SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Mendambakan Kapolri yang Kebal Intervensi

| | | 0 komentar
TEMPO Interaktif, Belakangan ini kredibilitas, integritas, dan akuntabilitas Polri sering dipertanyakan oleh publik sehubungan dengan banyaknya persoalan yang melilit Polri, dari masalah penyidikan perkara yang banyak di antaranya dinilai kurang profesional dan proporsional, hingga masalah pembinaan personel, khususnya yang berkenaan dengan promosi anggota yang dipandang cenderung seenaknya. Hal ini bisa terjadi karena pimpinan Polri tidak imun dan tidak resisten terhadap segala bentuk dan macam intervensi dari luar, serta tidak konsekuen dan konsisten terhadap aturan main yang dibuatnya, alias semaunya sendiri. Hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlangsung, karena dapat merugikan masyarakat dan membahayakan eksistensi Polri itu sendiri. Karena itu, perlu segera dibereskan.

Dengan tidak imun dan tidak resistennya pimpinan Polri terhadap intervensi dari luar serta masih cukup arogannya pimpinan Polri di lingkungan internalnya, yang masih sering bertindak semaunya sendiri, kinerja Polri menjadi tidak optimal dan kurang profesional serta soliditas internalnya rapuh. Hal ini telah mengakibatkan kredibilitas, integritas, dan akuntabilitas Polri ambruk di mata publik, yang berdampak lebih lanjut pada tergerusnya rasa hormat dan kepercayaan publik terhadapnya.

Dari sekian banyak persoalan yang melilit Polri, terdapat dua di antaranya yang menjadi biang masalah bagi keterpurukan Polri, yaitu penyidikan perkara dan pembinaan personel. Akibat dari tidak imun dan tidak resistennya pimpinan Polri terhadap intervensi dari luar, serta akibat dari sikap pimpinan Polri sendiri yang masih sering berbuat semaunya dalam proses penyidikan, banyak perkara yang disidik Polri menjadi tidak jelas nasibnya, menguap entah ke mana, membeku, berputar haluan, berbalik posisi, berubah derajat, bertukar perlakuan, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu sangat mencederai rasa keadilan, kepastian hukum, dan harkat kemanusiaan.

Demikian juga di bidang pembinaan personel, akibat dari ketidakimunan dan ketidakresistenan pimpinan Polri terhadap intervensi dari pihak-pihak tertentu, proses promosi anggota menjadi tidak berjalan secara baik dan benar. Akibatnya, banyak anggota yang sebenarnya sudah sangat laik untuk mendapatkan promosi justru tidak kunjung mendapatkan promosi--karena ia tidak dikenal oleh/tidak dekat dengan pimpinan, atau tidak ada yang mensponsorinya, atau tidak dapat/tidak sudi menyediakan sesuatu . Sebaliknya, tidak sedikit anggota yang sesungguhnya belum cukup laik untuk mendapatkan promosi, bahkan tengah bermasalah, tapi justru dapat dengan tepat waktu, malah bisa lebih cepat, mendapatkan promosi--karena ia memiliki salah satu atau beberapa hal yang disebutkan di atas. Dan jika melakukan tindakan tercela, meskipun itu sangat prinsipiil, ia tidak diapa-apakan. Kalaupun kasusnya diproses, tidak dijalankan sebagaimana semestinya. Sehingga, karena itu, banyak anggota yang semestinya mendapat hukuman malah justru mendapat promosi yang melesat. Sementara itu, tidak sedikit anggota yang sesungguhnya berkinerja sangat bagus dan bermental baik justru kariernya terseok-seok di belakang anggota-anggota lain yang tidak lebih baik dari mereka. Ironis, bukan?

Praktek-praktek pembinaan personel sedemikian ini, selain berdampak psikologis yang tidak baik, tidak mendorong peningkatan daya kinerja dan daya soliditas institusi. Sebab, tidak akan terpacu lagi kompetisi sehat di kalangan anggota dalam berkarya. Bahkan anggota yang tadinya berkinerja sangat bagus dan berkepribadian baik bisa menjadi buruk. Sedangkan anggota yang dulunya memang tidak becus akan tetap demikian, tidak berubah menjadi lebih baik, malah bisa bertambah jelek. Selain itu, hal seperti ini akan mereduksi soliditas di tubuh Polri karena terjadinya perlakuan tidak adil dan fair terhadap para anggotanya.

Upaya
Untuk mengeliminasi berbagai intervensi terhadap Kapolri, pemilihan calon Kapolri perlu dilakukan oleh para anggota Polri sendiri, bukan oleh pejabat Kapolri yang akan digantikan, ataupun oleh Kompolnas maupun lembaga lainnya. Sebab, para anggota Polri itulah yang lebih tahu siapa pemimpinnya yang terbaik. Dengan pemilihan calon Kapolri oleh para anggota Polri sendiri, akan tertutup peluang terjadinya bargaining dan utang budi dalam pengangkatan Kapolri, yang bisa membuat Kapolri kelak tidak dapat imun dan resisten terhadap segala macam intervensi.

Berkenaan dengan pemilihan calon Kapolri oleh para anggota Polri tersebut, perlu dibentuk asosiasi (atau sebutan lainnya yang dipandang lebih tepat) di tiap-tiap golongan kepangkatan Polri, seperti misalnya Asosiasi Bintara, Asosiasi Pama, Asosiasi Pamen, Asosiasi Pati, dan Asosiasi PNS Polri. Tiap-tiap asosiasi golongan mengajukan seorang calon Kapolri sesuai dengan kriteria dan persyaratan yang telah ditetapkan guna diadu kompetensi dan komitmennya (termasuk di dalamnya visi dan misinya) dalam sidang lintas pemangku kepentingan. Seorang calon yang tampil paling unggullah yang akan diusulkan/diajukan kepada Presiden RI untuk diproses lebih lanjut menjadi Kapolri.

Sementara itu, untuk mencegah pimpinan Polri berbuat semaunya sendiri dalam proses penyidikan, penyidik perlu memiliki otonomi penuh dalam penyidikan, sehingga tidak ada siapa pun, termasuk pimpinan mana pun, yang boleh mendikte atau mencampurinya. Paralel dengan itu, untuk menjaga agar penyidik tidak menyimpang dalam penyidikan, perlu di sistem pengawasan yang dijamin efektif dengan menerapkan mekanisme kontrol publik dan kontrol silang berlapis internal oleh tiga pejabat atasan terkait, yaitu atasan langsung penyidik, inspektur penyidikan, dan kepala satuan yang membawahkan unit kerja penyidik. Ketiga pejabat pengawas ini melakukan fungsi pengawasan secara ketat di semua mata rantai penyidikan, mulai tahap awal (diterimanya laporan perkara) hingga tahap akhir (P-21), termasuk tindakan hukum/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik.

Apabila pengawas menemukan tindakan penyimpangan dalam penyidikan, wajib baginya memberi tahu penyidik dan mengoreksinya. Dan jika penyidik yang bersangkutan tidak menghiraukannya, wajib hal itu diteruskan kepada pimpinan yang berwenang guna diperiksa lebih lanjut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Apabila para pengawas itu lalai atau tidak melakukan fungsi pengawasan sebagaimana mestinya (seperti yang diuraikan di atas) sehingga penyimpangan dalam penyidikan terus berlangsung, dipandang pengawas tersebut turut terlibat dalam penyimpangan yang terjadi dan kepadanya harus dikenakan pertanggungjawaban hukum dengan pemberatan. Demikian juga pimpinan yang berwenang yang tidak menindaklanjuti laporan yang disampaikan oleh pengawas dan tidak menjatuhkan sanksi yang setimpal sesuai dengan hasil pemeriksaan, ia dipandang turut terlibat dalam penyimpangan/ kekeliruan penyidikan tersebut, dan kepadanya juga harus dikenakan pertanggungjawaban hukum dengan pemberatan.

Adapun yang perlu dilakukan di bidang pembinaan personel, khususnya dalam promosi anggota, adalah menerapkan sistem yang sama dengan pengusulan/pengajuan calon Kapolri, yaitu diusulkan oleh anggota melalui asosiasi golongannya. Para asosiasi golongan itulah yang memilih/menentukan sesuai dengan persyaratan atau parameter yang telah ditetapkan tentang siapa saja dari golongannya yang telah layak diajukan ke sidang Dewan Jabatan dan Kepangkatan Polri untuk mendapatkan promosi. Hal ini di-demikian juga dengan pertimbangan bahwa sesama anggota itulah yang lebih tahu tentang diri teman-temannya, bukan atasan, apalagi pihak luar. Sebab, sesama merekalah yang senantiasa bersentuhan dan berhubungan dalam pelaksanaan tugas, sehingga sesama merekalah yang lebih tahu satu dengan lainnya.

Dengan diterapkannya mekanisme promosi yang demikian, peluang terjadinya proses promosi yang tidak fair, tidak obyektif, pilih kasih, dan main relasi (kolusi, nepotisme, gratifikasi) akan tereliminasi. Dengan demikian, akan terjamin kepastian kenaikan promosi bagi anggota-anggota yang telah layak, tidak peduli ia dikenal atau tidak dikenal oleh pimpinan. Sementara itu, bagi anggota-anggota yang kerjanya tidak jelas dan mentalnya tidak keruan, no way, meskipun ia amat sangat dekat dengan pimpinan. *


http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2010/09/29/kol,20100929-251,id.html

Pertalian Darah Terkoyak di Tarakan

| | | 0 komentar
Oleh Iskandar ZulkarnaenSamarinda
Tarakan menangis, dua etnis bertetangga dekat bahkan sebenarnya bertalian darah itu terkoyak untuk tiba-tiba saling membenci dan saling membunuh.

Puncak pertikaian dua etnis Suku Tidung di Tarakan, sebuah pulau kecil di utara Kalimantan Timur dengan saudaranya Suku Bugis-Makkasar mencapai puncaknya pada Selasa malam (28/9) sampai Rabu paginya, karena dua kelompok baku serang yang menyebabkan dua korban lagi meninggal.

Awal kejadian hanya masalah sepele lima orang pemuda Suku Bugis di Perumahan Juwata Permai Minggu malam (26/9) sekitar pukul 22.00 Wita yang dianggap mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakat karena pesta Miras (minuman keras) tersinggung ketika ditegur oleh pemuda, warga lokal serta menyerang pemuda tersebut.

Entah bagaimana mulanya, solidaritas serta sintimen kedaerahan tiba-tiba mengkristal saat proses pemakaman korban karena sebagaian pelayat sudah membawa senjata tajam sehingga terjadilah pertikaian berdarah.

Akhirnya, perdamaian tercapai yang disaksikan oleh Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak beserta sejumlah pejabat pemerintahan Kota Tarakan dan sejumlah tokoh masyarakat Rabu (29/9) malam di ruang VIP Bandara Juawata Tarakan.

Kesepakatan damai tersebut terjadi setelah Fokum Komunikasi Rumpun Tidung (FKRT) dan Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) menyepakati sepuluh butir perdamaian. Nota Kesepakatan ditandatangani Yancong mewakili KKSS dan Sabirin Sanyong mewakili FKRT.

Awang Faroek Ishak bersama Ketua DPRD Kaltim Mukmin Faisyal, anggota DPD Luther Kombong, Asop Kapolri Irjen Sunarko DA, Pangdam VI Mulawarman Mayjen Tan Aspan, Bupati Kabupaten Tana Tidung Undunsyah, Wakapolda Kaltim Brigjen Ngadino, Wali Kota Tarakan Udin Hianggio, Bupati Bulungan Budiman Arifin, dan Wakil Bupati Malinau Datu Muhammad Nasir menyaksikan kesepakatan itu.

Dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak harus mengakhiri segala bentuk pertikaian dan membangun kerja sama harmonis demi kelanjutan pembangunan Kota Tarakan.

Kedua belah pihak memahami bahwa apa yang terjadi merupakan murni tindak pidana dan merupakan persoalan individu.

Selanjutnya, disepakati pembubaran konsentrasi massa di semua tempat sekaligus melarang dan atau mencegah penggunaan senjata tajam dan senjata lainnya di tempat-tempat umum.

Kesepakatan lain, masyarakat yang berasal dari luar Kota Tarakan yang berniat membantu penyelesaian perselisihan agar segera kembali ke daerah masing-masing selambat-lambatnya 1 kali 24 jam.

Sedangkan para pengungsi di semua lokasi akan dipulangkan ke rumah masing-masing, difasilitasi Pemkot Tarakan dan aparat keamanan. Apabila kesepakatan damai dilanggar, aparat akan mengambil tindakan tegas sesuai perundang-undangan.

Seluruh pihak kemudian langsung melakukan sosialisasi ke kelompok yang bertikai diawali ke kelompok massa di Jalan Gajah Mada, Simpang Tiga Grand Tarakan Mal.

Kapolda Kalimantan Timur Irjen Mathius Salempangan mengeluarkan maklumat akan menyita senjata api, senjata tajam dan sejenisnya dan menangkap pelaku yang menggunakannya tersebut untuk diproses secara hukum.

"Polda Kaltim mengeluarkan maklumat, warga yang menggunakan senpi,sajam dan sejenisnya agar disita dan dapat ditangkap untuk diproses secara hukum," ujar Kapolda.

Kesepakatan damai itu kemudian diikuti oleh berbagai organisasi mengatasnamakan warga lokal dengan warga Sulawesi Selatan, antara lain di Kutai Timur, Samarinda dan Balikpapan.

Sampit Kedua

Banyak kalangan mengkhawatirkan bahwa kasus itu terus berlanjut sehingga akan terulang kembali kerusuhan bernuangsa SARA (suku, agama, antarras dan antargolongan) seperti di Kalteng pada 2001 atau lahir "Sampit Kedua" di Tarakan.

Syukurlah, meskipun dianggap terlambat ---faktor pemicu juga disebut-sebut karena polisi lamban menangkap pelaku pembunuh Abddulah--- namun berkat kerja keras pihak Polri dan TNI sehingga perdamaian dapat tercipta.

Tidak bisa terbayangkan, jika aparat keamanan dibantu jajaran TNI tidak mampu menangani kasus itu secara cepat dan tepat. Misalnya, aparat berhasil menghalau datangnya bala bantuan dari suku-suku asli Kalimantan dari kawasan pedalaman Sungai Kayan dan pedalaman Sungai Malinau.

Aparat berhasil menghalau ribuan orang dari kawasan pedalaman Sungai Kayan dan Sungai Malinau dari Suku Dayak, Tidung dan Bulungan yang menggunakan puluhan mungkin ratusan kapal bermotor lolos sampai ke Tarakan.

Hal yang sama juga terjadi oleh solidaritas warga dari Sulawesi Selatan. Aparat berhasil menahan puluhan orang tanpa identitas jelas serta membawa senjata tajam yang menumpang di kapal Pelni berangkat dari Pelabuhan Parepare tujuan Pelabuhan Nunukan, daerah yang dekat dengan Tarakan.

Kekhawatiran bahwa Tarakan akan menjadi "Sampit Kedua" bisa benar namun bisa juga tidak. Berbeda kasus di Sampit, keberadaaan warga Sulawesi di Kaltim sebenarnya memiliki historis panjang sehingga memiliki pertalian darah yang erat.

Berdasarkan sejarah persaudaraan antara warga Tidung-Bulungan kian erat dengan warga dari Sulawesi ditandai dengan menikahnya, Petta To Siangka salah seorang anak bangsawan Wajo, yakni La Maddukkelleng dengan putri dari kesultanan Tidung dan Bulungan pada sekitar 1730-an yang diikuti oleh para pengikutnya.

Lintasan peristiwa lain yang membuktikan adanya pertalian erat itu, terkait dengan terbitnya UU Nomor 22 Tahun 1955 wilayah Kesultanan Tidung dan Bulungan ditetapkan menjadi Daerah Istimewa saat itu Sultan Maulana Djalaluddin diangkat menjadi Kepala Daerah Bulungan Pertama sampai dengan akhir hayatnya pada 1958.

Kemudian pada 1959 melalui UU Nomor 27 Tahun 1959 Status Daerah Istimewa yang diubah lagi Menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Bulungan, maka bupati pertama Bulungan yang membawahi Tarakan, Tanah Tidung Malinau dan Nunukan adalah Andi Tjatjo Datuk Wiharja (1960-1963) adik ipar Sultan Maulana Djalaluddin, seorang bangsawan keturunan Bugis.

Beberapa peristiwa sejarah itu membuktikan bahwa sejak ratusan tahun silam ada pertalian darah begitu erat antara warga Bugis dengan suku asli Tidung dan Bulungan. Dua komunitas itu selama ratusan tahun hidup berdampingan dan saling menghormati. Bahkan generasi sekarang sebagian darahnya adalah darah Bugis.

Sehingga begitu terjadinya pecah pertikaian itu, membuat orang-orangtua di utara Kaltim itu merasa prihatin melihat kondisi sosial yang sudah tidak saling menghormati dan menghargai.

Faktor Konflik

Terlepas dari tinjauan sejarah tersebut, pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Prof Saroso Hamongpranoto, SH menilai bahwa ada tiga faktor yang bisa menjadi pemicu konflik di Tarakan itu.

"Faktor secara khusus sudah tentu karena kelemahan penegakan hukum. Kalau kita melihat secara khusus, maka akar masalah itu karena Miras masih dijual secara bebas meskipun katanya sudah dilarang dan dimusnahkan," ujar mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unmul Samarinda itu.

Ia menyatakan bahwa berbagai peraturan sudah melarang peredaran Miras, termasuk Perda (peraturan daerah) sehingga aparat harusnya benar-benar melakukan penegakan hukum untuk menimbulkan efek jera bagi pembuat dan pengedarnya.

Kemudian, warga kini dengan gampang membawa senjata tajam di tempat umum padahal seharusnya mendapat saksi berat seperti kejadian di Tarakan dan di Ampera Jakarta yang menewaskan tiga warga.

"Secara umum, kasus itu bisa bermuara dari kecemburuan sosial, ketidakpastian kebijakan publik serta kondisi stres sosial masyarakat," katanya menambahkan.

Kecemburuan sosial itu kian tajam, katanya, saat terjadi ketidakpastian kebijakan publik, misalnya putusan pengadilan yang bisa dibeli.

"Katakan saja, warga lokal sudah puluhan tahun memiliki sebuah lahan namun karena tidak memiliki dokumen-dokumen, akhirnya hakim pengadilan mengeluarkan putusan yang secara formal dianggap benar akan tetapi dari sisi rasa keadilan masyarakat sangat tidak adil," ujar dia.

Warga pendatang karena keuletannya berhasil pada sektor ekonomi sehingga bisa dengan gampang membeli oknum aparat serta keputusan pengadilan.

"Seandainya penegakan hukum berjalan secara benar tidak memandang kaya atau miskin, masalah kecemburuan serta stres sosial itu pasti tidak terjadi," katanya.

Jadi, kata Sarosa bahwa kerusuhan di Tarakan, di Ampera serta berbagai daerah di Indonesia kini merupakan sebuah cerminan tentang kondisi penegakan hukum yang masih lemah serta tidak memberikan rasa keadilan bagi rakyat, khususnya bagi warga yang tidak mampu secara ekonomi.

"Saya mengkhawatirkan bahwa kasus di Tarakan itu bukan yang terakhir karena bisa terjadi di daerah lain, jika akar masalah yang menimbulkan tingginya kecemburuan sosial, ketidakpastian kebijakan publik serta stres sosial itu tidak mendapat penanganan secara tepat," papar dia.

Tampaknya, Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik yang melibatkan massa maupun bernuasa etnis, perlu segera menuntaskan faktor-faktor yang menjadi akar masalahnya, terutama mampu menjadikan hukum sebagai panglima untuk menghidari tingginya kecemburuan sosial serta stres masyarakat karena merasa hukum hanya berpihak kepada orang mampu.

Kondisi sosial masyarakat yang rentan bertikai itu juga mencerminkan bahwa reformasi di bidang hukum masih jauh dari harapan sehingga menjadi PR bagi Susilo Bambang Yudhoyono dalam menjalankan amanat sebagai presiden untuk masa bhakti kedua kalinya.
Editor: Jodhi Yudono | Sumber : ANT

Adigang Adigung Adiguna

| | | 0 komentar
Bangsa Indonesia, termasuk juga orang Jawa, dikenal memiliki perasaan halus, serta tenggang rasa tinggi. Karena itulah mereka tidak menyukai orang sombong. Yaitu, orang yang congkak, pongah, angkuh, takabur, menghargai diri sendiri
berlebihan dan cenderung meremehkan (merendahkan) orang lain. Di Jawa, sombong dianggap sifat yang buruk (tak terpuji), dan sebaiknya dihindari karena akan jadi gangguan serius bagi komunitas dan lingkungannya.

Menurut pandangan masyarakat Jawa, orang sombong memiliki sifat sebagaimana unen-unen (peribahasa) yang berbunyi: 'adigang adigung adiguna'.

Artinya, sifat menyombongkan diri pada kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian yang dimiliki. Adigang, adalah gambaran dari watak kijang yang menyombongkan kekuatan larinya yang luar biasa. Adigung adalah kesombongan terhadap keluhuran, keturunan, kebangsawanan, pangkat, kedudukan, atau kekuasaan yang dimiliki.

Diibaratkan gajah yang besar dan nyaris tak terlawan oleh binatang lain. Sedangkan adiguna menyombongkan kepandaian (kecerdikan) seperti watak ular yang memiliki racun mematikan dari gigitannya.

Peribahasa ini mengingatkan bahwa kelebihan seseorang sering membuat sombong, lupa diri, sehingga berdampak buruk bagi yang bersangkutan maupun orang lain. Contohnya kijang. Secepat apa pun larinya sering terkejar juga oleh singa atau
harimau, dan apabila sudah demikian nasibnya hanya akan menjadi santapan raja hutan tersebut.

Dalam dongeng anak-anak diceritakan pula bagaimana gajah yang besar itu kalah oleh gigitan semut yang menyelinap di celah telapak kaki, atau ketika kaki si gajah tertusuk duri. Sedangkan ular belang yang sangat ditakuti itu pun akan mati lemas, tulang-tulangnya remuk, jika terkena sabetan carang (cabang) bambu ori (Bambusa arundinaceae).

Jadi, kelebihan yang dimiliki seseorang merupakan sesuatu yang “berguna” sekaligus “berbahaya”. Berguna apabila dimanfaatkan demi kebaikan, berbahaya jika hanya digunakan untuk kepuasan pribadi serta dorongan nafsu duniawi belaka.

Contohnya, benda-benda tajam seperti pisau, sabit, parang, dan lain sebagainya. Sebuah pisau memang harus tajam agar mudah untuk mengiris daging atau sayuran ketika memasak. Namun, jika menggunakannya ceroboh dapat melukai jari tangan. Lebih dari itu, karena tajam, kuat, dan runcing, pisau dapur pun dapat disalahgunakan untuk membunuh orang.

Sebagaimana lazimnya strategi dalam kebudayaan Jawa, umumnya setiap peribahasa tidak berdiri sendiri dan sering berkaitan dengan peribahasa lain. Misalnya, adigang-adigung-adiguna punya korelasi erat dalam konteks menasihati
kesombongan dengan “aja dumeh”. Artinya: jangan sok atau mentang-mentang.

Terjemahan bebasnya adalah jangan suka memamerkan serta menggunakan apa yang dimiliki untuk menekan, meremehkan, atau menghina orang lain. Misalnya: aja dumeh sugih (jangan mentang-mentang kaya), dan menggunakan kekayaannya untuk berbuat
semena-mena.

Mengapa demikian, sebab harta kekayaan itu tidak lestari dan sewaktu-waktu dapat hilang (tidak dimiliki lagi). Aja dumeh kuwasa (jangan mentang-mentang berkuasa ketika menjadi pejabat/pemimpin) kemudian berbuat semaunya sendiri. Mengapa demikian, sebab jika masyarakat yang dipimpin tidak menyukai lagi yang bersangkutan dapat diturunkan dari jabatannya.

Di Jawa terdapat kepercayaan bahwa segala yang dimiliki manusia hanyalah titipan Tuhan. Dengan demikian kepemilikan itupun bersifat fana. Tanpa keridaan (seizin) Tuhan, tidak mungkin yang bersangkutan memilikinya.

Selain itu, kekayaan yang dimiliki seseorang realitasnya juga diperoleh atas jasa (pemberian) orang lain. Contohnya, mana mungkin pedagang memperoleh laba dan kekayaan yang berlimpah tanpa melakukan transaksi dengan masyarakat? Berdasarkan pendapat di atas, peribahasa ini menasihatkan agar siapa pun jangan mempunyai sifat sok.

Mentang-mentang kaya menolak menyedekahkan sebagian hartanya untuk orang miskin. Mentang-mentang jadi pemimpin tidak mau bergotong-royong dengan tetangga. Menurut adat Jawa, sikap seperti itu sangat tercela dan menyakitkan hati orang lain.

Maka, dengan memadukan dua peribahasa di atas dimungkinkan pesan muatan yang disampaikan akan lebih dimudah diurai, di samping daya tembusnya juga makin kuat memasuki kesadaran pikir, rasa, dan hati sanubari.

Contohnya, nasihat tersebut akan berbunyi: “Aja dumeh sekti mandraguna banjur duwe watak adiguna kaya ula. Ora ketang wisane mandi, nanging kesabet carang pring ori wae bakal dadi bathang selawase.” (Terjemahan bebasnya: “Jangan mentang-mentang sakti kemudian berwatak seperti ular. Meskipun bisanya mematikan, tetapi kena gebuk cabang bambu ori saja akan menjadi bangkai selamanya.”).

Orang sombong dapat dianalogikan seperti kijang yang melintas di depan kerumunan singa atau harimau di tengah hutan, seekor gajah yang sengaja menginjak-injak sarang semut atau semak perdu berduri, seekor ular yang sengaja atau tidak telah masuk ke halaman rumah orang di perkampungan.

Mungkin saja sekali dua kali selamat. Namun, untuk ke sekian kalinya kesombongan itu pasti akan menjadi batu sandungan yang membuat dirinya jatuh terjerembab mencium bumi dan tidak dapat bangkit kembali?

(Iman Budhi Santosa/CN12)

suara merdeka

Letkol Untung Bukan Pemimpin G30S

| | | 0 komentar
Oleh Asvi Warman Adam

GERAKAN 30 September 1965 yang dilakukan secara ceroboh itu rontok dalam hitungan hari. Dokumen Supardjo—dianggap cukup sahih—memperlihatkan bahwa kelemahan utama Gerakan 30 September adalah karena tidak adanya satu komando.
Terdapat dua kelompok yakni kalangan militer (Untung, Latief, dan Sujono) dan pihak Biro Khusus PKI (Sjam, Pono, Bono). Sjam Kamaruzzaman memegang peran sentral karena ia berada dalam posisi penghubung antara kedua pihak ini.

Namun ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden Soekarno bahkan diminta untuk dihentikan, maka kebingungan terjadi, kedua kelompok ini terpecah. Kalangan militer ingin mematuhi, sedangkan Biro Khusus tetap melanjutkan.
Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dengan kedua dan ketiga terdapat selang waktu sampai lima jam. Sesuatu yang dalam upaya kudeta merupakan kesalahan fatal.

Pada pagi hari mereka mengumumkan bahwa Presiden dalam keadaan selamat. Sedangkan pengumuman berikutnya siang hari sudah berubah drastis (pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet). Jadi dalam tempo lima jam operasi ’’penyelamatan Presiden Soekarno’’ berubah 180 derajat menjadi ’’percobaan makar melalui radio’’.

Ketika Brigjen Supardjo yang berpengalaman tempur menawarkan diri mengambil alih pimpinan G30S untuk sementara saja, ketika mereka mulai terdesak, Letkol Untung tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab kendali ada pada Sjam Kamaruzzaman yang tidak mengerti tentang operasi militer.

Peran Rochaedi

’’Cornell paper’’ yang disusun Ben Anderson dan Ruth McVey setelah meletus G30S mengesankan bahwa gerakan itu peristiwa internal Angkatan Darat (AD) dan terutama menyangkut Kodam Diponegoro. Tentu saja pandangan tersebut merupakan versi awal yang belum lengkap walau tetap menarik untuk diulas dan diteliti lebih lanjut.

Setelah tiga dekade dalam penjara rezim Orde Baru, Subandrio, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen mengelaborasi versi di atas. Walaupun sama-sama berasal dari Diponegoro, menurut Subandrio, terdapat trio untuk dikorbankan (Soeharto, Untung, Latief) dan ada trio untuk dilanjutkan (Soeharto, Yoga Sugomo, Ali Murtopo).

Dari dua trio itu terlihat bahwa pelaku utama gerakan maupun pihak yang menumpasnya berasal dari komando daerah militer yang sama. Itu pula yang menjelaskan bahwa gerakan tersebut terutama tampil di Jakarta dan di wilayah Kodam Diponegoro (Semarang dan Yogyakarta) dan dapat dipadamkan dalam hitungan hari.

Selama ini beberapa analis mencoba mengaitkan Soeharto dengan G30S dengan beberapa alasan. Pertama, kedekatannya dengan A Latief sejak dari serangan umum 1 Maret 1949 dan dua kali melakukan pertemuan sebelum G30S yakni di rumah Soeharto di Jalan Agus Salim Jakarta dan di RSPAD Gatot Subroto.

Kedua, Soeharto datang dari Jakarta menghadiri pernikahan Untung dengan Hartati di Kebumen. Bahwasanya Soeharto sudah mengetahui akan terjadi suatu gerakan pada bulan September/Oktober 1965 itu seperti disampaikan oleh Latief itu sudah jelas. Bahkan hal itu sudah diketahui secara umum oleh para petinggi militer.

Namun seberapa detail yang disampaikan Latief kepada Soeharto, itu masih tanda tanya. Kehadiran Soeharto dalam kenduri perkawinan Untung di Kebumen dapat dipahami karena Untung baru mendapat Bintang Sakti, bintang penghargaan tertinggi karena keberaniannya dalam operasi pembebasan Irian Barat.

Hanya dua orang yang memperoleh bintang ini, selain Untung adalah Benny Moerdani.
Namun alih-alih menelusuri hubungan Soeharto dengan G30S, tampaknya ada seorang perwira yang lebih signifikan peran dalam ’’merekrut’’ Untung yakni Rochaedi. Sejak Mei 1965 batalyon I Tjakrabirawa dipimpin oleh Letkol Untung.
Kabarnya Rochaedi yang ’’mengajak’’ Untung bergabung ke pasukan pengamanan Presiden. Rochaedi adalah anggota Tjakrabirawa yang ikut dalam salah satu rombongan delegasi Indonesia ke Beijing pada 25 September 1965, dan sejak itu terhalang pulang. Terakhir ia memperoleh suaka di Swedia dan berganti nama Rafiuddin Umar (meninggal 2005).
Di kalangan eksil 1965 di Swedia, ia agak tertutup. Kapten Rochaedi berasal dari batalyon yang pernah dipimpin Letkol Untung pada Kodam Diponegoro.

Pemilik nama lengkap Sudjud Surahman Rochaedi itu lahir pada 1927. Ia pernah masuk heiho dan pada awal kemerdekaan bergabung dengan divisi IV Panembahan Senapati. Menurut Letkol (penerbang) Heru Atmodjo, Rochaedi berada dalam batalyon Sudigdo yang terlibat dalam peristiwa Madiun.

Rochaedi kemudian ikut menumpas pemberontakan RMS akhir 1950. Tahun 1960 ia menjadi komandan Kompi Cadangan Umum (kemudian menjadi Kostrad) resimen 15 yang kemudian digabungkan dalam Batalyon Raiders 430 di bawah Kodam Diponegoro.
Februari 1963, kompi Rochaedi ini diboyong masuk Tjakrabirawa, Rochaedi menjadi komandan kompi batalyon I kawal kehormatan dengan pangkat letnan satu. Salah satu bawahan langsungnya adalah Sersan Mayor Boengkoes yang memimpin penculikan dan penembakan terhadap Mayjen MT Haryono.

Sjam Kamaruzzaman

Stroke ringan yang dialami Presiden Soekarno (4 Agustus 1965), beredarnya dokumen Gilchrist, dan isu Dewan Djenderal akan melakukan kudeta (5 Oktober 1965) menambah panas suasana politik. Sebagai komandan batalyon militer dalam pasukan yang tugasnya mengamankan Presiden, maka Untung ’’terpanggil’’ untuk menyelamatkan Presiden dari ancaman para jenderal tersebut dengan ’’mendahului’’ mereka dengan Gerakan 30 September.

Walaupun namanya tertulis sebagai komandan gerakan tersebut, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa Untung bukan pemimpin utama aksi ini karena berbagai hal ditentukan oleh Sjam Kamaruzzaman dari Biro Khusus PKI. Ketika banyak persiapan (tank, senjata, logistik dan personel) masih kacau, Untung tidak mengambil keputusan menunda aksi ini.

Mereka lebih mendengar Sjam yang menyatakan, ’’Kalau mau revolusi ketika masih muda, jangan tunggu sampai tua,’’ dan ’’Ketika awal revolusi banyak yang takut, tetapi ketika revolusi berhasil semua ikut.’’
Tulisan ini menyimpulkan bahwa G30S dipimpin bukan oleh Letkol Untung, melainkan oleh Sjam Kamaruzzaman yang tidak mengerti strategi militer. Dan karena itu dapat dirontokkan dalam hitungan jam atau hari.

Bila Sjam yang mengetuai Biro Khusus yang menjalin hubungan dengan militer dianggap berhasil mendekati Kapten Rochaedi, sedangkan Rochaedi yang memasukkan Letkol Untung ke dalam Batalyon Tjakrabirawa, maka mata rantai pelaku G30S itu telah tersambung.
Karena alasan yang digunakan adalah ’’penyelamatan Presiden’’ tentu yang paling logis, pelaksananya dari pasukan pengawal Presiden. Itulah sebabnya, Letkol Untung dalam komplotan ini di atas kertas namanya ditaruh di atas Kolonel Latief dan Brigjen Supardjo yang pangkatnya lebih tinggi.(41)

- Penulis adalah sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/09/30/125217/Letkol-Untung-Bukan-Pemimpin-G30S

Sejarah Itu Milik Penguasa (G 30 S Atau G 1 OK)

| | | 0 komentar
Sejarah itu milik penguasa! Apakah ini betul?

Sampai saat ini penulis meyakini itu betul! Coba lihat berapa pejabat aktif masuk bui? Hitung pula berapa bekas pejabat masuk bui? Mungkin nanti kita akan menemukan perbandingan 1:100 atau 1:1000. Ketika ia masih berkuasa, maka ia tidak akan diutak utik (atau karena ia masih mampu menggunakan kuasanya menggunakan uang untuk menyediakan tumpengan?). Sementara beberapa waktu setelah ia tidak menjabat, mulailah ia di kejar dan di kuyo-kuyo. Lihat bagaimana Yusril, Bahtiar Chamsah, Rochmin Dahuri, Hari Sabarno…

Tetapi masih untung lho (inilah cirikhas orang jawa), mantan-mantan presiden kita tidak duduk di kursi pesakitan. Bung Karno tidak pernah di adili, meskipun malah lebih parah di prodeokan di wisma Yaso. Pak Harto si jendral bintang lima dan bapak pembangunan, yang dihentikan penyelidikannya atas yayasan-yayasanya karena ia divonis menederita lupa ingatan permanen…Prof Habibie, ha mana mungkina berbuat sesuatu untuk nakal, ia berkuasa hanya 1 tahun… Gusdur dan Megawati yang parohan dalam satu masa jabatan… dan presiden terakhir…ini pertanyaan yang harus kita tunggu!

Sang pemimpinlah yang menciptakan sejarah pada akhirnya yang akan dihapus oleh penguasa berikutnya! Coba Tanya kepada masyarakat yang saat ini berusia 30-60 tahun, mereka pasti telah melihat Film G 30 S/PKI yang klimaksnya adalah pembunuhan terhadap 7 Jendral yang kemudian kita sebut pahlawan revolusi.

Waktu pemerintahan Soekarno istilah yang dipakai adalah Gestok (gerakan satu oktober), karena sang pemimpin melihat gerakan itu terjadi pada waktu subuh atau setelah tengah malam 30 September 1965. Namun setelah Soekarno dikerangkeng oleh penguasa berikutnya yang secara eufemistis diletakkan di Istana Yaso tanpa pengadilan yang fair…yah kalau diadili, pasti tidak akan fair toh seluruh perangkat Negara dari seluruh anggota MPR dan pejabat Negara lain adalah pilihan Soeharto?

Nah inilah mungkin ini sejarah yang benar-benar! Alloh tidak menghendaki Soekarno diadili, sebab.. jika ia menang apa yang terjadi jika ia malah dipenjara seumur hidup…ini akan menjadi sejarah kelam. Maka melalui malaikat-malaikatnya Alloh membisikkan ke Soeharto untuk tidak mengadili Soekarno….karena dengan tidak diadilinya Soekarno akan menjadi sejarah… bahwa ia pemimpin besar yang dipenjarakan oleh pemimpin berikut yang ia besarkan! Dan mungkin Soeharto takut juga jika ia dipenjarakan dan itu hampir saja seandainya tidak ada surat keterangan lupa ingatan permanen!

Sejak pemerintahan Soeharto, maka digantilah menjadi G 30 S?PKI, meskipun kejadiannya pada subuh 1 Oktober, tetapi ia sang presiden yang berhak membuat sejarah. Bahkan ia mencekoki masyarakat dengan film G 30 S/PKI yang secara tersirat menyudutkan Soekarno adalah PKI. Di sinilah, masyarakat kita yang terbodohkan oleh film yang dibuat oleh suatu rezim untuk mengazasin pemimpin sebelumnya sehingga image pemimpin baru semakin besar….kebodohan bangsa kitalah yang menyebabkan jarang ada yang berani bicara…atau justru begitu kuatnya pemerintahan, sehingga di setiap desa saja warga tidak akan bebas berbicara, karena ketika salah bicara mungkin membahayakan keselamatan Negara… ia menghilang … mungkin tamasya ke surga.

Bahkan dalam film dikesankan pemberontakan itu direstui oleh Soekarno. Andai benar, maka Soekarna adalah manusia sekuat Gusdur yang setelah terkena Strok kemampuannya tidak menurun malah semakin cemerlang. Beberapa hari menjelang G 30S or G 1 Ok, Soekarno terserang strok bahkan berbagai penyakit yang sayangnya scenario kehidupan mengharuskan Soekarno suka dirawat oleh perawat, eh shinse, ah dokter dari China, sehingga munculah spekulan Soekarno sengaja dilemahkan syaraf-syarafnya dan dikendalikan dengan hipnotis sehingga merestui pemberontakan! Ah dasar gendeng! Mungkinkah?

Lucunya lagi… bagaimana mungkin seorang presiden merestui pemberontakan bernuansa kudeta terhadap pemerintahan yang ia pimpin sendiri? Kenapa tidak justru ia memperkuat kepemimpinannya dengan merangkul orang-orang kuat agar kekuasanaanya semakin lama? Seperti Fidel Castro, Kim Jung Ill, Mohamar Khathafi, Raja Fahd, trah Gandhi, atau bahkan Soeharto sendiri selama 32 tahun memimpin dengan 7 wakil presiden dan arisan menteri berjumlah ratusan dengan waktu arisan sangat teratur 5 tahunan dan yang keluar sebagai pemenang tentu ditentukan oleh sang pemimpin!

Lucunya lagi….pemberontak-pemberontak adalah rekan atau paling tidak anak buah dari seorang jendral yang akhirnya menjadi pahlawan seusai pemberontakan yang berhasil menumpas hanya dalam hitungan jam. Sebuah kudeta paling singkat tentunya…Bagaimana dengan Soeharto? Bolehkah kita mengkaitkan keakrabanya dengan Latif dan Untung, hingga Soeharto datang khusus menghadiri Kenduri pernihan Untung di Kebumen. Bila keadaan genting cukupkah dimaknai penghormatan, karena Untung dan Beny Murdani baru saja mendapat penghargaan Bintang Sakti, bintang penghargaan tertinggi karena keberaniannya dalam operasi pembebasan Irian Jaya. Baca lengkap di http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/09/30/125217/Letkol-Untung-Bukan-Pemimpin-G30S

Sampai saat ini sejarah linear dengan film G 30 S PKI yang cekokkan melalui menjadikan film wajib bagi pegawai negeri sipil dan non sipil serta siswa-siswa. Bahkan di putar setiap tahun di televisi setiap peringatan G 30 S PKI. Ini adalah indoktrinasi dengan Untung sebagai pimpinan pemberontakan. Aswi Warman Adam (Suara Merdeka, 30 September 2010), sebenarnya Syam Kamauzaman adalah pemimpin gerakan bukan Untuk. Hanya karena dengan dalih penyelamatan presiden, sehingga Untung berada paling atas dan lebih tinggi dari Supardjo yang pangkatnya lebih tinggi. Dan itu adalah alibi agar masih logis seorang letnan kolonel memimpin jendral. Karena secara normal tidak mungkin seorang jendral menjadi anak buah colonel, sehingga teori Aswi bahwa Syam sang pemimpin adalah wajar, dan inilah salah satu sebab pemberontakan berbilang jam semata.

Dan film G 30 S PKI mampu membuat sejarah bagi waraga Indonesia yang sampai saat ini tidak dapat mengetahui bagaimana jalan sejarah sebenarnya. Dan penguasa kedua dengan sejarahnya belum mampu digantikan oleh penguasa berikut yang bermasa kerja pendek. Habibie hanya satu tahun, Gus Dur hanya 2 tahun, Megawati 3 tahun. Saat inilah kiranya SBY yang telah berkuasa 6 tahun menyisakan 4 tahun lagi, tentu mampu menyingkap sejarah. Toh ia menantu Sarwo Edy pahlawan waktu itu dan harus menangis karena hanya menjadi duta besar, hingga tak mampu berperan banyak di tanah air. Apakah memang agar ia tidak berbicara?

SBY perlu membuat film sejarah yang meluruskan sejarah G 30 S PKI, padahal harusnya G 1 O… mungkin PKI mungkin perang perebutan calon penguasa baru mengingat pemimpin kala itu memang sudah sakit-sakitan, atau memang benar kata Ben Anderson, bahwa itu kasus internal Angkatan Darat? Bagaimana mengungkap laporan rinci Latif kepada Soeharto tentang Untung. Bagaimana peran Rochaedy yang tidak pernah muncul dalam film G 30 S PKI…. Perlulah ada film G 1 OK atau film apalah atau buku sejarah yang tidak menyesatkan anak bangsa…. Dan sejarah adalah penguasa, sehingga tentu bisa meluruskan sejarah.

Jika presiden-presiden pendek waktu tak memiliki interest, apa mungkin presiden SBY juga tidak memiliki interest untuk itu?

Kasihan anak-anak kita ini sebenarnya tidak mengerti benar bagaimana sejarah itu berlangsung…. Dan penulis hanya berharap ada sejarah baru yang otentik bukan sekedar analisis….tanpa penelitian mendalam akan bukti-bukti sejarah….

Kini apa yang kita peringati dari G 30 S …. Hari ini yang ternyata para anak cucunya juga menggugat, karena mereka merasa ayah mereka bukan pembuat sejarah hitam negeri ini. Ataukah kita peringati 1 Oktober…mungkinkah itu hari kesaktian Pancasila, sementara pemberontakan atau kudeta tak bersentuhan dengan Pancasila. Mereka mungkin sekedar membuat sandiwara yang mampu membuang batu, sementara ia…kemudian menikmati hasilnya dan orang lain yang harus menerima getahnya! Mungkinkah…ini hanya pemikiran artifisial dari orang yang tidak mengerti sejarah…karena baru berumus 4 tahun kala itu….

Para sejarawan…buatlah sejarah yang benar…terus terang saya masih ragu!

sumber http://sejarah.kompasiana.com/2010/09/30/sejarah-itu-milik-penguasa-g-30-s-atau-g-1-ok/

Kesaktian Pancasila atau kesakitan Pancasila ?

| | | 0 komentar
Catatan A. Umar Said

Judul tulisan ini mungkin terasa sebagai cemooh yang tak pantas, atau kelakar yang tidak lucu, atau ungkapan sembrono yang hanya membikin marah atau jengkel sebagian orang, terutama para pendukung Suharto beserta rejimnya Orde Baru. Apa boleh buat, kalau begitu. Sebab, tulisan ini memang sengaja untuk mencemoohkan “Hari Kesaktian Pancasila”. Bahkan lebih dari itu! Tulisan ini dimaksudkan untuk menghujat – dan sekeras-kerasnya pula ! -- apa yang dinamakan oleh para pendukung rejim militer Orde Baru sebagai “hari yang sakti”, yaitu tanggal 1 Oktober. Karena, apa yang dilakukan oleh Suharto dkk dan para pendukung Orde Baru umumnya selama 32 tahun lebih, adalah pelecehan Pancasila, pemalsuan Pancasila, perkosaan Pancasila, penghinaan Pancasila, penyalahgunaan Pancasila, penyelewengan Pancasila atau –- bahkan ! --pengrusakan Pancasila. Jadi, seperti yang sudah disaksikan sendiri oleh banyak orang, selama masa Orde Baru (sampai sekarang !) Hari Kesaktian Pancasila sama sekali bukanlah sesuatu yang “sakti” melainkan sesuatu yang “sakit”.

“Hari Kesaktian Pancasila” selama sekitar 40 tahun selalu diperingati di Lubang Buaya, berdekatan dengan “Monumen Kesaktian Pancasila”, yang didirikan oleh rejim militer Orde Baru untuk memperingati tewasnya 6 jenderal TNI sebagai akibat peristiwa G30S. Bahwa Suharto dkk memberi penghargaan kepada perwira-perwira yang menjadi korban dalam peristiwa G30S adalah suatu hal yang wajar dan kiranya bisa dimengerti oleh banyak orang. Namun, bahwa peringatan terhadap 6 jenderal yang tewas itu dijadikan ritual yang - dengan gagah tetapi salah -- diberi nama “Hari Kesaktian Pancasila” adalah suatu kebohongan atau pemalsuan yang tidak boleh --dan tidak bisa!!! – ditolerir lagi oleh semua orang yang mempunyai fikiran jernih atau nalar yang sehat. Kita semua hendaknya tidak membiarkan terus para pendukung Suharto (rejim militer Orde Baru) berceloteh, atau membual, atau “omong gede” bahwa mereka menghargai Pancasila tetapi bersamaan dengan itu menjalankan hal-hal yang sama sekali bertentangan (bahkan, memusuhi !) dengan Pancasila-nya Bung Karno.

Mereka justru mengkhianlaati Pancasila

Perlulah kiranya selalu kita ingat bersama bahwa sejak 1970 sampai jatuhnya Suharto (tahun 1998) peringatan hari lahirnya Pancasila (hari ketika Bung Karno menyajikan kepada seluruh bangsa Indonesia gagasan besarnya itu) dilarang oleh Kopkamtib. Jadi, lama sekali. Keterlaluan, bukan? Bagaimana mereka bisa koar-koar menjunjung tinggi-tinggi Pancasila, tetapi memusuhi penggagasnya, yaitu Bung Karno ! Sebab, kalau dilihat dari berbagai segi sejarah perjuangan bangsa, bisalah dikatakan bahwa Pancasila adalah satu dan senyawa dengan Bung Karno, atau Bung Karno adalah Pancasila itu sendiri. Artinya, Pancasila (yang asli !) tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno, apalagi dipertentangkan, seperti yang sudah dilakukan Suharto beserta para pendukungnya.

Jadi, sekali lagi perlu diulangi bahwa seperti yang sudah sama-sama kita saksikan selama beberapa puluh tahun, para tokoh rejim militer Orde Baru sering sekali bicara muluk-muluk atau bersuara lantang tentang Pancasila dalam pidato-pidato atau tulisan mereka, tetapi dalam praktek menjalankan hal-hal yang sama sekali berlawanan atau bahkan bermusuhan dengan jiwa asli atau isi yang sebenarnya menurut gagasan penciptanya atau perumusnya, Bung Karno. Suharto dkk bicara tinggi-tinggi soal Pancasila, namun mereka malahan telah mengkhianati pencetusnya, menggulingkan kekuasaannya sebagai presiden, menahannnya sebagai tapol, dan membiarkannya sakit parah dan wafat dalam status sebagai tahanan.

Bukan itu saja! Sebagian terbesar politik dan praktek-praktek rejim militer Orde Baru (dengan penyokong utamanya Golkar dan militer) selama puluhan tahun tidaklah mencerminkan jiwa atau isi Pancasila, yaitu : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari pengalaman yang berpuluh-puluh tahun, nyatalah dengan jelas bahwa apa yang dilakukan Suharto dkk selama 32 tahun adalah penyelewengan (kalau bukan pembunuhan) jiwa agung dan tujuan luhur yang terkandung dalam Pancasila-nya Bung Karno.



Mereka tidak menyelamatkan negara melainkan “menjerumuskan”-nya

Peringatan “Hari Kesaktian Pancasila” adalah salah satu di antara banyak sekali praktek-praktek rejim militer Orde Baru (yang masih diteruskan sampai sekarang oleh para pendukung setianya) yang dimaksudkan sebagai usaha untuk terus-menerus menjatuhkan citra Bung Karno beserta para pendukung utamanya, yang terdiri dari golongan kiri pada umumnya, dan golongan PKI pada khususnya. Secara langsung atau tidak langsung, dan dengan berbagai jalan dan bentuk, digambarkan bahwa “Pancasila” mereka yang “sakti” telah menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari kesalahan-kesalahan Bung Karno yang “bersekutu” dengan PKI.

Padahal, seperti yang kita semua sama-sama saksikan, justru karena mereka telah menyalahgunakan, atau memalsu, atau melecehkan Pancasilanya Bung Karno itulah keadaan negara bangsa dan negara kita menjadi sangat semrawut dan bobrok sekali dewasa ini. Justru karena mereka (Suharto dkk) mengkhianati Bung Karno sebagai presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang dan Pemimpin Besar Revolusi, maka mereka sama sekali tidak pantas – dan juga sama sekali tidak berhak !!! – untuk menggembar-gemborkan sebagai golongan yang menjunjung tinggi Pancasila dan “menyelamatkan bangsa dan negara”. Sebaliknya, seperti yang disaksikan oleh kita semua, perkembangan situasi di Indonesia sejak kudeta merangkak yang dilakukan Suharto dkk sampai sekarang menunjukkan dengan jelas bahwa justru mereka itulah yang telah menjerumuskan bangsa dan negara ke dalam jurang kebobrokan dan kebusukan.

Karena mereka telah memusuhi ajaran-ajaran atau gagasan besar Bung Karno, termasuk mencampakkan jiwa asli atau isi utama Pancasila hasil pemikirannya, maka negara kita sekarang berada dalam krisis yang multi-dimensional atau bersegi banyak. Di antara berbagai krisis atau persoalan besar yang dihadapi rakyat dan negara kita adalah : dikangkanginya asset negara yang penting-penting oleh kekuatan asing, kelumpuhan negara dan bangsa menghadapi neo-liberalisme, kerusakan moral atau iman di berbagai kalangan atas, rusaknya persatuan bangsa karena persoalan agama dan kesukuan, merajalelanya korupsi dimana-mana, hilangnya kepedulian atau kepekaan rasa terhadap kemiskinan sebagian terbesar rakyat, dibiarkannya pengangguran sampai beberapa puluh juta orang, merosotnya patriotisme atau nasionalisme kerakyatan.



“Hari Kesaktian Pancasila” adalah anti-Bung Karno

Para pendukung Orde Baru menggembar-gemborkan “Hari Kesaktian Pancasila” dengan tujuan yang berlawanan sama sekali dengan gagasan besar dan otentik yang terkandung dalam Pancasila-nya Bung Karno. “Hari Kesaktian Pancasila” yang diselenggarakan di Lubang Buaya pada intinya adalah berjiwa atau berorientasi anti-Sukarno,atau anti-kiri umumnya, termasuk anti-PKI.

Dalam kaitan ini perlulah kiranya kita semua (termasuk orang-orang yang masih tertipu oleh Orde Barunya Suharto bahwa “Hari Kesaktian Pancasila” adalah sesuatu yang luhur dan mulia) mengerti dengan gamblang bahwa secara keseluruhan, Pancasila-nya Bung Karno adalah kiri. Dengan mengingat bahwa sejak mudanya ia sudah menerjunkan diri dalam perjuangan anti-kolonialisme Belanda dengan elan (semangat) revolusioner dan jiwa NASAKOM, maka jelaslah bahwa ia menggagas Pancasila dalam tahun 1945 pun dengan latar-belakang fikiran kiri dan revolusioner.

Kalau kita cermati gagasan-gagasan Bung Karno yang besar dan progresif yang terkandung dalam kata-kata di Pancasila-nya: Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan sosial, maka kita semua bisa melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Suharto dengan Orde Barunya selama 32 tahun adalah betul-betul pengkhianatan besar-besaran terhadap Pancasila yang asli. Sebab, hanya orang-orang yang jiwanya tidak sehatlah yang masih bisa -- atau masih berani !!! -- mengatakan bahwa Orde Baru telah mempraktekkan Kemanusiaan yang adil dan beradab (harap ingat : pembantaian jutaan orang tidak bersalah dalam peristiwa 65, penangkapan ratusan ribu orang selama puluhan tahun, dan menyengsarakan terus-menerus, sampai sekarang, keluarga korban 65 yang puluhan juta orang jumlahnya).

Juga hanya orang-orang yang nalarnya rusak-lah yang terus-menerus mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru (dan semua pemerintahan yang berikutnya) telah dan sedang mentrapkan Kerakyatan, kalau kita ingat bahwa lembaga-lembaga negara (antara lain : DPR, DPRD, Mahkamah Agung, dan aparat birokrasi dikuasai oleh anasir-anasir korup dan bermental anti-rakyat). Dan hanya orang-orang yang imannya sesatlah yang tidak segan-segan mengatakan bahwa semua pemerintahan pasca-Sukarno menjunjung tinggi-tinggi prinsip Keadilan sosial, kalau kita saksikan bahwa selama ini sebagian terbesar rakyat kita hidup di bawah 2 dollar sehari, sedangkan segolongan orang-orang sebangsa Tommy Suharto dan Tutut bergelimang dengan uang triliunan Rupiah.

Perlu kita sama-sama renungkan juga bahwa Bung Karno merumuskan sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) dengan pengertian agama (Islam, Katolik, Kristen dll) yang progresif, yang berkemanusiaan, yang adil dan beradab, yang menjunjung tinggi-tinggi kerakyatan dan keadilan sosial (jadi sama sekali berlawanan dengan praktek-praktek FPI atau ajaran golongan Islam fundamentalis Indonesia lainnya). Patutlah kita semua ingat bahwa Bung Karno sejak masih mahasiswa sudah terjun dalam gerakan Islam yang progresif atau kiri, anti-kolonialis, dan bersahabat dengan orang-orang komunis juga, karena ia anggap mereka sebagai kawan seperjuangan.

Apa yang dikemukakan di atas itu adalah untuk mengajak kita semuanya melihat bahwa “Hari Kesaktian Pancasila” yang diselengggarakan di Lubang Buaya itu sebenarnya atau pada intinya adalah hanya salah satu di antara banyak upaya sebagian golongan militer pendukung Suharto beserta sisa-sisa kekuatan Orde Baru lainnya untuk melanjutkan terus-menerus politik mereka yang salah selama ini, yaitu memerosotkan citra Bung Karno dan sekaligus memukul gerakan kiri, dan terutama PKI. Itu semuanya perlu mereka lakukan, untuk menutupi dosa-dosa mereka yang besar dan banyak sekali yang telah dilakukan sejak 1965.



Pancasila adalah pemersatu bangsa dan juga kiri

Bahwa jiwa asli Pancasila adalah kiri, baiklah disajikan ulang apa yang dikatakan oleh penggagasnya, Bung Karno, seperti yang dapat kita baca dalam dua jilid buku “Revolusi belum selesai”. Dalam buku tersebut dapat dibaca kumpulan pidato-pidato Bung Karno sesudah peristiwa G30S, yang banyak menyinggung masalah Pancasila. Berikut adalah satu bagian kecil sekali dari pidato beliau dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora di Bogor pada tanggal 6 November 1965 (yaitu kita-kira sebulan lebih setelah terjadinya G30S, ketika para pembesar militer pendukung Suharto mulai menggunakan Pancasila untuk menyerang Bung Karno) :

“Jangan kira, Saudara-saudara, kiri is alleen maar (keterangan : bahasa Belanda, yang artinya : hanyalah ) anti-imperialisme. Jangan kira kiri hanya anti-imperalisme, tetapi kiri juga anti-uitbuiting (penghisapan). Kiri adalah juga menghendaki satu masyarakat yang adil dan makmur, di dalam arti tiada kapitalisme, tiada exploitation de l’homme par l’homme, tetapi kiri. Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa ? Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah anti-kapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation de l’homme par l’homme. Pancasila adalah anti-exploitation de nation par nation. Karena itulah Pancasila kiri” (Revolusi belum selesai, halaman 77).

Dalam sidang pimpinan MPRS ke 10 di Istana Negara, 6 Desember 1965 (jadi dua bulan sesudah G30S) Bung Karno mengatakan :” Apakah tidak benar kalau saya berkata bahwa di waktu yang akhir-akhir ini, Pancasila dipergunakan sebagai satu barang an sich.Aku Pancasila! Maksudnya apa orang yang berkata demikian ini ? Aku antikomunis. Perkataan dipakai untuk sebetulnya men-demonstreer anti kepada Kom. Padahal Pancasila sebetulnya tidak anti-Kom. Kom dalam arti ideologi sosial untuk mendatangkan di sini suatu masyarakat yang sosialistis. Kalau dikatakan, ya aku Pancasila, tetapi dalam hatinya anti-Nasakom. Pancasila dipakai untuk mengatakan aku Pancasila, tetapi aku anti-Nas. Aku Pancasila tetapi aku anti-A.

Pancasila adalah pemersatu, adalah satu ideologi yang mencakup segala. Dan aku sendiri berkata, aku ini apa? Aku Pancasila. Aku apa ? Aku perasan daripada Nasakom. Aku adalah Nasionalis, aku adalah A, aku adalah sosialis, kataku. Tetapi banyak orang memakai Pancasila ini sebagai hal yang anti.” (Revolusi belum selesai, halaman 217).



Pancasila-nya Bung Karno perlu kita angkat kembali

Mengingat itu semuanya nyatalah bahwa « Hari Kesaktian Pancasila » yang diselenggarakan di Lubang Buaya (dan di tempat-tempat lainnya di Indonesia) adalah sebenarnya bertentangan sama sekali dengan jiwa asli Pancasila-nya Bung Karno dan ajaran-ajaran besarnya yang lain. Karena itulah tulisan ini sependapat dengan usul atau fikiran yang sudah mulai muncul supaya ritual yang hanya menyebar racun persatuan bangsa ini ditiadakan atau dihapuskan saja untuk selanjutnya. Tetapi, kalau sisa-sisa Orde Baru masih mau tetap mengadakannya, ada juga baiknya ! Sebab, seperti halnya diaporama beserta « Monumen Pancasila, » -nya, akhirnya itu semua akan merupakan boomerang bagi mereka, karena banyak orang (terutama generasi yang akan datang) akan bisa melihat dengan jelas kebohongan dan tujuan yang tidak luhur yang dikandungnya. Diaporama dan segala macam monumen yang didirikan oleh rejim militer ini pastilah akan menjadi “senjata makan tuan” bagi mereka sendiri.

Jadi, kita semua melihat bahwa Pancasila sudah dikotori atau dibikin busuk seperti comberan (dan memuakkan!) oleh Suharto dan konco-konconya selama puluhan tahun dengan macam-macam praktek (antara lain indoktrinasi paksaan Penataran “Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”, dan cekokan berupa seminar atau rapat-rapat dll). Karenanya, sudah banyak orang yang bukan saja membenci Suharto dengan Orde Barunya, melainkan juga tidak menghargai Pancasila lagi.

Karenanya, adalah tugas kita bersama dewasa ini, dan untuk selanjutnya, untuk mengangkat kembali Pancasila dari comberan yang dibikin oleh rejim militer Suharto. Pancasila-nya Bung Karno perlu kita junjung tinggi-tinggi, kita kumandangkan lagi, dan kita dudukkan di tempat yang luhur dan mulia sebagaimana mestinya, sebagai pemersatu bangsa yang berjuang untuk masyarakat yang betul-betul demokratis, adil dan makmur.

Njoto, Wakil Ketua CC PKI Yang Mati Dalam Sunyi

| | | 0 komentar
Dalam rangka memperingati peristiwa 65, berikut di bawah ini disajikan artikel atau tulisan yang disiarkan oleh Radio Nederland (siaran bahasa Indonesia) mengenai kasus Wakil Ketua II CC PKI , Njoto, yang dibunuh oleh Angkatan Darat secara sembunyi-sembunyi. Tulisan radio Nederland ini telah disiarkan kembali oleh Radio KBR68H (Jakarta) pada tanggal 28 Agustus 2008.

Penyajian kembali tulisan singkat tentang Njoto ini, untuk menunjukkan - sekali lagi , dan untuk kesekian kalinya ? bahwa Suharto dkk dalam Angkatan Darat telah membunuh secara sewenang-wenang dan tanpa dasar hukum atau pengadilan, sejumlah besar pimpinan PKI dan berbagai ormas seperti SOBSI, BTI, Gerwani, Pemuda Rakyat, HSI dll baik di tingkat nasional maupun daerah.

Di antara mereka yang dibunuhi, ditangkapi dan dipenjarakan secara besar-besaran ini terdapat banyak tokoh perjuangan melawan kolonialisme Belanda dan Jepang,dan banyak yang menjadi motor gerakan revolusioner di bawah pimpinan Biung Karno. Dengan dibunuhinya mereka ini dan dilumpuhkannya kekuatan revolusioner yang mendukung politik Bung Karno maka bangsa dan rakyat Indonesia telah menjadi loyo dan rusak seperti yang kita saksikan dengan jelas sekali sekarang ini.

Pembunuhan Njoto secara sewenang-wenang, seperti halnya pembunuhan banyak kader dan aktifis golongan kiri lainnya merupakan dosa berat dan aib besar bangsa Indonesia, yang perlu dicatat dalam sejarah rakyat.

Siaran Radio Nederland tersebut adalah sebagai berikut :

Namanya singkat: Njoto. Sebagai menteri negara di tahun 1960an, ia mengesankan banyak orang, termasuk Bung Karno. Bukan saja piawai di panggung politik, tapi juga memiliki pengetahun yang lengkap tentang sastra, musik hingga sepak bola.
Ia seorang jenius yang tak pernah diketahui kabar kematiannya. Ia dibunuh akibat hura hara politik akhir September 1965, ketika Partai Komunis Indonesia dituduh mendalanginya.

Bayi pun dipenjara

Svetlana Dayani: "Saya tidak melihat disiksanya, tapi kita kan mendengar suara. Mendengar jeritan orang, mendengar segala macam, hardikan-hardikan pemeriksa. Kalau pagi mereka ke luar dari ruang pemeriksaan dengan badan yang sudah, ada yang dipapah, ada yang sudah tidak bisa berjalan. Harus diseret-seret. Mengerikan. Nggak cuma laki-laki masalahnya, juga perempuan.Lihat sendiri"

Saat itu Svetlana Dayani belum lagi 10 tahun. Belum faham benar apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Svetlana beserta keenam adiknya sudah harus merasakan kejamnya hidup dalam penjara. Gelap. Pengap. Adik bungsunya saat itu malah masih menyusu.

Svetlana Dayani: "Ikut semua sampai bayinya yang umur tiga bulan itu"

Mereka adalah anak-anak Njoto, menteri zaman Bung Karno dan Wakil Ketua CC Partai Komunis Indonesia, PKI. Huru hara politik 30 September 1965 membuat mereka harus ikut merasakan pengapnya penjara Kodim Jakarta. Tiga bulan bersama Soetarni, ibu mereka.

Setelah bebas dari tahanan Kodim, Soetarni, istri Njoto, kembali ditangkap dan ditahan. Dari satu penjara ke penjara lain. Antara lain di Wonogiri, Semarang, Bukit Duri Jakarta, dan di Plantungan, Jawa Tengah. Sementara Njoto sendiri hilang tanpa jejak sejak 16 Desember 1965.

Soetarni: "Masih nyusuin saya. Tapi setelah saya karena kaki saya diambil itu, ndak keluar air susunya. Saya lapor ke komandannya. Saya minta susu. Karena itu mendadak ndak keluar. Tiba-tiba ndak keluar. Dimintakan sama-sama orang tahanan. Saya tahunya.. waduh kok kasian amat, orang ditahan kok dimintain suruh njatah aku susu"

Kini, meski sudah renta, ingatan Soetarni masih segar. Ketika tertawa, giginya terlihat berderet putih. Tinggal di sebuah rumah sederhana di Rawamangun Jakarta Timur, Soetarni banyak menghabiskan waktunya dengan membaca. Berbagai buku dilahapnya, mulai soal politik sampai komik pemberian cucu.

Seniman ketimbang politikus

Soetarni ingat betul pengalaman pahitnya. Walau pun istri Njoto, Soetarni tak pernah aktif di PKI. Ia ibu rumah tangga biasa. Sebelum menikah, Soetarni adalah atlet lari yang pernah tiga kali ikut Pekan Olahraga Nasional PON mewakili Solo. Waktu itu, Soetarni lebih banyak kenal Njoto sebagai seniman ketimbang politikus. Di mata Soetarni, Njoto adalah seorang penyabar. Seingatnya, tak pernah sekalipun Njoto membentak atau bicara kasar terhadapnya. Ia tak pernah menyesal menjadi istri Njoto.
Soetarni: "Karena peristiwa itu bukan salahnya, setahu saya, bukan salahnya PKI. Saya tidak bisa membenci PKI juga ngga. Masih tanda tanya terus toh selama ini. Ini peristiwa siapa sebetulnya siapa yang salah. Siapa yang bikin. Masih belum jelas kan? Semua juga belum tahu. (Dan sebagai istri petinggi PKI tidak pernah dengar kabar?) Tidak, baru belakangan-belakangan, dari baca-baca ini"

Sementara bagi Svetlana, Njoto adalah ayah yang dekat dengan anak-anaknya. Njoto selalu mengajak anak-anak mengenal kegiatan ayah mereka, mulai kegiatan di kantor redaksi koran Harian Rakjat sampai nonton kesenian.

Svetlana Dayani: "Kalau malam kita suka diajak ke kantor Harian Rakjat. Melihat proses membuat surat kabar, macam-macam. Diajak sampai lihat percetakannya. Diajak dia kerja. Kalau ada kegiatan dengan seniman juga begitu. Kita biasa datang ke acara seni, liat ludruk segala macam. Kesenian dari luar negeri. Terus kalau ada kegiatan dengan Lekra mungkin ke daerah, ke Bali. Kalau sedang libur kita ikut. Jadi saya tahu ayah ya seperti itu"

Untuk urusan buku, Njoto juga selalu memanjakan anak-anakmya. Di rumahnya yang luas di Jalan Malang, Menteng, Jakarta Pusat, Svetlana masih ingat tumpukan buku Njoto sampai langit-langit rumah. Njoto punya kursi khusus untuk menjangkau buku-buku itu.

Menyembunyikan jati diri

Penderitaan anak-anak tak selesai walau pun keluar dari penjara. Bertahun-tahun Svetlana juga harus menyembunyikan namanya yang berbau Rusia.

Svetlana Dayani: "Saya harus selalu menyembunyikan jati diri saya yang sesungguhnya. Tidak pakai Svetlana. Nama lengkap saya kan Svetlana Dayani. Sejak peristiwa itu ketika saya mau sekolah lagi ibu saya tidak mengizinkan, saya harus membuang nama Svetlananya. Jangan dipakai. Karena dari saya dan adik-adik itu, nama saya memang yang paling mencolok sekali, svetlana"

Padahal Svetlana berarti cahaya. Tapi cahaya itu seolah redup begitu orde baru berkuasa dan mengharamkan PKI sampai anak cucu anggotanya. Anak-anak Njoto dan anak-anak anggota PKI lain hidup menderita, tak bisa menjadi pegawai negeri, bahkan ada yang sulit menikah lantaran calon mertua tahu mereka anak PKI.

Saat peristiwa 65 meletus, Njoto sedang berada di Medan untuk urusan kenegaraan. Beredar santer desas desus PKI dalang pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Aktivis PKI dicari-cari. Ada yang ditangkap lalu dibawa ke tahanan dan dipenjara bertahun-tahun, tanpa diadili. Banyak yang ditangkap lalu dibunuh. Pecah pembantaian massal terhadap ribuan orang yang dituduh PKI.

Menghilang

Tanpa Njoto, pada 1 Oktober Soetarni terpaksa mengungsi bersama anak-anaknya dari rumah satu ke rumah lain. Seingat Soetarni, semenjak peristiwa itu, hanya sekali Njoto menemuinya.

Soetarni: "Masih nengok sekali di Gunung Sahari. Sekali saja (Bilang apa?) Wah sudah lupa ya. Ya, jaga anak-anak saja. Biasanya mesti begitu kalau mau ditinggal ke luar negeri. Jaga anak-anak kalau ada kesulitan hubungi oom ini, oom itu. Kawan-kawannya"

Setelah pertemuan hari itu, Njoto menghilang. Soetarni tak pernah lagi mendengar beritanya. Kabarnya ia ditembak mati, tapi Soetarni juga tak pernah melihat jazad suaminya. Anak-anaknya pun tak pernah tahu kabar ayah mereka. Bahkan sekedar foto pun mereka tak punya, karena rumah mereka pun ikut dijarah. Tak ada yang tersisa.

Njoto adalah salah satu dari Tiga Serangkai orang muda pemimpin Partai Komunis Indonesia tahun 1965. Selain Njoto ada juga Aidit dan Lukman. Selain sebagai Wakil Ketua II CC PKI, Njoto juga seorang penyair, essais dan penulis naskah pidato Bung Karno. Di kantor redaksi Harian Rakjat Njoto menulis editorial, pojok atau kolom.

Tidak anti agama

Njoto seorang komunis tulen. Tapi ia tidak anti agama. Salah seorang sahabatnya, Joesoef Isak bercerita, Njoto pernah mengusahakan seorang ibu untuk naik haji ke Mekah. Saat itu tak sembarang orang bisa berangkat ke Mekah walau punya uang.
Joesoef Isak: "Dulu orang naik haji berebutan. Ada jatahnya. Walau pun punya duit kalau gak dapat jatah gak bisa. Teman saya Tom Anwar, wartawan Bintang Timur. Ibunya udah 60 tahun, sudah tua. Kepingin naik haji. Kedengaran sama Njoto. Njoto orang PKI yang dibilang iblis, gak kenal Tuhan, itu mengusahakan satu jatah untuk ibunya Tom Anwar. Jadi ibunya Tom Anwar kemudian 20 tahun lagi saya ketemu, dia udah umur 80 tahun, tidak pernah dia lupakan, bisa haji berkat Njoto"

Di mata Joesoef Isak, pengetahuan Njoto di banyak bidang tergolong paripurna. Njoto tahu banyak, mulai politik, musik sampai bola. Joesoef Isak yang saat itu wartawan harian Merdeka justru kenal Njoto karena musik.

Joesoef Isak: "Bicara mengenai sepak bola, dia akan bicara sebagaimana seorang pelatih sepak bola profesional. Sistem grendel, sistem 421. Itu. Jadi dia serba mendalam. Bicara mengenai musik. Dari kroncong, floklor musik-musik rakyat Maluku, Ambon, Batak yang memang indah ya. Dia bisa bicara mengenai Beethoven, mengenai Wagner, mengenai Berlioz, Edvard Grieg, Sibelius, Antonin Dvorak"

Genjer-genjer

Di bidang musik Njoto bukan sekedar tahu. Ia juga pandai memainkan berbagai instrumen, dari gitar sampai piano. Teman bermain musiknya antara lain adalah Jack Lesmana, salah seorang pelopor sekaligus pemusik jazz ternama Indonesia.

Suatu ketika, saat berkunjung ke Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1962 dia disuguhi lagu Gendjer-Gendjer. Nalurinya sebagai seniman muncul dan memprediksi lagu itu akan tenar. Ramalan Njoto benar, lagu rakyat itu menjadi hit yang diputar di TVRI dan RRI.

Joesoef Isak boleh jadi salah seorang dari sedikit rekan Njoto yang saat ini masih hidup. Usianya kini 80 tahun. Di zaman Orde Baru ia mendirikan penebit Hasta Mitra yang menerbitkan roman Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer.

Njoto anak tertua dari tiga bersaudara, dilahirkan di Bondowoso pada tanggal 17 Januari 1927. Sejak muda Njoto telah menunjukkan bakat sebagai aktivis politik ulung. Joesoef Isak bercerita saat Njoto juga pernah bergabung dalam Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP, padahal usianya saat itu baru 16 tahun.

Joesoef Isak: "Dia sudah jadi komunis masih masa muda. Karena itu waktu republik berdiri, 1945, 1946, 1947, dia pimpin PKI, jadi fraksi PKI. Dia sudah ketuanya. Dia cerita pada saya. Umurnya 16. Jadi dia korup dua tahun. Isyunya saat itu KNIP perundingan dengan Belanda. Apa mau kompromi apa tidak dengan Belanda. Paling garis besar saja saya tahu soal-soal itu. Yang mendetail saya ndak banyak tahu"
Karir politik Njoto terus melambung. Pada pemilu pertama tahun 1955, Njoto sudah berada di barisan pemimpin PKI.

Lekra

Di bidang sastra dan kebudayaan, Njoto ikut mendirikan Lembaga Kebudajaan Rakjat, Lekra. Ia juga ikut membuat Piagam Lekra. Amarzan Loebis, anggota Lekra, mengatakan organisasi ini dulunya menekankan konsep sastra yang berpihak pada rakyat.

Amarzan Loebis: "Saya kira konsep Njoto ya jelas, seperti konsep Lembaga kebudajaan Rakjat ya sastra itu ya sastra yang memihak. Dan pemihakan sastra itu adalah pada orang-orang yang tertindas dan terjajah. Konsep sastra kita itu, kalau bisa disimpulkan menurut bahasa sekarang ya sastra pembebasan, sastra yang berusaha membebaskan orang, membebaskan manusia dari penindasan, penjajahan dan dengan sendirinya dari kebodohan. Kalau ada pertunjukan sandiwara, kalau itu cenderung memihak siapa? Rakyat atau kelompok yang menindas rakyat? Kalau cerita sandiwara itu menindas rakyat, itu bukan model cerita yang kita sambut gembira. Juga cerita-cerita yang tidak menyarankan optimisme"

Lekra pernah berpolemik keras dengan sejumlah seniman yang tergabung dalam Manifesto Kebudajaan, Manikebu. Sebuah perdebatan paling seru dalam sejarah budaya Indonesia. Kelompok Manikebu yakin seniman harus bebas dalam menciptakan karya yang didasarkan pada rasa kemanusiaan. Sementara seniman-seniman Lekra mendukung garis politik Bung Karno bahwa politik sebagai panglima. Karena itu seniman juga harus ambil bagian dalam politik mendukung Bung Karno.

Soekarno yang waktu itu dekat dengan Lekra dan PKI akhirnya melarang kelompok Manikebu. Joesoef Isak, kawan Njoto mengatakan, sejak awal Njoto tidak setuju pelarangan itu. Polemik Lekra versus Manikebu, kata Njoto, harusnya diperdebatkan dan masyarakat yang menilai.

Joesoef Isak: "Dia bilang manikebu enggak bisa dihapus dengan peraturan, dengan tanda tangan, dengan statement, lalu hilang. Manikebu adalah suatu wawasan. Wawasan itu tak bisa hilang dengan tanda tangan di atas kertas. Harus dilawan dengan polemik, dengan debat. Terbuka, biar rakyat terlibat. Biar lihat sendiri, menilai mana yang bener mana yang tidak bener. Dalam hal itu sikap Njoto cukup demokratis"
Penulis pidato BK

Njoto juga salah seorang penulis naskah pidato Bung Karno. Menurut Joesoef Isak Soekarno suka gaya tulisan Njoto karena sesuai dengan gaya pidatonya.
Joesoef Isak: "Sebenarnya kalau soal pidato Bung Karno, bukan hanya Njoto, tapi Roeslan Abdoelgani juga nulis, Soebandrio menulis. Jadi tiga orang. Tapi masing-masing, setelah Soekarno pidato, mereka lihat berapa persen mereka dipakai. Njoto bilang, waktu bicara 63/64 Bung Karno hebat. Njoto sudah bilang, Suf, tinggal kerikil-kerikil saja. Hampir semua dia punya"

Ada banyak alasan mengapa Soekarno suka Njoto. Amarzan Loebis adalah wartawan Tempo bekas anggota Lekra yang pernah ditahan di Pulau Buru.

Amarzan Loebis: "Pertama masalah "ideologis" dan masalah habit. Masalah ideologis saya melihat Bung Njoto lebih sebagai nasionalis daripada seorang marxis. Bung Karno sendiri kan mengakui bahwa marhanenisme adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia. Jadi ketemunya di situ saya pikir, ya. Pada Njoto ada ideologi marxis yang cenderung nasionalis. Pada Bung Karno jelas ada ideologi nasionalis cenderung marxis. Jadi ketemu. Kemudian dari segi habit, ya keduanya kebetulan sama-sama gemar musik, gemar lukisan dan mengerti lukisan, gemar sastra. Hal-hal seperti itu. Jadi mudah menjadi dekat"

Kepada orang-orang dekatnya, Njoto mengaku tak tahu menahu soal gerakan 30 September yang menurut orde baru didalangi PKI. Saat itu Njoto bahkan sedang ada di Medan, mengikuti sebuah tugas kenegaraan. Sampai kini tak jelas kabar kematiannya. Mungkin ia telah mati. Mati dalam sunyi.

UMAR SAID

TULISAN MENGHARUKAN ANAK NJOTO, WAKIL KETUA CC PKI

| | | 0 komentar
Pengantar A. Umar Said :

Dalam rangka Peringatan 40 Tahun Peristiwa 65 sejumlah tulisan sudah disajikan dalam website kita http://perso.club-internet.fr/kontak tentang berbagai pengalaman yang terjadi dalam tragedi besar kemanusiaan yang sudah dialami bangsa kita itu. Munculnya tulisan-tulisan yang mengangkat - dengan berbagai cara -- soal-soal yang berkaitan dengan pengalaman dalam peristiwa 65 adalah perlu sekali (!!!) untuk terus-menerus mengingatkan semua orang bahwa halaman hitam dalam sejarah bangsa itu sekali-kali tidak boleh terjadi lagi. Kapan pun, bagaimana pun, dalam bentuk apa pun, dengan cara apa pun dan oleh siapa pun!

Kali ini kita sajikan tulisan iramani-id, salah seorang putri dari 7 anak Njoto, Wakil Ketua II CC PKI, yang telah ditangkap dalam bulan-bulan terakhir 1965 dan “dihabisi” begitu saja (dan secara diam-diam) oleh unit militer, tanpa pemeriksaan pengadilan.

iramani-id adalah nama samaran yang dipakainya untuk tulisan ini, dengan meminjam nama samaran ayahnya (Njoto) yang sering menggunakan nama Iramani untuk tulisan-tulisan sastranya. Untuk membedakannya dengan nama samaran asli ayahnya, ia pakai huruf kecil.

Tulisan ini merupakan sepenggal ingatan masa kecilnya, ketika bersama ibunya (istri Njoto) dan kakak-adiknya yang jumlahnya banyak itu ditahan oleh militer, antara lain di salah satu Kodim di Jakarta. Waktu itu ia masih berusia 4 tahun, dan saat mereka ditangkap, ibunya sedang hamil besar dan melahirkan anak terkecilnya dalam masa tahanan.

Tulisannya yang bernada puitis ini cukup menggambarkan – dengan bagus sekali dan juga mengharukan -- alam fikir kanak-kanak dalam menghadapi berbagai persoalan waktu itu. Dari cara penulisannya, ia menunjukkan bakat menulis dengan gaya bahasa yang enak dibaca dan isi yang dalam. Mudah-mudahan di kemudian hari kita bisa menikmati hasil karyanya yang lain. Tulisannya, yang bisa menggambarkan kehidupan yang penuh penderitaan dari keluarga dan anak-anak pimpinan CC PKI karena perlakuan militeristik Suharto, merupakan bukti yang lebih jelas lagi tentang ketidakmanusiawian yang telah banyak sekali dilakukan rejim Orde Baru.

Tentang keluarga Njoto, berikut ini disajikan sebagian dari tulisan Harsutedjo bertanggal 5 Agustus 2005, yang sudah disiarkan di berbagai mailing-list. Tulisan yang berjudul “Nyoto, Menteri Negara, Wakil Ketua CC PKI Dan Nasib Keluarganya” itu antara lain adalah sebagai berikut :

“Sejumlah anak masuk ke dalam penjara bertahun-tahun bersama ibu mereka yang menjadi tapol karena tiada tempat lain untuk berlindung, ya berlindung ke dalam penjara! Betapa absurdnya. Bahkan juga perempuan tapol yang sedang hamil melahirkan di penjara. Seperti pernah kita dengar, Nyoto yang Menteri Negara dan Wakil Ketua CC PKI sampai meninggalnya, istri dan 7 anaknya (yang tertua 9 tahun, si bungsu yang lahir 1966 sedang menyusu) dijebloskan ke dalam tahanan di Kodim Jl Setiabudi, Jakarta. Anak-anak ini pula selama dalam tahanan bersama ibu mereka melihat dan mendengarkan jerit tangis tahanan laki dan perempuan yang sedang disiksa! Dapat kita bayangkan dampak psikologis macam apa yang mungkin mencengkeram seluruh jiwa raga mereka untuk seumur hidupnya. Anak pertama Nyoto yang bernama indah Svetlana Dayani, bertahun-tahun lamanya tidak berani menyandang nama depannya hanya karena berbau Rusia.

Seperti kita ketahui isteri Nyoto, Sutarni, berasal dari keluarga ningrat Mangkunegaran, Sala. Dia tidak memiliki kegiatan politik apa pun, sudah terlalu sibuk dengan anak-anaknya sampai tragedi 1965 meletus. Beruntung anak pertama mereka, Svetlana, baru berumur 9 tahun bersama ibunya di tahanan. Saya ngeri membayangkan, andai saja dia sudah gadis remaja, entah apa yang terjadi terhadap dirinya. Bukan rahasia lagi bahwa telah terjadi pelecehan seksual dan perkosaan, sering beramai-ramai terhadap para perempuan korban. Untuk membungkam saksi tak jarang kemudian mereka dihabisi.

Bukti sejarah berdasarkan pengakuan si pelaku menunjukkan bahwa Nyoto yang Menteri Negara dibunuh atas perintah Jenderal Sumitro sebagai pembantu Jenderal Suharto dengan jabatan Aisten Operasi Menpangad pada 1965. Tipikal jenderal Orba yang dengan bangga mengakui telah melakukan pembunuhan terhadap lawan politiknya ketika kekuasaannya sedang berkibar.

“Nyoto, gembong PKI, pernah saya lihat sewaktu ia ikut dalam Sidang Kabinet di Bogor. Dia kelihatan sangat sombong, kurang ajar terhadap Pak Hidayat, hingga saya memberi tanda dengan sikut kepada Jenderal Moersjid dan berkata: ‘Sjid, ik krijg hem wel.’ (Aku akan dapatkan dia). Benar, saya sakit hati melihatnya. Saya perintahkan khusus untuk mengejarnya supaya ia terpegang. Selang beberapa waktu ia dikabarkan mati sudah”.[i][i]

Itulah yang diakui dengan bangga oleh Jenderal Sumitro. Kalau saja Pak Jenderal ini masih hidup, ia dapat diseret ke depan pengadilan kriminal karena memerintahkan pembunuhan seorang warga negara sekaligus seorang menteri yang sedang menjabat.

Svetlana melukiskan ayahnya sebagai ayah yang baik kepada siapa saja, halus, sopan, pandai. Sesibuk apa pun dia masih memberikan waktunya untuk keluarga. Svetlana dan adiknya terkadang diajak ke kantor ayahnya di koran Harian Rakjat, juga ketika menerima undangan sarapan ke Istana Negara bersama Bung Karno, bahkan nonton pertandingan sepakbola. Selama hantaman badai, setelah terpisah dari ibunya, dia dan adik-adiknya terpencar-pencar mengikuti sanak keluarga yang berbeda-beda di Jawa dan Sumatra, sementara ibu mereka mendekam sebagai tapol selama 11 tahun. Rumahnya di Kebayoran Baru telah dijarah dan diobrak-abrik, buku-buku dan dokumen dibakar termasuk segala macam dokumen keluarga dan foto-foto. Belakangan rumah itu ditinggali oleh Jenderal Mattalata (ayah penyanyi Andie Meriem). Setelah mengalami segala macam pahit getir bersama semua adik-adiknya, mereka cenderung bersikap apatis terhadap politik karena trauma. Akhirnya Svetlana Dayani berseru, “Hentikan diskriminasi kepada kami”. Demikian tulis Harsutedjo.
KODIM, 1966

Oleh : iramani-id

Kompleks itu bernama Kodim.

Aku tak tahu, apakah memang begitu itu namanya. Tapi begitulah orang-orang besar di sekitarku dulu menyebutnya. Aku tak tahu di mana letak persis tempat itu. Tapi di dalamnya ada banyak ruang, dan, jika ingatanku tak salah merekam, halamannya cukup luas untuk bermain dan berlari-larian.

Tempat itu bernama Kodim.

Meskipun kadang ragu, aku merasa pasti bahwa begitulah tempat itu disebut. Ia tak cuma akrab di telingaku, tapi juga melekat rapat dalam ingatanku. Setiap siang kami melompat kegirangan, bila ransum makan diantarkan. Tanpa dikomando kami segera menggelosor ke lantai mengitari rantang berisi santap siang dengan air liur tak tertahankan. Tangan-tangan kecil kami tumpang-tindih berseliweran, menggapai rantang bersusun empat yang sudah terburai-cerai berserakan di atas lantai. Rantang-rantang itu nampak pasrah saja ketika manusia-manusia kecil di sekelilingnya berisik sahut-menyahut: tertawa, merengek, kecewa, saling ledek, dan entah apa lagi. Aku tak ingat siapa yang sering jadi juara dalam kompetisi seru itu, juga tak pernah ingat apakah aku cukup banyak makan dan merasa puas setelah upacara rutin perebutan dilakukan.

Kompleks itu bernama Kodim.

Malam hari kami berjejal di sebuah ruang, berceloteh bersama dan bernyanyi riang. Jika kami lelah, Mama mendendangkan beberapa lagu atau mendongeng beberapa cerita - yang itu-itu juga. Ia hafal banyak lagu, tapi seingatku paling sering mendendang ninabobo. Entahlah, apakah aku pernah merasa bosan mendengar dongengnya. Juga entah, pada lagu atau dongeng keberapa biasanya aku terlelap di sampingnya.

Tempat itu bernama Kodim, dan ruang tempat kami berjejal itu seukuran kamar tidur. Di salah satu sisi dindingnya menempel sebentuk meja terbuat dari batu, selaik meja kompor di rumah kami dulu. Tumpukan popok dan baju bayi selalu teronggok di situ. Di ruang itu berbagai kegiatan senantiasa kami lakukan: makan, tidur, berkumpul dan bercanda. Tak kuingat lagi apa warna dinding dan pintu ruang itu, dan barang apa saja yang tersedia di dalamnya. Adakah tempat tidur dan kasur yang melapisi tubuh kecil kami ketika berbaring? Adakah lemari tempat kami menyimpan pakaian atau piring? Adakah meja tulis dan bangku-bangku di mana kami bisa berpanjat-panjatan? Adakah rak di mana buku-buku Bapak biasa disimpan?

Tempat itu bernama Kodim.

Pagi-pagi sekali Mama membangunkan kami untuk mandi. Sekeluar kami dari kamar mandi, biasanya orang-orang besar sudah berkerumun di depan jamban sempit itu. Ada yang jongkok ada yang berdiri. Mereka antri mandi. Seusai mandi kami bermain atau berjalan-jalan berkeliling kompleks. Aku sering melihat dan mendengar orang-orang besar berbisik-bisik. Aku tak tahu kenapa orang-orang itu senang sekali bercakap sambil berbisik-bisik. Bisikan itu ada yang sampai di telingaku, terdengarnya begini: “Ada yang mati lagi! Ada yang mati lagi! Dia ditembak!”. Seraya berlari menghampiri kakak-kakakku, aku lalu mewartakan bisikan yang kudengar itu: “Ada yang mati!, ada yang mati! Dia ditembak!!” Suaraku lantang. Aku bangga bisa mengetahui berita itu lebih dulu ketimbang kakak-kakakku. Tapi Mama bergegas menghampiriku, dan setengah berbisik ia menghentikan seruanku: “Sssttt, anak kecil nggak baik ngomong begitu…” Aku lupa, apakah setelah itu aku masih mendengar bisik-bisik seperti itu. Aku juga lupa, apakah di hari-hari berikutnya mulut kecil-lantangku kembali mengulang berita begitu.

Tempat itu bernama Kodim.

Siang menjelang sore, di suatu hari pada tanggal yang tak pasti. Orang-orang besar sigap menggendong dan bergegas memasukkan kami ke dalam mobil. Mobil itu besar, entah sejenis apa. Rasa-rasanya seperti jip, karena suaranya gagah menderu, membuatku merasa bangga berada di dalamnya. Orang-orang besar bersas-sis-sus berbisik sambil bergegas memasukkan kakak-kakak dan adikku satu per satu ke dalamnya. Ketika itu aku kanak empat tahun, girang alang-kepalang. Mereka membisikkan satu kata yang membangkitkan keriangan: tamasya!!. Ya, tamasya!! Orang-orang besar itu terus berbisik satu sama lain. Tapi apa peduliku? “Hore” adalah kata yang paling tepat menggambarkan suasana hari itu, atau setidaknya begitulah yang kurasakan saat itu. Kami melambai-lambaikan tangan seraya berseru riang pada orang-orang besar berbaju loreng pun berbaju rombeng, yang berdiri di luar mengitari mobil kami. Kami akan segera meninggalkan mereka…

Ya, tempat yang baru saja kami tinggalkan itu bernama Kodim. Aku ingat sekali, di tempat itu kami sering bertanya tentang Bapak kepada Mama. Sepenuh sigap Mama menjawab: “Bapak sedang pergi jauh, jauuuh sekali! Ke luar negeri!!” Bagai bebek sahut-menyahut kami berlomba bertanya, beruntun berderap kejar-mengejar, ingin dijawab paling dulu: “Kapan Bapak pulang, Ma?, kapan Bapak pulang?” “Bawa oleh-oleh, kan, Ma?” “Oleh-oleh apa? Cokelat ya, Ma?”

Kompleks itu bernama Kodim.

Aku tak tahu sejak kapan, bagaimana, mengapa, dan untuk apa kami berada di sana. Aku cuma ingat, beberapa waktu sebelum kami berada di tempat itu, kami sempat sibuk menyambut kedatangan Mama dari rumah sakit. Ia membopong adik terkecil kami - yang baru saja dilahirkan. Kata Mama, adikku itu perempuan, Butet namanya. Aku tak tahu kenapa nama begitu itu diberikan kepada adik kecilku.Yang kutahu, kami semua gembira menyambut kelahiran dan kedatangannya, meskipun Bapak tak ada.

Tempat itu bernama Kodim.

Di sana kami pernah bermain, bernyanyi, menangis, bercanda, makan dan tidur bersama. Di sana ada Mama, aku, empat kakak dan dua adikku. Di sana ada orang-orang besar yang suka berbisik-bisik sambil menggendong dan menemani kami bermain. Di sana juga ada orang-orang besar berbaju loreng yang gemar mondar-mandir.

Tempat itu bernama Kodim.

Di sana tak ada Bapak. Ia pergi jauuuh sekali. Entah kapan kembali.

Jakarta, sepenggal masa kecil yang tak lepas dari ingatan.

iramani-id

Mengapa Yogyakarta Daerah Istimewa

| | | 0 komentar
Referendum Yogyakarta adalah preseden buruk dan awal dari disintegrasi bangsa

Yogyakarta pertama kali berstatus provinsi pada 5 September 1945, ketika Raja Ngayogyakarto Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Paku Alam VIII menyatakan bahwa Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan Soekarno Hatta pada 17 Agustus 1945.

Amanat Sri Sultan bersama Paku Alaman yang kemudian disebut Amanat 5 September tersebut merupakan bentuk dukungan Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat terhadap NKRI.

Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai suatu negara merdeka oleh Soekarno Hatta, sebenarnya Kerajaan Yogyakarta dan begitu juga kerajaan-kerajaan lain di wilayah bekas jajahan Belanda bisa saja melepaskan diri dari NKRI.

Namun ternyata Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memberikan dukungan terhadap NKRI dan dalam amanat yang ditandatangani Sri Sultan bersama Paku Alam menyatakan “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.”

Isi lain dari amanat Sri Sultan tersebut adalah, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.”

Berikutnya adalah, “Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.”

Begitu juga Paku Alam VIII dalam amanatnya menyatakan, “Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.” Berikutnya, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.”

Amanat berikutnya adalah, “Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.”

Keistimewaan Yogyakarta ini pun disambut baik oleh para founding father Indonesia dengan dikeluarkannya payung hukum yang dikenal dengan nama piagam penetapan. Payung hukum ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Soekarno yang duduk di BPUPKI dan PPKI pada 19 Agustus 1945.

Piagam penetapan ini kemudian diserahkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 6 September 1945. Isi piagam penetapan itu adalah, “Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX, Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:
Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya,
Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia.
Jakarta, 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia
Ir. Sukarno”


Sejak itulah status daerah istimewa melekat pada Yogyakarta dan ditetapkan dalam Undang-Undang No 3 tahun 1950 Jo UU No 19 tahun 1950 mengenai Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta.
Terlebih status istimewa mendapat payung hukum dari Undang-Undang Dasar 1945, yakni pasal 18A ayat 1 yang penegasannya adalah “bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dalam undang-undang.”

Konsekuensi dari hal tersebut berarti pemimpin (gubernur dan wakil gubernur) Provinsi Yogyakarta adalah raja Ngayogyakarto Hadiningrat dengan wakilnya adalah raja dari Paku Alam, yang selama ini dijabat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dan kemudian dilanjutkan (baca diwariskan) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX.
Kondisi ini berlangsung damai sampai kemudian muncul Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU tersebut, diatur bahwa gubernur dan wakil gubernur suatu provinsi di NKRI dipilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan masa jabatan maksimal 10 tahun atau dua kali pilkada.

Daerah Istimewa Yogyakarta pun harus mengikuti aturan dalam undang-undang tersebut. Artinya Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX harus mengikuti pilkada jika ingin menjadi gubernu dan wakil gubernur lagi. Hingga kemudian pemerintah (pusat) mengajukan rancangan undang-undang (RUU) untuk Yogyakarta yang sampai saat ini belum tuntas. Padahal RUU tersebut diharapkan menjadi solusi bagi keistimewaan Yogyakarta.

Pada saat itulah Sri Sultan Hamengku Buwono X yang masa jabatan gubernurnya sudah diperpanjang dua kali menyatakan perlunya referendum yang dilakukan untuk Provinsi DI Yogyakarta. Referendum bagi rakyat Yogyakarta ini, apakah gubernur dan wakil gubernurnya nanti ditetapkan atau dipilih dalam pilkada. Walau pun banyak kalangan, lontaran Sri Sultan tersebut hanya untuk menyindir pemerintah (pusat) dan DPR agar menyelesaikan segera RUU.

Memang selama ini status istimewa Yogyakarta terkesan digantung oleh pemerintah dan DPR. Pemerintah di satu sisi menuding DPR lambat menyelesaikan pembahasan di sisi lain DPR menuding pemerintah menahan RUU tersebut di Kementerian Dalam Negeri. Apakah benar nantinya referendum yang menjadi solusinya, seperti dilontarkan Sri Sultan Hamengku Buwono X? Dan ini mengkhawatirkan karena di samping bisa menjadi preseden buruk bagi provinsi lain bisa juga menjadi awal disintegrasi bangsa dan bubarnya NKRI.
• VIVAnews

Tarakan yang Tak Lagi Nyaman

| | | 0 komentar
Damai di pulau yang sejuk itu kini telah terenggut. Tarakan seperti sebuah kota mati. Konflik antarkelompok warga telah melumpuhkan kegiatan ekonomi dan pemerintahan di kota ini. Menurut Wali Kota Tarakan Udin Hianggio, ini pertama kalinya terjadi konflik terbuka di sana."Biasanya, kalau ada konflik langsung mereda ."katanya kepada Tempo kemarin.

Kemarin kota yang berasal dari kata "tarak" dan "ngakan", yang dalam bahasa Tidung berarti "tempat persinggahan makan", itu lumpuh. Tak ada orang yang singgah untuk sekadar bercakap, menikmati hidangan laut yang sedap, atau menginap. Puluhan ribu penduduk pendatang sibuk menyelamatkan diri. "Semua kegiatan ekonomi terhenti," kata Edi, manajer Hotel Mirama.

Tamu Hotel Mirama, yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman 63, tak jauh dari simpang tiga yang menjadi pertemuan empat jalan utama, tak bisa keluar karena jalan sudah diblokade massa. "Kami dari pagi belum makan. Sebab, tidak ada toko yang buka," ucapnya.

Dari 24 kamar, kata Edi, hanya 17 kamar yang terisi. "Sebagian besar anggota Brimob. Hanya beberapa kamar yang warga sipil," katanya. Edi mengungkap-kan, kondisi mencekam sudah dirasakan selama tiga hari terakhir. Ketakutan akibat konflik melanda masyarakat pendatang, seperti Yuliana Lelita asal Solo, Jawa Tengah. "Aku masih mengungsi di asrama Brimob. Mohon doanya kami baik-baik saja," ujarnya di layanan pesan Black Berry. Dia mengungkapkan, banyak warga yang mengungsi ke kantor polisi dan pangkalan TNI AL Tarakan.

"Pendatang berusaha keluar dari Ta-, rakan,dengan pesawat atau kapal," kata Koendariyati asal Bojonegoro, Jawa Timur, melalui pesan pendek. Dia mengaku sedang berada di bandar udara untuk kembali ke kampung halamannya di Jawa. Tokoh masyarakat Tarakan, Sofyan As-nawie, menyatakan, konflik yang terjadi merupakan ledakan ketidakpuasan warga pribumi, yang berjumlah cuma 10-15 persen dari penduduk. Menurut dia, kesenjangan antara warga pribumi dan pendatang sangat jomplang. Selama ini para pendatang menguasai hampir semua sektor, baik pemerintahan, ekonomi, maupun sosial. "Di pemerintahan Tarakan, tak ada warga pribumi yang menduduki jabatan tinggi. Semua pendatang," ujarnya.


SUMBER http://bataviase.co.id/node/399853

Anak Punk: Kami Enggak Mau "Nyopet"!

| | | 0 komentar
Punk merupakan pergerakan anak-anak muda kelas pekerja di London, Inggris, tahun 1980-an. Mereka menuntut ketidakadilan yang terjadi pada bidang sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi saat itu.
Dengan mengusung semangat we can do it ourselves, para anak punk ini memilih hidup mandiri, bahkan tak jarang yang akhirnya memutuskan keluar rumah dan hidup di jalan.
Lalu, bagaimana cara mereka bertahan hidup? Survival ala anak punk, komitmen hidup mandiri tanpa bantuan siapa pun, termasuk orangtua, membuat anak-anak punk ini harus memutar otak mencari pendapatan bagi dirinya sendiri. Meski sering kali hidup di jalanan, mereka pantang melakukan tindak kriminal, seperti mencuri atau malak.
"Ha-ha-ha-ha-ha... banyak hal yang bisa dilakukan, Mbak. Yang penting kami enggak nyolong duit negara," canda Geboy (29), pencinta punk yang juga anggota band reggae Djenks' ini.
Menurut pria yang berpendapat punk bukan sekadar musik ini, setiap anak punk punya cara masing-masing untuk bertahan.
"Sebagian memang ada yang hidup di jalan, tapi sebagian punk ada yang punya usaha lain, seperti workshop sablon, distro, dan band," ujarnya, Selasa (28/9/2010) di Jakarta.
Pernyataan itu juga senada dengan apa yang diutarakan Dona (25). "Enggak. Kami enggak mau nyopet atau kriminal lain karena itu sama aja bikin nama punk makin jelek lagi. Kami cari duit sendiri," ujar perempuan yang hidup di rumah kontrakan bersama tiga temannya sesama anggota komunitas punk Melody Street Punk ini.
Dona mengatakan, cara anak-anak punk di komunitasnya untuk mencari uang adalah dengan menjadi tukang parkir, manggung, ataupun membantu proyek film titipan orang.
"Biasanya duitnya jarang buat sendiri, paling buat rame-rame, biar nanti kalau kumpul, buat uang rokok atau minum, atau ntar kalau ada yang sakit," ungkapnya.
Slogan do it yourself itu, yang kemudian mendarah daging di tiap anak punk, berpengaruh pada cara menyambung hidupnya yang tidak mau terikat, seperti masuk menjadi karyawan.
"Iya, makanya banyak yang bikin usaha sendiri, paling sablon kaos, distro gitu, atau jasa tato," ujar Dona kepada Kompas.com.
Komunitas sebagai rumah
Dona mengatakan, awal masuknya dia ke dalam komunitas punk karena dirinya tengah kabur dari rumah saat kedua orangtuanya berlaku keras bahkan hingga pemukulan.
"Ya, awalnya saya memang kabur dan ketemu temen-temen di sini, dan banyak yang broken home juga, jadi saya ngerasa cocok," ujarnya.
Dona masuk pada tahun 2005. Sebagai satu-satunya anggota aktif di komunitas yang sudah ada dari tahun 1996 ini, Dona merasa menemukan keluarga, termasuk orangtua yang sudah meninggal dunia.
"Di sini justru karena cewek satu-satunya, saya berasa dilindungin. Di sini udah kayak keluarga lah, ikatannya kuat," ungkap Dona.
Geboy yang berasal dari komunitas punk Miracles juga mengaku, kekeluargaan di dalam komunitas sangat erat dan lebih nyaman bertukar informasi tentang dunia punk.
Terkait pola perekrutan untuk masuk ke dalam komunitas, baik Dona maupun Geboy, meyakinkan bahwa tidak ada aturan atau prasyarat apa pun untuk masuk ke dalam komunitasnya, ospek pun juga tidak ada.
"Dulu sempat ada ospek, tapi anak-anak justru protes pada enggak setuju cara itu, jadi sekarang enggak ada. Kalau mau masuk, ya tinggal datang, kami sih terbuka aja," ujarnya.
Persyaratan, lanjut Dona, justru akan bertabrakan dengan semangat kebebasan yang ada di dalam punk. "Mereka ke sini cari kebebasan, tapi pas masuk ke dalam malah diatur-atur, kan aneh," ucap Dona.
Memang, selama didirikan, kata Dona, anggota di komunitas Melody Street Punk memang silih berganti, keluar dan masuk.
"Jenuh itu pasti ada, jadi banyak di antara mereka yang akhirnya enggak sanggup dan milih kerja kantoran," ucap Dona.
Sementara Geboy, yang sudah menerjuni dunia punk dari bangku SMP ini, mengatakan, orang keluar masuk komunitas punk itu hal yang wajar.
"Ada pula yang menganggap ini (punk) hanya sebuah kenakalan remaja aja. Rasa jenuh pasti ada, tapi karena gue sudah jatuh cinta denga pemikiran ini gue enggak bisa lari walaupun jenuh sekalipun. Punk buat gue ada di hati," ujar Geboy.

sumber http://megapolitan.kompas.com/read/2010/09/29/11255720/Anak.Punk:.Kami.Enggak.Mau..quot.Nyopet.quot..

Aslinya, Punk Itu Tidur di Jalanan

| | | 0 komentar
Menyebut kata punk, banyak orang dengan cepat bisa mengasosiasikan dengan sekelompok pemuda dengan gaya amburadul, musik keras dengan ritme menghentak, dan sering kali dianggap anarki di jalanan Ibu Kota. Apakah hal ini benar adanya?
Punk dan ideologi kebebasan punk sebenarnya bermula sebagai subbudaya yang lahir di London, Inggris, pada tahun 1980. Pada awalnya, kelompok punk merupakan anak-anak muda kelas pekerja dengan semangat we can do it ourselves yang merasa prihatin dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang tidak menentu ketika itu.
Sikap tersebut kemudian diwujudkan dengan ciri khas berdandan dan musik punk yang kadang kasar dan dengan beat cepat serta mengentak. Dandanan mereka mudah dikenali, yakni dengan rambut mohawk, tindik (piercing), tato, gelang spike, dan rantai yang menghiasi sekujur tubuhnya.
"Tapi, jika dilihat dari akarnya, punk memang bukan aliran musik atau sekadar style berpakaian, melainkan sebagai konsep pemikiran atau ideologi dalam menjalani kehidupan," kata Geboy (29), anggota komunitas punk Miracles yang berbasis di Cipulir, Jakarta, Selasa (28/9/2010).
Dia mengatakan, punk itu bentuk perlawanan dari budaya yang ada. Semangat kebebasan juga ada di sini. Namun, kebebasan dalam arti pemikiran, kami bebas mengatur diri kami sendiri tanpa ada campur tangan dari orang lain atau pihak lain.
Menurut Geboy, soal pakaian dan aliran musik itu memang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari punk karena merupakan identitas punk itu sendiri.
"Bedanya dengan rasta atau grindcore itu hanya tampilan. Intinya, kami sama-sama menganut paham kebebasan yang sama," ujar lulusan S-1 Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Moestopo (Beragama) tahun 2006 ini.
Punk, menurut Dona (25), anggota komunitas Melody Street Punk, memang bebas, tetapi bebas yang menghormati. "Batasnya kami sama-sama tahulah. Kami memang bebas, tapi tetap hormatin orang lain. Ada toleransinya juga, enggak yang bebas seenaknya aja. Ini yang orang-orang salah tangkap," ujarnya.
Dona mengaku tidak suka dengan kehadiran anak-anak punk yang suka menggunakan kekerasan, seperti memalak atau mencopet.
"Adanya mereka itu yang enggak tahu punk, tetapi bergaya punk tahunya copet yang malah bikin rusak nama punk sendiri," ujarnya kepada Kompas.com.
Menurut Dona, sikap oknum-oknum tersebut menuntut kebebasan dengan merugikan orang lain, padahal ada aturan tidak tertulis bahwa tidak bisa sembarangan mengejek ataupun melakukan tindakan kriminal lain. Keberadaan oknum ini, menurut Dona, hanya ikut-ikutan saja dalam hal berpakaian, tetapi bukan dari pemikiran.
"Punk ikut-ikutan itu biasanya yang paling jelas banget mereka enggak mau tidur di jalan, masih ngikut orangtua. Padahal, aslinya punk itu tidur di jalan. Di sini (jalanan) kami belajar hidup sendiri," ungkap perempuan asal Manado ini.
Baik Geboy dan Ade sama-sama memaknai punk sebagai cara pandang dalam menjalani hidup yang penuh dengan kebebasan, kritis terhadap kondisi dengan penyampaian yang lebih berseni, dan suatu cara bertahan hidup mandiri tanpa bantuan mana pun. Punk bukan berarti style, dia adalah pemikiran. Tidak dilihat dari luar, tapi dari dalam diri seseorang.
"Kami melihat seseorang yang hanya menggunakan baju koko dan sarung, tapi menunjukkan perlawanan yang konkret serta pemahaman tentang punk lebih luas bisa dibilang juga seorang punk. Jadi, menurut gue, seimbang dari tampilan dan pemikiran," ujar Geboy.

sumber http://megapolitan.kompas.com/read/2010/09/29/10254742/Aslinya..Punk.Itu.Tidur.di.Jalanan

Pencuri Buah Asam Vs Kompol Arafat

| | | 0 komentar
Sepertinya para pelaku korupsi dan mafia hukum masih bisa bernapas lega di bumi pertiwi ini. Meski mereka diseret ke meja hukum, namun tuntutan maupun vonis yang dijatuhkan bisa dikatakan ringan.

Selain menggondol uang rakyat, fasilitas pengurangan hukuman atau remisi membuat mereka tidak menjadi jera sehingga makin memperingan hukuman. Kemarin, Kompol Arafat Enanie, penyidik Bareskrim Polri divonis lima tahun penjara atau lebih berat satu tahun dari tuntutan jaksa yang hanya empat tahun penjara.

Semenstinya, penegak hukum yang telibat korupsi atau terlibat dalam mafia hukum harus mendapat ganjaran lebih berat. Alasannya, selain mendatangkan kerugian materil maupun imateril, terdakwa merupakan abdi negara yang seharusnya menjadi garda dalam supremasi hukum.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mejelis hakim menyatakan terdakwa M Arafat Enanie telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak korupsi yang dilakukan berulang kali.
Adapun Gayus Halomoan Tambunan, eks pegawai Direktorat Keberatan dan Banding ini didakwa telah melakukan menyalahgunakan wewenang dalam jabatannya dan juga menyuap sejumlah aparat penegak hukum dalam penanganan kasusnya 2009, terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun.

Apakah hukuman bagi Gayus akan maksimal, hanya hakimlah yang akan memutuskan. Semoga hakim akan menjatuhkan hukuman seberat-beratntya. Jika tidak, semangat pemberantasan korupsi hanya akan menjadi jargon belaka.

Kontras dengan ancaman hukuman terhadap satu keluarga di Dusun Dempas, Desa Jatisari, Kecamatan Arjasa, Situbondo menjadi terdakwa dalam kasus pencurian 6 Kg buah asam. Ironisnya, dalam berkas perkara, kerugian yang dialami korban akibat perbuatan semua terdakwa hanya Rp100.000.

Keempat orang yang menjadi terdakwa dalam kasus tersebut, adalah pasutri lanjut usia, Kamsu (75) dan Sahita (65), serta Suryadi (35) dan istrinya bernama Maryati (28), mereka berempat merupakan orangtua, anak dan menantu. Para terdakwa mengaku tidak bersalah lantaran pohon asam itu tumbuh di tanah milik mereka. Namun, pengadilan tetap menjatuhkan pasal 363 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Temanggung menjatuhkan vonis satu bulan penjara kepada empat orang pengemis. Mereka dinilai telah melanggar pasal 505 KUHP ayat
(1) yang menyebutkan barangsiapa bergelandangan tanpa mempunyai mata pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Keempat pengemis tersebut adalah Maemunah (75), Suminah (74), keduanya warga Kampung Waluhan, Kelurahan Kertosari, Muntamah (35) warga Krincing, Secang, Magelang, dan Yuliati (30) warga Desa Lambang, Kecamatan Grabag, Magelang.

Mereka terjaring razia yang digelar Polres Temanggung. dari pengakuannya terungkap, terpaksa
mengemis karena kondisi ekonomi. Maemunah dan Suminah merupakan janda tua, sedangkan Muntamah dan Yuliati harus menghidupi kelima anaknya sendirian. Masih berbekas dalam ingatan kita, gara-gara himpitan ekonomi pula warga lemah berurusan dengan hukum.

Empat terdakwa kasus pengambilan sisa buah kapuk di Perkebunan Sigayung, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dihukum 24 hari penjara dipotong masa tahanan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Batang.

Ketua Majelis Hakim Tirolan Nainggolan didampingi Hakim Anggota M Iqbal dan Made Utami memutuskan, kedua terdakwa Manisih (40) dan Sri Suratmi (19), dihukum 24 hari penjara, karena secara sah terbukti mencuri buah kapuk seberat 14 kilogram atau senilai Rp 12 ribu.

Kedua terdakwa lainnya, yaitu Rusnoto (14) dan Juwono (16), juga diputus 24 hari penjara oleh
hakim tunggal Tirolan Nainggolan, karena terbukti mengambil sisa buah kapuk bersama terdakwa lainnya.

Nasib serupa juga menimpa warga level bawah lainnya. Ketidakadilan hukum di negeri ini setidaknya telah dirasakan Nenek Minah, warga Banyumas, yang divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan akibat mencuri tiga buah kakao seharga Rp2.100.

Atau kisah Basar Suyanto dan Kholil, warga Kediri, Jawa Timur, Basar Suyanto dan Kholil. Keduanya harus berurusan dengan polisi karena kedapatan mencuri sebuah semangka. Bahkan, keduanya sempat mendekam di tahanan, sebelum akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kediri.

Parahnya, keluarg mereka mengaku sempat ditipu oknum polisi agar membayar Rp1 juta suapya kasusnya dihentikan. Sementara kasus kasus kakap yang melibatkan petinggi negara banyak yang tak jelas juntrungannya. Buktinya, mega skandal BLBI atau yang baru-baru hangat di media masa kasus bailout Bank Century senilai Rp6,7 triliun.

Masih ringannya hukuman mati terhadap koruptor menimbulkan kegemasan terutama dari para aktivis antikorupsi. Kondisi korupsi di Tanah Air yang masih meradang bisa jadi salah satunya akibat ringannya hukuman, sehingga tidak memberikan efek jera.

Ketua MUI Bidang Kerukunan Antarumat Beragama KH Slamet Effendi Yusuf lebih setuju koruptor dihukum berat bahkan sampai hukuman mati daripada sanksi sosial dengan tidak menyalatkan jenazahnya.Mengenai maasalah ini Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Vonis hukuman mati kepada koruptor sebagai bagian dari upaya untuk memberantas korupsi di Indonesia, secara konstitusi sudah diperbolehkan dan dijamin tidak melanggar Hak Azasi Manusia (HAM).

Dalam undang-undang soal HAM pun sebenarnya sudah disebutkan jika hukuman mati diperbolehkan untuk empat hal yaitu, terorisme, narkoba, pembunuhan berencana, dan korupsi.
Kenapa hukuman koruptor lebih ringan dari hukuman pencuri ayam? Jangan heran. Di negeri yang korup, tentunya banyak polisi dan jaksa yang korup. Plus hakim korup ditambah mafia peradilan akan menjadikan duit sebagai dewanya.

Yang punya uang akan memperoleh fasilitas khusus dan keringanan dalam perlakuan termasuk dalam perlakuan hukum. Jadi antara koruptor dan maling ayam sudah tau siapa yang punya banyak uang kan? Makanya vonis jadi lebih ringan, seringan palu hakim saat mengetukan palunya. Artinya uang masih menjadi panglima.(ram)

sumber http://news.okezone.com/read/2010/09/21/339/374102/pencuri-buah-asam-vs-kompol-arafat

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?