rewanda di Gua Kreo, Semarang, waswas. Ritual yang digelar tahun ini bisa jadi yang terakhir. Sebab, tempat melangsungkan ritual ini kelak tenggelam menjadi bagian Waduk Jatibarang.

Ritual Sesaji Rewanda merupakan upacara berbagi makanan dengan para kera penghuni Gua Kreo dan perbukitan sekitarnya. Warga Talunkacang berharap, dengan berbagi makanan, kawanan kera tak mengganggu kebun atau perkampungan mereka.

“Upacara ini sudah dilakukan sejak zaman mbah-mbah saya. Karena dianggap paling tua, saya dipasrahi memimpin doa dan pasrah sesaji kepada para kera itu,” kata Mbah Jamad.

Pesan Sunan Kalijaga
Mbah Jamad menuturkan, keberadaan kera-kera di Gua Kreo itu tak lepas dari kisah berbau legenda Sunan Kalijaga yang mencari kayu jati untuk tiang utama Masjid Agung Demak. Konon, setelah menemukan batang jati pilihan, Sunan Kalijaga menghanyutkannya melalui aliran Sungai Kreo hingga Demak.

Sampai di Dusun Talunkacang, Sunan Kalijaga kelelahan dan beristirahat di sebuah gua. Saat akan meneruskan perjalanan, ternyata batang jati melintang di sungai dan tidak dapat hanyut. Setelah mendapatkan bantuan kera ekor panjang warna hitam, merah, kuning, dan putih, barulah kayu itu bisa dihanyutkan. Kera-kera itu pun dihadiahi sebuah gua sebagai tempat tinggal.

Sunan Kalijaga juga meninggalkan beberapa pengikutnya untuk merawat kera-kera itu. “Kalian tinggallah di gua ini. Hiduplah berdampingan dan saling membantu. Berbagilah makanan agar tak ada yang dirugikan,” pesan Sunan Kalijaga.

Sejak itu kera-kera hidup rukun damai dengan warga Talunkacang. Setahun sekali warga mengadakan Sesaji Rewanda. “Dengan berbagi makanan, kita harapkan kera-kera tidak mengganggu dan merusak kebun. Bahkan pada tahun 1990-an warga menanam tanaman buah di bukit sekitar gua agar kera-kera terjamin makanannya,” kata Kasmani, salah seorang tokoh Dusun Talunkacang.

Tergusur
Zaman bergerak. Populasi warga kota Semarang meningkat pesat. Tingginya jumlah penduduk tak diikuti gaya hidup yang ramah lingkungan. Akibatnya, Semarang menjadi daerah langganan banjir. Selain itu, air bersih menjadi defisit.

Pembangunan waduk pun menjadi pilihan. Dipilih lokasi di sekitar Jatibarang. Pembangunan waduk dimulai tahun 2006 dan mengancam kehidupan ribuan ekor kera Gua Kreo. Warga sendiri tidak ada persoalan, termasuk saat dilakukan pembebasan tanah, karena sosialisasi lebih dari cukup.

Kasri, pawang kera, mengatakan Pemerintah Kota Semarang pernah berjanji objek wisata Gua Kreo tetap akan dibuka untuk wisata. Kera-kera akan lebih terjamin makanannya. “Karena daya tarik wisata utamanya kera, biasanya pengunjung membawa makanan untuk kera. Tapi sekarang kan ditutup. Jadi, kera-kera menjadi lebih liar,” ujarnya.

Penggusuran habitat kera itu membuat kawanan kera mulai menyerang perkampungan penduduk. Warung-warung di pelataran parkir objek wisata Gua Kreo hampir setiap hari disatroni kera-kera yang kelaparan.

“Kami sebenarnya keberatan atas ketidakpedulian Pemerintah Kota Semarang yang mengabaikan keberadaan kera-kera itu. Sekarang kera-kera itu berkeliaran ke mana-mana. Bahkan, sudah berani masuk ke rumah penduduk, mencari makan,” kata Kasmani.

Selain warga, beberapa pihak peduli terhadap keberadaan kera-kera itu. Aktivis LBH Semarang, Muhnur, dan Amanda Putri Nugrahanti, wartawati, Juli lalu melangsungkan pernikahan di lokasi pembangunan waduk dan menanam 500 tanaman buah sebagai jaring pengaman. “Kami berharap langkah kecil kami bisa menjaga keseimbangan ekologi. Memang hasilnya baru terasa sekian tahun ke depan,” kata Muhnur.

Tanaman buah yang ditanam Muhnur dan Amanda belum berbuah. Demikian pula tanaman buah yang ditanam warga pada tahun 2007. Itulah yang memancing kemarahan kera-kera.

Warga Talunkacang saat ini masih menyiasati keliaran kera-kera itu. “Kera-kera bisa membedakan antara pengunjung dan warga. Mereka tak pernah mengganggu warga. Namun, karena tidak diurus, kera-kera itu berubah menjadi pengganggu. Namanya juga binatang. Menuruti naluri saja. Jadi, kalau harus menyalahkan, pemerintahlah yang salah, tidak mengantisipasi selama proyek pembangunan waduk,” kata Kasmani.

Pawang Pasrah
Proyek pembangunan Waduk Jatibarang dijadwalkan rampung tahun 2012 dan tahun 2013 semua areal sudah digenangi air. Dalam rentang waktu itu, kearifan masyarakat dalam menjalin komunikasi dengan kera dipastikan terganggu.

Kasri, sang pawang, mengaku kewalahan mengendalikan perilaku kera-kera itu. Meski baru beberapa bulan tak terurus, kera-kera menjadi beringas. “Saya biasanya mengatasi dengan makanan. Namun, ketika sawah dan ladang sudah dibuldozer dan tidak ada tanaman sama sekali, sedangkan jatah makanan tak diberikan, siapa pun akan sulit mengendalikan kera-kera itu,” ujarnya.

Kecemasan Mbah Jamad akan kelangsungan ritual Sesaji Rewanda juga kekhawatiran warga Talunkacang. Mereka khawatir persahabatan dengan kera-kera yang terjalin mulus sejak lama, akhirnya pupus.

Bagi Widodo dari Komunitas Kandanggunung yang peduli budaya dan lingkungan hidup, ritual Sesaji Rewanda sesungguhnya cerminan kearifan lokal. Dengan sesaji itu masyarakat berharap hidup berdampingan dengan kera-kera liar itu tanpa saling merugikan. “Sulit membayangkan jika kera-kera itu tidak diakomodasi dan diperlakukan sebagaimana mestinya. Saya berani menjamin itu akan merusak dan menimbulkan masalah di kemudian hari. Atau jangan-jangan hal itu memang disengaja agar kera-kera itu mati perlahan-lahan,” ujarnya.

Sukarman dari Divisi Lingkungan Hidup LBH Semarang menyoroti buruknya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pembangunan waduk tersebut. Menurut dia, sebelum pembangunan dimulai seharusnya amdal juga mempertimbangkan keberadaan kera-kera itu. “Terlihat sekali amdal proyek ini sangat lemah. Saya tidak bisa menyalahkan pelaksana proyek. Kontrak mereka kan hanya mengerjakan fisik. Amdal tetap wewenang pemilik proyeknya,” katanya.

Meski Sesaji Rewanda terancam hilang dan kera-kera mulai liar tak terkendali karena tak diurus, Mbah Jamad sesekali tetap menyapa binatang-binatang itu saat mandi di sungai. Baginya, komunikasi dengan kera-kera itu harus tetap dijaga. “Kita yang punya akal budi harus mengalah. Bagaimana caranya agar kera-kera yang saat ini tinggal sekitar 400 ekor tak marah saat tempat tinggalnya dirusak. Barangkali inilah akhir silaturahmi yang lama terjaga sesuai amanat Sunan Kalijaga,” kata mbah Jamad.

Kera-kera jenis ekor panjang (macaca fascicularis) itu seperti merasa gelisah dan terancam. Kini mereka sering menduduki buldozer-buldozer proyek waduk. Mata mereka tak henti menatap takjub puluhan truk besar yang hilir-mudik mengepras perbukitan di Kreo. (E4)


sumber & Foto-foto: VHRmedia / Andhika Puspita

Kampung Tanpa Lelaki

| | | 0 komentar
Korban-korban Rezim Soeharto

“Kraaak!” Tangan kecil Juwairiah membelah kayu bakar di belakang rumahnya. Perempuan Desa Cot Keeng, Kecamatan Bandar Dua, Pidie Jaya, terbiasa melakukan pekerjaan kaum pria.

“Kalau tidak kerja begini, bagaimana bisa menghidupkan keluarga?” kata perempuan berusia 56 tahun itu, enggan membuka pembicaraan.

Selain melakukan pekerjaan rumah, ibu tiga anak ini harus mengurus ladang. Pekerjaan kasar terpaksa dilakukan Juwairiah sendirian, setelah suaminya ditembak mati ABRI tahun 1990.

Suami Juwairiah dituduh terlibat Gerakan Pengacau Keamanan. Keluarga dilarang menguburkan jenazah. ”Suami saya diculik bulan Puasa, ketika memotong padi milik orang di sawah. Dia dibawa ke kantor Camat Ulee Glee,” tutur Juwairiah sambil berlinang air mata.

Meski kematian suaminya meninggalkan kesedihan mendalam, Juwairiah sadar keluarganya harus tetap hidup. Mencari kayu bakar dan bertani, satu-satunya cara bertahan hidup yang dia tahu.

Perempuan Desa Cot Keeng biasa melakukan pekerjaan kaum pria. Cot Keeng menjadi ”daerah merah” ketika Aceh dicengkeram Daerah Operasi Militer. Ladang pembantaian. Laki-laki tak berani tinggal di rumah.

Separo warga kampung kehilangan suami dan anak laki-laki dewasa. Cot Keeng dikenal sebagai Kampung Janda di kaki Bukit Barisan. Nama tersebut pemberian TNI untuk kampung tanpa suami ini.

Daerah Operasi Militer diberlakukan di Aceh sejak tahun 1989 hingga 1997. Status ini diberlakukan setelah Gubernur Ibrahim Hasan meminta tambahan pasukan kepada Presiden Soeharto.

”Saya mengundang putra-putra terbaik bangsa dari Jakarta untuk membantu memulihkan keamanan di Aceh,” kata Ibrahim Hasan kepada Tempo, Agustus 1998. ”Beri nasi kalau mereka lapar, dan air kelapa jika mereka haus. Ibarat orang meukeurija rayuek (pesta besar), sudah tentu risikonya akan pecah piring dan gelas selusin-dua lusin. Hal itu janganlah jadi soal.”

Salah seorang korban DOM Aceh, Iskandar Hasan, Kepala Desa Blang Miro saat itu. Blang Miro berada tak jauh dari Desa Cot Keeng.

Iskandar ditangkap tentara bersama 60 warga. Warga Desa Cot Keeng dan Blang Miro dituduh mendukung Gerakan Pengacau Keamanan.


Ibu-ibu Kampung Cot Keeng

Menurut Iskandar, penangkapan tersebut sebagai peristiwa paling menakutkan selama hidupnya. Hantaman popor senapan bertubi-tubi masih terekam dalam ingatan. Gelap. Kain hitam menutup matanya. ”TNI saat itu benar-benar tidak bermoral. Menangkap warga tanpa alasan,” ujarnya.

Selama penyekapan, Iskandar dipaksa mengaku sebagai anggota GPK. ”Jika tidak mengaku akan dipukuli dengan rotan dan popor senjata. Tubuh kami diinjak-injak. Ada yang ditembak di hadapan semua warga,” katanya.

Akibat penyiksaan, Iskandar kini tak lagi sanggup bekerja berat. Jika melihat tentara bergerombol, tubuhnya gemetar ketakutan. ”Jangankan untuk bekerja, duduk saja saya menahan sakit di punggung dan dada,” ujarnya.

Tidak hanya kaum pria, perempuan Aceh juga menjadi korban kekerasan tentara pada masa DOM. Salah seorang korban, Lina, mengaku tidak dapat melupakan peristiwa tragis yang menimpanya pada tahun 1998.

Lina diperkosa prajurit batalyon yang mendirikan pos penjagaan di Ulee Glee. Prajurit itu memaksanya menandatangani surat pernyataan tidak membawa masalah ini ke pengadilan. Lina hamil. Kini anak perempuannya berusia 12 tahun.

Lina tidak banyak bicara. Lebih banyak tertunduk. Sesekali menarik nafas panjang sambil memilin ujung kerudung.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat, selama diberlakukan Daerah Operasi Militer di Aceh, 102 perempuan menjadi korban pemerkosaan. Ratusan perempuan lainnya disiksa, dianiaya, atau dilecehkan.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan Aceh melaporkan, 1.258 orang tewas dan 550 orang hilang akibat DOM Aceh. ”Itu data yang baru diverifikasi Komnas HAM,” kata Koordinator Kontras Aceh, Hendra Fadhli.

Menurut Hendra, meski warga laki-laki kampung Cot Keeng sudah banyak yang kembali, butuh proses panjang untuk memulihkan mental dan menghapus trauma. “Menghilangkan trauma tidak cukup dengan program pendampingan. Harus ada advokasi dan penegakan hukum. Terutama bagi perempuan korban konflik, para janda, dan anak-anak.” (E1)

sumber & Foto: VHRmedia/ Alaidin Ikrami

Krisis Air Gede Pangrango

| | | 0 komentar
Pembalakan liar, pertambangan, alih fungsi hutan. Air Gede Pangrango tak lagi mengalir sampai jauh.

Kios penjual tanaman hias berdiri di sepanjang jalan menuju Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Sukabumi, Jawa Barat. Tumpukan sampah di belakang rumah warga bercampur air bersih yang mengalir dari gunung.

Gunung Gede Pangrango berada di kawasan dengan curah hujan tinggi. Kawasan konservasi seluas 22 ribu hektare ini merupakan sumber air sungai yang bermuara di utara Jakarta.

Kampung Sarongge, Ciputri, Pacet, Sukabumi, merupakan model desa konservasi yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gede Pangrango. Warga setempat mulai mengeluhkan berkurangnya debit air sungai. “Sulit air ketika kemarau,” kata Jaenudin, petani sayur di Kampung Sarongge.

Warga membantah debit air berkurang karena penggundulan hutan. Tahun 2004, setelah keluar keputuasan Menteri Kehutanan tentang taman nasional, penebangan hutan masih marak terjadi di wilayah ini.

“Perambahan hutan karena masalah ekonomi. Warga terpaksa melakukannya. Bukan karena tidak sayang hutan. Kalau tidak kerja seperti ini, mungkin tidak makan. Dari situ ada istilahnya tenggang rasa dan memberi perhatian,” kata Jaenuddin sambil memanen cabai yang siap dikirim ke Jakarta.

Pengelola Taman Nasional Pangrango mengaku sudah berupaya menyadarkan masyarakat agar tidak membalak kayu. Ketergantungan masyarakat terhadap kayu hasil hutan menjadi ancaman bagi taman nasional.

“Potensi gangguan sangat besar. Lahan seluas 22.821 hektare, di sekitarnya terdapat 450 ribu jiwa. Sebagian besar hidupnya sangat tergantung pada hutan di taman nasional, dari kayu bakar dan kebutuhan hutan bukan kayu,” ujar Sumarto, Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.


Sampah di Gunung Gede

Petani tidak terima dituduh sebagai perusak hutan. Mereka juga menolak dicap sebagai biang penyebab banjir di Jakarta, karena Gunung Gede Pangrango mulai rusak. “Banyak informasi Jakarta banjir karena Gunung Gede gundul. Tidak seperti itu,” kata Jaenudin.

Meski kesulitan air saat kemarau, suplai sayuran dari Kampung Sarongge ke Jakarta belum terganggu. Setiap hari daerah ini menyuplai 10 ton sayuran ke pasar induk Jakarta.

Lahan pertanian warga yang berbatasan dengan lahan konservasi taman nasional terancam tergusur perkebunan stroberi skala besar. Kebun stroberi tidak dapat menyerap air karena menutup permukaan tanah dengan plastik.

Sekitar 3 kilometer dari kebun stroberi, dampak minimnya resapan air ke tanah mulai terasa. Villa Kota Gardenia di Desa Ciputri seperti kota mati karena ditinggalkan para penghuni. Daerah ini menjadi langganan banjir luapan air dari gunung.

“Tidak hanya karena stoberi. Di atas sana sudah tidak ada resapan,” kata Aceng Syaifudin, anggota satuan pengamanan Villa Gardenia.

Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango membantah resapan air di kawasan konservasi sudah kritis. “Air masih bisa disuplai 231 miliar liter per tahun. Sumber air Gede Pangrango digunakan untuk penggerak mikrohidro Jatiluhur, Cirata, Saguling, Cimandiri, dan Cisoka. Karena hasil evaluasi hulu sungai masih bagus, Cisoka dibangun lagi. Ini membuktikan produksi air di Gede Pangrango masih bagus,” kata Sumarto.

Gunung Halimun
Kondisi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango tidak begitu buruk dibandingkan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Luas Taman Nasional Salak saat ini mencapai 113 ribu hektare.

Rokib, tokoh masyarakat Kampung Sukagalih, Kabandungan, Sukabumi, di kaki Gunung Halimun, mengaku tidak kesulitan air. Kondisi hutan juga tidak sepenuhnya rusak.

Menurut dia, penebangan hutan sudah tidak terjadi. Kebutuhan kayu bakar dipenuhi melalui menanam pohon sengon di luar kawasan konservasi. “Kami menanam. Kalau tidak ada, beli kepada tetangga yang menanam pohon,” kata Rokib.

Namun, warga khawatir rencana pembangunan proyek air (PDAM) di Desa Sukagalih akan menguras sumber air yang selama ini dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga mikrohidro.

Jika pasokan listrik terganggu, dikhawatirkan PLN masuk dan masyarakat akan terbebani membayar iuran listrik. “Kalau kemarau agak kering. Kalau ada PDAM, jangan sampai mengganggu mikrohidro,” kata Ahim, pengelola pembangkit listrik mikrohidro di Kampung Cisalimar.


PT Chevron Geothermal Salak

Ancaman kesulitan air juga dirasakan masyarakat Kampung Jayanegara, yang berbatasan dengan kawasan perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi, PT Chevron Geothermal Salak. “Semenjak ada pengeboran, debit air jadi kecil. Padahal dulu besar,” kata Suhandi, warga Jayanegara.

Pembangkit listrik tenaga panas bumi berpotensi menjadi energi alternatif. Selain rendah emisi, geothermal tidak menggunakan bahan bakar untuk menghasilkan listrik. Namun, proses produksi listrik PT Chevron menguras sumber air Sungai Cibeurem dan Ciherang.

Lokasi pengeboran panas bumi juga membutuhkan lahan luas. Setidaknya diperlukan 1 hektare lahan untuk membangun 1 unit pengeboran geothermal. “Pohon ditebangi untuk lokasi pengeboran,” ujar Suhandi.

Belum lagi masalah pembalakan liar yang, menurut M Kosar, disebabkan tidak jelasnya batas Taman Nasional Halimun. M Kosar adalah Ketua Absolute, organisasi lokal yang menjaga kelestarian hutan. “Tapal batas dan penataaan batas tidak jelas. Ini menyebabkan penebangan liar,” ujarnya.

Menurut M Kosar, masyarakat menganggap wajar mengambil ranting kayu di dalam taman nasional. Sedangkan pengelola taman nasional menganggap tindakan tersebut sebagai pidana.

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, deforestasi hutan Indonesia mencapai 1,1 juta hektare per tahun. State of the World’s Forest, Food and Agricultural Organization (FAO), tahun 2007 menyatakan Indonesia negara dengan laju kerusakan hutan tertinggi kedua di dunia.


Villa Kota Gardenia

Conservation International Indonesia (CII) menyebutkan kondisi hutan asli Taman Nasional Gunung Gede Pangrango masih baik. Taman nasional kini harus memperbaiki kondisi hutan seluas 2.500 hektare yang didapat dari hibah Perum Perhutani.

Sejak tahun 2008 baru 260 hektare yang ditanami melalui program adopsi pohon. Untuk mengembalikan 2.500 hektare lahan yang rusak diperlukan waktu lebih dari 20 tahun. “Tidak mudah mengembalikan kawasan yang rusak. Apalagi ada aktivitas bercocok tanam di kawasan tersebut,” kata Anton Ario, Program Manager Conservation International Indonesia untuk Gede Pangrango dan Halimun Salak.

Dampaknya bagi Jakarta, air dari hulu sungai akan mengalir melalui Sungai Ciliwung tanpa penahan sehingga menyebabkan banjir. Di sisi lain, Jakarta juga mulai terkikis abrasi air laut. “Bisa dibayangkan jika air laut masuk ditambah hulu yang sudah rusak. Fatal sekali,” kata Anton Ario. (E1)


sumber & Foto-foto: VHRmedia / Kurniawan TY

Derita di Tanah Sabrang (4)

| | | 0 komentar
Transmigrasi yang terencana dapat memperbaiki ekonomi pendatang. Juga mengajarkan etos kerja keras bagi penduduk lokal.

Sebagai wilayah dengan luas sekitar 146.807 km2, Kalimantan Barat merupakan wilayah terbesar keempat setelah Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Luas Kalbar 7,53 persen dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Berdasarkan sensus terakhir, jumlah penduduk Kalbar 4.4247.516 jiwa dengan kepadatan 28 jiwa/km2. Kalbar memiliki 12 kabupaten dan 2 kota madia, meliputi 149 kecamatan, 80 kelurahan, dan 1.417 desa.

Kalbar ditetapkan sebagai daerah transmigrasi melalui Keppres 12/1974 tanggal 11 Maret 1974. Transmigrasi pertama di Kalbar di Sungai Durian, Kubu Raya, dekat Bandar Udara Supadio. Namanya Trans Obyek.

Data dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi, sejak ditetapkan pada 1974 hingga 2008, terdapat penempatan transmigran 125.186 keluarga yang meliputi 512.310 jiwa. Pada 2009 terdapat penambahan 725 keluarga. Hingga tahun 2008 dibangun 328 unit pelaksana teknis. Tahun 2009 terdapat sebuah UPT baru. Terdapat 212 UPT yang menjadi desa. Jumlah itu merupakan 15,80 persen dari jumlah desa di Kalbar. Sepuluh UPT menjadi kecamatan. Luas area yang dibangun 271.975 hektare, dengan asumsi setiap keluarga mendapat 2,21 hektare.

Dari ketersediaan lahan, sebagian besar wilayah Kalbar dapat menerima transmigrasi. “Cuma, tergantung pemerintah daerah. Mau atau tidak membuat program transmigrasi,” kata Akhmadi.

Kubu Raya merupakan salah satu kabupaten yang masih menerima transmigran. Masih banyak wilayahnya yang bisa ditempati transmigran. “Transmigrasi untuk membuka memotifasi masyarakat lokal. Yang paling penting di program transmigrasi sekarang adalah diperencanaan,” kata Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan.

Mahendrawan menilai ada sisi positif program transmigrasi pada masa Orde Baru. Namun, kadang tumpang-tindih juga. Sekarang semua pemda menangani. Karena itu, perlu ada sinergi dengan pemda dalam kerangka pemberdayaan masyarakat, pendidikan, dan lainnya. Artinya, harus mendasar pada pelayanan.

Mahendrawan mengapresiasi baik otonomi daerah. Pemda diberi hak menentukan kebutuhannya. Ada perjanjian dengan daerah pemasok transmigrasi, sebelum pelaksanaan kegiatan. “Sebab, transmigrasi tidak sekadar memindahkan penduduk, tapi lebih pada pemberdayaan daerah,” katanya.

Menurut dia, pada transmigrasi pasca-otonomi daerah, pemda diberi peran menentukan kebutuhan sendiri. Tidak asal mendatangkan transmigran, tapi dicarikan dulu daerah yang akan mengirimkan transmigran. “Bahkan, kita juga tahu CV-nya. Mereka seperti apa, kita harus tahu.”

Pemda lebih leluasa memilih peserta transmigrasi. Misalnya, pilihan peserta yang ahli di bidang tertentu. Setelah itu disampaikan ke Departemen. Kalau cocok, baru perjanjian kerja sama dengan daerah pengirim transmigrasi. Misalnya, Kubu Raya ingin mengembangkan ternak itik di wilayahnya, maka dalam penentuan peserta transmigrasi dapat mengajukan peserta trans dari Brebes, Jawa Tengah. Sebab, daerah itu terkenal sebagai ahli beternak itik.

Menurut Mahendrawan, program transmigrasi ideal bagi orang yang bermukim di lokasi baru berbaur dengan penduduk setempat, dengan fasilitas pemerintah. Dalam hal ini berbagi segalanya. Penduduk setempat mempunyai banyak sumber daya alam, tapi minim keterampilan. Transmigran yang didatangkan mempunyai keterampilan di atas rata-rata dan mempunyai etos kerja tinggi. Di lapangan mereka berbagi. “Ideal sekali, kalau mereka bisa bekerja sama dan saling memberi.”

Pemda harus menciptakan magnet terlebih dahulu. Misalnya dengan investasi yang masuk, agar orang tertarik mengirimkan peserta transmigrasi. Menurut dia, transmigrasi melibatkan pihak swasta dengan pemda. Misalnya, perkebunan jagung. Ketika kebun jagung sudah berjalan, transmigran bisa masuk. Dengan adanya perkebunan, ada jaminan hidup ke depan. “Jauh lebih baik dari sistem dulu. Pemda lebih leluasa memilih trans,” katanya.

Dari segi komposisi, transmigran juga disandingkan dengan translokal. Transmigran lokal ditentukan pemda. Warga yang bermukim di lingkungan padat dan sesak, bisa dipindahkan. “Warga yang tak ada harapan lagi, kita giring ke daerah yang sudah ada jaminan transmigran,” katanya.

Pemda juga ingin terjadi perubahan sosial pada masyarakat lokal. Untuk menciptakan masyarakat produktif, salah satu cara dengan membuat warga heterogen. Warga transmigran diharapkan bisa memberikan motifasi dan inspirasi. Ketika warga lokal bergaul dengan warga pendatang, ada sesuatu bisa dipelajari. Sikap produktif warga transmigran diharapkan menular. “Transmigrasi mengajak perubahan sosial, agar tidak stagnan,” kata Mahendrawan.

Karena itu, perencanaan pemda harus tepat, agar potensi dapat dimaksimalkan. Di daerah, semua instrumen harus diperkuat. Tidak hanya mencetak sawah, tapi kelembagaan petani juga harus diperkuat, permodalan, teknologi, transportasi, akses keluar-masuk harus dipikirkan dari awal.

Mahendrawan berpendapat, jika pemda hanya berorientasi pada proyek dan agar transmigrasi bisa masuk, tanggung jawabnya bakal lebih besar. Sebab, tanpa disadari, jika ada transmigran tak betah, akan berpengaruh terhadap warga lainnya. Padahal, pemda ingin warga berpikir terbuka, sehingga ada perubahan sosial.

Dia berharap, melalui cara tersebut, muncul partisipasi. Intinya, bagaimana cara warga ikut berpartisipasi. Salah satu caranya mendorong komunitas produktif, sehingga menular terhadap warga setempat.

Lokasi transmigrasi harus dilihat kembali ke tata ruang pengembangan kawasan, bagaimana pemda fokus dengan sektor sistem yang dibangun. Misalnya, mengenai pertanian. Kalau orientasinya lebih pada bagaimana menentukan lahan, akan terjadi benturan. Misalnya, lahan produktif tak bisa untuk sawit. Dari segi ketahanan pangan dan lahan produktif berkelanjutan, bagaimana komitmen daerah itu. Harus ada lahan pangan di sana.

Pemda harus melihat struktur masyarakat setiap desa. Harus ada datanya, sehingga bisa melihat kapasitasnya. Harus dibuka peluang investasi. Cara menentukannya, melihat prospek di wilayah itu. “Biasanya kita menyediakan wilayah pencadangan dan dibuatkan SK,” kata Mahendrawan.

Pemda juga membuat program wilayah cadangan bersertifikat, sehingga ketika transmigran masuk, fasilitas sudah ada. Pembangunnya bisa dilakukan investor atau pemda. Tenaganya pun harus dipersiapkan.

Mahendrawan tak menampik pada era otonomi daerah, banyak pejabat yang kemampuannya tak sesuai. Termasuk penempatan pejabat di transmigrasi. Menurut dia, hal itu kembali pada punya visi atau tidak seorang kepala daerah. “Karena terlalu banyak kooptasi dalam masalah politik. Akhirnya, kerja tak bisa berjalan,” katanya.

Mengenai syarat pembukaan wilayah baru untuk lokasi transmigrasi, Untung Hidayat mengatakan, daerah yang mempunyai program transmigrasi mengajukan usul ke pemerintah pusat. Setelah itu, Departemen Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi mencari daerah yang siap memberangkatkan transmigran. “Ada legalitas lahan untuk transmigrasi.”

Mekanismenya, dimulai dari desa yang ingin ada penempatan program transmigrasi. Usulan melalui Badan Perwakilan Desa, diteruskan ke kecamatan dan kabupaten. Setelah ada pertemuan di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten, dilanjutkan peninjauan lokasi. Bupati kemudian mengusulkan ke provinsi yang mengadakan identifikasi lokasi. Usulan kemudian diteruskan ke Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Dirjen Pembinaan Penyiapan Pemukiman Penempatan Transmigrasi (P4T). Setelah itu pusat membahas usulan tersebut.

Jika lokasi dapat untuk transmigrasi, bupati membuat surat keputusan pencadangan lahan. Setelah SK terbit, pemda harus membuat studi kelayakan melalui rencana teknis satuan pemukiman (RTSP) untuk mengetahui daya tampung lahan tersebut.

Pada studi kelayakan, lahan harus memenuhi syarat 2C4L atau clear and clean. Artinya, lahann harus jelas dan ada batas-batasnya serta bebas dari kepemilikan atau penggunaan. Surat-surat tanah harus jelas agar tidak ada konflik di kemudian hari.

RTSP yang menentukan 4L, yaitu layak lingkungan, layak huni, layak berkembang, dan layak usaha. Layak lingkungan berarti lahan bisa dikembangkan, tidak merusak lingkungan, dan tidak ada konflik dengan penghuni. Layak huni, lahan bisa dihuni dan layak dijadikan permukiman. Layak berkembang, antara investasi dan hunian bisa sesuai. Misalnya, membangun jalan tidak terlalu panjang dan langsung bisa menuju lokasi transmigarsi. Kini

Idealnya, sekali penempatan 500 keluarga, sehingga bisa langsung menjadi satu desa. Rumah transmigran berupa rumah panggung dari kayu. Rumah itu dibangun seharga Rp 28 juta - Rp 29 juta. Dana itu sangat minim, karena rumah seperti itu minimal dananya Rp 36 juta. Fasilitas umum 1.300 meter - 1.500 meter. Pembangunan infrastruktur dananya hanya Rp 10 juta. Dana yang dibutuhkan untuk program transmigrasi setiap keluarga Rp 50 juta hingga Rp 60 juta.

Tahun 1990-an usaha perkebunan berkembang pesat. Tahun 1992 Departemen Transmigrasi mengembangkan transmigrasi perkebunan. Setiap keluarga mendapat 0,5 hektare lahan pekarangan dan 2 hektar lahan kebun kelapa sawit. Program itu dijalankan di Sambas, Bengkayang, Sanggau, Ketapang, Sekadau, Melawi, Sintang, dan Ketapang.

Beberapa perusahaan ada di lokasi transmigrasi, antara lain di Sambas terdapat PT Multi Inti Sejati Plantations, di Sanggau ada PT Multi Prima Entake dan PT Kalimantan Sanggar Pustaka, di Sintang ada PT PSDK, di Ketapang ada PT Benoa Indah Grup. Dengan masuknya perusahaan, jalan pun diperbaiki. Bagaimanapun, buah tandan segar (BTS) , membutuhkan angkutan dan jalan yang baik. Perusahaan ikut membuat dan memperbaiki jalan. Warga mendapat keuntungan dari akses jalan dan mudah menjual hasil bumi.

Sejak pertama digulirkan, permasalahan mendasar transmigrasi berkutat pada minimnya akses transportasi dan komunikasi, sehingga semuanya tidak lancar. Dengan adanya alat komunikasi, misalnya telepon genggam, kalaupun hasil bumi tak bisa dibawa ke pasar atau kota secara langsung, ada pedagang pengumpul. Mereka datang dan membeli hasil bumi. “Hasil muncul juga karena orang rajin bekerja dan transportasi serta komunikasi mulai lancar,” kata Hidayat.

Endang Kusmiyati merasakan perubahan warga transmigrasi di tempatnya tinggal. Sekarang ini Pandan sangat panas. Tak banyak lahan kosong untuk menggembalakan ternak kambing atau sapi, dengan masuknya perkebunan kelapa sawit ke desa sekitar tahun 1992.

Kini hampir semua lahan milik masyarakat telah diserahkan kepada perusahaan. Kesejahteraan karena kehadiran perkebunan tersebut masih begitu dirasakan sebagian besar masyarakat transmigran. Rumah-rumah karbot dan lampu sentir atau pelita tak ada lagi. Kendaraan roda dua terparkir hampir di setiap rumah, walaupun dengan status kredit.

Ada dampak positif. Kesejahteraan ekonomi sedikit demi sedikit merembet ke arah pendidikan. Dulu orang tua merasa cukup bila anaknya hanya tamat SMA. Kini mereka menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. “Sudah tak terhitung jari lagi anak-anak trans yang telah menjadi sarjana,” kata Endang.

Namun, Endang juga kecewa atas santernya isu putra daerah saat berlangsung hajatan politik. Meski terlahir di Kalbar, ia seakan dianggap tidak memiliki hak yang sama dengan warga setempat. Dia mempertanyakan, mengapa mesti dibedakan putra daerah dan bukan putra daerah, atau pendatang dan bukan pendatang. “Bukankah lebih indah jika kita semua yang tinggal di bumi Kalimantan ini berlomba-lomba memberikan yang terbaik buat negeri ini, buat anak cucu pewaris negeri ini?” katanya.

Muda Mahendrawan menganggap euforia politik terkadang membuat orang menghembuskan isu putra daerah. Menurut dia, hal itu wajar, untuk menunjukkan eksistensi. “Saya lihat tanpa dorongan untuk muncul komunitas yang lain, pemahaman politik masyarakat menjadi lambat,” katanya.

Menurut Mahendrawan, percepatan perubahan sosial dan pemberdayaan bisa dilakukan melalui transmigrasi. “Semakin kita tutup, transmigrasi ibarat menjadi teror politik. Kesadaran, partisipasi politik, menjadi terlambat.” (Selesai)

sumber : VHRmedia / Muhlis Suhaeri

sumber foto : ceritaindonesia.wordpress.com, beritanusantara.com

Derita di Tanah Sabrang (3)

| | | 0 komentar
Banyak kritik pada program transmigrasi. Tak ada koordinasi antar-institusi soal tata kelola dan penanganan program transmigrasi.

Dalam buku Ayo ke Tanah Sabrang, peneliti asal Perancis Patrice Levang menyebutkan, pada 12 Desember 1950 setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dengan bus, 23 keluarga dari Jawa Tengah akhirnya menjejakkan kaki di Lampung. Keluarga-keluarga itu berasal dari kota yang sangat padat penduduk atau lahan kritis. Mereka menghindar dari kelaparan dan penyakit, menuju tanah baru yang menjanjikan kehidupan lebih baik. Mereka merupakan keluarga pertama yang memanfaatkan program ambisius pemerintah Indonesia, yang bertujuan memberikan lahan dan kesempatan kerja kepada warga termiskin. Program itu bernama transmigrasi.

Transmigrasi berasal dari politik etis yang dikeluarkan Belanda: pendidikan, irigasi, dan migrasi. Bagian ketiga menjadikan kolonisatie pada 1905 sebagai cikal bakal transmigrasi masa kini. Asisten Residen HG Heijting yang pertama mempelajari kemungkinan pemindahan penduduk Jawa dari Karesidenan Kedu, Jawa Tengah, ke daerah di luar Jawa. Dia juga yang mengusulkan dalam setiap pemindahan ada kelompok inti yang terdiri atas 500 keluarga. Keluarga ini mendapat jaminan hidup selama setahun. Transmigrasi dibagi menjadi tiga fase. Fase percobaan (1905-1931), Fase Kedua (1931-1941), dan Pascaperang.

Kini, setelah seabad lebih usia program transmigarsi, tabir permasalahan masih menyelimuti program ini. Ada silang pendapat dalam penanganan.

“Kalau menuruti hati nurani, saya tidak ingin ada program transmigrasi lagi. Tapi, kalau melihat kondisi di Jawa, masih diperlukan program transmigrasi,” kata Akhmadi, Ketua Perhimpunan Keluarga Transmigran RI (Patri) Kalimantan Barat.

Menurut Akhmadi, ada kewajiban lain yang membuat ia harus mendukung program transmigrasi. Apalagi dengan berbagai permasalahan di Jawa. Misalnya, kurangnya lahan pertanian dan bencana alam seperti banjir dan lumpur Lapindo Brantas.

Akhmadi ingat bagaimana program pembinaan dilakukan di daerahnya. Ia kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur. Tahun 1982 ia lulus SD. Keluarganya mendapat tawaran bertransmigrasi ke Kendari, Sulawesi tenggara. Keluarganya menjual seluruh barang dan rumah. Saat semua barang sudah dijual, pemberangkatan tertunda. Terpaksa dia dan keluarga menumpang di rumah neneknya hingga enam bulan. Biaya hidup ditutup dengan menjual berbagai barang. Tiba-tiba ada tawaran transmigrasi ke Sekadau, Kalimantan Barat. Mereka setuju saja. Saat berangkat, uang sudah habis sama sekali.

Akhmadi dan keluarganya menempati SP 1 Transmadya, Desa Landau Kodah, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau. Wilayah itu diberi nama sesuai dengan nama CV yang menjadi kontraktor pembangunan. Jarak dari Sekadau sekitar 12 km. Karena tak ada uang, sekeluarga hanya mengandalkan jatah hidup dari pemerintah. Selama berbulan-bulan hanya makan nasi dengan lauk ikan asin. “Jadi, sekarang kalau tak makan ikan asin, tak sah makannya,” kata Akhmadi sembari tertawa.

Akhmadi beruntung sempat kuliah di Fakultas Bahasa Inggris, Universitas Tanjungpura. Ia pernah menjadi guru sekolah dan memberi kursus bahasa Inggris.

Menurut dia, karena program transmigrasi merupakan program nasional, penanganannya juga harus secara nasional. Bila ditangani secara nasional, kepentingan daerah praktis ikut terfasilitasi.

Transmigrasi pertama kali berjalan pada era Orde Baru. Pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, pada 2001 dia meminta Ryaas Rasyid menyusun konsep otonomi daerah. Gus Dur juga membubarkan Departeman Transmigrasi. Selama 2001 - 2002 tak ada program transmigrasi. Pada 2003 program kembali berjalan dengan konsep berbeda.

“Banyak sekali perbedaan transmigrasi antara dulu dan sekarang,” kata Akhmadi.

Dulu, setiap satuan pemukiman (SP) ada kepala unit pemukiman transmigrasi (KUPT) lengkap dengan staf bidang tata usaha, pembimbing ekonomi, serta pemukiman dan penempatan. Ada staf yang menangani penyuluhan pertanian, pelayanan kesehatan, dan membina masyarakat dari segi sosial budaya. Sejak ada otonomi daerah, tanggung jawab transmigrasi hanya pada kepala desa dan perangkatnya.

Masalah yang khas di daerah transmigrasi biasanya benturan budaya. Warga dari berbagai daerah dan penduduk setempat tentu punya banyak perbedaan, sehingga bisa saja menimbulkan benturan budaya. Selanjutnya terjadi proses akulturasi budaya, sehingga kalau ada masalah cepat tertangani. Pembinaan pun jelas. “Ibaratnya, dari belum bisa berenang hingga bisa berenang sendiri,” kata Akhmadi.

Dia menilai sekarang antara Dinas Transmigrasi provinsi dan kabupaten/kota tidak ada jalur koordinasi, sehingga ketika ada massalah saling lempar tanggung jawab. “Kalau ada masalah, tak tahu di mana penyelesaiannya,” katanya.

Sekarang ini kepala Dinas Transmigrasi, karena yang menentukan gubernur dan bupati/wali kota, kadang tak memahami transmigrasi. Dulu, transmigrasi ditangani langsung Departemen Transmigrasi, sehingga orang yang bertugas mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang transmigrasi.

Sengkarut penanganan program transmigrasi bisa dilihat dari berpindahnya penanganan di level departemen. Sudah berkali-kali program transmigrasi pindah departemen. Dalam bukunya, Patrice Levang menulis, pada 1947 tranmigrasi masuk Departemen Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 1948 masuk Departemen Pembangunan dan Kepemudaan, kemudian ke Departemen Dalam Negeri. Sebagai dinas dari Departemen Pembangunan Daerah, transmigrasi kembali ke Departemen Sosial sebelum dijadikan Departemen pada 1957. Sejak 1959 transmigrsi digabungkan dengan Departemen Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa dalam tiga bentuk yang berbeda. Kemudian dipindahkan ke Departemen Dalam Negeri. Selanjutnya ke Departemen Veteran, setelah itu kembali ke Departemen Koperasi. Tak lama kemudian dipindahkan ke Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi. Pada 1983 sepenuhnya menjadi Departemen Transmigrasi.

Dalam perkembangannya, transmigrasi digabung lagi dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Setelah itu masuk Departemen Kependudukan. Lalu, menjadi Departemen Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi.

“Kalau dulu transmigrasi seolah dipaksakan. Sekarang jadi lebih parah. Karenanya, tak heran bila terjadi berbagai masalah mengenai transmigrasi,” kata Akhmadi.

Masalah itu misalnya terjadinya penyerobotan tanah yang sudah menjadi hak para transmigran. Belum selesainya surat sertifikat tanah. Bahkan, meski ada sertifikat, transmigran tak mendapatkan tanah garapan. Penyebabnya? Ketika ada sosialisasi mengenai penempatan transmigrasi, yang tahu hanya para tokoh warga atau kepala adat. Dalam perjalanannya, warga tak tahu mengenai hal itu.

Akhmadi berharap harus ada revisi terhadap program transmigrasi, termasuk revisi UU Transmigrasi.

Mulyoto, Kepala PMKT Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kalbar, mengatakan, transmigrasi pada era Orde Baru dengan sistem target. Para transmigran didistribusikan sesuai kemampuan daerah. Pelaksanaannya bersifat sentralistik. “Provinsi menjadi wakil pemerintah pusat.”

Petugas UPT disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Struktur dinasnya jelas. Ada kepala UPT dibantu beberapa petugas. Jumlah setiap penempatan di UPT sekitar 300 hingga 500 keluarga, sehingga bisa menjadi desa baru.

Sejak otonomi daerah, transmigrasi menjadi kebutuhan daerah. Jumlah transmigran tergantung permintaan daerah di setiap UPT. Bisa 100 keluarga atau 200 keluarga. Semua pelaksanaan transmigrasi berada di kabutapen sebagai pelaksana. Provinsi berfungsi sebagai fasilitator, monitoring, bimbingan, serta evaluasi. Kebutuhan sumber daya manusia di lapangan tidak terpenuhi. Banyak UPT hanya mengandalkan SDM yang tersedia. Malah beberapa UPT hanya menggunakan perangkat desa dengan bimbingan teknis dan pembekalan seadanya.

Padahal, transmigrasi merupakan dinas yang spesifik. Jadi, harus ada pelatihan tentang unit transmigrasi. Cuma, pada era otonomi daerah, kepala daerah terkadang memutasi orang yang sudah paham transmigrasi ke bidang lain. “Sehingga harus mulai dari nol lagi,” kata Mulyoto. “Jadi, krisis SDM terjadi di semua lini.”

Upaya yang dilakukan memaksimalkan potensi dan bimbingan, terkait yang ada saja. Hasilnya tidak bisa maksimal seperti masa lalu, di mana petugas UPT lengkap. “Langkah yang ditempuh belum ada, karena masalah SDM yang tidak cukup di kabupaten,” kata Mulyoto.

Sementara program transmigrasi tetap berjalan, meski tak sebesar masa lalu. Pembinaan berjalan apa adanya, sehingga hasilnya tidak maksimal. Akibat kekurangan SDM, kelayakan SDM di dinas kurang tersedia. Ketersediaan SDM, ini yang jadi soal, akibat pengembangan atau pemekaran kabupaten.

Mulyoto melihat regenerasi, kebutuhan, dan pemenuhan belum imbang. Hal itu terjadi karena kemampuan pemerintah merekrut pegawai masih terbatas. Sementara itu, provinsi tak bisa memberikan saran kepada kabupaten untuk menempatkan orang yang memang punya kapasitas di kabupaten. “Semua berjalan sesuai dengan apa yang ada,” ujarnya.

Namun, hal itu tak hanya di lingkup transmigrasi. Juga terjadi di lingkup lain. Misalnya di bidang pertanian dan dokter atau pelayanan kesehatan. “Yang jadi persoalan di pembinaan. Kabupaten sebagai penerima kegiatan belum didukung SDM memadai di bidang transmigrasi. Terutama dalam jumlah dan kualitas,” kata Mulyoto.

Untung Hidayat, Sekretaris Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Kubu Raya, menyatakan sukses tidaknya seorang transmigrasi tergantung pada banyak hal. Misalnya, pola dan tradisi berbeda dalam bercocok tanam. Di Jawa, mencangkul harus dalam, sehingga tanahnya bisa diolah dengan baik. Sedangkan di Kalimantan, tanah gambut unsur hara tidak tebal atau tanah mentah. Mencangkul tak perlu terlalu dalam, karena tanah subur hanya sekitar 20 cm di atas tanah.

Karena itu, kalaupun di Jawa seseorang berhasil bercocok tanam, di Kalimantan belum tentu. Banyak faktor berperan. Musim tanam lain. Cara bercocok tanam lain. Pengolahan tanah dan kesuburan tanah berbeda. Hal itu butuh penyesuaian dan waktu. Para transmigran yang masih tinggal dan bertahan merupakan transmigran terseleksi.

Tidak semua kabupaten di Kalbar ada program transmigrasi. Tergantung wilayahnya. Program transmigrasi masih berlangsung di Kabupaten Kubu Raya, Ketapang, Kayog Utara, Sambas, dan Kapuas Hulu. Lima kabupaten itu masih mengusulkan program transmigrasi.

Untung Hidayat mengatakan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kubu Raya meningkatkan pelayanan di satuan pemukiman dengan memberikan berbagai insentif kepada mereka yang bekerja di sektor pelayanan masyarakat. Di pemukiman ada tenaga kesehatan. Dokter mendapat insentif Rp 300 ribu, bidan Rp 300 ribu, dan paramedis Rp 250 ribu. Obat-obatan disediakan pemerintah.

Dalam bidang pertanian, sejak 2009 penyuluh pertanian lapangan (PPL) tidak diberi honor. PPL tidak membawahkan desa transmigrasi. Sebab, sekarang transmigran tidak begitu banyak. Ketika ada penyuluhan, warga trans ikut dengan peserta dari desa tempat mereka tinggal.

Di lokasi transmigrasi dibentuk Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional (TKPMP) yang bertugas membantu warga transmigran atau sebagai pembimbing. Setiap lokasi ada satu orang. Sistemnya kontrak satu tahun. TKPMP akan koordinasi dengan kepada desa.

Tiap tahun Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi melakukan bimbingan teknis untuk TKPMP, pegawai yang melayani bidang itu. Petugas transmigrasi sebagai koordinator. Secara teknis, kehidupan orang hidup merupakan bagian dari dinas-dinas lainnya. Misalnya, pertanian dengan penyuluh pertanian. Kesehatan dengan penyuluh kesehatan. Segala aspek kehidupan ada di transmigrasi dan secara sektoral.

“Hal itu merupakan kewajiban di dinas secara sektoral,” kata Hidayat. (bersambung)

sumber: VHRmedia / Arwani / Muhlis Suhaeri

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?