SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

168 Jenazah Pejuang Dwikora di Luar Negeri

| | | 0 komentar
Ketua Ikatan Keluarga Eks Tawanan Pejuang Dwikora, Kolonel Marinir (Purn) W Siswanto mengungkapkan, saat ini tercatat 168 jenazah pejuang Dwikora yang masih berada di luar negeri seperti Singapura dan Malaysia.

Ke-168 jenazah tersebut adalah dari TNI Angkatan Darat (tiga orang), Korps Marinir TNI Angkatan Laut (AL) ( 200 orang) , dan TNI Angkatan Udara (AU) (91 orang), Polri 33 orang serta 19 orang sukarelawan, katanya, usai peresmian Monumen Dwikora dan Trikora oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, Kamis.

Siswanto mengungkapkan, upaya untuk membawa ke 168 jenazah tersebut antara lain dengan membentuk tim investigasi pada 1996 namun dibekukan, karena takut berpengaruh pada hubungan Indonesia-Malaysia.

"Pada 2003, Kami telah pula mengajukan kepada Presiden RI kala itu Megawati Soekarnoputri, namun juga tidak membuahkan hasil. Begitu pun ketika kami meminta bantuan kepada DPR RI," katanya.

Ia menambahkan, ke-168 jenazah itu juga terdapat di wilayah Kalimantan Utara, termasuk satu Hercules yang hilang di laut.

Karena itu, pihaknya meminta agar pemerintah dapat membawa pulang ke-168 jenazah itu ke Tanah Air dan dimakamkan dengan layak di Taman Makam Pahlawan (TMP).

Monumen Dwikora merupakan simbol perlawanan Indonesia yang kala itu dipimpin Presiden Soekarno terhadap pembentukan Federasi Malaysia untuk mempersatukan tanah bekas jajahan Inggris di seluruh Asia Tenggara.

Pemerintah Indonesia menentang rencana itu karena bertentangan dengan politik Indonesia yang antikolonialisme dan imperialisme dan secara prosedur rencana pembentukan itu akan membahayakan revolusi Indonesia.

Oleh sebab itu, pada 17 September 1963 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Selanjutnya, pada 3 Mei 1964 dalam apel sukarelawan Presiden Soekarno mencanangkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya "Perhebat Rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, Brunei untuk Membubarkan Negara Boneka Malaysia".
sumber antara

Mengenal Kembali Bung Karno Lewat Moskow

| | | 0 komentar
Nama besar Bung Karno mempunyai daya tarik luar biasa tidak hanya di tanah air, namun juga di kalangan masyarakat internasional. Sejarah kehidupan beliau yang merupakan cerminan lika?liku perjuangan panjang rakyat Indonesia di bawah pimpinannya untuk merebut kemerdekaan dan mendirikan NKRI yang berdasarkan Pancasila, untuk membentuk sebuah masyarakat adil makmur, yang sampai sekarang masih tetap jauh dari tujuan, selalu menjadi pemikat untuk tetap mengikuti setiap tulisan mengenai Bung Karno.

Orang masih saja ingin lebih tahu, apakah yang sebenarnya dicita?citakan oleh beliau yang terkandung dalam seluruh ajaran?ajarannya yang dikenal sebagai Marhaenisme itu, dan kenapa cita?cita mulia yang benar?benar diabdikan kepada bangsa yang besar ini menemui kegagalan yang menyedihkan.

Tidak kebetulan, karya semacam ini muncul hampir di seluruh penjuru dunia di Barat, Timur, Utara, dan Selatan. Hampir di seluruh negeri yang mempunyai institut penelitian orientalistik pasti pernah menerbitkan buku?buku kajian mengenai Bung Karno. Salah satu contohnya adalah karya penulis?penulis Soviet, Prof. Dr. Kapitsa dan Dr. Maletin: Soekarno: Biografi Politik.

Rusia sekarang, ataupun pada zaman USSR (Union of Soviet Socialist Republics) dulu dengan pusat?pusat penelitian masalah¬masalah ketimuran yang sangat memadai, merupakan salah satu negara yang mempunyai perhatian besar kepada Indonesia, khususnya juga kepada Bung Karno. Terdapat puluhan monografi dari para spesialis Soviet atau Rusia mengenai Indonesia.

Dalam buku?buku, khususnya yang menyangkut masalah sosial?politik ataupun sejarah Indonesia, bisa dipastikan bahwa peranan Bung Karno selalu mendapat sorotan yang dominan. Logika kehidupan memang begitu, berbicara tentang politik ataupun sejarah Indonesia, tidak mungkin tidak menyinggung peran dari orang yang telah memberi warna khas kepada negerinya, orang yang menjadi pemimpin Indonesia sejak masa perjuangan pembebasan nasional sampai kemudian dipaksa mundur dari kehidupan negara yang sepanjang kehidupan diperjuangkannya, diproklamasikannya, dipertahankannya, dan dibangunnya.

Adalah sangat disayangkan, bahwa berbeda dengan karya¬karya para ahli dunia Barat, karya?karya dari para Indonesianis dari Rusia ini, belum bisa terjangkau oleh para pembaca di Indonesia. Barrier bahasa masih menjadi penghambat, sedang pada zaman “orde baru” berlaku pula larangan beredar bagi tulisan bernuansa sosialis.

Padahal karya?karya jenis ini, sama juga dengan yang keluar di Barat, paling sedikit bisa menjadi sumber, pelengkap ataupun bahan perbandingan dalam berbagai penelitian, bisa menjadi dasar untuk menilai wacana dari penulisnya atau bahkan sikap negeri tertentu kepada Indonesia dan para pemimpinnya.

Ini bisa dilacak, khususnya dalam karya?karya pada zaman Soviet yang sering mencerminkan posisi PKUS (Partai Komunis Uni Soviet), partai yang berkuasa di negeri itu pada waktu lalu, kepada Indonesia, kepada Soekarno.

Dengan menelusurinya, kita akan bisa mengukur barometer hubungan kedua negara dari satu dekade ke dasawarsa lain. Kecuali itu sudah pasti bahwa karya?karya semacam ini akan bisa menambah khazanah perpustakaan mengenai Indonesia, tentang Bung Karno dan juga sejarah hubungan antar dua negara besar ini.

Penerjemahan buku Soekarno: Politicheskaya Biografiya dimaksudkan untuk mencoba memberikan sedikit iuran untuk melengkapi kekosongan tersebut di atas. Penerjemah sengaja memilih buku ini sebab isinya layak mewakili posisi para penulis Soviet pada waktu itu tentang Bung Karno, tentang Indonesia.

Salah seorang penulisnya, Prof. Kapitsa M. S., pernah menduduki jabatan tinggi di Deparlu USSR sebagai salah seorang deputi menlu yang bertanggung jawab dalam masalah?masalah Cina dan Asia Tenggara, sedang penulis kedua, Dr. Maletin N. P., adalah seorang peneliti yang serius mengenai Indonesia.

Masyarakat kita, di samping sumber negeri sendiri, sudah banyak mengenal buku?buku mengenai Bung Karno dari karya penulis?penulis Barat dalam bahasa asli: Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, ataupun dalam terjemahannya. Tetapi tidak satu pun karya jenis ini keluaran negeri sosialis yang dikenal di Indonesia kecuali oleh mereka?mereka yang menguasai bahasanya.

Menjadi sangat wajar bagi mereka yang melakukan penelitian mengenai Bung Karno dalam kaitannya dengan sejarah Indonesia, bagi mereka yang suka membaca tentang Bung Karno, untuk mengetahui apa yang ditulis oleh orang?orang dari negeri “tirai besi” mengenai Soekarno, mengenai Indonesia. Buku ini adalah biografi Bung Karno terbitan negeri sosialis yang pertama kali muncul di Indonesia dalam terjemahan bahasa kita.

Buku ini ditulis hampir 30 tahun lalu, dalam tahun 1980 pada zaman “orde baru” masih bercokol tegar di Indonesia, sedang sosialisme lagi jaya?jayanya di Rusia.

Sudah pasti bahwa hubungan politik antara USSR dan Indonesia pada waktu itu memberikan warna tertentu dalam penganalisaan masalah. Walaupun demikian, kita akan melihat bahwa jalur ilmiah di dalamnya masih dominan kalau dibandingkan dengan kepentingan?kepentingan politik yang temporal pragmatis. Umur buku ini pun tidak mengurangi aktualitas masalah?masalah yang dibahas.

Melihat “Daftar Isi”, kita menjadi tahu pendekatan yang dipakai oleh para penulis. Mereka mengangkat riwayat Bung Karno berdasar sumber?sumber dari Rusia, Barat, Indonesia, termasuk karya Bung Karno sendiri.

Di sini bisa disimak perkembangan Kusno—“Soekarno kecil” menjadi Bung Karno—“singa podium”, Bung Karno pemimpin muda gerakan politik pembebasan nasional, Bung Karno ideolog dan pendiri PNI, Bung Karno pemimpin perjuangan untuk Indonesia Merdeka, Bung Karno pencipta Marhaenisme dan “demokrasi terpimpin”, Bung Karno yang pada akhir kariernya praktis sebagai seorang profesional?revolusioner berjuang sendirian menghadapi keroyokan “lawan?lawan politik lamanya” yang memunculkan “orba”, sampai ke Bung Karno warga negara biasa yang diperlakukan sangat “luar biasa” oleh penguasa baru.

Akan kelihatan bagaimana para penulis sangat bersimpati kepada perjuangan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Dipaparkan dengan panjang?lebar, peranan Bung Karno dalam membawa bangsanya menuju Indonesia merdeka.

Karya Bung Karno Indonesia Menggugat, Mencapai Indonesia Merdeka, dijadikan acuan untuk menilai kebenaran Bung Karno dalam strategi perjuangannya melawan kolonialisme Belanda. Soekarno dengan tepat dan berani telah menggunakan pengadilan atas dirinya untuk membongkar kejahatan kolonialisme yang menindas rakyat?rakyat terjajah, dan buku ini telah dinilai “menjadi dokumen yang sangat penting dalam menelanjangi kolonialisme”.

Membaca kembali pengalaman Bung Karno di penjara Sukamiskin pada tahun 30?an secara otomatis mengajak kita untuk membandingkan keadaan Bung Karno 30 tahun kemudian, ketika ia sampai wafatnya menjadi tahanan rumah rezim bangsa sendiri, saudara?saudara sebangsa yang selalu diajaknya untuk bersatu dan bersatu…, tetapi telah memperlakukannya dengan kejam di luar perikemanusiaan.

Berbeda dengan analisa?analisa Barat, khususnya dari Belanda, yang menuduh Soekarno berkolaborasi dengan Jepang, para penulis Soviet ini mengerti dengan baik taktik Bung Karno dalam menggunakan kekuatan balatentara Jepang untuk mengenyahkan penjajah Belanda dari bumi Indonesia.

Pengalaman sejarah Rusia penuh dengan contoh sejenis. Ditunjukkan bagaimana Bung Karno memperjuangkan taktik ini dalam situasi yang mahasulit. Memang taktik ini merupakan hasil ketajaman analisa dari Bung Karno dalam “meramalkan” datangnya bentrokan antara imperialisme Barat dengan imperialisme Kuning, yang telah ditulisnya jauh sebelum Perang Pasifik meledak.

Para penulis memuji dan membenarkan taktik Bung Karno dalam menggunakan kekuatan balatentara Jepang untuk memintas jalan ke arah kemerdekaan. Mereka mahfum bahwa bagi Soekarno, imperialisme putih maupun imperialisme kuning adalah sama jahatnya. Bung Karno bukan seorang kolaborator!

Akan Anda jumpai perbedaan konsepsi dari berbagai aliran politik Indonesia dalam memperjuangkan cita?citanya. Diutarakan misalnya adanya friksi?friksi antara Bung Karno dengan Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan lain?lainnya. Dilukiskan usaha Bung Karno untuk mempersatukan seluruh kekuatan politik untuk menghadapi musuh utama: kaum penjajah Belanda demi untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Soekarno berhasil menyatukan seluruh kekuatan anti?kolonial di negeri ini dan dengan demikian telah memungkinkan rakyatnya merebut kemerdekaan pada tahun 1945. Konsep persatuan ini masih tetap dipertahankan oleh Bung Karno manakala jalannya Revolusi Indonesia, menurut para penulis, sudah menuntut harus memilih dengan kekuatan mana bisa berjalan terus untuk mencapai “Sosialisme Indonesia”, dan kekuatan?kekuatan mana yang sudah harus ditinggalkan.

Keterikatan Bung Karno untuk tetap mempersatukan kekuatan yang saling bertentangan telah menyebabkan konsepsinya mengalami kegagalan dan telah bermuara kepada suatu tragedi nasional dan tragedi Soekarno pribadi. Para penulis menjelaskan masalah ini dengan latar belakang teori perjuangan kelas, suatu yang wajar bagi yang beraliran komunis.

Para penulis sangat positif menanggapi Pancasila yang untuk pertama kalinya bergema dalam pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945. Pada dasarnya, prinsip?prinsip Pancasila dinilai sebagai sebuah program perjuangan progresif anti?kolonial dan anti-imperialis, yang telah mendasari perjuangan untuk pembentukan sebuah republik yang merdeka dan demokratis.

Ideologi ini telah menjawab kehendak masyarakat, yaitu dicapainya kemerdekaan, pembebasan dari penjajahan, dicapainya persamaan hak dengan negara?negara lain dan ditegakkannya kedaulatan nasional. Di sinilah nilai sejarahnya yang penting dalam perjuangan pembebasan nasional rakyat Indonesia.

Dalam situasi yang mahasulit, Soekarno—Hatta telah melakukan apa yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia, memproklamasikan kemerdekaannya. Yang diingatkan secara khusus adalah bahwa para pemimpin pemuda telah meminta, agar supaya Soekarno yang memproklamasikan kemerdekaan, karena mengerti, bahwa di negeri ini tidak ada pemimpin lain yang memiliki sebegitu besar otoritas di kalangan massa.

Tidak kurang menarik lukisan peristiwa yang berkaitan dengan hari?hari pertama kemerdekaan. Ini tidak lepas dari pengaruh Perang Dingin yang mulai bersifat terbuka antara Sekutu (AS dan kerabatnya) dengan USSR. Ditunjukkan sikap Sekutu, khususnya Inggris dan AS yang mendukung Belanda untuk kembali menjajah Indonesia, dukungan mereka kepada aksi “polisionil” I dan II.

Tidak ketinggalan ditulis solidaritas dari USSR dan negara sosialis lain kepada kemerdekaan Indonesia khususnya dalam bidang diplomatik. Perjuangan mereka di PBB dikupas tidak secara mendetail tapi cukup menunjukkan dua posisi yang bertentangan antara Sekutu dan USSR, di mana pihak Sekutu selalu mengganjal usul?usul USSR di DK PBB yang membela Indonesia, sebagai akibatnya resolusi DK PBB mengenai agresi Belanda bersifat setengah?setengah, tidak sepenuhnya menguntungkan Indonesia. Penelitian lebih lanjut bisa menunjukkan siapa yang benar?benar mendukung RI pada waktu itu.

Dengan simpati diikuti proses perjuangan, rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Pembubaran sistem federal yang dipaksakan oleh Belanda telah menjadi tugas nasional yang menyatukan seluruh golongan sosial dan lapisan masyarakat Indonesia yang patriotik.

Soekarno yang tidak henti?hentinya menyerukan untuk dibentuknya sebuah negara kesatuan, telah langsung secara aktif ikut mematangkan proses ini. Gerakan yang sangat luas dari seluruh bangsa demi untuk membentuk negara kesatuan telah memungkinkan dengan cepat, tanpa kerugian besar, untuk menghancurkan federalisme.

Telah diangkat kembali peristiwa yang berkaitan dengan usaha coup d’etat dari perwira?perwira AD tahun 1952. Kalau mengingat demonstrasi?demonstrasi yang dikerjakan oleh para mahasiswa di Jakarta pada saat?saat menjatuhkan Presiden Soekarno tahun?tahun 1966—1968, maka akan kelihatan sekali persamaan aksi?aksinya. Skenarionya seolah?olah dibikin oleh grup yang itu?itu juga.

Inilah yang digambarkan oleh para penulis mengenai sekelumit peristiwa tahun 1952 itu. “Dengan cepat di lapangan di depan gedung parlemen telah berkumpul para demonstran. Sebagian dari mereka berdatangan dengan truk?truk militer. Kedatangan para demonstran ini segera diikuti oleh pasukan militer.

Ibu kota menjadi terkucilkan dari daerah?daerah lain: hubungan telepon dan telegraf putus, keberangkatan pesawat?pesawat terbang dan kapal?kapal ditangguhkan. Kota ini telah berada di bawah kontrol tank?tank militer.” Kemudian akan terlihat bahwa, tuntutan yang diajukan oleh para perwira AD yang menghadap presiden sama dengan apa yang dituntut oleh para demonstran “sipil”.

Perkembangan politik yang melatarbelakangi munculnya “demokrasi terpimpin” merupakan bagian utama dari buku ini. Banyak kritik?kritik yang pasti membikin telinga para pengagum Bung Karno menjadi panas. Namun, setiap ilmu pengetahuan memang menuntut keterbukaan, kelapang?dadaan dan kepala dingin.

Setiap konsepsi apa pun adanya selalu harus terbuka kepada kritik pihak lain, baik kawan maupun lawan. Kritik yang benar akan berguna untuk memperbaiki kesalahan, demi kelanjutan atau kehidupan ajaran di masa depan.

Sedang kritik?kritik yang tidak benar pasti akan hilang sendiri seperti angin lalu, sebab seperti Bung Karno sendiri sering mengatakan: sejarahlah yang akan memberikan penilaian akhir. Dan semua ini merupakan tantangan bagi para pengagum ataupun penganut ajarannya untuk lebih banyak belajar lagi, mendalami lagi ajaran?ajaran Bung Karno.

Kritik pedas telah diajukan kepada konsepsi Bung Karno tentang demokrasi terpimpin, di mana dinilai bahwa Bung Karno melahirkan konsepsinya terutama adalah untuk memperkuat “rezim otoriternya”. Ini merupakan penilaian dari penulis?penulis komunis, yang bertolak dari keyakinan mereka, bahwa sosialisme hanya ada satu yaitu yang berdasar atas Marxisme?Leninisme.

Tanpa itu, ajaran?ajaran sosialisme lain dianggap “eklektis”, “subjektif”, “tidak ilmiah”, “otokratis”, dan lain sebagainya. Kadang?kadang konsep demokrasi terpimpin dari Bung Karno, oleh para kritisi dipisahkan dari konteks keseluruhan ajarannya, dan yang lebih penting lagi dari konteks situasi krisis sosial?politik di Indonesia pada saat itu.

Lepas dari itu semua, tidak bisa diingkari banyaknya faktor?faktor positif yang telah diciptakan oleh apa yang mereka sebut “rezim demokrasi terpimpin”. Sebab memang demokrasi terpimpin merupakan sebuah konsepsi yang progresif, yang mencoba mencari jalan menuju masyarakat adil makmur, yang bebas dari penghisapan manusia oleh manusia lainnya.

Sebagai faktor positif dari “demokrasi terpimpin”, telah ditulis bahwa ia dijalankan bersamaan dengan aksi?aksi anti?kolonialisme, anti?imperialisme, untuk demokratisasi, berjalan bersama dengan dukungan kepada perjuangan pembebasan nasional dunia, solidaritas Asia—Afrika, perjuangan untuk perdamaian dunia dan menentang agresi kaum imperialis. Demokrasi terpimpin juga telah menelurkan UUPA (Undang?Undang Pokok Agraria) dan UUBH (Undang?Undang Bagi Hasil) yang isinya cukup progresif.

Dan yang disayangkan adalah bahwa sejak lahirnya, demokrasi terpimpin telah mengandung pertentangan yang sulit didamaikan antara kekuatan?kekuatan yang saling bersaing, yaitu kekuatan progresif dan reaksioner. Bung Karno berusaha untuk mencoba mendamaikan dua kekuatan yang tak terdamaikan. Dan beliau telah jatuh menjadi korban dari kegandrungannya kepada persatuan Indonesia.

Jelas bahwa Bung Karno bukan seorang diktator. Tujuan hidupnya adalah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur atas dasar prinsip?prinsip yang telah dikembangkan sejak mulai masa mudanya. Konsepsi ini tidak begitu saja lahir, tapi berkembang tahap demi tahap, bertolak dari gagasan?gagasan yang diperkaya oleh pengalaman?pengalaman praktik dan perkembangan teori itu sendiri. Tapi yang jelas prinsip seperti sosio?nasionalisme, sosio-demokrasi, dan kepercayaan kepada Tuhan, tidak mungkin menimbulkan ajaran yang bersifat otokrasi.

Justru kekuasaan Bung Karno yang seperti otoriter ini muncul karena dorongan dari kekuatan?kekuatan politik yang ada pada waktu itu. Baik kekuatan kanan maupun kiri, yang masing?masing mempunyai konsepsi masa depan Indonesia yang saling bertolak belakang, sama?sama mahfum bahwa pada saatnya nanti akan terjadi pertentangan yang menentukan.

Penyerahan kekuasaan negara yang luar biasa kepada Bung Karno, bagi kedua kekuatan tersebut di atas hanyalah merupakan sesuatu yang bersifat sementara, baik dalam batasan usia (Bung Karno toh sekali waktu akan uzur, wafat!), maupun juga dalam batasan waktu (lomba waktu) penggalangan kekuatan politik masing?masing pihak.

Demokrasi terpimpin telah digunakan oleh kekuatan kiri maupun kanan untuk mengonsolidasi diri masing?masing dalam menghadapi “pertempuran akhir”. Siapa yang lebih dahulu siap dengan kekuatan yang nyata, ialah yang akan keluar sebagai pemenang.

Kemudian para penulis sampai juga kepada kesimpulan faktor pokok mana yang telah menyebabkan segala konsepsi presiden menemui kegagalan tragis. Mereka menulis: “Meningkatnya pengaruh ‘kabir’ (kapitalis birokrat) yang erat bekerja sama dengan kaum eksploitator di desa serta persekutuan mereka dengan kaum kanan ‘lama’, yaitu anggota?anggota parpol terlarang Masyumi dan PSI, telah mengakibatkan bahwa pemerintah Soekarno tidak mampu lagi untuk melaksanakan janji?janjinya mengenai perombakan-perombakan dalam bidang sosial ekonomi.”

Di sini terdapat juga jawaban, kenapa Bung Karno bersedia dipilih sebagai presiden seumur hidup. Usul MPRS untuk menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup merupakan hasil kompromi dari kekuatan?kekuatan politik utama yang saling berhadapan, yang sama?sama berkepentingan untuk membuat sebuah “tanggul” (buffer), yang untuk sementara waktu bisa menghindarkan konfrontasi terbuka secara langsung.

Digambarkan pertumbuhan sistem demokrasi terpimpin yang pada mulanya ditujukan untuk membatasi kekuatan kaum kanan (Masyumi, PSI, kaum militer kanan), telah sedikit demi sedikit berubah ke arah sebaliknya. Sebab, dalam situasi ini justru kaum kanan yang telah berhasil lebih cepat memobilisasi kekuatan politik ke pihaknya dengan menggunakan UU Keadaan Bahaya yang telah meningkatkan peran militer, penguasaan sektor negara yang dibentuk dari perusahaan asing yang telah dinasionalisasi, dan khususnya dengan menggunakan “momok komunisme”.

Disorot juga politik konfrontasi Bung Karno dalam menghadapi Malaysia, sampai akhirnya Bung Karno memutuskan keluar dari PBB, karena Malaysia telah diangkat sebagai anggota sementara DK PBB. Para penulis menjelaskan keradikalan politik luar negeri Bung Karno pada masa itu karena adanya pendekatan dengan Peking. Ini berkaitan juga dengan pertentangan dalam GKI (Gerakan Komunis Internasional) antara PKUS dan PKT (Partai Komunis Tiongkok), di mana Indonesia telah terseret masuk ke dalam pusarannya.

Politik konfrontasi yang dimaksudkan untuk mendukung dan mempertahankan persatuan nasional, pada kenyataannya justru telah mempercepat diferensiasi politik dalam negeri dan telah memunculkan ledakan?ledakan politik.

Itu semua justru telah membawa ke arah menguatnya posisi ekonomi dari kaum militer dan juga kaum kapitalis birokrat, yang telah berkembang menjadi kekuatan yang dominan di negeri ini.

Para penulis menyimpulkan bahwa menjelang tahun 1965, waktu untuk perebutan kekuasaan sudah masak: Blok kaum kanan dalam tahun?tahun “demokrasi terpimpin” telah benar-benar begitu menguat, sehingga telah mulai berani menilai Soekarno dan atribut-atribut revolusioner dari sistem ini sebagai sesuatu “yang sudah tidak diperlukan lagi”.

Kaum kanan sangat khawatir, karena Soekarno telah memberikan kepada PKI kemungkinan hidup, dan bahkan pada waktu-waktu tertentu telah menyebabkan PKI dan ormas-ormas kiri menjadi kuat, juga telah memberikan semangat kepada mereka dalam aksi?aksi melawan “kabir” dan tuan tanah, aksi?aksi yang bisa lepas dari kontrol.

Ditunjukkan juga usaha?usaha Bung Karno untuk mencoba membatasi kaum kanan, yang telah berhasil membentuk sebuah front anti?Soekarno yang kuat dengan dukungan material dari apa yang disebut “dinasti ekonomi”.

Dengan makin bertambah kuatnya blok golongan kanan, maka pengambilan kekuasaan negara ke tangan mereka sendiri telah menjadi suatu keharusan. Perdamaian sementara atas dasar kompromi tidak bisa berjalan langgeng lagi. Bom waktu konfrontasi antara dua kekuatan telah berdetik.Tinggal menunggu dalam bentuk apakah ia akan meledak, atau mencari dalih untuk meledakkannya.

Mengenai Peristiwa 30 September, para penulis mencoba mengutarakan kejadiannya secara kronologis dan kelihatan lebih condong kepada kata?kata Bung Karno ketimbang tuduhan-tuduhan pimpinan AD.

Diutarakan misalnya bahwa beberapa jam sebelum Untung mengeluarkan pernyataannya yang membubarkan pemerintah, Soekarno yang pada waktu itu berada di Halim telah menolak menandatangani “Seruan Kepada Rakyat” yang mendukung “G-30-S” yang disodorkan oleh Suparjo.

Akan sangat menarik diikuti dari waktu ke waktu akibat fatal dari “G?30?S” dalam kehidupan politik Indonesia sampai terjadinya klimaks perlawanan militer kepada presiden resmi di negeri ini.

Dianalisa bahwa mengetahui adanya dukungan masyarakat luas kepada Soekarno, khususnya di Jateng dan Jatim, dan juga dukungan dari kalangan militer (AL, AU, Polisi, dan sebagian AD), maka pimpinan militer¬baru belum berani mengadakan perlawanan langsung.

Menurut penulis, mereka mencoba merebut kekuasaan presiden dengan jalan damai, dengan tekanan, intimidasi, penggerakan massa, demonstrasi, penggunaan mahasiswa (KAMI) dan pemuda (KAPPI) untuk turun ke jalan dengan dukungan dari AD yang berpakaian preman ataupun berseragam. Ini berlangsung cukup panjang, hampir 3 tahun.

Perlawanan Bung Karno kepada “orba” akan bisa diikuti dalam 2 bab terakhir: “Saya Masih Tetap Presiden” dan “Akhir Perjalanan”. Akan nampak bahwa Bung Karno adalah sosok besar yang sangat cinta persatuan, tidak mau menggunakan kekuatan kasar untuk mempertahankan kekuasaannya.

Membaca saat-saat konfrontasinya dengan lawan-lawan politik sebangsanya, kadang¬kadang kita secara naif bertanya kenapa Bung Karno tidak hijrah ke Surabaya, atau ke mana saja pokoknya ke luar dari Jakarta, sarangnya para pendiri “orba”.

Padahal Bung Karno sendiri, karena mangkelnya kepada ”KAMI” dan “KAPPI”, sering mengatakan bahwa Jakarta bukan Indonesia, untuk menunjukkan bahwa aksi¬aksi brutal mereka itu dilakukan oleh hanya segelintir orang saja kalau dibandingkan dengan jutaan pemuda?pemuda dari Sabang sampai Merauke.

Mungkin karena Bung Karno percaya kepada kata¬kata lawan politiknya yang menjanjikan pemilihan umum pada tahun 1968? Sebab Bung Karno sendiri sempat berkata, kalau urusan diselesaikan dengan pemilu, beliau yakin akan mendapat dukungan rakyatnya. Bung Karno siap kapan saja melaksanakan pemilu untuk membuktikan siapakah yang benar?benar didukung oleh rakyat Indonesia.

Tetapi para pendiri “orba” tidak berani mengadu nasib, pada tahun 1968 mereka mencabut hak Soekarno untuk melakukan kegiatan politik, dan ini pun belum cukup, pemilu ditangguhkan sampai tahun 1971. Itulah bukti kekhawatiran para pendiri “orba” kepada dukungan rakyat Indonesia (bukan Jakarta, yang sudah dikuasai militer!) kepada Bung Karno.

Bung Karno memang tidak menghendaki perang saudara, walaupun ia mampu mengobarkannya. Ia mau berjuang sendiri untuk menegakkan kembali apa yang telah lolos dari tangannya dengan korban sekecil mungkin. Ia menggunakan kedudukannya sebagai presiden yang sah untuk melakukan perlawanan politik, dengan menggunakan pidato-pidato kepresidenan.

Salah satunya adalah pidato beliau tentang masalah apa yang dikenal sebagai “supersemar”, di mana beliau menandaskan bahwa surat perintah itu bukan merupakan pelimpahan kekuasaan negara, tetapi hanya merupakan tugas-tugas praktis dalam bidang keamanan dan ketertiban.

Namun, pidato dan perintah-perintahnya pada waktu itu sudah dilecehkan oleh para bawahannya. Pidato-pidato presiden sejak peristiwa 30 September 1965 seyogyanya harus dinilai sebagai sumber otentik bagi sejarah Indonesia periode itu, sejajar dengan sumber-sumber lain.

Dengan semboyan menegakkan “demokrasi” untuk membunuh “demokrasi terpimpin”, lawan-lawan politik Bung Karno telah membalik arah jalannya Revolusi Indonesia. Mulai saat itu yang “memegang kendali kereta Indonesia di seberang jembatan emas kemerdekaan” bukanlah para pemimpin rakyat yang sejati, tetapi adalah mereka-mereka yang, menurut istilah Bung Karno, “bukan kaum marhaen”, sehingga rakyat hanya mendapat “getah” tanpa menikmati “nangkanya”.

Para penulis memberikan penilaian yang sangat tinggi kepada Bung Karno sebagai seorang pemimpin,pejuang kemerdekaan yang telah mengantarkan rakyatnya ke pintu gerbang kemerdekaan, Soekarno sebagai pejuang yang menyerahkan seluruh kehidupannya untuk mengejawantahkan cita-citanya untuk mencapai Indonesia yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, berdasarkan prinsip Pancasila, bersih dari pengeksploitasian atas manusia oleh manusia lain.

Seperti mereka tulis, tidak ada sesuatu yang bisa menghapuskan jasa?jasanya. Soekarno menjadi milik negerinya tidak hanya pada masa tempo doeloe, tetapi juga masa kini dan masa-masa yang akan datang. Di dalam ingatan bangsa Indonesia dan seluruh pejuang melawan kolonialisme dan imperialisme, Soekarno terabadikan sebagai orang yang telah mengabdikan seluruh kehidupannya kepada perjuangan suci, yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan tanah air.

Dan memang begitu. Hanya bangsa yang besar, mampu melahirkan putra-putri terbaik seperti Bung Karno yang menduduki tempat yang sangat terhormat di dalam sejarah dunia. “Walaupun Soekarno sepenuhnya adalah putra Indonesia asli—kata para penulis—namun adalah tidak tepat untuk menilainya hanya sebagai fenomena yang khas Indonesia. Penelitian mengenai pemikiran¬pemikiran serta kiprahnya yang jelas-jelas telah keluar dari batas sejarah Indonesia.”

sumber : vivanews

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?