Oleh Robert Manurung
Guru besar sekaligus Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Airlangga yang juga anggota tim TKKP, Mukono, mengatakan, gas-gas yang muncul di permukiman itu sangat berbahaya, bersifat karsinogenik, dan dapat memicu kanker. “Dampaknya akan terasa dalam jangka panjang,”katanya.
DALAM cahaya matahari sore, di awal musim kemarau, lumpur yang mulai mengering menutup lantai kelas sebuah sekolah dasar. Kursi dan meja lengket ke lantai. Barang-barang berserak. Papan tulis di dinding menyisakan coretan tentang pelajaran berhitung yang belum usai. Potret Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakilnya, Yusuf Kalla, ditinggalkan menggelantung di dinding. Berdebu.
Sepatu anak yang hanya sebelah, terjebak dalam lumpur, seperti mengisahkan satu masa ketika para siswa bergegas meninggalkan bangunan sekolah. Mereka tak bisa kembali.
Menjelang magrib, 10 Februari 2008, tanggul yang mengelilingi Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, jebol di titik 40. Gelombang lumpur menyerbu, menenggelamkan sekolah, rumah, lapangan sepakbola, masjid, dan masa depan warga. Sebanyak 418 keluarga (1.448 jiwa) warga tiga dusun di Desa Besuki mengungsi.
Sepanjang dua tahun terakhir, luberan lumpur di Desa Besuki pada 10 Februari itu merupakan yang ketiga kalinya. Pada dua luberan sebelumnya, mereka selalu pulang dan kembali hidup dalam bayangan ketakutan. “Untuk yang ketiga kali, kami menolak pulang. Kami ingin ganti rugi agar bisa pindah ke tempat aman,”kata Ali Mursid (24), koordinator pengungsi Besuki.
Warga Besuki yang lelah mengungsi menuntut untuk dimasukkan ke dalam desa terdampak dan mendapat ganti rugi dari Lapindo Brantas inc, sebagaimana desa-desa lain yang masuk peta.
Mereka bertahan di tenda darurat dan rumah semipermanen yang dibangun di tepi Jalan Tol Porong-Gempol. “Ada permainan politik, dan yang pasti pemerintah belum berpihak kepada rakyat,”kata Budi (33), warga lainnya. “Namun kami tak akan menyerah,”ujarnya.
Siang itu, Budi tengah membangun gubuk 3 x 3 meter di pinggir bekas Jalan Tol Porong-Gempol di Kilometer 38. Gubuknya berdinding anyaman bambu dan kain, serta beratap plastik terpal. “Hanya pintu ini yang bisa diambil dari rumah lama,”kata Budi.
Di gubuk itu, Budi berencana tinggal bersama istri dan tiga anaknya, yang dua di antaranya masih balita. Sebelumnya, selama tiga bulan, keluarga Budi hidup satu tenda darurat dengan beberapa keluarga lainnya.
* * *
NASIB ribuan warga di luar peta terdampak memang menyedihkan. Di Siring Barat dan Mindi, kehidupan warga tak kalah mengenaskan.
Sebuah papan bertuliskan “Dilarang Merokok dan Menyalakan Api” terpampang di 10 meter dari dapur rumah Puspa (25), warga Mindi, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Bau gas yang menyengat menguar dari rekahan tanah dan sumur.
Satu jam berada di rumah Puspa membuat perut mual dan kepala pening. Namun, Puspa sudah dua tahun ini tinggal di sana bersama lima anggota keluarganya. “Terpaksa kami tinggal di sini. Mau pindah ke mana lagi ? Siapa yang mau memberi ganti rugi kalau kami pindah ?,”kata Puspa.
Penelitian Tim Kajian Kelayakan Permukiman (TKKP) akibat semburan lumpur menemukan adanya nitrogen dioksida (NO2) yang mudah terbakar dan hidrokarbon (HC) beracun yang muncul di rumah-rumah warga di luar peta terdampak. Gas itu muncul dari rekahan tanah di bawah lantai rumah. Berdasarkan data Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), pada pertengahan Mei 2008 sudah 90 semburan baru yang muncul, paling banyak di Mindi, Jatirejo Barat, dan Siring Barat.
“Adik saya, Nina, beberapa kali pingsan karena mencium bau gas. Beberapa orang tua dan anak-anak sudah mengungsi,’kata Ikhwan (44), warga Siring Barat.
TKKP menemukan kadar HC mencapai 55.000 gram ppm dan NO2 sebesar 0,116 ppm di RT 03, Siring Barat. Angka ini sangat mengkhawatirkan karena ambang baku mutu yang diizinkan—sesuai dengan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Jatim Nomor 129 Tahun 1996—untuk HC hanya 0,24 ppm dan NO2 hanya 0,05 ppm.
Guru besar sekaligus Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Airlangga yang juga anggota tim TKKP, Mukono, mengatakan, gas-gas yang muncul di permukiman itu sangat berbahaya, bersifat karsinogenik, dan dapat memicu kanker. “Dampaknya akan terasa dalam jangka panjang,”katanya.
TKKP juga menemukan kadar logam berat kadmium (Cd) mangan (Mg), besi, dan klorida yang jauh melebihi ambang batas di sumur-sumur warga. Daya dukung untuk hidup di Porong memang makin menipis.
* * *
PELAN tapi pasti, muka tanah terus ambles. Ikhwan, warga RT 2 RW 1, Kelurahan Siring, hanya bisa pasrah ketika lantai rumahnya turun hingga 60 sentimeter sejak enam bulan terakhir. Temboknya rengkah dan kuda-kuda rumah harus diganjal dengan tiga batang kelapa. Ajaibnya, siang itu keluarga Ikhwan masih tiduran dalam rumah yang tinggal menunggu waktu untuk rubuh tersebut.
Di bawah ancaman yang nyata ini, warga masih tetap bertahan. Alasannya, seperti yang dituturkan Ikhwan,”Pemerintah tak perduli, sementara kami tak punya rumah lain.”
Namun keterpaksaan warga Siring Barat dan Mindi untuk tetap tinggal di rumahnya ditafsirkan lain oleh pemerintah. “Pemerintah pusat beralasan, kehidupan warga di Siring Barat dan Mindi masih berjalan normal. Mungkin pejabat yang menyurvei di sana hanya melihat dari dalam mobil sehingga tidak mencium bau gas racun,”kata Ketua Tim TKKP I Nyoman Sutantra, yang juga guru besar Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) ini.
Menurut Sutantra, TKKP sudah merekomendasikan agar desa-desa yang berada di zona berbahaya itu dikosongkan. “Kita berkejaran dengan waktu,”katanya.
* * *
AMIEN Widodo, ahli manajemen bencana dari ITS, mengatakan, penanganan semburan lumpur masih reaktif. Menyikapi munculnya gas berbahaya dari rekahan tanah dan lubang sumur warga, dengan dengan kadar jauh melebihi ambang batas, semestinya warga segera dievakuasi dan direlokasi. “Namun, yang terjadi, kajian kelayakan pun baru dilakukan. Itu pun setelah ada protes,’katanya.
“Antisipasi pemetaan risiko semestinya sudah dilakukan jauh-jauh hari. Analisa risiko dibuat untuk menggambarkan bencana dan kemungkinan peristiwa susulan,”kata Amien.
Analisa risiko juga akan menghasilkan kejelasan tugas masing-masing pihak jika dampak terus meluas. Termasuk prosedur yang harus disiapkan untuk kondisi darurat.
Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur Hadi Prasetyo menyadari pentingnya pembuatan zona bahaya. “Masalahnya, biayanya dari mana ? Kalau daerah, jelas tak akan mampu. Namun, apa pemerintah pusat mampu mengosongkan seluruh desa yang masuk zona bahaya ?”
Sementara itu, BPLS dan Lapindo Brantas Inc kompak menyatakan tidak mengurusi disa di luar peta terdampak. “Kami bekerja mengikuti Perpres, yaitu hanya menangani di desa terdampak,”kata Wakil Kepala BPLS Hardi Prasetyo.
“Korban di luar peta terdampak tanggungjawab pemerintah,”kata Yuniwati Teryana, Wakil Presiden Lapindo Brantas Inc.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, biaya penanggulangan korban lumpur di luar peta terdampak menjadi tanggungjawab pemerintah. Namun, sebagaimana biasanya, pemerintah lamban mengatasi korban. Akibatnya, ribuan warga hidu dalam ketidakpastian.
Ahmad arif/Gesit Ariyanto /Kompas Jumat 23 Mei, judul ; Hidup di Zona Maut.
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar