SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

PRRI, pemberontak atau pahlawan

| | | 0 komentar
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pada tahun
1958-1962. Sejumlah panglima divisi Banteng dan
staf-stafnya yang meliputi Kolonel Ahmad Husein,
Kolonel Tapanuli, Kolonel Simbolon, bersama sejumlah
politisi seperti M. Natsir, Sumitro Djayahadikusumo,
M. Hatta, dan membentuk Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di
Bukittinggi. Maksud dari PRRI ini adalah untuk
memperingatkan Yang Mulia Presiden Soekarno yang
sudah bertindak sewenang-wenang. Kecemburuan
pusat-daerah turut pula memperkeruh suasana. Kondisi
pada tahun 1950-an mirip dengan kondisi sekarang.

Soekarno membangun Jakarta sebagai pusat
pemerintahan dan membangun proyek-proyek mercu suar
seperti Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal,
dan Stadion Gelora Senayan dan sejumlah patung.
Sementara daerah dibiarkan miskin dan melarat.

Soekarno mengangkat dirinya sebagai
presiden seumur hidup. Hal ini tidak disukai oleh
panglima-panglima militer yang ada di daerah.
Apalagi Soekarno menggunakan sentimen etnis dan
ideologi. Soekarno terlalu dekat dengan PKI yang
tidak disukai oleh kelompok Islam dan nasionalis.
Panglima-panglima militer di daerah mulai mengadakan
gerakan. Sejumlah politisi di Jakarta juga sudah
mulai bergerak. Wakil presiden Muhammad Hatta, tokoh
politisi dari Partai Sosialis Indonesia (PSI),
Sumitro Djojohadikusumo, dan tokoh Masyumi Muhammad
Natsir turut dalam rapat-rapat rahasia bersama tokoh
PRRI dan tokoh Persatuan Rakyat Semesta (Permesta),
Vence Sumual.

Soekarno tak suka ekonomi. Ia lebih
suka membangun ideologi revolusioner. Oleh karena
itu, pembangunan ekonomi pada masa itu mandek.
Indonesia memang kekuatan militer terbesar di Asia
Tenggara dan Asia (setelah Cina). AS tak suka pada
Soekarno.

Soekarno menganggap PRRI/Permesta
sebagai kenakalan �anak-anak�. Soekarno memang
menganggap dirinya sebagai �Bapak� sedangkan para
politisi dan perwira militer sebagai anak-anaknya.
Soekarno adalah orang yang pandai bermain peran. Ia
pandai menempatkan diri. Ketika menghadapi kelompok
Islam ia pandai bermain peran sebagai muslim yang
baik.

Upaya Diplomasi

Pada awalnya Soekarno tidak ingin
menghadapi PRRI dengan kekerasan. Soekarno mengutus
Hasjim Ning, pengusaha, saudara Bung Hatta, untuk
menghadap Kolonel Ahmad Husein di Padang. Kolonel
Ahmad Husein mengajukan sejumlah tuntutan antara
lain: retool kabinet, bung Hatta didudukkan kembali
Wakil Presiden, dan keadilan pusat-daerah. Semua
tuntutan ini ditolak oleh Soekarno. Ia menganggap
Ahmad Husein sebagai �Anak Bandel� dan harus segera
diberi pelajaran. Kolonel Ahmad Husein adalah bukan
orang sembarangan. Ia adalah panglima Divisi
Banteng/Sumatra Timur yang berjasa mengusir tentara
NICA dari Sumatra Timur. Dan tentara Divisi Banteng
dikenal tangguh dalam berperang. Mereka
berpengalaman menghadapi Belanda. Oleh karena itu
Soekarno tidak boleh main-main. Ia harus menyiapkan
tentara terbaik untuk menyerbu Padang.

Presiden Soekarno mengutus Jenderal
Ahmad Yani untuk menyiapkan operasi tempur yang
diberi nama �Operasi 17 Agustus�. Jenderal Ahmad
Yani menyiapkan sejumlah batalyon terutama dari
Kodam IV Diponegoro dan Kodam II Siliwangi. Letjen
Soeharto ditetapkan sebagai pelaksana lapangan.
Serbuan pertama dilaksanakan dengan operasi pendarat
Amphibi di pantai Padang. Sekitar lima jam,
kapal-kapal ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia)
dengan menghujani pantai Padang yang dipertahankan
mati-matian oleh pasukan PRRI. Jelas kekuatan ALRI
bukanlah tandingan pasukan PRRI. Kekuatan ALRI
adalah yang terkuat di Asia.

Selanjutnya diteruskan dengan operasi
pendaratan pasukan Amphibi di pantai Padang berikut
tank-tank dan artileri. Lalu dilanjutkan oleh
penerjunan pasukan parasut (paratrooper) di kota
Padang dan Bukittingi. Serbuah ini menimbulkan
banyak korban jiwa baik tentara �Jawa� maupun
tentara PRRI. Pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara
Republik Indonesia (AURI) membomi titik-titik
penting pasukan PRRI. Pasukan �Jawa� akhirnya
berhasil menguasai Padang. Serbuan ofensif lalu
diteruskan hingga ke lembah Anai. Serbuan ini
ditahan oleh pasukan PRRI dalam suatu pertempuran
yang paling berdarah dalam sejarah PRRI.

Pasukan PRRI mundur ke hutan-hutan.
Pasukan �Soekarno� mengadakan gerilya di daerah
perkampungan dan perkotaan. Dalam proses itu,
ratusan dan ribuan orang diciduk. Sebagian mati
dalam tahanan.

Pasukan KODAM Siliwangi dikenal
berperilaku lebih baik daripada pasukan dari KODAM
Diponegoro. Selain berasal dari etnis Sunda, pasukan
KODAM Siliwangi berperilaku lebih halus dan agamis.
Sedangkan pasukan KODAM IV Diponegoro berperilaku
kasar. Mereka menganggap diri sebagai pemenang
perang dan mengulangi kisah sukses ekspedisi
Pamalayu untuk menaklukkan Sumatra.

Atas bujuk rayu sejumlah tokoh,
kolonel Ahmad Husein menyerahkan diri kepada
Gubernur Bagindo Aziz Chan dan Letjen Supeno di
sebuah lapangan di Solok. Ahmad Husein menyerah
bukan karena kalah tapi demi keutuhan republik.
Pasukan PRRI masih banyak tersebar di hutan-hutan.
Ahmad Husein ditangkap dan dibawa menghadap Presiden
Soekarno.

sumber klik DI SINI

Masalah pembunuhan besar-besaran tahun 1965-1966

| | | 0 komentar
Oleh : A. Umar Said *)

Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia (pamflet, gaya bebas berfikir)

Agaknya, perlu ada peringatan terlebih dulu sebelum membaca lebih lanjut tulisan ini. Pertama, tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai hasutan supaya orang menjadi amuk-amukan tidak karuan. Kedua, tidak bertujuan untuk menyebarkan kebencian dan dendam. Ketiga, tidak mengajak berfikir picik, sempit dan dungu. Ke-empat, bukan usaha untuk membohongi pendapat umum. Ke-lima, tidak membahayakan negara dan bangsa. Ke-enam, tidak merugikan kepentingan rakyat. Ke-tujuh, ke-delapan, ke-sembilan dan seterusnya, harap simak sendiri isinya.

* * *

Di bawah pimpinan Gus Dur, bangsa dan negara kita sedang berusaha untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan berat yang diwariskan oleh Orde Baru di berbagai bidang. Terlalu banyaklah soal parah yang harus kita selesaikan bersama-sama, umpamanya : pemberantasan KKN yang sudah mengakar dalam fikiran banyak orang, penegakan hukum yang sudah awut-awutan, penyalahgunaan kekuasaan dan juga penggunaan kekerasan yang pernah merajalela selama puluhan tahun, kebejatan moral di kalangan elite yang sampai sekarang masih nampak nyata dimana-mana. Sementara itu, kita lihat bahwa pelanggaran HAM sudah mulai ditangani, dan arogansi militerpun sudah mulai bisa dikendalikan. Kejaksaan Agung, sarang pelecehan hukumpun sedang dibersihkan, dan lain-lainnya, yang bisa kita baca di koran-koran.

Karenanya, agaknya bolehlah kita mulai menaruh harapan bahwa fajar akhirnya meyingsing di ufuk Timur, sehingga bangsa kita pelan-pelan akan meninggalkan kekelaman malam yang pernah memeras air mata kepedihan dan darah penderitaan, begitulah (ecek-eceknya!) ungkapan yang kedengarannya agak puitis. Tetapi, kita tidak bisa _ dan tidak boleh _ mengabaikan agenda bangsa yang perlu mendapat prioritas untuk ditangani, yaitu masalah pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang yang tidak berdosa dalam tahun 65/66. Sebab, selama masalah ini belum menemukan cara penyelesaian, maka akan tetap merupakan penyakit bangsa yang terus mengganggu fikiran banyak orang. Mohon kesediaan Anda utuk bisa bersama-sama menimbang-nimbang berbagai masalah sebagai berikut.

PEMBUNUHAN 65/66 MERUPAKAN LUKA LAMA?

Pertanyaan utama yang kiranya perlu kita bahas lebih dulu adalah : apakah masalah pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 masih perlu kita bicarakan? Bukankah ini sudah terjadi 35 tahun yang lalu, dan baik kita lupakan saja, demi ketenangan masyarakat? Apakah membicarakan pembunuhan 65/66 bukan mengungkit-ungkit masalah lama, yang bisa menimbulkan perpecahan atau pertentangan? Apa perlunya mengangkat kembali masalah yang sudah didiamkan banyak orang? Apakah tidak baik, kita tutup saja masa lalu, dan kita buka halaman baru?

Pertanyaan semacam itu bagus-bagus saja diajukan. Sebab dengan begitu, kita semua bisa diajak berfikir dengan kritis dan dengan fikiran jernih pula kita bisa mencoba memberikan jawabannya. Agaknya, yang berikut ini adalah sebagian yang bisa kita kemukakan. Terserah kepada kita semua untuk melengkapinya (atau untuk memperbaikinya). Terlebih dulu, perlu ditegaskan bahwa perlu sekali membicarakan (kalau perlu, berkali-kali dan berkali-kali!) masalah ini. Walapun peristiwa ini sudah terjadi 35 tahun yl, tetapi lukanya masih menganga terus dan darah pedihnya masih terus mengalir juga di hati banyak orang, dan itupun sampai sekarang! Jadi, masalah ini masih tetap menjadi persoalan kini, masih merupakan problem aktual yang relevan sekali untuk kita carikan penyelesaiannya.

Hal ini masih kita saksikan sendiri kalau kita sekarang mengunjungi salah satu atau beberapa di antara ratusan ribu keluarga, yang sanak-saudaranya (dekat maupun jauh) telah menjadi korban pembunuhan besar-besaran waktu itu. Kita masih bisa dengar dari mereka (yang berani bicara, tentunya!) betapa hebatnya masalah itu telah menghantui mereka selama puluhan tahun. Mungkin juga, kita bisa dengar dari mereka bahwa selama ini mereka takut bicara tentang masalah keluarga mereka. Tidak tertutup juga kemungkinan bahwa mereka tidak mau bicara sama sekali, karena masih ketakutan, atau karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Nah, agaknya di sinilah kita sampai pada satu soal yang mengasyikkan untuk kita ulas bersama-sama.

MENGAPA PERLU BICARA TTG PEMBUNUHAN 65/66?

Kenyataan bahwa banyak orang takut berbicara tentang anggota keluarga mereka yang menjadi korban pembunuhan besar-besaran dalam tahun-tahun 65/66 adalah sesuatu yang pantas kita jadikan renungan bersama. Juga dijadikan suatu objek studi ilmiah yang serius bagi para ahli di bidang politik, psikologi, sosiologi, atau, entah di bidang apa lagi lainnya. Sebab, bukankah aneh bahwa masalah yang begini besar (ingat: lebih dari satu juta orang dibunuh dalam kurun waktu kurang dari setahun) telah didiamkan saja selama puluhan tahun. Sedangkan terbunuhnya 3000 orang di Chili oleh regime militer Pinochet sudah menggegerkan opini dunia. Mengapa di Indonesia orang takut membicarakannya?

Sudah jelaslah, bahwa ketakutan untuk membicarakan peristiwa pembunuhan besar-besaran 65/66 beserta akibat-akibatnya adalah akibat politik represi rezim militer di bawah pimpinan Suharto. Tetapi, dengan mengulas lebih dalam cara-cara atau praktek politik represi itu, maka makin meyakinkanlah bagi kita semua bahwa rezim militer Orde Baru telah melakukan pelanggaran yang amat serius sekali _ dan secara besar-besaran, dan lagi pula selama puluhan tahun ! -- terhadap HAM. Luar biasa, sekali lagi, luar biasa!

Karena itu, agaknya sudah waktunyalah bahwa kita semua bersama-sama berani berbicara, berani mengulas, berani membahas masalah besar ini. Berbicara tentang pembunuhan besar-besaran 65/66 (dan akibat-akibatnya) merupakan sumbangan kita bersama untuk menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran penting bagi generasi muda kita sekarang, dan juga generasi kita yang akan datang, anak cucu kita. Berbicara tentang peristiwa pembunuhan besar-besaran 65/66 harus dilakukan dengan tujuan pendidikan moral, pendidikan etik bermasyarakat, pendidikan untuk mengembangkan toleransi, pendidikan HAM. Berbicara tentang peristiwa tragis ini haruslah dengan dasar pengertian bersama untuk mencegah terulangnya kembali, dalam bentuk kecil maupun besar, pengalaman yang serupa. Sebab, peristiwa ini (dan akibat-akibatnya) sungguh-sungguh mencerminkan situasi _gila_, yang akibat-akibatnya masih sama-sama kita saksikan dewasa ini. Berikut adalah contohnya.

CERITA TTG AHMAD DAN SITI SUNDARI

Kita semua bisa membayangkan bahwa banyak sekali cerita tentang peristiwa pembunuhan 65/66 ini. Baik yang berkaitan dengan keluarga para korban, maupun tentang akibat-akibatnya di berbagai bidang lainnya. Di antaranya, contoh yang berikut ini, yang ceritanya hanyalah fiktif semata-mata, tetapi yang initinya mencerminkan, banyak sedikitnya, keadaan waktu itu.

Ahmad adalah seorang pimpinan Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di Purwokerto. Ia dikenal sebagai seorang yang aktif membela kepentingan anggota-anggotanya. Ia tahu bahwa SBKA adalah anggota SOBSI (untuk mereka yang belum tahu, SOBSI adalah singkatan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), seperti halnya banyak sekali serikat buruh di berbagai lapangan kerja waktu itu (perkapalan, perkebunan, industri, perminyakan, pegadaian, tekstil, perhotelan, dll). Di Purwokerto ia dikenal sebagai pimpinan SBKA, yang aktif sekali mengadakan aksi-aksi untuk mendukung politik Presiden Sukarno, umpamanya : perjuangan pembebasan Irian Barat, Manipol, Usdek, Nasakom dll (bagi yang tidak tahu itu semuanya, atau mau tahu lebih banyak lagi, harap tanya kepada orang lain atau cari bahan bacaan yang lain). Pada suatu malam di akhir Oktober 1965, sepasukan tentara telah menggrebek rumahnya. Di depan istrinya dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil (3, 5, dan 7 tahun) Ahmad dipukuli sampai pingsan karena tidak mau menunjukkan daftar anggota pimpinan SBKA lainnya. Akhirnya, ia diborgol dan terus dibawa, entah ke mana.

Istri Ahmad, namanya Siti Sundari, esoknya, lusanya, dan hari-hari berikutnya, mencari keterangan di kantor CPM terdekat, di kantor Kodim dll, di manakah gerangan suaminya dibawa atau ditahan. Tidak ada yang bisa memberi keterangan. Selama dua tahun ia kemana-mana untuk cari keterangan. Termasuk di penjara-penjara di mana banyak tahanan dikumpulkan. Sia-sia. Sementara itu, ia tidak terima gaji suaminya lagi dari Jawatan Kereta Api Purwokerto, sejak suaminya dibawa tentara itu. Siti Sundari masih bisa menerima sumbangan dari adiknya, seorang Jaksa. Tetapi Jaksa ini memberikan sumbangan ini dengan pesan, supaya jangan ketahuan siapa-siapa. Dan kalau Siti Sundari datang, harus malam-malam saja. Kemudian, Jaksa ini menganjurkan Siti Sundari supaya jangan datang-datang lagi ke rumahnya, karena bisa membahayakan kedudukannya. Kalau minta bantuan, supaya kirim orang lain saja. Siti Sundari juga dilarang oleh si Jaksa untuk menemui teman-teman si Jaksa atau keluarga istri si Jaksa.

Karena kehidupan Siti Sundari makin sulit, maka ia sudah tidak bisa memberi makan anaknya lagi. Barang-barang sudah mulai habis dijual. Ia terpaksa minta-minta kasihan kepada kakanya, seorang kepala sekolah dasar di Cilacap, supaya bisa menampung anaknya yang tertua, yang bernama Kardono. Si kepala sekolah mau menerima kemenakannya asal jangan dikatakan kepada siapa-siapa. Si Kepala Sekolah mengatakan kepada tetangga-tetangganya bahwa Kardono itu adalah kemenakan istrinya. Untuk keselamatan lebih lanjut, nama Kardono dirobah namanya menjadi Abdullah, nama Islam. Si Kepala Sekolah juga menganjurkan supaya Siti Sundari jangan datang-datang lagi ke Cilacap. Kalau seandainya ia terpaksa datang juga, harus selalu mengatakan kepada semua tetangga atau kenalan si Kepala Sekolah bahwa Siti Sundari adalah dukun para normal yang didatangkan untuk mengobati istrinya yang sakit.

Siti Sundari, yang tammatan SMP, makin lama makin sulit juga hidupnya. Ia terpaksa minta kepada kakak Ahmad (suaminya), yang menjabat pegawai menengah dan anggota pimpinan cabang Golkar di kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang, untuk mengadopsi anak laki-lakinya yang kedua (si Prayogo). Si pimpinan Golkar ini terpaksa menerima si Prayogo dengan syarat bahwa si Prayogo itu adalah adalah anak angkat yang diambil dari perumahan yatim-piatu (entah mana saja). Kakak Ahmad ini (si pegawai kantor gubernuran) melarang istri dan anak-anaknya untuk menyebut-nyebut nama Ahmad kepada siapa saja. Bahkan, supaya lebih aman untuk melindungi jabatannya, ia mengatakan kepada anak-anaknya bahwa Ahmad adalah berbahaya untuk negara dan bangsa, karena ia anggota PKI. Sementara itu, kehidupan yang makin lama makin sulit, memaksa Siti Sundari menyerahkan anaknya yang terkecil, si Hartati, kepada badan sosial Kristen di Purwokerto. Akhirnya, (untuk menyingkatkan cerita) Siti Sundari mati sendirian di rumah seorang temannya di pinggiran kota Purwokerto, sesudah sakit bengek yang berkepanjangan. Ia mati sendirian, karena seluruh sanak-saudara dari fihaknya, dan juga dari fihak suaminya, sudah makin menjauhinya. Ia mati tanpa diketahui oleh anak-anaknya. (Cerita Siti Sundari dihabisi di sini saja. Sebab, tulisan ini bukan buku! Sekedar secuwil dari pamflet, tulisan yang bernuansa satiris dan berisi sindiran dan gugatan).

Contoh yang disajikan di atas itu apakah berlebih-lebihan? Tidak, saudara-saudaraku. Di sekitar Anda sendiri bisa ditemukan cerita-cerita asli dan sebenarnya (bukan fiktif, melainkan yang berdasarkan kenyataan), yang lebih mengharukan, yang lebih mengerikan, tetapi yang juga lebih membangkitkan kemarahan atau sikap brontak dalam hati kita masing-masing. Sudah sampai begini kejamkah situasi waktu itu? Mengapa Siti Sundari harus mendapat hukuman yang berupa penderitaan yang demikian berat? Apa salah anak-anaknya sehingga terpaksa merobah nama dan bahkan menyembunyikan siapa ayahnya? Mengapa kakak dan adik atau kemenakan-kemenakan terpaksa harus menjauhi Siti Sundari? Apakah karena Ahmad? Dan, kalau karena Ahmad, lalu apakah Ahmad itu bersalah? Apa dosanya?

MEMBISU ADALAH IKUT BERDOSA

Kita semua pernah ikut berdosa bahwa selama lebih dari 32 tahun telah tidak berani bersuara terhadap pelanggaran perikemanusiaan yang begini menyolok mata dan menusuk hati. Harus diakui bahwa situasi di bawah rezim otoriter Orde Baru memang tidak memungkinkan bagi banyak orang untuk berbuat banyak, walaupun ratusan ribu kasus seperti yang dialami oleh Ahmad telah terjadi di seluruh negeri, dalam bentuk yang berbeda-beda. Banyak mata terpaksa dipicingkan, telinga harus dipekakkan, mulut harus ditutup, terhadap kejadian ratusan ribu Siti Sundari. Banyak hati terpaksa menahan kepedihan, tanpa bisa berbuat banyak, waktu melihat kasus-kasus ratusan ribu Kardono atau Prayogo.

Kesalahan penguasa Orde Baru (beserta pendukung-pendukung setianya di berbagai kalangan seperti kalangan ._..isi sendiri, walaupun dalam hati saja) bukannya hanya membiarkan terjadinya peristiwa pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 yang sangat memilukan hati itu, tetapi juga karena telah ikut menyiksa jutaan orang seperti Siti Sundari, Kardono, Prayogo, Hartati, si Jaksa, si Kepala Sekolah, si pegawai kantor Gubernuran, selama puluhan tahun pula. Di samping itu, masih ada lagi puluhan juta orang lainnya yang selalu ketakutan oleh terror _bahaya laten PKI_, _bersih lingkungan_, _surat bebas 30S_, _litsus_ dll yang terus-menerus dikaok-kaokkan secara intensif.

Sisa-sisa atau akibat-akibat peristiwa pembunuhan besar-besaran 65/66 masih kita rasa, atau kita lihat, sampai sekarang. Kiranya, kita semua harus menggalang tekad bersama untuk menghapuskan sisa-sisa atau akibat-akibat peristiwa itu. Untuk itu, kita harus berani mengangkat persoalan peristiwa itu untuk dibicarakan, dipelajari, untuk bersama-sama menemukan jalan yang terbaik untuk penyelesaiannya. Pokoknya, persoalan ini tidak bisa didiamkan saja. Artinya, kita tidak boleh hanya membisu atau bersikap membuta-tuli saja terhadap masalah ini. Sebab, mendiamkan saja persoalan ini, berarti tetap menyimpan terus borok parah dan busuk, yang selama lebih dari 30 tahun masih terus menjangkiti kehidupan bangsa kita. Singkatnya, membisu terhadap persoalan ini, adalah berdosa terhadap bangsa dan anak cucu kita.

MENGUTUK PEMBUNUHAN BESAR-BESARAN ITU ADALAH HAK

Dewasa ini, agaknya, kita bisa mulai menaruh harapan bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang disertai penggunaan kekerasan sedang diusut untuk diadili. Umpamanya: peristiwa-peristiwa di Aceh, Tg Priuk, peristiwa 27 Juli, kasus Marsinah, Timor Timur dll. Itu semua merupakan langkah-langkah permulaan bagus untuk meletakkan dasar-dasar penegakan hukum dan perasaan keadilan. Dalam konteks ini, perlulah kiranya kita berusaha bersama-sama menciptakan syarat-syarat agar peristiwa pembunuhan besar-besaran 65/66 juga mendapat penyelesaian yang adil, sehingga bisa mempercepat tercapainya kedamaian hati banyak fihak.

Adalah penting sekali bagi kehidupan bangsa, bagi penulisan sejarah bangsa, untuk membuktikan kepada semua fihak bahwa peristiwa pembunuhan besar-besaran itu adalah kesalahan serius, adalah dosa besar, adalah pelanggaran berat terhadap HAM, adalah kejahatan moral, adalah bertentangan dengan ajaran agama yang manapun, adalah tindakan yang tidak diridhoi Tuhan, adalah noda besar bangsa, adalah dan adalah_.., adalah_. (kehabisan kata-kata, harap tambah sendiri, pokoknya yang jelek-jelek dan nista. Pen). Jadi, mengutuk pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 adalah hak (artinya : benar), menyalahkan konseptornya dan para pelakunya adalah benar, menghujat tindakan yang tidak berperkemanusiaan itu adalah benar.

Seperti halnya kasus di Aceh, di Lampung, di Tanjung Priuk, di Jl Diponegoro (kasus 27 Juli) dll, adalah hak bagi para korban pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 untuk minta pertanggungan jawab (entah dari siapa? Pen) atas terjadinya tragedi nasional itu. Apalagi, pembunuhan besar-besaran ini mencakup korban yang begitu besar, yang juga menyeret penderitaan bagi puluhan juta warganegara lainnya. Penderitaan ini masih ditanggung oleh mereka sampai sekarang, dalam berbagai bentuk dan berbagai derajat. Dan penderitaan inilah yang harus diakhiri, demi tercapainya kehidupan bangsa yang lebih sehat.

Mengingat itu semua, terasa amatlah makin mendesak sekarang untuk menghimbau supaya para korban pembunuhan besar-besaran 65/66 berani menyuarakan penderitaan mereka, dengan berbagai jalan dan cara. Suara mereka perlu sekali untuk menyadarkan mereka-mereka (baik yang di kalangan MPR, DPR, Mahkamah Agung, kabinet, Kejaksaan Agung, pimpinan militer, pimpinan partai-partai, pemuka-pemuka agama, intelektual dll) yang masih terus membela kebenaran pembunuhan besar-besaran 65/66, atau yang masih mau menutup-nutupinya, apalagi mereka yang sampai sekarang masih mau meneruskan pola berfikir anti-HAM yang selama ini telah dipakai sejak tahun 65/66 itu..

Supaya suara para korban pembunuhan 65/66 ini bisa didengar lebih luas, maka sebanyak mungkin golongan dan kalangan yang pro-HAM, pro-demokrasi dan pro-reformasi perlu sekali, dengan berani dan terang-terangan, mengangkat peristiwa yang menjadi tragedi bangsa ini, menurut cara dan kemampuan masing-masing. Dalam konteks ini, apa yang telah dikerjakan oleh Yayasan Pakorba, YPKP 65/66, KAP-TN, SNB dll perlu disambut dengan gembira dan dibantu oleh semua fihak, termasuk fihak pemerintah.

Dalam usaha kita bersama, di bawah pimpinan Gus Dur, untuk menegakkan demokrasi, penegakan hukum, menjunjung tinggi HAM dan peradaban bangsa, masalah peristiwa pembunuhan 65/66 haruslah berhenti jadi _tabu_ (larangan untuk dibicarakan). Kita harus bersama-sama mengangkatnya, untuk dibahas bersama-sama, guna mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya, sesuai dengan kaidah-kaidah perasaan keadilan dan perikemanusiaan. Itu semua demi persatuan bangsa, demi rekonsiliasi nasional, demi pengabdian kepada sesama ummat manusia. (Habis di sini, tulisan pertama).

Paris, Mei 2000

sumber klik DI SINI

TNI-AU MELURUSKAN SEJARAH

| | | 1 komentar
Upaya pelurusan sejarah oleh TNI-AU perihal Peristiwa 30
September 1965 membuat kalangan jendral TNI-AD gerah. Beranikan TNI-AU
merehabilitasi Oemar Dhani?

Marsekal Udara Oemar Dhani tak hadir dalam peringatan HUT Ke-53 TNI AU di
Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, TNI-AU, awal April lalu. Mantan
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) itu tak bisa hadir karena alasan
kesehatan. Padahal, KSAU Marsekal TNI Hanafie Asnan mengundang Oemar Dhani
yang mendekam di penjara Cipinang selama 30 tahun.

Ketegangan diam-diam muncul antara TNI-AD dan TNI-AU menyangkut protes
TNI-AU soal tuduhan keterlibatan angkatan itu pada peristiwa berdarah pada
akhir September 1965. Oemardhani beberapa waktu lalu menyatakan ingin
meluruskan sejarah di seputar peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang
menyangkut dirinya dan TNI-AU. Sebab, menurut dia, ada kesalahan sejarah
yang mengungkap kasus G 30 S PKI. Misalnya, munculnya tuduhan Angkatan Udara
ikut terlibat.

Dan, waktu itu Oemar yang menjadi KSAU ikut menjadi korban sehingga harus
dijatuhi hukuman seumur hidup. Beberapa waktu setelah Soeharto jatuh, para
purnawirawan perwira tinggi TNI-AU seperti Sri Moelyono Herlambang dan Saleh
Basarah menulis surat kepada Menpen Letjen Yunus Yosfiah agar film
Pengkhianatan G-30 S PKI dihentikan penayangannya karena dalam film yang
disutradarai mendiang Arifin C. Noer itu jelas-jelas menuduh TNI-AU terlibat
dalam pembantaian para jendral TNI-AD. Dan, Yunus setuju. "Para mantan KSAU
tengah menulis buku pelurusan sejarah itu. Tunggu saja. Bulan depan mungkin
rampung," ujar Marsekal Hanafie Asnan.

Buku yang bisa disebut sebagai buku putih TNI-AU ini akan menceritakan
secara detail tentang AURI dan peristiwa di seputar G 30 S PKI. Isi buku ini
ialah meluruskan sejarah berdasarkan pengakuan para pelaku sejarah, para
perwira TNI-AU yang masih hidup,sebagian besar pernah dipenjara oleh
Angkatan Darat pimpinan Jendral Soeharto.

Dalam buku-buku sejarah, termasuk dalam fillm itu, TNI-AU digambarkan
sebagai angkatan yang jahat, karena angkatan ini disebut sebagai angkatan
yang penuh orang-orang PKI. Dalam buku-buku sejarah dan lagi-lagi film itu,
dikatakan Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma menjadi basis gerakan PKI,
apalagi para jendral Angkatan Darat dibantai dan dikubur di dekat pangkalan
itu. Selain itu, KSAU waktu itu, Laksamana Madya Oemardhani, dituduh
terlibat dalam gerakan PKI. Akibatnya, Oemardhani, yang menjabat KSAU
1962-1965, diadili di mahkamah militer dan diputus harus mendekam di penjara
selama seumur hidup.

Panglima TNI, Jendral Wiranto nampak agak gusar terhadap niat para senior
TNI AU ini. Wiranto mengingatkan bahwa apa yang telah tertulis dalam buku
sejarah Bangsa, dan sudah diajarkan mulai TK hingga pendidikan tinggi, sudah
untuk diperbaiki. "Kalau semua orang berusaha menginterpretasikan dengan
pemahamannya sendiri, kan susah," ujarnya.

Belakangan Wiranto diam-diam meminta para stafnya di jajaran Angkatan Darat
untuk "membujuk" TNI-AU membatalkan niat pelurusan sejarah itu. Bahkan,
kabarnya kalangan jendral Angkatan Darat meminta TNI-AU mencabut pernyataan
KSAU soal pelurusan sejarah itu. TNI-AU tak goyah. "Tiga puluh tahun, cukup
lama bagi kami untuk dijadikan korban fitnah," ujar seorang petinggi TNI-AU.
Domonasi Angkatan Darat di tubuh TNI memang membuat angkatan lain harus mau
tak mau menerima apa yang digariskan para jendral Angkatan Darat. Padahal,
kalau mau jujur, seperti halnya analisisnya Ben Anderson dalan The Cornell
Paper, Peristiwa 30 September sebenarnya merupakan konflik internal Angkatan
Darat dalam usaha menyingkirkan Presiden Soekarno. Ini sudah jadi rahasia umum.

Jatuhnya kekuasaan Soeharto membuat angkatan-angkatan dalam ABRI berani
menentang dominasi Angkatan Darat. Angkatan Kepolisian Republik Indonesia
adalah angkatan yang pertama kali berhasil melepaskan diri dari pengaruh
Angkatan Darat. Pelepasan Polri sejak 1 April lalu bukanya tanpa usaha yang
keras. Setelah Soeharto jatuh dan dikambinghitamkannya polisi dalam
pembunuhan lima mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta membuat para jendral
polisi untuk makin mendesak Wiranto melepas polisi. Upaya ini disetujui
Presiden Habibie. Belakangan Wiranto pun setuju, asal masih di bawah kendali
Departemen Pertahanan dan Keamanan. Pelepasan polisi ini hingga sekarang
masih ditentang oleh para jendral Angkatan Darat. Tidak mustahil, kelak
polisi akan "diambil alih" lagi oleh Angkatan Darat.

Akan halnya hubungan TNI-AD dan TNI-AL, selama ini juga tak baik. Sudah jadi
rahasia umum jika Korps Marinir di satu pihak berseberangan dengan Kopassus
dan Kostrad di lain pihak. Pertentangan di kalangan angkatan ini memang
bagai api dalam sekam. Kalau para jendral Angkatan Darat, yang oleh para
jendral angkatan lain seringkali dikatakan bodoh-bodoh itu, tetap ngotot mau
benarnya sendiri, bukan tak mungkin pertentangan itu akan jadi terbuka.
Semisal, jika Angkatan Darat menentang upaya TNI-AU merehabilitasi namanya
dalam Peristiwa 30 September 1965, tentu akan makin muncul ketidaksenangan
di kalangan Angkatan Udara

sumber klik DI SINI

“Dia Bukan Kahar Muzakkar, Dia Orang Banjar”

| | | 0 komentar
JENDERAL M Jusuf dipercaya menjadi kunci yang dapat menguak misteri Kahar Muzakkar, selain Supersemar. Sayang, sampai akhir hayatnya, September 2004, bekas Panglima ABRI yang dikenal dekat dengan prajurit itu sama sekali tak buka mulut tentang misteri kematian Kahar Muzakkar, juga tentang Supersemar.

Kahar Muzakkar dan Jenderal Jusuf punya hubungan yang terbilang dekat. Dalam sebuah tulisan, wartawan senior Rosihan Anwar yang menjadi saksi banyak peristiwa sejarah di republik ini menuliskan sebuah catatan.

Pada akhir tahun 1945 seorang pemuda bangsawan Bugis usia 17 tahun naik perahu pinisi di Makassar berlayar menuju Pulau Jawa dengan tujuan bergabung dengan pemuda pejuang untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus terhadap serangan Belanda Kolonial. Pemuda itu ditampung oleh Kahar Muzakkar yang berada dalam KRIS (Kebaktikan Rakyat Indonesia Sulawesi) dan kemudian menjadi ajudan Letkol Kahar Muzakkar di Staf Komando Markas ALRI Pangkalan X di Yogyakarta.”

Pemuda yang dimaksud Rosihan adalah Jusuf muda yang kelak menjadi salah seorang jenderal berpengaruh di tubuh angkatan bersenjata kita.

Hamid Awaluddin, bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kini jadi Menteri Hukum dan HAM juga punya catatan tentang hubungan Kahar Muzakkar dan Jenderal Jusuf.

“Namun, ketertutupan M Jusuf tentang misteri ini, amat logis dan gampang dipahami. M Jusuf merahasiakan jenazah Kahar Muzakkar demi menghindari pertumpahan darah. M. Jusuf menutupi ini untuk menghindari adanya sebuah tempat, yang bisa dijadikan simbol kemarahan dan kebencian, yang suatu saat, bisa memicu pelatuk kemarahan bagi pengikut atau orang yang sefaham dengan Kahar Muzakkar. Bagi M. Jusuf, nisan adalah simbol yang bisa jadi mithos, dan mithos bisa dijadikan jalan menuju apa saja.”

Menurut Hamid, kala itu, ketika pemerintah pusat melalui tangan Jenderal Jusuf berusaha menghentikan pemberontakan Kahar Muzakkar, yang dikerahkan adalah pasukan dari Jawa, banyak orang yang bertanya-tanya. Mengapa Jusuf membiarkan orang yang satu suku dengan dirinya dihantam suku lain?

“Baginya, jika Kahar Muzakkar digempur dengan pasukan lokal, persoalan bisa berlarut-larut sebab pasukan lokal yang ada, pasti memiliki tali temali kekeluaragaan dengan Kahar Muzakkar, atau pengikut dan pasukan Kahar Muzakkar. Ikatan emosional seperti itu bisa memperpanjang agenda perang, atau memperpanjang agenda dendam.”

Begitulah. Cerita tentang (kematian) Kahar Muzakkar dibawa Jenderal Jusuf hingga ke liang lahat.

Sementara itu, ada versi lain tentang “kematian” Kahar Muzakkar. Konon, Kahar Muzakkar (tanpa mengurangi rasa hormat kepada Serma (pur) Ili Sadeli yang menembak mati Kahar Muzakkar) tidaklah tertembak mati. Dia ditangkap hidup-hidup. Setelah mendengar penangkapan itu Jenderal Jusuf mendatangi lokasi penangkapan. Dia dan Kahar yang pernah jadi atasannya kemudian masuk hutan. Di tengah hutan itulah, Kahar dilepas dengan satu syarat: jangan pernah lagi menampakkan diri. Anggaplah sudah mati.

Cerita ini mahsyur di kalangan orang yang merasa Kahar Muzakkar masih hidup. Antara lain, orang-orang yang dekat dengan Syamsuri Abdul Madjid yang meninggal dunia dua pekan lalu (5/8).

Apakah benar Kahar Muzakkar baru meninggal dunia Agustus 2006, bukan Februari 1965?

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Selatan, Aziz Kahar Muzakkar, mengatakan dirinya tak percaya dengan spekulasi yang menyebut bahwa Syamsuri adalah ayahnya, sang Kahar Muzakkar.

Ketika dihubungi Situs Berita Rakyat Merdeka, Aziz mengatakan dirinya mendengar bahwa beberapa jam sebelum menutup mata untuk selama-lamanya, Syamsuri membuat pengakuan. “Saya bukan Kahar Muzakkar. Saya orang Banjar,” kata Aziz mengutip pengakuan Syamsuri yang didengarnya.

Menurut Aziz, sejak lama mereka menyakini bahwa ayahnya telah wafat puluhan tahun lalu. Walau mengenal Syamsuri, dia dan keluarganya tidak percaya Syamsuri adalah Kahar Muzakkar.

sumber klik DI SINI

Soeharto bukan Pahlawan

| | | 0 komentar
Oleh: M.Fadjroel Rachman

Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia]


Karena bila menghapuskan semua perkara pidana dan perdata Soeharto dan rezim totaliter Orde Baru (Orba) berarti Soeharto, keluarga, kroni korupsi, pelanggar HAM berat lainnya bebas tanpa hukuman. Berarti keadilan dan hukum ikut mati bersama Soeharto

Kejahatan HAM Berat
Mengapa Soeharto, keluarga, kroni korupsi, dan pelanggar HAM, para loyalis Orba, tidak dapat dibebaskan dari hukuman? Karena rezim totaliter Orba dibangun diatas dua fondasi musuh utama demokrasi. Pertama, kejahatan HAM Berat atau kejahatan terhadap kemanusiaan; Kedua, kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kejahatan HAM Berat atau kejahatan terhadap kemanusiaan tak dapat dihapuskan di luar pengadilan, kedaluwarsa ataupun pelakunya bebas tanpa hukuman. Semua kasus sepanjang 32 tahun Orba seperti Pembunuhan Masal 1965, Penembakan Misterius, Kerusuhan 13-14 Mei, Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, Talang Sari, Tanjung Priok, Kasus 27 Juli, Penjajahan dan Gemosida Timor Timur, Trisakti 12 Mei 1998, Papua, dan lainnya harus berlanjut, walaupun Soeharto meninggal dunia. Mengapa?
Beragam contoh sejarah mendukung pendapat ini, lihat saja misalnya ketika The Big Brothers Pol Pot mati, Kamboja sejak 13 November 2007 melaksanakan Polpot’s Trial dengan menangkap pemimpin Khmer Merah, Khieu Samphan (Presiden Khmer Merah), Kaing Guek Eav alias Duch (komandan penjara penyiksaan Tuol Sleng), Nuon Chea, Ieng Sary (menteri luarnegeri), Ieng Thirith. Kelimanya dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan yang membunuh 1,7 juta rakyat Kamboja melalui penyiksaan, eksekusi, kelaparan, kerja paksa sepanjang 1975-1979. Begitu pula di Jerman setelah Perdang Dunia II yang menelan 6 juta jiwa Yahudi dan 60 juta orang lainnya, Nuremberg Trial tetap digear, walaupun Hitler sudah mati. Pengadilan kejahatan kemanusiaan tetap dilakukan atas 24 pemimpin utama Nazi seperti: Martin Bormann, Hans Frank, Herman Goring, Rudolf Hess dan lainnya. Bahkan Adolf Eichmann sang arsitek Holocaust, ditamgkap di tempat persembunyiannya di Argentina, lalu diadili di Tel Aviv, Israel dan dihukum gantung pada 31 Mei 1962.
Kejahatan KKN
Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme Soeharto, keluarga dan kroninya, juga tak bisa dan tak boleh dihentikan (seandainya) Soeharto meninggal dunia. Jaksa Agung mendukung dengan tindakan sangat terbatas, dan dengan keseriusan setengah hati, Hendarman hanya menggugat perdata yayasan Soeharto sekitar Rp.11,5 Triliun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal Soeharto menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam program Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative adalah pemimpin politik terkorup di dunia dengan “harta korupsi” sekitar 15 miliar-35 miliar dolar AS, yang dikelola oleh Soeharto Inc. sekarang (lihat www.soehartoincbuster.org). Adapun 10 besar koruptor terbesar di dunia menurut PBB adalahSoeharto (Indonesia) : US$15-35 miliar, Ferdinand E. Marcos (Filipina) : US$5-10 miliar, Mobutu Sese Seko (Kongo): US$5 miliar, Sani Abacha (Nigeria), Slobodan Milosevic (Serbia), Jean-Claude Duvalier (Haiti), Alberto Fujimori (Peru), Pavlo Lazarenko (Ukraina), Arnoldo Aleman (Nikaragua), Josep Estrada (Filipina).
Marcos sudah diburu harta jarahannya oleh Presidential Commision on Good Government (PCGG) dan disita sekitar sepertiga dari 10 miliar dolar AS. Alberto Fujimori ditangkap di Cile, diekstradisi ke Peru, sekarang masih diadili dengan kemungkinan hukuman 30 tahun. Sedangkan Joseph Estrada, ditahan di penjara, dihukum seumur hidup, dan diampuni presiden Filipina Arroyo, tetapi sejumlah hartanya disita. Gilanya, koruptor nomor satu di dunia, Soeharto, tak pernah ditahan, diadili, dan satu rupiah pun hartanya tak pernah disita. Bahkan bertambah Rp.1 triliun, karena Mahkamah Agung memenangkan perkara gugatannya terhadap majalah Time. Soeharto dan keluarga tentu saja sangat berbahagia, dapat uang, dan bersih namanya dari kemungkinan disebut sebagai koruptor sebagaimana yang ditulis Time.
Lucunya SBY pernah berjanji akan meminta keterangan kepada Presiden Bank Dunia Robert Zoellick pada Sidang Umum PBB 22-26 September di New York. Hasilnya nol besar, karena tak ada pembicaraan dan program SBY untuk menindaklanjuti StAR Intiative PBB. SBY hanya menebar janji tanpa bukti, karena niat utamanya ternyata agar semua kasus Soeharto selesai di luar pengadilan. Ternyata, SBY tetaplah presiden pelindung Soeharto, bukan pelindung rakyatnya.
Kasus mutakhir dari Cile, pemerintahan Michel Bachelet pada 4 Oktober 2007, menangkap isteri Jenderal (purn) Augusto Pinochet, Lucia Hiriart (84) dan lima anaknya: Augusto, Lucia, Marco Antonio, Jaqueline dan Veronica serta satu pengacara dan tiga pensiunan jenderal – Jorge Ballerino, Guillermo Garin and Hector Letelier – juga 13 pengikut utama Pinochet untuk kejahatan korupsi Pinochet (1973-1990) sebesar 27 juta dolar AS saja. Para pencari keadilan sepanjang Pinochet berkuasa 11 September 1973-11 September 1990, berada dalam ketidakpastian hukum yang sama seperti di Indonesia hari ini. Berlanjut hingga Presiden Patricio Aylwin (1990-1994), Eduardo Frei Ruiz-Tagle (1994-2000), dan Ricardo Froilán Lagos Escobar (2000-2006). Tiga presiden Cile tak berdaya terhadap Pinochet, keluarga dan kroni, sebelum. Lalu datang Michel Bachelet dan bertindak tegas.
Akhir kata
Pol Pot dan Hitler mati, tetapi pengadilan HAM berat atau kejahatan kemanusiaan tetap dilaksanakan. Tak ada impunitas terhadap pengikut Polt Pot dan Hitler. Pinochet juga mati, tetapi pengadilan korupsi tetap berjalan dengan menangkap isteri dan lima anak Pinochet. Kejahatan HAM berat, kejahatan terhadap umat manusia sepanjang 32 tahun rezim totaliter Soeharto-Orba juga tidak dapat dihentikan, kedaluwarsa, apalagi diselesaikan di luar pengadilan seperti tawaran SBY. Hukum dan keadilan tak boleh diistimewakan kepada seseorang siapapun, apalagi seorang dictator kejam dan barbar seperti Jenderal Besar (purn,) Soeharto.
Politik impunitas kroni Soeharto, pendukung utama Orba, adalah upaya cuci tangan atas partisipasi dan loyalitas penuh sepanjang 32 tahun rezim totaliter Orde Baru. Juga menyesatkan, karena menimpakan semua kesalahan Orba hanya pada Soeharto seorang diri, seolah-olah mengatakan, “penjahat Orba satu-satunya adalah Soeharto!”. Pengalaman Jerman, Filipina, Kamboja dan Cile, membuat kita tak perlu putus asa, walaupun sudah 10 tahun reformasi dengan empat presiden tak mampu mengusut Soeharto, keluarga dan kroninya. Kunci keberhasilannya, Pertama, kepemimpinan nasional baru yang tidak terkait atau berhutangbudi secara politik dan ekonomi terhadap rezim Soeharto-Orba, jadi tak mungkin berhasil di tangan pemimpin tua seperti SBY, JK, Gus Dur, Megawati, Wiranto, Amien Rais dan segenerasinya, karena itu ucapkan selamat tinggal pada generasi pertama kepemimpinan nasional pascareformasi; Kedua, kesabaran revolusioner, penumbuhan harapan baru, mengumpulkan data dan informasi sebanyak dan seakurat mungkin tentang semua kejahatan HAM dan korupsi Soeharto, keluarga, kroni dan pelanggar HAM, serta melanjutkan perjuangan bersama pencari keadilan dan demokrasi. Berpihak pada korban untuk melawan dan mengadili Soeharto, keluarga dan kroni korupsi dan pelanggar HAM.
Apa yang harus dilakukan? (1) publik serentak di seluruh Indonesia menolak penghapusan maupun penyelesaian di luar pengadilan semua kasus perdata dan pidana Soeharto-Orba yang berkaitan dengan KKN dan kejahatan HAM; (2) mendesak keras Jaksa Agung sekarang juga menyelidiki, menyidik, dan mengadili semua pelaku kejahatan kemanusiaan dan korupsi sepanjang 32 tahun Orba, selain Soeharto, bila tidak maka publik akan menyimpulkan kepura-puraan dan upaya untuk melepaskan mereka semua dari jeratan hukum; (3) meyakinkan semua pihak bahwa pengadilan kejahatan kemanusiaan dan korupsi Soeharto-Orba tidak boleh berhenti sampai kapanpun, hingga semua pelaku diadili dan dipenjarakan, serta harta korupsinya disita negara. Jadi setiap upaya untuk menghentikan semua perkara Soeharto-Orba akan dicabut suatu hari nanti seperti Michel Bachelet menyelesaikan perkara Pinochet, keluarga, kroni dan para jenderalnya. Hari ini SBY melindungi atasannya dengan berbagai cara, maka tindakan tersebut tetap salah dan akan dibuka lagi suatu hari nanti, ketika kekuatan politik dan ekonomi pendukung dan loyalis Soeharto bisa ditaklukkan publik.
Keadilan dan hukum harus diperjuangkan bersama, bila keadilan hilang dan lenyap dari muka bumi Indonesia, maka setiap hari manusia Indonesia yang tak bersalah diculik, disiksa, dipenjarakan, dilenyapkan, dan dibunuh, lalu harta rakyat pun dijarah. Itulah yang dilakukan sang diktator, Jenderal Besar (purn.) bersama pengikutnya para loyalis Orba sepanjang 32 tahun. Maaf secara pribadi boleh, tetapi hukum dan pengadilan tetap jalan terus, sampai kapanpun.

sumber klik DI SINI

Belanda menjajah indonesia bukan 350 tahun

| | | 0 komentar
Melalui sejumlah fakta dan analisis sejarah, Nina Herlina L. sejarawan dari Universitas Padjajaran Bandung menjelaskan ketidakbenaran sejarah tentang penjajahan Belanda di Indonesia. Ucapan Bung Karno “Indonesia dijajah selama 350 tahun” menurutnya hanya dimaksudkan untuk membangkitkan semangat patriotisme di masa perang kemerdekaan. Lalu kapan tepatnya Belanda mulai menjajah?

***Oleh Nina Herlina L***.


“WIJ sluiten nu.Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin!” (Kami akhiri sekarang. Selamat berpisah sampai waktu yang lebih baik. Hidup Sang Ratu!). Demikian NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij/Maskapai Radio Siaran Hindia Belanda) mengakhiri siarannya pada tanggal 8 Maret 1942.
Enam puluh enam tahun yang lalu, tepatnya 8 Maret 1942, penjajahan Belanda di Indonesia berakhir sudah. Rupanya “waktu yang lebih baik” dalam siaran terakhir NIROM itu tidak pernah ada karena sejak 8 Maret 1942 Indonesia diduduki Pemerintahan Militer Jepang hingga tahun 1945. Indonesia menjadi negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.


Masyarakat awam selalu mengatakan bahwa kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Benarkah demikian? Untuk ke sekian kalinya, harus ditegaskan bahwa ?Tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun?. Masyarakat memang tidak bisa disalahkan karena anggapan itu sudah tertulis dalam buku-buku pelajaran sejarah sejak Indonesia merdeka! Tidak bisa disalahkan juga ketika Bung Karno mengatakan, ?Indonesia dijajah selama 350 tahun!? Sebab, ucapan ini hanya untuk membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme rakyat Indonesia saat perang kemerdekaan (1946-1949) menghadapi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Bung Karno menyatakan hal ini agaknya juga untuk meng-counter ucapan para penguasa Hindia Belanda. De Jong, misalnya, dengan arogan berkata, ?Belanda sudah berkuasa 300 tahun dan masih akan berkuasa 300 tahun lagi!? Lalu Colijn yang dengan pongah berkoar, “Belanda tak akan tergoyahkan karena Belanda ini sekuat (Gunung) Mount Blanc di Alpen.”
Tulisan ini akan menjelaskan bahwa anggapan yang sudah menjadi mitos itu, tidak benar. Mari kita lihat sejak kapan kita (Indonesia) dijajah dan kapan pula penjajahan itu berakhir.


Kedatangan Penjajah

Pada 1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang menghubungkan perdagangan dari India dan Cina. Dengan menguasai Malaka, Portugis berhasil mengendalikan perdagangan rempah-rempah seperti lada, cengkeh, pala, dan fuli dari Sumatra dan Maluku. Pada 1512, D`Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten, Sundakalapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba juga di Ternate.

Di Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng. Portugis memantapkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan pendudukannya ke Timor. Dengan semboyan “gospel, glory, and gold” mereka juga sempat menyebarkan agama Katolik, terutama di Maluku. Waktu itu, Nusantara hanyalah merupakan salah satu mata rantai saja dalam dunia perdagangan milik Portugis yang menguasai separuh dunia ini (separuh lagi milik Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian Tordesillas tahun 1493. Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di sebelah barat Semenanjung Verde, terus ke timur melalui Goa di India, hingga kepulauan rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai Spanyol
.
Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan dagang ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-16. Pada 1595, sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh perjalanan selama empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di Nusantara.

Kunjungan pertama tidak berhasil karena sikap arogan Cornelis de Houtman. Pada 1 Mei 1598, Perseroan Amsterdam mengirim kembali rombongan perdagangannya ke Nusantara di bawah pimpinan Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwijck. Dengan belajar dari kesalahan Cornelis de Houtman, mereka berhasil mengambil simpati penguasa Banten sehingga para pedagang Belanda ini diperbolehkan berdagang di Pelabuhan Banten. Ketiga kapal kembali ke negerinya dengan muatan penuh. Sementara itu, kapal lainnya meneruskan perjalanannya sampai ke Maluku untuk mencari cengkih dan pala.

Dengan semakin ramainya perdagangan di perairan Nusantara, persaingan dan konflik pun meningkat. Baik di antara sesama pedagang Belanda maupun dengan pedagang asing lainnya seperti Portugis dan Inggris. Untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat ini, pada 1602 di Amsterdam dibentuklah suatu wadah yang merupakan perserikatan dari berbagai perusahaan dagang yang tersebar di enam kota di Belanda. Wadah itu diberi nama “Verenigde Oost-Indische Compagnie” (Serikat Perusahaan Hindia Timur) disingkat VOC.

Pemerintah Kerajaan Belanda (dalam hal ini Staaten General), memberi “izin dagang” (octrooi) pada VOC. VOC boleh menjalankan perang dan diplomasi di Asia, bahkan merebut wilayah-wilayah yang dianggap strategis bagi perdagangannya. VOC juga boleh memiliki angkatan perang sendiri dan mata uang sendiri. Dikatakan juga bahwa octrooi itu selalu bisa diperpanjang setiap 21 tahun. Sejak itu hanya armada-armada dagang VOC yang boleh berdagang di Asia (monopoli perdagangan).

Dengan kekuasaan yang besar ini, VOC akhirnya menjadi “negara dalam Negara” dan dengan itu pula mulai dari masa Jan Pieterszoon Coen (1619-1623, 1627-1629) sampai masa Cornelis Speelman (1681-1684) menjadi Gubernur Jenderal VOC, kota-kota dagang di Nusantara yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah berhasil dikuasai VOC. Batavia (sekarang Jakarta) menjadi pusat kedudukan VOC sejak 1619, Ambon dikuasai tahun 1630. Beberapa kota pelabuhan di Pulau Jawa baru diserahkan Mataram kepada VOC antara tahun 1677-1705. Sementara di daerah pedalaman, raja-raja dan para bupati masih tetap berkuasa penuh. Peranan mereka hanya sebatas menjadi “tusschen personen” (perantara) penguasa VOC dan rakyat.

“Power tends to Corrupt.” Demikian kata Lord Acton, sejarawan Inggris terkemuka. VOC memiliki kekuasaan yang besar dan lama, VOC pun mengalami apa yang dikatakan Lord Acton. Pada 1799, secara resmi VOC dibubarkan akibat korupsi yang parah mulai dari “cacing cau” hingga Gubernur Jenderalnya. Pemerintah Belanda lalu menyita semua aset VOC untuk membayar utang-utangnya, termasuk wilayah-wilayah yang dikuasainya di Indonesia, seperti kota-kota pelabuhan penting dan pantai utara Pulau Jawa.

Selama satu abad kemudian, Hindia Belanda berusaha melakukan konsolidasi kekuasaannya mulai dari Sabang-Merauke. Namun, tentu saja tidak mudah. Berbagai perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh (1873-1912).

Peperangan di seluruh Nusantara itu baru berakhir dengan berakhirnya Perang Aceh. Jadi baru setelah tahun 1912, Belanda benar-benar menjajah seluruh wilayah yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia (kecuali Timor Timur). Jangan lupa pula bahwa antara 1811-1816, Pemerintah Hindia Belanda sempat diselingi oleh pemerintahan interregnum (pengantara) Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.

Saat-saat Akhir

Pada 7 Desember 1941, Angkatan Udara Jepang di bawah pimpinan Laksamana Nagano melancarkan serangan mendadak ke pangkalan angkatan laut AS di Pearl Harbour, Hawaii. Akibat serangan itu kekuatan angkatan laut AS di Timur Jauh lumpuh. AS pun menyatakan perang terhadap Jepang. Demikian pula Belanda sebagai salah satu sekutu AS menyatakan perang terhadap Jepang.

Pada 18 Desember 1941, pukul 06.30, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer melalui radio menyatakan perang terhadap Jepang. Pernyataan perang tersebut kemudian direspons oleh Jepang dengan menyatakan perang juga terhadap Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1942. Setelah armada Sekutu dapat dihancurkan dalam pertempuran di Laut Jawa maka dengan mudah pasukan Jepang mendarat di beberapa tempat di pantai utara Pulau Jawa.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memusatkan pertahanannya di sekitar pegunungan Bandung. Pada waktu itu kekuatan militer Hindia Belanda di Jawa berjumlah empat Divisi atau sekitar 40.000 prajurit termasuk pasukan Inggris, AS, dan Australia. Pasukan itu di bawah komando pasukan sekutu yang markas besarnya di Lembang dan Panglimanya ialah Letjen H. Ter Poorten dari Tentara Hindia Belanda (KNIL). Selanjutnya kedudukan Pemerintah Kolonial Belanda dipindahkan dari Batavia (Jakarta) ke Kota Bandung.

Pasukan Jepang yang mendarat di Eretan Wetan adalah Detasemen Syoji. Pada saat itu satu detasemen pimpinannya berkekuatan 5.000 prajurit yang khusus ditugasi untuk merebut Kota Bandung. Satu batalion bergerak ke arah selatan melalui Anjatan, satu batalion ke arah barat melalui Pamanukan, dan sebagian pasukan melalui Sungai Cipunagara. Batalion Wakamatsu dapat merebut lapangan terbang Kalijati tanpa perlawanan berarti dari Angkatan Udara Inggris yang menjaga lapangan terbang itu.
Pada 5 Maret 1942, seluruh detasemen tentara Jepang yang ada di Kalijati disiapkan untuk menggempur pertahanan Belanda di Ciater dan selanjutnya menyerbu Bandung. Akibat serbuan itu tentara Belanda dari Ciater mundur ke Lembang yang dijadikan benteng terakhir pertahanan Belanda.

Pada 6 Maret 1942, Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten memerintahkan Komandan Pertahanan Bandung Mayor Jenderal J. J. Pesman agar tidak mengadakan pertempuran di Bandung dan menyarankan mengadakan perundingan mengenai penyerahan pasukan yang berada di garis Utara-Selatan yang melalui Purwakarta dan Sumedang. Menurut Jenderal Ter Poorten, Bandung pada saat itu padat oleh penduduk sipil, wanita, dan anak-anak, dan apabila terjadi pertempuran maka banyak dari mereka yang akan jadi korban.

Pada 7 Maret 1942 sore hari, Lembang jatuh ke tangan tentara Jepang. Mayjen J. J. Pesman mengirim utusan ke Lembang untuk merundingkan masalah itu. Kolonel Syoji menjawab bahwa untuk perundingan itu harus dilakukan di Gedung Isola (sekarang gedung Rektorat UPI Bandung). Sementara itu, Jenderal Imamura yang telah dihubungi Kolonel Syoji segera memerintahkan kepada bawahannya agar mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer untuk mengadakan perundingan di Subang pada 8 Maret 1942 pagi. Akan tetapi, Letnan Jenderal Ter Poorten meminta Gubernur Jenderal agar usul itu ditolak.
Jenderal Imamura mengeluarkan peringatan bahwa “Bila pada 8 Maret 1942 pukul 10.00 pagi para pembesar Belanda belum juga berangkat ke Kalijati maka Bandung akan dibom sampai hancur.” Sebagai bukti bahwa ancaman itu bukan sekadar gertakan, di atas Kota Bandung tampak pesawat-pesawat pembom Jepang dalam jumlah besar siap untuk melaksanakan tugasnya.

Melihat kenyataan itu, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda beserta para pembesar tentara Belanda lainnya berangkat ke Kalijati sesuai dengan tanggal dan waktu yang telah ditentukan. Pada mulanya Jenderal Ter Poorten hanya bersedia menyampaikan kapitulasi Bandung. Namun, karena Jenderal Imamura menolak usulan itu dan akan melaksanakan ultimatumnya. Akhirnya, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada Jepang tanpa syarat. Keesokan harinya, 9 Maret 1942 pukul 08.00 dalam siaran radio Bandung, terdengar perintah Jenderal Ter Poorten kepada seluruh pasukannya untuk menghentikan segala peperangan dan melakukan kapitulasi tanpa syarat.
Itulah akhir kisah penjajahan Belanda. Setelah itu Jepang pun menduduki Indonesia hingga akhirnya merdeka 17 Agustus 1945. Jepang hanya berkuasa tiga tahun lima bulan delapan hari.

Analisis

Berdasarkan uraian di atas, kita bisa menghitung berapa lama sesungguhnya Indonesia dijajah Belanda. Kalau dihitung dari 1596 sampai 1942, jumlahnya 346 tahun. Namun, tahun 1596 itu Belanda baru datang sebagai pedagang. Itu pun gagal mendapat izin dagang. Tahun 1613-1645, Sultan Agung dari Mataram, adalah raja besar yang menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, dan Blambangan. Jadi, tidak bisa dikatakan Belanda sudah menjajah Pulau Jawa (yang menjadi bagian Indonesia kemudian).

Selama seratus tahun dari mulai terbentuknya Hindia Belanda pascakeruntuhan VOC (dengan dipotong masa penjajahan Inggris selama 5 tahun), Belanda harus berusaha keras menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara hingga terciptanya Pax Neerlandica. Namun, demikian hingga akhir abad ke-19, beberapa kerajaan di Bali, dan awal abad ke-20, beberapa kerajaan di Nusa Tenggara Timur, masih mengadakan perjanjian sebagai negara bebas (secara hukum internasional) dengan Belanda. Jangan pula dilupakan hingga sekarang Aceh menolak disamakan dengan Jawa karena hingga 1912 Aceh adalah kerajaan yang masih berdaulat. Orang Aceh hanya mau mengakui mereka dijajah 33 tahun saja.

Kesimpulannya, tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang benar adalah, Belanda memerlukan waktu 300 tahun untuk menguasai seluruh Nusantara.

Dikutip secara lengkap dari harian Pikiran Rakyat, 8 Maret 2008.
Nina Herlina L. adalah Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat/Ketua Pusat Kebudayaan Sunda Fakultas Sastra Unpad.
__________________
sumber klik DI SINI

Perjuangan Kahar Muzakar dan Kartosoewirjo

| | | 0 komentar
Pada tahun 1946 Kahar Muzakar (Panglima Hisbullah dari Sulawesi) dikirim ke Yogya (Ibukota RI) untuk menghimpun kekuatan rakyat. Saat itu Panglima Hisbullah Kalimantan adalah Hasan basri, yang berpusat di Banjarmasin . Sedangkan Panglima Nusatenggara adalah Ngurah Rai yang berpusat di Bali .

Sedangkan Kartosoewirjo adalah Panglima Hisbullah Jawa Barat. Ia terus berjuang melawan penjajah Belanda.Pada 17 Januari tahun 1948, ketika terjadi Perjanjian Renville (di atas kapal Renville) daerah yang dikuasi rakyat Indonesai semakin kecil, karena daerah inclave harus dikosongkan. Kartosoewirjo tidak mau mengosongkan Jawa Barat, maka timbullah pemberontakan Kartosoewirjo tahun 1948 melawan Belanda.
Kala itu Kartosoewirjo selain harus menghadapi Belanda juga menghadapi mantan tentara KNIL yang sudah bergabung ke TRI yang kala itu mereka baru saja kembali dari Yogyakarta .
Kartosoewirjo yang berjuang melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Jawa Barat karena dia adalah Panglima Divisi Jawa Barat, justru dicap pemberontak oleh Soekarno, sehingga dihukum mati pada 1962.

Menurut Dr. Bambang Sulistomo, putra pahlawan kemerdekaan Bung Tomo, tuduhan pemberontak kepada Kartosoewirjo dinilai bertentangan dengan fakta sejarah.
“Menurut kesaksian almarhum ayah saya, yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil berjudul HIMBAUAN, dikatakan bahwa pasukan Hizbullah dan Sabilillah, menolak perintah hijrah ke Yogyakarta sebagai pelaksanaan isi perjanjian Renvile; dan memilih berjuang dengan gagah berani mengusir penjajah dari wilayah Jawa Barat. Keberadaan mereka di sana adalah atas persetujuan Jenderal Soedirman dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada saat clash Belanda kedua, pasukan TNI kembali ke Jawa Barat dan merasa lebih berhak menguasai wilayah yang telah berhasil direbut dengan berkuah darah dari tangan penjajah oleh pasukan Hizbullah dan Sabilillah di bawah komando SM Kartosoewirjo. Karena tidak dicapai kesepakatan, maka terjadilah pertempuran antara pasukan Islam dan tentara republik tersebut…” (Lihat Buku “FAKTA Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam”, 1998, hal. xviii).

Sehubungan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Deliar Noor berkomentar: “Kesaksian almarhum ayah saudara itu, persis seperti kesaksian Haji Agoes Salim yang disampaikan di Cornell University Amerika Serikat, tahun 1953. Memang perlu penelitian ulang terhadap sejarah yang ditulis sekarang…“
Pada buku berjudul “Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo” (Juli 1999, hal. xv-xvi), KH Firdaus AN menuliskan sebagai berikut:
“…Setelah perjanjian Renville ditandatangani antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, maka pasukan Siliwangi harus `hijrah’ dari Jawa Barat ke Yogyakarta, sehingga Jawa Barat dikuasai Belanda. Jelas perjanjian itu sangat merugikan Republik Indonesia . Waktu itu Jenderal Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu Yogyakarta . Seorang wartawan Antara yang dipercaya sang Jendral diajak oleh beliau naik mobil sang Panglima TNI itu….“
“…Di atas mobil itulah sang wartawan bertanya kepada Jendral Sudirman: `Apakah siasat ini tidak merugikan kita?’ Pak Dirman menjawab, `Saya telah menempatkan orang kita disana`, seperti apa yang diceritakan oleh wartawan Antara itu kepada penulis.
“…Bung Tomo, bapak pahlawan pemberontak Surabaya, 10 November dan mantan menteri dalam negeri kabinet Burhanuddin Harahap, dalam sebuah buku kecil berjudul `Himbauan’, yang ditulis beliau pada tanggal 7 September 1977, mengatakan bahwa Pak Karto (Kartosuwiryo, pen.) telah mendapat restu dari Panglima Besar Sudirman…“
“…Dalam keterangan itu, jelaslah bahwa waktu meninggalkan Yogyakarta pada tahun 1948 sebelum pergi ke Jawa Barat, beliau (Kartosuwiryo) pamit dan minta restu kepada Panglima Besar TNI itu dan diberi restu seperti keterangan Bung Tomo tersebut.
Dikatakan dengan keterangan Jenderal Sudirman kepada wartawan Antara di atas tadi, maka orang dapat menduga bahwa yang dimaksud `orang kita’ atau orangnya Sudirman itu, tidak lain adalah Kartosuwiryo sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa waktu itu Kartosuwiryo adalah orang penting dalam Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang pernah ditawari menjadi Menteri Muda Pertahanan, tetapi ditolaknya. Jabatan Menteri Muda Pertahanan itu ternyata kemudian diduduki oleh sahabat beliau sendiri, Arudji Kartawinata. Dapatlah dimengerti, kenapa Panglima Besar Sudirman tidak memerintahkan untuk menumpas DI /TII; dan yang menumpasnya adalah Jenderal AH Nasution dan Ibrahim Adji. Alangkah banyaknya orang Islam yang mati terbunuh oleh Nasution dan Ibrahim Adji! Apakah itu bukan dosa…?”
Sumber www.nii-crisis-center.com

artikel ini bersumber DI SINI

Kamar Dagang Israel Masuk Indonesia

| | | 0 komentar
Diam-diam Indonesia dan Israel sudah membuka hubungan dagang sejak tahun 2001, ketika Gus Dur masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Hubungan dagang itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Tahun 2001 tentang hubungan dagang antara Indonesia dengan Israel.

"Menterinya waktu itu Pak Luhut Panjaitan dan dia yang mengeluarkan SK itu, tapi saya lupa nomor berapa," ujar Sekjen Forum Umat Islam, Muhammad Al Khaththat saat dihubungi okezone via telepon, Minggu (16/8).

Kamar Dagang Israel, kata dia, sengaja dibuka di Indonesia untuk melegalkan hubungan dagang antar dua negara. Muhammad mengaku mengetahui hal ini dari sebuah media di Israel yang mengatakan bahwa Israel telah membuka Kamar Dagang di Indonesia. FUI dengan tegas menolak Kamar Dagang Israel dibuka di Indonesia.

"Meski Kamar Dagang itu masih dirahasiakan tetapi kegiatan sudah berjalan, saya sendiri belum tahu persis dimana kantornya, tetapi yang pasti di Jakarta. Sekarang alat-alat kesehatan dan persenjataan dari Israel sudah masuk ke Indonesia," imbuhnya.

Muhammad mengingatkan, pemerintah Indonesia mewaspadai hal ini. Bisa jadi, lanjut dia, Israel hanya menjadikan Kamar Dagang itu sebuah kedok belaka untuk mengcover kegiatan intelektual, ekonomi dan politik pemerintah Israel.

"Israel ingin mengeksploitasi negara kita habis-habisan, Israel menjadikan target bahwa Indonensia adalah pangsa pasar yang besar untuk memasarkan produk-produknya," tuturnya.

Karena itu, Forum Umat Islam meminta agar pemerintah Indonesia segera mencabut SK Memperindag Tahun 2001 tentang melegalkan hubungan dagang antara Indonensia dengan Israel. "Pemerintah harus menutup Kantor Dagang Israel di Jakarta secepatnya," pungkasnya. (okz/arrahmah.com)

sumber artikel ini DI SINI

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?