SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

MENGENANG PEMBANTAIAN DI LAPANGAN TIANANMEN CINA 1989

| | | 0 komentar
Protes bermula dalam skala kecil, dalam bentuk peringatan terhadap Hu Yaobang dan meminta partai membaharui pandangan resmi mereka terhadap Hu. Protes ini berkembang setelah berita tentang konfrontasi antara mahasiswa dan polisi menyebar.

Pembantaian Lapangan Tiananmen 1989 (Protes Lapangan Tiananmen 1989) adalah sebuah rangkaian demonstasi yang dipimpin mahasiswa yang berlangsung di Lapangan Tiananmen di Beijing, Republik Rakyat Cina, antara 15 April dan 4 Juni 1989. Protes ini ditujukan kepada ketidakstabilan ekonomi dan korupsi politik, kemudian merembet menjadi demonstrasi pro-demokrasi, hal yang tak lazim terjadi di Cina yang otoriter. Lebih dari 3.000 orang meninggal sebagai akibat tindakan dari pasukan bersenjata.

Mahasiswa memulai protes pada pertengahan April 1989, dipicu oleh kematian Hu Yaobang, sekretaris jenderal Partai Komunis Cina yang mengundurkan diri. Hu dipandang sebagai seorang yang berpikiran liberal dan dipaksa mengundurkan diri dari posisinya oleh Deng Xiaopeng, tetua pemimpin revolusi dalam Partai Komunis Cina yang menjadi pemimpin tertinggi Republik Rakyat Cina sejak kurun dasawarsa 70-an sampai dengan awal dasawarsa 90-an, pemimpin generasi kedua setelah Mao Zedong. Banyak orang, terutama kaum intelektual, menganggap hal ini sebagai sebuah perlakuan yang tidak adil.

Pada pemakaman Hu, sekelompok besar mahasiswa berkumpul di lapangan Tiananmen dan meminta permohonan di atas, namun gagal, untuk bertemu Perdana Menteri Li Peng, yang dipandang luas sebagai saingan politik Hu. Oleh karena itu para pelajar mengadakan sebuah mogok di universitas di Beijing. Pada 26 April 1989, seorang editor harian Rakyat menuduh mahasiswa merencanakan kekacauan. Pernyataan ini membuat kemarahan para mahasiswa, dan pada 27 April sekitar 50.000 mahasiswa turun ke jalan-jalan Beijing, tidak menghiraukan perintah bubar yang diumumkan oleh penguasa dan tetap menuntut pemerintah mencabut pernyataan.

Pada 4 Mei 1989, sekitar 100.000 pelajar dan pekerja berunjuk rasa di Beijing meminta pemerintah untuk reformasi media bebas dan sebuah dialog formal antara penguasa dan wakil pilihan mahasiswa. Pemerintah menolak dialog tersebut, hanya setuju untuk berbicara dengan anggota dari organisasi pelajar yang ditunjuk pemerintah. Pada 13 Mei 1989, banyak kelompok mahasiswa menduduki lapangan Tiananmen dan memulai protes puasa, meminta pemerintah menarik tuduhan yang ditulis di Harian Rakyat dan memulai pembicaraan dengan wakil mahasiswa. Ratusan mahasiswa turut serta dalam protes puasa dan didukung oleh ratusan ribu mahasiswa yang memprotes dan juga penduduk Beijing yang berakhir selama seminggu.


Meskipun pemerintah mengumumkan Undang-Undang Darurat pada 20 Mei 1989, demonstrasi terus berlanjut. Setelah para pemimpin Komunis berunding keluarlah perintah untuk menggunakan kekuatan militer untuk memecahkan krisis itu, dan Zhao Ziyang ditendang dari kedudukannya sebagai pemimpin politik karena dianggap gagal dalam mencegah aksi mahasiswa. Lalu Partai Komunis memutuskan untuk menghentikan situasi itu sebelum berkembang lebih jauh.

Tentara dan tank-tank dan dari Brigade 27 dan 28 dari Tentara Pembebasan Rakyat dikirim untuk mengendalikan kota. Pasukan-pasukan ini diserang oleh para buruh dan mahasiswa Cina di jalan-jalan kota Beijing dan kekerasan yang muncul sesudah itu mengakibatkan kematian di antara penduduk sipil dan militer. Pemerintah Cina mengakui bahwa beberapa ratus orang mati dalam insiden ini.

Angka-angka perkiraan korban sipil berbeda-beda: 400-800 (CIA), dan 2.600 (Palang Merah Cina). Para mahasiswa pengunjuk rasa mengklaim bahwa lebih dari 7.000 orang yang terbunuh. Setelah kekerasan ini, pemerintah melakukan penangkapan di mana-mana untuk menekan sisa-sisa pendukung gerakan itu. Pemerintah membatasi akses pers asing dan mengendalikan liputan atas kejadian-kejadian di pers daratan Cina. Penindasan terhadap protes Lapangan Tiananmen mengundang kecaman yang luas dari Amerika Serikat dan pemerintah negara-negara Barat lainnya terhadap pemerintahan Republik Rakyat Cina. (Sumber; Wikipedia).


sumber foto :

http://www.boston.com/bigpicture/2009/06/remembering_tiananmen_20_years.html
http://www.cnd.org/June4th/massacre.html

Menelusuri Sejarah Kelam "Killing Fields"

| | | 0 komentar
Nyaris tiga dasawarsa berlalu sejak rezim Khmer Merah di bawah Pol Pot digulingkan. Tetapi, sejarah kelam kebrutalan rezim komunis yang berkuasa pada 1975-1979 itu belum bisa sepenuhnya dihapus dari ingatan rakyat Kamboja maupun dunia internasional. Tidak heran, bagi wisatawan yang singgah di Kamboja, lokasi-lokasi bekas peninggalan rezim Khmer Merah sangat diminati untuk disinggahi. Kamp penyiksaan Tuol Sleng serta "ladang pembantaian" (killing field) Choeung Ek adalah dua dari segudang bukti kekejaman Pol Pot yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.

Benak langsung diselimuti kengerian dan kepedihan mendalam, ketika saya dan teman-teman wartawan dari Asia Pasifik menjejakkan kaki di Choeung Ek, awal April. Kami sengaja meluangkan waktu di sela-sela padatnya "Phnom Penh Interfaith Dialogue 2008" untuk mengetahui seperti apa wajah "ladang pembantaian" itu sesungguhnya. Choeung Ek adalah 'ladang pembantaian' yang digunakan rezim Khmer Merah selama empat tahun, sebagai lokasi eksekusi orang-orang berpendidikan tinggi dari Phnom Penh.

Ouch Kosal (27 tahun), pemandu wisata kami, menyebutkan ada sekitar 20.000 orang dieksekusi di situ. "Sebagian besar korban yang dieksekusi adalah dokter, pengacara, insinyur, guru, diplomat tinggi, serta kalangan profesional lain," kata Kosal, lulusan Cambodia Mekong University. Mereka yang dieksekusi umumnya pernah bekerja di bawah rezim Lon Nol, yakni pemerintah dukungan AS, tetapi dikenal sangat buruk dan korup. Tanpa pandang bulu, mereka yang diketahui punya ide dan pandangan politik berbeda dengan Pol Pot, ditangkap dan dieksekusi. Penangkapan bahkan kerap terjadi pada orang yang hanya karena berpenampilan intelektual, antara lain dapat berbahasa asing, punya telapak tangan halus, berkaca mata, serta bermata pencarian bukan buruh, petani, atau pekerjaan-pekerjaan kasar lain.

Choeung Ek, yang awalnya lokasi pemakaman warga Tionghoa, berada di kawasan seluas sekitar 2,5 hektare. Sebetulnya, "ladang pembantaian" Choeung Ek berada di sebuah lahan terbuka yang sangat luas. Tetapi setelah dilakukan penggalian kuburan massal, Pemerintah Kamboja menetapkan bahwa ladang pembantaian itu berada di lokasi seluas 2,5 hektare. Setelah jatuhnya rezim Pol Pot pada 1979, ada 86 dari total 129 kuburan massal di Choeung Ek berhasil digali. Sebanyak 8.985 mayat ditemukan di lokasi kuburan massal tersebut.


Cabikan pakaian korban pembantaian hingga kini masih tampak menyembul di sela-sela tanah. Rumput-rumput liar menyelimuti permukaan tanah yang dipenuhi cerukan-cerukan bekas kuburan. Serpihan tulang mudah ditemukan, bertebaran di seantero lahan. Pakaian para korban eksekusi yang lusuh dan lapuk dibiarkan teronggok di bawah pepohonan. Situasi memang tidak diubah agar pengunjung dapat menangkap atmosfer yang memilukan.

Pohon Ajaib tempat alat pengeras suara digantung dan dibunyikan keras- keras sehingga lolongan korban yang tengah dieksekusi tidak terdengar oleh masyarakat sekitar.

Tuol Sleng

Dalam masa empat tahun berkuasanya rezim Khmer Merah, tidak kurang dua juta orang dari seantero Kamboja dibunuh. Ada sekitar 343 "ladang pembantaian", seperti Choeung Ek tersebar di seluruh wilayah Kamboja. Tetapi, Choeung Ek adalah "ladang pembantaian" paling terkenal. Pasalnya, sebagian besar korban yang dieksekusi di sana adalah intelektual dari Phnom Penh. Contohnya, mantan Menteri Informasi Hou Nim, profesor ilmu hukum Phorng Ton, serta sembilan warga Barat termasuk David Lioy Scott dari Australia. Sebelum dibunuh, sebagian besar mereka didokumentasikan dan diinterogasi di kamp penyiksaan Tuol Sleng.


Penjara S-21 atau Tuol Sleng adalah organ rezim Khmer Merah yang paling rahasia. Pada 1962, penjara S-21 merupakan sebuah gedung SMA bernama Ponhea Yat. Semasa pemerintahan Lon Nol, nama sekolah diubah menjadi Tuol Svay Prey High School.

Tuol Sleng yang berlokasi di subdistrik Tuol Svay Prey, sebelah selatan Phnom Penh, mencakupi wilayah seluas 600 x 400 meter. Setelah Phnom Penh jatuh ke tangan Pol Pot, sekolah diubah menjadi kamp interogasi dan penyiksaan tahanan yang dituduh sebagai musuh politik.

Menurut sejumlah pengurus Museum Genosida Tuol Sleng, nyaris tidak ada yang berubah dari penjara itu. Bercak-bercak darah berwarna kecokelatan di dinding dan lantai kamar masih terlihat. Ranjang besi para tahanan dilengkapi rantai besi dan belenggu pergelangan kaki masih teronggok di tiap-tiap sel.

Di Tuol Sleng, para intelektual diinterogasi agar menyebutkan kerabat atau sejawat sesama intelektual. Satu orang harus menyebutkan 15 nama orang berpendidikan yang lain. Jika tidak menjawab, mereka akan disiksa. Kuku-kuku jari mereka akan dicabut, lantas direndam cairan alkohol. Mereka juga disiksa dengan cara ditenggelamkan ke bak air atau disetrum. Kepedihan terutama dirasakan kaum perempuan karena kerap diperkosa saat diinterogasi.

Setelah diinterogasi selama 2-4 bulan, mereka akan dieksekusi di Choeung Ek. Sejumlah tahanan politik yang dinilai penting ditahan untuk diinterogasi sekitar 6-7 bulan, lalu dieksekusi.

Haing S Ngor, dokter medis Kamboja, adalah segelintir intelektual yang berhasil lolos dari buruan rezim Khmer Merah. Haing dianugerahi Piala Oscar berkat perannya di film "The Killing Fields". Dalam film itu, ia memerankan tokoh Dith Pran, jurnalis Kamboja yang selamat dari pembantaian. Dan, Haing tak kalah piawai beradu peran dengan Sam Waterston, pemeran Sidney Schanberg, wartawan New York Times yang mengabadikan kekejaman di sana. Sayang, Haing tewas terbunuh di kediamannya di Los Angeles ketika melawan perampokan yang dilakukan tiga pecandu narkoba pada 1996.

Dari kondisi tengkorak para korban, setidaknya bisa diketahui eksekusi dilakukan sangat brutal. "Eksekusi dilakukan tidak dengan ditembak atau cara-cara lain yang dapat menimbulkan kegaduhan. Korban secara berkelompok digiring ke pinggir lobang kuburan massal lalu dieksekusi dengan alat-alat pertanian, misalnya cangkul atau pacul, yang dihantamkan ke bagian kepala," tutur Kosal.

Musik diputar keras-keras dari megafon yang digantung di "pohon ajaib", untuk meredam lolongan kesakitan. Korban tidak bisa melarikan diri karena tangan dan kaki dibelenggu, sementara mata ditutup rapat.

Fakta pembantaian intelektual Kamboja terbilang mengherankan. Tidak kurang Donna Baker, diplomat dari Kementerian Luar Negeri Australia yang ikut bersama para wartawan ke Tuol Sleng dan Choeung Ek, juga mempertanyakan hal itu. "Di Rusia, yang juga negara komunis, para intelektual tetap diperkenankan hidup. Mengapa di Kamboja mereka semua dibantai? Apa karena mereka sebelumnya bekerja di bawah rezim Lon Nol?" kata Donna.

Dari penyelidikan pascajatuhnya Pol Pot, yang bernama asli Saloth Sar, diyakini dia ingin mengembangkan komunisme ekstrem. Rezim Pol Pot ingin membangun segala sesuatunya dari awal. Maka, pada 17 April 1975, Kamboja diproklamasikan Pol Pot sebagai negara baru. Ia menyebut tahun 1975 sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol. Pol Pot memproklamasikan 17 April 1975 sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja.

Banyak tentara Khmer Merah akhirnya menyadari ada yang salah dari ideologi komunis ala Pol Pot. Mereka melarikan diri dari Kamboja dan bergabung dengan pasukan Vietnam untuk menggulingkan rezim brutal itu. Pol Pot jatuh di tangan tentaranya sendiri yang membelot ke Vietnam. 7 Januari 1979 adalah hari pembebasan dari cengkeraman rezim Khmer Merah. Banyak tentara Khmer Merah yang diperkenankan bergabung dengan pemerintahan Kamboja pasca Pol Pot. PM Hun Sen, misalnya, dulu adalah deputi komandan resimen Khmer Merah. Tetapi, ia kabur ke Vietnam pada 1977.

Penegakan hukum tetap diberlakukan ke sejumlah pemimpin papan atas Khmer Merah yang berwatak kriminal, khususnya Deuch yang bernama asli Kaing Khek Iev. Pada 1975-1979, Deuch menjabat sebagai Direktur S-21. Sejak 1999, Deuch mendekam di tahanan menanti persidangan atas pelanggaran HAM.

Harus diakui, menapaki jejak peninggalan rezim Khmer Merah sungguh tidak nyaman. Perut terasa mual. Tetapi, wisata ke Tuol Sleng dan "ladang pembantaian" Choeung Ek setidaknya bisa mengingatkan kita pada sejarah kebrutalan pada masa lalu, yang seharusnya tidak terulang kembali. [SP/Elly Burhaini Faizal]

sumber http://www.suarapembaruan.com/News/2008/04/20/Wisata/wis01.htm

Pulau Goree : Jutaan Budak Dikapalkan

| | | 0 komentar
Oleh Mustafa Abd Rahman dan Rikard Bagun

Dari Dakar, ibu kota Senegal, Pulau Goree terlihat samar-samar di kejauhan tiga kilometer dari lepas pantai. Namun, pulau itu menyimpan kisah mengerikan tentang kekejaman manusia atas manusia.

Pulau Goree menjadi saksi bisu sepanjang empat abad pada masa lalu tentang kesedihan, tangisan, dan penderitaan 15 juta-20 juta warga Afrika yang ditampung sebelum dikirim ke Eropa dan Amerika, tanpa pernah mengenal jalan pulang.

Perjalanan dari Dakar ke Goree sejauh tiga kilometer dapat ditempuh 15 menit dengan feri, seperti Sabtu pagi 15 Maret lalu. Ongkos feri pergi pulang 5.000 franc Senegal atau sekitar Rp 90.000.

Namun, perjalanan singkat ke pulau yang berukuran 900 meter kali 350 meter itu telah membawa jauh ingatan ke masa silam, ke abad ke-15 sampai ke-19 ketika jutaan manusia Afrika Barat dirampas haknya dan dijadikan budak untuk diperdagangan.

Pulau Goree yang dihuni sekitar 1.000 orang kini menjadi tujuan wisata sejarah, yang ditetapkan UNESCO tahun 1978 sebagai salah satu warisan dunia yang harus dilindungi. Masyarakat Senegal menyebutnya Ber, tetapi Portugis menamainya Ila de Palma. Penjajah Belanda menyebutnya Good Reed dan diubah Perancis menjadi Goree, yang berarti ”pelabuhan baik”.

Tidak seindah namanya, Pulau Goree menyimpan kisah tragis sebagai tempat penampungan jutaan manusia Afrika dari kawasan barat yang diperbudak antara tahun 1444 sampai 1846. Perdagangan manusia itu merupakan hasil konspirasi antara pemimpin kulit hitam Afrika dan kaum penjajah kulit putih.

Bisnis menggiurkan

Tidak kalah menyeramkan tentu saja Zanzibar di kawasan timur Afrika, yang menjadi pusat perdagangan budak, khususnya oleh saudagar-saudagar Arab. Bahkan Zanzibar dianggap sebagai pusat perdagangan budak terbesar dalam sejarah.

Penangkapan penduduk kulit hitam miskin di Afrika Barat oleh para pemimpin Afrika sendiri dilakukan untuk dijual sebagai budak kepada bangsa Eropa.

Perkembangan perdagangan budak Afrika itu sangat pesat sebagai bisnis menggiurkan, yang digerakkan oleh sindikat perdagangan segitiga antara Afrika, Eropa, dan Amerika.

Pedagang Eropa membawa komoditas murah ke Afrika Barat, khususnya ke Senegal, Gambia, dan Guinea berupa kapas, alkohol, alat-alat tembaga, dan lain-lain untuk ditukar dengan budak Afrika dari para pedagang besar Afrika.

Budak-budak itu kemudian dibawa ke Eropa dan sebagian lagi ke Amerika. Sesampai di pelabuhan Amerika, para budak itu dijual kepada para pemilik perkebunan dan pabrik-pabrik dengan barteran tembakau, gula, dan barang-barang lain.

Para budak yang terdiri dari pria dan perempuan diangkut dengan kapal kayu dengan kondisi kaki atau leher terikat dengan lima kilogram bola besi agar tidak gampang melarikan diri, seperti terjun ke laut.

Ketika ditangkap, pria dan perempuan yang dijadikan budak umumnya dalam kondisi sehat-sehat. Namun, sekitar enam juta orang meninggal karena sakit, kekurangan makanan, dan tidak tahan siksaan selama di penampungan ataupun dalam perjalanan menyeberang Samudra Atlantik menuju Amerika.

Sebelum berlayar dalam keadaan dipasung selama 3-4 bulan ke Amerika, para budak umumnya tiga bulan berada di penampungan Pulau Goree. Kapal pertama menuju Amerika tahun 1518.

Kamp konsentrasi

Pulau Goree merupakan kamp konsentrasi paling besar dalam sejarah meski kurang dibicarakan dan semakin kurang mendapat perhatian. Penduduknya kini menggantungkan hidup pada penjualan suvenir dan jasa pelayanan terhadap turis mancanegara. Terdapat sejumlah restoran sederhana yang menjual minuman dan makanan kecil.

Ketika kapal feri merapat di pelabuhan Pulau Goree, langsung terlihat rumah-rumah dengan aneka warna. Ada rumah berwarna kuning, rumah berwarna merah, dan ada pula rumah berwarna putih. Salah seorang penduduk setempat menyampaikan, rumah warna-warni itu menunjukkan identitas negara-negara yang memiliki rumah tersebut.

Rumah berwana kuning dikatakan milik Portugis, berwarna merah milik Perancis, dan berwana putih milik Inggris. Juga dijelaskan, rumah-rumah itu semacam kantor yang mengurusi budak-budak Afrika yang akan dikirim ke Benua Amerika.

Para pengunjung harus membeli karcis untuk bisa masuk ke dalam Pulau Goree guna bisa melihat langsung rumah-rumah, yang merupakan tempat tahanan para budak.

Jalan-jalan kecil melekuk-lekuk dengan lebar 1-2 meter menjadi jalan penghubung utama antara satu dan lain tempat serta antara satu rumah budak dan rumah budak lain di Pulau Goree. Di dataran tinggi di pulau itu terdapat dua moncong meriam bekas peninggalan kolonial.

Penolakan perbudakan

Sesungguhnya tidak semua pemimpin Afrika setuju perdagangan manusia. Sikap penolakan antara lain datang dari Raja Kongo Zanga Bamba yang mengirim surat protes kepada Raja Portugal tahun 1526. Dalam surat itu dijelaskan, pedagang Portugal bekerja sama dengan sindikat Afrika terlibat aksi penangkapan terhadap penduduk Afrika miskin untuk dijadikan budak di negara-negara Barat. Sejumlah pemimpin Afrika Barat juga melarang pengangkutan budak melewati wilayah kekuasaannya.

Namun, upaya sejumlah pemimpin Afrika melarang perdagangan budak selalu gagal lantaran sindikat dan mafia perdagangan budak sudah terlalu kuat. Sekitar 15 juta-20 juta warga Afrika Barat pun menjadi korban kekejaman dalam bisnis perbudakan selama empat abad di masa lalu.

Meski terus dikecam, fenomena perbudakan muncul lagi dalam era modern berupa perdagangan manusia. Kekejaman manusia atas manusia tetap terjadi.


sumber kompas

Misteri Suku Pejuang Perempuan

| | | 0 komentar
Lebih dari 4.000 tahun, perempuan ternyata sudah ambil peranan penting dalam pertempuran yang menentukan di dunia. Namun sejumlah besar perempuan dalam satu suku, yang seluruhnya adalah pejuang yang mahir menggunakan senjata dan menguasai teknik pertempuran, mungkin hanya suku Amazon!

Ada kisah dari masa Hercules tentang satria perempuan berkorset kulit sebagai baju zirahnya yang sangat menguasai seni tempur dan pertarungan dengan senjata tajam, lalu seorang ratu yang memimpin sekelompok serdadu perempuan bernama Hippolyte. Kisah ini yang mungkin diadaptasi dalam karakter film seri versi TV: Xena the Princess Warrior!

Versi catatan penting sejarah Yunani kuno lainnya menyebutkan keterlibatan suku perempuan Amazon di bawah komando Ratu Penthesileia, dalam perang akbar Troy di abad ke-5 sebelum Masehi. Suku Amazon ini membantu Trojan melawan invasi tentara Yunani. Hujan panah dari tembok istana Troy kemungkinan besar merupakan buah serangan perempuan-perempuan Amazon ke barisan tentara Yunani yang mendarat dari bibir pantai. Panah-panah yang menewaskan sebagian besar tentara ekspedisi pertama Yunani yang merangsek ke garis pertahanan Troy. Namun akhirnya Ratu Penthesileia sendiri terbunuh di tangan “pendekar” Yunani yang legendaris: Achilles. Inilah yang mematahkan perlawanan suku Amazon di Troy.

Suku Amazon

Amazon adalah sebuah sebutan. Ada dua versi kontroversial mengenai maknanya jika ditinjau dari etimologi-nya. Versi pertama, Amazon berdasarkan tinjauan bahasa Iran kuno kira-kira berbunyi “ha-mazan” yang diterjemahkan sebagai “warriors (pejuang)”. Sebutan ini ditujukan bagi voluntir suku gagah berani yang mayoritas perempuan dalam pertempuran besar Persia (492 – 448 SM).

Sementara versi Yunani, menyebutkan bahwa Amazon mengandung makna buah dada yang hilang (breastless). Penyebutan ini muncul terhadap sekelompok pejuang perempuan yang mahir menggunakan panah. Namun anggota suku ini tidak memiliki buah dada sebelah kanan. Konon buah dada itu sengaja dipotong untuk memudahkan gerakan memanah mereka.

Dalam mitologi Yunani Kuno, suku Amazon dikenal sebagai suku yang seluruh anggotanya adalah perempuan pejuang yang amat terlatih menggunakan panah, tombak dan pedang. Sebuah skriptur (yang ditaksir) berasal dari abad ke-8 atau ke-7 sebelum Masehi menyebutkan mereka sebagai Amazon (Amazonia). Perempuan-perempuan Amazon ini dituliskan berasal dari suku barbar nomaden yang bermukim di sekitar Laut Hitam (wilayah utara Turki sekarang).

Sejarawan Yunani kuno, Herodotus mempercayai keberadaan Sarmatians, yaitu orang-orang yang menempati kawasan Scythian. Dari sini lah dugaan kuat muncul bahwa telah terjadi penyatuan antara perempuan suku dan kaum Scythians. Keturunan perempuan mereka yang lantas meneruskan kebudayaan suku Amazon.

Literatur menyebutkan bahwa suku Amazon memang hanya terdiri dari perempuan. Semuanya didik sejak kecil untuk menjadi petarung yang tangguh. Sejak anak perempuan menginjak akil balik, buah dada kananya pun dipotong dalam sebuah ritual. Inilah ciri khas Amazon Yunani. Perempuan-perempuan itu mengorganisir diri menjadi sebuah ras yang unggul, menyaingi satria lelaki bahkan melebihinya.

Dalam satu tahun, setidaknya mereka melakukan “perburuan” lelaki untuk reproduksi dan melanjutkan keturunan. Lelaki itu “dipaksa” melayani hubungan seksual dan sesudahnya dibuang kembali ke sukunya. Seandainya lahir anak lelaki, maka mereka akan membuangnya ke suku lelaki yang membuahinya atau dipelihara sebagai budak. Amazon memang hanya menerima kaum perempuan saja di komunitasnya.

Amazon Amerika

Sementara ketika suku Amazon (versi Yunani) telah lama dianggap punah, kisah mengejutkan muncul pada abad ke-16. Kisah ini dilaporkan penjelajah Spanyol Francisco de Orellana, komandan satu pasukan ekspedisi Gonzallo Pizarro dalam dokumen resmi ekspedisinya di kawasan Amazon, Amerika Selatan.

Tahun 1541 – 1542, Francisco bersama regu pasukannya melakukan ekspedisi menyusuri kawasan basin (daerah berawa) Sungai Amazon dari pesisir pantai Pasifik kawasan Napo River (hulu) sampai pesisir Atlantik (hilir).

Dalam penjelajahan sungai tersebut, tentara Spanyol tersebut beberapa kali diserang suku-suku pedalaman. Namun yang paling mengejutkan adalah serangan mematikan pejuang suku Indian yang seluruhnya adalah perempuan bersenjata! Pasukan ekspedisi Spanyol kemudian menyebut pejuang Indian perempuan tersebut dengan nama Amazon. Nama itu diambil dari legenda pejuang perempuan Amazon di Yunani.

Dari kejutan berdarah suku Amazon ini lah sungai tersebut kemudian mereka beri nama Amazon. Hingga kini daerah sungai terpanjang di Amerika Selatan yang melintasi Peru, Columbia, dan Brasil tersebut disebut Amazon. Termasuk wilayah daratan hutan di sepanjang sungai yang pada masa itu menjadi “benteng” pejuang-pejuang Indian pedalaman hutan tropis Amerika Selatan.

Eksistensi dalam Artefak


Suku yang masih misterius

Walau muncul keraguan apakah suku Amazon benar-benar ada atau hanya sekadar mitos yang tertuang dalam epic dan legenda, paling tidak banyak artefak dari masanya yang merujuk pada eksistensinya.

Di wilayah Eropa modern, sejumlah artefak tersebut tersimpan dalam museum, dari masa kejayaan Yunani Kuno, Romawi, Persia, sampai Indian Amerika, dan Timur Tengah. Pahatan, relief, arca, dan senjata tempur peninggalan mereka membuktikan bahwa kemungkinan besar suku perempuan yang dikenal sebagai Amazon memang benar-benar ada. Hal itu juga didukung sejumlah skriptur tua dari masa sebelum masehi sampai abad pertengahan Masehi.

Kegagahan perempuan-perempuan pejuang ini memang tak bisa dihilangkan begitu saja dari jejak sejarah. Jika ia tidak mengacu pada satu suku atau bangsa yang didominasi perempuan, setidaknya kelompok perempuan yang mahir bertempur dan menggunakan senjata memang benar-benar nyata di masa lalu! (berbagai sumber)*

Amazon, Sungai Kedua Terpanjang di Dunia

Sungai Amazon merupakan sungai terpanjang kedua di dunia. Mengalir membelah daratan Amerika Selatan melintasi Peru, dan Brasil. Panjangnya mencapai 6.437 km (4.000 mil) kalah sedikit dibanding Sungai Nil di Mesir. Namun soal debit airnya, Sungai Amazon adalah yang terbesar! Lebih besar ketimbang Sungai Nil, Sungai Mississippi, maupun Sungai Yangtze.

Basin Sungai Amazon memiliki keragaman hayati yang tinggi dan mencakup area hutan hujan tropis seluas 7 juta km persegi. Lekuk aliran airnya memang memiliki beragam ukuran luas dan sangat lebar. Jarak antara tepian rata-rata 2 – 10 km, bahkan ada yang mencapai 140 km di muaranya. Kedalamnya juga bervariasi mulai dari 12 – 90 meter. Sangkin lebarnya, kapal berdimensi lebar pun bisa menyusuri beberapa bagian sungai tersebut.

Hulu Sungai Amazon berasal dari kawasan pegunungan Andes di Peru. Berawal dari sebuah air sungai kecil yang disebut Apurimac River di ketinggian 5.240 meter di atas permukaan laut. Melompat dalam bentuk air terjun setinggi 240 meter.

Sungai kecil ini mengalir menuju Sungai Ucayali, yang satu percabangannya membesar menjadi Sungai Amazon di kawasan Peru. Titik percabangan sungai ini berada di dekat Iquitos, Peru. Ia terus mengalir dan melebar melintasi perbatasan Colombia masuk ke Brasil. Sampai akhirnya berhilir ke Samudera Atlantik di wilayah utara Pulau Marajo.

Sedikitnya ada 200-an sungai kecil yang menghilir ke Amazon. Termasuk sungaiyang tercantum dalam peta seperti Japura, Jurua, Madeira, Purus, Tapajos, Xingu, and Rio Negro.


Ada banyak jenis ikan yang menghuni Sungai Amazon. Yang paling terkenal adalah ikan buas pelahap daging: piranha, dan satu lagi ikan “raksasa” arapaima endemik Amerika Selatan. Selain itu, area Sungai Amazon juga menjadi rumah nyaman bagi aligator, anaconda, monyet, kakatua, sloth, dan banyak jenis serangga. (berbagai sumber)*

Hutan Hujan Tropis Terbesar Dunia

Orang-orang Indian hutan pedalaman menjadi penguasa hutan Amazon sebelum orang-orang kulit putih dari Eropa masuk ke kawasan itu. Sebuah kawasan hutan hujan yang amat perawan, gelap, dan misterius.

Hutan hujan tropis Amazon adalah satu kawasan hutan yang terluas di dunia. Sangkin luasnya, ia juga dijuluki sebagai “paru-paru dunia”. Areanya meliputi hutan lebat seluas 5,2 juta km persegi, yang menutupi basin Sungai Amazon di Amerika Selatan.

Kira-kira dua pertiga hutan hujan Amazon terhampar di Brasil. Sisanya menutupi kawasan negara Peru, Bolivia, Ekuador, Colombia, dan Venezuela. Curah hujan yang sangat tinggi dan merata menjaga temperatur harian hutan rata-rata 27 derajat celcius.

Sebagian besar hutan Amazon ditumbuhi pepohonan berkayu, yang tersebar dalam berbagai kerapatan yang berbeda. Ketinggian dan jenis rupanya juga beragam, mulai yang tinggi kurus, besar, dan rerimbunan bersemak. Kanopi hutan Amazon rata-rata 20 – 50 meteran.

Jenis ragamnya mulai dari epifit, parasit, anggrek, tumbuhan berbunga, tumbuhan berbuah, aneka lumut, liana, ragam kayu-kayuan. Kanopi yang rapat dan cabang pepohonan yang meliuk rapat menutup hutan dengan sempurna. Sinar mentari nyaris tak bisa menyentuh lantai hutan. Dan sebagian dasar hutan itu terdiri dari lapisan yang termat subur.

Hutan hujan tropis Amazon memiliki varietas tanaman dan ragam hewan serta kehidupan liar yang kaya melebihi semua tempat di belahan dunia mana pun. Sedikitnya 10 ribuan spesies tanaman bisa ditemukan di sana. Dengan kerapatan ragam jenis hampir 300 spesies tumbuhandalam area 1 hektarenya.

Di sampingitu sejumlah besar tanaman bernilai ekonomi juga tumbuh di sana. Seperti produk utama Brasil kacang-kavangan, coklat, nenas, dan karet. Belum lagi 1.500 spesies burung hutan hujan, dan 30 jutaan serangga serta mamalia dunia.

Namun permintaan yang tinggi terhadap hasil hutan dari seluruh dunia, Amazon kini terancam pengerogotan yang serius. Aktivitas penebangan hutan menggila untuk memenuhi produk kayu, peternakan dan pertanian melebar dan membabat luasan hutan perawan.

Setidaknya, akibat aktiviats manusia dan industri, 10 persen tutupan hutan Amazon terpangkas habis. Suku-suku pedalaman pun semakin terpojok, senasib dengan hewan-hewan liarnya. Menanti kepunahan, kematian, dan hilangnya budaya asli Amerika Selatan. (Sumber:Global)

Palagan Ambarawa, 12 - 15 Desember 1945

| | | 0 komentar
Perjuangan heroik rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan memperjuangkan Kemerdekaannya sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja, mereka bahu membahu dengan segala golongan, mulai dari petani, pedagang, guru, hingga para pelajar bersama dengan tentara tanpa mengenal rasa lelah, takut serta kelaparan berjuang menghadapi desingan peluru serta berondongan persenjataan modern milik para penjajah.

Sungguh perjuangan yang sangat menguras tenaga dan airmata, mengorbankan segalanya baik nyawa ataupun harta. Beribu bahkan berjuta nyawa rakyat Indonesia melayang demi kemerdekaan bangsa ini, mereka rela menyerahkan nyawanya menjadi martir demi anak cucunya nanti.

Seperti yang terjadi di Ambarawa, sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan kota Semarang-Jawa Tengah, dimana rakyat beserta tentara Indonesia berjuang mempertahankan daerahnya dari cengkeraman tentara sekutu yang mencoba membebaskan para tahanan tentara Belanda ( NICA ).

Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tegah Mr. Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.

Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, justru mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.

Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Suryosumpeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, Letnan Kolonel Isdiman gugur. Sejak gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Soedirman merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan nafas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan diantara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.

Tanggal 23 Nopember 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan Belanda di Jalan Margo Agung. Pasukan Indonesia antara lain dari Yon Imam Adrongi, Yon Soeharto dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.

Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.

Kedahsyatan Palagan Ambarawa juga tercermin dalam laporan pihak Inggris yang menulis: “The battle of Ambarawa had been a fierce struggle between Indonesian troops and Pemuda and, on the other hand, Indian soldiers, assisted by a Japanese company…." Yang juga ditambahi dengan kalimat, “The British had bombed Ungaran intensively to open the road and strafed Ambarawa from air repeatedly. Air raids too had taken place upon Solo and Yogya, to destroy the local radio stations, from where the fighting spirit was sustained…”
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.

Dan hingga kini, darah pejuang yang membasahi bumi Ambarawa adalah bukti dari keteguhan serta pengorbanan untuk mempertahankan harga diri bangsa yang harus tetap kita pertahankan sampai kapanpun.

sumber dari wikipedia indonesia dan swaramuslim.com

Amerika Dan Israel Dibangun Dengan Sejarah Yang Sama

| | | 0 komentar
Banyak warga Amerika bertanya-tanya mengapa mereka harus terus memberikan 3 miliar dolar kepada Israel dengan susah payah dari pajak mereka setiap tahunnya? Padahal di tengah himpitan krisis ekonomi seperti sekarang ini, jelas, rakyat Amerika sendiri lebih memerlukannya.

Banyak warga Amerika yang bertanya-tanya mengapa mereka memberikan milyaran dollar kepada Israel untuk proyek senjata; bom, helikopter Apache, rudal TOW, dan senjata canggih lainnya. Banyak warga Amerika bertanya-tanya mengapa negara mereka selalu menghalangi resolusi PBB terhadap tindakan Israel, bahkan ketika tindakan Israel tersebut jelas melanggar hukum internasional. Singkatnya, banyak orang Amerika bertanya-tanya mengapa AS dan Israel menjadi teman baik seperti tak terpisahkan.

Mengapa? Karena AS dan Israel memiliki banyak kesamaan. Siapa di AS tidak mencintai knishes(sejenis kentang goreng) atau latkes(kudapan)? AS dan Israel adalah dua kacang polong dalam sebuah cangkang.

Kedua negara ini menyembah AIPAC (America Israel Public Affairs Committee), yang berfungsi sebagai utusan surgawi antara dua pertemanan itu. Israel mengatakan kepada AIPAC persis seperti yang mereka inginkan dan AIPAC mengatakan kepada anggota Kongres tentang apa yang harus dilakukan jika para anggota kongress itu masih ingin mempertahankan pekerjaan mereka.

Kedua negara jelas berbagi nilai sama dalam soal moral. Sebagai contoh, keduanya tak punya keberatan sama sekali merudal seorang musuhnya yang sudah tua dan hanya bisa duduk di kursi roda.

Kedua negara memberangus "teroris" yang menggunakan bom bunuh diri. Tentu, Amerika Serikat dan Israel sering sembrono membunuh orang yang tidak bersalah, namun mereka juga tak pernah berhenti membunuh dengan menggunakan helikopter Apache atau pesawat siluman Predator tanpa awak yang bisa membuat Anda menghembuskan nafas begitu saja, bahkan tanpa menyadarinya.

Tapi yang paling penting, AS dan Israel tenryata memiliki kesamaan, dan itu yang membuat mereka bak saudara, yaitu cara kedua negara itu diciptakan. AS dan Israel mempunyai jalan yang sangat mirip dalam membangun negaranya masing-masing.

Sekilas sejarah kedua negara

Masalah yang paling utama dalam pembangunan negara Amerika dan Israel adalah orang-orang pribumi. Jadi wajar saja bagi Israel untuk selalu berkaca pada sejarah Amerika dan bertanya, "Bagaimana kalian menangani penduduk asli kalian? Karena kita berbagi dalam nilai-nilai moral yang sama, kami ingin memperlakukan masyarakat kami dengan cara yang sama pula." Dan menyadari mereka memiliki begitu banyak kesamaan, keduanya menjadi negara yang berkarib dengan cepat.

Hal pertama yang diperlukan untuk membuat sebuah bangsa negara adalah tanah air. Sayangnya bagi AS dan Israel, tanah yang mereka butuhkan sudah diduduki oleh orang-orang yang pernah tinggal dan bekerja di tanah tersebut selama berabad-abad. Tapi untungnya bagi kedua negara berkembang itu, baik Amerika asli maupun orang Palestina, sangat baik.

Pada awalnya, baik Amerika Serikat dan Israel berusaha sopan, dengan alasan masing-masing terhadap orang-orang pribumi. Kedua negara itu mengatakan sesuatu seperti, "Ya, Anda telah bekerja di tanah ini selama berabad-abad dan menganggap itu rumah Anda, tapi bisa tolong kemasi sampah Anda dan pindah ke tempat lain karena kami butuh tanah Anda?"

Dalam kedua kasus itu, orang-orang pribumi jelas mempertahankan bahwa itu adalah tanah mereka. Tapi sebaliknya seperti orang Amerika asli yang keras kepala, orang Palestina murka dan berang karena Israel terang-terangan mencuri tanah mereka dengan menggunakan kekuatan militer. AS kemudian mengatakan Israel mungkin akan memberangus beberapa desa Palestina (taktik ini telah sering terbukti menjadi senjata yang meyakinkan untuk mengusir penduduk asli Amerika yang keras kepala ketika AS menempati tanah). Sayangnya, banyak orang Palestina masih menolak untuk meninggalkan rumahnya dan orang-orang yang masih menyimpan dendam sampai hari ini.

Baik AS dan Israel akhirnya terpaksa mengusir ratusan ribu masyarakat dari tanah mereka yang telah ditinggali selama berabad-abad. Kedua negara mengakui "kedaulatan" wilayah untuk pribumi pengungsi, tapi dalam waktu yang sama dan bahkan lebih cepat, segera mulai mencuri tanah mereka juga. Kedua negara mendorong permukiman ilegal pada "kedaulatan" wilayah, dan tak terelakkan memaksa banyak orang pribumi berjuang dalam kemelaratan yang tidak berharga dan hanya mempunyai seonggok tanah kering. Mereka yang berani melawan dicap "liar" oleh Amerika Serikat dan "teroris" oleh Israel (tentu saja, membasmi "liar" dan "teroris" adalah moral yang sempurna).

Mengapa AS dan Israel berteman baik? Jelas, AS dan Israel berbagi nilai-nilai moral mendalam yang sama. Apa dasar yang lebih baik lagi dalam persahabatan selain berbagi nilai-nilai moral yang sama? (sa/Online Journal Contributing Writer)

sumber http://eramuslim.ubik.net/berita/analisa/karena-amerika-dan-israel-dibangun-dengan-sejarah-yang-sama.htm

Kami Cuma Tulang-Tulang Berserakan... (Insiden Rawagede)

| | | 0 komentar
Tidak bisa dipastikan apakah penyair Chairil Anwar ingin bercerita tentang pembantaian yang terjadi di Rawagede di dalam puisi berjudul Karawang-Bekasi, ataukah bukan. Namun yang jelas, tulang-tulang manusia memang berserakan di Rawagede, Karawang, setelah Belanda membantai penduduknya pada 9 Desember 1947.
Pada masa revolusi fisik, Rawagede adalah satu daerah yang dijadikan sebagai suatu markas gabungan oleh para pejuang kemerdekaan. Laskar-laskar seperti Barisan Banteng, Macan Citarum, Hisbullah, SP 88, dan sebagainya, semuanya mempunyai markas di sini.

Rawagede dipilih karena letaknya yang strategis, dekat dengan stasiun kereta api yang menghubungkan Karawang dengan Rengasdengklok. Selain itu, penduduk di Rawagede ini memang sudah dikenal selalu siap membantu logistik apa saja yang dibutuhkan oleh para pejuang.

Pada tanggal 5 Oktober 1946, laskar-laskar rakyat kemudian bergabung membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR inilah yang nantinya akan menjadi cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Ketika itu, ada seorang tentara Indonesia yang bernama Kapten TNI Lukas Kustario. Dia adalah Komandan Resimen Cikampek, atau yang dikenal juga sebagai Resimen 6. Lukas sudah sangat dikenal sebagai orang yang melakukan perlawanan yang sangat luar biasa kepada Belanda. Serangan-serangannya kepada tentara Belanda sering sangat mematikan, seperti di Pabuaran, Subang, dan sebagainya.

Pada 8 Desember 1947, Lukas dan pasukannya mulai masuk ke Rawagede. Namun, ternyata keberadaan Lukas di sana diketahui oleh mata-mata Belanda. Langsung saja mata-mata itu melapor ke markas tentara Belanda yang ada di Jakarta. Pada hari yang sama, keluarlah perintah dari Jakarta, yang mengatakan bahwa Rawagede harus dibumihanguskan.

Namun, ada seorang lurah di Jakarta yang mengetahui perintah pembumihangusan tersebut sebelum tentara Belanda mulai menjalankan rencananya. Lurah ini pun segera memberitahukannya kepada Lurah Rawagede.

Mengetahui hal itu, Lurah Rawagede segera mengeluarkan perintah untuk membongkar jembatan yang ada di daerah Cilembu dan Palawad. Kedua jembatan ini merupakan akses masuk menuju Rawagede. Sementara itu, pasukan Lukas sudah meninggalkan Rawagede pada pukul 15.00 Wib. Mereka berencana akan menyerang markas tentara Belanda yang ada di Cililitan, Jakarta.

Pembantaian Dimulai

”Pada pukul 07.00 sampai 11.00 malam, turun hujan lebat,” kata Sukarman, seorang saksi mata yang ayahnya juga menjadi salah seorang korban pembantaian, meskipun tidak ikut tewas. Ternyata, setelah hujan berhenti, Belanda berhasil masuk dari utara dengan menyusuri jalan kereta api.
Pagi harinya, tanpa menyadari bahwa Belanda sudah masuk ke Rawagede, penduduk tetap bekerja sebagaimana biasanya. Pukul 04.00 subuh, mereka sudah mulai membawa bajak dan kerbau ke sawah.

Setelah berada di sawah, barulah mereka menyadari bahwa tentara Belanda sudah masuk Rawagede. Selanjutnya, sebagian dari mereka ada yang segera lari, dan ada juga yang kemudian memberitahukannya kepada warga yang lain.
Warga desa yang merupakan pejuang pun ada yang langsung berlari meninggalkan desa dan ada juga yang tetap di desa, tetapi bersembunyi. Namun, penduduk sipil yang tidak tahu apa-apa tetap tinggal di rumahnya, dan mereka pun dipanggil oleh tentara Belanda.

Setelah itu, semua penduduk desa yang berusia di atas 15 tahun mulai dikumpulkan dan ditanyai satu per satu. ”Belanda bertanya tentang keberadaan Lukas Kustario, dan semua penduduk desa menjawabnya tidak tahu,” kata Sukarman.
Penduduk desa itu pun dibagi menjadi 9 kelompok. Kesembilan kelompok itu tetap menjawab tidak tahu semua, meskipun mereka tahu bahwa pasukan Lukas sudah meninggalkan Rawagede sejak sore sebelumnya.

Akhirnya, kesembilan kelompok itu pun dibantai satu per satu. Mereka yang cacat atau sakit, termasuk juga yang usianya masih sekitar 14–15 tahun, dikeluarkan dari kelompok, dan tidak ikut dibunuh.

Para Pejuang Ditemukan

Pada siang hari, persembunyian para pejuang di Rawagede ditemukan. ”Langsung saja semua pejuang yang ada di sana dieksekusi dalam jarak 7–10 meter,” kata Sukarman.
Salah seorang pejuang yang bernama Surya Suhanda berhasil lari dari pembantaian itu. Dia berlari dan ketika melompati sebuah pagar pembatas desa, tertembak di sebelah pinggulnya.

Setelah tiba di sebuah kali, ternyata keberadaan Surya tidak terlihat oleh tentara Belanda yang mengejarnya. Tentara Belanda mengira bahwa di sekitar kali itu pasti ada banyak pejuang Indonesia.
Langsung saja mereka memberondongkan peluru ke dalam air dan ke arah semak-semak yang ada di sekitar kali. Benar saja, berondongan peluru itu pun membantai mereka yang bersembunyi di sekitar kali.

Namun, ada dua orang yang ternyata lolos dari berondongan peluru itu, yaitu Saih dan Kadi. Setelah merasa sudah tidak ada lagi tentara Belanda, keduanya pun segera keluar dari persembunyiannya di dalam kali.

Malangnya, begitu keluar dari persembunyiannya, mereka berdua langsung tertangkap. Kadi langsung dibunuh, sedangkan Saih disuruh untuk mengumpulkan keluarganya.
Ada 14 orang yang berhasil dikumpulkan Saih, termasuk orang tua dan anaknya. Semuanya akhirnya ditembak dari belakang karena diketahui sebagai anggota Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).

Saih terkena tembakan, tetapi tidak sampai meninggal dunia. Namun, dia berpura-pura mati, sehingga bisa lolos dari pembantaian itu dan masih hidup hingga sekarang.
Pada malam harinya, Surya Suhanda mulai mengomando semua pejuang yang bisa lolos dari pembantaian itu untuk lari. Sementara itu, wanita-wanita yang suaminya dibunuh mulai mencari-cari suaminya.

Karena hanya tinggal kaum wanita, mereka membutuhkan waktu sampai 3 hari untuk bisa mengumpulkan semua korban dan bisa menguburkannya. Yang diketahui, ada 431 korban yang tewas di dalam pembantaian tersebut.
Namun, sebenarnya masih banyak lagi yang mayatnya tidak ditemukan. ”Mungkin mereka inilah seperti yang disebut Chairil Anwar, hanya tulang-tulang yang berserakan,” kata Sukarman.

Memang belum bisa dipastikan siapakah yang dimaksud Chairil Anwar sebagai ”tulang-tulang berserakan” di dalam puisinya yang berjudul Karawang-Bekasi. Namun, Sukarman sendiri mengatakan bahwa Chairil Anwar memang pernah tinggal di daerah Karawang, sehingga kemungkinan besar bahwa pembantaian Rawagede inilah yang ingin diceritakannya di dalam puisi tersebut.

Ada Kecemburuan

Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) sedang mempelajari kesaksian dari para janda korban pembantaian di Rawagede itu, dan juga kesaksian dari Saih. Rencananya, pada September nanti, KUKB akan mulai mengajukan tuntutannya kepada hukum internasional atas kejahatan perang yang telah dilakukan oleh tentara Belanda itu.

Dalam investigasi yang dilakukan Sabtu (16/8) lalu, KUKB juga telah menyerahkan bantuan sejumlah uang dan pakaian kepada para janda yang berjumlah 9 orang, dan juga kepada Saih. ”Namun, sebenarnya masih ada sekitar 181 orang lagi ahli waris dari korban pembantaian di Rawagede itu,” kata Sukarman.
Menurut Sukarman, semua ahli waris seharusnya mendapat perlakuan yang sama. Perlakuan yang spesial kepada 9 janda dan Saih justru bisa menimbulkan kecemburuan terhadap keluarga korban-korban yang lainnya.

Namun, pengacara yang menangani tuntutan ini, GW Pulles, dari Kantor Pengacara Bohler Franken Koppe Wijngaarden, Amsterdam, Belanda, mengatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa kesembilan janda dan Saih diberlakukan secara spesial. Menurut dia, mereka inilah yang langsung menyaksikan pembantaian pada 9 Desember 1947 itu.
”Selain itu, kami juga perlu memastikan lagi kalau memang ada keluarga korban yang lainnya,” kata Pulles. Untuk memastikannya itu, Pulles mengatakan memerlukan waktu yang lebih lama dan dipastikan akan menelan biaya yang lebih besar lagi.

Bila kesaksian 9 janda dan Saih bisa diselesaikan, Pulles juga berjanji akan meneruskan dengan tuntutan dari para saksi dan korban yang lain. Karenanya, menurut dia, tidak relevan untuk membicarakan tentang kecemburuan yang lainnya, karena kalau tuntutan ini berhasil, yang akan merasakannya adalah seluruh warga Rawagede sendiri. (dwin gideon)



sumber Sinar Harapan 2008

Pintu Neraka di Uzbekistan

| | | 0 komentar
Pintu neraka sering dilukiskan dengan suasana api menyala yang sangat mengerikan panasnya. Kondisi seperti itulah yang terdapat di sebuah lubang api menganga di daratan Uzbekistan, Asia Tengah. Maka, lubang api itu pun disebut sebagai "pintu neraka".

Lubang api itu berukuran sekitar dua kali lapangan bola dengan kedalaman lebih dari 30 meter. Semula ukurannya tidak sebesar itu sejak pertama kali "pintu neraka" itu dijumpai manusia pada tahun 1975.

Awalnya ahli geologi menggali dengan alat berat untuk pengeboran gas alam. Anehnya, di lokasi itu ditemukan jurang besar di bawah tanah. Saking besarnya, semua peralatan untuk penggalian itu terperosok ke dalam.

Jurang itu dipenuhi dengan gas bumi yang beracun. Belum ada keterangan resmi Uni Soviet kala itu terkait berapa jumlah korban tewas akibat terkena gas beracun. Namun, para ahli segera menyingkir dan semua peralatan yang terperosok itu ditinggal pergi.

Untuk menghindari gas beracun yang telanjur terbuka ke langit bumi itu menyebar, para ahli memutuskan untuk membakarnya. Posisinya berada di dekat kota kecil bernama Davaz.

Praktis sejak 1975 lubang raksasa itu menyemburkan api seperti gunung berapi dan masih tetap menyala hingga kini walau sudah 35 tahun berlalu. Masyarakat sekitar tak ada yang berani mendekat karena pengaruh medan panas hingga beberapa ratus meter sehingga dinamakan "pintu neraka".

Sampai sekarang belum ada penjelasan apakah "pintu neraka" itu ukurannya melebar atau stabil karena gas yang keluar dari perut bumi itu langsung terbakar. Walau terkena hujan pun, apinya tidak mati.

Lubang api raksasa itu kelihatan dari kejauhan karena berada di daratan tandus yang luas. Bila malam, tampak semakin jelas dengan sorotan cahaya kekuningan yang bersumber dari "pintu neraka" itu.

sumber kompas

nasib suku aborigin

| | | 0 komentar
Suku Aborigin dan Torres Strait Islander adalah suku Pribumi Australia. Mereka sudah tinggal dan memlihara tanah air Australia selama hampir 60.000 tahun dengan menggunakan sistem pemerintahan dan hukum mereka sendiri. Konon, mereka menetap di benua terkecil itu selama ribuan tahun yang lalu. Tapi kemudian mereka tergeser oleh bangsa pendatang yang lebih “cerdas” berkulit putih dari Eropa.

Secara fisik, suku Aborigin seperti orang-orang Papua : berkulit gelap dan berambut keriting, tapi sekarang sudah mengalami perubahan, yakin berkulit kecoklat-coklatan dan berambut ikal. Asal mulanya mereka mempunyai daratan yang sama. Para ilmuwan menyatakan, karena proses alam yang bergerak, daratan besar itu kemudian berpisah. Di sebelah selatan menjadi Australia. Sementara di daratan sebelah utara menjadi pulau Papua yang masuk wilayah Indonesia. Klop dengan nama Australia berasal dari kata “Australis” yang dalam bahasa latin berarti “Selatan”, sementara orang Belanda menyebut “Australische” yang memiliki makna sama. Suku berkulit gelap itu kemudian terpisah. Keduanya menjalani nasib sendiri-sendiri di negara yang berbeda. Baik di Indonesia maupun Australia mereka sulit eksis karena keterbelakangan. Rupanya, perbedaan warna kulit yang mencolok di daratan selatan menjadikan suku aborigin kurang berutung. Kaum pendatang di Australia yang berkulit putih mulus memperlakukan peduduk asli itu tidak sewajarnya. Di saat persemakmuran Australia berdiri pada 1 Januari 1701 misalnya, suku aborigin dianggap bagian dari fauna!
Wuiih.. ini sih, bener-bener parah..

Namun pandangan Australia berangsur-angsur melunak dan memberikan ruang bagi penduduk asli tersebut setelah (konon) banyak melakukan pembunuhan. Caranya yang agak unik : Australia menetapkan politik asimilasi untuk mencampur dua jenis manusia yang memiliki warna kulit berbeda itu.

Anak-anak aborigin dipisahkan dari keluarganya secara paksa kemudian di tempatkan di panti asuhan untuk “diputihkan”. Sebagian kemudian diasuh oleh si kulit putih sebagai pekerja atau pembantu. Anak laki-laki dipungut untuk dijadikan pekerja gratis di peternakan terpencil. Mereka dihukum berat ketika berbuat tidak salah atau sesuatu yang tidak menyenangkan. Sama seperti apartheid, rupanya nasib aborigin juga ditentukan oleh warna kulit. Dari sinilah muncul istilah “the stolen generation” yang membuat Perdana Menteri Australia sekarang, Kevin Rudd, meminta maaf.

Di awal 2006, pemerintah Australia pernah melemparkan isu pemusnahan etnik pada penduduk Papua oleh Indonesia. Entah dari mana isu itu berkembang, media setempat mengopinikan secara besar-besaran. Herman Wanggai, pimpian sparatis Papua yang mendapat visa Australia mengatakan, ratusan ribu warga Papua telah dibantai habis. Meski pun berkata seperti itu, Wanggai tidak bisa membuktikan kata-katanya. Terlebih, ketika aktivis HAM menelusuri laporan tersebut juga tidak menemukan pembantaian. Banyak yang menduga, ini politik Australia untuk mendeskreditkan Indonesia di mata internasional. Australia seolah ingin menumpahkan “dosa” pada Indonesia atas perlakuan terhadap suku berkulit gelap itu. Karena tidak terbukti, tuduhan itu seolah menjadi bumerang bagi Australia atas perlakuan pada suku aborigin.Kayaknya Australia selalu cari masalah dengan Indonesia, ya.. Masih inget, Autralia kelurain warning travel (yang sebenarnya gak perlu) bagi warganya yang mau ke Indonesia!


sumber http://www.indonesiaindonesia.com/f/83173-sejarah-suku-aborigin/

Hatta dalam Tiga Kasus

| | | 0 komentar
Ada tiga kasus menyangkut Bung Hatta yang perlu diklarifikasi. Pria kelahiran Bukittinggi 12 Agustus 1902 ini pernah diremehkan perannya saat proklamasi tahun 1945 oleh Soekarno. Benarkah demikian?

Pimpinan PKI menuding Hatta memprovokasi meletusnya Peristiwa Madiun 1948. Bagaimana duduk perkaranya? Sejauh mana keterlibatan Hatta dalam kasus Sawito tahun 1976?

Buku Cindy Adams

Dalam buku autobiografi Soekarno sebagaimana diceritakan kepada Cindy Adams tertulis, “Tidak ada yang berteriak ‘Kami menghendaki Bung Hatta’. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Syahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi.… Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu, maka peran Hatta dalam sejarah tidak ada.” Alinea itu dilanjutkan dengan nada kesukuan.

“Peranannya yang tersendiri selama perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan ‘pemimpin’ ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatera dan di hari-hari yang demikian aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.” Soekarno tidak memerlukan Hatta (dan Sjahrir), bahkan peran Hatta dalam sejarah tidak ada.

Betapa arogannya Bung Karno, demikian kesan orang yang membaca kedua alinea tersebut, termasuk Prof Dr Sjafii Maarif. Namun ketika menerjemahkan ulang buku Cindy Adams tersebut tahun 2007, Syamsul Hadi menemukan bahwa kedua alinea tersebut tidak ada dalam buku edisi Inggrisnya. Berarti ada orang yang sengaja menambahkan dua paragraf yang mengadu domba antarpemimpin Indonesia, siapa dia? Yang jelas dalam terbitan terbaru buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat tersebut (2007), kedua alinea hasil rekayasa itu telah dihapuskan.

Provokasi Madiun

Pimpinan PKI sejak tahun 1957 mengatakan bahwa Peristiwa Madiun 1948 terjadi karena provokasi Hatta. Bahkan dikatakan bahwa Hatta meminjam mulut Soekarno untuk membasmi Amir Sjarifuddin. Sebetulnya di dalam pidato radionya Bung Karno mengatakan dengan tegas “Pilih Soekarno-Hatta atau Musso-Amir Syarifuddin”. Kenapa Bung Karno tidak dikecam? Alasannya jelas, karena dia ingin didekati oleh PKI, sementara Hatta yang baru mengundurkan diri sebagai wakil presiden adalah sasaran empuk untuk dijadikan kambing hitam.

Menurut Anthony Reid, dalam peristiwa Madiun 1948, sebetulnya jumlah korban bisa berkurang bila saran Jenderal Sudirman didengar, agar pihak yang bertikai berunding lagi. Namun bila Soekarno-Hattta tidak bertindak tegas, mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh bantuan dari AS/negara Barat. Kekuatan Indonesia tidak kuat menghadapi Belanda, oleh sebab itu diperlukan dukungan diplomasi dari AS. Walau dilematis, Soekarno-Hatta telah mengambil pilihan menumpas kelompok komunis. Maka tahun 1948 korban berjatuhan dari golongan kiri dan kanan.

Kasus Sawito

Tanggal 22 September 1976, tiga hari sebelum Lebaran, pemerintah mengeluarkan pengumuman sangat penting dalam siaran TVRI, satu-satunya siaran televisi saat itu. Tiga pejabat, Mensesneg Sudharmono, Jaksa Agung Ali Said, dan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Yoga Sugama, menyampaikan bahwa pemerintah telah membongkar upaya penggantian kepala negara secara inkonstitusional. Dua jam sebelumnya Presiden Soeharto telah mengundang seluruh pimpinan lembaga tinggi dan tertinggi negara ke Bina Graha. Ini memperlihatkan bahwa kasus yang dihadapi sangat serius.

Ditemukan dokumen “Jalan Keselamatan” yang ditandatangani oleh Sawito Kartowibowo, M Hatta (proklamator kemerdekaan RI), Justinus Darmojuwono (Kardinal, Ketua Majelis Wali Gereja Indonesia), TB Simatupang (Dewan Gereja-Gereja Indonesia), HAMKA (Ketua Majelis Ulama Indonesia), R Said Sukanto Tjokrodiatmojo (Ketua Umum Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan Indonesia). Dokumen itu menilai sangat negatif keadaan saat itu dan menyerukan kepada masyarakat agar mengambil langkah penyelamatan.

Dalam dokumen lain yang dirancang oleh Sawito terdapat “Surat Pelimpahan” tugas dan wewenang Presiden Suharto kepada Dr Mohammad Hatta. Sawito Kartowibowo (lahir di Blitar, 6 Maret 1932) adalah pegawai tinggi Departemen Pertanian yang mengenal Bung Hatta sebagai peserta olahraga senam pernapasan “Orhiba (Olahraga Hidup Baru)”. Menurut SK Trimurti (hasil wawancara dengan Rukardi, “Gerakan Sawito, Perlawanan Mesianistik terhadap Rezim Orde Baru tahun 1972–1976”, skripsi pada Jurusan Sejarah Undip Semarang, 2002) Sawito masih kerabat jauh Bung Karno. Nenek Sawito adalah kakak sulung dari kakek Bung Karno.

Para tokoh masyarakat yang menandatangani dokumen Jalan Keselamatan mengakui melakukan hal tersebut karena sudah ada sebelumnya tanda tangan Bung Hatta. Mengapa Hatta mau dibujuk oleh Sawito? Apakah karena dia melihat ini sebagai suatu peluang untuk menyelamatkan negara yang sudah mengalami krisis? Jelas Hatta bukanlah orang yang mau merebut kekuasaan secara tidak sah. Bahkan dalam sejarah dia tercatat sebagai tokoh yang menolak bergabung degan PRRI meskipun dia berbeda pendapat dengan Soekarno. Dia mengkritik Bung Karno dengan menulis surat secara langsung, bukan dengan memberontak.

Sawito dijatuhi hukuman delapan tahun penjara, dia naik banding dan mengajukan kasasi, tapi tidak dikabulkan. Sawito dibebaskan 20 September 1983. Dalam peninjauan kembali yang dilakukan pada masa pemerintahan Abdurrachman Wahid, melalui Keputusan Presiden No 93 Tahun 2000, Sawito diberi abolisi dan rehabilitasi. Bagaimana dengan Hatta dan tokoh masyarakat lain? Mereka tidak dikenai hukuman. Hatta menulis kepada Presiden Soeharto bahwa dia mau menandatangani Jalan Keselamatan itu karena “isinya mempertahankan Pancasila” dan bukan untuk disiarkan kepada khalayak.

Dokumen Sawito itu tidak berarti, tetapi malah diberi “bobot” oleh pemerintah. Namun surat Hatta itu dianggap tidak cukup oleh penguasa. Emil Salim berusaha menjembatani antara Presiden Soeharto dengan Bung Hatta. Rancangan yang dibawa Emil Salim yang memuji-muji Orde Baru dicoret oleh Hatta. Namun Hatta bersedia menandatangani tiga pernyataan yang salah satunya berbunyi, “Saya menyesalkan perbuatan yang telah menyalahgunakan tanda tangan saya untuk maksud-maksud jahat yang tidak bertanggung jawab, yang akan menggunakan naskah yang saya tanda tangani itu untuk melakukan tindakan-tindakan inkonstitusionil.

Sebagai orang yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, saya tidak dapat membenarkan dan sebagaimana biasa menentang perbuatan-perbuatan yang inkonstitusionil itu.” Hatta tetap konsisten sampai akhir hayatnya.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI

http://suar.okezone.com/read/2010/08/12/58/362220/bung-hatta-dalam-tiga-kasus

Maluku dan Manhattan

| | | 0 komentar
Paruh awal abad ke-17 M, Belanda nyaris menaklukan Inggris di hampir seluruh kepulauan Banda. Kecuali pulau Run, dimana cengkeh dan biji pala tumbuh subur di sana, sedangkan kedua komoditas utama pulau Run ini sangat mahal harganya di Eropa.

Belanda sendiri dikala itu merupakan kekuatan kolonis dunia yang menguasai sebagian besar daratan Amerika, termasuk sebuah wilayah bernama Niew Amsterdam. Karena nilai pulau Run lebih tinggi ketimbang Niew Amsterdam, Belanda membujuk Inggris untuk melakukan pertukaran dan Inggris pun menyetujuinya. Belanda pun melepas Niew Amsterdam(bahasa Indian: Manhattan) dan mendapatkan pulau Run.

Niew Amsterdam merupakan kota terbanyak yang menampung imigran Yahudi dari Eropa. Oleh orang Yahudi, Niew Amsterdam diganti namanya menjadi Mew Jerussalem yang akhirnya berganti nama menjadi kota New York. Sampai saat ini, New York merupakan simbol kedigdayaan perekonomian Yahudi di dunia. Dimana lebih dari setengah perputaran uang dan kebijakan ekonomi dunia bersumber dari kota ini.

ternyata Maluku pernah dipertukarkan oleh Inggris dan Belanda dengan kota New York!

http://ruangberita.com/ada-yang-disembunyikan-tentang-maluku/

Negara Terkaya di Dunia

| | | 0 komentar
Banyak sebenarnya yang tidak tahu dimanakah negara terkaya di planet bumi ini, ada yang mengatakan Amerika, ada juga yang mengatakan negera-negara di timur tengah. tidak salah sebenarnya, contohnya Amerika. Negara super power itu memiliki tingkat kemajuan teknologi yang hanya bisa disaingi segelintir negara, contoh lain lagi adalah negara-negara di timur tengah. rata-rata negara yang tertutup gurun pasir dan cuaca yang menyengat itu mengandung jutaan barrel minyak yang siap untuk diolah. tapi itu semua belum cukup untuk menyamai negara yang satu ini. bahkan Amerika, Negara-negara timur tengah serta Uni Eropa-pun tak mampu menyamainya.

dan inilah negara terkaya di planet bumi yang luput dari perhatian warga bumi lainya. warga negara ini pastilah bangga jika mereka tahu. tapi sayangnya mereka tidak sadar "berdiri di atas berlian" langsung saja kita lihat profil negaranya.

Wooww... Apa yang terjadi? apakah penulis (saya) salah? tapi dengan tegas saya nyatakan bahwa negara itulah sebagai negara terkaya di dunia. tapi bukankah negara itu sedang dalam kondisi terpuruk? hutang dimana-mana, kemiskinan, korupsi yang meraja lela, kondisi moral bangsa yang kian menurun serta masalah-masalah lain yang sedang menyelimuti negara itu.

baiklah mari kita urai semuanya satu persatu sehingga kita bisa melihat kekayaan negara ini sesungguhnya.

1. Negara ini punya pertambangan emas terbesar dengan kualitas emas terbaik di dunia. namanya PT Freeport


Apa saja kandungan yang di tambang di Freeport ? ketika pertambangan ini dibuka hingga sekarang, pertambangan ini telah mengasilkan 7,3 JUTA ons tembaga dan 724,7 JUTA ons emas. yang mau bantu saya menghitung nilai tersebut saya persilahkan! hitunglah sendiri dan anda akan tercengang dengan nilainya

lalu siapa yang mengelola pertambangan ini? bukan negara ini tapi AMERIKA! prosentasenya adalah 1% untuk negara pemilik tanah dan 99% untuk amerika sebagai negara yang memiliki teknologi untuk melakukan pertambangan disana.

bahkan ketika emas dan tembaga disana mulai menipis ternyata dibawah lapisan emas dan tembaga tepatnya di kedalaman 400 meter ditemukan kandungan mineral yang harganya 100 kali lebih mahal dari pada emas, ya.. dialah URANIUM! bahan baku pembuatan bahan bakar nuklir itu ditemukan disana. belum jelas jumlah kandungan uranium yang ditemukan disana, tapi kabar terakhir yang beredar menurut para ahli kandungan uranium disana cukup untuk membuat pembangkit listrik Nuklir dengan tenaga yang dapat menerangi seluruh bumi hanya dengan kandungan uranium disana. Freeport banyak berjasa bagi segelintir pejabat negeri ini, para jenderal dan juga para politisi nakal, yang bisa menikmati h id up dengan bergelimang harta dengan memiskinkan bangsa

2. Negara ini punya cadangan gas alam TERBESAR DI DUNIA! tepatnya di Blok Natuna

Berapa kandungan gas di blok natuna? Blok Natuna D Alpha memiliki cadangan gas hingga 202 TRILIUN kaki kubik!! dan masih banyak Blok-Blok penghasil tambang dan minyak seperti Blok Cepu dll. DIKELOLA SIAPA? EXXON MOBIL! dibantu sama Pertamina



3. Negara ini punya Hutan Tropis terbesar di dunia. hutan tropis ini memiliki luas 39.549.447 Hektar, dengan keanekaragaman hayati dan plasmanutfah terlengkap di dunia.

Letaknya di pulau sumatra, kalimantan dan sulawesi. sebenarnya jika negara ini menginginkan kiamat sangat mudah saja buat mereka. tebang saja semua pohon di hutan itu maka bumi pasti kiamat. karena bumi ini sangat tergantung sekali dengan hutan tropis ini untuk menjaga keseimbangan iklim karena hutan hujan amazon tak cukup kuat untuk menyeimbangkan iklim bumi. dan sekarang mereka sedikit demi sediki telah mengkancurkanya hanya untuk segelintir orang yang punya uang untuk perkebunan dan lapangan Golf. sungguh sangat ironis sekali.

4. Negara ini punya Luatan terluas di dunia. dikelilingi dua samudra, yaitu Pasific dan Hindia hingga t id ak heran memiliki jutaan spesies ikan yang t id ak dimiliki negara lain.
Saking kaya-nya laut negara ini sampai-sampai negara lain pun ikut memanen ikan di lautan negara ini

5. Negara ini punya jumlah penduduk terbesar ke 4 d idunia.

dengan jumlah penduduk segitu harusnya banyak orang-orang pintar yang telah dihasilkan negara ini, tapi pemerintah menelantarkan mereka-mereka. sebagai sifat manusia yang ingin bertahan h id up tentu saja mereka ingin di hargai. jalan lainya adalah keluar dari negara ini dan memilih membela negara lain yang bisa menganggap mereka dengan nilai yang pantas.

6. Negara ini memiliki tanah yang sangat subur. karena memiliki banyak gunung berapi yang aktif menjadikan tanah di negara ini sangat subur terlebih lagi negara ini dilintasi garis katulistiwa yang banyak terdapat sinar matahari dan hujan

Jika dibandingkan dengan negara-negara timur tengah yang memiliki minyak yang sangat melimpah negara ini tentu saja jauh lebih kaya. coba kita semua bayangkan karena hasil mineral itu tak bisa diperbaharui dengan cepat. dan ketika seluruh minyak mereka telah habis maka mereka akan menjadi negara yang miskin karena mereka t id ak memiliki tanah sesubur negara ini yang bisa ditanami apapun juga. bahkan tongkat kayu dan batu jadi tanaman.

7. Negara ini punya pemandangan yang sangat eksotis dan lagi-lagi tak ada negara yang bisa menyamainya. dari puncak gunung hingga ke dasar laut bisa kita temui di negara ini.

Negara ini sangat amat kaya sekali, tak ada bangsa atau negara lain sekaya INDONESIA ! tapi apa yang terjadi?

untuk EXXON MOBIL OIL, FREEPORT , SHELL, PETRONAS dan semua PEJABAT NEGARA yang menjual kekayaan Bangsa untuk keuntungan negara asing, diucapkan TERIMA KASIH.



Sebuah cerita mungkin akan bisa menggambarkan indonesia saat ini silahkan disimak.



Judulnya Ketika Tuhan Menciptakan Indonesia

Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah planet yang baru saja diciptakan- Nya. Malaikat pun bertanya, "Apa yang baru saja Engkau ciptakan, Tuhan?" "Lihatlah, Aku baru saja menciptakan sebuah planet biru yang bernama Bumi," kata Tuhan sambil menambahkan beberapa awan di atas daerah hutan hujan Amazon. Tuhan melanjutkan, "Ini akan menjadi planet yang luar biasa dari yang pernah Aku ciptakan. Di planet baru ini, segalanya akan terjadi secara seimbang".



Lalu Tuhan menjelaskan kepada malaikat tentang Benua Eropa. Di Eropa sebelah utara, Tuhan menciptakan tanah yang penuh peluang dan menyenangkan seperti Inggris, Skotlandia dan Perancis. Tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang.



Di Eropa bagian selatan, Tuhan menciptakan masyarakat yang agak miskin, seperti Spanyol dan Portugal, tetapi banyak sinar matahari dan hangat serta pemandangan eksotis di Selat Gibraltar .



Lalu malaikat menunjuk sebuah kepulauan sambil berseru, "Lalu daerah apakah itu Tuhan?" "O, itu," kata Tuhan, "itu Indonesia . Negara yang sangat kaya dan sangat cantik di planet bumi. Ada jutaan flora dan fauna yang telah Aku ciptakan di sana . Ada jutaan ikan segar di laut yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku ciptakan ramah tamah,suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka warna. Mereka pekerja keras, siap h id up sederhana dan bersahaja serta mencintai seni."



Dengan terheran-heran, malaikat pun protes, "Lho, katanya tadi setiap negara akan diciptakan dengan keseimbangan. Kok Indonesia baik-baik semua. Lalu dimana letak keseimbangannya? "

Tuhan pun menjawab dalam bahasa Inggris, "Wait, until you see the id iots I put in the government." (tunggu sampai Saya menaruh ' id iot2' di pemerintahannya)




Dan untuk rasa terima kasih untuk Kemerdekaan Indonesia yang ke 65 tahun, kami pemuda-pemudi Indonesia memberikan penghargaan sebesar-besarnya kepada pejuang yang telah mengorbankan darah dan air mata mereka untuk bangsa yang tidak tahu terima kasih ini.

" Indonesia tanah air beta

disana tempat lahir beta,

dibuai dibesarkan bunda,

Tempat berlindung di hari Tua...

HIngga nanti menutup mata

Sukarno: NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME

| | | 0 komentar
Sebagai Aria Bimaputera, yang lahirnya dalam jaman perjuangan, maka INDONESIA-MUDA ini melihat cahaya hari-hari pertama dalam jaman dimana rakyat-rakyat Asia, sedang berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib ekononominya, tak senang dengan nasib politiknya, tak senang dengan segala nasib yang lain-lainnya.

Jaman "senang dengan apa adanya", sudahlah lalu. Jaman baru: jaman muda, sudahlah datang sebagai fajar yang terang cuaca. Jaman teori kaum kuno, yang mengatakan, bahwa "siapa yang ada di bawah, harus terima senang, yang ia anggap cukup harga duduk dalam perbendaharaan sejarah, yang barang kemas-kemasnya (harta miliknya) berguna untuk memelihara siapa yang sedang berdiri-dalam-hidup (berkuasa)", kini sudahlah tak mendapat penganggapan lagi oleh rakyat-rakyat Asia itu. Pun makin lama makin tipislah kepercayaan rakyat-rakyat itu, bahwa rakyat-rakyat yang memperbudakkannya itu, adalah sebagai "voogd" yang kelak kemudian hari akan "ontvoogden" mereka; makin lama makin tipislah kepercayaannya, bahwa rakyat-rakyat yang memperbudakkannya itu sebagai "saudara tua", yang dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka, bilamana mereka sudah "dewasa", "akil balig", atau "masak".

Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan, bahwa yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyhuran, bukan keinginan melihat dunia asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri yang menjalankan kolonisasi itu terlampau sesak oleh banyaknya penduduk —sebagaimana diajarkan oleh Gustav Klemm— akan tetapi asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki.

"Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal hidup dalam tanah airnya sendiri," begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat-rakyat Eropah mencari rezeki di negeri lain! Itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat itu menjajah negeri-negeri, dimana mereka bisa mendapat rezeki. Itulah pula yang membikin "ontvoogding"nya negeri-negeri jajahan oleh negeri-negeri yang menjajahnya itu sebagai suatu barang yang sukar dipercayai. Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya!!!

Begitulah, bertahun-tahun, berwindu-windu, rakyat-rakyat Eropah memperbudak negeri-negeri Asia. Berwindu-windu, rezeki-rezeki Asia masuk ke negerinya. Teristimewa Eropah Baratlah yang bukan main tambah kekayaannya.

Begitulah tragisnya riwayat-riwayat negeri-negeri jajahan! Dan keinsyafan akan tragedi inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu; sebab, walaupun lahirnya sudah kalah dan takluk, maka Spirit of Asia masihlah kekal. Roh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsyafan akan tragedi inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia kita, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: NASIONALISTIS, ISLAMISTIS dan MARXISTIS-lah adanya.

Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain. Membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha besar dan maha kuat, satu ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya. Itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.

Akan hasil atau tidaknya kita menjalankan kewajiban yang seberat dan semulia itu, bukanlah kita yang menentukan. Akan tetapi, kita tidak boleh putus-putus berdaya upaya, tidak boleh habis-habis ikhtiar menjalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tadi itu! Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia Merdeka!

Entahlah bagaimana tercapainya persatuan itu; entah pula bagaimana rupanya persatuan itu; akan tetapi tetaplah, bahwa kapal yang membawa kita ke Indonesia Merdeka itu, ialah Kapal Persatuan adanya! Mahatma, jurumudi yang akan membuat dan mengemudikan Kapal Persatuan itu kini barangkali belum ada, akan tetapi yakinlah kita pula, bahwa kelak kemudian hari mustilah datang saatnya, Sang Mahatma itu berdiri di tengah kita!

Itulah sebabnya kita dengan besar hati mempelajari dan ikut meratakan jalan yang menuju persatuan itu. Itulah maksudnya tulisan yang pendek ini.


Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme!

Inilah asas-asas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah paham-paham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini.

Partai Budi Utomo almarhum, Nationaal Indische Partij yang kini masih "hidup", Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain... itu masing-masing mempunyai roh Nasionalisme, roh Islamisme, atau roh Marxisme adanya. Dapatkah roh-roh ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu Roh yang besar, Roh Persatuan? Roh Persatuan, yang akan membawa kita ke lapangan kebesaran?

Dapatkah dalam tanah jajahan, pergerakan Nasionalisme itu dirapatkan dengan pergerakan Islamisme yang pada hakekatnya tiada bangsa, dengan pergerakan Marxisme yang bersifat perjuangan internasional?

Dapatkah Islamisme itu —ialah suatu agama— dalam politik jajahan bekerja bersama-sama dengan Nasionalisme yang mementingkan bangsa, dengan materialismenya Marxisme yang mengajar perbendaan?

Akan berhasilkah usaha kita merapatkan Budi Utomo yang begitu sabar halus (gematigd), dengan Partai Komunis Indonesia yang begitu keras sepaknya, begitu radicaal militant?


Nasionalisme! Kebangsaan!

Dalam tahun 1882, Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang paham "bangsa" itu. Bangsa, menurut pujangga ini, adalah suatu nyawa, suatu asas akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani suatu riwayat (sejarah); kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan "bangsa" itu.

Dari tempo-tempo selanjutnya, penulis-penulis lain, sebagaimana Karl Kautsky dan Karl Radek, maka teristimewa Otto Bauer-lah yang mempelajari soal "bangsa" itu.

"Bangsa adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu," begitulah katanya.

Nasionalisme ialah suatu itikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa mereka adalah satu golongan, satu "bangsa"! Bagaimana pun juga bunyi keterangan-keterangan yang telah diajarkan oleh pendekar-pendekar ilmu yang kita sebutkan di atas tadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu kepercayaan diri, rasa perlu mempertahankan diri dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita.

Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang memberi keteguhan hati pada Budi Utomo dalam usahanya mencari Jawa Besar; rasa percaya akan diri sendiri inilah yang menimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusioner nasionalis dalam perjuangannya mencari Hindia Besar atau Indonesia Merdeka adanya.

Bagaimanakah rasa nasionalisme terjangnya? Budi Utomo yang begitu evolusioner, dan Partai Komunis Indonesia, yang walaupun kecil sekali, oleh musuh-musuhnya begitu didesak dan dirintangi, karena rupa-rupanya musuh-musuh itu yakin akan peringatan Al Carthill, bahwa "yang mendatangkan pemberontakan-pemberontakan itu biasanya bagian-bagian yang terkecil, dan bagian-bagian yang terkecil sekali." Oleh karena kepercayaan diri itu begitu gampang menjadi kesombongan bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua, ialah kesombongan ras, walaupun paham ras (rasisme) itu setinggi langit bedanya dengan paham bangsa, oleh karena ras adalah suatu paham biologis, sedangkan nationaliteit adalah suatu paham sosiologis (ilmu pergaulan hidup). Apakah Nasionalisme itu dalam perjuangan jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakekatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam bangsa dan bermacam-macam ras? Apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa rapat diri dengan Marxisme yang internasional, interrasial itu?

Dengan ketetapan hati kita menjawab: bisa! Sebab, walaupun Nasionalisme pada hakekatnya mengecualikan segala pihak yang tak ikut mempunyai "keinginan hidup menyatu" dengan rakyat itu; walaupun Nasionalisme sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa "satu golongan, satu bangsa" dengan rakyat itu; walaupun Kebangsaan dalam asasnya menolak segala perangai yang terjadinya tidak "dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu", —maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya mempunyai "keinginan hidup menjadi satu"; —bahwa mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa "satu golongan, satu bangsa"; —bahwa segala pihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis, Islamis, maupun Marxis, beratus-ratus tahun lamanya memiliki "persatuan hal ikhwal", beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka!

Kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa "persatuan hal ikhwal", persatuan nasib, inilah yang menimbulkan rasa "segolongan" itu. Betul rasa golongan ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; betul sampai kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh di antara pihak-pihak pergerakan di Indonesia kita ini, —akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!

Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa persahabatan bisa tercapai!
Hendaklah kaum Nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang tak terbatas pada Nasionalisme, mengambil teladan akan sabda Karamchand (Mahatma) Gandhi: "Buat saya, cinta pada tanah air adalah cinta pada kemanusiaan. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan bercara hidup manusia. Saya tidak mengecualikan siapapun juga." Inilah rahasianya, sehingga Gandhi punya cukup kekuatan untuk mempersatukan pihak Islam dengan pihak Hindu, pihak Parsi, pihak Yain, dan pihak Sikh, yang jumlahnya lebih dari tigaratus juta itu, lebih dari enam kali jumlah putera Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada di muka bumi ini!

Tidak ada halangannya Nasionalis itu dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan kaum Islamis dan Marxis. Lihatlah kekalnya perhubungan antara Nasionalis Gandhi dengan Pan-Islamis Maulana Muhammad Ali, dengan Pan-Islamis Syaukat Ali, yang waktu pergerakan non-cooperation India sedang menghebat, hampir tiada pisahnya satu sama lainnya. Lihatlah geraknya partai Nasionalis Kuomintang di Tiongkok, yang dengan ridho hati menerima paham-paham Marxis: tak setuju pada kemiliteran, tak setuju pada imperialisme, tak setuju pada kemodalan!

Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berubah paham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu!

Bahwa sesungguhnya, asal mau saja... tak kuranglah jalan ke arah persatuan. Kemauan, percaya akan ketulusan hati satu sama lain, keinsyafan akan pepatah "rukun membikin sentausa" (itulah sebaik-baiknya jembatan ke arah persatuan), cukup kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala pihak dalam pergerakan kita ini.

Kita ulangi lagi: Tidak ada halangannya Nasionalis itu dalam geraknya, bekerja bersama-sama dengan Islamis dan Marxis!

Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan sejarah dunia —bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, nasionalis yang bukan chauvinis— tak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, —nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu ilham dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindar dari segala paham kekecilan dan kesempitan. Baginya, maka Nasionalisme itu adalah lebar dan luas, mampu memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagaimana lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.

Wahai, apakah sebabnya kecintaan bangsa dari banyak nasionalis Indonesia lalu menjadi kebencian, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang berkeyakinan Islamistis? Apakah sebabnya kecintaan itu lalu berbalik menjadi permusuhan, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang bergerak Marxistis? Tiadakah tempat dalam sanubarinya untuk nasionalismenya Gopala Krishna Gokhate, Mahatma Gandhi, atau Chita Ranjam Das?

Janganlah hendaknya kaum kita sampai hati memeluk jango nationalism, sebagaimana jango nationalism Arya-Samaj di India pembelah dan pemecah persatuan Hindu-Muslim; sebab jango nationalism yang semacam itu "akhirnya pastilah binasa", oleh karena "nasionalisme hanyalah dapat mencapai apa yang dimaksudkannya, bilamana bersendi atas asas-asas yang lebih suci".

Bahwasanya, hanya nasionalisme ketimuran yang sejatilah yang pantas dipeluk oleh nasionalis Timur yang sejati. Nasionalisme Eropa, ialah suatu nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, —nasionalisme yang semacam ini akhirnja pastilah kalah, pastilah binasa.

Adakah keberatan untuk kaum Nasionalis yang sejati, buat bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, oleh karena Islam melebihi kebangsaan dan melebihi batas negeri ialah supernasional, superteritorial? Adakah internationaliteit Islam suatu rintangan buat geraknya nasionalisme, buat geraknya kebangsaan?

Banyak nasionalis di antara kita yang lupa bahwa pergerakan nasionalisme dan Islamisme di Indonesia ini —ya, di seluruh Asia— adalah sama asalnya, sebagai yang telah kita uraikan di awal tulisan ini: dua-duanya berasal dari hasrat melawan "Barat", atau lebih tegas, melawan kapitalisme dan imperialisme Barat, sehingga sebenarnya bukan lawan, melainkan kawanlah adanya. Betapa lebih luhurnya sikap nasionalis Prof. TL Vaswani, seorang yang bukan Islam, yang menulis: "Jikalau Islam menderita sakit, maka Roh kemerdekaan Timur tentulah sakit juga; sebab makin sangatnya negeri-negeri Muslim kehilangan kemerdekaannya, makin lebih sengit pula imperialisme Eropa mencekik Roh Asia. Tetapi, saya percaya pada Asia sediakala; saya percaya bahwa Rohnya masih akan menang. Islam adalah internasional, dan jikalau Islam merdeka, berarti nasionalisme kita diperkuat oleh segenap kekuatannya itikad internasional itu."

Dan bukan itu saja. Banyak nasionalis kita yang lupa, bahwa orang Islam, di manapun juga adanya, di seluruh "Darul-Islam" menurut agamanya, wajib bekerja untuk keselamatan orang negeri yang ditempatinya. Nasionalis-nasionalis itu lupa, bahwa orang Islam yang sungguh-sungguh menjalankan keislamannya, baik orang Arab maupun orang India, baik orang Mesir maupun orang manapun juga, jikalau berdiam di Indonesia, wajib pula bekerja untuk keselamatan Indonesia. "Di mana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu masih menjadi satu bagian dari rakyat Islam, Persatuan Islam. Di mana-mana orang Islam bertempat, di situlah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya."

Inilah nasionalisme Islam!

Sempit budi dan sempit pikiranlah nasionalis yang memusuhi Islamisme serupa ini. Sempit budi dan sempit pikiranlah ia, oleh karena ia memusuhi suatu asas, yang —walaupun internasional dan interrasial— mewajibkan pada segenap pemeluknya di Indonesia, bangsa apapun juga, mencintai dan bekerja untuk keperluan Indonesia dan rakyat Indonesia juga adanya!

Adakah pula keberatan untuk kaum Nasionalis sejati, bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, oleh karena Marxisme itu internasional juga?

Nasionalis yang segan berdekatan dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, —Nasionalis yang semacam itu menunjukkan ketiadaan yang sangat, atas pengetahuan tentang berputarnya roda politik dunia dan sejarah. Ia lupa, bahwa asal pergerakan Marxis di Indonesia atau Asia itu, juga merupakan tempat asal pergerakan mereka. Ia lupa, bahwa arah pergerakannya sendiri itu acap kali sesuai dengan arah pergerakan bangsanya yang Marxistis tadi. Ia lupa, bahwa memusuhi bangsanya yang Marxistis itu, samalah artinya dengan menolak kawan sejalan dan menambah adanya musuh. Ia lupa dan tak mengerti akan arti sikapnya saudara-saudaranya di lain-lain negeri Asia, umpamanya almarhum Dr. Sun Yat Sen, panglima Nasionalis yang besar itu, yang dengan segala kesenangan hati bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis —pada saat itu belum bisa diadakan sosialisme di negeri Tiongkok, oleh karena di negeri Tiongkok tidak ada syarat-syaratnya yang cukup masak untuk mengadakan peraturan Marxis.

Perlukah kita membuktikan lebih lanjut, bahwa Nasionalisme, baik sebagai suatu asas yang timbulnya dari rasa ingin hidup menjadi satu; baik sebagai suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa; maupun sebagai suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu, —perlukah kita membuktikan lebih lanjut bahwa Nasionalisme, asal saja yang memeluknya mau, bisa dirapatkan dengan Islamisme dan Marxisme? Perlukah kita lebih lanjut mengambil contoh-contoh sikap para pendekar Nasionalis di lain-lain negeri, yang sama bergandengan tangan dengan kaum-kaum Islamis dan rapat diri dengan kaum-kaum Marxis?

Kita rasa tidak! Sebab kita percaya bahwa tulisan ini, walaupun pendek dan jauh kurang sempurna, sudahlah cukup jelas untuk Nasionalis-nasionalis kita yang mau bersatu. Kita percaya, bahwa semua Nasionalis-muda adalah berdiri di samping kita. Kita percaya pula, bahwa masih banyaklah Nasionalis-nasionalis kolot yang mau akan persatuan; hanya kebimbangan mereka akan kekalnya persatuan itulah yang mengecilkan hatinya untuk mengikhtiarkan persatuan.

Pada mereka itulah terutama tulisan ini kita hadapkan; untuk merekalah terutama tulisan ini kita adakan.

Kita tidak menuliskan rencana ini untuk Nasionalis-nasionalis yang tidak mau bersatu. Nasionalis-nasionalis yang demikian itu kita serahkan pada pengadilan sejarah, kita serahkan pada putusannya mahkamah histori!

Islamisme, Keislaman!

Sebagaimana fajar sehabis malam yang gelap-gulita, sebagai penutup abad-abad kegelapan, maka di abad kesembilanbelas berkilau-kilauanlah dalam dunia keislaman, sinarnya dua pendekar yang namanya tak akan hilang, tertulis dalam buku riwayat Muslim: Sheikh Mohammad Abduh, Rektor Sekolah Tinggi Al Azhar, dan Seyid Jamaluddin El Afghani —dua panglima Pan-Islamisme yang telah membangunkan dan menjunjung rakyat-rakyat Islam di seluruh benua Asia dari kegelapan dan kemunduran. Walaupun dalam sikapnya dua pahlawan ini berbeda sedikit satu sama lain —Seyid Jamaluddin El Afghani lebih radikal dari Sheikh Mohammad Abduh— maka merekalah yang membangunkan lagi kenyataan-kenyataan Islam tentang politik, terutama Seyid Jamaluddin, yang pertama-tama membangunkan rasa perlawanan di hati sanubari rakyat-rakyat Muslim terhadap bahaya imperialisme Barat; merekalah terutama Seyid Jamaluddin pula, yang mula-mula mengkhotbahkan suatu barisan rakyat Islam yang kokoh, guna melawan bahaya imperialisme Barat itu.

Sampai pada wafatnya dalam tahun 1896, Seyid Jamaluddin El Afghani, harimau Pan-Islamisme yang gagah berani itu, bekerja dengan tiada hentinya, menanam benih keislaman di mana-mana, menanam rasa perlawanan terhadap ketamakan Barat, menanam keyakinan, bahwa untuk perlawanan itu kaum Islam harus "mengambil tekniknya kemajuan Barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan Barat".

Benih-benih itu tertanam! Sebagai ombak yang makin lama makin hebat, sebagai gelombang yang makin lama makin tinggi dan besar, maka di seluruh dunia Muslim tentara-tentara Pan-Islamisme sama bangun dan bergerak dari Turki dan Mesir, sampai ke Maroko dan Kongo, ke Persia, Afghanistan... membanjir ke India, terus ke Indonesia... gelombang Pan-Islamisme melimpah ke mana-mana!

Begitulah rakyat Indonesia kita ini, insyaf akan tragis nasibnya, sebagian sama bernaung di bawah bendera hijau, dengan muka ke arah Qiblah, mulut mengaji La haula wala kuwata illa billah dan Billahi fisabilil ilahi!

Mula-mula masih perlahan-lahan, dan belum begitu terang benderanglah jalan yang harus diinjaknya, maka makin lama makin nyata dan tentulah arah-arah yang diambilnya, makin lama makin banyaklah hubungannya dengan pergerakan-pergerakan Islam di negeri-negeri lain; makin teranglah ia menunjukkan perangainya yang internasional; makin mendalamlah pula pendiriannya atas hukum-hukum agama. Karenanya, tak heranlah kita, kalau seorang profesor Amerika, Ralston Hayden, menulis bahwa pergerakan sarekat Islam ini "akan berpengaruh besar atas kejadian politik di kelak kemudian hari, bukan saja di Indonesia, tetapi di seluruh dunia Timur jua adanya!" Ralston Hayden dengan ini menunjukkan keyakinannya akan perangai internasional dari pergerakan sarekat Islam itu; ia menunjukkan pula suatu penglihatan yang jernih di dalam peristiwa-peristiwa yang belum terjadi pada saat ia menulis itu. Bukankah tujuannya telah terjadi? Pergerakan Islam di Indonesia telah ikut menjadi cabangnya Mu’tamarul 'Alamil Islami di Mekkah; pergerakan Islam Indonesia telah menceburkan diri dalam laut perjuangan Islam Asia!

Makin mendalamnya pendirian keagamaan pada pergerakan Islam inilah yang menyebabkan keseganan kaum Marxis untuk merapatkan diri dengan pergerakan Islam itu; dan makin menonjolnya sifat internasional itulah yang oleh kaum Nasionalis "kolot" dipandang tersesat; sedang hampir semua Nasionalis, baik "kolot" maupun "muda", baik evolusioner maupun revolusioner, sama berkeyakinan bahwa agama itu tidak boleh dibawa-bawa ke dalam politik adanya. Sebaliknya, kaum Islam yang "fanatik", sama menghina politik kebangsaan dari kaum Nasionalis, menghina politik kerezekian dari kaum Marxis; mereka memandang politik kebangsaan itu sebagai sempit, dan mengatakan politik kerezekian itu sebagai kasar. Pendek kata, sudah sempurnalah adanya perselisihan paham!

Nasionalis-nasionalis dan Marxis-marxis tadi menunjuk pada negeri-negeri Islam yang kini begitu rusak keadaannya, begitu rendah derajatnya, hampir semuanya di bawah pemerintahan negeri-negeri Barat.

Mereka kusut paham! Bukan Islam, melainkan pemeluknyalah yang salah! Sebab dipandang dari pendirian nasional dan pendirian sosialistis, maka tinggi derajat dunia Islam pada mulanya sukarlah dicari bandingannya. Rusaknya kebesaran nasional, rusaknya sosialisme Islam bukanlah disebabkan oleh Islam sendiri; rusaknya Islam itu ialah oleh karena rusaknya budi pekerti orang-orang yang menjalankannya. Sesudah Amir Muawiyah mengutamakan asas dinastis-keduniawian untuk aturan khalifah, sesudah "khalifah-khalifah itu menjadi Raja", maka padamlah tabiat Islam yang sebenarnya. "Amir Muawiyah-lah yang harus memikul pertanggungan jawab atas rusaknya tabiat Islam yang nyata bersifat sosialistis dengan sebenar-benarnya," begitulah Umar Said Cokroaminoto berkata. Dan, dipandang dari pendirian nasional, tidakkah Islam telah menunjukkan contoh-contoh kebesaran yang mencengangkan bagi siapa saja yang mempelajari riwayat dunia, mecengangkan bagi siapa saja yang mempelajari riwayat kultur?

Islam telah rusak, oleh karena yang menjalankannya rusak budi pekertinya. Negeri-negeri Barat telah merampas negeri-negeri Islam oleh karena pada saat perampasan itu kaum Islam kurang tebal tauhidnya, dan oleh karena menurut wet (hukum) evolusi dan susunan pergaulan hidup bersama, sudah satu historische Notwendigkeit (keharusan sejarah), bahwa negeri-negeri Barat itu menjalankan perampasan tadi. Tebalnya tauhid itulah yang memberi keteguhan pada bangsa Riff menentang imperialisme Spanyol dan Prancis yang bermeriam dan lengkap bersenjata!

Islam yang sejati tidaklah mengandung asas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi paham-paham Nasionalisme yang luas budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas sirothol mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan tadi! Kita sama sekali tidak mengatakan bahwa Islam (harus) setuju pada materialisme atau perbendaan; sama sekali tidak melupakan bahwa Islam itu melebihi bangsa, super-nasional. Kita hanya mengatakan, bahwa Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajiban yang menjadi kewajiban-kewajibannya nasionalis pula!

Bukankah —sebagaimana sudah kita terangkan— Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat dimana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam? Seyid Jamaluddin El Afghani di mana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisme dan patriotisme, yang oleh musuhnya lantas saja disebut "fanatisme"; di mana-mana pendekar Pan-Islamisme ini mengkhotbahkan hormat akan diri sendiri, mengkhotbahkan rasa luhur diri, mengkhotbahkan rasa kehormatan bangsa, yang oleh musuhnya lantas saja dinamakan "chauvinisme" adanya. Di mana-mana, terutama di Mesir, maka Seyid Jamaluddin menanam benih nasionalisme itu; Seyid Jamaluddin-lah yang menjadi "bapak nasionalisme Mesir di dalam segenap bagian-bagiannya".

Dan bukan Seyid Jamaluddin sajalah yang menjadi penanam benih nasionalisme dan cinta bangsa. Arabi Pasha, Mustafa Kamil, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmed Bey Agayeff, Mohammad Ali dan Shaukat Ali... semuannya adalah panglimanya Islam yang mengajarkan cinta bangsa, semuanya adalah propagandis nasionalisme di masing-masing negerinya! Hendaklah pemimpin-pemimpin ini menjadi teladan bagi Islamis-islamis kita yang "fanatik" dan sempit budi, dan yang tidak suka mengetahui akan wajibnya merapatkan diri dengan gerakan bangsanya yang nasionalistis. Hendaklah Islamis-islamis yang demikian itu ingat, bahwa pergerakannya yang "anti-kafir" itu, pastilah menimbulkan rasa nasionalisme, oleh karena golongan-golongan yang disebutkan "kafir" itu adalah kebanyakan dari lain bangsa, bukan bangsa Indonesia. Islamisme yang memusuhi pergerakan nasional yang layak, bukanlah Islamisme yang sejati; Islamisme yang demikian itu adalah Islamisme yang "kolot", Islamisme yang tak mengerti aliran zaman!

Demikian pula kita yakin, bahwa kaum Islamis itu bisa kita rapatkan dengan kaum Marxis, walaupun pada hakekatnya dua pihak ini berbeda asas yang lebar sekali. Pedihlah hati kita, ingat akan gelap-gulitanya udara Indonesia, tatkala beberapa tahun yang lalu kita menjadi saksi atas suatu perkelahian saudara; menjadi saksi pecahnya permusuhan antara kaum Marxis dan Islamis; menjadi saksi bagaimana tentara pergerakan kita telah terbelah menjadi dua bagian yang memerangi satu sama lain. Pertarungan inilah isi dari halaman-halaman yang paling suram dari buku riwayat kita! Pertarungan saudara inilah yang membuang sia-sia segala kekuatan pergerakan kita, yang mustinya makin lama makin kuat itu; pertarungan inilah yang mengundurkan pergerakan kita dengan puluhan tahun adanya!

Aduhai! Alangkah kuatnya pergerakan kita sekarang umpama pertarungan saudara itu tidak terjadi. Niscaya tidak rusak susunan kita sebagaimana sekarang ini; niscaya pergerakan kita maju, walaupun rintangan yang bagaimana pun juga! Kita yakin, bahwa tiadalah halangan yang penting bagi persahabatan Muslim-Marxis itu.

Di atas sudah kita terangkan, bahwa Islamisme yang sejati mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis. Walaupun sosialistis itu masih belum tentu bermakna marxistis, walaupun kita mengetahui bahwa sosilalisme Islam tidak bersamaan dengan asas Marxisme, oleh karena sosialisme Islam itu berasas spiritualisme dan sosialismenya Marxisme berasas materialisme (perbendaan); walaupun begitu, maka untuk keperluan kita cukuplah agaknya jikalau kita membuktikan bahwa Islam sejati itu sosialistislah adanya. Kaum Islam tak boleh lupa, bahwa pemandangan Marxisme tentang riwayat menurut asas perbendaan (materialsitische historie opvatting) inilah yang seringkali menjadi penunjuk jalan bagi mereka, tentang soal-soal ekonomi dan politik-dunia yang sukar dan sulit; mereka tak boleh lupa, bahwa caranya (metode) Historis-Materialisme (ilmu sejarah yang berdasarkan hubungan perbendaan) menerangkan kejadian-kejadian yang telah terjadi di muka bumi ini, adalah cara untuk menunjukkan kejadian-kejadian yang akan datang, adalah amat berguna bagi mereka!

Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaarde (nilai tambah) sepanjang paham Marxisme, dalam hakekatnya adalah riba sepanjang paham Islam. Meerwaarde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu. Teori meerwaarde ini disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menerangkan asal-asalnya kapitalisme terjadi. Meerwaarde inilah yang menjadi nyawa segala peraturan yang bersifat kapitalistis. Dengan memerangi meerwaarde inilah, maka kaum Marxisme memerangi kapitalisme sampai pada akar-akarnya!

Untuk Islamis sejati, maka dengan lekas saja teranglah baginya, bahwa tak layaklah ia memusuhi paham Marxisme yang melawan peraturan meerwaarde, sebab ia tak lupa, bahwa Islam yang sejati juga memerangi peraturan itu; ia tak lupa, bahwa Islam yang sejati melarang keras akan perbuatan memakan riba dan memungut bunga. Ia mengerti, bahwa riba pada hakekatnya tiada lain daripada meerwaarde-nya paham Marxisme!

"Janganlah makan riba berlipat ganda dan perhatikanlah kewajibanmu terhadap Allah, moga-moga kamu beruntung!" begitulah tertulis dalam Al Qur'an, surat Ali Imran ayat 129!

Islamis yang luas pemandangan, Islamis yang mengerti akan kebutuhan-kebutuhan perlawanan kita, pastilah setuju akan persahabatan dengan kaum Marxis, sebab ia insyaf bahwa memakan riba dan pemungutan bunga, menurut agamanya adalah suatu perbuatan yang terlarang, suatu perbuatan yang haram; ia insyaf, bahwa inilah caranya Islam memerangi kapitalisme sampai ke akar dan benihnya, oleh karena —sebagaimana sudah kita terangkan di muka— riba sama dengan meerwaarde yang menjadi nyawanya kapitalisme. Ia insyaf, bahwa sebagaimana Marxisme, "dengan kepercayaannya pada Allah, dengan pengakuannya atas Kerajaan Tuhan, Islam adalah suatu perlawanan terhadap kejahatan kapitalisme".

Islamis yang "fanatik" dan memerangi pergerakan Marxisme adalah Islamis yang tak kenal akan larangan-larangan agamanya sendiri. Islamis yang demikian itu tak mengetahui bahwa, sebagaimana Marxisme, Islamisme yang sejati melarang penumpukan uang secara kapitalistis, melarang penimbunan harta benda untuk keperluan sendiri. Ia tak ingat akan ayat Al-Qur'an: "Tetapi kepada barang siapa menumpuk-numpuk emas dan perak dan membelanjakannya tidak menurut jalannya Allah, kabarkanlah bahwa mereka akan mendapat hukuman yang celaka!" Ia mengetahui, bahwa sebagaimana Marxisme yang dimusuhi itu, agama Islam dengan jalan yang demikian itu memerangi wujudnya kapitalisme dengan seterang-terangnya!

Dan masih banyaklah kewajiban-kewajiban dan ketentuan-ketentuan dalam agama Islam yang bersamaan dengan tujuan-tujuan dan maksud-maksud Marxisme itu! Sebab, tidakkah pada hakekatnya paham kewajiban zakat dalam agama Islam, suatu kewajiban si kaya membagikan rezekinya kepada si miskin, sama dengan pembagian rezeki yang dikehendaki pula oleh Marxisme —tentu saja dengan cara Marxisme sendiri? Tidakkah Islam bercocokan anasir-anasir "kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan" dengan Marxisme yang dimusuhi oleh banyak kaum Islamis itu? Tidakkah Islam yang sejati telah membawa "segenap perikemanusiaan di atas lapangan kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan"? Tidakkah nabi Islam sendiri mengajarkan persamaan itu dengan sabda: "Hai, aku ini hanyalah seorang manusia sebagaimana kamu; sudahlah diltitahkan padaku, bahwa Tuhanmu ialah Tuhan yang satu"? Bukankah persaudaraan ini diperintahkan pula oleh ayat 13 surat Al Hujarat, yang bunyinya: "Hai manusia, sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami jadikan engkau bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, supaya kamu berkenal-kenalan satu sama lain"? Bukankah persaudaraan ini "tidak tinggal sebagai persaudaraan di dalam teori saja", dan oleh orang-orang yang bukan Islam diaku pula adanya? Tidakkah sayang bila beberapa kaum Islamis memusuhi suatu pergerakan, yang anasir-anasirnya juga berbunyi "kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan"?

Hendaklah kaum Islam yang tak mau merapatkan diri dengan kaum Marxis, sama ingat bahwa pergerakannya itu, sebagaimana pergerakan Marxis, adalah suatu gaung atau kumandangnya jerit dan tangis rakyat Indonesia yang makin lama makin sempit kehidupannya, makin lama makin pahit rumah tangganya. Hendaklah kaum itu sama ingat, bahwa pergerakannya itu banyaklah bersesuaian cita-cita, banyaklah persamaan tuntutan-tuntutan dengan pergerakan Marxis. Hendaklah kaum itu mengambil teladan akan utusan kerajaan Islam Afganistan, yang —tatkala ia ditanyai oleh suatu suratkabar Marxis— telah menerangkan bahwa, walaupun beliau bukan seorang Marxis, beliau mengaku menjadi "sahabat yang sesungguh-sungguhnya" dari kaum Marxis, oleh karena beliau adalah suatu musuh yang hebat dari kapitalisme Eropa di Asia!

Sayang, sayanglah jikalau pergerakan Islam di Indonesia kita ini bermusuhan dengan pergerakan Marxis! Belum pernah di Indonesia kita ini ada pergerakan yang sesungguh-sungguhnya merupakan pergerakan rakyat, sebagaimana pergerakan Islam dan pergerakan Marxis! Belum pernah di negeri kita ini ada pergerakan yang begitu menggetar sampai ke dalam urat sumsumnya rakyat, sebagaimana pergerakan yang dua itu! Alangkah hebatnya jikalau dua pergerakan ini, dengan mana rakyat tidur dan dengan mana rakyat bangun, bersatu menjadi satu banjir yang sekuasa-kuasanya!

Bahagialah kaum pergerakan Islam yang insyaf dan mau akan persatuan. Bahagialah mereka, oleh karena merekalah yang sesungguh-sungguhnya menjalankan perintah-perintah agamanya!

Kaum Islam yang tidak mau akan persatuan, dan yang mengira bahwa sikapnya yang demikian itulah sikap yang benar, —wahai, moga-mogalah mereka itu bisa mempertanggungjawabkan sikapnya yang demikian itu di hadapan Tuhannya!

Marxisme!
Mendengar perkataan ini, maka tampak bayang-bayangan di penglihatan kita, gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat-pucat dan kurus badan, pakaian berkoyak-koyak. Tampak pada angan-angan kita, dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tadi —seorang ahli pikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebiasaannya— "mengingatkan kita pada pahlawan-pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Germania yang sakti dengan tiada terkalahkan, suatu manusia yang "geweldig" (hebat) yang dengan sesungguh-sungguhnya menjadi "grootmeester" (maha guru) pergerakan kaum buruh, yakni: Heinrich Karl Marx.

Dari muda sampai wafatnya, manusia yang hebat ini tiada henti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara dan bagaimana mereka itu pasti akan mendapat kemenangan; tiada kesal dan capainya ia berusaha dan bekerja untuk pembelaan itu: duduk di atas kursi, di muka meja tulisnya, begitulah ia dalam tahun 1883 menghembuskan nafasnya yang penghabisan.

Seolah-olah mendengarlah kita, di mana-mana negeri suaranya mendengung sebagai guntur, tatkala ia dalam tahun 1847 menulis seruannya: "Kaum buruh dari semua negeri, bersatulah!" Dan sesungguhnya! Riwayat dunia belumlah pernah menceritakan pendapat dari seorang manusia, yang begitu cepat masuknya ke dalam keyakinan satu golongan pergaulan hidup, sebagaimana pendapat kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan, dari ribuan menjadi laksaan, ketian, jutaan... begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya sukar dan berat untuk kaum yang pandai dan terang pikiran, tetapi "amatlah ia gampang dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara: kaum melarat pikiran yang berkeluh-kesah".

Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita mereka dapat tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya adalah suatu teriak perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kalipun mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan pula paham pertentangan golongan; paham klassenstrijd (pertentangan kelas), dan mengajarkan pula bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, ialah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap kaum "borjuasi", satu perlawanan yang tidak boleh tidak —musti— terjadi oleh karena adanya peraturan yang kapitalistis.

Walaupun pembaca semua tentunya sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx, maka berguna pulalah agaknya jikalau kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli pikir ini ialah:

ia mengadakan suatu pelajaran gerakan pemikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek);
ia membentangkan teori, bahwa harga barang sesungguhnya ditentukan oleh banyaknya "kerja" untuk membikin barang-barang itu, sehingga "kerja" ini ialah "wertbildende Substanz", dari barang-barang itu (arbeids-waardeleer);

ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde/riba);
ia mengadakan suatu pelajaran sejarah yang berdasarkan perikebendaan, yang mengajarkan bahwa "bukan budi-akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaan yang berhubungan dengan pergaulan hiduplah yang menentukan budi-akalnya" (materialistische geschiedenisopvatting);

ia mengadakan teori, bahwa oleh karena meerwaarde itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaalsaccumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaalscentralisatie), dan bahwa —oleh karena persaingan— perusahaan-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desakan-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan saja yang amat besarnya (kapitaalsconcentratie);
dan ia membangun teori, bahwa dalam aturan kemodalan ini nasib kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam hati yang makin lama makin sangat (Verelendungstheorie/Teori Pemiskinan ); teori-teori mana, karena kekurangan tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum mengetahuinya.
Meskipun musuh-musuhnya —di antaranya kaum anarkis— menyangkal jasa-jasa Marx yang kita sebutkan di atas ini, meskipun lebih dulu, dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui dengan cara historis-materialistis sudah mengatakan, bahwa riwayat itu "menetapkan kejadian-kejadiannya" sedang ilmu ekonomi "menerangkan sebab-apa kejadian-kejadian itu terjadi"; meskipun teori meerwaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli pikir seperti Sismondi, Thompson dan lain-lain; meskipun pula teori konsentrasi-modal atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya yang tak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuh-musuhnya yang tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; —meskipun begitu, maka tetaplah, bahwa stelsel (sistim)-nya Karl Marx itu mempunyai pengertian yang penting dalam sifat bagian-bagiannya. Tetaplah pula bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli pikir lain, Marx-lah yang —meski bahasanya itu untuk kaum "atasan" sangat berat dan sukarnya— dengan terang-benderang menguraikan teori-teori itu bagi kaum "tertindas dan sengsara yang melarat-pikiran" sehingga mengerti dengan terang-benderang. Dengan gampang saja, seperti suatu soal yang "sudah-mustinya-begitu", mereka lalu mengerti teorinya atas meerwaarde, lalu mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena ia tidak memberikan semua hasil pekerjaan padanya; mereka lalu mengerti, bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia tentang budi, akal, agama, dan lain-lainnya, —bahwa manusia itu er ist was er ist (lantas saja mengerti) bahwa kapitalisme itu akhirnya pastilah binasa, pastilah lenyap diganti oleh susunan pergaulan hidup yang lebih adil, —bahwa kaum "borjuasi" itu "sesungguhnya sedang menggali liang kuburnya sendiri".

Begitulah, teori-teori yang dalam dan berat itu masuk ke tulang sumsumnya kaum buruh di Eropa, masuk pula ke tulang sumsumnya kaum buruh di Amerika. Dan "tidaklah sebagai suatu hal yang ajaib, bahwa kepercayaan ini telah masuk dalam berjuta-juta hati dan tiada suatu kekuasaan juapun di muka bumi ini yang dapat mencabut lagi darinya". Sebagaimana tebaran benih yang ditiup angin ke mana-mana tempat, dan tumbuh pula di mana-mana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan bersulur; di mana-mana pula, maka kaum "borjuasi" sama menyiapkan diri dan berusaha membasmi tumbuh-tumbuhan "bahaya proletar" yang makin lama makin subur itu. Benih yang ditebarkan-tebarkan di Eropa, sebagian telah diterbangkan oleh taufan zaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur, hingga jatuh dan tumbuh di antara bukit-bukit dan gunung-gunung yang tersebar di segenap kepulauan "sabuk-zamrud", yang bernama Indonesia. Dengungnya nyanyian "Internasionale", yang dari hari ke hari menggetarkan udara Barat, sampai-kuatlah hebatnya bergaung dan berkumandang di udara Timur...

Pergerakan Marxistis di Indonesia ini, ingkarlah sifatnya kepada pergerakan yang berhaluan Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan yang berasas keislaman. Malah beberapa tahun yang lalu, keingkaran ini sudah menjadi suatu pertengkaran perselisihan paham dan pertengkaran sikap, menjadi suatu pertengkaran saudara, yang —sebagaimana sudah kita terangkan di muka— menyuramkan dan menggelapkan hati siapa saja yang mengutamakan perdamaian, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa saja yang mengerti, bahwa dalam pertengkaran yang demikian itulah letaknya kekalahan kita. Kuburkanlah nasionalisme, kuburkanlah politik cinta tanah air, dan lenyapkanlah politik keagamaan, —begitulah seakan-akan lagu perjuangan yang kita dengar. Sebab katanya: Bukankah Marx dan Engels telah mengatakan, bahwa "kaum buruh tak mempunyai tanah air"? Katanya: Bukankah dalam "Manifesto Komunis" ada tertulis, bahwa "komunisme melepaskan agama"? Katanya: Bukankah Bibel telah mengatakan, bahwa "bukanlah Allah yang membikin manusia, tetapi manusialah yang membikin-bikin tuhan"?

Dan sebaliknya! Pihak Nasionalis dan Islamis tak berhenti-henti pula mencaci-maki pihak Marxis, mencaci-maki pergerakan yang "bersekutuan" dengan orang asing, dan mencaci-maki pergerakan yang "ingkar" akan Tuhan. Mencaci pergerakan yang mengambil teladan akan negeri Rusia yang menurut pendapat mereka: asasnya sudah pailit dan terbukti tak dapat melaksanakan cita-citanya yang memang suatu utopi, bahkan mendatangkan "kalang-kabutnya negeri" dan bahaya kelaparan dan hawa penyakit yang mengorbankan nyawa kurang-lebih limabelas juta manusia, suatu jumlah yang lebih besar daripada jumlah sekalian manusia yang binasa dalam peperangan besar yang akhir itu.

Demikian dengan bertambahnya tuduh-menuduh atas dirinya masing-masing pemimpin, duduknya perselisihan beberapa tahun yang lalu: satu sama lain sudah salah mengerti dan saling tidak mengindahkan. Sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh. Marxis yang masih saja bermusuhan dengan pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti aliran zaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah berubah.

Sebaliknya, Nasionalis dan Islamis yang menunjuk-nunjuk akan "failliet" (kegagalan) Marxisme, dan yang menunjuk-nunjuk bencana kekalang-kabutan dan bencana-kelaparan yang telah terjadi oleh "practijk-nya" paham Marxisme, —mereka menunjukkan tak mengertinya atas paham Marxisme, dan tak mengertinya atas sebab terpelesetnya "practijk-nya" tadi. Sebab tidakkah Marxisme sendiri mengajarkan, bahwa sosialisme hanya bisa tercapai dengan sungguh-sungguh bilamana negeri-negeri yang besar-besar itu semuanya di-"sosialis"-kan?

Bukankah "kejadian" sekarang ini jauh berlainan daripada "voorwaarde" (syarat) untuk terkabulnya maksud Marxisme itu?

Untuk adilnya kita punya hukuman terhadap "practijknya" paham Marxisme, maka haruslah kita ingat, bahwa "failliet" dan "kalang-kabut"-nya negeri Rusia adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokade oleh semua negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh hantaman dan serangan empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagaimana Inggris, Prancis, dan jendral-jendral Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh propaganda anti, yang dilakukan oleh hampir semua surat kabar di seluruh dunia.

Dalam pandangan kita, maka musuh-musuhnya itu pula harus ikut bertanggungjawab atas matinya limabelas juta orang yang sakit dan kelaparan itu, dimana mereka menyokong penyerangan Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel dengan harta dan benda; dimana umpamanya negeri Inggris, yang membuang-buang berjuta-juta rupiah untuk menyokong penyerangan-penyerangan atas diri sahabatnya yang dulu itu, telah "mengotorkan nama Inggris di dunia dengan menolak memberi tiap-tiap bantuan pada kerja-penolongan" si sakit dan si lapar; dimana di Amerika, di Rumania, dan di Hongaria pada saat terjadinya bencana itu pula, karena terlalu banyaknya gandum, orang sudah memakai gandum untuk kayu bakar, sedang di negeri Rusia, orang-orang di distrik Samara makan daging anak-anaknya sendiri oleh karena laparnya.

Bahwa sesungguhnya, luhurlah sikap HG. Wells —penulis Inggris yang masyhur, seorang yang bukan Komunis— dimana ia dengan tak memihak siapapun, menulis bahwa, "umpamanya kaum Bolshevik tidak dirintang-rintangi, mereka barangkali bisa menyelesaikan suatu experiment yang maha-besar faedahnya bagi perikemanusiaan... Tetapi mereka dirintang-rintangi."

Kita yang bukan komunis pula, kitapun tak memihak siapa juga! Kita hanyalah memihak Persatuan-persatuan Indonesia, kepada persahabatan pergerakan kita semua!

Kita di atas menulis, bahwa taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan taktik Marxisme yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti kaum kebangsaan dan anti kaum keagamaan, maka sekarang —terutama di Asia— sudahlah begitu berubah, hingga kesengitan "anti" ini sudah berbalik menjadi persahabatan dan penyokongan. Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afganistan.

Adapun teori Marxisme sudah berubah pula. Memang seharusnya begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diubah, manakala zaman berubah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiri pun mengerti akan hal ini; mereka sendiri pun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perubahan paham atau perubahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup. Bandingkanlah pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti "Verelendung" sebagai yang dimaksudkan dalam "Manifesto Komunis" dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam "Das Kapital", —maka segeralah tampak pada kita perubahan paham itu.

Bahwasannya: benarlah pendapat sosial-demokrat Emile Vandervelde, yang mengatakan bahwa "revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya".

Perubahan taktik dan teori itulah yang menjadi sebab, sehingga kaum Marxis yang "muda" —baik "sabar" maupun yang "keras"— terutama di Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang sungguh-sungguh. Mereka mengerti, bahwa di negeri-negeri Asia, dimana belum ada kaum proletar dalam arti sebagaimana di Eropah atau Amerika, pergerakannya harus diubah sifatnya menurut pergaulan hidup Asia pula. Mereka mengerti, bahwa pergerakan Marxistis di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan Marxis di Eropah atau Amerika, dan haruslah "bekerja bersama-sama dengan partai-partai yang "klein-burgerlijk" (borjuis kecil), karena di sini yang pertama-tama perlu bukanlah perebutan kekuasaan tetapi ialah perlawanan terhadap feodalisme.

Supaya kaum buruh di negeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjadi pergerakan yang sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negeri-negeri itu merdeka, perlu sekali kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional). "Nationale autonomie adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjuangan proletar, karena hal itu perlu sekali bagi politiknya," begitulah Otto Bauer berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional menjadi hal yang pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan pergerakan buruh di Asia itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia wajib bekerja bersama-sama dan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasional juga, dengan tidak menghitung-hitung, di atas asas apakah pergerakan-pergerakan itu dijalankan. Itulah sebabnya, maka pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis mengambil otonomi (kemerdekaan) sebagai maksudnya pula.

Kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme di hati sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia kebanyakan ialah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat "bawah" terhadap rakyat yang di "atas"-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan nationale machtspolitiek (kekuasaan politik nasional) dari rakyat sendiri. Mereka harus ingat, bahwa rasa internasionalisme di Indonesia niscaya tidak begitu tebal sebagaimana di Eropah, oleh karena kaum buruh di Indonesia menerima paham internasionalisme pertama-tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa Indonesia itu oleh "gehechtheid" (keterikatan) pada negerinya, dan pula oleh kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja di lain-lain negeri, dengan itikad: "ubi bene, ibi patria: di mana aturan kerja bagus, di situlah tanah air saya", —sebagaimana kaum buruh di Eropah yang menjadi tidak tetap rumah dan tidak tetap tanah air oleh karenanya.

Dan jikalau ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalistis adanya. Niscaya mereka ingat pula akan teladan-teladan pemimpin-pemimpin Marxis di lain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis di negeri Tiongkok, yang dengan ridla hati sama menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya.

Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis bermusuhan dan berbentusan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. Tak pantas mereka memerangi pergerakan, yang —sebagaimana sudah kita uraikan di atas— dengan seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga —yang dus anti-meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan seterang-terangnya mengejar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan; dengan seterang-terangnya mengejar nationale autonomie. Tak pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme baru terhadap agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme kuno. Marxisme baru adalah berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam "Manifesto Komunis" mengatakan, bahwa agama itu harus di-"abschaffen" atau dilepaskan adanya.

Kita harus membedakan Historis-Materialisme dari Wijsgerijg-Materialisme (Filsafat Materialisme); kita harus memperingatkan, bahwa maksud Historis-Materialisme itu berlainan maksudnya dari Wijsgerig-Materialisme tadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah hubungan antara pikiran (denken) dengan benda (materie), bagaimanakah pikiran itu terjadi; sedangkan Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah pemikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini; wijsgerig-materialisme menanyakan adanya (wezen) pikiran itu; historis-materialisme menanyakan sebab-sebabnya pemikiran itu berubah; wijsgerig-materialisme mencari asalnya pikiran, historis-materialisme mempelajari tumbuhnya pemikiran; wijsgerig-materialisme adalah wijsgerig, historis-materialisme adalah tentang sejarah.

Dua paham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti-henti mengusahakan kekeliruan paham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxis ialah kaum yang mengajarkan bahwa pikiran hanyalah suatu pengeluaran saja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi.

Itulah asalnya kebencian kaum Marxis Eropah terhadap kaum gereja, asalnya sikap perlawanan kaum Marxis Eropah terhadap kaum agama. Dan perlawanan ini bertambah sengitnya, bertambah kebenciannya, dimana kaum gereja memakai-makai agama untuk melindung-lindungi kapitalisme, memakai-makai agamanya untuk membela keperluan kaum atasan, memakai-makai agamanya untuk menjalankan politik yang reaksioner sekali.

Adapun kebencian pada kaum agama yang timbulnya dari kaum gereja yang reaksioner itu, oleh kaum Marxis disamaratakan pula kepada kaum agama Islam, yang berlainan sekali sikap dan sifatnya dengan kaum gereja di Eropah. Di sini agama Islam adalah agama kaum yang tak merdeka; di sini agama Islam adalah agama kaum "bawah". Sedang kaum yang memeluk agama Kristen adalah kaum yang bebas; di sana agama Kristen adalah agama kaum "atas". Tak boleh tidak, suatu agama yang anti-kapitalisme, agama kaum yang tak merdeka, agama kaum "bawah" ini; agama yang menyuruh mencari kebebasan, agama yang melarang menjadi kaum "bawahan", —agama yang demikian itu pastilah menimbulkan sikap yang tidak reaksioner, dan pastilah menimbulkan suatu perjuangan yang dalam beberapa bagian sesuai dengan perjuangan Marxisme itu.

Karenanya, jikalau kaum Marxis ingat akan perbedaan kaum gereja di Eropah dengan kaum Islam di Indonesia ini, maka niscaya mereka mengajukan tangannya, sambil berkata: "Saudara, marilah kita bersatu!" Jikalau mereka menghargai akan contoh-contoh saudara-saudaranya seasas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi di lain-lain negeri, maka niscayalah mereka mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram hati boleh berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi.

Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tadi itu, dengan memperlihatkan segala perubahan teori asasnya, dengan menjalankan segala perubahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menyebutkan diri pembela rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya rakyat.

Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot teori dan kuno taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh —Marxis yang demikian itu janganlah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun rakyat adanya!

Tulisan kita hampir habis.

Dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kita mencoba membuktikan, bahwa paham Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme di negeri jajahan, pada beberapa bagian melengkapi satu sama lain. Dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita menunjukkan teladan pemimpin-pemimpin di lain negeri. Tetapi kita yakin, bahwa kita dengan terang-benderang menunjukkan kemauan kita menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya insyaf, bahwa persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan. Dan kita yakin pula, bahwa, walaupun pikiran kita tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing pihak, ia menunjukkan bahwa persatuan itu bisa tercapai.

Sekarang tinggal menetapkan saja organisasinya, bagaimana persatuan itu bisa berdiri; tinggal mencari organisatornya saja, yang menjadi Mahatma Persatuan itu. Apakah Ibu Indonesia, yang mempunyai putera-putera sebagaimana Umar Said Cokroaminoto, Cipto Mangunkusumo dan Semaun, —apakah Ibu Indonesia itu tak mempunyai pula Putera yang bisa menjadi Kampiun Persatuan itu?

Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya persatuan. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-masing pihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula.

Dan jikalau kita semua insyaf, bahwa letaknya kekuatan hidup tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insyaf, bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf, bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya "via dolorosa" (jalan kesengsaraan); jikalau kita insyaf, bahwa Roh Rakyat kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju Sinar yang Satu, yang berada di tengah-tengah kegelapan-gulita yang mengelilingi kita ini, —maka pastilah Persatuan itu terjadi, dan pastilah Sinar itu tercapai juga.

Sebab Sinar itu dekat!



"Suluh Indonesia Muda", 1926

sumber http://brecs.multiply.com/tag/sukarno

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?