SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

benarkah Adolf Hitler Meninggal di Indonesia ?

| | | 0 komentar
Sesaat ketika membaca judul postingan ini, saya yakin banyak diantara kita yang akan bertanya atau paling tidak meragukannya, “Adolf Hitler, si pemimpin NAZI yang sangat kejam, bengis dan penyebab utama Perang Dunia II itu ?”. Ketika saya membaca pertama kali artikel ini, saya juga melakukan hal yang sama seperti Anda : tersenyum sinis sambil berpikir artikel fiktif apalagi ini.. Tapi ketika saya teruskan membacanya, saya menemukan suatu pola pikir yang berubah yang memberikan suatu jawaban tersendiri untuk pertanyaan di atas. Semoga tulisan ini juga dapat membantu merubah pola pikir kita semua. Selamat membaca.

jika saja ada yang rajin menyimpan klipingan artikel harian “Pikiran Rakyat” sekitar tahun 1983, tentu akan menemukan tulisan dokter Sosrohusodo mengenai pengalamannya bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman bernama Poch di pulau Sumbawa Besar pada tahun 1960. Dokter tua itu kebetulan memimpin sebuah rumah sakit besar di pulau tersebut.




Tapi bukan karena mengupas kerja dokter Poch, jika kemudian artikel itu menarik perhatian banyak orang, bahkan komentar sinis dan cacian! Namun kesimpulan akhir artikel itulah yang membuat banyak orang mengerutkan kening. Sebab dengan beraninya Sosro mengatakan bahwa dokter tua asal Jerman yang pernah berbincang-bincang dengannya, tidak lain adalah Adolf Hitler, mantan diktator Jerman yang super terkenal karena telah membawa dunia pada Perang Dunia II!

Beberapa “bukti” diajukannya, antara lain dokter Jerman tersebut cara berjalannya sudah tidak normal lagi, kaki kirinya diseret. Tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong persis seperti gaya aktor Charlie Chaplin, dengan kepala plontos. Kondisi itu memang menjadi ciri khas Hitler pada masa tuanya, seperti dapat dilihat sendiri pada buku-buku yang menceritakan tentang biografi Adolf Hitler (terutama saat-saat terakhir kejayaannya), atau pengakuan Sturmbannführer Heinz Linge, bekas salah seorang pembantu dekat sang Führer. Dan masih banyak “bukti” lain yang dikemukakan oleh dokter Sosro untuk mendukung dugaannya.

Keyakinan Sosro yang dibangunnya dari sejak tahun 1990-an itu hingga kini tetap tidak berubah. Bahkan ia merasa semakin kuat setelah mendapatkan bukti lain yang mendukung ‘penemuannya’. “Semakin saya ditentang, akan semakin keras saya bekerja untuk menemukan bukti-bukti lain,” kata lelaki yang lahir pada tahun 1929 di Gundih, Jawa Tengah ini ketika ditemui di kediamannya di Bandung.

Andai saja benar dr. Poch dan istrinya adalah Hitler yang tengah melakukan pelarian bersama Eva Braun, maka ketika Sosro berbincang dengannya, pemimpin Nazi itu sudah berusia 71 tahun, sebab sejarah mencatat bahwa Adolf Hitler dilahirkan tanggal 20 April 1889. “Dokter Poch itu amat misterius. Ia tidak memiliki ijazah kedokteran secuilpun, dan sepertinya tidak menguasai masalah medis,” kata Sosro, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang sempat bertugas di pulau Sumbawa Besar ketika masih menjadi petugas kapal rumah sakit Hope.




Sebenarnya, tumbuhnya keyakinan pada diri Sosro mengenai Hitler di pulau Sumbawa Besar bersama istrinya Eva Braun, tidaklah suatu kesengajaan. Ketika bertugas di pulau tersebut dan bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman, yang ada pada benak Sosro baru tahap kecurigaan saja.

Meskipun begitu, ia menyimpan beberapa catatan mengenai sejumlah “kunci” yang ternyata banyak membantu. Perhatiannya terhadap literatur tentang Hitler pun menjadi kian besar, dan setiap melihat potret tokoh tersebut, semakin yakin Sosro bahwa dialah orang tua itu, orang tua yang sama yang bertemu dengannya di sebuah pulau kecil d Indonesia!

Ketidaksengajaan itu terjadi pada tahun 1960, berarti sudah dua puluh tahun lebih ia meninggalkan pulau Sumbawa Besar.

Suatu saat, seorang keponakannya membawa majalah Zaman edisi no.15 tahun 1980. Di majalah itu terdapat artikel yang ditulis oleh Heinz Linge, bekas pembantu dekat Hitler, yang berjudul “Kisah Nyata Dari Hari-Hari Terakhir Seorang Diktator”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Try Budi Satria.

Pada halaman 59, Linge mula-mula menceritakan mengenai bunuh diri Hitler dan Eva Braun, serta cara-cara membakar diri yang kurang masuk di akal. Kemudian Linge membeberkan keadaan Hitler pada waktu itu.

“Beberapa alinea dalam tulisan itu membuat jantung saya berdetak keras, seperti menyadarkan saya kembali. Sebab di situ ada ciri-ciri Hitler yang juga saya temukan pada diri si dokter tua Jerman. Apalagi setelah saya membaca buku biografi ‘Hitler’. Semuanya ada kesamaan,” ungkap ayah empat anak ini.

Heinz Linge menulis, “beberapa orang di Jerman mengetahui bahwa Führer sejak saat itu kalau berjalan maka dia menyeret kakinya, yaitu kaki kiri. Penglihatannya pun sudah mulai kurang terang serta rambutnya hampir sama sekali tidak tumbuh… kemudian, ketika perang semakin menghebat dan Jerman mulai terdesak, Hitler menderita kejang urat.”

Linge melanjutkan, “di samping itu, tangan kirinya pun mulai gemetar pada waktu kira-kira pertempuran di Stalingrad (1942-1943) yang tidak membawa keberuntungan bagi bangsa Jerman, dan ia mendapat kesukaran untuk mengatasi tangannya yang gemetar itu.” Pada akhir artikel, Linge menulis, “tetapi aku bersyukur bahwa mayat dan kuburan Hitler tidak pernah ditemukan.”

Lalu Sosro mengenang kembali beberapa dialog dia dengan “Hitler”, saat Sosro berkunjung ke rumah dr. Poch. Saat ditanya tentang pemerintahan Hitler, kata Sosro, dokter tua itu memujinya. Demikian pula dia menganggap bahwa tidak ada apa-apa di kamp Auschwitz, tempat ‘pembantaian’ orang-orang Yahudi yang terkenal karena banyak film propaganda Amerika yang menyebutkannya.

“Ketika saya tanya tentang kematian Hitler, dia menjawab bahwa dia tidak tahu sebab pada waktu itu seluruh kota Berlin dalam keadaan kacau balau, dan setiap orang berusaha untuk lari menyelamatkan diri masing-masing,” tutur Sosrohusodo.




Di sela-sela obrolan, dr. Poch mengeluh tentang tangannya yang gemetar. Kemudian Sosro memeriksa saraf ulnarisnya. Ternyata tidak ada kelainan, demikian pula tenggorokannya. Ketika itu, ia berkesimpulan bahwa kemungkinan “Hitler” hanya menderita parkisonisme saja, melihat usianya yang sudah lanjut.

Yang membuat Sosro terkejut, dugaannya bahwa sang dokter mungkin terkena trauma psikis ternyata diiyakan oleh dr. Poch! Ketika disusul dengan pertanyaan sejak kapan penyakit itu bersarang, Poch malah bertanya kepada istrinya dalam bahasa Jerman.

“Itu kan terjadi sewaktu tentara Jerman kalah perang di Moskow. Ketika itu Goebbels memberi tahu kamu, dan kamu memukul-mukul meja,” ucap istrinya seperti ditirukan oleh Sosro. Apakah yang dimaksud dengan Goebbels adalah Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Jerman yang terkenal setia dan dekat dengan Hitler? Istrinya juga beberapa kali memanggil dr. Poch dengan sebutan “Dolf”, yang mungkin merupakan kependekan dari Adolf!

Setelah memperoleh cemoohan sana-sini sehubungan dengan artikelnya, tekad Sosrohusodo untuk menuntaskan masalah ini semakin menggebu. Ia mengaku bahwa kemudian memperoleh informasi dari pulau Sumbawa Besar bahwa Poch sudah meninggal di Surabaya. Beberapa waktu sebelum meninggal, istrinya pulang ke Jerman. Poch sendiri konon menikah lagi dengan nyonya S, wanita Sunda asal Bandung, karyawan di kantor pemerintahan di pulau Sumbawa Besar!

Untuk menemukan alamat nyonya S yang sudah kembali lagi ke Bandung, Sosro mengakui bukanlah hal yang mudah. Namun akhirnya ada juga orang yang memberitahu. Ternyata, ia tinggal di kawasan Babakan Ciamis! Semula nyonya S tidak begitu terbuka tentang persoalan ini. Namun karena terus dibujuk, sedikit demi sedikit mau juga nyonya S berterus terang.

Begitu juga dengan dokumen-dokumen tertulis peninggalan suaminya kemudian diserahkan kepada Sosrohusodo, termasuk foto saat pernikahan mereka, plus rebewes (SIM) milik dr. Poch yang ada cap jempolnya. Dari nyonya S diketahui bahwa dr. Poch meninggal tanggal 15 Januari 1970 pukul 19.30 pada usia 81 tahun di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya akibat serangan jantung. Keesokan harinya dia dimakamkan di desa Ngagel.

Dalam salah satu dokumen tertulis, diakuinya bahwa ada yang amat menarik dan mendukung keyakinannya selama ini. Pada buku catatan ukuran saku yang sudah lusuh itu, terdapat alamat ratusan orang-orang asing yang tinggal di berbagai negara di dunia, juga coretan-coretan yang sulit dibaca. Di bagian lainnya, terdapat tulisan steno. Semuanya berbahasa Jerman. Meskipun tidak ada nama yang menunjukkan kepemilikan, tapi diyakini kalau buku itu milik suami nyonya S.

Di sampul dalam terdapat kode J.R. KepaD no.35637 dan 35638, dengan masing-masing nomor itu ditandai dengan lambang biologis laki-laki dan wanita. “Jadi kemungkinan besar, buku itu milik kedua orang tersebut, yang saya yakini sebagai Hitler dan Eva Braun,” tegasnya dengan suara yang agak parau.

Negara yang tertulis pada alamat ratusan orang itu antara lain Pakistan, Tibet, Argentina, Afrika Selatan, dan Italia. Salah satu halamannya ada tulisan yang kalau diterjemahkan berarti : Organisasi Pelarian. Tuan Oppenheim pengganti nyonya Krüger. Roma, Jl. Sardegna 79a/1. Ongkos-ongkos untuk perjalanan ke Amerika Selatan (Argentina).

Lalu, ada pula satu nama dalam buku saku tersebut yang sering disebut-sebut dalam sejarah pelarian orang-orang Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch, atau ditulis pula Draganovic. Di bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da imigration Europa – Genua val albaro 38. secara terpisah di bawahnya lagi tertera tulisan Vatikan. Di halaman lain disebutkan, Draganovic Kroasia, Roma via Tomacelli 132.

Majalah Intisari terbitan bulan Oktober 1983, ketika membahas Klaus Barbie alias Klaus Altmann bekas polisi rahasia Jerman zaman Nazi, menyebutkan alamat tentang Val Albaro. Disebutkan pula bahwa Draganovic memang memiliki hubungan dekat dengan Vatikan Roma. Profesor inilah yang membantu pelarian Klaus Barbie dari Jerman ke Argentina. Pada tahun 1983 Klaus diekstradisi dari Bolivia ke Prancis, negara yang menjatuhkan hukuman mati terhadapnya pada tahun 1947.

“Masih banyak alamat dalam buku ini, yang belum seluruhnya saya ketahui relevansinya dengan gerakan Nazi. Saya juga sangat berhati-hati tentang hal ini, sebab menyangkut negara-negara lain. Saya masih harus bekerja keras menemukan semuanya. Saya yakin kalau nama-nama yang tertera dalam buku kecil ini adalah para pelarian Nazi!” tandasnya.

Mengenai tulisan steno, diakuinya kalau ia menghadapi kesulitan dalam menterjemahkannya ke dalam bahasa atau tulisan biasa. Ketika meminta bantuan ke penerbit buku steno di Jerman, diperoleh jawaban bahwa steno yang dilampirkan dalam surat itu adalah steno Jerman “kuno” sistem Gabelsberger dan sudah lebih dari 60 tahun tidak digunakan lagi sehingga sulit untuk diterjemahkan.

Tetapi penerbit berjanji akan mencarikan orang yang ahli pada steno Gabelsberger. Beberapa waktu lamanya, datang jawaban dari Jerman dengan terjemahan steno ke dalam bahasa Jerman. Sosrohusodo menterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Indonesia. Judul catatan dalam bentuk steno itu, kurang lebih berarti “keterangan singkat tentang pengejaran perorangan oleh Sekutu dan penguasa setempat pada tahun 1946 di Salzburg”. Kota ini terdapat di Austria.

Di dalamnya berkisah tentang “kami berdua, istri saya dan saya pada tahun 1945 di Salzburg”. Tidak disebutkan siapakah ‘kami berdua’ di situ. Dua insan tersebut, kata catatan itu, dikejar-kejar antara lain oleh CIC (dinas rahasia Amerika Serikat). Pada pokoknya, menggambarkan penderitaan sepasang manusia yang dikejar-kejar oleh pihak keamanan.

Di dalamnya juga terdapat singkatan-singkatan yang ditulis oleh huruf besar, yang kalau diurut akan menunjukkan rute pelarian keduanya, yaitu B, S, G, J, B, S, R. “Cara menyingkat seperti ini merupakan kebiasaan Hitler dalam membuat catatan, seperti yang pernah saya baca dalam literatur yang lainnya,” Sosrohusodo memberikan alasan.

Dari singkatan-singkatan itu, lalu Sosro mencoba untuk mengartikannya, yang kemudian dikaitkan dengan rute pelarian. Pelarian dimulai dari B yang berarti Berlin, lalu S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Beograd), S (Sarajevo) dan R (Roma). Tentang Roma, Sosro menjelaskan bahwa itu adalah kota terakhir di Eropa yang menjadi tempat pelariannya. Setelah itu mereka keluar dari benua tersebut menuju ke suatu tempat, yang tidak lain tidak bukan adalah pulau Sumbawa Besar di Nusantara tercinta!

Ia mengutip salah satu tulisan dalam steno tadi : “Pada hari pertama di bulan Desember, kami harus pergi ke R untuk menerima suatu surat paspor, dan kemudian kami berhasil meninggalkan Eropa”. Ini, kata Sosro, sesuai dengan data pada paspor dr. Poch yang menyebutkan bahwa paspor bernomor 2624/51 diberikan di Rom (tanpa huruf akhir A)”. Di buku catatan berisi ratusan alamat itu, nama Dragonic dikaitkan dengan Roma, begitulah Sosro memberikan alasan lainnya.

Lalu mengenai Berlin dan Salzburg, diterangkannya dengan mengutip majalah Zaman edisi 14 Mei 1984. Dikatakan bahwa sejarah telah mencatat peristiwa jatuhnya pesawat yang membawa surat-surat rahasia Hitler yang jatuh di sekitar Jerman Timur pada tahun 1945. “Ini juga menunjukkan rute pelarian mereka,” katanya lagi.

Lalu bagaimana komentar nyonya S yang disebut-sebut Sosro sebagai istri kedua dr. Poch? Konon ia pernah berterus terang kepada Sosro. Suatu hari suaminya mencukur kumis mirip kumis Hitler, kemudian nyonya S mempertanyakannya, yang kemudian diiyakan bahwa dirinya adalah Hitler. “Tapi jangan bilang sama siapa-siapa,” begitu Sosro mengutip ucapan nyonya S.

Membaca dan menyimak ulasan dr. Sosrohusodo, sekilas seperti ada saling kait mengkait antara satu dengan yang lainnya. Namun masih banyak pertanyaan yang harus diajukan kepada Sosro, dengan tidak bermaksud meremehkan pendapat pribadinya berkaitan dengan Hitler, sebab mengemukakan pendapat adalah hak setiap warga negara.

Bahkan Sosrohusodo sudah membuat semacam diktat yang memaparkan pendapatnya tentang Hitler, dilengkapi dengan sejumlah foto yang didapatnya dari nyonya S. Selain itu, isinya juga mengisahkan tentang pengalaman sejak dia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hingga bertugas di Bima, Kupang, dan Sumbawa Besar. Ia juga telah mengajukan hasil karyanya ke berbagai pihak, namun belum ada tanggapan. “Padahal tidak ada maksud apa-apa di balik kerja saya ini, hanya ingin menunjukkan bahwa Hitler mati di Indonesia,” katanya mantap.

Bukan hanya Sosro yang mempunyai teori tentang pelarian Hitler dari Jerman ke tempat lain, tapi beberapa orang di dunia ini pernah mengungkapkannya dalam media massa. Peluang untuk berteori seperti itu memang ada, sebab ketika pemimpin Nazi tersebut diduga mati bersama Eva Braun tahun 1945, tidak ditemukan bukti utama berupa jenazah!

Adalah tugas para pakar dalam bidang ini untuk mencoba mengungkap segala sesuatunya, termasuk keabsahan dokumen yang dimiliki oleh Sosrohusodo, nyonya S, atau makam di Ngagel yang disebut sebagai tempat bersemayamnya dr. Poch.

Mungkin para ahli forensik dapat menjelaskannya lewat penelitian terhadap tulang-tulang jenazahnya. Semua itu tentu berpulang pada kemauan baik semua pihak…

Oleh : Alif Rafik Khan

indonesiaindonesia.com

Hidup di Kandang demi "Membeli" Sebuah Keadilan

| | | 0 komentar
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum tidak sedang mengurus besarnya nominal kerugian negara akibat kejahatan mafia hukum. Satgas sedang dihadapkan pada besarnya penderitaan yang mesti ditanggung sebuah keluarga, rakyat kecil, akibat kejahatan hukum yang tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi hingga di Desa Karangampel, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Casnawi (51) bertubuh kecil, terkesan rapuh, dengan kulit legam. Ia seorang buruh tani. Namun, tekad kuat untuk melawan ketidakadilan tecermin jelas ketika ia menuturkan kisahnya. Ia memperjuangkan nasib adiknya, Kadana, yang pekan ini divonis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Indramayu karena didakwa membunuh. Ia yakin adiknya tidak bersalah dan disiksa di tahanan selama proses hukum berjalan sejak ditangkap Juli 2009.

Saat seorang polisi, disebutnya bernama Nana, meminta uang sebagai ”penebus keadilan” untuk adiknya, Casnawi melakukan segala daya agar bisa memenuhinya. Dalam benaknya yang sederhana, mungkin harus begitu caranya agar keadilan bisa didapat.

Mula-mula ia dimintai Rp 6 juta. ”Supaya Kadana tidak dipukuli,” katanya. Lalu, Rp 3 juta untuk jaksa, Rp 1,5 juta ketika pindah tahanan, Rp 2 juta lagi untuk jaksa, serta Rp 900.000 dan Rp 600.000 untuk ”menutup berkas” entah apa.

Dia pernah mengantarkan uang Rp 300.000 yang diminta polisi pukul 01.00. Ia menempuh jarak 10 kilometer dengan becak menuju rumah sang polisi. Total Rp 14,3 juta yang diberikan Casnawi dan keluarga Kadana itu mesti ”dibayar” dengan penderitaan berat.
Kadana, juga buruh petani, adalah ayah dari enam anak yang masih kecil. Istrinya, Darmi, yang tak bisa berbahasa Indonesia, terpaksa menjual rumahnya dan kini menumpang di sebuah kandang kambing. Kandang sempit milik tetangga itu ditempati Darmi bersama enam anaknya selama hampir sembilan bulan terakhir.

Setelah menjual rumah demi ”membayar” keadilan, Casnawi dan Darmi terperanjat saat Kadana dituntut 13 tahun penjara oleh jaksa dan kemudian divonis tujuh tahun penjara. Mereka tersadar penderitaan keluarganya tak cukup untuk ”membeli” keadilan.

”Apabila memang adik saya pembunuhnya, silakan dihukum seumur hidup. Istri-anaknya bisa saya tanggung. Tetapi, adik saya tidak membunuh. Polisi dan jaksa, yang dahulu minta uang terus, sekarang ditelepon pun enggak bisa,” ujar Casnawi.

Tragedi keluarga Kadana mulai terungkap di media massa saat Casnawi mengamuk mendengar vonis hakim di PN Indramayu. Kasus ini sampai kepada Satgas. Sekretaris Satgas Denny Indrayana memberi kesempatan Casnawi bicara karena kasus ini benar-benar mengusik rasa keadilan.

kompas

Mantan Gubernur DKI Hidup Susah Hingga Akhir Hayat

| | | 0 komentar
Henk Ngantung Mantan Gubernur DKI Jakarta 1964-1965 ternyata mengalami hidup susah setelah tidak lagi menjadi gubernur. Henk hingga akhir hayat berserta keluarganya tinggal di sebuah rumah kecil di gang sempit kawasan Cawang, Jakarta Timur.

"Yang saya terima hanya uang pensiun saja sebagai penghargaan sebesar 830 ribu perbulan hingga sekarang, saya pun bertanya tanya dari tahun 80an kenapa pensiun saya gak pernah naik karena dari dulu begitu - begitu saja kan aneh sementara yang lain pada naik," kata Janda Mantan Gubernur DKI Jakarta Evie Ngantung saat di temui ANTARANews di kediamannya.

Evie menjelaskan bahwa dirinya pernah menjual rumah di kawasan Tanah Abang karena sejak suaminya diberhentikan. Ia tidak pernah menerima uang pensiun hingga pada dasawarsa 80 pemerintah menyerahkan uang pensiun yang dirapel. Uang itu digunakan untuk membeli mobil.

Setelah Henk ngantung diberhentikan menjadi Gubernur di tahun 65 secara tiba tiba dan di cap sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia), kesusahan hidup mulai mendera kehidupan keluarga Ngantung.

"Yang paling sulit adalah dalam mendidik anak anak ketika ingin masuk ke sekolah selalu di tanya surat bebas G30S dan suratnya harus ada , gimana saya mau mendapatkan surat itu sedangkan saya tidak pernah terlibat," ujar Evie.

Sejak Meninggalnya Henk Ngantung di tahun 1991 Evie berjuang menghidupi empat anaknya hanya dengan mengandalkan hasil penjualan lukisan-lukisan karya Henk Ngantung.

"saya tidak pernah dapat apa-apa dari pemda DKI dan dari pemerintah pun tidak ada, rumah ini saya beli sendiri padahal pak Henk mantan gubernur ibukota mestinya ada penghargaan sedikit tapi nyatanya tidak ada." tutur Evie. (YUD/A038)

Jepang Serang Indie

| | | 0 komentar
ORANG zaman sekarang tidak tahu atau melupakan apa yang terjadi di Pulau Jawa, setelah balatentara Dai Nippon malam 28 Februari 1942 mendarat di Merak, Banten dan tanggal 1 Maret di Eretan Wetan.
Pasukan tempur Fukushina dengan menggunakan sepeda langsung menuju Batavia yang dimasukinya tanggal 5 Maret. Pendaratan berbahaya bagi tentara KNIL ialah di Eretan, karena tidak jauh dari itu terdapat lapangan udara Kalijati. Tentara Jepang dengan cepat bergerak lewat Pamanukan dan Subang, dan pukul 5 sore Subang dan Kalijati sudah direbutnya.
Pasukan pelopor brigade yang dipimpin Kolonel Shoji memenggal kepala 60 orang militer Inggris dari RAF yang mempertahankan lapangan udara Kalijati. Di rumah sakit Subang terdapat 20 militer Inggris luka sedang dirawat. Mereka tanpa ampun dihabisi oleh pasukan Shoji.
Praktek begitu biasa dikerjakan oleh tentara Jepang. Di Jawa Tengah 50 orang tawanan perang dibunuh oleh Jepang. Sebelum itu masuk laporan tentang pendaratan Jepang tanggal 11 Januari 1942 di Tarakan Kalimantan.
Instalasi minyak disana sesuai politik bumi hangus dirusakkan. Dari 650 orang yang bekerja di situ dalam satu malam 500 orang di Balikpapan dibunuh oleh Jepang.
Tanggal 20 Januari pabrik penghalusan minyak dirusakkan. Begitu tentara Jepang mendarat di sana 24 Januari sebagai tindakan balasan bagi pengrusakan instalasi minyak sejumlah 80 orang Belanda laki-laki perempuan dibunuh.
Gubernur Belanda untuk Borneo Selatan dan Timur adalah dr B.J Haga yang diinternir oleh Jepang, tapi kedapatan mengadakan gerakan dibawah tanah. Haga sendiri pada hari pertama disidangkan depan pengadilan kena serangan jantung dan meninggal.
Lapangan terbang Ulin dekat Banjarmasin tanggal 9 Februari 1842 dirusak oleh regu yang melakukan bumi hangus. Anggota-anggota regu ini dipotong kepala mereka dengan pedang samurai.
Tanggal 26 Agustus semua pria eropa dari kaum pengungsi yang berada di Long Naoan dekat perbatasaan Serawak dipenggal. Tanggal 29 September kaum perempuan eropa juga dipenggal-penggalin.
’Reputasi’ tentara Jepang yang suka membunuh penduduk dalam jumlah besar-besaran diketahui oleh Penglima tentara KNIL Letjen Hein Ter Poorten. Karena itu dengan segala upaya dia mau menghindarkan.
Pertempuran dengan Jepang dalam kota Bandung yang lantaran perang bertambah penduduknya. Dalam verslag Beleid yang ditulisnya sehabis perang Ter Poorten mengatakan mengingat banyaknya kaum wanita eropa dan anak-anak mengalir ke Bandung, supaya jangan ada pertempuran yang memberikan dalih bagi Jepang melakukan pembunuhan terhadap non kombatan. Ter Poorten membubuhkan catatan di pinggiran ‘ Ingat Nanking’.
Tanggal 13 Desember 1937 tentara Dai Nippon melakukan pembantaian mengerikan di kota Nanking Tiongkok berjanji berhenti depansungai Yang-Tsa Xiang, Akan tetapi tiba di situ toh sungai diseberangi dan Nanking dikepung. Waktu itu sekelompok diplomat tinggi Jepang memulai perundingan perdamaian rahasia dengan jenderal Chieng Kai Sok di mana kabarnya Jenderal itu bersedia disuap oleh Jepang.
Pimpinan tentara mendengar tentang inisiatif diplomat tadi, lalu menghalanginya. Chiang Kai Sek menarik tentaranya dari kota Nanking sehingga tidak lagi dilindungi. Saat itu paman Tenno Hoike KaisarJepang bernama Pangeran Asaka Yasuhiko ( 1887-1981) diangkat jadi pangkima tentara Jepang sekitar Nanking.
Pangeran Asaka berkata kepada stafnya ‘Kita akan hajar saudara-saudara China kita yang tidak pernah akan mereka lupakan ‘. Dia perintahkan ‘Bunuh semua tawanan’. Sebanyak 20.000 laki-laki yang bisa berdinas dalam tentara digiring keluar kota, lalu dijadikan ‘bahan’ hidup bagi latihan tusukan bayonet infanteri Dai Nippon. Dari 100.000 penduduk Nanking sebanyak 300.000 orang telah dibantai.
Pangeran Asaka mentang – mentang paman Tenno Heika tidak pernah dijadikan pejahat perang yang telah melakukan genocisa. Sampai hari ini pihak Jepang tidak mengakui bahwa telah terjadi pembunuhan besar-besaran di Nanking. Akibatnya sampai sekarang pemerintah RRC marah sama Jepang karena peristiwa Nanking itu.
Kekejaman tentara Jepang memenggal kepala orang dengan pedang samurainya membikin Belanda di Bandung ketakutan. Menurut buku De Japense aanval op Java Maart 1942 oleh Nortier, Kuijt dan Groen, ketikaa pasukan pelopor Kol Shoji menawan 72 orang militer KNIL di daerah Ciater, mereka diperintahkan melepaskan puttes atau setiwel. Mereka dibagi stas kelompok-kelompok terdiri dari tiga orang yang diikat dengan setiwel.
Kemudian militer Belanda itu ditembaki dengan mitralyur. Yang masih merintih kesakitan ditusuk matanya dengan bayonet. Dua militer selamat keluar dari pembantaian. Mereka bersembunyi dan dua hari kemudian tiba di Cimahi.
Di sana mereka melapor kepada opsir-opsir KNIL mengenai pengalaman seram mereka. Militer KNIL tang ‘dihabisin’ di Cianter itu kini dimakamkan di kuburan kehormatan Paneu.
Setelah dua hari berunding mengenai kapitulasi Hindia Belanda kepada Jenderal Imamura di Kalijati 8-9 Maret, maka Senen siang tanggal 9 Maret 1942 tentara Jepang yang pertama berbaris memasuki Bandung. Mereka berjalan kaki dari Lembang, dalam dua barisan, satu sebelah kiri Jalan Tamansari, yang lain di sebelah kanan.
Beberapa serdadu Jepang naik sepeda yang buat sebagian dibuat dari kayu. Kecuali sedikit yang pakai sepatu dari kulit, kebanyakan serdadu Jepang itu memakai sepatu karet warna hijau. Kota Bandung diduduki oleh Jepang.

Belanda Mau Gerilya

| | | 0 komentar
TATKALA Jepang menyerang Hindia Belanda , setelah pecah perang tanggal 8 Desember 1941,maka Letjen Hein Poorten (1888-1968) baru saja menjadi komandan tentara KNIL.
Sebelum itu dia kepala staf dibawaj Letjen C.J. Berenscgot (1887-1941) yang lahir di Sawah Lunto dan fasih berbahasa Minang. Jenderal berdarah Indo ini tewas dalam kecelakaan pesawat terbang dekat lapangan udara Kemayoran, Batavia tanggal 13 Oktober 1941. Ter Poorten yang waktu itu berada di Manila berunding dengan Jenderal Mac Arthur segera kembali ke Jakarta, lalumenggantikan kedudukan Berenschol. Ter Poorten yang mulanya Letnan Artileri pada tahun 1910 mengajukan permohonan untuk dilatih sebagai militer Hindia Belanda.
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkanborgh tidak begitu serasi dengan Jenderal Ter Pooten yang dinilainya kasar omongannya, bersifat lawaaierig alias suka ramai bikin ribut dan grof alias kasar, maklum, Tjarda adalah seorang aristokrat alias bangsawan.
Setelah terjadi pertempuran di Laut Jawa tanggal 06 Februari 1942 jalan terbuka lebar bagi invasi angkatan laut Jepang di pantai utara Jawa. Tempat-tempat mereka mendarat telah diketahui persis olah spion-spion Jepang sejak 20-30 tahun sebelumnya yang bekerja sebagai fotografi pemilik toko, barbir di kap salon.
Tanggal 2 Maret Gubernur Jenderal Tjarda menerima tilgam dari PM Belanda di London Prof Gerbrandy. Isinya pemberitahuan bahwa ‘ tidak boleh kapitulasi alias menyeraah diri ‘. PM Belanda menganjurkan sebagai penyelesaian masalah agar ‘tentara KNILmemulai perang gerilya di gunung-gunung ( sekitar Bandung )’.
Dalam bukunya Nederlands-India 1942-Illusie en Ontgoocheling (1990) Grdan dan Touwan – Bouusma memberi komentar ‘ Bagaimanakah orang yang waras otaknya bisa memerintahkan perang gerilya di Jawa, sebuah pulau yang saat itu paling padat penduduknya di Asia?’ . dalam tilgram PM belanda itu Tjarda diperintahkan menyerahkan pimpinan militernya kepada Jenderal Ter Poorten. Ini terjadi tanggal 5 Maret.
Ter Poorten menulis dalam Verslag Baleid ‘ semua itu terjadi, setelah saya melaporkan bahwa situasi militer tidak tertolong lagi. Pada hemat saya supaya Gubernur Jenderal Tjarda jangan sampai melakukan kapitulasi.
Menurut Gubernur Jenderal dengan pengharapan bahwa dia sebagai penasehat sipil demi kepentingan rakyat akan dipertahankan ( oleh balatentara Dai Nippon)’. Tjarda juga memberitahukan kepada Ter Poorten bahwa dia bisa menerima penugasan di luar negeri. Ter Poorten menasehatkan kepada Tjarda agar tetap tinggal di Hindia.
Tidak saja Tjarda punya macam – macam khayalan dan harapan bahwa dia masih akan dipakai tenaganya oleh Jepang, setelah Hindia Belanda kalah perang, tapi juga pembesar-pembesar Belanda lain sama sekali tidak realistis. Bagaikan orang bermimpi di siang bolong. Begitulah Mr van Kleffens Menteti Luarnegeri Belanda dalam kabinet itu ( dia pernah tinggal di Indonesia dan jadi anggota Volksraad) berkata ‘ 2000 pesawat pembom modern dikumpulkan di dataran tinggi Bandung’.
Mengenai van Mook yang menjabat sebagai Menteri Penjajahan di kabinet Gerbrendy, Ter Poorten menulis bahwa Van Mook berkata ‘ Di Priangan Selatan telah dipersiapkan suatu reduit alias pertahanan terakhir yang kuat dengan stok besar barang -barang suplai’.
Pendapat-pendapat tadi adalah omong kosong belaka. Mana bisa dilakukan perang gerilya di gunung-gunung sekitar Bandung oleh pihak Belanda, bilaman Belanda tidak mendapat dukungan rakyat Indonesia ?
Menurut W Buijze dalam bukunya Kalidjati 8-9 Maret 1942, di dalam kabinet Gerbrandy di London itu terdapat tiga orang menteri yang faham keadaan sebenarnya dari Indonesia yaitu Kersten, Van Mook dan orang Indonesia – Raden Adipati Ario Soejono ( mantan Anggota Raad van Indie) yang menjabat sebagai Menteri Negara.
Untuk melukiskan sfeer atau suasana di kalangan kainet adalah menarik untuk mengetahui bahwa PM Gerbrandy berkata suatu hari kepada karaten dan Van Mook mungkin mengangkat bahunya mendengar nonsens demikian.
Begitu juga Kesrten, Bagi Soejono sudah jelas bahwa dia tidak bisa mengharapkan apa-apa dari Belanda sehabis perang di bidang politik. Belanda tetap reaksioner. Soejono akan pulang ke tanah air dengan tangan kosong. Dia tutup usia di London tanggal 5 Januari 1943. Pada hemat Swijze, mati karena ellende, artinya sengsara, makan hati.
Tanggal 8 Maret 1942 ter Poorten memberitahukan kepada Tjarda bahwa apabila dia dan Gubernur Jenderal tidak segera menghadap Letjen Imamura di Kalijati, maka Bandung bakal dihancurkan dengan pemboman dari udara. Seorang perwira staf Jepang telah berada di halaman depan villa Isola, markas Mayjen Pasman, memegang tanda dengan kain (lappansein) yang menghubungkannya dengan sebuah pesawat terbang Jepang ysng beredar di atas Bandung.
Perwira Jepang itu memberitahukan kepada Pasman bahwa apabula belum juga ada persetujuan pihak Belanda untuk datang meghadap ke Kalijati maka pukul 10 dia akan memberikan aba-aba kepada pesawat terbang Jepang memulai serangan udara secara besar-besaran terhadap Bandung. Tjarda akhirnya setuju. Mereka berangkat ke Kalijati. (***)

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?