Bekerja keras untuk sebuah kebenaran, ternyata tidak mesti mendapat imbalan yang menyenangkan. Bahkan mungkin justru sebaliknya, mendapat musibah yang tak pernah terbayangkan. Itulah yang menimpa rekan-rekan wartawan harian Bernas, sebuah harian kecil di Yogyakarta yang telah kehilangan salah seorang wartawan terbagusnya, Fuad Muhammad Syafrudin. Udin, panggilan sehari-hari Fuad Muhammad Syafrudin ini, tewas akibat penganiayaan yang menimpanya. Para wartawan rekan Udin, harus menelan pil pahit, sebagai buntut dari tewasnya rekan mereka dan upaya keras mereka untuk menguak tabir yang menyelimuti kaburnya investigasi kasus Udin ini.
Udin menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah tiga hari melewati masa kritis di rumah sakit Bethesda, akibat penganiayaan terhadapnya yang terjadi pada tanggal 13 Agustus 1996. Dalam kurun waktu lebih dari setahun ini, tanda-tanda terungkapnya kasus pencabutan nyawa secara paksa atas diri Udin, sama sekali belum tampak. Tersangka Dwi Sumaji, yang diyakini publik bukanlah pelaku penganiayaan yang menyebabkan tewasnya Udin, masih menjalani persidangan untuk membuktikan bahwa dia bukan pelakunya.
Dwi Sumaji alias Iwik bukanlah satu-satunya korban buntut rangkaian kasus Udin ini. Seperti diungkap di atas, beberapa wartawan yang terlibat dalam pelaporan dan investigasi kasus Udin juga terkena getahnya.
Di kalangan yang lebih luas, teror dan intimidasi adalah ancaman yang biasa diterima oleh wartawan yang meliput kasus Udin. Khoiri Ahmadi, wartawan Gatra, pernah akan ditabrak oleh laki-laki yang mengendarai motor, saat kembali dari mewawancarai Kuncoro. Keponakan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo inilah yang menolong membawa Udin ke rumah sakit setelah dianiaya. Bahkan, salah seorang wartawan Bernas yang bernama M. Achadi pernah diancam oleh seorang polisi dari Kepolisian Resort Bantul. Masih banyak ancaman lain yang diterima oleh para wartawan Yogyakarta. Terakhir, wartawan tabloid Adil, Kristiana, ditendang motornya oleh pengendara motor lain, sekembalinya dari wawancara dengan Sujarah, tetangga Udin.
Ancaman-ancaman terhadap wartawan yang aktif meliput kasus Udin tidak berhenti sampai di ancaman fisik saja. Setelah mereka bersusah payah mencoba menguak kabut kasus Udin, yang tampaknya sangat tebal ini, mereka bukannya mendapat imbalan yang setimpal dengan perjuangannya. Mereka justru kembali mendapat hantaman yang sangat keras dan menyakitkan. Kali ini, hantaman bukan dari pihak luar atau sumber berita, namun justru dari pihak yang seharusnya menjadi pelindung bagi para wartawan, pihak Bernas sendiri.
Setelah tewasnya Udin, Bernas membentuk tim yang bertugas untuk mengurusi semua masalah yang ada hubungannya dengan kasus Udin. Tim ini dibagi dalam beberapa bidang, seperti tim investigasi, tim peliputan dan penulisan berita, dan hubungan masyarakat yang harus menyediakan informasi untuk berbagai pihak yang ingin menanyakan informasi mengenai kasus ini.
Dalam perjalanannya, tim ini kemudian mengecil dan tinggallah Tim Kijang Putih (TKP) yang terdiri dari beberapa wartawan Bernas dan wartawan media lain. Tim ini disebut TKP karena setiap menjalani tugasnya, tim ini selalu memakai mobil Kijang putih milik Bernas. Merekalah yang terus berupaya mengungkap kasus Udin ini. Segala upaya ditempuh, bahkan ketika harus berbecek-becek di sawah untuk mencari barang bukti, pipa besi. Udin dipukul dengan pipa besi, yang kemudian dibawa kabur ke arah utara dengan sepeda motor. Mereka juga rela begadang di Bantul hingga dini hari, untuk mencoba mendapat "sisik melik" sebagai upaya menemukan petunjuk untuk menguak kasus Udin, yang tampaknya mulai ditutup-tutupi.
Begitu bersungguh-sungguhya upaya tim ini, hingga salah seorang redaktur Bernas, Heru Prasetyo yang kebetulan menjadi motor tim, rela meninggalkan jabatan redakturnya. "Untuk ke lapangan, kita tidak mengenal waktu. Padahal untuk mengurusi halaman, saya harus berada di kantor hingga malam. Jadi kalau saya akan ke lapangan, harus sesudah selesai mengerjakan halaman. Itu terlalu malam, kasihan teman-teman yang lain harus menunggu," ujar Heru. "Lagipula, saya juga tidak bisa hanya berpangku tangan dan duduk-duduk di kantor, menunggu laporan teman-teman," lanjutnya.
Namun perjuangan keras ini tidak mendapatkan imbalan yang sepadan. Tim Udin ternyata kemudian diobrak-abrik. Mendadak sekitar akhir Maret, Bernas mengambil kebijakan untuk melakukan mutasi besar-besaran. Hampir semua anggota Tim Udin dipindah ke daerah lain. M. Achadi dipindah ke Semarang. Triatmoko Sukmo Nugroho dipindah ke Wonosobo, Trianto Heri Suryono ke Magelang, dan Budi Sulistyo ke Purworejo. Sementara Tarko Sudiarto, seorang fotografer, dipindah ke Solo. Tarko adalah fotografer yang cukup berpengalaman dan pernah meraih medali emas Salon Foto Indonesia tahun 1996. Keputusan terakhir dan yang paling mengejutkan adalah ketika Bernas memanggil Heru dan memintanya mengundurkan diri per 1 April. Dia sama sekali tidak diberi alternatif dan waktu yang cukup untuk mencari "gantungan" lain. Dia dipaksa mengundurkan diri dengan alasan bahwa dia tidak bersih lingkungan.
"Waktu itu ketika saya baru pulang dari Pengadilan Negeri Sleman untuk meliput sidang gugatan PDI pro-Megawati, saya dipanggil 'big boss'. Saya tidak membayangkan apa yang akan dia bicarakan, karena saya merasa tidak mempunyai masalah dengannya," ujar Heru. "Begitu masuk, bos langsung bicara pada persoalan yang menyatakan bahwa saya tidak bersih lingkungan. Dia mengatakan bahwa dia baru saja dari Korem dan mendapatkan informasi tersebut. Jadi menurutnya, Bernas tidak bisa mempekerjakan saya lagi," lanjut Heru. Keputusan ini sangat mengejutkan Heru, dan juga terlalu mendadak.
Namun menurut Kusfandi, pemimpin umum PT Bernas, sebenarnya Heru diberi kesempatan untuk memilih pindah ke bagian lain. "Yang tidak boleh adalah kalau dia tetap bekerja di redaksi, tetapi kalau dibagian lain, boleh," aku Pak Kus, panggilan akrab Kusfandi. "Itu ada aturannya kok, kalau wartawan harus bersih lingkungan."
Kejutan ini tidak berhenti sampai di sini, tetapi terus berlanjut. Rekan-rekan anggota tim lainnya yang menolak dipindah dengan alasan yang kuat, seperti pendidikan dan kondisi keluarga, dianggap mengundurkan diri. Mereka adalah Achadi dan Triatmoko Sukmo Nugroho. Mereka, meski tetap terus menulis berita, inisialnya tidak lagi dimasukkan dalam berita-berita yang mereka tulis. Ketika gajinya tiba-tiba dihentikan, merekapun mulai tidak menampakkan batang hidungnya di kantor lagi, dan mulai mempersiapkan langkah-langkah yang perlu diambil.
Dengan kondisi yang sangat tidak menyenangkan ini, beberapa wartawan Bernas lain mulai merasa tidak nyaman. Merekapun satu persatu hengkang. Hingga kini, sekitar 14 wartawan dan redaktur keluar dari Bernas. Kasus terakhir terjadi sekitar dua pekan lalu, yaitu kasus yang menimpa Mifathudin, koresponden yang telah bekerja selama dua tahun. Dia dianggap mengundurkan diri karena menolak ditempatkan di kota lain, dan karena ketidaksetujuannya dengan isi surat perjanjian kerja yang dirasa sangat berat. "Masa kerja selama dua tahun yang telah saya alami sama sekali tidak diperhitungkan," aku Miftah. Dia dianggap sama dengan sekitar 13 wartawan baru, yang baru saja diterima. Jadi, untuk mengganti semua wartawan yang hengkang, Bernas membuka lowongan untuk wartawan baru.
Seberapa hebatnya sebenarnya kasus Udin ini, sehingga harus memakan sekian banyak korban?
Kalau melihat kronologis peristiwa yang terjadi saat itu, semua gejolak ini merupakan dampak dari akumulasi situasi politik yang sedang berkembang. Kasus Udin mengharuskan terus diangkatnya isu-isu tentang Bupati Bantul, Kolonel (Art) Sri Roso Sudarmo dan keterlibatan Kepala Desa Kemusu, Argomulyo, Bantul yang bernama R. Noto Soewito. Bapak Noto ini kebetulan adik (bukan kandung) pejabat Cendana. Saat itu, juga muncul selebaran fotokopi surat kesediaan Sri Roso untuk membayar Rp 1 milyar kepada yayasan Dharmais, yang dipimpin oleh Presiden. Uang yang sangat banyak bagi gaji seorang bupati ini, dijanjikan Sri Roso akan dibayar sesudah dia berhasil menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bantul untuk kedua kalinya. Perlu diketahui, bahwa sebenarnya Sri Roso tidak termasuk calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bantul. Dalam surat tersebut juga ada tanda tangan Noto Soewito. Jadi, pembayaran Sri Roso Sudarmo akan lewat Noto Soewito.
Setelah kasus Udin agak mereda, isu berkembang ke arah Mega Proyek Parangtritis. Sri Roso sangat antusias untuk menggolkan proyek ini, padahal banyak pihak yang menentang berjalannya proyek ini, baik dengan alasan lingkungan maupun sosial. Ribut-ribut masalah ini mengakibatkan ditolaknya Mega Proyek oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan, Sri Sultan Hamengkubuwono X pun menolaknya. Sultan tidak mau Parangtritis akan hilang fungsinya sebagai pantai publik. Akhirnya, proyek ini dipindahkan ke pantai Samas. Inipun masih menjadi perdebatan hingga kini. Bupati Bantul begitu ngotot untuk menggolkan proyek senilai Rp 100 milyar ini. Ada apa?
Selain itu, penghancuran Tim Udin atau TKP ini juga sangat kebetulan bersamaan dengan momentum lain yang sangat politis, pemilu. Anggota Tim dikenal sebagai wartawan yang sangat kritis dan punya naluri investigasi yang bagus. Apakah tidak mungkin bahwa pembunuhan Tim Udin ini karena tekanan eksternal, untuk mencoba mengatasi gejolak politis yang mungkin timbul akibat pemberitaan mereka?
Pak Kus menyangkal adanya tekanan eksternal dalam penetapan kebijakan melakukan mutasi dan permintaan pengunduran diri Heru. "Ini murni kebijakan dari dalam sendiri, karena Bernas memang sedang ada pembenahan manajemen. Bahkan Korempun tidak meminta Bernas untuk memecat Mas Heru," aku Pak Kus. "Korem hanya memberikan informasi tentang Mas Heru. Tetapi karena memang ada aturan yang melarang mempekerjakan orang yang nggak bersih lingkungan di jajaran redaksi, maka kami segera mengambil langkah itu," lanjut Pak Kus.
Ditanya mengenai adanya aturan ini, Teten Masduki, Ketua Divisi Perburuhan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, menyatakan tidak ada aturan yang menyatakan orang yang tidak bersih lingkungan, dilarang bekerja di dunia pers.
Namun sebenarnya, kalau melihat fenomena yang tampak, pengakuan Pak Kus tersebut justru menunjukkan adanya tekanan itu. Untuk apa Korem menunjukkan informasi mengenai status Heru? Apakah itu bukannya tanpa alasan sama sekali ? Sebagai orang Yogya yang kental budaya Jawanya, tanpa diminta untuk memberhentikan Heru, langkah Korem itu sudah bisa dianggap sebagai perintah yang tak bisa ditentang. Sebenarnya, tekanan-tekanan ini mulai dilihat sekitar awal Maret. Sebelum penghancuran Tim Udin, "bos-bos" perusahaan ini tampak sangat sibuk. Beberapa kali mereka menerima telpon dari Kantor Wilayah Departemen Penerangan dan Komando Resort Militer (Korem). Bahkan, mereka juga mendatangi Korem. Apa memang benar tak ada tekanan ?
Heru tetap menyatakan keyakinannya bahwa langkah Bernas ini merupakan kesengajaan untuk memecah belah Tim Udin. "Dalam benak kami, seharusnya pihak perusahaan sadar betul bahwa tim Udin masih sangat dibutuhkan, karena persoalan Udin belum selesai. Apalagi waktu itu menjelang persidangan Iwik. Untuk situasi semacam itu, sangat riskan untuk membentuk tim baru," kata Heru. "Bahkan ada isu yang mengatakan bahwa pihak pimpinan Bernas mendapat Rp 300 juta dari Pemda Bantul untuk memecah tim Udin ini," lanjut Heru, meski isu ini telah disangkal oleh Pak Kus.
Tetapi kenyataan memang berbicara lain. Tim yang seharusnya justru dijaga kesolidannya, ternyata malah dihancurleburkan. Apakah rekan-rekan yang telah dihancurkan ini akan diam saja ? Mereka dengan sangat yakin menjawab, "Tidak". Mereka bertekad akan terus mengupayakan keadilan, meski harus menempuh jalur hukum.
"Sebenarnya sejak awal, kami telah mendapat banyak dukungan dari masyarakat. Mereka bersedia membantu kami apapun yang kami perlukan. Kalau memang harus menghancurkan kantor Bernas, mereka bersedia melakukannya. Tetapi itu untuk apa? Kami bukan orang yang hanya mengandalkan otot, tetapi yang paling penting otak" tutur Achadi, salah seorang wartawan yang dianggap mengundurkan diri, dan tidak mendapatkan gajinya lagi tanpa pemberitahuan. "Kami tidak ingin mengaburkan kasus Udin terlebih dahulu. Biarlah kami berpikir dengan jernih, apa yang akan kami lakukan," lanjut Achadi.
Dukungan yang begitu besar dari masyarakat ini sebenarnya cukup menjadi bukti, bahwa mereka memang cukup bagus. Namun kepada TEMPO Interaktif, Pak Kus menyangkal kehebatan mereka. "Mereka itu bukannya wartawan yang bagus atau berani," tegas Pak Kus.
Namun apapun kata Pak Kus, menurut sumber dari Bernas, redaksi telah mengeluh bahwa beberapa sumber mulai menutup atau setidaknya menghambat akses informasi ke Bernas. Pada awal-awal kejadian, memang sangat terasa beberapa sumber mulai tidak seterbuka seperti ketika belum muncul masalah ini. Dan ini masih berlangsung hingga akhir-akhir ini. Inilah yang membuat kasak-kusuk di jajaran redaksi kian memanas.
Dukungan kepada rekan-rekan ini masih terus mengalir, dan semakin luas. Pada awal Agustus lalu, mereka berhasil mendapat penghargaan "Udin Award" dari Aliansi Jurnalis Independen. Mereka juga terus menjadi contoh betapa rentannya profesi wartawan. Pengakuan dan simpati kepada mereka terus mengalir, ketika mereka mendapat kehormatan untuk menghadiri orasi in memoriem Udin oleh Surabaya Press Club, di Surabaya. Inilah bukti bahwa mereka tetap tidak dilupakan, meski oleh orang lain, bukan ibu susuan mereka.
Dalam keadaan yang sudah porak poranda ini, rekan-rekan Tim Udin masih mempunyai semangat yang sangat besar untuk tetap berupaya mengungkap kasus kematian Udin, yang menjadi titik awal kehancuran mereka. Mereka bertekad akan menulis buku yang menuangkan kisah-kisah perjuangan mereka saat harus melakukan investigasi dalam kasus Udin. "Ini adalah bentuk perjuangan lain untuk memberikan informasi yang kami dapat, tetapi tidak bisa kami muat di media karena alasan-alasan tertentu," ujar Heru. "Dan saya harap, ini akan membantu mengungkap siapa pembunuh dan apa latar belakang pembunuhan terhadap Udin," lanjutnya. Kami tunggu, dan kami harap juga akan membantu.
sumber : tempo
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar