SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Rakyat Mabuk, "Ketendang" Maut

| | | 0 komentar
Minuman keras beralkohol itu berbahaya. Dan, di tangan rakyat jelata, minuman itu berlipat-lipat bahayanya. Mabuk yang dicari untuk ”menendang” realitas dengan modal ribuan rupiah mengantar pada maut.
Minuman oplosan lapen (langsung pening) membunuh 13 orang di Yogyakarta sepekan lalu. Mereka yang tewas adalah Andriyanto (20), Joko (20), Sidik (21), Kalis (53), Yulistyo (50), Ratno (46), Ovisina (38), Marsudi (55), Slamet (39), Ardiansyah (30), Mursidi (56), Eko (30), dan Toni (17). Mereka umumnya penganggur, juru parkir cabutan, penarik becak, pelayan restoran, pelajar, dan mahasiswa.
”Enggak bakalan minum lagi. Kapok. Saya masih ingin hidup,” ujar Tri Yulianto (28), juru parkir cabutan di ruas jalan kawasan Sagan.
Lolos dari maut setelah menenggak lapen dirasakan Tri sebagai mukjizat. Teman minumnya, Ardiansyah, yang biasa menjadi juru parkir bersamanya, tak tertolong. Warga Kampung Sagan, Gondokusuman, Yogyakarta, ini merasakan lapen tidak hanya membuatnya pening, tetapi juga mengantarnya ke pintu maut.
”Kadang kepala saya masih pusing, tapi yang penting mata saya bisa melihat,” ucap Tri lirih setelah kembali dari Rumah Sakit Bethesda.
Pemuda yang disapa Gotrek ini lantas bercerita tentang kebiasaannya mabuk dengan modal ala kadarnya. Lapen bukan hal baru baginya. Tak terhitung berapa jenis dan berapa liter oplosan yang pernah ditenggaknya.
Urusan pusing dan muntah sudah biasa. Cukup diobati dengan tidur lelap, selesai. Namun, kali ini, Tri kena batunya. Oplosan lapen terakhir yang diminum bersama Fendi dan Ardiansyah membuatnya tak berdaya. Lapen, yang biasanya diberi aroma buah, kini tercium seperti parfum.
Dengan tubuh lemas, Tri dan Fendi sempat membesuk Ardiansyah, paman Fendi, di Rumah Sakit Bethesda. Karena berkunang-kunang, Fendi ambruk bersamaan dengan Tri. Keduanya lantas cuci darah.
Hari pertama di rumah sakit, dua mata Tri tak bisa melihat. Saat itulah ia ketakutan setengah mati. ”Begitu saya bisa membuka mata, saya melihat ibu. Beliau tidak memarahi saya, hanya menangis,” ujar Tri dengan mata berkaca-kaca.
Tri merasa bersalah kepada ibunya yang seorang janda, apalagi ibunya yang hanya berjualan gorengan harus menebus biaya rumah sakit Rp 7 juta. Cap di masyarakat menambah rasa malu pada ibunya.
Namun, Sarinem, ibu Tri, tetap membesarkan hati Tri. ”Tri itu sejak kecil enggak banyak suaranya. Ia anak baik. Sembahyang juga. Tapi, teman- temannya selalu ngajakin minum. Sayangnya, anak saya itu enggak bisa menolak. Sudah berkali-kali saya bilang ke Tri, tapi enggak mempan. Agaknya harus ada peristiwa seperti ini agar ia sadar,” tuturnya.
Fendi juga kapok minum lapen. Lusi (39), ibu Fendi, yakin anak sulungnya itu tak akan lagi menyentuh lapen. ”Sudah ada contoh, yakni pamannya sendiri, adik saya, meninggal karena lapen,” kata Lusi.
Minggu (14/2/2010), bertepatan dengan Hari Kasih Sayang, Fendi masuk kerja sebagai pelayan di restoran di Jalan Kaliurang, kerja yang dia jalani beberapa bulan terakhir. ”Saya sudah sehat. Sudah tak pusing lagi. Untunglah saya masih hidup,” katanya.
Mudah didapati
Hampir setiap daerah memiliki minuman keras khas, seperti ciu, arak, tuak, brem, atau lapen di Yogyakarta. Warung-warung penjaja lapen tersebar dan mudah didapati di Yogyakarta. Dari gang sempit di tengah kota sampai pelosok desa. Harganya murah, Rp 7.500 hingga Rp 30.000 per liter. Karena murah, lapen menjadi minuman favorit banyak kalangan, khususnya rakyat jelata.
Sabtu malam, di warung lapen ternama di Sleman, suasananya ramai. Pengunjung duduk menikmati bergelas-gelas minuman berwarna coklat kemerahan itu di bawah temaram lampu pijar. Mereka adalah orang tua yang rambutnya memutih sampai segerombolan anak muda. Mata memerah dan tawa menjadi hal lazim yang dijumpai dalam obrolan di sana.
Hampir setiap malam pemandangan seperti itu terjadi, terlebih malam libur. Pengunjung yang tidak kebagian tempat duduk dan meja biasanya meluber hingga ke luar warung dan nongkrong di pinggir jalan.
Bagus Kurniawan (38), pengamat dan penggemar lapen, mengatakan, tradisi minum lapen muncul tahun 1990-an. ”Awalnya dari tradisi minum jamu kuat pria yang diracik sendiri penjualnya dari campuran fermentasi nira (sejenis kelapa), pewarna makanan, dan esens (rasa buatan),” katanya.
Karena harga yang jauh lebih murah dibandingkan minuman keras bermerek seharga ratusan ribu per botol, lapen sangat terjangkau. Karena murahnya, lapen tersebar luas dan memunculkan banyak penjual serta korban tewas tentu saja.
Dari penelitian kecil yang dilakukan Bagus pada 2003, terdapat lebih dari 30 warung lapen di Yogyakarta. ”Paling banyak memang di sekitar Yogyakarta dan Sleman,” katanya.
Selain efek memabukkan yang murah meriah, variasi rasa lapen yang tersedia, seperti stroberi, melon, dan susu, juga menjadi daya tarik penikmatnya.
Namun, tradisi minum lapen ini terpukul setelah 13 orang tewas. Setelah itu, lima penjual lapen ditetapkan sebagai tersangka. Banyak warung lapen memilih tutup.
Dari pengakuan tersangka, AD (39), lapen dibuat dengan perbandingan campuran air dan alkohol 7 : 1. Artinya, tujuh liter air mineral dicampur dengan satu liter alkohol dengan kadar 70 persen.
Bagus mengatakan, peminum lapen masih mencampurkan zat-zat lain untuk menambah sensasi rasa dan ”tendangan” minuman.
Oplosan lapen yang menewaskan 13 orang masih diteliti Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Yogyakarta. Kepala Seksi Layanan Informasi Konsumen Diah Tjahjonowati geleng-geleng kepala mendapati kandungan lapen dalam uji laboratorium. Seperti dikatakan Bagus, Diah mendapati tidak hanya alkohol dan air, tapi juga pembersih lantai, obat nyamuk, parfum, hingga esens.
Kepala Poltabes Kota Yogyakarta Ahmad Dofiri mengaku sulit menghentikan peredaran lapen. ”Bahan-bahan pembuat lapen gampang dibeli,” katanya.
Fendi dan Tri tahu lapen berbahaya. Namun, ajakan teman meruntuhkan kesadaran dengan beragam persoalan yang ingin dilupakan. Dengan modal ribuan mendapat efek yang ”nendang”, lapen menjadi pilihan. Namun, kini, lapen tidak hanya membuatnya langsung pening, tapi juga membuat nyawa mereka nyaris ”ketendang”.

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?