SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Krisis Air Gede Pangrango

| | |
Pembalakan liar, pertambangan, alih fungsi hutan. Air Gede Pangrango tak lagi mengalir sampai jauh.

Kios penjual tanaman hias berdiri di sepanjang jalan menuju Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Sukabumi, Jawa Barat. Tumpukan sampah di belakang rumah warga bercampur air bersih yang mengalir dari gunung.

Gunung Gede Pangrango berada di kawasan dengan curah hujan tinggi. Kawasan konservasi seluas 22 ribu hektare ini merupakan sumber air sungai yang bermuara di utara Jakarta.

Kampung Sarongge, Ciputri, Pacet, Sukabumi, merupakan model desa konservasi yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gede Pangrango. Warga setempat mulai mengeluhkan berkurangnya debit air sungai. “Sulit air ketika kemarau,” kata Jaenudin, petani sayur di Kampung Sarongge.

Warga membantah debit air berkurang karena penggundulan hutan. Tahun 2004, setelah keluar keputuasan Menteri Kehutanan tentang taman nasional, penebangan hutan masih marak terjadi di wilayah ini.

“Perambahan hutan karena masalah ekonomi. Warga terpaksa melakukannya. Bukan karena tidak sayang hutan. Kalau tidak kerja seperti ini, mungkin tidak makan. Dari situ ada istilahnya tenggang rasa dan memberi perhatian,” kata Jaenuddin sambil memanen cabai yang siap dikirim ke Jakarta.

Pengelola Taman Nasional Pangrango mengaku sudah berupaya menyadarkan masyarakat agar tidak membalak kayu. Ketergantungan masyarakat terhadap kayu hasil hutan menjadi ancaman bagi taman nasional.

“Potensi gangguan sangat besar. Lahan seluas 22.821 hektare, di sekitarnya terdapat 450 ribu jiwa. Sebagian besar hidupnya sangat tergantung pada hutan di taman nasional, dari kayu bakar dan kebutuhan hutan bukan kayu,” ujar Sumarto, Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.


Sampah di Gunung Gede

Petani tidak terima dituduh sebagai perusak hutan. Mereka juga menolak dicap sebagai biang penyebab banjir di Jakarta, karena Gunung Gede Pangrango mulai rusak. “Banyak informasi Jakarta banjir karena Gunung Gede gundul. Tidak seperti itu,” kata Jaenudin.

Meski kesulitan air saat kemarau, suplai sayuran dari Kampung Sarongge ke Jakarta belum terganggu. Setiap hari daerah ini menyuplai 10 ton sayuran ke pasar induk Jakarta.

Lahan pertanian warga yang berbatasan dengan lahan konservasi taman nasional terancam tergusur perkebunan stroberi skala besar. Kebun stroberi tidak dapat menyerap air karena menutup permukaan tanah dengan plastik.

Sekitar 3 kilometer dari kebun stroberi, dampak minimnya resapan air ke tanah mulai terasa. Villa Kota Gardenia di Desa Ciputri seperti kota mati karena ditinggalkan para penghuni. Daerah ini menjadi langganan banjir luapan air dari gunung.

“Tidak hanya karena stoberi. Di atas sana sudah tidak ada resapan,” kata Aceng Syaifudin, anggota satuan pengamanan Villa Gardenia.

Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango membantah resapan air di kawasan konservasi sudah kritis. “Air masih bisa disuplai 231 miliar liter per tahun. Sumber air Gede Pangrango digunakan untuk penggerak mikrohidro Jatiluhur, Cirata, Saguling, Cimandiri, dan Cisoka. Karena hasil evaluasi hulu sungai masih bagus, Cisoka dibangun lagi. Ini membuktikan produksi air di Gede Pangrango masih bagus,” kata Sumarto.

Gunung Halimun
Kondisi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango tidak begitu buruk dibandingkan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Luas Taman Nasional Salak saat ini mencapai 113 ribu hektare.

Rokib, tokoh masyarakat Kampung Sukagalih, Kabandungan, Sukabumi, di kaki Gunung Halimun, mengaku tidak kesulitan air. Kondisi hutan juga tidak sepenuhnya rusak.

Menurut dia, penebangan hutan sudah tidak terjadi. Kebutuhan kayu bakar dipenuhi melalui menanam pohon sengon di luar kawasan konservasi. “Kami menanam. Kalau tidak ada, beli kepada tetangga yang menanam pohon,” kata Rokib.

Namun, warga khawatir rencana pembangunan proyek air (PDAM) di Desa Sukagalih akan menguras sumber air yang selama ini dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga mikrohidro.

Jika pasokan listrik terganggu, dikhawatirkan PLN masuk dan masyarakat akan terbebani membayar iuran listrik. “Kalau kemarau agak kering. Kalau ada PDAM, jangan sampai mengganggu mikrohidro,” kata Ahim, pengelola pembangkit listrik mikrohidro di Kampung Cisalimar.


PT Chevron Geothermal Salak

Ancaman kesulitan air juga dirasakan masyarakat Kampung Jayanegara, yang berbatasan dengan kawasan perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi, PT Chevron Geothermal Salak. “Semenjak ada pengeboran, debit air jadi kecil. Padahal dulu besar,” kata Suhandi, warga Jayanegara.

Pembangkit listrik tenaga panas bumi berpotensi menjadi energi alternatif. Selain rendah emisi, geothermal tidak menggunakan bahan bakar untuk menghasilkan listrik. Namun, proses produksi listrik PT Chevron menguras sumber air Sungai Cibeurem dan Ciherang.

Lokasi pengeboran panas bumi juga membutuhkan lahan luas. Setidaknya diperlukan 1 hektare lahan untuk membangun 1 unit pengeboran geothermal. “Pohon ditebangi untuk lokasi pengeboran,” ujar Suhandi.

Belum lagi masalah pembalakan liar yang, menurut M Kosar, disebabkan tidak jelasnya batas Taman Nasional Halimun. M Kosar adalah Ketua Absolute, organisasi lokal yang menjaga kelestarian hutan. “Tapal batas dan penataaan batas tidak jelas. Ini menyebabkan penebangan liar,” ujarnya.

Menurut M Kosar, masyarakat menganggap wajar mengambil ranting kayu di dalam taman nasional. Sedangkan pengelola taman nasional menganggap tindakan tersebut sebagai pidana.

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, deforestasi hutan Indonesia mencapai 1,1 juta hektare per tahun. State of the World’s Forest, Food and Agricultural Organization (FAO), tahun 2007 menyatakan Indonesia negara dengan laju kerusakan hutan tertinggi kedua di dunia.


Villa Kota Gardenia

Conservation International Indonesia (CII) menyebutkan kondisi hutan asli Taman Nasional Gunung Gede Pangrango masih baik. Taman nasional kini harus memperbaiki kondisi hutan seluas 2.500 hektare yang didapat dari hibah Perum Perhutani.

Sejak tahun 2008 baru 260 hektare yang ditanami melalui program adopsi pohon. Untuk mengembalikan 2.500 hektare lahan yang rusak diperlukan waktu lebih dari 20 tahun. “Tidak mudah mengembalikan kawasan yang rusak. Apalagi ada aktivitas bercocok tanam di kawasan tersebut,” kata Anton Ario, Program Manager Conservation International Indonesia untuk Gede Pangrango dan Halimun Salak.

Dampaknya bagi Jakarta, air dari hulu sungai akan mengalir melalui Sungai Ciliwung tanpa penahan sehingga menyebabkan banjir. Di sisi lain, Jakarta juga mulai terkikis abrasi air laut. “Bisa dibayangkan jika air laut masuk ditambah hulu yang sudah rusak. Fatal sekali,” kata Anton Ario. (E1)


sumber & Foto-foto: VHRmedia / Kurniawan TY

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?