Tidak bisa dipastikan apakah penyair Chairil Anwar ingin bercerita tentang pembantaian yang terjadi di Rawagede di dalam puisi berjudul Karawang-Bekasi, ataukah bukan. Namun yang jelas, tulang-tulang manusia memang berserakan di Rawagede, Karawang, setelah Belanda membantai penduduknya pada 9 Desember 1947.
Pada masa revolusi fisik, Rawagede adalah satu daerah yang dijadikan sebagai suatu markas gabungan oleh para pejuang kemerdekaan. Laskar-laskar seperti Barisan Banteng, Macan Citarum, Hisbullah, SP 88, dan sebagainya, semuanya mempunyai markas di sini.
Rawagede dipilih karena letaknya yang strategis, dekat dengan stasiun kereta api yang menghubungkan Karawang dengan Rengasdengklok. Selain itu, penduduk di Rawagede ini memang sudah dikenal selalu siap membantu logistik apa saja yang dibutuhkan oleh para pejuang.
Pada tanggal 5 Oktober 1946, laskar-laskar rakyat kemudian bergabung membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR inilah yang nantinya akan menjadi cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ketika itu, ada seorang tentara Indonesia yang bernama Kapten TNI Lukas Kustario. Dia adalah Komandan Resimen Cikampek, atau yang dikenal juga sebagai Resimen 6. Lukas sudah sangat dikenal sebagai orang yang melakukan perlawanan yang sangat luar biasa kepada Belanda. Serangan-serangannya kepada tentara Belanda sering sangat mematikan, seperti di Pabuaran, Subang, dan sebagainya.
Pada 8 Desember 1947, Lukas dan pasukannya mulai masuk ke Rawagede. Namun, ternyata keberadaan Lukas di sana diketahui oleh mata-mata Belanda. Langsung saja mata-mata itu melapor ke markas tentara Belanda yang ada di Jakarta. Pada hari yang sama, keluarlah perintah dari Jakarta, yang mengatakan bahwa Rawagede harus dibumihanguskan.
Namun, ada seorang lurah di Jakarta yang mengetahui perintah pembumihangusan tersebut sebelum tentara Belanda mulai menjalankan rencananya. Lurah ini pun segera memberitahukannya kepada Lurah Rawagede.
Mengetahui hal itu, Lurah Rawagede segera mengeluarkan perintah untuk membongkar jembatan yang ada di daerah Cilembu dan Palawad. Kedua jembatan ini merupakan akses masuk menuju Rawagede. Sementara itu, pasukan Lukas sudah meninggalkan Rawagede pada pukul 15.00 Wib. Mereka berencana akan menyerang markas tentara Belanda yang ada di Cililitan, Jakarta.
Pembantaian Dimulai
”Pada pukul 07.00 sampai 11.00 malam, turun hujan lebat,” kata Sukarman, seorang saksi mata yang ayahnya juga menjadi salah seorang korban pembantaian, meskipun tidak ikut tewas. Ternyata, setelah hujan berhenti, Belanda berhasil masuk dari utara dengan menyusuri jalan kereta api.
Pagi harinya, tanpa menyadari bahwa Belanda sudah masuk ke Rawagede, penduduk tetap bekerja sebagaimana biasanya. Pukul 04.00 subuh, mereka sudah mulai membawa bajak dan kerbau ke sawah.
Setelah berada di sawah, barulah mereka menyadari bahwa tentara Belanda sudah masuk Rawagede. Selanjutnya, sebagian dari mereka ada yang segera lari, dan ada juga yang kemudian memberitahukannya kepada warga yang lain.
Warga desa yang merupakan pejuang pun ada yang langsung berlari meninggalkan desa dan ada juga yang tetap di desa, tetapi bersembunyi. Namun, penduduk sipil yang tidak tahu apa-apa tetap tinggal di rumahnya, dan mereka pun dipanggil oleh tentara Belanda.
Setelah itu, semua penduduk desa yang berusia di atas 15 tahun mulai dikumpulkan dan ditanyai satu per satu. ”Belanda bertanya tentang keberadaan Lukas Kustario, dan semua penduduk desa menjawabnya tidak tahu,” kata Sukarman.
Penduduk desa itu pun dibagi menjadi 9 kelompok. Kesembilan kelompok itu tetap menjawab tidak tahu semua, meskipun mereka tahu bahwa pasukan Lukas sudah meninggalkan Rawagede sejak sore sebelumnya.
Akhirnya, kesembilan kelompok itu pun dibantai satu per satu. Mereka yang cacat atau sakit, termasuk juga yang usianya masih sekitar 14–15 tahun, dikeluarkan dari kelompok, dan tidak ikut dibunuh.
Para Pejuang Ditemukan
Pada siang hari, persembunyian para pejuang di Rawagede ditemukan. ”Langsung saja semua pejuang yang ada di sana dieksekusi dalam jarak 7–10 meter,” kata Sukarman.
Salah seorang pejuang yang bernama Surya Suhanda berhasil lari dari pembantaian itu. Dia berlari dan ketika melompati sebuah pagar pembatas desa, tertembak di sebelah pinggulnya.
Setelah tiba di sebuah kali, ternyata keberadaan Surya tidak terlihat oleh tentara Belanda yang mengejarnya. Tentara Belanda mengira bahwa di sekitar kali itu pasti ada banyak pejuang Indonesia.
Langsung saja mereka memberondongkan peluru ke dalam air dan ke arah semak-semak yang ada di sekitar kali. Benar saja, berondongan peluru itu pun membantai mereka yang bersembunyi di sekitar kali.
Namun, ada dua orang yang ternyata lolos dari berondongan peluru itu, yaitu Saih dan Kadi. Setelah merasa sudah tidak ada lagi tentara Belanda, keduanya pun segera keluar dari persembunyiannya di dalam kali.
Malangnya, begitu keluar dari persembunyiannya, mereka berdua langsung tertangkap. Kadi langsung dibunuh, sedangkan Saih disuruh untuk mengumpulkan keluarganya.
Ada 14 orang yang berhasil dikumpulkan Saih, termasuk orang tua dan anaknya. Semuanya akhirnya ditembak dari belakang karena diketahui sebagai anggota Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Saih terkena tembakan, tetapi tidak sampai meninggal dunia. Namun, dia berpura-pura mati, sehingga bisa lolos dari pembantaian itu dan masih hidup hingga sekarang.
Pada malam harinya, Surya Suhanda mulai mengomando semua pejuang yang bisa lolos dari pembantaian itu untuk lari. Sementara itu, wanita-wanita yang suaminya dibunuh mulai mencari-cari suaminya.
Karena hanya tinggal kaum wanita, mereka membutuhkan waktu sampai 3 hari untuk bisa mengumpulkan semua korban dan bisa menguburkannya. Yang diketahui, ada 431 korban yang tewas di dalam pembantaian tersebut.
Namun, sebenarnya masih banyak lagi yang mayatnya tidak ditemukan. ”Mungkin mereka inilah seperti yang disebut Chairil Anwar, hanya tulang-tulang yang berserakan,” kata Sukarman.
Memang belum bisa dipastikan siapakah yang dimaksud Chairil Anwar sebagai ”tulang-tulang berserakan” di dalam puisinya yang berjudul Karawang-Bekasi. Namun, Sukarman sendiri mengatakan bahwa Chairil Anwar memang pernah tinggal di daerah Karawang, sehingga kemungkinan besar bahwa pembantaian Rawagede inilah yang ingin diceritakannya di dalam puisi tersebut.
Ada Kecemburuan
Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) sedang mempelajari kesaksian dari para janda korban pembantaian di Rawagede itu, dan juga kesaksian dari Saih. Rencananya, pada September nanti, KUKB akan mulai mengajukan tuntutannya kepada hukum internasional atas kejahatan perang yang telah dilakukan oleh tentara Belanda itu.
Dalam investigasi yang dilakukan Sabtu (16/8) lalu, KUKB juga telah menyerahkan bantuan sejumlah uang dan pakaian kepada para janda yang berjumlah 9 orang, dan juga kepada Saih. ”Namun, sebenarnya masih ada sekitar 181 orang lagi ahli waris dari korban pembantaian di Rawagede itu,” kata Sukarman.
Menurut Sukarman, semua ahli waris seharusnya mendapat perlakuan yang sama. Perlakuan yang spesial kepada 9 janda dan Saih justru bisa menimbulkan kecemburuan terhadap keluarga korban-korban yang lainnya.
Namun, pengacara yang menangani tuntutan ini, GW Pulles, dari Kantor Pengacara Bohler Franken Koppe Wijngaarden, Amsterdam, Belanda, mengatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa kesembilan janda dan Saih diberlakukan secara spesial. Menurut dia, mereka inilah yang langsung menyaksikan pembantaian pada 9 Desember 1947 itu.
”Selain itu, kami juga perlu memastikan lagi kalau memang ada keluarga korban yang lainnya,” kata Pulles. Untuk memastikannya itu, Pulles mengatakan memerlukan waktu yang lebih lama dan dipastikan akan menelan biaya yang lebih besar lagi.
Bila kesaksian 9 janda dan Saih bisa diselesaikan, Pulles juga berjanji akan meneruskan dengan tuntutan dari para saksi dan korban yang lain. Karenanya, menurut dia, tidak relevan untuk membicarakan tentang kecemburuan yang lainnya, karena kalau tuntutan ini berhasil, yang akan merasakannya adalah seluruh warga Rawagede sendiri. (dwin gideon)
sumber Sinar Harapan 2008
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar