SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

ketika senjata berbicara di nipah (habis)

| | |
Kalau Kalian Mati...


TEPAT pukul 22.00 mobil yang kami tumpangi tiba di mulut desa menuju Nipah. Suasananya benar-benar menegangkan. Tak ada satu pun warga setempat yang berani keluar rumah. Di mulut desa, saya melihat puluhan aparat militer bersenjata laras panjang siaga I.

”ANDA darimana?” bentak seorang ’serdadu’ dengan garangnya. ”Kami dari Surya” kata saya. ”Bukan di sini tempatnya. Kantor Surya di sana...” kata petugas itu. Mendapat jawaban tersebut saya mulai cemas, sedikit ketakutan karena memang situasinya tidak memungkinkan.

Rekan saya Dicky yang ada di dalam mobil, tak kalah takutnya. Selanjutya mobil bergerak ke arah utara. Empat ratus meter kemudian, kami berhenti. Ternyata di tepi jalan, ada agen rokok Surya. ”Oh... kita tadi itu dikira karyawan rokok Surya...” gurau saya kepada Dicky.

Meski saya sedikit menghibur, namun rasa takut Dicky masih kelihatan. Dia diam seribu basah. Begitu juga Sigit, wartawan yang masih pemula. ”Dick... kita enggak mungkin berdiam di sini sampai pagi. Pak Bas sudah mengingatkan agar kita membuat laporan via telepon...”

Saya lalu keluar dari dalam mobil. Seorang warga saya tanya soal insiden Nipah. Ia membenarkan dan meminta saya agar menemui skretaris desa. Malam itu juga kami mendatangi rumah sekretaris desa. Di sana, kami mendapat penjelasan panjang lebar.

”Yang membuat surat kepada Pak Gubernur Jatim tadi saya. Termasuk melaporkan kronologi kejadiannya,” tuturnya. Apakah bisa Anda mengambil surat telegram yang dikirim ke gubernur? ”Wah kami tidak berani. Kantor saya ada di sekitar Nipah. Dan untuk masuk ke sana agak susah karena banyak tentara yang berjaga-jaga...”

Usai mendapatkan informasi awal, kami segera berangkat ke Bangkalan mencari wartel. Melalui wartel itupula saya melaporkan kasus penembakan Nipah ke markas besar Harian Surya. Usai memberikan laporan, kami balik lagi ke rumah sekretaris desa.

Di tempat itulah kami mulai mengatur siasat agar bisa tembus ke Nipah. Rencana menerobos ke TKP diatur sedemikian rupa. Agar identitas kami tidak ketahuan, maka kami minta Pak Sekretaris Desa menyiapkan seorang pemuda setempat agar ikut dalam rombongan kami. Sekitar pukul 06.00, mobil bergerak menuju lokasi.

Tiba di mulut desa, puluhan anggota militer menghentikan kami. ”Mau kemana?” ”Pulang Pak... Rumah saya disana....” sahut pemuda itu. Sementara Dicky, sahabat saya yang berpenampilan ala militer karena berkumis lebat, terlihat ketakutan. ”Silakan...”

Lolos dalam pemeriksaan, saya tanya kepada pemuda itu. ”Kita nanti menuju ke rumah siapa?” ”Rumah Pak Klebun (kepala desa) aja...” ”Apa teman saya yang satu ini tidak terancam jiwanya kalau masuk kesana? Dia potongannya kayak militer. Apalagi warga kan sekarang benci sama tentara?” Mendengar pertanyaan itu, Dicky semakin ketakutan. ”Bec... saya tiduran saja di dalam mobil biar enggak ketahuan,” tuturnya.

Mobil berhenti di depan balai desa. Puluhan warga bersenjata celurit terlihat sedang rapat di pendopo. Ketika saya turun dari dalam mobil, mereka semua pada berdiri lengkap dengan senjatanya. ”Assalamuallaikum...” sapa saya. Mereka semua membalas salam saya.

”Kami dari wartawan... Kami datang kesini untuk mendapatkan informasi mengenai kasus penembakan oleh militer..” ”Silakan duduk. Ini kebetulan... kami sedang membahas bagaimana caranya mengambil mayat-mayat itu di TKP...” kata seorang diantara mereka. Ketika susananya terlihat kondusif, Dicky turun dari dalam mobil dengan wajah yang agak pucat karena ketakutan. Ia lalu saya perkenalkan kepada warga lainnya.

Beberapa jam setelah rapat, masa mulai bergerak menuju ke TKP. Kami diajak serta melewati bukit-bukit tandus yang saya sendiri tidak tahu mana utara, selatan dan timur. Sambil berjalan kaki, massa masing-masing membawa senjata celuritnya.

Setengah jam dalam perjalanan, tiba-tiba massa berhamburan. Mereka berlarian kesana-kemari, karena berpapasan dengan empat orang tentara bersenjata laras panjang dan satu basoka. Kami berusaha lari. Tapi, percuma. Kami tidak tahu jalan. Kedua tangan saya angkat tanda menyerah. Tentara-tentara itu lalu memeriksa kami.

”Dari wartawan? Kalau kalian mati di sini kami tidak bertanggung jawab. Ini merupakan daerah konflik,” kata seorang diantara mereka sambil meminta kami berjalan menuju ke rumah salah seorang penduduk yang belakangan ini dijadikan Posko militer.

Seorang pemandu jalan yang ikut dalam rombongan saya juga ikut ditangkap. ”Lapor Ndan...(komandan) . Ini ada wartawan yang masuk ke daerah sini...” kata seorang prajurit kepada atasannya berpangkat letnan satu. Kami disuruh duduk di kursi dan diintrograsi. Kartu pers dan KTP diperiksa. ”Kami tidak bertanggung jawab jika Anda mati terbunuh di sini. Ini daera konflik. Kami saja tidak berani mendekati TKP, apalagi Anda,” kata sang letnan kepada saya dengan ketusnya.

Sebelum panjang lebar mengintrograsi kami, pikiran saya mulai berputar mencari akal. Aha... saya menemukan jawaban. ”Kami datang kemari bukan atas kemauan sendiri. Kami datang ke Nipah atas perintah Pangdam Brawijaya dan Kapolda Jatim. Beliau-bveliau tadi datang ke kantor kami dan meminta agar ada wartawan yang berangkat ke Nipah untuk melihat kebenaran bahwa sesungguhnya tentara tidak bersalah,” tutur saya.

Eit....! Letnan itu keder juga. ”Oh... Jadi apa yang bisa saya bantu?” tanyanya. “Kami minta data-data dan kronologinya,” kata saya. Usai mendapat penjelasan, sang letnan kembali bertanya, ”Anda kemarin naik apa?” ”Kami membawa mobil Kijang...” ”Kalau begitu... kami bisa titip prajurit saya. Mereka mau ke kota membeli makanan.” ”Okey...” jawabku.

Setidaknya ada lima anggota militer bersenjata lengkap --termasuk senjata basoka yang pernah ditodongkan ke saya-- ikut naik ke dalam mobil. Di dalam mobil, mereka sempat bercerita panjang lebar mengenai aksi penembakan yang terjadi di Nipah. Apalagi, pada saat kejadian, mereka-lah militer yang menghadapi rakyat kecil nan hanya bermodalkan hati nurani dan keberanian untuk mencari kebenaran.... Setelah kami kembali ke Surabaya, kasus Nipah akhirnya meledak. Wartawan nasional maupun internasional, termasuk para pejabat dan anggota DPR RI, berdatangan ke Nipah... (achmad subechi)

SUMBER :di sini

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?