SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Bumi Lorosae, Kehidupanmu... Kini

| | | 1 komentar
Awan putih berarak, menghampar seperti selimut terlipat kecil bergulung tak merata. Menghiasi bentangan biru di langit Bumi Loro’sae. Namun gunduk barisan bukit masih sempat menoreh sapuan biru bercampur kehijauan dan tanah cokelat mengering, berkeliling membentuk dinding. Dan di Bukit Fatucama, Patung Cristo Rei (Kristus Raja) berpadan alam, menyambut berdiri asri. Seolah ramah merengkuh angin yang langsung bertiup dari jantung Kota Dili dan siapa pun yang menghampiri Timor Leste.

Tepat sepuluh tahun silam, Patung Cristo Rei menjadi saksi yang diam seribu basa. Tatkala baru empat tahun berdiri sebagai lambang wisata religius, secara tak langsung pun bertutur, dia memotret sebuah kesepakatan bernama referendum—di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa—yang menyuarakan kemerdekaan: Republik Demokratik Timor Leste.

Ya, momentum 30 Agustus 1999 sontak berubah dari satu Senin biasa menjadi sejarah nan monumental. Khususnya, bagi 79 persen dari 450 ribu pemilih dalam jajak pendapat yang tak ingin terus berada di bawah Bendera Merah Putih. Hari itu terproklamirkan, Timor Timur, provinsi ke-27 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, melepaskan diri dan berdiri sebagai sebuah negara berdaulat dengan nama: Timor Leste.

Kedaulatan tadi tentu seiring tekad untuk mandiri secara ekonomi, mampu menghidupi diri sendiri berikut rakyat yang mengamini perubahan ini. Penghidupan yang lebih baik plus kemakmuran pascakemerdekaan adalah angan-angan yang selalu menjadi utopia.

Sejak 20 Mei 2002, negeri ini memang harus menentukan arah kebijakan pembangunan ekonominya sendiri. Pertanian dan perkebunan yang selalu menjadi primadona, menjadi kunci utama. Bukan perkara mudah, tentunya. Terlebih, di sana sini terkadang masih saja ada letupan konflik, yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan. Tumpukan pekerjaan rumah yang memang tak gampang.

Sebagai sebuah negara, Timor Leste terbilang mini, dengan luas areal mencapai 14.874 kilometer persegi yang dipecah dalam 13 kabupaten. Jumlah penduduk hasil sensus pada 2009 diperkirakan 1.134.000 orang, dengan kepadatan penduduk sekitar 76 orang per kilometernya. Hampir 91,5 persen mayoritas penduduk pemeluk Katolik Roma. Sisanya beragama Kristen Protestan dan umat muslim. Berdasarkan data mutakhir, pendapatan per kapita negara berbahasa nasional Tetum ini adalah US$ 468.

Pascamerdeka sumber daya minyak bumi dan gas menjadi andalan pemerintah Timor Leste untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Meski pun hasil positif penelitian geologis belum memastikan kekayaan Laut Timor, tapi berdasarkan analisis seismik, di Celah Timor setidaknya terdapat sekitar 500 juta hingga lima miliar barel minyak bumi serta 50.000 miliar kaki kubik gas alam. Nah, berkah alam yang luar biasa besar itulah yang menjadi senjata utama Timor Leste untuk geliat perubahan kesejahteraan yang lebih baik bagi generasi berikutnya.

Jika saja benar, “harta karun” berupa minyak bumi dan gas alam itu harus dibagi untuk tiga negara (Indonesia, Australia, dan Timor Leste). Kenyataan ini berdasarkan aturan main Zona Ekonomi Eksklusif.

Sayangnya, dalam eksplorasi sejenis tak jarang ketidakadilan pembagian hasil bumi acap memicu persinggungan, pun dalam sistem kekuasaan politik Timor Leste. Bahkan, termasuk dengan "sang dewa penolong", Australia.

Saling tuding dua kubu kekuasaan politik seolah saling mengisi ketidaksempurnaan. Kubu Perdana Menteri Timor Leste Jose Alexandre Xanana Gusmao yang saat ini berkuasa menuding eks Perdana Menteri Mari Alkatiri gagal mengoptimalkan minyak bumi untuk kesejahteraan rakyat sewaktu mereka berkuasa. Sebaliknya, Fretelin mendakwa rezim Xanana superpasrah pada Australia ihwal “emas hitam” Celah Timor.

Buntutnya bisa ditebak. Negara yang hanya mengandalkan minyak dan gas Laut Timor untuk anggaran pendapatan dan belanja negara itu tetaplah miskin. Minyak yang selama ini menjadi harapan, hingga saat ini belum bisa menyejahterakan rakyat karena tak tersalur adil. Atau mungkin, habis untuk membayar cicilan utang dan gaji para kontraktor asing yang terlibat dalam rekonstruksi Timor Leste. Menurut Direktur Kebijakan Publik Oxfam James Ensor seperti dilansir BBC (19 Mei 2004): "Cadangan minyak dan gas yang luar biasa besar di Laut Timor adalah “jendela” bagi Timor Leste bagi kesejahteraan rakyat dan generasi berikutnya. Sayang, Australia tak beritikad baik dalam negosiasi dengan tetangga kita itu," ujar Ensor.

Saat ini, harga BBM membumbung tinggi di bekas provinsi yang pernah dimanjakan Indonesia itu. Premium menyentuh harga 0,86 sen dolar AS per liter atau sekitar Rp 8.600—hampir dua kali lipat dari harga premium di Indonesia. Dan uniknya, truk-truk tanki BBM justru mengisi pasokan di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Dili, milik Pertamina. Bahkan pom bensin terbesar di Ibu Kota Timor Leste itu malah berlogo Pertamina—meski ada juga SPBU milik Tiger Fuel asal Australia yang ikut meramaikan pasar BBM.

Peredaran rupiah pun sudah berganti dengan dolar Amerika Serikat. Boleh jadi, bagi pemerintah setempat, kehadiran dolar Negeri Paman Sam ini dinilai mampu menghilangkan "mimpi buruk" masyarakat Timor Leste. Sayang, justru mimpi buruk itu menjadi kenyataan pasti sehari-hari.

Warga Lorosae cukup tercekik dengan harga-harga yang tinggi, walau pada dasarnya daya beli masyarakat setempat tak lebih tinggi dari Indonesia. Beras asal Vietnam yang menjadi andalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dijual per karung isi 30 kilogram dengan bandrol sekitar 28 dolar AS alias nyaris mencapai Rp 300 ribu. Minyak goreng curah asal Indonesia dipatok 15 dolar AS per jeriken isi lima liter.

Bukan itu saja, harga produk ekonomi lainnya tetap menjulang ke langit kendati sudah terbantu pasokan produk Indonesia yang agak lebih murah. Memang, masih jadi perdebatan sengit soal legal atau ilegalkah produk tersebut. Beberapa disebut, barang-barang kebutuhan tadi tersedia melalui jalan darat perbatasan Indonesia-Timor Leste.

Mi instan asal produsen Indonesia juga masih menjadi idola masyarakat Timor Leste. Bahkan menurut Dady Tiger, warga Indonesia yang bekerja di Dili, baju asal Tanahabang masih banyak dipakai menutupi aurat masyarakat di sana. "Kalau di daerah Kampung Lor, pakaian baru kebanyakan dibawa pedagang-pedagang asal Makassar dari Pasar Tanahabang," ujar Dady yang dihubungi Liputan6.com melalui sambungan internasional.

***

Geliat perekonomian Timor Leste tidak bisa dilihat secara sederhana dari maraknya mobil asal Eropa atau Amerika yang berseliweran—terlepas itu pinjaman dari PBB atau hibah negara donor. Sebab infrastruktur jalan yang dilewati bisa menjadi parameter paling sahih. Perbaikan infrastruktur pascareferendum amat kurang. Jalan-jalan utama di Kota Dili masih peninggalan pemerintah Indonesia dan kini mulai rusak, tak sekadar bopeng. Sepanjang perjalanan darat dari Dili sampai perbatasan dengan NTT, lubang di tengah jalan raya menganga bak ranjau yang menanti ban yang bengong melintas. Dan di musim panas seperti sekarang ini, jalan utama sangat berdebu saat dilintasi kendaraan.

Saat malam, tak ada lampu penerangan jalan. Lampu itu hanya bisa dilihat di Palacio, Kantor Pemerintahan RDTL. Jadi amat wajar bila sejak pukul 18.00 waktu setempat aktivitas di Kota Dili terlihat sepi. Kebanyakan toko tutup. Taksi dan angkutan umum sudah tak lagi berlalu lalang. Hanya beberapa rumah makan bermenu asing yang masih melayani pelanggan.

Sejumlah bangunan rusak sisa kerusuhan, masih menghiasi Kota Dili. Entah dibiarkan sebagai tanda perjuangan atau memang tak hendak dibangun kembali. Tak perlu juga meminjam jemari orang lain untuk sekadar menghitung bangunan baru di wilayah tersebut. Satu di antaranya adalah Istana Kepresidenan yang dibangun dengan bantuan asing dan baru diresmikan pada 27 Agustus 2009. Peresmian itu sangat dinanti warga Kota Dili, apalagi saat perhelatan mereka diperbolehkan masuk dan melihat kemegahan istana. Dan “kegembiraan” lain bagi warga Kota Dili adalah kehadiran Timor Plaza, yang saat ini sedang dalam proses pembangunan.

Nama Bandar Udara Comoro kini tinggal kenangan. Sekarang sebutannya adalah Airpot Nicolo Lobato. Seolah juga bisa ditebak, kondisi bandara tak banyak berubah sejak ditinggalkan pemerintah Indonesia. Tak banyak pula maskapai yang memakai jasa landasan pacu bandara berskala internasional itu. Tiga yang pasti adalah Merpati Airlines (Indonesia), Silk Air (Singapura), dan Airnort (Australia).

Nah, Merpati inilah yang tetap menjadi primadona pejabat Timor Leste saat bepergian. Menurut seorang pegawai VIP Travel yang enggan disebutkan namanya, "Kebanyakan mereka menggunakan Merpati menuju Denpasar. Dari Bali, baru memakai maskapai lain sesuai tujuan," katanya.

Perjalanan sepuluh tahun pascareferendum memang bukan hal yang mudah dilewati Timor Leste. Bahagia, bangga, dan frustrasi sosial mungkin terjadi di sebagian masyarakat, tatkala alam kemerdekaan dinilai belum memberikan perubahan hidup. Namun semoga saja, kelak Patung Cristo Rei bisa memotret lagi momentum ketika warga setempat tak lagi bermimpi menikmati sedikit kemakmuran “emas hitam” Bumi Loro’sae.

sumber : liputan6.com

Pertanyaan Bocah Jungkalkan Carrascalao

| | | 0 komentar
Seorang bocah menanyakan soal raibnya duit 3 juta dollar AS di Departemen Keuangan Timor Leste kepada Perdana Menteri Xanana Gusmao. Jawaban Xanana, Wakil Perdana Menteri Mario Viegas Carrascalao pembohong dan bodoh.

Jadilah, tudingan pada acara tanya jawab Xanana dengan masyarakat yang disiarkan televisi secara nasional itu membuat Mario tersinggung. "Di depan umum, dia bilang saya itu disebut pembohong dan bodoh," kata Carrascalao yang dulu pernah menjadi Gubernur Timor Timur ketika masih menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Alhasil, Mario Carrascalao mengajukan pengunduran diri karena merasa tersinggung dihina oleh Perdana Menteri Xanana Gusmao. "Dia langsung melakukan kritik (terhadap saya-red). Dia kira saya menimbulkan masalah ini, padahal saya hanya menginstruksikan investigasi setelah tuduhan ini dilemparkan oleh partai oposisi di parlemen," jelas Carrascalao.

"Tuduhan itu menjadi berita utama di koran selama berhari-hari dan karena tidak ada tanggapan dari Departemen Keuangan, saya perintahkan agar diselidiki," imbuh Carrascalao.

"Dari hasil penyelidikan memang terbukti tuduhan itu tidak benar. Nah kalau sudah terbukti tidak benar, ya sudahlah. Tetapi kalau reaksinya seperti ini, bagi saya ini terlalu pribadi," lanjut Carrascalao, yang pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung di zaman Presiden Soeharto.

Kasar

Carrascalao, sebagaimana warta AP, AFP, dan Reuters, selanjutnya menegaskan dia tidak pernah menuduh Xanana Gusmao terlibat dalam kasus hilangnya dana itu. "Bagi saya ini adalah point of return. Saya tidak akan merubah posisi saya karena memang sulit melakukan kerja sama, karena pemahaman kami atas beberapa masalah berbeda. Lebih baik begitulah, karena kelakuan yang kasar di depan umum, bagi saya tidak ada jalan lain. Saya harus mundur," tegas Carrascalao.

Juru bicara kantor perdana menteri Xanana Gusmao, Antonio Ramos mengatakan surat pengunduran diri Mario Carrascalao sedang dibahas oleh dewan menteri bersama perdana menteri. Ramos mengisyaratkan bahwa tampaknya tidak ada lagi kondisi-kondisi yang memungkinkan Carrascalao bisa melanjutkan jabatannya sebagai wakil perdana menteri.

Menanggapi berbagai kritik Carrascalao soal korupsi di pemerintahan, Antonio Ramos mengatakan Carrascalao adalah bagian dari pemerintahan seharusnya menciptakan sistem untuk mengatasi permasalah ini bukan justru melakukan kritik tanpa memberikan solusi.

Selanjutnya Ramos mengatakan perdana menteri Xanana Gusmao selama setahun ini memberikan beberapa tanggung jawab pemerintahan kepada Carrascalao namun hingga saat ini tidak ada hasilnya.

sumber http://internasional.kompas.com/read/2010/09/08/2151480/Pertanyaan.Bocah.Jungkalkan.Carrascalao

Khrushchev Mendadak Mundur

| | | 0 komentar
Dia dikenang sebagai pemimpin Uni Soviet yang hampir menciptakan perang nuklir dengan AS

Pada 15 Oktober 1964, Nikita Khrushchev mendadak mengundurkan diri sebagai pemimpin Uni Soviet. Kantor berita Soviet, Tass melaporkan bahwa Komite Pusat Partai Komunis telah menerima pengunduran diri Khrushchev dengan mempertimbangkan usia dan kondisi kesehatannya.

Khrushchev, saat itu 70 tahun, pertama kali memimpin Komisi Pusat setelah kematian Joseph Stalin pada 1953. Dia memegang jabatan ganda, pemimpin partai sekaligus perdana menteri sejak 1958.

Laman stasiun televisi BBC memberitakan bahwa setelah pengunduran dirinya ini, partai akan dipimpin Leonid Brezhnev sementara Alexei Kosygin akan menduduki kursi perdana menteri.

Kabar ini mengejutkan banyak pihak yang kurang mengetahui kondisi kesehatan Khrushchev. Para pemerintah negara-negara Eropa Barat juga khawatir pemimpin baru Uni Soviet akan meninggalkan pola kebijakan Khrushchev yang menjunjung perdamaian dengan kubu Barat.

Khrushchev dikenal sebagai pemimpin komunis yang paling berwarna. Selera humornya membawa perubahan dari tipikal pemimpin Soviet yang kelam. Namun temperamennya juga kerap meledaks, seperti saat dia menggebrak meja dengan sepatu dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), 1960 silam.

Khrushchev juga diingat sebagai pemimpin Soviet yang hampir membawa dunia ke arena perang nuklir saat berkonflik dengan Amerika Serikat (AS) di awal dekade 1960-an. Soviet saat itu menempatkan rudal nuklir di Kuba sehingga menimbulkan ketegangan dengan AS.

Dua tahun setelah memimpin Partai Komunis, dia mengunjungi sejumlah negara untuk meningkatkan hubungan dengan Soviet. Perhentian pertama Khrushchev adalah Yugoslavia. Secara pribadi, Khrushchev meminta maaf kepada Marshal Josef Tito atas serangan Stalin terhadap konsep komunisme Yugoslavia pada 1948.

Pada 1956, pidato Khrushchev dalam Kongres Partai ke-20 mengenai Stalin memberikan angin segar kepada negara satelit Soviet seperti Polandia dan Hongaria. Namun harapan ini dihancurkan dengan penandatanganan Pakta Warsawa.

Dalam pidato ini, Khrushchev membeberkan dasar kebijakan luar negerinya. Dia mengubah haluan dari perlawanan agresif terhadap kapitalisme menjadi kerja sama dan kompetisi. Dia juga menyemangati seluruh partai sosialis di dunia dan mendukung pertukaran kebudayaan.
• VIVAnews

Mengusap Sisa Air Mata Dari Prahara Timor

| | | 0 komentar
Beberapa hari belakangan, ribuan eks-pengungsi Timor Timur di berbagai penjuru Tanah Air mengenang tragedi politik dan keamanan yang memicu pengungsian mereka, menyusul jajak pendapat yang dimenangkan faksi pendukung kemerdekaan pada 4 September 1999.

Pada 4 September 2010, sebelas tahun sudah ribuan warga eks-Timtim memperlihatkan kesetiaan mereka pada Indonesia, meskipun untuk itu mereka hidup menderita di pengungsian sumpek di Timor bagian barat, NTT.

Walau hidup di pengungsian kumuh, kualitas kesehatan rendah, ekonomi merana, dan pendidikan minim, nyaris tidak ada niat mereka kembali ke kampung halaman.

Sambil berharap bantuan dari pemerintah yang tidak kunjung tiba, mereka tetap menjalani hidup penuh lara.

Mereka tetap berharap, kalau-kalau ada pihak yang merasa iba dan memberikan bantuan, terutama pangan agar bisa bertahan hidup.

Seorang tokoh pengungsi Hukman Reni, yang juga dikenal sebagai juru bicara mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) Timtim Eurico Guterres, dalam suatu pertemuan pekan ini, melukiskan penderitaan ribuan warga itu sebagai kegigihan kaum nasionalis sejati.

Untuk memasak satu periuk nasi jagung saja sulit, katanya, apalagi memimpikan hidup berkecukupan, sandang ada, papan pun terpenuhi.

Sebagai manusia, menurut dia, kesulitan ini dan terutama meninggalkan sanak keluarga dan harta benda di kampung sendiri di Timtim yang kini telah berubah menjadi negara Timor Leste, tetaplah menyisakan duka nestapa.

Air mata, lanjut dia, sudah terlampau banyak ditumpahkan dan membasahi tanah Timor. Jika hari-hari ini masih ada yang meneteskan air mata mengenang kehidupan yang berkecukupan di Timtim dahulu kala, kata dia, itu hanyalah sisa air mata duka dari sebuah prahara politik dan keamanan 11 tahun silam.

Padahal, kata Hukman, prahara Timor itu bukanlah keinginan rakyat, tetapi kebijaksanaan pemerintahan Presiden BJ Habibie.

"Air mata kami sudah kering menangisi nasib," kata Hukman yang pekan lalu memimpin delegasi Komite Nasional Korban Politik Timtim (Kokpit) undangan Komisi VIII DPR.

Anggota DPD RI dari NTT Sarah Lery Mboeik, dalam suatu kunjungan ke wilayah perbatasan dengan sesama anggota senator belum lama ini mengaku, merekam fakta bahwa kehidupan eks-pengungsi di perbatasan sangat merana.

Banyak anak tidak sekolah karena orangtua mereka terhimpit kesulitan ekonomi.

Hambat MDGs

Menurut Mboeik, hak-hak dasar eks-pengungsi tidak terpenuhi sejak mereka mengungsi dari tanah kelahiran di Timtim 11 tahun silam.

Jika situasi ini terus berlangsung, kata dia, akan mengganggu target pencapaian delapan agenda yang dirumuskan dalam Tujuan Pembangunan Milinium (MDGs) untuk tataran NTT.

Dia mengatakan, karena hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, mereka tidak bisa menyekolahkan anak-anak, mengabaikan kesehatan, merusak hutan untuk berkebun, nyaris tidak ada pemberdayaan perempuan, warga tidak bisa berobat saat sakit dan masih banyak persoalan lain.

Mboeik menyebut penanganan mereka oleh pemerintah Provinsi NTT ibarat orang miskin mengurus orang susah. Pernyataan itu didasarkan pada kenyataan bahwa banyak penduduk lokal juga hidup merana, berkubang kemiskinan, namun merelakan lahan mereka untuk ditinggali eks-pengungsi.

Mengingat lebih dari 23 persen dari 4,6 juta jiwa NTT adalah warga miskin, ungkapan "orang miskin mengurus orang susah" itu memang selalu dilontarkan mantan Gubernur NTT Piet A Tallo (alm) ketika menangani masalah eks-pengungsi.

Maksudnya, orang NTT yang masih berkutat dengan kemiskinan, masih harus membagi perhatian dengan mengurus eks-pengungsi yang disebut sebagai orang-orang yang tengah dilanda kesusahan.

Mantan Wakil Panglima PPI Timtim Eurico Guterres pada perayaan 10 pengungsian tahun lalu di Kamp Oebelo mengakui memang ada bantuan perumahan dari pemerintah.

Namun sebagian besar bantuan itu, kata dia, bermasalah.

Masalah itu misalnya, perumahan itu tidak ada jalan masuk, tidak ada jaringan air bersih, jauh dari akses publik, tak ada sekolah, pasar, dan tak ada lahan untuk berkebun dan terutama tidak ada program pemberdayaan.

Akibatnya, mereka lebih memilih bertahan di pengungsian dari pada di perumahan. Apalagi, rumah itu dibangun seadanya, sehingga dinding sudah jebol, atap seng diterbangkan angin atau terendam air saat musim hujan.

Padahal, menurut pengamat masalah pengungsi DR John Bernando Seran, program pemberdayaan bisa mengatasi kesulitan yang dihadapi eks-pengungsi.

Dia membahasakan upaya melatih keterampilan eks-pengungsi untuk membuka usaha dengan mengatakan, "perlu meningkatkan kapasitas eks-pengungsi".

Kesulitan demi kesulitan yang berlangsung dari tahun ke tahun ini diduga memicu sekelompok eks-pengungsi di Kamp Tuapukan, sekitar 25 km arah timur Kota Kupang.

Mereka melontarkan ide ingin mencari suaka di negara lain, demi penghidupan yang lebih layak.

Koordinator eks pengungsi di Kamp Tuapukan Marcelino Lopez sempat melontarkan gagasan suaka ke negara lain itu dan mendapat publikasi luas.

Namun dalam suatu kesempatan, ketika tiba-tiba sejumlah relawan dari Posko Kemanusiaan Jenggala membawa bantuan beras, jagung pipilan dan baju kaus ke kamp, ia secara terang-terangan kepada pers mengatakan, "Kalau ada bantuan begini, suaka ke negara lain tidak usah."

Pernyataan Marcelino itu secara nyata menggambarkan bahwa eks- pengungsi memang membutuhkan bantuan, terutama pangan.

Jika menyimak pernyataan Wakil Ketua Komisi VIII DPR G Radityo Gambiro ketika berdialog dengan eks-pengungsi yang tergabung dalam Kokpit pekan lalu, memang terbersit harapan baru bahwa penyelesaian sisa masalah itu bisa tuntas setelah ada koordinasi dengan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian Sosial.

Jika koordinasi ini bisa diwujudkan dan penanganan sisa masalah dilanjutkan, setidaknya bisa mengatasi sebagian besar persoalan yang dihadapi.

Jika kebijakan itu dapat menuntaskan masalah yang ada, maka hal itu bagaikan sapu tangan untuk menyeka air mata yang masih tersisa di wajah kaum nasionalis sejati itu.
(ma/MA/ant-Key Tokan A. Asis)

Mao Zedong Memimpin Long March Bersejarah

| | | 0 komentar
Perjalanan 9.600 km dan memakan waktu 368 hari itu menjadi simbol perjuangan komunis China

Pada 16 Oktober 1934, Tentara Merah Partai Komunis China memulai perjalanan panjang menembus pengepungan kubu Nasionalis di barat daya China. Perjalanan sejauh 9.600 kilometer yang memakan waktu 368 hari ini dikenal sebagai Ch'ang Cheng atau "Long March".

Perang sipil antara kubu Nasionalis dan Komunis China pecah pada 1927. Empat tahun kemudian, pemimpin komunis Mao Zedong terpilih sebagai presiden Republik Soviet China yang berpusat di provinsi Kiangsi, barat daya China.

Antara 1930 hingga 1934, pemimpin Nasionalis Chiang Kai-shek melancarkan lima operasi pengepungan di sekitar wilayah Republik Soviet China. Laman stasiun televisi The History Channel memberitakan bahwa Mao berhasil menangkal empat operasi pertama dengan taktik gerilya.

Namun Chiang menambah jumlah pasukan menjadi 700.000 orang pada serangan kelima dan membangun benteng mengepung Soviet China. Ratusan ribu warga terbunuh atau mati kelaparan dalam upaya mempertahankan diri.

Akibatnya, Mao dilengserkan oleh Komite Sentral Komunis. Pemimpin baru Komunis menjalankan taktik perang kuno dan keberadaan Tentara Merah dihapuskan.

Keadaan itu memaksa Komunis di Kiangsi memutuskan untuk menembus pengepungan. Long March dimulai pada pukul 5 sore, 16 Oktober 1934, secara rahasia dan dilakukan pada malam hari. Beberapa pekan kemudian, pihak Nasionalis baru menyadari bahwa Tentara Merah telah melarikan diri.

Pasukan yang melarikan diri terdiri dari 86 ribu prajurit, 15 ribu personil, dan 35 perempuan. Senjata dan kebutuhan pokok dipikul atau diangkut dalam gerobak kuda. Panjang iringan pejalan kaki mencapai 80 kilometer.

Hampir sebulan setelah berjalan kaki, militer Nasionalis menutup rute penyeberangan Sungai Hsiang. Sebanyak 50 ribu prajurit Komunis tewas dalam upaya menembus penjagaan Nasionalis ini.

Setelah kejadian ini, Mao kembali menancapkan kukunya dalam kepemimpinan partai. Dia diangkat kembali sebagai ketua pada Januari 1935 di kota Tsuni. Mao kemudian mengubah strategi. Dia memecah pasukannya menjadi beberapa bagian kecil dengan rute berbeda untuk membuat musuh bingung.

Mao juga memutuskan tidak akan menyerang musuh dan mengubah tujuan menjadi provinsi Shensi. Di sana, Komunis akan berupaya memenangi simpati rakyat dengan melawan tentara Jepang.

Setelah melalui kelaparan, serangan udara, dan pertempuran tanpa henti dengan tentara Nasionalis, Mao dan rombongan tiba di Shensi Utara pada 20 Oktober 1935. Mao disambut tentara berkuda yang menyapa dia dengan hangat dan menandai akhir perjalanan bersejarah tersebut.

"Selamat datang, Ketua Mao," ujar salah satu penunggang kuda. "Kami mewakili warga Provinsi Shensi Utara, bagian dari Republik Soviet. Kami telah menunggu Anda."

Selama lebih dari setahun, para pejalan kaki Komunis telah melalui 24 sungai dan 18 pegunungan. Hanya 4.000 prajurit yang berhasil tiba di tujuan.

Perjalanan terpanjang dalam sejarah ini merupakan awal kebangkitan Mao Zedong sebagai pemimpin Komunis China. Setelah Long March, ribuan pemuda China mendatangi Shensi dan mendaftar untuk bergabung dalam Tentara Merah.

Tentara Merah berperang melawan Jepang selama sepuluh tahun hingga Perang Sipil China berakhir pada 1945. Empat tahun kemudian, Nasionalis berhasil dikalahkan dan Mao memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China. Dia memerintah hingga meninggal pada 1976.
• VIVAnews

Bertahan Hidup di Zona Maut Lapindo

| | | 0 komentar
Oleh Robert Manurung

Guru besar sekaligus Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Airlangga yang juga anggota tim TKKP, Mukono, mengatakan, gas-gas yang muncul di permukiman itu sangat berbahaya, bersifat karsinogenik, dan dapat memicu kanker. “Dampaknya akan terasa dalam jangka panjang,”katanya.

DALAM cahaya matahari sore, di awal musim kemarau, lumpur yang mulai mengering menutup lantai kelas sebuah sekolah dasar. Kursi dan meja lengket ke lantai. Barang-barang berserak. Papan tulis di dinding menyisakan coretan tentang pelajaran berhitung yang belum usai. Potret Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakilnya, Yusuf Kalla, ditinggalkan menggelantung di dinding. Berdebu.

Sepatu anak yang hanya sebelah, terjebak dalam lumpur, seperti mengisahkan satu masa ketika para siswa bergegas meninggalkan bangunan sekolah. Mereka tak bisa kembali.

Menjelang magrib, 10 Februari 2008, tanggul yang mengelilingi Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, jebol di titik 40. Gelombang lumpur menyerbu, menenggelamkan sekolah, rumah, lapangan sepakbola, masjid, dan masa depan warga. Sebanyak 418 keluarga (1.448 jiwa) warga tiga dusun di Desa Besuki mengungsi.

Sepanjang dua tahun terakhir, luberan lumpur di Desa Besuki pada 10 Februari itu merupakan yang ketiga kalinya. Pada dua luberan sebelumnya, mereka selalu pulang dan kembali hidup dalam bayangan ketakutan. “Untuk yang ketiga kali, kami menolak pulang. Kami ingin ganti rugi agar bisa pindah ke tempat aman,”kata Ali Mursid (24), koordinator pengungsi Besuki.

Warga Besuki yang lelah mengungsi menuntut untuk dimasukkan ke dalam desa terdampak dan mendapat ganti rugi dari Lapindo Brantas inc, sebagaimana desa-desa lain yang masuk peta.

Mereka bertahan di tenda darurat dan rumah semipermanen yang dibangun di tepi Jalan Tol Porong-Gempol. “Ada permainan politik, dan yang pasti pemerintah belum berpihak kepada rakyat,”kata Budi (33), warga lainnya. “Namun kami tak akan menyerah,”ujarnya.

Siang itu, Budi tengah membangun gubuk 3 x 3 meter di pinggir bekas Jalan Tol Porong-Gempol di Kilometer 38. Gubuknya berdinding anyaman bambu dan kain, serta beratap plastik terpal. “Hanya pintu ini yang bisa diambil dari rumah lama,”kata Budi.

Di gubuk itu, Budi berencana tinggal bersama istri dan tiga anaknya, yang dua di antaranya masih balita. Sebelumnya, selama tiga bulan, keluarga Budi hidup satu tenda darurat dengan beberapa keluarga lainnya.

* * *

NASIB ribuan warga di luar peta terdampak memang menyedihkan. Di Siring Barat dan Mindi, kehidupan warga tak kalah mengenaskan.

Sebuah papan bertuliskan “Dilarang Merokok dan Menyalakan Api” terpampang di 10 meter dari dapur rumah Puspa (25), warga Mindi, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Bau gas yang menyengat menguar dari rekahan tanah dan sumur.

Satu jam berada di rumah Puspa membuat perut mual dan kepala pening. Namun, Puspa sudah dua tahun ini tinggal di sana bersama lima anggota keluarganya. “Terpaksa kami tinggal di sini. Mau pindah ke mana lagi ? Siapa yang mau memberi ganti rugi kalau kami pindah ?,”kata Puspa.

Penelitian Tim Kajian Kelayakan Permukiman (TKKP) akibat semburan lumpur menemukan adanya nitrogen dioksida (NO2) yang mudah terbakar dan hidrokarbon (HC) beracun yang muncul di rumah-rumah warga di luar peta terdampak. Gas itu muncul dari rekahan tanah di bawah lantai rumah. Berdasarkan data Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), pada pertengahan Mei 2008 sudah 90 semburan baru yang muncul, paling banyak di Mindi, Jatirejo Barat, dan Siring Barat.

“Adik saya, Nina, beberapa kali pingsan karena mencium bau gas. Beberapa orang tua dan anak-anak sudah mengungsi,’kata Ikhwan (44), warga Siring Barat.

TKKP menemukan kadar HC mencapai 55.000 gram ppm dan NO2 sebesar 0,116 ppm di RT 03, Siring Barat. Angka ini sangat mengkhawatirkan karena ambang baku mutu yang diizinkan—sesuai dengan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Jatim Nomor 129 Tahun 1996—untuk HC hanya 0,24 ppm dan NO2 hanya 0,05 ppm.

Guru besar sekaligus Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Airlangga yang juga anggota tim TKKP, Mukono, mengatakan, gas-gas yang muncul di permukiman itu sangat berbahaya, bersifat karsinogenik, dan dapat memicu kanker. “Dampaknya akan terasa dalam jangka panjang,”katanya.

TKKP juga menemukan kadar logam berat kadmium (Cd) mangan (Mg), besi, dan klorida yang jauh melebihi ambang batas di sumur-sumur warga. Daya dukung untuk hidup di Porong memang makin menipis.

* * *

PELAN tapi pasti, muka tanah terus ambles. Ikhwan, warga RT 2 RW 1, Kelurahan Siring, hanya bisa pasrah ketika lantai rumahnya turun hingga 60 sentimeter sejak enam bulan terakhir. Temboknya rengkah dan kuda-kuda rumah harus diganjal dengan tiga batang kelapa. Ajaibnya, siang itu keluarga Ikhwan masih tiduran dalam rumah yang tinggal menunggu waktu untuk rubuh tersebut.

Di bawah ancaman yang nyata ini, warga masih tetap bertahan. Alasannya, seperti yang dituturkan Ikhwan,”Pemerintah tak perduli, sementara kami tak punya rumah lain.”

Namun keterpaksaan warga Siring Barat dan Mindi untuk tetap tinggal di rumahnya ditafsirkan lain oleh pemerintah. “Pemerintah pusat beralasan, kehidupan warga di Siring Barat dan Mindi masih berjalan normal. Mungkin pejabat yang menyurvei di sana hanya melihat dari dalam mobil sehingga tidak mencium bau gas racun,”kata Ketua Tim TKKP I Nyoman Sutantra, yang juga guru besar Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) ini.

Menurut Sutantra, TKKP sudah merekomendasikan agar desa-desa yang berada di zona berbahaya itu dikosongkan. “Kita berkejaran dengan waktu,”katanya.

* * *

AMIEN Widodo, ahli manajemen bencana dari ITS, mengatakan, penanganan semburan lumpur masih reaktif. Menyikapi munculnya gas berbahaya dari rekahan tanah dan lubang sumur warga, dengan dengan kadar jauh melebihi ambang batas, semestinya warga segera dievakuasi dan direlokasi. “Namun, yang terjadi, kajian kelayakan pun baru dilakukan. Itu pun setelah ada protes,’katanya.

“Antisipasi pemetaan risiko semestinya sudah dilakukan jauh-jauh hari. Analisa risiko dibuat untuk menggambarkan bencana dan kemungkinan peristiwa susulan,”kata Amien.

Analisa risiko juga akan menghasilkan kejelasan tugas masing-masing pihak jika dampak terus meluas. Termasuk prosedur yang harus disiapkan untuk kondisi darurat.

Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur Hadi Prasetyo menyadari pentingnya pembuatan zona bahaya. “Masalahnya, biayanya dari mana ? Kalau daerah, jelas tak akan mampu. Namun, apa pemerintah pusat mampu mengosongkan seluruh desa yang masuk zona bahaya ?”

Sementara itu, BPLS dan Lapindo Brantas Inc kompak menyatakan tidak mengurusi disa di luar peta terdampak. “Kami bekerja mengikuti Perpres, yaitu hanya menangani di desa terdampak,”kata Wakil Kepala BPLS Hardi Prasetyo.

“Korban di luar peta terdampak tanggungjawab pemerintah,”kata Yuniwati Teryana, Wakil Presiden Lapindo Brantas Inc.

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, biaya penanggulangan korban lumpur di luar peta terdampak menjadi tanggungjawab pemerintah. Namun, sebagaimana biasanya, pemerintah lamban mengatasi korban. Akibatnya, ribuan warga hidu dalam ketidakpastian.

Ahmad arif/Gesit Ariyanto /Kompas Jumat 23 Mei, judul ; Hidup di Zona Maut.

Nyonya Semarang dan Chiang Kai Shek

| | | 0 komentar
Tidak banyak dikenal, bahkan terlupakan, itulah Oei Hui Lan, perempuan Semarang yang menjalankan diplomasi informal untuk Generalissimo Chiang Kai Shek pada Perang Dunia II. Hui Lan, kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 21 Desember 1889, adalah putri Oei Tiong Ham, konglomerat pertama Asia Tenggara, bos Kian Gwan Concern yang dijuluki ”Rockefeller Asia”.

Oei Hui Lan adalah sosialita dunia, menghabiskan waktu di Semarang, Singapura, London, Paris, Shanghai, Beijing, Washington DC, dan terakhir kali menutup usia di New York, Amerika Serikat. ”Madame Song Mei Ling, istri Jenderal Chiang, selalu memuji Hui Lan di depan para pemimpin dunia. Dia disebut sebagai orang penting di balik layar diplomasi Tiongkok semasa Perang Dunia II,” kata Tommy Lee, Kepala Penerangan Kamar Dagang Taiwan di Jakarta.

Hui Lan menjadi tokoh di belakang layar diplomasi dunia setelah menikahi Wellington Koo, Duta Besar dan kelak Menteri Luar Negeri Republik Tiongkok (Zhong Hua Min Guo) saat berada di Eropa dan AS semasa Perang Dunia II.

Buku Raja Gula Oei Tiong Ham karya Liem Tjwan Ling menyebutkan, Hui Lan hijrah ke London menemani ibunya, Goei Bing Nio, tahun 1918. Ia tinggal di sebuah rumah seluas 1,6 hektar lebih di Oaklands, Wimbledon.

Saat liburan di Venesia, Putri Alice dari Monako memperkenalkan Nyonya Goei dan Hui Lan kepada para bangsawan.

Jodoh

Selepas Venesia, Nyonya Goei mengajak Hui Lan ke Paris. Sang ibu bercerita hendak menjodohkan dirinya dengan seorang diplomat Tiongkok yang tidak lain adalah Wellington Koo. Wellington sebelumnya sudah pernah dua kali menikah karena dijodohkan paksa di zaman peralihan Dinasti Qing yang kolot dan munculnya Tiongkok Baru.

Mereka bertemu saat Perang Dunia I baru berakhir. Wellington Koo adalah orang nomor dua dalam delegasi Tiongkok yang membahas tatanan dunia pascaperang. Mereka menikah akhir tahun 1918 di kantor perwakilan Tiongkok di Brussels, Belgia.

Pasang-surut politik Tiongkok pada tahun 1920-an dialami pasangan Wellington dan Hui Lan saat tinggal di Beijing. Sempat tersingkir, saat Chiang Kai Shek mengambil alih kekuasaan, pemerintah Chiang akhirnya memanggil kembali Wellington.

Terlahir dari keluarga superkaya, Hui Lan sudah terbiasa berkendara dengan mobil sekelas Bentley dan Rolls Royce pesanan khusus hadiah perkawinan.

Kiprah Hui Lan dalam panggung diplomasi dunia dimulai tahun 1938 ketika Wellington Koo menjadi Duta Besar Republik Tiongkok untuk Perancis tahun 1936. Saat itu baru ada 13 kedutaan besar di Paris. Hui Lan, yang terbiasa bergaul dengan kalangan atas, mulai mengenal dunia protokoler diplomatik dan segera menyesuaikan diri.

Hui Lan memperkenalkan politisi penting Eropa dengan masakan Tionghoa seperti sup hisit (sirip ikan hiu) dan merogoh kantong pribadi, melengkapi kedutaan besar dengan perabot Tiongkok dan Perancis nomor satu di Avenue George V, Paris.

Kung Hsiang Hsi, Menteri Keuangan Tiongkok, menilai, kedutaan itu adalah perwakilan Tiongkok terindah di dunia.

Saat Perang Dunia II meletus dan separuh Perancis diduduki Nazi Jerman, Kedutaan Tiongkok pindah ke Kota Vichy. Vichy adalah pemerintahan Perancis ”merdeka” yang berada di sebelah selatan negeri itu.

Tidak lama berada di Vichy, Hui Lan mengikuti suami yang dipindahkan ke London, Inggris, di tengah peperangan. Mereka berangkat via Lisabon, Portugal, yang merupakan negara netral.

Sekali lagi, Hui Lan menjalin hubungan akrab dengan Ibu Suri Mary, Putri Elizabeth (kini Ratu Elizabeth), Perdana Menteri Winston Churchill, dan tentu saja Raja George VI yang memimpin Kerajaan Inggris. Istana Buckhingham menjadi tempat yang biasa disambangi Hui Lan.

Hui Lan memodifikasi acara high tea (minum teh sore) dengan suguhan sup sarang burung walet, sup hisit, lidah burung merak dengan jamur dan kacang, serta beragam hidangan eksotis.

Hui Lan dikenal mampu memancing suasana yang kaku menjadi hangat seperti suatu ketika di jamuan makan malam di Downing Street 10 bersama Churchill yang sedang bermuram durja. Churchill akhirnya tertawa lepas setelah Hui Lan berbincang dan mengajaknya berbicara soal hobi melukis sang PM.

Churchill

Churchill meminta pada Hui Lan agar diberi kesempatan berburu harimau Manchuria sebelum meninggal. Hui Lan menyanggupi permintaan tersebut.

Selanjutnya, tahun 1944, Wellington dan Hui Lan untuk sementara menghadiri sidang di Dumbarton Oaks, AS, untuk meletakan dasar berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada tahun 1946, Wellington Koo menjadi Duta Besar Tiongkok di AS. Hui Lan bergaul dengan sobat baru seperti Presiden Harry S Truman.

Hui Lan menjadi istri Dubes hingga suaminya mengakhiri penugasan di AS tahun 1956. Wellington, ujar Tommy Lee, kembali menikahi perempuan lain. ”Namun, secara resmi yang dikenal sebagai Madame Wellington Koo adalah Oei Hui Lan dari Semarang,” kata Lee.

Oei Hui Lan mengakhiri hari tua di dalam sepi dan lepas dari kehidupan yang glamour. Dia menulis buku yang judulnya diambil dari pepatah Tionghoa, Mei You Bu San De Yan Qing-Tidak ada pesta yang tak berakhir-No Feast Lasts Forever.

Akhir hidup sederhana dari seorang perempuan asal keluarga superkaya. Perusahaan Kian Gwan Concern diambil alih Pemerintah Republik Indonesia dan berganti nama jadi Rajawali Nusindo. (Iwan Santosa)

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/12/0231284/nyonya.semarang..dan..chiang.kai.shek

Pelajaran Mahal Sekarung Sawit

| | | 0 komentar
Tiga warga Sanggau ditahan dan diperkarakan karena mengambil sawit seharga Rp 60 ribu. PTPN XIII bersikukuh hanya memberikan pelajaran.

PT Perkebunan Nusantara (Persero) XIII memperkarakan pencuri brondolan sawit di Blok 107 Kebun Inti PTPN XIII Parindu, Sanggau, Kalimantan Barat. Tiga warga tertangkap tangan membawa 60 kilogram brondolan sawit. Harga sekilogram brondolan sawit Rp 1.000 hingga Rp 1.500.

Tiga warga yang ditangkap adalah Yulita Linda (27), Agung (27), dan Norweti (30). Linda dan Agung merupakan suami-istri. Mereka ditahan di Mapolsek Tayan Hulu, Sosok, Sanggau, 14 hingga 17 Mei 2010.

Kejadian berawal pada 14 Mei. Ketika itu Linda berembuk dengan suaminya untuk membayar uang SPP anak mereka. Sudah setahun ini anak mereka menunggak uang SPP. Mereka juga harus membayar uang seragam sekolah Rp 480 ribu.

Saat itu datang Norweti. Ia mengajak Linda mencari buah sawit di kebun milik PTPN XIII. Agung melarang istrinya ikut. “Perbuatan itu bisa dianggap mencuri,” kata Agung. Agung berangkat ke kebun miliknya sambil memberikan uang Rp 15 ribu untuk biaya mencicil uang SPP anak mereka.

Sawit Busuk
Linda dan Norweti berangkat menuju kebun milik PTPN XIII. Selama dua jam, dari pukul 14.00 hingga 16.00, keduanya mengumpulkan sekitar 60 kilogram sawit. “Kami mengambil buah yang jatuh dari pohon dan tak diangkut. Kami kumpulkan dan masukkan karung,” kata Linda.

Buah sawit itu sudah busuk. Buah yang sudah jatuh diperkirakan tidak dipakai PTPN XIII lagi. “Saya yakin ini tidak dibawa dan tidak dibutuhkan perusahaan,” kata Norweti.

Karena tak sanggup membawa sendiri, Linda memberi tahu Agung melalui SMS. Dia meminta suaminya datang untuk membawa dua karung berisi sawit. “Saya baru saja operasi sesar. Jadi, tak sanggup bawa karung itu,” kata Linda.

Agung datang mengendarai sepeda motor dan mengangkut dua karung sawit tersebut di bagian depan motor. Di perjalanan, ia bertemu Razak, satpam PTPN XIII, Segianto, polisi Tayan Hulu, dan Asman, anggota TNI. Ketiga orang itu baru saja menonton pertandingan sepak bola di Sanjan Emberas.

Razak curiga melihat karung di sepeda motor Agung. Ia minta Agung ke kantor satpam PTPN XIII. Setelah diperiksa dan kedapatan membawa sawit, Agung dibawa ke Polsek Tayan Hulu.
Dari pemeriksaan, Agung mengakui membawa dua karung berisi buah sawit tersebut. Polisi mengenakan Pasal 363 dan 362 KUHP, pencurian yang dilakukan secara bersama. Ancaman hukumannya selama-lamanya 7 tahun penjara.

Agung menyatakan hanya membawa sawit itu. Kemudian polisi memanggil Linda dan Norweti. Polisi menahan Agung. Linda dan Norweti diperbolehkan pulang. Keduanya diminta membuat surat pernyataan tak melakukan perbuatan itu lagi. Namun, karena khawatir dengan kondisi suaminya, Linda minta ditahan juga.

Linda meminta Norweti membawakan pakaian dan kedua anaknya. Sebab, dia tak membawa pakaian, dan anaknya tak ada yang menjaga. “Anak di rumah tak ada yang mengasuh. Jadi, dibawa ke kantor polisi juga,” kata Linda.

Polisi menahan Agung di sel tahanan. Linda dan dua anaknya di ruangan Polsek Tayan Hulu. Di kantor polisi, mereka tidur beralas tikar. Hari pertama, kondisi kedua anak itu baik saja. Hari kedua, anak-anak mulai rewel dan menangis. Hari ketiga, dua anak itu mulai sakit. Akhirnya, polisi memberikan penangguhan penahanan.

Jalur Hukum
Mereka dibebaskan dengan syarat wajib lapor setiap Senin. Pihak PTPN XIII bersikukuh melanjutkan kasus ini ke pengadilan. Berkas sudah dikirim ke kejaksaan.

Erma Ranik, anggota DPD dari Kalbar

Erma Ranik, anggota DPD dari Kalbar
Anggota DPD Kalimantan Barat, Erma Ranik, mengatakan seharusnya kasus ini dihentikan. Sebab, dampak dari kasus tersebut tidak hanya terhadap orangtua, tetapi juga terhadap anak-anaknya. “Anak akan mengalami trauma. Banyak efek timbul dengan kasus tersebut. Terutama pada psikologi anak.”

Erma meminta kasus ini dihentikan dan selesai secara kekeluargaan. Erma secara resmi akan mengirim surat kepada Kementerian BUMN agar Direksi PTPN XIII diganti. “Sebab, mereka telah melakukan tindakan sewenang-wenang,” katanya. Erma bersama anggota DPD lainnya berjanji mengawal kasus ini.

Hairiah, anggota DPD dari Kalimantan Barat, menyatakan penyesalan atas sikap Direksi PTPN XIII. Menurut dia, apa yang dilakukan warga merupakan bentuk dari tidak terpenuhinya kebutuhan mendasar warga. “Seharunya PTPN mengembangkan CSR bagi warga yang berada di sekitarnya,” kata Hairiah. Corporate Social Responsibility merupakan bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan terhadap warga di sekitarnya.

SD Hasugian, Manager Kebun Inti, Kembayan, Sanggau, menyatakan selama ini sudah sering terjadi pencurian buah sawit. “Sudah terlalu banyak yang diselesaikan secara kekeluargaan.”

Menurut Hasugian, sebagai pegawai BUMN yang diberi mandat pemerintah, dia harus melakukan penanganan. Kalau dia memberikan toleransi terhadap pencurian, orang yang sudah pernah dipenjara atau sedang menjalani proses pemeriksaan, akan protes. “Ini efek domino yang akan terjadi. Orang akan mempertanyakan hal itu.”

Hasugian memberikan data, pada tahun 2008 ada sekitar 1.000 ton buah tandan segar (BTS) hilang. Jumlah itu nilainya setara dengan Rp 1,2 miliar. Pada 2009 buah sawit yang hilang berkurang menjadi ratusan ton saja. Pada 2010, dari Januari hingga Agustus, ada sekitar 16 kasus pencurian. “Jumlah yang dicuri biasanya lebih besar, karena tidak ketahuan,” katanya.

Hasugian mengatakan, manajemen PTPN XIII terpaksa menempuh jalur hukum karena ingin memberikan edukasi atau pendidikan kepada warga. Sebab, selama ini yang sudah dilakukan, setiap ada masalah selalu dilakukan penyelesaian secara adat. “Ketika hukum adat sudah dilakukan, dan mereka melakukan lagi, cara hukum positif yang kita lakukan.”

Selaku badan usaha milik negara (BUMN) yang menangani 4.300 hektare kebun inti dan 5.000 hektare kebun plasma, Hasugian mempunyai kewajiban meningkatkan hasil kebun. Salah satu cara yang dilakukan adalah mengurangi pencurian sawit dan memangkas tengkulak sawit hasil warga.

Pembelaan
Erma Ranik mengatakan, bila PTPN XIII ingin menjadikan hal itu sebagai bentuk pembelajaran, sangat mengkhawatirkan. “Sangat tidak masuk akal, untuk membuat efek jera dengan uang Rp 60 ribu,” katanya.

Erma akan menyiapkan tujuh pengacara untuk melakukan pembelaan. Salah satu pengacara, Marselina, menyatakan dalam penanganan kasus hukum ada aspek keadilan. Tidak hanya menegakkan hukum. “Biaya yang akan dikeluarkan untuk sidang tidak sebanding dengan harga sawit yang diambil,” katanya.

GM PTPN XIII R Girsang

GM PTPN XIII R Girsang
P Girsang, General Manager Distrik Kalimantan Barat II, mengaku prihatin atas apa yang terjadi. Menurut dia, PTPN XIII sudah melakukan berbagai pemberdayaan pada masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar kebun. Warga diberi berbagai pekerjaan semisal memberi pupuk dan memelihara tanaman . “Intinya, kalau warga mau bekerja, tidak akan kelaparan,” katanya.

Repotnya, warga di sekitar kebun PTPN XIII tidak mau bekerja sebagai petani kebun. “Setiap hari kami malah mendatangkan puluhan truk pekerja dari luar daerah. Sebab, warga di sini sudah tak mau bekerja seperti itu lagi,” kata Girsang.

Pencurian yang terjadi biasanya dilakukan orang yang sudah tidak mempunyai kebun plasma. Dan, brondolan yang jatuh dari pohon merupakan sawit paling bermutu. Sebab, kandungan minyaknya mencapai 40 persen. Buah tandan segar hanya memiliki kandungan minyak 20 persen hingga 22 persen.

PTPN XIII sudah menggelontorkan dana Corporate Social Responsibility Rp 32 miliar untuk memberdayakan warga. Dana itu diberikan selama tahun 1998 - 2010 untuk semua daerah di Kalimantan.

Humas PTPN XIII, Subardi, menyatakan kewajiban PTPN XIII sebatas melaporkan kepada yang berwajib, sekecil apa pun permasalahan yang menyangkut kasus hukum. Masalah pencurian brondolan kelapa sawit sudah di ranah hukum. Dia meminta semua menyerahkan penanganan kasus ini kepada aparat hukum. “Mari kita belajar menghargai hak-hak orang lain. Jangan hanya menonjolkan hak sendiri,” kata Subardi.

Sebab, hidup memang seperti itu. Katanya. (*)

vhrmedia

Hilangnya Sebuah Negeri Islam Melayu

| | | 0 komentar
Oleh: Iman Nugraha, SH

Bagi sebagian umat, Patani mungkin hanya sebuah nostalgia negeri Melayu. Orang-orang yang memperhatikan peta Asia Tenggara sekarang akan mengetahui bahwa sebuah negeri Islam yang dulu berjaya kini telah hilang dan tinggal kenangan.

Berbeda dengan nasib negeri lainnya seperti Bosnia, Kashmir, Chechnya atau Palestina yang tak pernah sepi dari pemberitaan. Patani ditakdirkan telah menjadi sebuah negeri yang dilupakan orang, sepi dan tidak naik panggung. Namanya hanya terdapat pada peta dan dokumen lama saja. Demikian juga dengan orang Patani, hilang dan tak dikenal.

Patani yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah Changwad atau wilayah Patani sebagaimana terdapat dalam peta negara Thailand sekarang, tetapi lebih kepada sebuah negeri yang sempadannya lebih luas (Negeri Patani Besar) yang meliputi wilayah-wilayah Narathiwat (Teluban), Yala (Jalor) dan sebagian Senggora (Songkla, daerah-daerah Sebayor dan Tibor) bahkan Kelantan, Kuala Trengganu dan Pethalung (Petaling).

Patani itu Langkasuka

Negeri Patani memiliki sejarah yang cukup lama, jauh lebih lama daripada sejarah negeri-negeri di Semenanjung Melayu seperti Malaka, Johor dan Selangor. Sejarah lama Patani merujuk kepada kerajaan Melayu tua pengaruh Hindu-India bernama Langkasuka sebagaimana dikatakan oleh seorang ahli antropologi sosial di Prince of Songkla University di Patani, Seni Madakakul bahwa Langkasuka itu terletak di Patani. Pendapat beliau ini didukung oleh ahli sejarawan lainnya seperti Prof. Zainal Abidin Wahid, Mubin Shepard, Prof. Hall dan Prof. Paul Wheatly.

Lebih jauh bahkan Sir John Braddle menegaskan bahwa kawasan timur Langkasuka meliputi daerah pantai timur Semenanjung, mulai dari Senggora, Patani, Kelantan sampai ke Trengganu, termasuk juga kawasan sebelah utara negeri Kedah (M. Dahlan Mansoer, 1979).

Dalam buku sejarah negeri Kedah, Hikayat Merong Mahawangsa, ada menyebutkan bahwa negeri Langkasuka terbagi dua: Sebagian terletak di negeri Kedah yaitu terletak di kawasan tebing sungai Merbok. Sebagian lainnya terletak di sebelah timur Kedah, yaitu di pantai Laut China Selatan. Dalam hal ini Prof. Paul Wheatly tanpa ragu mengatakan bahwa Langkasuka terletak di Patani sekarang. Pendapat beliau dikuatkan dengan temuan kepingan batu-batu purba peninggalan kerajaan Langkasuka di daerah Jerang dan Pujud (nama-nama kota pada masa itu). Konon, menurut buku Negarakertagama, Jerang atau Djere merupakan ibukota Langkasuka.

Sedangkan asal muasal orang Patani menurut para antropolog berasal dari suku Javanese-Malay. Sebab ketika itu suku inilah yang mula-mula mendiami Tanah Melayu. Kemudian berdatangan pedagang Arab dan India yang melakukan persemendaan sehingga menurunkan keturunan Melayu Patani di selatan Thai sekarang.

Tanah Melayu telah didatangi pedagang dari Arab, India dan China sejak sebelum masehi. Seorang pengembara China menyebutkan bahwa ketika kedatangannya ke Langkasuka pada tahun 200 masehi, ia mendapati negeri itu telah lama dibuka.

Pengaruh Sriwijaya

Sebelum menjadi negeri Islam, Patani (baca: Langkasuka) dikenal sebagai kerajaan Hindu Brahma. Rajanya yang terkenal adalah Bhaga Datta (515 M) yang berarti "pembawa kuasa". Ketika kerajaan Sriwijaya di nusantara berhasil menaklukkan Nakorn Sri Thamarat (sekarang Ligor di Thailand) pada 775 M dan kemudian mengembangkan kekuasaannya ke selatan (Patani), mulailah penduduk Patani meninggalkan agama Hindu dan memeluk Budha. Sebuah berhala Budha zaman Sriwijaya yang ditemui dalam gua Wad Tham di daerah Yala membuktikan pertukaran agama di atas.

Di bawah pemerintahan Sriwijaya inilah Patani mulai menapaki kemajuan, ramai dan terkenal. Hasil negeri Patani pada waktu itu banyak berupa pertanian dan perniagaan. Beberapa pengetahuan bernilai seperti teknik membajak dan berdagang diterima oleh orang Patani dari orang Jawa. Diyakini juga bahwa kerajaan Sriwijaya inilah yang membawa dan mengembangkan bahasa Melayu ke Patani.

Besarnya upeti yang diberikan setiap tahun ke kerajaan Sriwijaya menunjukkan bahwa Patani ketika itu kaya dan makmur.

Memeluk Islam

Tak diketahui pasti kapan Patani memeluk Islam, namun kalau dilihat kebanyakan

karya sastra sejarah dan merujuk kepada Teeuw dan Wyatt, juga W.K Che Man maka dapat diperkirakan bahwa Patani menjadi negeri Islam pada 1457 (Martinus Nijhoff, 1970).

Masuknya Patani kedalam Islam ibarat sebuah "dongeng", namun itulah adanya, seperti tertulis dalam buku-buku sejarah. Dikisahkan pada waktu itu Patani (Langkasuka) diperintah oleh raja Phya Tu Nakpa. Raja dikabarkan menderita sakit yang tak kunjung sembuh. Beliau mendengar ada seorang tabib, syeikh Said, seorang Muslim, yang mampu menyembuhkan sakitnya. Tabib tersebut sanggup mengobati penyakit sang Raja asal dengan syarat jika sembuh dari sakitnya maka Raja harus memeluk Islam. Namun Raja Phya Tu Nakpa ingkar janji setelah sembuh. Akhirnya Raja sakit kembali. Kejadian ini terulang sampai tiga kali. Pada kali ketiga inilah Raja bertaubat, ia tidak akan memungkiri janjinya lagi.

Setelah Raja sembuh dari sakitnya, beliau bersama keluarga dan pembesar istana memeluk Islam. Raja Phya Tu Nakpa berganti nama menjadi Sultan Ismail Shah. Sejak saat itu mulailah Islam berkembang dan pengaruh Hindu-Budha mulai berkurang, lemah dan akhirnya hilang dari Patani.

Raja Phya Tu Nakpa (Sultan Ismail Shah) diketahui juga sebagai pengasas negeri Patani. Beliaulah yang mengganti nama kerajaan lama menjadi Patani yang berarti "Pantai Ini". Karena beliau secara kebetulan menemukan suatu tempat yang indah dan ideal untuk dijadikan negeri di tepi pantai. Riwayat lain mengatakan Patani berasal dari kata "Pak Tani". Yaitu pemilik pondok (seorang petani garam) ditepi pantai yang ditemui oleh Raja ketika beliau bepergian mencari lokasi negeri baru. (Ibrahim Shukri, tanpa tahun)

Setelah berpindah ke Patani, Patani menjadi lebih ramai dan oleh karena lokasinya yang baik, tempat baru ini menjadi makmur dan mewah. Patani menjadi pusat daya tarik saudagar-saudagar dari timur seperti Jepang, China, Siam dan Eropa. Tercatat pada 1516 kapal dagang Portugis singgah pertama kalinya di pelabuhan Patani. Pinto, seorang saudagar dan penjelajah asal Portugis menyatakan: "Pada masa saya datang ke Patani dalam tahun itu saya telah berjumpa hampir-hampir 300 orang Portugis yang tinggal di dalam pelabuhan Patani. Selain dari Portugis didapati juga bangsa-bangsa timur seperti Siam, China dan Jepang. Orang-orang Jepang besar juga perniagaannya di pelabuhan ini."

Menaklukkan Siam

Sepeninggal Sultan Ismail Shah, putranya yaitu Sultan Muzaffar Shah, diangkat menjadi Sultan Patani. Selain meneruskan dan memajukan negerinya, Sultan Muzaffar Shah sering melakukan lawatan ke negara tetangga seperti Malaka, Siam. Namun dalam lawatan ke Siam (sekarang Thailand) beliau diperlakukan tidak selayaknya oleh Raja Siam. Raja Siam merasa lebih tinggi derajat dan kedudukannya daripada Sultan Patani. Sehingga perlakuan ini menimbulkan perasaan terhina dalam jiwa Sultan Muzaffar.

Ketika mengetahui kerajaan Siam diserang oleh Burma pada 1563, Sultan Muzaffar Shah bersama adiknya Sultan Mansyur Shah memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang Siam. Dengan mengerahkan 200 kapal perang dan ribuan pasukan, Siam akhirnya jatuh ke tangan Sultan Muzaffar pada tahun itu juga.

Sayang, tak lama kemudian, Sultan Muzaffar meninggal secara mendadak di muara sungai Chao Phraya dan dimakamkan di sana. Sebelum meninggal Sultan Muzaffar mengamandatkan kekuasaan kepada adiknya, Sultan Mansyur Shah. Hal ini dilakukan karena sampai akhir hayatnya Sultan Muzaffar tidak mengetahui bahwa permaisurinya sedang hamil. Sekalipun Sultan Muzaffar mempunyai anak dari selirnya (Pengiran Bambang), namun dalam tradisi pewarisan tahta di kerajaan Melayu tidak mengenal calon Raja dari anak selir. Sehingga diangkatlah adiknya (Sultan Mansyur Shah) menjadi Sultan Patani sampai akhir hayatnya (1564-1572).

Sebelum meninggal, Sultan Mansyur Shah telah berwasiat agar anak saudaranya -- anak Sultan Muzaffar Shah -- yaitu Patik Siam (10 th), pewaris sah kesultanan, diangkat menggantikan dirinya. Namun pengangkatan ini menimbulkan kebencian dan kedengkian dari Pangiran Bambang (anak Raja dari selir). Para ahli sejarah mengatakan bahwa peristiwa ini merupakan titik awal perselisihan dan perebutan kekuasaan dalam istana. Antara tahun 1573-1584 merupakan tahun-tahun penuh gejolak bagi kesultanan Patani. Tercatat dua kali terjadi perebutan kekuasaan disertai pembunuhan yang semuanya melibatkan anak-anak dari selir (anak Raja yang bukan dari permaisuri).

Kejayaan dan Keruntuhan

Patani mencapai zaman keemasannya ketika diperintah oleh empat orang Ratu yaitu Ratu Hijau (1584-1616), Ratu Biru (1616-1624), Ratu Ungu (1624-1635) dan Ratu Kuning (1635-1651).

Patani pada zaman Ratu-ratu sangat makmur dan kaya. Kekuasaannya meluas hingga ke Kelantan dan Trengganu sehingga terkenal dengan sebutan Negeri Patani Besar. Kecuali Johor, tidak ada negeri lain di belahan timur Semenanjung Melayu yang memiliki kemakmuran dan kekuatan sehebat Patani kala itu.

Kekuatan negeri Patani tergambar dari kemampuannya mematahkan empat kali serangan kerajaan Siam pada 1603, 1632, 1634 dan 1638. Patani memiliki 3 buah meriam besar yang sangat masyhur yaitu Seri Negara, Seri Patani dan Mahalela. Mampu mengerahkan 180.000 pasukan siap tempur dan diperkuat oleh sebuah benteng yang tak kalah terkenalnya yakni Benteng Raja Biru.

Sayang, masa kejayaan ini hanya bertahan 67 tahun. Ketika Ratu Kuning meninggal pada 1651, Patani mengalami proses kemerosotan secara politik, militer dan ekonomi. Patani hanya mencatat kemajuan ketika dipimpin oleh Raja Sakti I dan Raja Bahar yang mampu menyatukan Senggora (Songkla) dan Pethalung.

Pada akhir abad ke-17 ini, Patani mulai kehilangan era keemasannya. Tidak adanya peperangan dengan Siam, yang merupakan musuh tradisi bersama, sampai menjelang kejatuhannya (hampir satu abad) menyebabkan negeri Patani Besar yang tadinya bersatu (meliputi Kelantan, Trengganu, Patani Awal, Senggora dan Pethalung), perlahan-lahan mulai memisahkan diri. Perang yang terakhir yang melibatkan Patani - Siam terjadi pada 1638. Sejak tahun itu tidak ada lagi peperangan di antara kedua negara.

Kekuatan politik dan daya tarik pelabuhannya sebagai pusat dagang utama juga semakin redup, seiring dengan makin banyaknya pusat-pusat dagang yang baru seperti Johor, Malaka, Aceh, Banten dan Batavia (Jakarta).

Sebagai negara perairan, ekonomi Patani sangat tergantung pada perniagaan. Kemerosotannya pada bidang ini telah menyebabkan barometer ekonomi Patani anjlok. Maka boleh dikata, sejak awal abad ke-18, pelabuhan Patani hanya sebagai tempat persinggahan saja bukan pusat dagang dan bisnis lagi. Ditambah lagi faktor ketidakstabilan politik, perpecahan wilayah dan krisis pucuk pimpinan, maka lengkaplah Patani menjadi "Orang Sakit di Semenanjung Melayu".

Malang bagi Patani, karena hampir bersamaan dengan kemerosotan ini, Siam, di bawah pimpinan Panglima Taksin bangkit kembali dan berhasil mengusir Burma dari seluruh negeri. Sehingga ketika Patani lengah dan lemah, Siam berhasil menaklukkannya pada 1785. Maka mulai tahun inilah, Patani berada dalam cengkeraman Siam. Bahkan pada 1909, lewat Perjanjian Bangkok antara Inggris-Siam, Patani akhirnya terserap menjadi wilayah "resmi" Siam yang kemudian merubah namanya menjadi Thailand sampai sekarang ini.

sumberhttp://www.angelfire.com/id/sidikfound/pattani.html

Perwira Kritik Presiden

| | | 0 komentar
Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat kritik pedas dari bawahannya. Adalah Adjie Suradji, anggota TNI Angkatan Udara, yang berani melakukan kritik itu di Harian Kompas.

Secara terbuka, Adjie mengkritik Presiden SBY lewat tulisan artikelnya di kolom opini terbitan Senin (6/9/2010). Adjie menyerang kepemimpinan Presiden lewat tulisan berjudul Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan.
Itu pemikiran beliau, tiap orang punya hak untuk berpendapat. Salah satunya itu yang digoreskan dalam sebuah hasil karya berupa tulisan

Selain mengkritik kepemimpinan SBY dalam menggerakkan roda pemerintahan, Adjie juga mempertanyakan keberanian SBY sebagai Panglima Tertinggi TNI.

Adjie Suradji kini berpangkat sebagai kolonel dan tengah menjabat sebagai staf operasional di Mabes TNI AU.

Ayah dari Theo Natalie Barton ini pernah menjabat sebagai Komandan Lapangan Udara Sjamsudin Noor di Banjarmasin pada 1997-1999. Jabatan yang diembannya waktu itu masih berpangkat Letnan Kolonel Penerbang.

Suami dari Meity Rotinsulu itu melawan adat militer yang melarang bawahan mengiritik atasan. Apalagi, sasaran kritiknya adalah Panglima Tertinggi TNI, yakni Presiden.

Saat dikroscek, petugas Lanud Syamsudin Noor membenarkan jika yang bersangkutan pernah menjabat sebagai Komandan Lanud. Sosoknya memang tidak banyak diketahui publik.

"Saya tidak tahu mengenai sosoknya, yang jelas dia senior saya. Tidak pernah bertemu dan tidak tahu mengenai pemikiran dan program kerja beliau, khususnya dengan keluarnya tulisan tersebut," ujar Letkol Pnb Singgih Hadi, Komandan Lanud Sjamsudin Noor, Senin (6/9/2010).

Ia mengakui, memang dengan apa yang dilakukan Adjie merupakan suatu langkah yang sangat berani. Terlebih dengan tulisannya yang begitu terang-terangan dan terbuka.

"Itu pemikiran beliau, tiap orang punya hak untuk berpendapat. Salah satunya itu yang digoreskan dalam sebuah hasil karya berupa tulisan," tegasnya. (Kur)

Editor: yuli | Sumber :Banjarmasin Pos

Inilah Kritik kepada Presiden Itu...

| | | 0 komentar
Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan
Oleh: Adjie Suradji

Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.

Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.

Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.

Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.

Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.

Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503-1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.

Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?

Keberanian

Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.

Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.

Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.

Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?

Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?

Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).

Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.

Adjie Suradji, Anggota TNI AU


sumber http://nasional.kompas.com/read/2010/09/06/18382584/Inilah.Kritik.kepada.Presiden.Itu...-8

Ketika Senjata Api Mengoyak Buol

| | | 0 komentar
Oleh Adha Nadjemuddin

Supriadi (26) masih dalam keadaan kritis di Rumah Sakit Umum Buol yang menjadi salah satu korban penembakan saat terjadi bentrok antara Polisi dan Warga di Buol, Sulawesi Tengah, Kamis (2/9). ( ANTARA/Muhamad Nasrun)Stevani Verawaty, 17 tahun, terkulai tak berdaya. Tubuhnya lentur sekali seperti tak bertulang saat digendong masuk ke kamarnya.

Wartawan foto dan kamerawan segera menyorot putri pertama Saktipan Kapuung, suami Dahlia Sondak, orangtua Verawaty.

Dia syok mendapati ayahnya Saktipan Kapuung tewas dalam bentrok warga sipil bersenjata batu melawan polisi yang mengokang senapan mesin otomatis di Buol, Sulawesi Tengah, Rabu dini hari, 1 September 2010.

Saktipan bersimbah darah di atas motornya saat timah panas bersarang di rusuk kiri bapak empat anak itu.

Peristiwa tragis itu menimpanya saat pulang dari rumah sakit setelah membawa seorang korban penembakan lainnya.

Dalam perjalanan pulang, Saktipan tertembak dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit, Kamis (2/9).

"Kami berpikir penembaknya tersebar karena ia ditembak jauh dari kerumunan aparat dan orang-orang yang berhadapan dengan polisi," kata Abdi Turungku, adik ipar Saktipan.

Abdi menduga kakak iparnya itu dua kali ditembak karena dia menyaksikan dua lubang menembus bawah ketiak Saktipan. Anehnya, dia tidak menemukan proyektil bersarang pada Saktipan.

"Tidak mungkin hanya satu peluru dalam dua lubang yang berbeda," kata Abdi.

"Kami sakit sekali. Terus terang ini sadis," sambungnya pedih.

Kelurga almarhum meminta kasus ini segera dituntaskan sebab sampai malam ketiga setelah almarhum dimakamkan, belum ada tanda-tanda tegaknya kebenaran bagi keluarga korban.

1 Oktober depan, usia Saktipan genap 48 tahun. Sebagai Kepala UPT Transmigrasi Buol, Saktipan baru saja menyelesaikan pendidikan transmigrasi di Jakarta.

Ia pulang ke Buol berkumpul bersama keluarga selama Ramadan, menanti tibanya Idul Fitri. Tapi takdir berkata lain, Tuhan memanggilnya lebih awal sebelum hari agung itu tiba.

Timah panas yang dimuntahkan senapan otomatis milik polisi telah melukainya dan membuat empat putrinya mendadak yatim, sekaligus membuat istrinya Dahlia harus berubah status menjadi orangtua tunggal.

"Saya sangat berharap masalah ini segera tuntas," tutur Dahlia.

Berubah

Menurut Dahlia, sepulang dari pendidikan di Jakarta, sikap suaminya itu berubah. Dia banyak berdiam diri bahkan sehari sebelum wafat, almarhum meminta maaf kepada sang istri dan menitipkan putri bungsunya Apriali Ningsih (5 tahun) untuk dirawat.

Dahlia tidak menyangka kalau sikap almarhum itu adalah pertanda dia akan segera pergi selamanya ke pangkuan Sang Pencipta.

Malam itu malam ketiga meninggalnya almarhum, suasana rumah sedikit sepi karena jemaah ta`zia belum datang. Sebagian besar masih di masjid menunakan salat tarawih.

Silvena, 15 tahun, putri kedua almarhum dan dua adiknya yang lain sudah duduk bersila hendak menyambut tamu malam ketiga.

Silvena merunduk. Disekanya air mata yang membasai pipinya dengan jilbab yang menutupi kepalanya. Sementara, foto ayahnya yang telah tiada itu dibekapnya erat dalam pangkuannya.

"Sebelum meninggal, papa bilang saya sudah besar. Papa tepuk bahu saya. Kata papa, saya sudah besar. Sekolah yang baik nak," kata Silvena mengenang pesan terakhir sang ayah.

Tak pernah dijajah

Tragedi berdarah di Buol yang menewaskan delapan orang dan puluhan lainnya luka-luka adalah peristiwa paling buruk dalam sejarah Kabupaten Buol.

"Selama ada gejolak di daerah ini, belum ada darah yang tumpah ke bumi dan nyawa yang melayang sia-sia," kata Raja Buol XII Ibrahim Turungku.

Dia menambahkan, "Di sini sering ada demo, tapi tidak sampai seperti ini. Peristiwa ini paling buruk selama Buol ini ada."

Lain daerah lain pula adat istiadatnya. Begitu juga Buol. Kekerabatan dan kekeluargaan masyarakat Buol sangat kental sebab asal muasal Buol hanya satu rumpun.

Tidak ada subetnis di Buol. Jika etnis Bugis menyebut "ibu" dalam beragam nama, seperti indo, emma, dan mama, maka di Buol sebutan "ibu" hanya satu, `tiina.`

"Ini yang membuat kami kuat," kata Ibrahim.

Selain mengenal sistem pemerintahan, masyarakat Buol juga masih kental dengan sistem kerajaan. Kerajaan Buol sudah ada sejak 15 Agustus 1858. Raja pertamanya bernama Mohammad Noer Aladin. Sekarang Buol dipimpin raja ke-12.

"Catatan Kerajaan Buol yang ada di tangan kami ini difotokopi dari Netherland (Belanda)," kata Ibrahim.

Menurut Ibrahim, etnis Buol tidak pernah dijajah Belanda. Memang ada Belanda di Buol, tapi tidak berhasil menjajah. Kerajaan Buol tidak mau dijajah sehingga Belanda mengajak masyarakat Buol bekerjasama membangun daerah itu.

"Kami tidak pernah dijajah. Tapi kami bekerja sama, buktinya istana raja ini dibikin oleh Belanda," kata Ibrahim.

Abd Razak M Razak, tokoh muda terdidik Buol mengungkapkan, karakter masyarakat Buol sangat terbuka.

Puncak ketidakadilan

"Sepanjang kami tidak diinjak, welcome," kata Razak.

Dia menilai, tragedi Buol adalah bentuk perlawanan rakyat atas berbagai masalah dan ketidakadilan.

Menurut Razak, konflik vertikal di Buol saat ini adalah akumulasi kekecewaan masyarakat dari berbagai masalah yang selama ini terpendam, seperti diskriminasi penanganan unjuk rasa, arogansi aparat keamanan, dan tindakan-tindakan negatif lainnya seperti kompensasi uang dari pelanggaran lalu lintas.

"Sudah jadi rahasia umum, `sweeping` sepeda motor di sini kompensasinya Rp50 ribu tiap satu pelanggaran," kata Razak.

Kapolda Sulteng, Brigjen Pol Muh Amin Saleh mengatakan, akan bertindak tegas dan objektif sesuai fakta-fakta di lapangan.

"Sampai sekarang kita masih kumpulkan bukti-bukti," kata Amin Saleh.

Kasus Buol, menurut Kapolda, dibagi dalam tiga kategori kejadian yakni tewasnya tahanan di Polsek Biau, warga yang meninggal karena tertembak, dan penembakan pada 1 September 2010.

Begitu juga dengan materi pelanggaran. Pelanggaran dalam tragedi Buol terdiri atas pelanggaran disiplin, kode etik, dan pelanggaran pidana.

Hingga hari keempat setelah bentrokan, baru seorang polisi berpangkat brigadir yang disebut mengarah pelanggaran pidana.

Tragedi berdarah di Buol ini pecah setelah Kasmir Timumun meninggal di tahanan Polsek Biau, Senin 30 Agustus.

Polisi mengklaim Kasmir meningal karena bunuh diri, namun rakyat tidak percayainya dan menuduh polisi menganiayanya karena di tubuh korban ditemukan luka-luka memar dan mulutnya tersumpal kertas.

Ribuan warga kemudian berunjukrasa ke Mapolsek Biau Selasa (31/8), namun mereka dihadang polisi dan anggota Brimob bersenjata otomatis.

Polisi-polisi ini melepaskan tembakan dengan alasan membubarkan massa dan mempertahankan diri dari serbuan warga.
Editor: Jodhi Yudono | Sumber : AN

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?