SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Kisah di Balik Kamus Li Niha

| | | 0 komentar
Mendengar penyusun Kamus Li Niha: Nias-Indonesia, Apolonius Lase, berbicara, ibarat menimba air dari sumur yang tak habis-habisnya. Ia memiliki kisah hidup mengagumkan. Pengetahuannya luas, pengalaman hidupnya menghasilkan teladan bagi siapa saja yang ingin tegar menghadapi kegagalan. Ia terbiasa bekerja keras dan selalu memasrahkan diri kepada sang Pencipta.

Di sela-sela tugasnya selaku menyunting bahasa artikel dan naskah berita Harian Kompas, pria kelahiran Hilimbö?ö Badalu, Nias 20 April 1973, ini menyusun sebuah kamus bahasa Nias. Butuh waktu enam tahun untuk melahirkan Kamus Li Niha: Nias-Indonesia, yang diterbitkan bersama oleh Yayasan Delasiga dan Penerbit Buku Kompas, awal 2011.

Memutar memorinya ke belakang enam belas tahun sebelum buku itu diluncurkan, Apollo—demikian panggilannya—adalah seorang lulusan SMA Negeri 3 Gunungsitoli, yang hampir putus asa. Ajaran ibunya, almarhum Gatina Lase, agar tidak putus asa setiap menghadapi kegagalan benar-benar melekat di hatinya dan meneladaninya dalam menghadapi kenyataan.

Inspirasi Teman dan Membaca

Keinginan menulis kamus itu mulai muncul pada masa awal kehadirannya di Harian Kompas, sekitar 1997. “Setiap kali saya menerima telepon dari teman dalam bahasa Nias, teman-teman di kantor merasa asing atas bahasa yang saya gunakan. Mereka selalu bertanya apa yang saya bicarakan,” tuturnya.

Karena teman-temannya tidak mengerti bahasa yang digunakannya, maka suatu ketika temannya berujar, “Bahasamu kok lucu ya, mirip-mirip bahasa Jepang. Sudahlah, bikin saja kamus Nias-Indonesia dan Indonesia-Nias,” ujarnya menirukan seloroh rekan kerjanya.

Kata “kamus”, yang diungkapkan teman-temannya itu rupanya tersimpan di dalam benak dan alam bawah sadarnya. Mengiang di telinganya, mengundang dirinya untuk bertindak.

Faktor pendorong lain adalah Kamus Nias karangan W. Gulö yang ia dapatkan pada tahun 1997. “Pola penyusunan kamus tersebut tidak dilengkapi dengan contoh kalimat, kelas kata, dan kata turunan setiap lema,” ujarnya.

Dari “ejekan” teman-temannya dan keinginan menyempurnakan kamus tersebut, Apollo bertekad, “Saya harus membuat kamus yang lebih baik”. Inilah awal prosesnya berkarya. Panjang dan meletihkan.

Berbekal pengetahuan awalnya tentang penyusunan kamus yang sederhana, Apollo memulai pekerjaannya dengan mengumpulkan kata yang didengar atau dibacanya. Setiap hari, dia melakukan pemutakhiran daftar kata-kata itu.

Semangat idealisme atas kemajuan bahasa daerah asalnya, kecintaannya terhadap bahasa Nias, adalah energi yang mendorong Apollo terus melakukan pekerjaannya. Dia tidak lagi memikirkan waktu dan biaya yang dikeluarkannya untuk menulis. “Hampir tiga tahun folder itu tetaplah jadi folder berisi kata-kata,” ujarnya.

Selain itu kehadiran situs-situs yang membuat aplikasi bahasa Nias juga mendorong dan mengilhami Apollo untuk bertekad membuat kamus bahasa Nias versi cetak. Sekitar tahun 2003, tepatnya 20 Maret 2003, Pastor Sirus Laia, seorang teman Apollo yang saat itu berada di Jerman, meluncurkan sebuah portal Nias, www.nias-portal.org (sekarang sudah tidak aktif). Portal itu menyediakan fitur bahasa Nias-Indonesia. Apollo dan Edward Halawa, pemilik Nias Online (tinggal di Australia) diberi fasilitas sebagai editor, bisa memasukkan kata demi kata ke dalam situs itu.

Sayangnya, pengelolaan dan keberadaan portal itu tak berlanjut. Akhirnya, situs ini pun bubar. Setelah bubar, Edward Halawa memasukkan kembali entri yang ia sumbangkan di nias-portal.org itu, dan ia memutakhirkannya seperti terlihat di situs www.niasonline.net saat ini. Lantas, sekitar tahun 2002, www.niasisland.com juga membuat aplikasi bahasa Nias yang dirancang dengan mengizinkan siapa pun pengunjung situs itu untuk memasukkan kata baru.

Perkembangan itu kian memacunya untuk segera membuat kamus edisi cetak. Pada sisi lain, keputusan untuk mengikuti perkuliahan di Jurusan Komunikasi di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Salemba (sekarang di Cawang), Jakarta pada 2002, memberikan kesempatan baginya untuk berkembang.

Di sana pengetahuan bahasanya berkembang. Ia mulai paham cara menyusun data kosa kata Nias dalam struktur penulisan seperti layaknya kamus. Hasilnya, kamus mesti dilengkapi data setiap lema dengan kata-kata turunannya (derivatif) dan contoh pemakaiannya dalam kalimat. Data bersumber dari berbagai dokumen, termasuk milis Nias Community Forum (NCF), jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, dan situs-situs lain, seperti Nias Online dan NiasIsland.Com.

Liku-liku Kamus

Menerbitkan kamus Li Niha menunjukkan proses pembelajaran bagi siapa saja yang ingin melakukan hal yang sama. Penulisan buku, dilanjutkan dengan penerbitan buku memerlukan proses panjang. Menerbitkan buku harus terlebih dahulu memiliki pasar yang jelas!

Berbekal pengetahuan ala kadarnya tentang penerbitan dan pencetakan buku, Apollo mendatangi sebuah penerbitan dan menunjukkan draf kamus Nias-Indonesia. Di luar dugaan, perusahaan penerbitan tersebut menjawab bahwa pencetakan dilakukan kalau pembeli sudah ada yang siap membeli dalam jumlah tertentu. Cukup berat. Saran mereka adalah penjajakan kerja sama dengan pemerintah daerah Nias.

Dengan penuh harap ia jalankan saran itu hingga ayah dari Nicolash Jeremy Onoma Lase dan Nikita Putri Aurelia ini menawarkan kerja sama dengan pemerintah daerah di Nias dengan menemui para pejabat di sana. Secercah harapan terbayang di mata pria bertinggi badan 164 sentimeter ini saat mereka bertemu. Sayangnya, berkali-kali Apollo menghubungi orang yang memberinya harapan, sebanyak itu pula ketidakpastian diterimanya.

Apollo akhirnya berkesimpulan, kemungkinan kerja sama menerbitkan kamusnya dengan pemda tidak mungkin lagi. “Saya menghubunginya berpuluh kali. Pulsa habis, hasilnya nol besar,” katanya.

Gagal menjajaki kerja sama dengan Pemda, Apollo dan temannya berniat mencetaknya sendiri. Ide itu ditanggalkannya mengingat besarnya dana dan khawatir tidak mampu mendistribusikannya.

Sampai suatu ketika muncul kesempatan yang memang tidak terduga sebelumnya. Suatu ketika, Donny Iswandono, teman Apollo, seorang dosen di sebuah universitas di Jakarta, dan juga temannya diskusi, meminta contoh fotokopi kamus Li Niha yang sudah dijilid ala kadarnya.

Setelah mempelajari contoh tersebut, sekitar Mei 2010, Donny mengabarkan kepada Apollo bahwa seseorang ingin bertemu dengannya untuk membicarakan soal bahasa Nias. Besoknya, sesuai dengan pesan Donny, Apollo datang ke sebuah gedung di Jalan Sudirman, Jakarta, dan bertemu dengan Tony F. Jans, salah seorang pimpinan Posko Delasiga (sekarang Yayasan Delasiga).

Pucuk dicinta ulam tiba! Harapan bersemi kembali. Mereka bersepakat kamus itu akan disajikan sebagai salah satu menu dalam situs www.nias-bangkit.com. Tak cuma itu, Delasiga siap mendukung pencetakan Kamus Li Niha. Untuk itu Apollo bertugas memeriksa kembali naskahnya.

Singkat cerita, Yayasan Delasiga sanggup membeli sebagian kamus. Penerbitan pertama sebanyak 6.000 eksemplar membuat Apollo merasa lega dan cukup puas. “Setidaknya, saya berhasil mewujudkan cita-cita saya selama bertahun-tahun,” ujarnya.

Dia berharap agar kehadiran kamus yang ditulisnya menjadi pelengkap bagi kamus yang sudah terbit sebelumnya, serta menjadi pegangan bagi sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi.

“Tak ada gading yang tak retak” demikian Apollo mengungkapkan keterbatasan yang dimilikinya dalam kata pengantar buku itu. Pria yang menikah dengan Danaria pada 2000 itu kemudian melanjutkan, ada banyak kata yang belum terekam; kemungkinan juga ada penulisan yang terlewat. Apollo mengajak para pembaca secara bersama-sama terus memperbaiki Kamus Li Niha: Nias-Indonesia itu. “Saya masih merencanakan penyempurnaan untuk penerbitan berikutnya,” ujarnya.

Menulis dan menerbitkan Kamus Li Niha memang melalui jalan berliku. Pernahkan Apollo frustrasi? “Rasa lelah sih sebenarnya tidak terlalu menjadi pertimbangan sebab saya melakukannya tanpa beban, meski ditolak saya tidak terlalu merasa kecewa,” ujarnya mengenang liku-liku proses penerbitan buku pertamanya itu.

Jangan Putus Asa

Enam belas tahun sebelum buku itu diluncurkan, Apollo adalah seorang lulusan SMA yang hampir putus asa. Menyikapi keadaannya, Apollo ingat betul petuah ibunya, almarhum Gatina Lase, yang mendidiknya tidak berputus asa setiap menemui kegagalan. “Kegagalan adalah kesempatan yang tertunda,” ujarnya.

Di masa memasuki kelas II SMP, Apollo putus sekolah selama dua tahun dan harus terjun membantu ibunya bekerja di ladang sewaan di desa lain. “Saya memilih ikut ibu bertani sawah di daerah Idanoi, Kecamatan Gidö. Ibu menyewa lahan milik orang lain di persawahan Lewuö Guru. Kami tinggal di sebuah saung sederhana di tengah sawah dan pulang seminggu sekali ke kampung. Selama di sawah saya sering menangis ingin sekolah lagi,” kenangnya atas pengalaman hidup masa kecilnya.

Ayahnya Talisökhi Lase hanyalah seorang pensiunan kepala sekolah dan ibunya seorang petani. Mereka tidak mampu mengirimkan mantan Ketua OSIS SMA Negeri 3 Gunung Sitoli ini, pemegang prestasi juara di SD sampai SMA, ke bangku kuliah. “Kebanggaan prestasi di sekolah yang saya raih bertahun-tahun, seolah tak bermakna saat itu,” ujar anak ke-11 dari 13 bersaudara itu.

Untuk menemui jalan terbaik, Apollo berangkat ke Jakarta melalui Pelabuhan Gunungsitoli menumpang kapal Lawit meninggalkan desanya, Hiligara, Kecamatan Gunungsitoli. Dia tiba di Jakarta, 14 November 1994.

Pada awalnya, Jakarta tak seindah bayangan yang ada dalam sinetron yang biasa ia lihat di televisi. Apollo kembali melintasi kegagalan demi kegagalan.

Dia menyaksikan keadaan yang berbeda dari bayangannya yang indah sebelumnya. Di Jakarta, Apollo menemui banyak rumah kumuh, menyaksikan banyak orang tidur di bawah jembatan, bukan melihat sungai seperti biasa dilihatnya di kampungnya. Apollo bukan langsung bekerja di belakang meja seperti yang dibayangkan sebelumnya.

Sebelum diterima sebagai karyawan di Kompas, Apollo sempat bekerja di sebuah perusahaan garmen. Tak lama kemudian perusahaan itu tutup, ia pun mesti menganggur dan terpaksa menumpang hidup di tempat abangnya. Lantas, pekerjaan mengamen di atas bus atau dari rumah ke rumah akrab ia lakukan untuk sekadar bertahan.

Kenyataannya, dengan ijazah SMA, Apollo bisa bekerja di pabrik garmen, kemudian menjadi pengamen. Namun, nasihat sang Bunda terus terngiang, “Jangan putus asa.”

Suatu ketika dia lewat depan kantor Harian Kompas. Atas saran temannya, ia memberanikan diri mengajukan lamaran. “Saya sama sekali tidak tahu mau bekerja apa, ada lowongan apa. Dalam pikiran saya, Tuhan, saya butuh pekerjaan. Itu saja,” kata Apollo.

Tuhan sungguh menyanginya. Pada 1996, Apollo berhasil menjadi seorang pemeriksa berita di Harian Kompas—membetulkan salah huruf atau ejaan. “Saya langsung menangis berurai air mata. Senang tak terkirakan. Saya berlutut dan bersyukur kepada Tuhan. Tuhan, Engkau sangat baik…. Tuhan engkau mengirimkan malaikat penolong untukku. Di saat aku sangat membutuhkan, Tuhan buka jalan. Itu doaku kala itu.” ujar Apollo.

Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Kegagalannya memasuki bangku kuliah beberapa tahun sebelumnya, berhasil ditebusnya setelah bekerja, menikah, dan memiliki seorang anak. Dia kemudian mendaftar sebagai mahasiswa Jurusan Komunikasi di Fakulitas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, dengan biaya sendiri dan meraih gelar sarjana pada 2005 dan diwisuda pada 2006.

Khusus bagi generasi muda Nias, Apollo berpesan: “Generasi muda Nias sekarang harus menjadi pejuang dan pekerja keras. Meskipun orangtua kita berpunya dan memiliki banyak harta, tetapi bila tidak kita terlatih dengan bekerja keras, maka hidup ini akan tidak tertantang sehingga sedikit saja masalah, bisa akan menjadi guncangan hebat,” ujarnya memberi inspirasi menutup pembicaraan. (sumber: www.nias-bangkit.com)


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/04/11/13121676/Kisah.di.Balik.Kamus.Li.Niha

Untung Ada Presiden Sjafruddin

| | | 0 komentar
Kolonel Dahlan Djambek (paling kiri), Burhanuddin Harahap, pemimpin Dewan Revolusi Ahmad Husein, Mr Sjafruddin Prawiranegara, dan Maludin Simbolon. Foto yang diambil Maret 1958 ini menunjukkan mereka sebagai pemimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berkedudukan di Bukittinggi, melawan rezim Soekarno.


Sulit dibayangkan jika Sjafruddin Prawiranegara tidak berinisiatif mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), saat agresi militer Belanda ke ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta, 19 Desember 1948, yang menyebabkan pemerintahan Indonesia nyaris tidak berfungsi.

Dalam kondisi tegang dan mencekam tersebut, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M Hatta yang ditangkap Belanda melakukan rapat kilat memutuskan mengirim kawat kepada Sjafruddin Prawiranegara berisi mandat membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera.

Sjafruddin yang sejak minggu ketiga November 1948 berada di Sumatera bersama Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera Mr TM Hasan kemudian bersepakat membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada 22 Desember 1948, di Halaban, Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat.

Menurut Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, saat itu terjadi dialog Sjafruddin dengan TM Hasan yang saling menolak memutuskan siapa yang akan mejadi ketua PDRI.

Sjafruddin meminta TM Hasan yang menjadi ketua, namun menolak dan mengatakan Sjafruddin lebih tepat memimpin PDRI. Setelah saling tolak-menolak, akhirnya diputuskan Sjafruddin menjadi pemimpin PDRI.

"Coba bayangkan jika hal itu terjadi hari ini, pasti kita akan berebut, apalagi untuk jabatan sekaliber kepala negara, membayar pun kita pasti mau," kata Gamawan, saat membuka peringatan mengenang satu abad Sjafruddin Prawinegara di Istana Bung Hatta Bukitinggi, Sumbar, Sabtu (2/4/2011) lalu.

Namun, kata Gamawan, untuk jabatan strategis tersebut mereka saling tolak-menolak.

"Kiranya ini sebuah pelajaran tentang keikhlasan, yang bisa kita teladani, terutama bagi pemimpin saat ini," katanya.

Seusai agresi militer tersebut, Belanda mengira eksistensi Indonesia telah berakhir dan posisi legal perwakilan RI di PBB bisa dipertanyakan. Namun, berkat PDRI, posisi Indonesia di PBB tidak bisa digugat.

PDRI telah menjadi pusat komunikasi RI dengan luar negeri sehingga dunia tetap mengetahui perjuangan rakyat Indonesia.

Dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana ketika itu PDRI tetap berjuang untuk menegakkan eksistensi Republik Indonesia di mata dunia.

Saat itu, sarana dan prasarana sangat minim, namun selama 207 hari Sjafruddin melakukan berbagai upaya untuk menegakkan eksistensi negara ini.

Kalau dibandingkan dengan pejabat saat ini, kata Gamawan, tidak ada apa-apanya. Waktu itu pejabat seperti Sjafruddin dalam bertugas ke mana-mana tidak difasilitasi dengan SPPD (surat perintah perjalanan dinas).

"Namun mereka dengan ikhlas dan penuh pengorbanan tetap berjuang. Sedangkan pejabat hari ini meskipun ke mana-mana sudah dibekali SPPD dan beragam fasilitas, terkadang masih mengeluh dalam bekerja," kata Gamawan.

Kemudian, pada 13 Juli 1949, Sjafruddin dengan ikhlas mengembalikan mandat PDRI kepada Soekarno-Hatta di Yogyakarta. Penyerahan ini memang dilematis karena sejarah mencatat mandat yang dikirim melalui kawat tersebut tidak pernah sampai kepadanya.

Banyak yang mempersoalkan, apakah Sjafruddin merupakan "Ketua PDRI" atau "Presiden PDRI" , namun ia tidak pernah mempersoalkannya. Baginya PDRI telah berkontribusi, berjuang dan berkorban bagi bangsa ini.

"Nilai keteladanan yang bisa diambil bangsa ini, dengan ikhlas Sjafruddin menyerahkan sebuah jabatan yang sangat prestisius karena merasa sudah waktunya pemerintah berdaulat kembali memimpin Indonesia," kata Gamawan.

Sementara Farid Parwiranegara yang merupakan putra Sjafruddin mengemukakan, hingga akhir hayat ayahnya tidak ingin disebut pengkhianat. Namun, Sjafruddin dituding sebagai salah seorang yang ikut bertanggung jawab dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republi Indonesia (PRRI) 1958.

"Padahal, faktanya tidak seperti itu. PRRI itu hanya wujud dari kekecewaan terhadap ketimpangan pembangunan yang dilakukan pusat (ibu kota RI)," ujar Farid.

Segarkan ingatan terhadap sejarah

Ketua Panitia satu abad mengenang Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011), AM Fatwa, mengemukakan, kegiatan ini akan menyegarkan kembali ingatan masyarakat terhadap nilai sejarah.

"Peringatan satu abad Sjafruddin Prawiranegara akan menyegarkan kembali ingatan masyarakat terhadap peristiwa heroik dan strategis yang pernah terjadi di Sumatera Barat enam dasawarsa lalu," kata AM Fatwa.

Dikatakannya, dibandingkan Presiden Soekarno, sosok Sjafruddin Prawiranegara bukan siapa-siapa, dan hanya sedikit orang yang mengenalnya.

"Namun sejarah mencatat, saat agresi militer Belanda pada 19 Desember 1948, Sjafruddin bersama Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera TM Hasan berinisiatif membentuk PDRI yang dideklarasikan di Halaban Kabupaten Limapuluhkota Sumbar 22 Desember 1948," katanya.

Upaya tersebut, ujarnya, telah berhasil mempertahankan eksistensi bangsa serta meneguhkan posisi Indonesia di Perserkatan Bangsa Bangsa (PBB) saat itu.

Pahlawan nasional?

Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, mengemukakan pihaknya akan mengusulkan Sjafruddin Prawiranegara kepada pemerintah untuk ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

"Sosok Sjafruddin Prawiranegara layak untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional, karena banyak nilai keteladanan yang bisa diambil dari pribadinya," kata Irwan Praytino.

Dikatakannya, Sjafruddin merupakan pribadi yang memiliki integritas, multitalenta, kritis, tegas, dan terbuka.

Karena itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat akan segera mengirimkan surat pengusulan Sjafruddin Prawiranegara sebagai pahlawan nasional kepada Menteri Sosial," katanya.

Menurut dia, tugas yang dilakukan Sjafruddin sebagai ketua PDRI selama 207 hari merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjuangan bela negara.

"Jika kita menggunakan cara pandang saat ini, maka Sjafruddin sangat pantas menjadi pahlawan nasional," katanya.

Selain itu, jika Sjafruddin ditetapkan sebagai pahlawan nasional perjuangan yang dilakukannya akan menjadi contoh dan model untuk bisa diteladani.

Sebelumnya, berdasarkan Keppres Nomor 28 Tahun 2006 ditetapkan setiap tanggal 19 Desember diperingati sebagai Hari Bela Negara untuk memperingati deklarasi PDRI oleh Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat pada tahun 19 Desember 1948.

Sejarah yang dipinggirkan

Intelektual muda Sumatera Barat, Fadli Zon, mengemukakan, PDRI merupakan tonggak peristiwa sejarah penting, yang selama ini terlupakan serta dipinggirkan.

"Banyak yang tidak mengetahui sejarah PDRI, seolah-oleh PDRI tidak pernah terjadi," katanya.

Padahal, Sjafruddin Prawiranegara adalah seorang pendiri republik, tokoh bangsa yang berjasa dalam memperjuangkan dan mempertahankan republik Indonesia.

Faktanya, Sjafruddin pernah mendirikan PDRI, atas mendat dari Presiden Soekarno, di tengah ketidakberdayaan republik akibat agresi militer Belanda.

"Namun, hingga kini dia tidak saja belum diakui sebagai pahlawan nasional, tetapi juga tetap menjadi kontroversi bagi sebagian kalangan militer, generasi tua, dan kalangan nasionalis yang tidak menyukai PRRI," katanya.


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/04/10/11254546/Untung.Ada.Presiden.Sjafruddin

Kerinci, Sekepal Tanah Surga

| | | 0 komentar
Begitulah, konon, Kerinci adalah sekepal tanah surga yang dilempar oleh Tuhan ke bumi. Karena itu, Kerinci terkenal sebagai kabupaten paling elok di Provinsi Jambi.

Seperti namanya, kata kerinci berasal dari bahasa Tamil: Kurinji, yaitu nama bunga kurinji (Strobilanthes kunthiana) yang tumbuh di India selatan di ketinggian di atas 1.800 meter di atas permukaan laut.

Tak cuma danau dan gunung yang menawarkan kemolekan, di bumi Kerinci juga terdapat berbagai peninggalan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Oleh sebab itu, tak heran jika Malaysia mengincar warisan budaya Kerinci untuk dibawa ke Negeri Jiran itu sebagai cermin masa lalu bangsa Malaysia yang masih serumpun dengan orang Kerinci, yakni suku Melayu.

Menyebut nama Kerinci, yang melintas di ingatan adalah gunung dan tasik (danau) yang sama-sama menggunakan nama Kerinci. Membayangkan keduanya, yang muncul adalah keindahan.

Gunung Kerinci (juga dieja "Kerintji", dan dikenal sebagai Gunung Gadang, Berapi Kurinci, Kerinchi, Korinci, atau Puncak Indrapura) adalah gunung tertinggi di Sumatera (3.805 di atas permukaan laut), dan puncak tertinggi di Indonesia di luar Papua. Gunung Kerinci terletak di Pegunungan Bukit Barisan, dekat pantai barat, dan terletak sekitar 130 kilometer sebelah selatan Padang. Gunung ini dikelilingi hutan lebat Taman Nasional Kerinci Seblat dan merupakan habitat harimau sumatera dan badak sumatera. Kerinci masih aktif dan terakhir kali meletus pada 2009.

Sementara Danau Kerinci adalah sebuah danau yang memiliki luas 4.200 hektar dengan kedalaman 110 meter dan terletak di ketinggian 783 meter di atas permukaan laut. Danau ini menyimpan banyak jenis ikan. Ikan semah merupakan jenis yang paling digemari dan merupakan ikan endemik. Danau Kerinci terletak di dua kecamatan, yaitu Danau Kerinci dan Keliling Danau.

Terdapat beberapa lokasi yang menarik di beberapa desa di sekitar Danau Kerinci, yaitu Daerah Pesanggarahan di mana kita bisa melihat pemandangan Danau Kerinci dari atas, Tanjung Hatta adalah tempat Bung Hatta menikmati panorama Danau Kerinci dan menanam pohon di sana, Desa Seleman terdapat Rumah Laheik yang merupakan rumah khas kerinci, di Desa Pulau Tengah terdapat Dolmen Batu Raja dan Masjid Keramat Pulau Tengah, serta di sekitar Danau Kerinci terdapat sejumlah batu berukir yang diduga peninggalan zaman megalit.

Tak cuma panorama alam, Kerinci juga memiliki potensi nilai seni dan budaya cukup besar dengan keragaman yang sangat tinggi. Potensi seni yang berkembang di daerah ini di antaranya seni musik daerah, nyanyian-nyanyian daerah, tarian daerah, kesenian bernuansa islami, dan berbagai bentuk seni tradisional lainnya. Eksistensi kesenian daerah dimungkinkan oleh keberadaan kelompok-kelompok seni daerah yang tersebar di sejumlah daerah pedesaan yang meliputi seni teater sebanyak 28 buah, seni tari sebanyak 65 buah, seni musik sebanyak 52 buah, seni musik kasidah/rebana sebanyak 48 buah, dan wayang sebanyak 9 buah.

Pertunjukan kesenian daerah umumnya dikaitkan langsung dengan acara-acara serimonial seperti acara pernikahan, menyambut kelahiran seorang bayi, peresmian rumah tempat tinggal, acara sunatan anak laki-laki, atau bentuk acara lainnya.

Selain kesenian daerah, Kabupaten Kerinci juga memiliki potensi budaya daerah yang sangat besar dan bernilai luhur karena tumbuh secara alami dari akar budaya masyarakat secara turun temurun hingga ratusan tahun. Hingga saat ini, masyarakat masih memegang teguh nilai-nilai budaya daerah baik dalam pelaksanaan berbagai acara adat maupun acara serimonial serta penyelesaian berbagai persoalan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut harta benda atau perbuatan kriminal dan asusila. Beberapa sko Kerinci sangat khas dan langka, tidak ditemukan ada di tempat lain, seperti halnya naskah Melayu tertua berupa kita undang-undang di Desa Tanjung Tanah yang merupakan warisan dari raja Melayu pra-Islam, yakni Adityawarman.

Lalu beberapa bentuk budaya lainnya, seperti seni bersenandung Tale, tradisi tutur Kunoun dan Kba, berbagai seni pertunjukan tradisional seperti tarian, teater, dan atraksi warisan budaya megalitik seperti tari asek, tari rangguk, marcok. Begitu juga dengan warisan sastra berupa mantra, pantun, seloko, penno, tambo, dan lain sebagainya.

Kesemua itu tidak ditemukan lagi di daerah lain di Provinsi Jambi. Masyarakat Kerinci malah harus berbangga karena telah mampu merawat dan melastarikan keberadaannya hingga jadi warisan budaya yang luhur dan abadi hingga kini.

Suku Kerinci

Suku Kerinci sebagaimana juga halnya dengan suku-suku lain di Sumatera termasuk ras Mongoloid Selatan berbahasa Austronesia. Berdasarkan bahasa dan adat istiadat suku Kerinci termasuk dalam kategori Melayu dan paling dekat dengan Minangkabau dan Melayu Jambi. Sebagian besar suku Kerinci menggunakan bahasa Kerinci, yang memiliki beragam dialek, yang bisa berbeda cukup jauh antarsatu tempat dengan tempat lainnya di dalam wilayah Kabupaten Kerinci. Untuk berbicara dengan pendatang biasanya digunakan bahasa Minangkabau atau bahasa Indonesia (yang masih dikenal dengan sebutan Melayu Tinggi).

Sebagian penulis, seperti Van Vollenhoven, memasukkan Kerinci ke dalam wilayah adat (adatrechtskring) Sumatera Selatan, sedangkan yang lainnya menganggap Kerinci sebagai wilayah rantau Minangkabau.

Suku Kerinci merupakan masyarakat matrilineal. Sebagaimana diketahui dari Naskah Tanjung Tanah, naskah Melayu tertua yang ditemukan di Kerinci, pada abad ke-14 Kerinci menjadi bagian dari kerajaan Malayu dengan Dharmasraya sebagai ibu kota. Setelah Adityawarman menjadi maharaja, ibu kota dipindahkan ke Saruaso dekat Pagaruyung di Tanah Datar.

Sebagian besar suku Kerinci menggunakan bahasa Kerinci, yang memiliki beragam dialek, yang bisa berbeda cukup jauh antarsatu tempat dengan tempat lainnya di dalam wilayah Kabupaten Kerinci. Untuk berbicara dengan pendatang, biasanya digunakan bahasa Minangkabau atau bahasa Indonesia (yang masih dikenal dengan sebutan Melayu Tinggi).

Upacara tradisi

Salah satu tradisi yang masih dipertahankan dalam berbagai suku bangsa adalah tradisi pelaksanaan pesta adat siap panen. Hampir setiap daerah masih melaksanakannya, seperti upacara adat fuaton di Nusa Tenggara Timur, upacara adat aruh mahannyari pada suku Dayak, upacara penolak bala sebagai rasa syukur setelah berhasil panen di Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya. Tradisi-tradisi ini di maksud untuk mensyukuri hasil panen yang telah didapat oleh masyarakat, sekaligus memohon berkah agar mereka mendapat hasil yang lebih baik pada musim panen mendatang.

Begitu juga halnya yang terjadi pada masyarakat yang ada di Provinsi Jambi, yakni di Kabupaten Kerinci. Mereka dikenal sebagai orang Melayu Tua (Zakaria, 1985:15). Orang Melayu Tua tersebut masih mengenal bentuk-bentuk upacara atau pesta adat siap panen yang lebih dikenal dengan istilah kenduri sko. Kenduri sko merupakan upacara adat yang terbesar di daerah Kerinci dan termasuk kedalam upacara adat Titian Teras Bertangga Batu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Daud (1991:32) bahwa upacara adat di Kerinci dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yang disebut dengan: Upacara Adat Titian Teras Bertangga Batu; Upacara Adat Cupak Gantang Kerja Kerapat; Upacara Adat Tumbuh-tumbuh Roman-roman.

Sebagaimana tradisi-tradisi dalam upacara adat di setiap masyarakat, upacara kenduri sko di Kerinci memiliki arti penting bagi masyarakat setempat. Upacara kenduri sko merupakan upacara puncak kebudayaan masyarakat Kerinci.

Dengan kata lain dapat diartikan sebagai suatu perhelatan tradisional masyarakat Kerinci dengan maksud dan tujuan tertentu. Upacara kenduri sko hanya dilakukan pada desa persekutuan adat atau masyarakat adat dari dusun asal desa-desa yang memiliki sejarah tetua adat depati ninik mamak dan juga memiliki benda-benda pusaka.

Kenduri sko merupakan upacara adat terbesar yang ada di Kerinci dan mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat. Di dalam upacara tersebut terdapat acara penurunan benda-benda pusaka nenek moyang, serta pemberian gelar adat kepada pemangku-pemangku adat yang baru yang akan memimpin adat desa tersebut. Dengan demikian, upacara kenduri sko sangat penting sekali bagi orang Melayu Tua yang ada di Kabupaten Kerinci, khususnya Desa Keluru. (Berbagai sumber)


Jodhi Yudono
Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/04/12/1647567/Kerinci.Sekepal.Tanah.Surga

50 Tahun Manusia ke Antariksa

| | | 0 komentar
Selasa 12 April 2011, 50 tahun sudah manusia menjalani misi penerbangan ke antariksa. Walaupun Indonesia belum pernah secara langsung terlibat dalam misi penerbangan antariksa berawak, namun prestasi ini pantas dirayakan masyarakat global, sekaligus motivasi untuk bangsa ini.

Adalah Yuri Gagarin, pria berkebangsaan Rusia (saat itu Uni Soviet) yang melakukan penerbangan pertama ke antariksa. Ia melakukannya dengan pesawat Vostok 1. Penerbangannya bertahan selama 108 menit disertai dengan beragam drama, mulai dari gangguan transmisi data, antena dan pemisahan modul.

Ada satu pertanyaan yang mengemuka kala itu. Apa dampak "kondisi tanpa berat" atau weightlessness pada manusia? "Ada kekhawatiran manusia akan kehilangan akal sehat di gravitasi nol, kehilangan kemampuan berpikir rasional," kata Oleg Ivanovsky, salah satu yang terlibat dalam konstruksi Vostok.

Penerbangan memang otomatis. Namun pertanyaannya, bagaimana jika weightlessness menyebabkan kegilaan dan astronotnya mengabaikan program yang telah dibuat. Solusinya, saat itu para insinyur yang terlibat membuat kode keamanan 3 digit. Astronot diwajibkan memasukkan kode untuk mendapat perintah.

Pada akhirnya, semuanya terbukti tak penting. Penerbangan pertama ke antariksa itu sukses. Yuri Gagarin yang melakukan penerbangan menjadi idola bahkan hingga 43 tahun setelah kematiannya akibat kecelakaan saat latihan. Ia juga menjadi model poster partai komunis Uni Soviet.

Semangat menerbangkan manusia pertama sendiri salah satunya muncul dari Sergei Koroloyov, desainer Vostok 1. Semangatnya berkobar setelah peluncuran satelit buatan manusia pertama, Sputnik, pada 4 Oktober 1957 sebagai bagian dari rangkaian Tahun Geofisika International.

Awalnya, misi penerbangan ke antariksa itu hanya didasari keinginan menambah keunggulan Uni soviet dalam perang dingin melawan AS. Namun, akhirnya percobaan terbang selama tahun 1960 dan ledakan launch pad yang menewaskan 126 orang, menyebabkan persoalan keselamatan lebih diutamakan.

Penerbangan pertama yang dilakukan Gagarin hanya terbatas pada orbit tunggal. Tapi, itu tak berarti hal mudah. Boris Chertok, desainer roket top saat itu mengatakan, "melihat standard modern kemampuan roket, kami tak punya optimisme untuk April 1961."

James Oberg, veteran NASA yang kini bekerja sebagai misi angkasa Rusia mengatakan, Korolyov dan stafnya telah berusaha maksimal sehingga penerbangan berjalan mulus. "saya tak melihat adanya cara berbahaya yang diaplikasikan pada Vostok," katanya.

Di luar masalah teknis dan resiko, persaingan untuk menjadi kosmonot pertama yang terbang di antariksa berlangsung ketat. Ada 20 calon kosmonot dan Gagarin adalah favoritnya. Putusan kosmonot yang berangkat baru diberitahukan 3 hari sebelum peluncuran dari kosmodrom Baikonur, Kazahkstan.

Ada momen emosional setelah Gagarin terpilih. Menyadari resiko kegagalan misi, Gagarin menulis surat pada istrinya, Valentina Gagarina. Ia meminta istrinya untuk membesarkan anaknya bukan sebagai putri, tetapi sebagai manusia yang sebenarnya. Ia juga membebaskan istrinya untuk menikah lagi.

"Suratku mungkin terlihat seperti permintaan yang terakhir. Tapi aku tak berpikir begitu. Aku berharap kau tidak pernah melihat surat ini. Dan aku akan sangat malu mendapati momen dimana aku tampak sangat lemah," tulis Gagarin dalam suratnya.

Pada malam sebelum penerbangan, Gagarin dan rekannya, German Titov, tidur lebih awal. Keduanya terbangun pada pukul 5.30 pagi. Gagarin kemudian masuk dalam pesawat antariksa hingga akhirnya meluncur pada pukul 9.07 pagi. "Poyekhali" (kita meluncur sekarang), itulah kata yang terucap sebelum peluncuran.

Segera setelah peluncuran, para insinyur segera mendapat sentakan dengan sinyal gangguan pada booster. Ketegangan sedikit reda setelah adanya laporan Gagarin dari orbit. Tapi, beberapa saat kemudian muncul masalah pada antena yang tak berfungsi sehingga meningkatkan kekhawatiran.

Masalah retrorocket kembali muncul setelahnya. Namun, akhirnya Gagarin kembali dengan selamat dan mendarat di dekat Sungai Volga, 720 kilometer tenggara Moskow. Di sana, ia disambut oleh istri warga sekitar dan cucunya yang sempat mengira Gagarin mata-mata AS.

Setelah penerbangan itu. Gagarin menerima banyak kejutan. Ia dipromosikan hingga 2 level lebih tinggi, menjadi mayor. Pada tanggal 14 April 1961, ia diterbangkan ke Moskow dan bertemua pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev. Dikatakan, suasananya mirip hari valentine.

Mendengar kesuksesan Rusia, AS pun panas. 5 Mei 1961, astronot AS Alan Shepard menjadi orang kedua yang terbang ke anatariksa tapi hanya selama 15 menit. Setelahnya, presiden AS saat itu John F Kennedy merencanakan penerbangan ke Bulan dan akhirnya tercapai 20 Juli 1969.

Ada satu fakta tentang penerbangan ini yang dijaga Uni Soviet selama berpuluh tahun. Gagarin tidak mendarat dengan pesawat, melainkan dengan parasut. Hal tersebut dilakukan untuk pertimbangan keselamatan. Sistem soft landing saat itu belum mendukung.

Terlepas dari hal itu, penerbangan Gagarin telah menjadi awal bagi misi penerbangan antariksa. Penerbangan dengan Vostok 1 disusul oleh penerbangan AS dan Rusia lain, seperti Mercury, Apollo, Soyuz dan Discovery. Sejauh ini, AS, Rusia dan Cina adalah sebagai 3 negara pertama yang melakukan misi antariksa.

Saat ini, beragam misi antariksa dirancang. AS misalnya, merancang misi menuju Asteroid dan Mars. Sementara Rusia baru saja melakukan peluncuran Soyuz ke ISS 5 April 2011 lalu. Misi antariksa kini berkembang pesat dan bahkan telah dirancang wisata ke antariksa. Kapan Indonesia menyusul?




Yunanto Wiji Utomo
Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/04/12/08471894/50.Tahun.Manusia.ke.Antariksa

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?