SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Kusni Kasdut : Penjahat Legendaris Indonesia!

| | | 0 komentar
Kusni Kasdut penjahat top markotop Indonesia tahun 50-80 puluhan adalah mantan TKR. Bekas pejuang.

Kusni lahir dari keluarga miskin di Blitar. Sempat berjuang menjadi TKR di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Kusni “bernasib sial” karena dia tidak lolos dalam seleksi tentara yang diadakan pada masa itu.

Ketika Indonesia sudah merdeka maka muncul wacana untuk menciptakan Tentara Indonesia yang lebih professional. Ada rasionalisasi besar-besaran atau dalam bahasa gamblangnya : Ada pengurangan jumlah tentara, sehingga banyak tentara yang di PHK waktu itu. Lha Kusni ini salah satu di antara sekian banyak tentara yang diberhentikan pada waktu itu.

Ada kekecewaan yang mendalam. Ada juga tekanan ekonomi, kecemburuan sosial, dsb yang akhirnya mendorong manusia ini menjadi penjahat nomor satu Indonesia.
Kusni sempat menjadi begitu terkenal ketika merampok permata di sebuah museum di Jakarta. Dalam aksi yang mirip-mirip dengan cerita dalam film, dia menyandera pengunjung museum, dan sempat menembak mati seorang petugas museum. Dia juga dikenal sebagai pembunuh pengusaha sukses keturunan Arab : Ali Bajened. Kusni menjadi buronan yang sangat terkenal. Dia pernah dijatuhi dua hukuman mati karena serangkaian kejahatannya. Dan nasib Kusni pun akhirnya berakhir di pelor regu tembak di tahun 80 an.

Masa “kejayaan” Kusni Kasdut telah lama berakhir, anak-anak muda jaman sekarang mungkin tidak ada lagi yang kenal namanya.



Dalam keterasingannya di penjara dan jauh dari orang-orang yang dicintai, ternyata sisi agamis Kusni Kasdut tumbuh semakin dalam. Apalagi ketika dia di penjara dan sebelum dieksekusi mati, dia sempat berkenalan dengan seorang pemuka agama Katolik.

Setelah berkenalan dengan pemuka agama tersebut, akhirnya dia memutuskan menjadi pengikut setia. Kusni Kasdut dibaptis sebagai pemeluk Katolik dengan nama Ignatius Kusni Kasdut.



Saat menunggu hari eksekusi, dia menuangkan rasa cintanya terhadap agama yang telah dia anut dalam sebuah lukisan yang terbuat dari gedebog pohon pisang. Dalam lukisan tersebut, tergambar dengan rinci Gereja Katedral lengkap dengan menara dan arsitektur bangunannya yang unik. Dan sampai sekarang masih tersimpan rapi di Museum Gerja Katederal Jakarta.

Setelah lukisan gedebog pisang itu jadi, sebagai tanda terima kasihnya, Kusni Kasdut memberikan lukisannya itu kepada Gereja Katedral, Jakarta. Beberapa hari setelah itu, Kusni Kasdut ditembak mati, ujar pengurus Museum Katedral, Jakarta, Eduardus Suwito.

Saya mendapat tulisan mengenai saat - saat akhir hayatnya pada saat mau menghadapi regu tembak:

“Keinginannya terakhir hanya ia mau duduk di tengah keluarganya.
Itu terpenuhi. Sembilan jam sebelum diantar pergi oleh tim
eksekutor, di ruang kebaktian Katolik di LP Kalisosok Kusni
Kasdut dikelilingi keluarganya: Sunarti (istri keduanya), Ninik
dan Bambang (anak dari istri pertama), Edi (menantu, suami
Ninik) dan dua cucunya, anak Ninik. Itulah jamuannya yang
terakhir-dengan capcai, mi dan ayam goreng. Tapi rupanya hanya
orang yang menjelang mati itu yang dengan nikmat makan.

Kusni, kemudian, memeluk Ninik. Saya sebenarnya sudah tobat
total sejak 1976,  katanya, seperti direkam seorang
pendengarnya. Situasilah yang membuat ayah jadi begini.
Sebenarnya ayah ingin menghabiskan umur untuk mengabdi kepada
Tuhan. Tapi waktu terlalu pendek. Ninik dan yang lain
menangis. Diamlah, lanjut ayahnya, Ninik kan sudah tahu,
ayah sudah pasrah. Ayah yakin Tuhan sudah menyediakan tempat
bagi ayah. Maafkanlah ayah.  Kedua cucunya, Eka dan Vera, mulai
mengantuk.


Fact about Kusni Kasdut
Pada masanya Kusni kasdut adalah penjahat spesialis barang antik  salah satunya yang paling spektakuler ia merampok Museum Nasional Jakarta. Dengan menggunakan jeep dan mengenakan seragam polisi (yang tentunya palsu), dia pada tanggal 31 Mei 1961 masuk ke Museum Nasional yang dikenal juga Gedung Gajah. Setelah melukai penjaga dia membawa lari 11 permata koleksi museum tersebut.

Pernah membunuh dan merampok seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened pada 1960-an. Kusni Kasdut dalam aksinya ditemani oleh Bir Ali. Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan, Awab Alhajiri. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembak dari jeep yang dibawa oleh Kusni Kasdut.

Saat-saat terakhir Kusni Kasdut ini dijadikan ide untuk lagunya God Bless Selamat Pagi Indonesia di album Cermin . Lirik lagu ini ditulis oleh Theodore KS, wartawan musik Kompas yg jagoan menulis lirik lagu.

Awalnya Kusni kasdut adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.

SUDARTO adalah penasehat hukum Kusni Kasdut mengatakan dalam pembelaanya : Manusia tidak berhak mencabut nyawa orang, dan Nafsu tidak bisa dibendung dengan ancaman”.


Kusni Kasdut pada saat sedang menunggu keputusan atas permohonan grasinya sempat melarikan diri kemudian dapat ditangkap kembali dan akhirnya menjalankan pidana matinya.

Kusni Kasdut sempat dijuluki Robin Hood Indonesia, karena ternyata hasil rampokannya sering di bagi - bagikan kepada kaum miskin.

Tangan kanan Kusni Kasdut adalah Bir Ali, anak Cikini Kecil (sekarang ini letaknya di belakang Hotel Sofyan). Bir Ali, yang juga menjadi pembunuh Ali Bajened bersama Kusni Kasdut di Jalan KH Wahid Hasyim, bernama lengkap Muhammad Ali. Dia mendapat gelar Bir Ali karena kesukaannya menenggak bir, ia tewas dalam tembak menembak dengan polisi.

Puisi Kusni Kasdut

h a r u - b i r u
kehidupan adalah perlawanan tanpa penyesalan
kesalahan hanyalah lawan kata kebenaran
selanjutnya engkau pasti tahu…

tahun 1976 ku bertobat
semua yang ada tak selalu terlihat
jarak antar saat begitu dekat
situasilah yang memaksa dan membuat

kuberlari, rindukan terang
pada pekat malam kuterjang
serpihan paku, kaca dan kawat berduri
bulan tak peduli, turuti kata hati
hati menderu “ deru, belenggu memburu
beradu cepat dengan peluru

kusadari hidupku hanya menunggu
suara 12 senapan dalam satu letupan
satu aba - aba ¦ pada satu sasaran
y a i t u a j a l k u . . . .

-Ignatius Waluyo AKA Kusni Kasdut menuju eksekusi hukuman mati pada 16 Februari 1980.

dari berbagai sumber

Ciliwung, Dulu Terbersih Kini Tempat Sampah

| | | 0 komentar
Sungai Ciliwung dulu pernah bersih, sehingga dipakai sebagai air minum dan mandi.

Banjir lagi, banjir lagi. Jakarta di tangan ahlinya saja masih kewalahan menghadapi fenomena yang satu ini. Jangankan menghilangkan, meminimaliskan banjir saja bukan main susahnya.

Perilaku masyarakat dituding menjadi penyebab terjadinya banjir atau genangan. Membuang sampah sembarangan sehingga drainase menjadi tersumbat memang merupakan pemandangan sehari-hari, terutama di wilayah-wilayah sepanjang bantaran Sungai Ciliwung.

Curah hujan yang tinggi, penumpukan sampah, pendangkalan sungai, drainase buruk, dan minimnya tanah resapan, merupakan penyebab banjir di Jakarta yang sudah lama teridentifikasi. Pesatnya urbanisasi ke Jakarta menjadi salah satu faktor kondisi ini.

Tidak diperkirakan sebelumnya, dalam kurun waktu seratus tahun saja sungai-sungai di Jakarta telah mengalami penurunan kualitas sangat besar. Pada abad XIX, air sungai-sungai di Jakarta masih bening sehingga bisa digunakan untuk minum, mandi, dan mencuci pakaian.

Bahkan ratusan tahun yang lalu, Sungai Ciliwung banyak dipuji-puji pendatang asing. Disebutkan, pada abad XV – XVI Ciliwung merupakan sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir di tengah kota. Hal ini sangat dirasakan para pedagang yang berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa.

Ketika itu Ciliwung mampu menampung 10 buah kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton, masuk dan berlabuh dengan aman di Sunda Kelapa. Kini jangankan kapal besar, kapal kecil saja sulit melayari Ciliwung karena baling-baling kapal hampir selalu tersangkut sampah.

Sumber lain mengatakan, selama ratusan tahun air Ciliwung mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Karena itu banyak kapten kapal asing singgah untuk mengambil air segar yang cukup baik untuk diisikan ke botol dan guci mereka.

Sungai Ciliwung menjelang Pelabuhan Sunda Kelapa. Tampak Jembatan Kota Intan.

Jean-Baptiste Tavernier, sebagaimana dikutip Van Gorkom, mengatakan Ciliwung memiliki air yang paling baik dan paling bersih di dunia (Persekutuan Aneh, 1988).

Dulu, berkat Sungai Ciliwung yang bersih, kota Batavia pernah mendapat julukan “Ratu dari Timur”. Banyak pendatang asing menyanjung tinggi, bahkan menyamakannya dengan kota-kota ternama di Eropa, seperti Venesia di Italia.

Karena dikuasai penjajah, tentu saja kota Batavia dibangun mengikuti pola di Belanda. Ciri khasnya adalah dibelah oleh Sungai Ciliwung, masing-masing bagian dipotong lagi oleh parit (kanal) yang saling sejajar dan saling melintang.

Pola seperti ini mampu melawan amukan air di kala laut pasang, dan banjir di dalam kota karena air akan menjalar terkendali melalui kanal ke segala penjuru.

Kemungkinan bencana ekologi di Jakarta mulai terjadi sejak 1699 ketika Gunung Salak di Jawa Barat meletus. Erupsinya berdampak besar, antara lain menyebabkan iklim Batavia menjadi buruk, kabut menggantung rendah dan beracun, parit-parit tercemar, dan penyakit-penyakit aneh bermunculan.

Maka kemudian orang tidak lagi menjuluki Batavia sebagai “Ratu dari Timur”, melainkan “Kuburan dari Timur”. Bencana ini berdampak pada pemerintahan di Batavia yang mulai goyah karena banyak pihak saling tuding terhadap musibah tersebut.

Para pengambil kebijakan terdahulu dinilai salah karena telah membangun kota dengan menyontoh kota gaya Belanda. “Batavia adalah kota bercorak tropis. Berbeda jauh dengan Belanda yang memiliki empat musim,” begitu kira-kira kata pihak oposisi.

Sebagian orang menduga, bencana ekologi itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia memang semula dirancang sebagai kota dagang. Karenanya banyak pendatang kemudian menetap secara permanen di sini. Sejak itulah perlahan-lahan Ciliwung mulai tercemar.

Berbagai limbah pabrik gula dibuang ke Ciliwung. Demikian pula limbah dari usaha binatu dan limbah-limbah rumah tangga, karena berbagai permukiman penduduk banyak berdiri di sepanjang Ciliwung.

Dalam penelitian tahun 1701 terungkap bahwa daerah hulu Ciliwung sampai hilir di tanah perkebunan gula telah bersih ditebangi. Sebagai daerah yang terletak di tepi laut, tentu saja Batavia sering kali kena getahnya. Kalau sekarang Jakarta hampir selalu mendapat “banjir kiriman” dari Bogor, dulu “lumpur kiriman” bertimbun di parit-parit kota Batavia setiap tahunnya.

Pada awal abad ke-19 Batavia tidak lagi merupakan benteng kuat dan kota berdinding tembok. Karenanya, pada awal abad ke-20 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang dengan penduduk berjumlah 100.000 orang. Bahkan dalam beberapa tahun saja penduduk kota sudah meningkat menjadi 500.000 orang.

Adanya nama-nama tempat yang berawalan hutan, kebon, kampung, dan rawa setidaknya menunjukkan dulu Jakarta merupakan kawasan terbuka yang kini berubah menjadi kawasan tertutup (tempat hunian).

Sejak membludaknya arus urbanisasi itu, pendangkalan Ciliwung dan sungai-sungai kecil lainnya terus terjadi tanpa diimbangi pengerukan lumpur yang layak. Pada 1960-an, misalnya saja, sejumlah sungai kecil masih bisa dilayari perahu dari luar kota. Waktu itu kedalaman sungai mencapai tiga meter. Namun kini kedalaman air tidak mencapai satu meter.

Sayang, semakin derasnya arus urbanisasi ke Jakarta, kondisi Ciliwung semakin amburadul. Banyaknya permukiman kumuh di Jakarta menyebabkan Ciliwung beralih fungsi menjadi “tempat pembuangan sampah dan tinja terpanjang di dunia”.

Banjir besar mulai melanda Jakarta pada 1932, yang merupakan siklus 25 tahunan. Penyebab banjir adalah turun hujan sepanjang malam pada 9 Januari. Hampir seluruh kota tergenang. Di Jalan Sabang, sebagai daerah yang nomor satu paling parah, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Banyak warga tidak bisa keluar rumah, kecuali mereka yang beruntung memiliki perahu (Jakarta Tempo Doeloe, 1989).(Djulianto Susantio)


http://www1.kompas.com/readkotatua/xml/2010/10/18/20061973/Ciliwung..Dulu.Terbersih.Kini.Tempat.Sampah-14#

Monumen Sa-abad Wong Jawa Dibangun ing Kaledonia Baru.

| | | 0 komentar

Pengetan sa-abad tekane wong-wong Jawa ing Suriname (Amerika Selatan) yen
ora salah wis nate dianakake ing akhir taun 1992 utawa awal 1993. Saiki ing
taun 1995 iki, genti wong-wong Jawa ing Kaledonia Baru (ing Samodra Pasifik,
sawetane Australia; awas aja kliru karo Selandia Baru) wiwit padha sibuk
arep nganakake pengetan uga ngenani sa-abad tekane wong-wong Jawa ing
Kaledonia Baru mau.
Pengetane dhewe bakal dianakake ing tanggal 16 Februari 1996, nanging saiki
wong-wong Jawa ing kapulowan mau wis padha sibuk, mbangun monumen kng manut
rancngan bakal diresmekake ing dina pengetan kasebut. Monumen mau dibangun
ing ibukotane Kaledonia Baru, Noumea.
Kaledonia Baru mujudake dhaerah koloni Perancis. tahun 1886 wong-wong jawa
kang sepisanan teka ing kapulowan mau. Yen miturut data ing Arsip Nasional
Jakarta, tanggal 16 Februari 1896 wong-wong jawa cacah 165 ditekakae ing
Noumea dening pamarentah Hindia Belanda. Wong mau disewakake marang
pamarentah Perancis minangka kuli kontrak, kang bakal dimergawekake ing
pamelikan (tambang) mangaan lan kebon-kebon klapa ing wilayah jajahan
Prancis kang dumunung ing Samodra Pasifik, sawetane Australia.
Tanggal 16 Februari iku dipengeti dening wong-wong Jawa ing Kaledonia baru
minangka prastawa kang ngandhut sejarah, lan kanggo tandha pengetan
sateruse, ing kalodhangan pengetan sa-abad iki, nedya dibangun Tugu
Peringatan. Tugu mau dirancang lan dibangun dening wong Jawa loro kang lair
ing Kaledonia Baru, yaiku Johanes Wahono lan Sudirgo.
Ny.Tubagus Isnaeni kang lair ing Kaledonia Baru taun 1940, lan saiki ngasta
daddi Bendaharane IKKB (Ikatan Keluarga Kaledonia Baru) mratelakake, menawa
kanggo nyiapake "prastawa agung" iki, wong-wong jawa kelairan Kaledonia Baru
loro wis wiwit awal sasi September kepungkur teka ing jakarta. Yaiku Ny.
Sabeni Saadi lan Omo Juliette.
Ny.Tubagus Isnaeni kang manut pangakuwane embah-embahe asale saka Sala
(Jateng) iku marang wartawan SPb mratelakake, menawa pengetan Sa-Abad Tekane
Wong-wong Jawa ing Kaledonia Baru iku mengko bakale kawiwitan sasi Februari
1996 lan rampung udakara sasi Oktober 1996. Acarane bakal diisi mawa
kegiyatan maneka warna, antarane pameran kerajinan Indonesia, pameran
foto-foto ngenani sejarah tekane wong-wong Jawa ing Kaledonia Baru,
kegiyatan-kegiyatan kesenian maneka rupa lan olahraga.
Sasuwene ana Indonesia, kanthi diterake Ny.Tubagus, wong loro saka Kaledonia
Baru mau ngumpulake bahan-bahan kanggo nulis buku tekane wong-wong Jawa ing
Kaledonia Baru.
manut keterangan, cacahe pendhudhuk koloni Prancis ing kawasan Pasifik iku
kabehe ana wong 170.000-an. Ing antara pendhudhuk cacah semono mau, udakara
wong 6.000-an mujudake keturunane wong Jawa.
Wis sawatara taun kepungkur ing Indonesia didhapuk IKKB (Ikatan Keluarga
kaledonia Baru) kang anggota-anggotane dumadi saka wong-wong Indonesia
kelairan Kaledonia Baru kang saiki bali lan tetep dedunung ing Indonesia.

Kisah Orang Jawa di Kaledonia Baru (2-Habis)

| | | 3 komentar
Tugu Peringatan kedatangan orang Indonesia di Kaledonia Baru
PADA 20 Agustus 1924, seorang perempuan bau kencur asal Grogol, sebuah desa terpencil di Kabupaten Ponorogo, menjejakkan kakinya di Saint Louis, Kaledonia Baru.

Saminah namanya. Meski baru berusia 13 tahun, ia terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tak mau dipaksa menikah dengan pemuda pilihan orang tuanya. Setelah berkelana ke beberapa tempat, ia ditawari untuk menjadi pembantu rumah tangga. Namun, tak dibayangkannya jika tempatnya bekerja adalah sebuah kepulauan terpencil di timur Australia.
Saminah adalah satu dari puluhan ribu pekerja kasar asal Jawa yang didatangkan ke Kaledonia Baru. Ia datang pada gelombang keempat setelah yang pertama pada 12 Februari 1896.

Pada abad 19, kepulauan yang terletak di timur Australia, selatan Vanuatu, barat Fiji, dan utara Selandia Baru itu menjadi wilayah penghasil nikel dan krom pertama di dunia. Hal itu mengharuskan Prancis mengimpor pekerja ke negeri koloninya itu.

Selain di pertambangan, mereka juga bekerja di perkebunan kopi dan sebagian lagi sebagai pembantu rumah tangga.

Menurut riset yang dilakukan Dr Jean Luc Maurer dari Universitas Jenewa (http://jurnalrepublik. blogspot.com), tercatat sekitar 20 ribu orang keturunan Indonesia yang bermigrasi ke Kaledonia Baru. Sebagian terbesar dari mereka berasal dari pulau Jawa.

Sewaktu masa kontrak kerja habis, kebanyakan di antara mereka kembali pulang ke Jawa, terutama pada rentang 1930 dan 1935, setelah terjadi malaise ekonomi pada 1929. Kondisi yang sama kembali terulang antara 1948 sampai 1955 dengan jumlah yang lebih besar, terutama pada 9 Juli 1955. Yang terakhir memutuskan pulang karena mendengar kabar Kemerdekaan Indonesia.

Sementara orang-orang Jawa yang tetap memilih tinggal di Kaledonia Baru terus berkembang. Mereka membangun komunitas Jawa dengan menjadi warga negara Kaledonia Baru. Kini Jumlah mereka ditaksir 7 ribu orang, dengan 2 ribu orang di antaranya tetap berstatus warga negara Indonesia (WNI).

Di antara mereka yang tak mau kembali ke Indonesia, termasuk juga Saminah. Ia memutuskan tinggal karena sudah merasa betah dan berpenghidupan baik. Apalagi, ia menemukan cinta sejatinya di sana. Pria itu bernama Sadir, juga asal Jawa, tepatnya dari Wonotirto, Kebumen.

“Keduanya hidup bersama tanpa menikah karena saat itu belum ada lembaga pernikahan. Dari perkawinan tak resmi itu lahirlah saya,” kata Evelyne Saminah Vaquijot.

Di Kaledonia Baru, masyarakat Jawa yang oleh penduduk asli (Kanaki) disebut Nyauli diterima tanpa syarat. Bahkan lebih disukai dbanding imigran lain asal India, Vietnam, atau China misalnya. Hal ini karena orang jawa dikenal baik hati, ramah, dan loyal.

Hingga kini, menurut Evelyne, masyarakat Indonesia di provinsi yang bernama resmi Collectivite sui generis de la Nouvelle-Caledonie ini telah sampai generasi ke tujuh. Kehidupan sosialnya pun telah banyak berubah. Tak lagi menjadi pekerja kasar, secara umum mereka bahkan bisa dikatakan berada pada kalangan menengah, bahkan menengah ke atas.

Di antara mereka banyak yang menjadi pengusaha, dokter, dan insinyur. Beberapa orang bahkan berhasil menjadi sebagai pegawai pemerintahan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Di antaranya J Waspan, Wakil Wali Kota Noumea.

Evelyne sendiri bekerja sebagai apoteker di sebuah apotik terkenal di Noumea. Ia hidup berkecukupan dengan Andre Vaquijot, suaminya, yang bekerja di salah satu pabrik pertambangan Nikel.

Untuk lebih mempertegas eksistensinya, komunitas Jawa membentuk berbagai organsiasi. Sebut saja Persatuan Umat Muslim Masyarakat Indonesia (PUIMIK), dan Persatuan Umat Katolik Masyarakat Indonesia (ACI).

Keduanya berinduk pada organisasi yang lebih besar yakni Asociation Indonesian New Caledonie (AINC). Dalam berbagai kesempatan organisasi-organisasi itu menggelar berbagai kegiatan seperti pesta budaya Jawa sampai kursus Bahasa Indonesia.

“Saya meskipun terlahir di Kaledonia, bisa lancar bahasa Indonesia dari kursus itu. Menggelikan sekali waktu itu, orang Indonesia kok kursus bahasa Indonesia hahaha,” kenangnya.

Bahasa Jawa Ngoko-nya, kata dia, merupakan hasil didikan Saminah, ibunya. Di keluarga Sadir-Saminah itu, semua anak-anaknya diharuskan bicara dalam bahasa Jawa jika di dalam rumah. Namun di luar, mereka berkomunikasi dalam Prancis.

Selain itu, aturan-aturan Jawa juga masih dipegang erat saat itu. Hal-hal yang menurut adat Jawa tabu dilakukan, juga berusaha tetap dihormati. “Misalnya tak boleh nyapu kalau malam ya kami turuti, meskipun tak tahu maksudnya. Kalau ditanya orang, jawabnya ya nggak boleh sama embah (nenek),” tutur perempuan beruban itu.

Tak heran, dengan tradisi yang selalu dipegang, kebudayaan Jawa di Kaledonia masih terpelihara. Upacara kedatangan 12 Februari selalu diperingati dengan tari-tarian dan pesta masakan Jawa. Mereka berbaur dengan kebudayaan asli setempat secara harmonis.

“Kalau zaman saya kecil masih banyak teman-teman bapak dan ibu yang bisa main ketoprak atau nari jaipong, sering main kalau ada perayaan,” katanya.
Harmonisasi kehidupan yang ditunjukkan masyarakat Jawa di Kaledonia Baru, akhirnya mendapat apresiasi dari pemerintah setempat. Pemerintah menganggap orang Indonesia mampu meningkatkan toleransi dan keharmonisan kehidupan antarumat beragama di Kaledonia.

Ya, kepulauan seluas 18.575 kilometer persegi tersebut memang negeri Imigran. Tak hanya pribumi dan Indonesian yang tercatat sebanyak 2,6 persen. Di kepulauan yang berpenduduk 237.765 jiwa (sensus 2006) itu terdapat ras Melanesian 44,6%, European 34,5%, Wallisian 9,1%, Tahitian 2,7%, Vietnam 1,4%, Ni-Vanuatu 1,2%, dan penduduk lain (Tionghoa, Filipino) 3,9%.

Mereka tersebar di tiga provinsi, yakni Province Sud (South Province) dengan ibu kota, Noumea, Province Nord (North Province) dengan ibu kota Kone dan Province des Óles Loyaute (Loyalty Islands Province) dengan ibu kota Lifou.

Masing-masing juga memeluk agama yang berbeda dengan mayoritas memeluk Katolik Roma 75%, Protestan 15%, Islam 5%, dan Animisme 5%. “Masyarakat Jawa yang dulu muslim sudah banyak yang berpindah agama yang kebanyakan karena pernikahan. Tapi itu tidak memutuskan hubungan kekerabatan. Agama di sana adalah hal yang sangat pribadi,” tutur Evelyne.

Persamaan dan kedudukan yang setara itu juga membawa masyarakat Jawa dalam konstelasi perpolitikan. Mereka yang sudah berkewarganegaraan Prancis memiliki hak memilih dan dipilih, meski tidak terikat dalam partai tertentu.
Namun khusus konflik politik penduduk pribumi dengan pemerintah, kata dia, Nyauli tidak ikut-ikut. Diceritakan, di negara kepulauan itu sering terjadi kerusuhan kecil yang dimotori warga asli (Kanaki). Itu dilakukan dengan tuntutan ingin merdeka dari jajahan Prancis.

Dalam beraksi, mereka kerap melakukan sweeping kepada siapa saja yang melintas. Tak jarang, warga atau staf kantor konsulat Indonesia yang dibuka pada 1951 itu terjebak dalam sweeping. Namun, mereka lebih sering lolos tanpa kejadian apa pun setelah menunjukkan tanda pengenal Indonesia dan mengaku berasal dari Jawa. ”Mereka sangat menghormati keturunan Jawa,” katanya. (Anton Sudibyo, Yosep Harry W-41)

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/08/14/120504/Waspan-Wakil-Wali-Kota-Evelyne-Saminah-Apoteker

Perlawanan Rakyat Pulau Nusa Barong

| | | 0 komentar
Tentang perlawanan rakyat Nusa Barong ini, merupakan ihtiar saya untuk menunjukkan, bahwa masih banyaknya sejarah yang samar-samar masa lampau di Kabupaten Jember. Sejarah samar-samar tentang wong Jember itu, kemudian tenggelam oleh arus besar penulisan sejarah Jember yang berkisar pada masa industrialisasi perkebunan belanda akhir abad 19 dan seterusnya sampai masa revolusi kemerdekaan. Penenggelaman ini pada akhirnya melenyapkan ingatan kolektif masyarakat Jember akan kekayaan historis masa lalunya. Dalam kesejarahan Pulau Nusa Barong misalnya, pandangan masyarakat Jember secara umum, bahkan masyarakat Puger yang lebih dekat dengan Pulau Nusa Barong, hanya mengetahui samar-samar dan meyakini bahwa dari dahulu pulau ini sudah tak berpenghuni dikarenakan telah dihuni oleh para demit (bangsa mahluk halus), sehingga tak akan ada penduduk yang berani tinggal didalamnya.

Konon dari mulut ke mulut, didalam pulau Nusa Barong masih terdapat bekas meriam dan reruntuhan benteng peninggalan belanda. Namun dianggap hanyalah rumor yang tak perlu digubris kebenarannya, sebab, hanya bagian dari pengetahuan samar-samar masyarakat (mitologi sejarah rakyat). Atas kesamaran ini mengakibatkan lenyapnya kesejarahan seabad peradaban masyarakat yang pernah terjadi dikabupaten Jember dari tahun 1700 sampai 1800-an. Padahal dalam pembabakan seabad ini banyak peristiwa historis yang mampu merepresentasikan kompleksitas kebudayaan hibrid rakyat Jember.

Disamping banyaknya kesamaran peristiwa kesejarahan, juga masih banyak pula kemisteriusan dalam jejak sosial dan budaya masyarakat yang masih eksis menyebar dibeberapa wilayah kabupaten Jember masa kini. Misalnya, eksitensi kelompok Osing didesa Biting, koloni etnis Mandar didusun Mandaran-Puger Wetan, para pengikut Mbah Budeng-Mataram di Dusun Tanjungan-Balung Lor, ini semua, merupakan kemisteriusan yang sekaligus menggugat hibriditas pandhalungan yang dominan dalam wacana identitas Jember.

Hibriditas Pandhalungan, menurut saya, tak lain hanyalah mitos, kenaifan deskripsi visual, yang tak berakar pada fakta historis sejatinya masa lalu rakyat Jember. Ketidaktersambungan antara fakta historis masa lalu dengan hibriditas masyarakat jember yang direpresentasikan sebagai masyarakat Pandhalungan (hanya disusun berdasar campuran antara etnis Madura dan Jawa), cenderung serampangan, dan takkan bisa menjelaskan fakta ruang kebudayaan hari ini. Antara lain, diberbagai stasiun radio lokal Jember, ruang public kesenian jember actual masih menjadi medan perebutan antara hegomoni Banyuwangian dan Mataraman. Seterusnya hibriditas Pandhalungan menjadi kaca mata buram apabila dengan jeli diperlihatkan, banyak nama desa menggunakan aksara jawa namun moyoritas penghuni desa adalah beretnis Madura.

Keterkaitannya dengan perlawanan Rakyat Pulau Nusa Barong dalam kontek penulisan ini dengan masih banyaknya kesamaran dan kemisteriusan kesejarahan dikabupaten Jember tersebut, maka yang perlu dijelaskan adalah bagaimana dan seperti apa perlawanan rakyat Pulau Nusa Barong pada masa lampaunya. Sebagai catataan, bahwa keselurahan penceritaan sejarah Pulau Nusa Barong ini bersumber dari Dr. Sumargana (2007).

Pulau Nusa Barong dan Penduduk Multi Etnis

Tidak banyak yang tahu bahwa Pulau Nusa Barong di tahun 1700-an merupakan pulau yang telah dihuni oleh penduduk multi etnis nusantara dan kawasan perlawanan rakyat yang sangat monumental, kaya strategi dan teknik-teknik perlawanan, yang mana sangat menyulitkan kepentingan kekuasaan VOC Belanda dipesisir laut selatan Jawa. Pulau Nusa Barong merupakan pulau kecil, terletak 3 mil dari pantai Puger-Kabupaten Jember. Pulau ini masuk dalam wilayah administratif kabupaten Jember. Sekarang pulau tersebut berstatus sebagai cagar alam yang direncanakan sebagai salah satu wisata Kabupaten Jember.

Sebelum Blambangan ditaklukkan oleh VOC pada tahun 1768, pulau Nusa Barong secara ekonomi sangat penting bagi Blambangan. Nusa Barong merupakan penghasil sarang burung yang signifikan bagi penguasa Blambangan. Hasil produksi sarang burung itu dikirimkan ke para pedagang Cina. Ketika perang berlangsung antara Blambangan melawan VOC (1767-1768), orang-orang blambangan dan lumajang banyak mengungsi ke Pulau Nusa Barong. Pulau Nusa Barong pada tahun 1772 sudah terdapat 250 keluarga atau 1000-an jiwa yang mengelompok dalam 7 perkampungan dan 5 tahun berikutnya jumlah penduduknya menjadi dua kali lipat. Populasi penduduknya terdiri dari multi etnis Nusantara. Orang-orang bugis mendominasi populasi di nusa Barong, sedangkan sisanya diisi oleh etnis Mandar, Wajor, Bali, Sumbawa, Manggar, Malay, dan jawa.

Pada saat Blambangan ditundudukkan oleh VOC di tahun 1768, VOC mulai membangun benteng pertahanan kecil, dan menempatkan beberapa tentaranya (terdiri dari orang eropa dan Jawa) di Nusa Barong dibawah pimpinan Sersan Reebos. Adapun tujuan utamanya yakni untuk menghalau kedatangan para pedagang sarang burung atau para pelarian prajurit blambangan yang bisa menggangu kepentingan belanda di pesisir selatan laut Jawa. Pimpinan utama penduduk multi etnis Nusa Barong bernama Sindu Kopo, sedang pimpinan kedua di pegang oleh Sindu Bromo. Adapun Sindu Bromo adalah anak tiri dari Sindu Kopo.

Setelah perlawanan pangeran Wiilis Blambangan dapat dipatahkan, Pulau Nusa Barong sudah dianggap tempat yang tidak membahayakan lagi. Orang-orang Belanda melalu sersan Reebos dan para tentaranya pergi begitu saja meninggalkan Nusa Barong tanpa seorangpun tentaranya yang ditempatkan disana.

Selepas kepergian sersan Reebos dan tentaranya, di Nusa Barong terjadi pergantian kepemimpinan utama dari Sindu Kopo ke Sindu Bromo. Konon Sindu Kopo dibunuh oleh Sindu Bromo karena telah berpihak pada orang-orang Belanda. Pada tahun 1771, ketika peperangan Blambangan dengan VOC berkobar kembali, perlawanan blambangan dipimpin oleh pangeran Pakis atau Rempeg, banyak pula yang bukan orang blambangan, seperti orang Bugis, orang Mandar, dan orang Cina, bahu membahu dalam satu barisan berperang melawan VOC. Perlawanan membara ini dapat dipadamkan (tahun 1772), banyak para pemimpin utama diantaranya, bapak Endo, Larat, Rupo, Wilondro, Somprong, dan Kapulogo melarikan diri dan bersembunyi di Pulau Nusa Barong. Oleh karenanya Belanda mengirim 3 mata-matanya kesana namun kemudian hilang kabar dan tak pernah kembali.

Juragan Jani dan Perlawanan Rakyat Nusa Barong

Sindu Bromo, pimpinan pulau Nusa Barong, merasakan, akibat pendudukan sersan Reebos dan tentaranya, Pulau Nusa Barong menjadi sepi dari lalu lintas perdagangan, dan perkembangan ekonomi akhirnya menjadi lesu. Kemudian secara regular, Sindu Bromo mengirim orang-orangnya ke Bali untuk meyakinkan para saudagar disana tentang situasi Nusa Barong terbaru. Setelah misi ini berhasil meyakinkan para saudagar di Bali, kemudian beberapa saudagar Bali dan Mandar mulai berkunjung ke Pulau Nusa Barong. Perlahan tapi pasti beberapa kapal besar dan kecil dari Bali atau dari Bengkulu mulai bersandar, dan ekonomi rakyat Nusa Barong mulai bangkit kembali dari kelesuannya.

Perkembangan ekonomi Nusa Barong kemudian dibarengi dengan perkembangan kekuatan politik rakyat yang luar biasa. Sekitar bulan oktober 1772, satu buah kapal besar dari Bengkulu dibawah kendali nahkoda Sabak bersandar di Pulau Nusa Barong. Kedatangan mereka disambut dengan hangat oleh Sindu Bromo sebagai pimpinan Nusa Barong. Bahkan dia menawarkan agar orang-orang Mandar ini membangun rumah dan menetap di Nusa Barong. Karena nahkoda Sabak tidak punya cukup waktu singgah, maka dia mempercayakan kepada Juragan Jani untuk menerima tawaran Sindu Bromo tersebut.

Kelihatannya Juragan Jani adalah orang yang berbakat menjadi pimpinan. Dengan kepercayaan yang diberikan Nahkoda Sabak dan harapan Sindu Bromo yang begitu tinggi, tak berapa lama dia menikah dengan putri Sindu Bromo. Selanjutnya kepemimpinan Pulau Nusa Barong diserahkan pada Juragan Jani.

Dibawah pimpinan Juragan Jani, Nusa Barong disulap lebih dari sekedar Bandar persinggahan tetapi sekaligus sebagai emperium yang mengancam kepentingan politik VOC di pesisir laut jawa selatan. Juragan Jani dalam kebijakan awalnya, menempatkan terlebih dahulu para pejuangnya di benteng-benteng yang sebelum dibuat oleh orang belanda, dan mempersiapkan dengan 60 senjata api, 3 ton serbuk mesiu dan 4 meriam kecil. Dia juga menambahkan armadanya dengan 50 kapal Mandar, 1 pancalang, 3 paduwakan dan mendatangkan banyak penduduk ke Nusa Barong.

Rakyat Nusa Barong bersama Juragan Jani benar-benar berkonsentrasi mempersiapkan perlawanannya dengan banyak serbuk mesiu, amunisi, pejuang dan bahan makanan. Untuk mengorganisir keperluan tersebut, dia mengirimkan para pelayarnya kebeberapa tempat, terutama ke Badung. Pada maret 1773 juragan Jani mengirim 4 kapal yang dibawahi oleh Juragan Balobo, Juragan Sinto, dan Juragan Kolo ke Badung untuk menganggkut Amunisi dan beberapa keluarga ke Nusa Barong. Sekembalinya ke Nusa Barong mereka membawa 70 orang pejuang. Diantara orang-orang tersebut, ada dua eks-pejuang Wajor Blambangan bernama Bagus Jawat dan Bagus Benu.

Singkat cerita bebagai cara dilakukan Juragan Jani dan rakyatnya untuk menambahkan ketercukupan kekuatan perangnya, mulai dari bubuk mesiu, amunisi, bahan makanan sampai mengimpor para pejuang. Banyak para saudagar membantu mensuplai bahan-bahan keperluan yang dipesan Juragan Jani. Setelah dirasa memiliki kekuatan yang sangat cukup, rakyat Nusa Barong kini benar-benar menjadi kuat untuk melakukan perlawanan pada VOC disepanjang pesisir laut selatan Jawa.

Rakyat Nusa Barong telah banyak mendapat serbuk mesiu dan amunisi didalam benteng-bentengnya dan juga banyak penduduk bermigrasa ke Nusa Barong. Dengan semua itu, saatnya memulai penyerangan pada VOC dan antek-anteknya. Rencana awal serangan dituju kekebeberapa tempat yang dibawah penguasaan antek-antek Belanda seperti di Meru. Sabrang, Gunung Pager, dan Dedali. Aksi serangan dimaksud untuk menimbulkan insiden dan menarik perhatian VOC untuk perang terbuka.

Aksi pertama serangan pemimpin Juragan Jani dan rakyat Nusa Barong dilakukan di Gunung Meru, 22 Pebruari tahun 1773, dengan 2 kapal besar dan 2 jukung, mereka menyerang terlebih dahulu pada orang-orang jawa yang menjadi antek belanda. Dalam pertempuran ini pemimpin bapak Roman dan adiknya terbunuh, 6 pengikutnya ditangkap, dan sarang burungnya dirampas. Sedang 1 orang lolos, bernama bapak Samprit dan melaporkan pertempuran tersebut pada VOC.

Pancingan Juragan Jani dan pengikutnya, berhasil menarik perhatian orang-orang Belanda. Setelah pertempuran tersebut orang-orang Belanda Intensif berpatroli disepanjang Pesisir Selatan Laut Jawa. Sementara orang-orang Belanda intensif berpatroli, semakin banyak pula pertempuran yang diciptakan oleh para pejuang Nusa Barong pada antek-antek Belanda.

Pada Oktober 1773, orang-orang Nusa Barong dengan menaiki 9 perahu, 40 senjata api, 50 tombak, mendarat dipantai Puger dan menyerang kapal patroli orang-orang Belanda. Dalam pertempuran ini dari pihak VOC, 8 orang terbunuh. Sedang dari pihak pejuang Nusa Barong, beberapa perahu menabrak karang karena angin begitu kencang dan mereka menyelamatkan diri menuju Wedi Alit. Dua perahu yang selamat kembali ke Pulau Nusa Barong. Keesokan harinya, 13 kapal dari Nusa Baru kembali lagi ketempat itu mencari 5 perahu dan orang-orangnya yang hilang dan bertahan diseputar tempat pertempuran.

Sudah sejak 1773, perkembangan politik di Nusa Barong menjadi perhatian utama kekuasaan orang-orang belanda di Blambangan dan Surabaya. Ekspedisi militer telah direncanakan ke Nusa Barong oleh VOC, ketika pertempuran berantai antara patroli orang belanda dengan rakyat Nusa Barong dipesisir laut selatan Jawa. Baru kemudian Gubernur Semarang menyiapkan serangan serentak setelah empat tahun berikutnya, tepatnya tahun 1977.

Sebelum serangan serentak dilakukan oleh pasukan gabungan orang-orang belanda yang dikumpulkan dari Bangil, Probolinggo, Malang, dan Blambangan ke Nusa Barong, pada oktober 1776 di Pulau Nusa Barong, telah terjadi pergantian pimpinan politik oleh Nahkoda sabak di Pulau Nusa Barong. Sementara kemisteriusan hilanganya Juragan Jani telah melemahkan kekuatan rakyat Nusa Barong. Akhirnya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1977, pasukan gabungan orang-orang Belanda memulai serangan serentak dibawah komandan Adriaan van Rijk di pulau Nusa Barong. Dalam peperangan yang berjalan tak seimbang tersebut, sebanyak 27 pejuang Nusa Barong terbunuh. Sementara yang lainnya melarikan diri. Benteng-benteng pertahanan dan rumah para penduduk dirobohkan. Pasukan Belanda terus memburu para pejuang Nusa barong yang melarikan diri kehutan. Seminggu berikutnya, sejumlah 33 orang pejuang Bugis, Mandar dan bali ditemukan dalam keadaan luka yang bersembunyi dihutan ditangkap.

Para kaum laki-laki Nusa Barong, selain terbunuh dan tertangkap, kebanyakan melarikan diri. Rakyat yang tersisa di Pulau Nusa Barong praktis tinggal 98 orang yang terdiri kaum ibu dan anak-anak. Kemudian oleh belanda mereka dipindahkan ketempat lain. Setelah Nusa Barong dapat ditundukkan, para pasukan Belanda ditempatkan di Pulau tersebut dan melakukan pengawasan ketat disekitar pesisir selatan dalam jangka waktu yang agak lama. Sejak saat itulah, Pulau Nusa Barong menjadi steril dari lalu lalang para pedagang bebas, serta orang-orang pribumi dilarang bertempat tinggal didalamnya. Sampai sekarang pulau Nusa Barong berstatus pulau yang boleh dihuni dan tak berpenghuni.


vhttp://sejarah.kompasiana.com/2010/06/07/perlawanan-rakyat-pulau-nusa-barong/

Kisah Orang Jawa di Kaledonia Baru (1)

| | | 0 komentar
Tugu Peringatan kedatangan orang Indonesia di Kaledonia Baru
Selain di Suriname, ribuan orang Jawa tercatat berada di Kaledonia Baru. Sebuah kepulauan di Samudera Pasifik bagian selatan. Mereka adalah keturunan para pekerja kasar yang didatangkan secara bergelombang sejak 1896. Satu keluarga dari sana, baru-baru ini mengunjungi kenalan lamanya di Semarang. Wartawan Suara merdeka, Yoseph Harry W dan Anton Sudibyo melaporkan.

Rumah Drs Soegito, dosen bahasa Prancis Unnes, di Jalan Raya Dewi Sartika 83 Sampangan Gajahmungkur, Semarang, baru-baru ini mendadak ramai. Puluhan bekas mahasiswanya yang kini telah mengajar di beberapa SMA di Semarang berkumpul. Tawa dan canda mewarnai pertemuan itu. Maklum telah sekian lama mereka tak bertemu.

Namun itu bukan reuni biasa. Mereka sedang menyambut tamu spesial dari negeri seberang. Pasti baru sedikit dari jutaan orang Indonesia yang pernah menginjakkan kakinya di sana.

Sekitar pukul 11.00, sebuah van putih melambat. Semua mata langsung terarah pada mobil yang parkir tepat di depan rumah itu. Soegito menyeruak ke depan. Wajahnya sumringah, kedua tanganya terbuka penuh gairah. ”Bonjour,” sapanya.

Sapaan akrab dalam bahasa Prancis itu dibalas serupa hampir berbarengan oleh beberapa orang yang baru saja turun dari van itu. Tak kalah cerah air muka mereka. Lalu, layaknya sebuah keluarga di hari raya, pertemuan itu diawali dengan acara salam-salaman berkeliling. Beberapa patah kata dalam Prancis dan tawa kecil mewarnainya.

Yang baru saja datang adalah sepasang suami istri, Andre Vaquijot dan Saminah Evelyne Vaquijot. Mereka baru saja menempuh perjalanan udara sembilan jam dari Nouvelle Caledonie atau Kaledonia Baru bersama putri keduanya Ivana, menantu Paul Siat dan empat cucunya, Helena Wahyuni (22), Lea Ayu (20), Sophie Samina (18), Marie Kadriati (16), dan Piere Agus (12).

Meski berasal dari negeri nan jauh di mata, keluarga Vaquijot ternyata memiliki ciri fisik tak berbeda dengan orang Jawa pada umumnya. Kulit sawo matang, rambut ikal, dan tubuhnya sebesar rata-rata orang Indonesia. Bahkan khusus Evelyne dan suaminya, cukup fasih bahasa Indonesia, terutama Jawa Ngoko. “Piye kabare apik-apik wae to,” kata Evelyne.

Kepada keluarga dan mantan mahasiswanya, Soegito kemudian mengenalkan bahwa tamunya itu merupakan keturunan asli Jawa yang tinggal di Kaledonia Baru sejak 1896. Kedatangan mereka ke Semarang, terutama di rumah Soegito, merupakan kali kedua setelah pada 2005 pernah berkunjung pula bersama 33 warga Kaledonia Baru keturunan Jawa lainnya.

Berkunjung ke Indonesia bagi mereka adalah sarana melawan lupa. Mereka merasa masih sebagai orang Jawa yang tak boleh lupa pada asal usulnya. Terkhusus kali ini, keluarga Vaquijot ingin memperkenalkan pada anak dan cucunya akan kampung halaman leluhurnya.
“Agar anak cucu selalu ingat bahwa kakek nenek mereka dulu adalah orang Jawa,” ujarnya.
Untuk menjawab keinginan keluarga Vaquijot, Soegito pun berupaya menggelar penyambutan yang maksimal. Bersama istrinya, Niken Rahayu, pensiunan dosen Undip, ia mengemas sebuah acara yang kental nuansa Jawa.

Siang itu, khusus dipersembahkan beberapa lagu-lagu Jawa yang dimainkan mahasiswa Soegito. Di antaranya tembang ”Suwe Ora Jamu” dan ”Cublak- cublak Suweng” dalam iringan gitar yang rancak. Betapa senang Evelyne sekeluarga mendapat sambutan begitu rupa. Tak segan-segan, keluarga itu ikut bergoyang menikmati alunan irama tradisional Jawa tersebut.

Apalagi ketika hidangan khas Jawa mulai tersaji. Tak membuang waktu, keluarga Evelyne pun menyikat habis berbagai menu yang terhidang. Di antaranya lunpia, getuk, sate, sop, dan gudeg. “Atiku tetep Jowo, ilatku yo tetep Jowo,” kata Evelyne sembari mengunyah lunpia yang digemarinya.

Masih Njawani

Evelyne bercerita bahwa ia masih terlihat njawani karena masyarakat Jawa di Kaledonia Baru berupaya tetap menjaga tradisi Jawa. Meski terlahir di Noumea, Kaledonia Baru 14 Desember 1938, Evelyne mendapat didikan keras dari orang tuanya untuk tetap memegang teguh kejawaan. Dia pun menurunkan ajaran itu kepada anak cucunya.

Setiap 16 Februari, masyarakat Jawa di sana memperingati hari pertama kedatangannya dengan nyekar di Tugu Centainer Valon-Du-Gaz, Noumea. Tugu tersebut merupakan tempat pertama kali orang Jawa menginjakkan kaki di Kaledonia Baru pada 1896.
Usai nyekar dilanjutkan dengan acara kumpul-kumpul di wisma khusus Jawa. Di situ digelar berbagai mata acara dari bazar makanan Jawa hingga pertunjukan seni budaya. “Kami masih menggunakan adat Jawa dalam merayakan kelahiran dan kematian seperti mitoni, nyelapan, matang puluh, dan nyewu,” ucap Evelyne.

Saat ini, menurut Evelyne, ada lebih 7.000 orang Jawa di Kaledonia. Sekitar 2.000 di antaranya masih tercatat sebagai warga negara Indonesia. Sementara, sisanya sudah beralih ke kewarganegaraan Prancis. Mereka tersebar di berbagai kota di Kaledonia Baru. Komunitas Jawa terbesar di kota Noumea.

Karena lama tinggal dan beranak pinak, akulturasi budaya pun tak terhindarkan. Terutama disebabkan perkawinan dengan bangsa-bangsa lain baik pribumi, Prancis, maupun bangsa Asia lain seperti China dan Jepang.

Hal yang paling kentara adalah soal nama. Evelyne menyebut, nama Vaquijot sebenarnya berasal dari nama Jawa, Wakidjo. Bagi pendengaran secara fonetik Prancis, nama Wakidjo terdengar “Vaquijot”. Contoh lain penyesuaian nama yakni Bou Di Mane (Budiman) atau Saricone (Sarikun). “Kami diterima baik dan sudah menjadi bagian masyarakat, tanpa ada perbedaan. Tidak ada kelas sosial di sana, semuanya sama,” tandas Evelyne.

Orang Jawa, menurutnya, bahkan cenderung disukai karena terkenal baik hati, ramah, setia kawan, dan loyal. Masyarakat setempat menyebutnya Niaoulis (baca: Nyauli). Kata itu dalam bahasa setempat berarti pohon kayu putih. Ini berasal dari kebiasaan para pekerja perempuan Jawa zaman dulu yang suka meninggalkan anaknya di bawah pohon kayu putih ketika bekerja. (Anton Sudibyo, Yoseph Harry W-20)

© 2008 suaramerdeka.com. All rights reserved

pengungsi merapi

| | | 0 komentar


http://foto.vivanews.com/read/2575-letusan-merapi-terbesar-seabad-terakhir

Orang Indonesia Sangat di Hormati di Negara Kaledonia Baru (Kanaki)

| | | 0 komentar
Noumea, adalah ibu kota Kaledonia Baru Negara jajahan Perancis di Samudera Pasifik bagian selatan.. Negara ini cukup asing di telingga bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Kaledonia Baru juga di namakan Kanaki, di ambil dari nama penduduk asli kepulauan itu.

Perjalanan dari Jakarta ke Kaledonia Baru memakan waktu sekitar sembilan jam dan harus transit dulu di Australia, dengan biaya sekitar USD 2.250 (setara dengan sekitar Rp 22 juta). Namun, perjalanan bisa molor karena penerbangan ke sana sering terkendala dengan cuaca buruk. “Penduduk di sana sebagian besar di huni suku Jawa” kata Bu Sulastriningsih (duta besar RI untuk Kaledonia Baru), saat di wawancarai reporter Jawa pos (Zulham Mubarak).

Dulu orang Jawa di Kaledonia Baru menjadi kuli kontrak. Perpindahan orang Jawa ke Kaledonia Baru juga sama dengan orang Jawa ke Suriname (Negara jajahan Belanda di Amerika Selatan). Namun, perpindahan orang Jawa ke Pasifik terhenti sejak 1949. Jumlah penduduk Kanaki (Kaledonia Baru) tercatat per 1 september 2006 mencapai 237.765 jiwa. Sulastriningsih mengatakan, “Bertugas di Kaledonia, membutuhkan kejelian dan faktor kesukuan yang kental.

Sebab, di Negara kepulauan itu sering terjadi kerusuhan kecil yang di motori warga asli berkulit hitam. Itu di lakukan dengan tuntutan ingin merdeka dari jajahan Perancis”. Dalam beraksi, mereka kerap melakukan sweeping kepada siapa saja yang melintas. Tak jarang, staf kantor perwakilan Indonesia juga terjebak dalam sweeping. Namun, mereka lebih sering lolos tanpa kejadian apa pun setelah menunjukkan tanda pengenal Indonesia dan mengaku berasal dari Jawa.

“Masyarakat Jawa di sana duduk di kalangan menengah ke atas. Berbeda dengan pendatang asing lain. Penduduk asli Kaledonia pun sangat menghormati keturunan Jawa” terang Bu Sulastriningsih duta besar RI. Belajar dari itu, Kementerian Luar Negeri kerap memprioritaskan staf yang keturunan Jawa untuk di tempatkan di Kaledonia Baru. Yang masih mengganjal bagi Sulastriningsih adalah sering tersendatnya akses komunikasi dari dan ke Kaledonia menuju Indonesia.

Sampai sekarang, kata dia, akses untuk SMS ke Indonesia dan sebaliknya masih belum memungkinkan. Penggunaan handphone sebatas hanya untuk menelepon saja. “Ya kalau hendak kirim teks, dengan email atau faks. Tapi kalau mau direct, mungkin dengan telepon saja” ujar Sulastriningsih. Kendala keamanan bukan faktor utama karena Indonesia lebih di terima warga setempat. Namun, kini sangat sulit untuk merunut seseorang apakah keturunan Jawa atau bukan.

Mereka kebanyakan sudah berkawin campur. Berbeda dengan warga keturunan India dan kulit hitam di sana yang terus menjaga tradisi. Bahasa Jawa masih tetap di gunakan sebagai bahasa sehari-hari, namun kalangan anak-anak mudanya sudah tak bisa berbahasa Jawa, dan hanya bisa berbahasa Perancis.

http://id.shvoong.com/law-and-politics/1975869-orang-indonesia-sangat-di-hormati/

Masa Depan di Tanah Seberang

| | | 0 komentar
BOB S Saridin, pendiri Vere-niging Herdenking Javaanse lmmigratie (VHJI)-alias persatuan mengenang imigrasi warga Jawa ke Suriname-berkisah bahwa sejarah perpindahan itu teramat menyedihkan.

Awalnya, nenek moyang etnik Jawa di Suriname dibawa Belanda untuk dipekerjakan sebagai kuli. Janji Belanda, kalau mereka mau dipekerjakan di tanah seberang selama lima tahun, begitu pulang ke Indonesia mereka akan diberi kekayaan berlimpah.Dan jadilah 120 tahun lalu dengan menempuh jalur laut selama kurang lebih tiga bulan, orang-orang Jawa sampai ke Suriname. Buruknya fasilitas di kapal menyebabkan banyak calon budak yang sakit sehingga sesampai di Suriname banyak yang berakhir di rumah sakit. Adapun yang sehat langsung bekerja di Perkebunan Marienburg.

Mereka ditempatkan dalam barak-barak. berisi empathingga enam pekerja. Lima tahun pertama dilalui dengan berat dan janji Belanda ternyata bohong belaka.Para kuli kontrak pun hidup telantar di tahun-tahun berikut tanpa ada fasilitas seperti sekolah, rekreasi, maupun uang memadai. Generasi pertama etnik Jawa di Suriname yang berjumlahnya 94 orang pun harus hidup penuh keterpaksaan.Selama 1890-1939, jumlah imigran dari Jawa di Suriname sudah mencapai 32.956 jiwa. Mereka berasal dari 30 daerah di Pulau Jawa seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Yogyakarta, dan DKI Jakarta.

Selama periode waktu itu, sudah 8.130 pekerja yang kembali ke Indonesia. Terakhir, pada 1954 sekitar 1.000 lainnya juga pulang ke Tanah Air."Pada saat itu etnik Jawa di Suriname rindu dengan Indonesia dan dorongan untuk kembali ke tanah kelahirannya sangat tinggi, khususnya padasaat Indonesia merdeka," kata Bob.Untuk bisa sampai ke Indonesia berbagai upaya dilakukan. Pada zaman Orde Baru sempat juga bergelora gerakan Persatuan Indonesia dengan maksud untuk mengajak yang di Suriname kembali ke Indonesia.

Ketika itu, pada 1955, seorang pemimpin gerakan imigran asal Bandung bernama Iding Soemita ke Indonesia dan bertemu Presiden Soeharto. Namun, oleh Presiden Soeharto kepulangan imigran Suriname itu bersyarat, yakni mereka harus tinggal di Pulau Sumatra.Karena tidak puas, akhirnya tokoh imigran Jawa itu kembali ke Suriname dan mengganti nama organisasi Persatuan Indonesia menjadi Kaum Tani Persatuan Indonesia.

Mereka juga memutuskan bahwa imigran Jawa harus menghadapi kenyataan untuk tetap tinggal di Suriname danmelalui organisasi itu mulai berpartisipasi aktif membangun Suriname. Alhasil, Suriname dianggap sebagai tanah air baru.Kini, organisasi itu sudah berganti nama lagi menjadi Kerukunan Tulodo Pranatan Inggih Perjuangan terus berlanjut dan etnis Jawa di Suriname terus berusaha.Hingga pada 1958 ada keturunan Jawa bernama Kelip Danoesastro bisa lulus SMA. Dua tahun berikutnya, ada lagi keturunan Jawa bernama Soe-mar Emid yang menggondol predikat lulusan terbaik dan mendapat beasiswa sekolah ke Belanda, hingga akhirnya pada 1971 ia mencapai gelar doktor.

Setelah Suriname merdeka pada 1975, banyak orang keturunan Jawa yang menjadi orang penting di Suriname. Di berbagai bidang ada orang Jawa yang memegang peran. Seperti bidang kesehatan, pendidikan, hingga di bidang usaha.Bahkan saat ini, ketua DPRdi Suriname adalah keturunan Jawa, bernama Paul Salam Somohardjo dari Partai Pertjaja Luhur, salah satu partai orang Jawa yang cukup berpengaruh di Suriname.Selain dia, ada keturunan Jawa yang duduk dalam kabinet seperti Menteri Pendidikan Edwin Wolf dan Menteri Sosial dan Perumahan Hendrik Se-trowidjojo.

Tahun ini, partai-partai yang dibidani keturunan Jawa di Suriname sedang bersiap untuk ikut pemilu pada 25 Mei. "Kita berharap keturunan Jawa bisa koalisi dan berhasil menjadi presiden Suriname," harap Bob seraya mengatakan bahwa sekarang keturunan Jawa Suriname sudah bisa mendirikan dua stasiun televisi dan empat stasiun radio yang selalu menyiarkan segala sesuatu tentang Jawa.Mantan Duta Besar RI untuk Suriname Suparmin Sunjoyo mengungkapkan, hubungan diplomatik Indonesia-Surina-nic dimulai sejak 1951, sejak Suriname masih menjadi jajahan Belanda.Komisariat Tinggi RI (KTRI) ada di Paramaribo pada 1951-1958. Namun, sejak 1958-1964 ditutup karena renggangnya hubungan Indonesia-Belanda.

Begitu Suriname merdeka pada 1975, kantor perwakilan RI di Suriname dibuka di Paramaribo. Sampai sekarang sudah sembilan duta besar RI bertugas di sana."Hubungan Suri name-Indonesia lebih berlatar belakang faktor Jawa," kata duta besar yang bertugas di Suriname antara 4 Desember 2002 dan 10 Januari 2006 tersebut.Dia pun berharap kursus bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di KBRI Paramaribo yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun terakhir perlu mendapatkan motivasi yang tinggi dan diberi insentif memadai. Menurutnya, sudah saatnya memikirkan Javanese Cultural Fund sebagai pendukung kegiatan tersebut. (SO/N-4)

http://bataviase.co.id/node/177160

Menggali Misteri Aztec

| | | 0 komentar
Penggalian sebuah piramida keramat menguak misteri upacara ritual kerajaan yang bersimbah darah--namun, sejauh ini tidak ada petunjuk tentang sang raja yang sangat ditakuti.

Oleh ROBERT DRAPER
Foto oleh KENNETH GARRETT dan JESUS LOPEZ

Di tepi plaza Zocalo yang terkenal di Mexico City, di samping reruntuhan piramida keramat Aztec yang dikenal sebagai Templo Mayor, ditemukan sisa-sisa seekor binatang--mungkin anjing atau serigala. Binatang itu sudah mati 500 tahun yang lalu dan berada dalam sebuah lubang yang dindingnya dilapisi batu sedalam dua setengah meter. Mungkin sekali binatang itu tak bernama, dan tidak ada pemiliknya. Namun, anjing tak bernama itu tampak jelas memiliki arti bagi seseorang. Lehernya dikalungi manik-manik zamrud, sementara di telinganya terdapat sumbat berwarna hijau-biru. Dari mata kakinya bergelantungan gelang berhiaskan lonceng kecil-kecil yang terbuat dari emas murni.

Tim arkeologi yang dipimpin oleh Leonardo Lopez Lujan menggali binatang yang dijuluki Aristo-Canine (anjing bangsawan) itu pada musim panas 2008, dua tahun setelah proses penggalian dimulai pada saat ditemukan benda mencengangkan ketika tengah dilakukan pemasangan fondasi sebuah bangunan baru. Benda itu adalah monolit segi empat seberat 12 ton yang terbuat dari batu andesit berwarna agak merah muda, yang pecah menjadi empat keping batu besar, menampilkan kemiripan yang memukau dan menggentarkan hati dengan dewi bumi Tlaltecuhtli--lambang daur kehidupan dan kematian yang diyakini bangsa Aztec. Sosok dewi itu dalam posisi berjongkok untuk melahirkan sambil meminum darahnya sendiri, melahap ciptaannya sendiri. Ini adalah monolit datar Aztec ketiga yang ditemukan secara kebetulan di wilayah Templo Mayor. Selain itu, ditemukan juga Batu Matahari basal hitam seberat 24 ton (digali pada tahun 1790) dan Cakram Coyolxauhqui, dewi bulan seberat 8 ton (1978).

Setelah bertahun-tahun melakukan penggalian yang sangat melelahkan, di dalam sebuah lubang yang dalam di samping monolit itu Lopez Lujan dan anak buahnya menemukan beberapa benda persembahan Aztec yang sangat eksotis. Setelah melepaskan tambalan plester di lantai plaza, para penggali menemukan 21 pisau kurban dari batu api putih yang dicat merah: gigi dan gusi monster bumi Aztec, mulutnya terbuka lebar untuk menerima persembahan. Mereka menggali lebih dalam dan menemukan buntalan yang dibungkus dengan daun agave. Isinya berbagai macam alat pelubang kurban yang terbuat dari tulang jaguar, yang digunakan oleh pendeta Aztec untuk menumpahkan darah mereka sendiri sebagai persembahan untuk para dewa. Di samping alat pelubang itu tampak beberapa batang kopal--dupa pendeta, alat lain untuk menyucikan jiwa. Alat pelubang dan dupa itu dengan cermat disusun di dalam buntalan, bersama beberapa helai bulu burung dan manik-manik zamrud.

Lopez Lujan tercengang ketika mendapati bahwa beberapa meter di bawah buntalan ini terdapat persembahan kedua yang berada di dalam sebuah kotak batu. Isinya kerangka dua ekor elang emas--lambang matahari--yang tubuhnya menghadap ke arah barat. Di sekeliling burung itu terdapat 27 pisau kurban, 24 di antaranya dihiasi bulu binatang dan kain, seperti boneka berpakaian compang-camping, melambangkan sosok suci yang berkaitan dengan matahari yang sedang terbenam. Pada Januari yang lalu, tim itu berhasil menemukan enam persembahan di dalam lubang--yang terakhir terkubur sedalam tujuh meter di bawah permukaan jalan. Isinya guci keramik yang dipenuhi 310 manik-manik batu hijau, sumbat telinga, dan boneka perempuan. Penempatan setiap benda galian itu tampaknya diatur dengan pola yang cermat, yang menciptakan kembali seluruh kosmologi Kerajaan Aztec.

Di bagian terbawah kotak persembahan kedualah Lopez Lujan menemukan binatang yang dihias dengan teliti itu. Permukaan tubuhnya ditutupi kulit kerang dan sisa-sisa kepiting, ketam, dan siput--makhluk hidup yang dibawa ke lokasi ini dari Teluk Meksiko, serta dari Samudra Atlantik dan Samudra Pasifik. Dalam kosmologi Aztec, menurut Lopez Lujan, tampilan ini menyiratkan lapisan pertama alam baka, dan si anjing bertugas memandu roh tuannya menyeberangi sungai yang berbahaya.

Tetapi, roh manusia yang mana? Sejak penaklukan Meksiko pada tahun 1521 oleh Hernan Contes dari Spanyol, belum pernah ditemukan sisa-sisa jenazah raja Aztec. Meskipun demikian, catatan sejarah mengatakan bahwa tiga orang penguasa Aztec telah dikremasi dan abu mereka dikuburkan di kaki Templo Mayor. Ketika monolit Tlaltecuhtli ditemukan, Lopez Lujan mengamati bahwa dewi yang ditampilkan itu mencengkeram seekor kelinci, yang menampilkan sepuluh titik di atasnya, di kaki kanannya yang bercakar. Dalam sistem penulisan Aztec, 10-Kelinci adalah tahun 1502. Menurut catatan dari masa tersebut, pada tahun itu berlangsung pemakaman penguasa kerajaan yang paling ditakuti, Ahuitzolt, dengan upacara megah.

Lopez Lujan yakin bahwa tempat pemakaman Ahuitzolt berada di dekat tempat ditemukannya monolit. Jika dugaannya benar, Aristo-Canine mungkin pemandu terselubung menuju masyarakat mistik yang kita kenal sebagai bangsa Aztec, namun yang menyebut diri mereka sendiri sebagai bangsa Mexica, yang warisannya membentuk inti identitas bangsa Meksiko. Jika Lopez Lujan menemukan makam Ahuitzolt, temuan itu akan merupakan puncak dari pencarian luar biasa selama 32 tahun tentang kerajaan yang paling sarat misteri dan paling disalahtafsirkan di Belahan Dunia Barat.

"Masa lalu dapat ditemukan di masa kini di seluruh penjuru Meksiko," kata Lopez Lujan. Hal ini khususnya benar tentang Kerajaan Aztec, yang hampir seluruhnya terdapat di bawah jejak kaki bangsa yang modern.

Tidak seperti suku Maya, peradaban pra-Columbia lainnya di Mesoamerika, bangsa Aztec secara eksklusif diidentifikasikan dengan Meksiko, dan dewasa ini bangsa Meksiko bangga akan hubungan mereka dengan masa lalu Aztec. Di tengah bendera Meksiko tampak elang Aztec, yang juga tercantum pada logo kedua maskapai penerbangan nasional. Dikenal pula Banco Azteca dan TV Azteca, dan tim sepak bola nasional mengenakan seragam yang menampilkan burung elang dan memainkan pertandingan kandang di Estadio Azteca. Dan tentu saja Mexico City--pusat kegiatan seluruh negara--merupakan penghormatan secara tersirat terhadap negara-kota Tenochtitlan dan terhadap keperkasaan bangsa Aztec.

Namun, memandang bangsa Aztec hanya dari sudut pandang keperkasaannya saja sungguh menyesatkan. Pertama-tama, bangsa Aztec yang perkasa itu hanya sanggup mempertahankan kerajaan mereka--persekutuan tiga negara-kota Tenochtitlan, Texcoco, dan Tlacopan--selama kurang dari satu abad, sebelum akhirnya diporakporandakan oleh para penakluk dari Eropa. Meskipun para penakluk itu menanamkan perasaan ketakutan dan kebencian di wilayah yang mereka taklukkan, dominasi mereka hanya berlangsung singkat. Mereka tidak membangun kuil dan menyebarkan tradisi budaya ke seluruh negeri seperti yang dilakukan bangsa Romawi purba atau suku Inca. Sebaliknya, bangsa Aztec berhasil mempertahankan sesuatu yang oleh para ilmuwan disebut "kerajaan murah," dan di wilayah ini, penduduk yang ditaklukkan diperbolehkan terus memimpin, asalkan mereka memberikan upeti--sarana perlindungan yang dipertegas oleh pamer kekuasaan secara berkala. Bangsa Aztec memilih untuk mengungkapkan kepiawaian mereka terutama di pusat kota Tenochtitlan. Namun, kota hebat itu dalam banyak hal ibarat museum yang menyimpan adat kebiasaan, berbagai citra, dan praktik spiritual yang dipinjam dari peradaban sebelumnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh ayah Lopez Lujan, ilmuwan Mesoamerika Lopez Austin, "Kesalahpahaman yang paling lazim adalah bahwa Aztec dianggap sebagai budaya yang benar-benar asli, padahal tidak."

Akan tetapi, gambaran kasar tentang bangsa Aztec yang haus darah adalah gambaran yang juga menyesatkan. Begitu menjijikkannya pernyataan bangsa Spanyol sang penakluk dalam menggambarkan sikap haus darah bangsa Mexica--misalnya, dikatakan bahwa 80.400 orang dibantai dalam satu kali upacara persembahan di kuil, jumlah yang sama dengan sebagian besar penduduk wilayah Meksiko Tengah--sehingga beberapa kelompok masyarakat dewasa ini merasa benar jika menepiskan anggapan bahwa cerita tentang persembahan itu adalah rekayasa bangsa Eropa saja. Namun, pandangan ini juga berlebihan. Uji kimia selama 15 tahun terakhir terhadap permukaan berpori di seluruh Mexico City mengungkapkan "jejak darah ada di mana-mana," kata Lopez Lujan. "Ditemukan batu kurban, pisau kurban, jasad 127 kurban--kita tidak bisa menyangkal adanya persembahan berupa manusia."

Tetapi, dengan cepat dia menambahkan bahwa kita bisa menemukan persembahan berupa manusia di banyak tempat di masyarakat purba. Suku Maya dan beberapa masyarakat sebelum era Aztec juga melaksanakan adat kebiasaan ini. "Ini bukan menunjukkan keganasan suatu masyarakat, melainkan suatu zaman--atmosfer mirip perang ketika agama di masa itu menuntut agar manusia dipersembahkan untuk memulihkan kembali para dewa," begitu hasil pengamatan Lopez Austin.

Kerajaan itu dimulai dari nol. Bangsa Aztec yang pertama, atau bangsa Mexica, konon bermigrasi dari utara--dari Aztlan, meskipun tanah air leluhur ini belum pernah ditemukan dan mungkin hanya legenda belaka. Mereka berbicara dalam bahasa Nahuatl yang digunakan oleh bangsa Toltec yang hebat, yang dominasinya di seluruh Meksiko Tengah berakhir pada abad ke-12. Namun, bahasa adalah satu-satunya yang membuat bangsa Mexica hebat. Mereka berkali-kali terusir dari beberapa permukiman di Cekungan Meksiko dan akhirnya terdampar di sebuah pulau di Danau Texcoco, pulau yang tidak seorang pun menginginkannya, yang pada tahun 1325 diproklamirkan sebagai Tenochtitlan. Karena hampir menyerupai rawa, Tenochtitlan tidak memiliki air yang bisa diminum, serta tidak punya batu dan kayu untuk membangun. Namun, penghuninya yang compang-camping, meskipun "hampir benar-benar tidak berbudaya," sebagaimana dikatakan oleh ilmuwan terkenal Miguel Leon-Portilla, mengimbanginya dengan sesuatu yang diistilahkannya "semangat tak kenal padam."

Para pemukim ini mulai menggali reruntuhan negara-kota Teotihuacan dan Tula yang pernah sangat hebat. Semua yang mereka lihat, mereka gunakan. Pada tahun 1430, Tenochtitlan tumbuh menjadi lebih besar daripada kedua kota tadi, urugan tanah dan saluran air yang menakjubkan, dipisahkan oleh kanal dan pematang menjadi empat kuadran yang semuanya mengitari pusat piramida bertangga-ganda dengan kuil kembar di puncaknya. Tidak satu pun dari perkembangan ini benar-benar asli, dan di situlah titik penghubungnya. Bangsa Mexica mencari jalan untuk menjalin hubungan leluhurnya dengan kerajaan masa lalu--terutama melalui berbagai upaya Tlacaelel, penasihat kerajaan yang bisa saja membual bahwa "tidak seorang pun raja masa lalu bertindak tanpa meminta pendapat atau bimbinganku." Pada paruh pertama abad ke-15, Tlacaelel memperkenalkan versi baru sejarah bangsa Mexica, yang menegaskan bahwa rakyatnya adalah keturunan Toltec yang perkasa dan memasukkan Huitzilopochtli--dewa matahari dan perang yang menjadi panutan mereka--ke dalam kelompok para dewa Toltec yang agung. Penasihat kerajaan itu melangkah lebih jauh lagi. Sebagaimana yang ditulis oleh Miguel Leon-Portilla, Tlacaelel menggariskan takdir kebangsawanan mereka sebagai "penakluk semua bangsa… menangkap kurban untuk dipersembahkan, sebab sumber segala kehidupan, yakni matahari, pasti padam seandainya tidak diloloh dengan darah manusia."

Begitulah, sang pendatang baru yang dicaci dari utara itu menapaki tangga kemuliaan. Mereka menaklukkan kota demi kota di Cekungan Meksiko. Di bawah pemerintahan Moctezuma I, pada akhir tahun 1440-an, bangsa Mexica dan sekutu mereka bergerak dengan mantap menjelajahi lebih dari 300 kilometer untuk meluaskan kerajaan ke selatan ke negara bagian yang dewasa ini dikenal sebagai Morelos dan Guerrero. Pada tahun 1450-an, mereka bergerak ke pantai Teluk di utara. Dan pada tahun 1465 Konfederasi Chalco, satu-satunya penguasa yang mampu bertahan di Cekungan Meksiko, berhasil ditaklukkan.

Pada masa pemerintahan penguasa Aztec yang kedelapanlah, Ahuitzotl, kerajaan meluas sampai mencapai titik keruntuhannya.

Wajahnya tidak dikenal. Sosok yang oleh Lopez Lujan diharapkan dapat ditemukan sisa-sisa jasadnya di dekat Templo Mayor tidak tampak dalam gambar mana pun. "Satu-satunya gambar penguasa Aztec yang kami punyai adalah Moctezuma II, dan gambar ini pun dibuat berdasarkan penjelasan orang Spanyol setelah dia wafat," kata Lopez Lujan, merujuk ke raja terakhir yang memerintah Meksiko menjelang penjajahan Spanyol. "Banyak hal kecil-kecil yang kami ketahui tentang kehidupan Moctezuma II. Tentang Ahuitzotl, hanya sedikit yang kami ketahui."

Hal-hal berikut inilah yang kami ketahui: Perwira militer berpangkat tinggi itu naik tahta pada tahun 1486 setelah kakaknya Tizoc kehilangan kendali atas kerajaan dan lenyap--mungkin akibat diracun, mungkin juga tewas di tangan adiknya sendiri. Namanya saja sudah berkonotasi kekejaman; dalam bahasa Nahuatl, ahuitzotl berarti sosok mirip berang-berang bengis yang dapat mencekik manusia dengan ekornya yang berotot. Kemenangan Ahuitzotl sebanyak 45 kali, kegemilangan masa pemerintahannya selama 16 tahun, dipuja-puji dengan indahnya dalam naskah raja muda Spanyol, dikenal sebagai Codex Mendoza. Pasukan tentaranya menaklukkan daratan di sepanjang pantai Pasifik, turun hingga kawasan yang saat ini dikenal sebagai Guatemala--dengan demikian "meluaskan kawasan kerajaan sampai batas-batas yang belum pernah dicapai sebelumnya," begitu menurut Carrasco. Beberapa pertempuran ini semata-mata merupakan pameran kekuasaan atau untuk menghukum penguasa daerah yang membangkang. Pada umumnya untuk memenuhi dua nafsu dasar: upeti untuk Tenochtitlan dan persembahan untuk para dewa.

Aturan pertama dominasi Aztec ditegakkan pada saat Ahuitzotl meraih kekuasaan: Rampas komoditas terbaik daerah yang ditaklukkan. "Para saudagar dan pedagang berperan sebagai mata-mata," begitu dijelaskan oleh Eduardo Matos Moctezuma, ahli arkeologi yang mengawasi penggalian besar-besaran di Templo Mayor yang dimulai pada tahun 1978. Setelah mereka melaporkan kekayaan yang dimiliki suatu kota, pasukan kerajaan menyiapkan serangan. "Ekspansi militer identik dengan ekspansi ekonomi," ujar Matos Moctezuma. "Bangsa Aztec tidak memaksakan agama. Mereka hanya mengincar harta."

Bahkan emas pun tidak memiliki nilai tinggi di masyarakat Mesoamerika jika dibandingkan dengan zamrud, yang melambangkan kesuburan--dan yang di Amerika tengah hanya dapat ditemukan di tambang Guatemala. Maka, tidaklah mengherankan bahwa Ahuitzotl menetapkan rute perdagangan di kawasan itu--merampas bukan saja batu permata hijau yang bentuknya berubah-ubah itu, tetapi juga, menurut Lopez Lujan, "bulu burung warna-warni, emas, kulit jaguar, dan kakao, yang ibarat uang yang tumbuh di pohon." Dengan kekayaan berlimpah ini, Tenochtitlan menjadi penguasa dunia perdagangan, sekaligus penguasa kebudayaan--"pusat kesenian terkaya saat itu seperti Paris dan New York di kemudian hari," ujar Lopez Lujan.

Perhiasan gemerlap Aztec menjadi bagian dari upacara spiritualitas Tenochtitlan yang sarat hiasan. Templo Mayor bukan semata-mata piramida berisi makam sebagaimana piramida yang didirikan bangsa Mesir purba, namun merupakan lambang gunung keramat Coatepec. Gunung itu adalah arena bagi para tokoh mitologi: dewa matahari yang baru bergabung, Huitzilopochtli, membunuh adik perempuannya yang seorang pejuang, dewi bulan Coyolxauhqui, dan melemparkan mayatnya ke kaki gunung. Dengan seringnya mempersembahkan prajurit pejuang, menurut keyakinan bangsa Mexica, para dewa akan kenyang dan daur kehidupan terus berlanjut. Tanpa persembahan semacam ini, para dewa akan lenyap dan dunia akan kiamat. "Gunung keramat itu sama pentingnya dengan salib dalam ajaran Kristen," ujar Carrasco. Bagi bangsa Mexica, sebagaimana bagi sebagian besar masyarakat Mesoamerika, "selalu terjadi kehancuran dan penciptaan kembali secara berulang."

Menghormati gunung keramat itu berarti menggiring para tahanan yang berpakaian warna-warni menaiki tangga piramida, memaksa mereka menampilkan tarian upacara, kemudian mencabut jantung mereka dan menggelindingkan mayat mereka menuruni tangga. Mengumpulkan tawanan yang diperlukan untuk dipersembahkan adalah kegiatan pengerahan yang berkelanjutan. Pertempuran ritual dipentaskan pada hari-hari tertentu, di kawasan yang netral, dengan tujuan tunggal menangkap tawanan, bukan meluaskan daerah kekuasaan. Sebagaimana yang menjadi perhatian ilmuwan Ross Hassig, setiap perang "secara resmi dimulai dengan membakar tumpukan kertas dan dupa di antara kedua pasukan." Bangsa Mexica tidak berbicara tentang "perang suci," sebab bagi mereka tidak ada perang jenis lain. Pertempuran dan agama tidak dapat dipisahkan.

Melebihi para penguasa sebelumnya, Ahuitzotl memperluas daerah kerajaannya ke selatan, menguasai perdagangan dari masyarakat Tarascan yang kuat hingga ke barat, dan memperketat kontrol di semua wilayah jajahannya. "Dia lebih berkuasa, lebih kejam," ujar ahli arkeologi Raúl Arana. "Apabila ada yang tidak bersedia mengirim upeti, dia mengirimkan pasukannya. Di bawah pemerintahan Ahuitzotl, bangsa Aztec melakukan segala hal secara besar-besaran. Dan mungkin secara berlebihan. Padahal, semua kerajaan ada batasnya."

Bangsa Mexica kehilangan pembangun kerajaan yang hebat itu di puncak dominasi mereka. Pada tahun 1502--10-Kelinci--Ahuitzotl lenyap, diperkirakan tewas akibat hantaman ke kepalanya tatkala menyelamatkan diri meninggalkan istana yang dilanda banjir. Banjir itu disebabkan oleh proyek pembangunan bendungan yang dilakukan secara terburu-buru yang diprakarsai oleh Ahuizotl untuk membendung aliran mata air dari kota di negara tetangga Coyoacan. Penguasa kota tersebut sudah memperingatkan Ahuitzotl tentang aliran mata air yang sangat tidak menentu itu. Sang raja menanggapi peringatan itu dengan menghukum mati si penguasa kota. Pada upacara pemakamannya, 200 orang budak dipilih untuk menyertai Ahuitzotl ke alam baka. Mereka didandani mengenakan pakaian bagus-bagus, membawa aneka barang untuk keperluan perjalanan ini, digiring ke Templo Mayor, dan di situ jantung mereka direnggut, lalu tubuh mereka dilontarkan ke api pembakaran jenazah. Sisa-sisa pembakaran tubuh mereka, dan tubuh tuan mereka, konon dikuburkan di depan Templo Mayor.

Di lokasi itulah ditemukan monolit Tlaltecuhtli dan Aristo-Canine. Tim Lopez Lujan berhasil menggali benda persembahan lain di daerah sekitarnya. Salah satu di antaranya ditemukan di bawah bangunan megah bergaya Tuscany yang dibangun untuk salah seorang tentara Cortes. Satu lagi ditemukan beberapa meter di bawah balok batu besar. Dalam kedua kasus tersebut, Lopez Lujan tahu di tempat mana dia harus mencari setelah menelusuri sumbu timur-barat yang sangat rumit, atau "garis khayal" pada peta situs penggalian. "Selalu ada simetri berulang seperti ini," ujar Lopez Lujan. "Hal ini seperti ketentuan yang wajib mereka patuhi."

Kegiatan tim arkeologi itu berlangsung lamban dan sama sekali tidak menarik. Beberapa di antaranya karena tantangan yang dihadapi dalam setiap penggalian di kota: mengurus surat izin dan menggali mengikuti lika-liku selokan pembuangan dan jalur kereta bawah tanah; menghindari kabel telepon, serat optik, dan kabel listrik yang ditanam di bawah tanah; serta menjaga keamanan di situs arkeologi yang terletak di salah satu kawasan pejalan kaki yang paling memikat hati di dunia. Namun, yang tidak kalah merepotkan adalah bahwa kru Lopez Lujan harus bekerja keras karena peninggalan Aztec ini sangat tinggi unsur presisi geografinya. Sambil berdiri di atas sebuah lubang yang pada Mei 2007 dari dalamnya digali sebuah kotak persembahan yang tidak lebih besar daripada laci sepatu, dia berkata, "Diperlukan waktu 15 bulan untuk menuntaskan seluruh proyek penggalian barang persembahan itu. Di dalam ruang yang sempit itu terdapat 10 lapisan dan tersimpan lebih dari 5.000 benda. Jumlahnya yang begitu banyak dan nilainya yang begitu luar biasa sungguh menakjubkan.

"Memang sepertinya acak, padahal tidak," kata Lopez Lujan lagi. "Segalanya diperhitungkan dengan cermat dari segi kosmologi. Tantangan bagi kami adalah menemukan nalarnya dan pola sebarannya dari segi ruang. Ketika Leopoldo Batres melakukan penggalian di sini [pada peralihan abad sebelumnya], dia hanya tertarik pada bendanya saja. Baginya, hasil penggalian itu merupakan lambang kemenangan. Yang kami dapati setelah bekerja di sini selama 32 tahun adalah bahwa bendanya sendiri tidak terlalu penting; yang lebih penting adalah hubungan antara benda-benda tersebut dari segi geometri."

Setiap temuan merupakan anugerah besar bagi Meksiko karena begitu banyak artefak berharga sudah dirampas oleh para penakluk dan diboyong ke Spanyol, dan dari situ disebarkan ke seluruh Eropa. Melebihi nilai keindahannya, temuan baru ini menonjolkan ketelitian bangsa Aztec--ketekunan yang dipertaruhkan karena ancaman sanksi yang sangat berat. Bagi bangsa Aztec, menyenangkan para dewa--dan dengan demikian juga keberlangsungan dunia--bergantung pada kerajaan yang selalu tumbuh dan selalu menuntut, yang pada akhirnya tidak bisa dipertahankan. Sebagaimana yang dikatakan Carrasco, "Ironinya adalah bahwa jika kerajaan terus meluaskan wilayahnya sampai tidak terbatas, maka kerajaan itulah yang kemudian menjadi batasnya. Jika daerah kekuasaan kerajaan berada jauh dari pusat, kerajaan tidak dapat menyediakan makanan dan transportasi bagi pasukan militernya dan tidak dapat melindungi para saudagarnya. Biaya pemeliharaan kerajaan menjadi sangat mahal. Dan bangsa Aztec tidak sanggup mengelolanya."

Sepuluh tahun sebelum kedatangan bangsa Spanyol, penerus Ahuitzotl, Moctezuma II, tampaknya tergiur oleh visi dan isyarat. Meskipun melanjutkan cara yang dianut pendahulunya untuk meluaskan wilayah jajahan, meskipun memiliki kekuasaan besar serta emas dan mahkota dari zamrud, ditambah lagi memiliki 19 orang anak dan kebun binatang yang dihuni aneka satwa eksotik serta "manusia kerdil, albino, dan manusia bungkuk"--meskipun memiliki itu semua, penguasa kesembilan kerajaan Aztec terperangkap oleh perasaan terancam yang sangat mencekam. Pada tahun 1509, menurut salah satu buku catatan, "pertanda buruk muncul di angkasa. Wujudnya seperti pelepah jagung yang menyala… tampak seperti mengalirkan api, setetes demi setetes, seperti luka di langit."

Kekhawatiran Moctezuma masuk akal. "Terdapat lebih dari 5.000 pejuang pribumi yang memberontak, yang ingin mempertahankan harta mereka dan menghendaki dihentikannya serangan bangsa Aztec terhadap masyarakatnya," kata Carrasco. Tanpa keinginan untuk melawan penguasa Aztec yang berkuasa, ke-500 orang Spanyol yang bersandar di dermaga Veracruz pada musim semi 1519, meskipun dipersenjatai dengan senjata api dan meriam dan kuda, bukan tandingan pasukan Aztec.

Alih-alih, kontingen Cortes tiba di Tenochtitlan pada tanggal 8 November, dikawal oleh ribuan warga Tlaxcalan dan tentara sekutunya. Meskipun bangsa Spanyol terpesona oleh pemandangan kota yang gemerlap di atas danau--"beberapa orang tentara bahkan bertanya apakah pemandangan yang mereka saksikan itu bukan mimpi," seperti yang diingat oleh salah seorang saksi mata--mereka tidak gentar oleh keperkasaan tuan rumah. Justru sebaliknya, Moctezuma-lah yang tampaknya merasa tidak percaya diri. Menurut legenda Mesoamerika, dewa agung berjanggut Quetzalcoatl--yang dibuang setelah berhubungan seks dengan adiknya--suatu hari kelak akan kembali melalui jalan air untuk memulihkan kekuasaannya. Hal ini selalu diingat oleh Moctezuma, yang memberi Cortes "harta Quetzalcoatl," busana dari ujung kepala sampai ujung kaki yang di bagian atasnya dihiasi oleh "topeng seekor ular bertatahkan batu hijau-biru."

Namun, apakah Moctezuma benar-benar menafsirkan bangsa Spanyol sebagai penjelmaan kedua dewa ular-berbulu, sebagaimana yang sudah lama diyakininya? Atau apakah secara kejam dia mendandani Cortes dengan busana khas dewa, dan akan segera dijadikan kurban persembahan? Isyarat itu merupakan ketaksaan terakhir bangsa Aztec. Setelah itu, fakta tidak terbantahkan lagi. Jalanan Tenochtitlan memerah bersimbah darah, dan pada tahun 1521 kerajaan itu pun runtuh.

"Kami termakan oleh bujukan yang mengatakan bahwa cepat atau lambat kami pasti bisa menemukan makam Ahuitzotl," kata Lopez Lujan. "Makin lama, kami menggali makin dalam." Namun, seberapa dalamnya pun ahli arkeologi ini menggali, dia tidak akan pernah bisa menyingkapkan inti misteri Aztec. Hal ini akan terus menguasai jiwa bangsa Meksiko modern--misteri yang ada untuk dirasakan dan bukan dilihat, yang di masa lalu bersifat primitif dan megah, yang mengimbau manusia fana untuk meraih kekuatan yang mampu mengubah kawasan rawa tak berguna menjadi kerajaan.


http://nationalgeographic.co.id/featurepage/178/menggali-misteri-aztec/1

Sulitnya si Pemulung Berobat ke Puskesmas

| | | 0 komentar
Linan (58) kali ini tak perlu khawatir lagi waktu istirahatnya bakal diganggu petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Pasalnya, dia sudah hafal kapan saja para petugas datang untuk mengusir penghuni kolong jembatan Guntur, di kawasan Pasar Rumput, Manggarai atau disebut “apartemen gantung”.

Linan dan penghuni lainnya harus main kucing-kucingan dengan petugas. Selepas pukul 7.00 WIB mereka harus mengosongkan jembatan, dan setelah pukul 12.00 WIB bisa dibilang waktu yang aman bagi penghuni untuk mandi, mencuci pakaian, dan tidur.

“Biasanya Trantib (baca: Satpol PP) datang antara pukul 09.00 sampe pukul 10.00 WIB. Kita naik ke atas, setelah pukul 12.00 WIB baru kita bisa santai (di kolong). Alasan mereka ngusir karena mau ada wali kota atau gubernur, mau mantau aliran sungai,” paparnya kepada okezone, belum lama ini.

Petugas Satpol PP biasa mengawasi kawasan sepanjang aliran sungai Ciliwung di daerah Pasar Rumput untuk ‘menertibkan’ para gelandangan, penjual dan penghuni ‘liar’. Mereka dianggap sebagai pemandangan yang tak sedap bagi Ibu Kota Negara Indonesia.

Ditangkap petugas adalah pengalaman yang tidak mau terulang kembali sepanjang hidupnya. Linan mengaku sudah dua kali digaruk petugas Satpol PP. Terakhir, saat Ramadan lalu, selain ditangkap Satpol PP, Linan juga harus merelakan gerobaknya dirampas.

Dia mengisahkan, ketika itu dia sedang mencari makanan untuk sahur dengan membawa gerobaknya. Di sekitar Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat tiba-tiba sekelompok petugas menghadangnya. Dia lari sebisa mungkin. Sayang, petugas yang mengejar menggunakan mobil jauh lebih cepat ketimbang dirinya. Linan pun terpaksa merelakan gerobak seharga Rp250 ribu miliknya dibawa petugas plus dirinya.

“Mereka menangkap saya, bilangnya mau didata ke kecamatan. Eh nggak tahunya mau dibawa ke Kedoya,” katanya.

Di tempat penampungan, dia merasa tidak nyaman. Tak ada yang bisa diperbuat selain makan dan tidur, walhasil penghasilan pun terhenti. Tidak ada lagi simpanan untuk keluarganya di Wonogiri. Keterampilan yang diberikan dianggap tidak akan berguna. Melihat kondisi tempat penampungan yang membuatnya tidak produktif, akhirnya dia memutuskan untuk melarikan diri.

“Kita di sana didata, yang muda diberikan pelatihan lanjutan. Umur saya sudah tua. Mau usaha apa dengan umur saya segini. Mending jadi pemulung,” katanya.

Sedikit mengutip hasil penelitian kuantitatif Djuwendah (2000), disebutkan bahwa 38 persen pemulung menjalani usahanya karena tidak memerlukan modal banyak dan keahlian khusus, 29 persen pemulung menjalaninya karena usaha ini tidak terikat waktu atau karena coba-coba, 18 persen pemulung merasa bahwa usaha ini lebih menguntungkan daripada usaha sebelumnya, dan hanya 21persen pemulung yang mengaku terpaksa melakukannya karena sulitnya mencari pekerjaan lain.

Alasan-alasan lain yang melatarbelakangi keputusan para pemulung untuk menjalani usaha ini merupakan rentetan dari keterbatasan keahlian dan sumber daya modal yang dimiliki dan sulitnya mencari pekerjaan sehingga pada akhirnya mereka memilih bekerja sebagai pemulung yang lebih mengandalkan kemauan dan kekuatan fisik.

Dahulu mungkin Linan memiliki kemauan dan kekuatan fisik yang memadai untuk menjadi pemulung. Tapi kini, tubuhnya yang menua mulai tak bersahabat dengan kondisi pekerjaan dan tempat tinggalnya di kolong jembatan.

Apalagi ketika angin malam menghantam tubuhnya yang kurus. Ketika tidur, dia harus melapisi tubuhnya dengan jaket agar udara malam tidak membuatnya sakit. Untung sakit yang selama ini dialaminya masih tergolong penyakit ringan.

Bahkan sedikit pun tak terbesit di benak Linan, apa yang mesti diperbuat jika suatu saat penyakitnya tergolong berat. Saat ini saja, untuk masuk angin dan sakit gigi cukup diatasi dengan membeli obat warung.

“Mau ke Puskesmas mesti pake KTP. Saya nggak punya KTP, ya beli obat aja di warung,” pungkasnya.
(lsi)

http://news.okezone.com/read/2010/10/25/338/385960/sulitnya-si-pemulung-berobat-ke-puskesmas

Ilham Aidit: Dijatuhkan Rakyat, Dia Pahlawan?

| | | 2 komentar
Wawancara Ilham Aidit, anak bungsu Dipa Nusantara Aidit, Ketua Komite Sentral PKI.

Pukul enam lebih 30 menit. Februari 1983. Pagi itu kawasan Upas Tangkuban Perahu masih menggigil. Pensiunan letnan jenderal berusia 58 tahun itu menghampiri seorang anak muda 22 tahun.

Lama dia menatap, lalu memeluknya. Erat sekali, baru melepasnya. Seperti seorang ayah merindu pada anak. “Kamu sekarang jadi apa?” tanya si jenderal. “Kepala operasi,” anak muda itu menjawab.

Sang jenderal meminta waktu bicara berdua. Anak muda itu mengangguk. Lalu mereka menyingkir dari keramaian, ke tebing Kawah Upas. “Bagaimana kuliahmu?” tanya si pensiunan sembari memandang kawah. “Lancar,” anak muda itu menjawab.

Jendral tua yang bermata nanar pagi itu adalah Sarwo Edhie. Dan si anak muda itu adalah Ilham Aidit. Sarwo Edhie adalah komandan pasukan khusus yang membasmi anggota dan petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) sesudah Gerakan 30 September 1965. Dan Ilham adalah anak bungsu Dipa Nusantara (DN) Aidit, Ketua PKI, yang mati dihabisi tentara di Boyolali, 23 November 1965.

Datang dari dua masa lalu yang berselisih, minat mencintai alam mempersatukan keduanya di Wanadri. Sarwo Edhie sebagai anggota kehormatan, dan Ilham kepala operasi organisasi itu.

Dan pada Februari 1983 itu, adalah pertemuan kedua mereka. Pertemuan pertama berlangsung 1981. Di tempat yang sama. Bulan yang sama. Saat itu Ilham menjadi anggota baru Wanadri dan Sarwo Edhie anggota kehormatan. Sarwo Edhie menyalami satu persatu-satu anggota baru, mulai dari ujung.

Ilham yang berdiri di barisan tengah, gemetar menunggu giliran. Dia tahu bahwa Sarwo Edhie paham bahwa dia adalah putra DN Aidit. Ketika tiba gilirannya, Sarwo Edhie langsung memeluk. Dari 74 anggota baru yang dilantik pagi itu, cuma Ilham yang dipeluk. Pelukan itu tanpa kata.

Baru pada pertemuan kedua itu mereka bicara dari hati ke hati. Sarwo Edhie bercerita tentang peristiwa 1965. “Kamu bisa menerima ini, kan?” tanya Sarwo Edhie. Ilham mengangguk. Dia merasa lega dengan obrolan pagi itu. “Itu awal mula rekonsiliasi pribadi,” kisah Ilham kepada VIVANews, Jumat, 22 Oktober 2010. Keduanya kemudian beberapa kali bertemu di Wanadri, sampai Sarwo Edhie meninggal, 9 November 1989.
Rekonsiliasi berikutnya kemudian dengan keluarga Sarwo Edhie, pada tahun 2004.

Digelar di Daarut Tauhiid--milik dai kondang AA Gym, di Gegerkalong, Bandung, Jawa Barat--pertemuan itu dihadiri menantu Sarwo Edhie, Susilo Bambang Yudhoyono, yang saat itu sedang berjuang di putaran kedua Pemilu Presiden.
Hadir dalam pertemuan sejumlah anak-anak korban G 30 S PKI, DII/TII yang bergabung dalam Forum Silahturrahmi Anak Bangsa (FSAB).

Di situ, Ilham sempat bercerita kepada SBY soal pertemuannya dengan Sarwo Edhie. Mendengar cerita itu, tangan SBY memegang paha kiri Ilham, lalu bilang, “Kita harus menyelesaikan masa lalu, tapi dengan cara yang arif.”

Ilham mengangguk. Mereka lalu sepakat agar rekonsiliasi terus dilakukan.
Rekonsiliasi itu kembali digelar, 1 Oktober 2010, bertepatan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Berlangsung di Gedung MPR di Senayan, rekonsiliasi itu dihadiri sejumlah anak pahlawan Revolusi. Amelia Yani (Putri Jenderal Ahmad Yani), Christine Panjaitan (Putri Mayjen Panjaitan), Sukmawati Soekarnoputri.

Hadir pula Ilham Aidit, Svetlana (anaknya Nyoto), Feri Omar (anak Mantan KSAU Omar Dhani). Dan yang menarik perhatian publik adalah kehadiran Tommy Soeharto, putra bungsu Jenderal (Purn) Soeharto, presiden Indonsia selama 32 tahun, yang memimpin penumpasan terhadap anggota dan petinggi PKI tahun 1965.

Dalam kata sambutannya, Tommy Soeharto menegaskan bahwa, “Kita tidak bisa mengubah sejarah, tapi kita bisa mengubah masa depan bangsa kita sendiri. Atas nama pribadi saya mengucapkan maaf lahir batin."

Hadirin bertepuk tangan.

Masa lalu sejumlah anak mantan petinggi negara itu memang banyak yang kelabu. Ilham Aidit, misalnya, yang saat peristiwa G30S meletus masih kecil, harus lari dari satu rumah ke rumah yang lain, sebab diburu para tentara. Saat kecil, dia bahkan pernah nyaris ditembak.

Beruntung ada keluarga jauh yang memberi pertolongan, dan kemudian membesarkan Ilham bersama dua kakaknya, Iwan Aidit dan Irfan Aidit. Dua kakak perempuan mereka lari dan menetap di Perancis.

Atas pertolongan keluarga jauh itu, Ilham kuliah di Teknik Arsitektur Universitas Parahiyangan, Bandung. Tamat dari kuliah, Ilham yang ditolak jadi PNS itu, kemudian bekerja sebagai arsitek. VIVAnews mewawancarai Ilham, soal kontroversi apakah Soeharto pantas jadi pahlawan atau tidak.

Tanggal 1 Oktober 2010, Anda bertemu dengan anak-anak pahlawan revolusi dan anak Mantan Presiden Soeharto di DPR. Apa yang Anda rasakan dalam pertemuan itu?

Dengan Amelia Yani, dan Christine Panjaitan dan beberapa orang lain, kami sudah sering bertemu. Karena kami bergabung dalam organisasi FSAB. Sudah sering bertemu, saling kenal. Kalau dengan Tommy Soeharto, baru pertama kali bertemu di DPR itu.

Bagaimana perasaan Anda saat bertemu dengan Tommy. Canggung atau bagaimana?

Memang agak canggung. Tapi bukan karena dia anak Soeharto, tetapi lebih karena saya paham bahwa Tommy juga pernah menjadi bagian dari masalah penegakan hukum dan ekonomi di negeri ini. Dia punya beberapa kasus yang berhadapan dengan negara. Dia dan negara sama-sama pernah merebut uang di Bank Paribas di Inggris.

Saat bertemu Tommy Anda bersalaman?

Iya, kami bersalaman tapi tidak akrab.

Anda menyimpan dendam dengan anak-anak Soeharto?

Tidak. Saya kira ada juga anak Soeharto yang baik. Mbak Mamiek, misalnya, dia anak yang baik. Saya kira dia orang bersih, artinya tidak punya kasus seperti kasus korupsi, KKN, dan lain-lain. Saya belum pernah dengar dia punya kasus.

Kalau anak-anak jenderal yang lainnya itu, bagaimana Anda menilainya?

Saya salut dengan anak-anaknya Sarwo Edhie. Terlepas dari perilaku bapaknya, saya kira Edhie Prabowo, yang kini menjadi Pangkostrad itu, adalah tentara yang berprestasi. Saya sangat hormat dengan Beliau. Dengan anak-anak Pak Ahmad Yani dan Pak Panjaitan hubungan kami baik. Kami tidak diwarisi konflik orang tua kami.
Kini Soeharto ramai dicalonkan menjadi pahlawan, Ada yang setuju, ada juga menolak.

Anda sendiri bagaimana?

Saya jelas tidak setuju.

Alasannya?


Ada tiga alasannya. Pertama, saya kira ada banyak pelanggaran HAM yang terjadi saat Beliau memimpin militer Indonesia dan saat Beliau menjadi presiden. Peristiwa yang selalu disebut antara lain, G-30S, Peristiwa Tanjung Priok, Lampung, dan beberapa peristiwa lain. Peran Beliau dalam sejumlah peristiwa itu sangat signifikan. Nilai Beliau dalam soal HAM ini merah.

Tapi kan Soeharto tidak pernah diadili dan terbukti bersalah dalam kasus-kasus itu?

Tidak diadili, tidak berarti Beliau tidak bersalah atau tidak tahu. Terlepas dari salah atau tidak, ratusan ribu pengikut PKI dibunuh sesudah tahun 1965, termasuk ayah saya. Apa Beliau sama sekali tidak punya peran dalam gemuruh perburuan dan pembunuhan para pengikut PKI itu?.

Kalau ada, betapapun kecil peran itu, apa pantas Beliau jadi pahlawan? Apa pantas orang yang diduga tahu soal pembunuhan itu, dan punya kuasa untuk menghentikannya, tapi diam saja, kita angkat jadi pahlawan?

Apa alasan lain?

Presiden Soeharto dijatuhkan lewat unjuk rasa yang luar biasa masif di seluruh Indonesia. Unjuk rasa dilakukan hampir seluruh rakyat. Sampai-sampai mahasiswa panjat-panjat gedung dan menduduki atap gedung DPR. Apa pantas orang yang dijatuhkan dengan kehendak rakyat yang begitu besar, kita angkat jadi pahlawan? Dijatuhkan rakyat, kok diangkat jadi pahlawan? Apa pembenarannya?

Tapi bukankah jasa Soeharto dalam pembangunan ekonomi besar?

Pembangunan kita dibiayai oleh utang. Dan Anda tahu bahwa Profesor Soemitro Djojohadikusumo, ketika masih menjadi besan Pak Harto, menegaskan bahwa sekitar 30 persen dari utang kita itu bocor. Bocor ke mana? Menurut Pak Sumitro dan para ahli ekonomi, ya bocor karena KKN.

Apa yang bocor ini pantas dibanggakan sehingga jadi pahlawan? Dan kalau sukses pembangunannya, apa alasan seluruh rakyat Indonesia waktu itu turun ke jalan menjatuhkan Beliau? Karena pembangunannya gagal, kan?

Pendukung Soeharto bilang, dalam hal KKN Soeharto toh tak pernah divonis bersalah.

Tanggapan Anda?

Pengadilan untuk itu sudah ada, tapi Beliau sakit, sehingga kasusnya diendapkan dan kemudian dihentikan. Jadi, Beliau pernah diproses secara hukum. Lha, apa pantas Beliau yang pernah diproses hukum itu jadi pahlawan?

• VIVAnews

Ketemu Cinta Sejati di Danau Toba

| | | 0 komentar
Oleh Biqwanto Situmorang

Tak pernah terpikir untuk singgah di Danau Toba ketika Annette Horschmann, gadis Jerman, merencanakan liburan panjang berkeliling dunia setelah tamat sarjana hukum di kotanya, Koln.
Kala itu, pertengahan tahun 1993, ia berencana melakukan perjalanan wisata ke India, Thailand, Malaysia dan Indonesia, kemudian ke Selandia Baru dan diakhiri di Amerika Serikat.
"Namun ketika berada di Bali, saya seolah mendengar suara yang memanggil untuk berkunjung ke Danau Toba. Padahal saya baru mendengar nama itu setelah beberapa hari tinggal Bali, pada awal tur dunia saya," kenangnya.
Suara "panggilan" itu berdengung berkali-kali, sehingga Bu Anne, panggilannya saat ini, berupaya mengumpulkan berbagai informasi terkait Danau Toba. Setelah dirasa cukup menarik untuk dikunjungi, maka ia pun memulai perjalanan.
Karena seorang diri, maka ia memilih perjalanan darat dari bali menuju Danau Toba, Sumatera Utara. Sempat singgah di Yogyakarta, kemudian di Jakarta dan Bukit Tinggi.
"Di Bukit Tinggi ada seorang pemandu wisata yang mengatakan kepada saya bahwa saya akan menemukan jodoh di Indonesia. Saat itu saya katakan, tidak mungkin," katanya pekan lalu, ketika ditemui di restoran miliknya, Tabo, di Tuktuk, Samosir, Sumatera Utara.
Sebab, katanya, dari sisi tinggi badan yang mencapai 170 cm, tidak akan cocok dengan pemuda Indonesia yang umumnya jauh lebih pendek dari dirinya. Dan ia pun tak hirau dengan kata-kata pemandu wisata tersebut.
Perjalanan dilanjutkan hingga ke Danau Toba. "Dan wah ... alamnya begitu indah, danau biru yang sangat luas, begitu mempesona ... terasa ada ketenangan jiwa ketika memandangi danau dan menghirup udara segar pantai," katanya menggambarkan kesan pertama berada di Tuktuk, Samosir, sebuah kawasan wisata di Pulau Samosir, berseberangan dengan Parapat.
Ketika itu, katanya, ia sudah memiliki perasaan (feeling) akan lama tinggal di daerah itu, karena merasa betah dengan kondisi alamnya. Namun, kembali ia tak menghiraukannya.
Setelah beberapa minggu tinggal di Tuktuk, visa kunjungan wisata habis, maka Annette keluar dari Indonesia, dan terbang ke Penang, Malaysia. "Selama seminggu di Penang saya tidak sehat. Badan terasa sakit, tak ada gairah untuk bergerak maupun jalan-jalan, maunya tidur," katanya dengan bahasa Indonesia yang fasih dan lancar.
Setelah mengurus visa, lalu ia memutuskan kembali ke Danau Toba, dan ternyata penyakitnya sembuh, hidupnya bergairah kembali.
"Rupanya ada kerinduan ke Danau Toba, dan itu kemudian terobati," katanya, sambil tersenyum.
Sebelumnya ia sudah berkenalan dengan seorang pemandu wisata di Tuktuk, Antonius Silalahi. Pemuda ini lalu mengajaknya bekerjasama untuk menjalankan bisnis di bidang pariwisata.
"Setelah saya pikir-pikir, kenapa tidak dicoba? Lalu saya terima ajakannya, karena saat itu saya melihat wisatawan mancanegara memadati setiap sudut Tuktuk. Saya pikir ini peluang," katanya.
Pada periode itu, terjadi lonjakan kunjungan wisatawan mancanegara ke Sumatera Utara (Sumut) dari sekitar 200.000 orang pada 1993 menjadi 265.000 orang pada 1994. Puncaknya pada tahun 1995 sebesar 300.000 orang, kemudian turun drastis pascakrisis ekonomi di Asia tahun 1997 yang diikuti jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, menjadi sekitar 90.000 orang pada 1999. Hingga saat ini kunjungan wisatawan asing belum pulih seperti era 90-an.
Lalu mereka sepakat mendirikan restoran "vegetarian" pada awal 1994. Silalahi menyediakan lahan dan Annette dengan sisa uang yang dimiliki membangun fisik dan peralatan yang diperlukan.
Pilihan restoran vegetarian rupanya cukup tepat. Sejak dibuka, restoran ini banyak pelanggan, terutama dari kalangan tua, karena pada saat itu sedang `trend` dan banyak wisatawan kakek dan nenek dari Eropa memilih berlibur ke Asia untuk melewati musim dingin.
Annette menjelaskan, para orang tua itu memilih berlibur ke Indonesia karena lebih murah dibanding biaya hidup tinggal di rumahnya di Eropa selama musim dingin, yang didukung oleh adanya sejumlah penerbangan langsung dari Eropa ke Indonesia, termasuk ke Medan.
Usaha restoran berkembang pesat, lalu mereka kemudian memperluas usaha dengan menyediakan roti (bakery). Mereka menjalankan bisnis ini secara profesional, walaupun di antara keduanya juga telah terjalin hubungan cinta.
Bagi orang Batak, hubungan cinta tidak bisa dilakukan secara terselubung, maka mereka mengesahkan hubungan mereka dengan pernikahan menurut adat Batak pada pertengahan tahun 1994. Untuk memenuhi adat, sebelumnya Annette diangkat menjadi orang Batak dan diberi marga Siallagan, dan namanya menjadi Annette boru Siallagan.
Walaupun kurang setuju, pihak kerabat dan kedua orang tua Annette bisa menerima keputusan putrinya, dan mereka datang dari Jerman menghadiri pesta pernikahan Annette dan Antonius Silalahi.
Sementara itu dari pihak pengantin pria, keluarga Silalahi, sangat bangga karena memiliki menantu orang asing.
"Setelah beberapa bulan menikah, saya baru teringat dengan pemandu wisata di Bukit Tinggi itu. Dan apa yang ia katakan sekarang menjadi kenyataan, saya mendapat jodoh orang Batak. Haa... haa... haa..," katanya terbahak.
Hingga kini, keluarga Silalahi-Annette dikaruniai dua putra dan seroang putri. Putra pertama Marco (15) kini sekolah SMA kelas I di Medan, yang kedua Julia, putri berusia 13 tahun sekolah SMP kelas II di Pangururan, dan di bungsu Hotto (11) SD kelas VI tinggal bersama mereka di Tuktuk.
Bagi Annette, sudah "happy" hidup di Danau Toba. "Bagi saya Danau Toba merupakan `true love`, cinta sejati," katanya.
"Hidup dan masa depan saya ada di sini. Keluarga saya ada di sini. Saya hidup bahagia bersama suami dan anak-anak," jawabnya, ketika ditanya apakah ada keinginan untuk kembali ke Jerman suatu saat kelak.
"Nunga hudapot di son ngolukku," katanya dalam bahasa Batak yang fasih, yang berarti, ia sudah menemukan tujuan hidupnya di Tuktuk.
Ia mengatakan, setiap tahun, atau setidaknya sekali dalam dua tahun, ia bisa menemui kerabat dan orang tuanya di Jerman, demikian pula keluarganya di Jerman bisa mengunjungi dirinya di Tuktuk, sedikitnya sekali dalam dua tahun.
Karena keluarganya dari Jerman sering berkunjung ke Tuktuk, maka untuk menyediakan tempat menginap, Annette dan suaminya membangun paviliun dua kamar di samping restorannya. Kamar inilah cikal-bakal usaha cottage milik mereka hingga saat ini.
"Semuanya diawali dari sebuah restoran sederhana," katanya mengenang perjalanan usahanya sejak 16 tahun lalu dan kini menjadi sebuah cottages dengan puluhan kamar dengan variasi layanan standard hingga VIP. "Jika ingin informasi bisa menghubungi www.tabocottages.com," tambahnya.
Pada Minggu 24 Oktobe lalu, saat penutupan Pesta Danau Toba 2010, Annette memperolah penghargaan dari panitia Pesta Danau Toba dalam pelestarian lingkungan, karena kiprahnya membersihkan pantai Danau Toba dari eceng gondok.
Berawal tahun 2005, cerita ia, ketika eceng gondok memenuhi hampir seluruh pantai Tuktuk dan menimbulkan dampak tidak sedap bagi pariwisata daerah itu. Kala itu belum diketahui cara untuk menyingkirkan eceng gondok tersebut, selain mengangkatnya dari danau ke darat.
Annette mengajak beberapa orang untuk mengangkat eceng gondok itu, lalu mengumpulkannya dalam sebuah penampungan.
"Ternyata setelah dibiarkan selama sebulan eceng gondok itu berubah menjadi kompos, yaitu pupuk organik yang sangat baik untuk pertanaman," katanya.
Beberapa waktu kemudian, Vicky Sianipar dari komunitas Toba Dream dari Jakarta membuat program penghijauan tepian Danau Toba dengan menanam pohon.
"Vicky datang ke saya, butuh kompos dalam jumlah besar untuk menanam ribuan pohon. Lalu saya ajak lebih banyak lagi anak muda untuk mengangkat eceng gondok. Dalam waktu singkat pantai bersih, kondisi pariwisata membaik, sedangkan eceng gondok menjadi sumber penghasilan," katanya.
Hingga sekarang, banyak yang terlibat dalam forum pengelolaan eceng gondok bersama Annette, dan kini kompos tak lagi tumbuhan pengganggu tetapi merupakan pupuk dan media pertanaman yang sangat baik yang dibutuhkan petani.
Atas upayanya itu, Annette meraih penghargaan sebagai Most Inspiring Woman dari Monang Sianipar pada 2009, kemudian mendapat penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara 2010.
"Saya melakukan itu tidak untuk penghargaan, tetapi untuk memelihara kebersihan Danau Toba dan menjaga citra pariwisata. Kalau kemudian memberi manfaat ekonomi, itu keuntungan tambahan. Fokus saya Tuktuk adalah daerah pariwisata, harus bersih dari hal-hal yang mengganggu," katanya.
Bagi Annette, Danau Toba adalah surga (paradise). "Cuaca yang tidak panas dan tidak dingin, cocok untuk menikmati hidup, terutama bagi orang yang tua," katanya.
Oleh karena itu, katanya, walaupun kunjungan wisatawan asing ke Danau Toba anjlok tajam sejak tahun 1995, ada saja kelompok orang tua dari Eropa dan Amerika yang menginap di cottages miliknya.
Namun, ia sangat prihatin dengan kondisi pariwisata saat ini di daerah Tuktuk dan sekitarnya.
"Persaingan sangat keras dan menjurus tidak sehat. Karena sepinya tamu (wisatawan), terjadi perebutan tamu oleh sesama hotel. Terkadang wisatawan dibohongi, misalnya dikatakan layanannya memuaskan, padahal toilet saja tidak bersih. Hal ini sangat mengecewakan tamu," katanya.
Saat ini pelaku bisnis pariwisata di Tuktuk seolah menangis, merintih merindukan kedatangan wisatawan, katanya.
Ia menceritakan masa-masa mulai surutnya kunjungan wisatawan ke Danau Toba, dimulai dengan musibah tenggelamnya kapal penumpang Peldatari yang mengangkut pengunjung Pesta Danau Toba pada Juli 1997, usai penutupan pesta itu, dan menewaskan lebih 100 orang. Beberapa waktu kemudian terjadi kabut asap yang menyelimuti daerah Sumatera Utara dan pesawat Garuda Indonesia jatuh di Medan pada September 1997.
"Berita musibah itu berdampak besar. Dan seingat saya, mulai saat itulah kunjungan wisatawan ke Tuktuk menurun drastis," katanya.
Krisis ekonomi yang menimpa Asia pada 1997, serta jatuhnya Soeharto pada 1998, memperparah kondisi parwisata Danau Toba. Sejumlah penerbangan langsung dari Eropa ke Medan ditutup, termasuk oleh maskapai Garuda Indonesia. Akibatnya, kunjungan wisatawan asing ke Sumatera Utara anjlok tajam.
Di sisi lain, tak ada upaya untuk keluar dari krisis tersebut, baik oleh pemerintah maupun industri pariwisata.
"Tidak seperti di Bali, ketika bom terjadi tahun 2002, pemerintah dan semua kalangan bersama-sama berupaya memulihkan kondisi pariwisata Bali, termasuk dengan mengupayakan hari libur akhir pekan yang lebih panjang agar wisatawan domestik berkunjung ke Bali," katanya.
Malah, katanya, sejak 2004 visa kunjungan wisatawan saat kedatangan (visa on arrival) dikenai tarif 25 dolar AS untuk kunjungan selama 30 hari, dan tidak ada kepastian apakah bisa diperpanjang.
"Penerapan tarif visa ini sangat dikeluhkan wisatawan, banyak wisatawan tidak datang karena hal tersebut, terutama kalangan back-packer (petualang), sebab 25 dolar AS sangat berarti bagi mereka," kata Annette. Di samping itu, ada beberapa negara seperti Belanda tidak mendapat fasilitas visa on arrival tersebut.
Ia membandingkan, di Singapura dan Malaysia, visa on arrival tidak dikenai biaya dan berlaku selama tiga bulan, dan kemunggkinan akan diperpanjang sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing.
Di pihak lain, pelaku bisnis pariwisata seperti hotel, restoran dan penjual souvenir tidak berupaya memperbaiki kualitas layanan.
"Ada penjual souvenir yang sampai menarik tangan pelanggan, memaksa untuk membeli barangnya. Ini sudah keterlaluan," katanya.
Kualiutas akses jalan, juga minim perbaikan. Jalan raya yang mengelilingi Pulau Samosir, masih banyak yang berlubang dan sempit, dan tak ada rambu dan tanda lalulintas.
Masalah lain, soal jaminan kesehatan dan penukaran uang. "Tak ada rumah sakit, kalau wisatawan tiba-tiba sakit yang parah, harus dibawa ke Siantar, perlu waktu 2 jam perjalanan," katanya.
Fasilitas penukaran uang juga tidak ada, sementara pembayaran dengan kartu kredit tidak dilayani. "Hal ini menyulitkan wisatawan," katanya.
Walaupun sedemikian rumitnya permasalahan pariwisata yang dihadapi, Annette tetap yakin bahwa Danau Toba adalah surga pariwisata, yang sangat menarik bagi wisatawan.
Ia melihat, bandar udara di Silangit, Kabupaten Tapanuli Utara, yang hanya berjarak dua jam perjalanan darat ke Parapat, bisa menjadi pintu masuk baru wisatawan asing ke Danau Toba, selain dari Polonia, Medan, tentunya dengan akses penerbangan langsung dari luar negeri, misalnya dari Singapura, Kuala Lumpur, dan lain-lain.
"Bagaimana caranya agar penerbangan langsung dari luar negeri itu bisa terlaksana, itu menjadi tanggungjawab pemerintah sebagai fasilitator sarana pariwisata," katanya.
Selain itu, upaya promosi harus terus dilakukan, baik oleh industri pariwisata maupun oleh pemerintah. "Tak ada promosi, tak ada kunjungan wisatawan," katanya, dengan menjelaskan betapa sengitnya persaingan industri pariwisata dunia saat ini.
Masing-masing tujuan wisata sangat gencar mempromisikan dirinya, dengan mengikuti berbagai ajang promosi dan beriklan di media massa.
"Keindahan obyek wisata tak cukup untuk menarik wisatawan, tetapi harus dengan promosi dan jaringan kerja yang luas," katanya.
Oleh karena itu ia berkeinginan untuk ikut berpromosi pada ajang festival pariwisata Berlin, Jerman, pada 2011. "Saya akan sangat berterima kasih kalau ada yang berkenan membantu, sebab manfaatnya tidak hanya untuk saya tetapi untuk Indonesia. Saya ingin mengajak para orang tua di Jerman menghabiskan liburan musim dingin di Danau Toba," katanya.
Ia mengingatkan, bisnis pariwisata merupakan kerjasama berbagai pihak, mulai dari masyarakat, pemerintah, pengusaha hotel dan restoran, penyedia jasa perjalanan, hingga para penjual souvenir.
"Kita harus bersama-sama meningkatkan daya saing, dengan berbagai kemudahan yang disediakan pemerintah, serta perbaikan layanan oleh pelaku-pelaku wisata," katanya

http://oase.kompas.com/read/2010/11/02/08220252/Ketemu.Cinta.Sejati.di.Danau.Toba

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?