SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Mahar Kawin yang Membebani Keluarga

| | | 0 komentar
Elias Laga Kelake (72) warga Waiwerang, Adonara, NTT menyusun dua batang gading gajah, yang hendak dijual. Salah satu dari gading gajah ini telah dijual dengan harga Rp 70 juta tetapi baru dipanjar Rp 20 juta, sisa Rp 50 juta. Batang gading gajah ini menjadi mas kawin di kalangan suku Lamaholot, NTT.

Proses meminang gadis di kalangan suku Lamaholot, Nusa Tenggara Timur, unik. Meski penduduk wilayah ini tidak memelihara gajah, gading gajah sudah menjadi mahar kawin sejak ratusan tahun lalu.

Dalam masyarakat Lamaholot, mahar kawin (belis) selalu menimbulkan masalah rumit. Pembicaraan paling alot antara pihak keluarga perempuan dan laki-laki adalah soal berapa banyak gading gajah harus diberikan pihak laki-laki sebagai belis bagi calon istri.

Status sosial menjadi ukuran menentukan jumlah dan ukuran gading. Jika calon istri berasal dari keluarga dengan status sosial tinggi, jumlah gading jauh lebih banyak dan lebih panjang. Kalau anak gadis berasal dari keluarga sederhana, jumlah dan ukuran gading bisa dikompromikan.

Elias Laga Kelake (72), pedagang gading gajah dari Waiwerang, Kecamatan Adonara Timur, Flores Timur, menuturkan, bagi suku Lamaholot yang bertempat di Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata, dan Pulau Alor Pantar, belis gading gajah tidak bisa diganti dengan barang lain atau uang.

”Di sini sudah tidak ada gajah. Gading kebanyakan ditemukan dari dalam tanah. Umur gading pun sudah ratusan tahun. Sebagian lain dibawa dari luar oleh para perantau,” kata Laga.

Jika perkawinan terjadi antara perempuan asal Lamaholot dan pria dari luar suku dan berlangsung di perantauan, gading bisa dikonversi dengan uang. Namun, kalau pernikahan dilangsungkan di Flores, belis harus berbentuk gading.

Gading gajah dalam bahasa Lamaholot adalah bala. Ada tujuh jenis bala, antara lain bala huut (gading yang panjangnya sesuai rentangan tangan orang dewasa dari ujung jari kanan ke ujung jari kiri), bala lima one (gading sepanjang ujung jari tangan kanan sampai telapak tangan kiri orang dewasa), dan bala lega korok (gading sepanjang ujung jari tangan sampai belahan dada).

Ketua adat desa Demondei, Flores Timur, Philip Laga (57), mengatakan, dalam adat Lamaholot, gading tidak biasa diukur sesuai ukuran resmi seperti meter atau sentimeter. Mereka hanya menggunakan ukuran depa atau rentangan tangan orang dewasa.
Dalam kesepakatan mengenai belis, keluarga perempuan berperan menentukan jumlah dan ukuran gading. Keluarga itu terdiri atas orangtua, saudara laki-laki, dan paman (saudara ibu kandung). Jumlah belis didasarkan pada gading yang dibayarkan ayah si gadis saat ia meminang ibu si gadis.

”Jumlah gading untuk meminang seorang perempuan berkisar antara 3 dan 7 batang. Jumlah tujuh batang biasanya berlaku di kalangan bangsawan atau orang terpandang. Masyarakat biasa umumnya tiga batang,” kata Laga.

Bisa diutang

Saat menikah di gereja, setidaknya satu batang gading harus dilunasi keluarga laki-laki. Sisanya bisa menyusul. Di kalangan suku Lamaholot, utang terkait belis berlangsung turun-temurun. Jika ayah belum melunasi belis akan dibebankan kepada anak, cucu, cicit, dan seterusnya.

Utang belis dari ayah atau kakek ditunda pembayarannya selama belum ada kebutuhan akan gading gajah dari keluarga ibu. Namun, sampai kapan pun pihak yang berutang dan berpiutang tetap mengakui hak dan kewajiban masing-masing.
”Jika salah satu pihak mengelak atau meniadakan utang itu, secara adat ia akan mendapat kutukan atau hukuman leluhur, seperti tidak punya turunan, sakit berkepanjangan, atau cacat bawaan. Utang tetap utang, kecuali kedua pihak secara adat sepakat menghapus utang gading gajah itu,” katanya.

Jika pihak keluarga laki-laki bersikap masa bodoh terhadap utang ini, keluarga perempuan akan bertindak. Hewan peliharaan, seperti babi, kambing, sapi dan kerbau, di sekitar rumah akan dibunuh dan dimakan di halaman rumah sambil menunggu pemilik rumah melunasi mahar kawin.

Diganti saudari

Di kalangan masyarakat yang masih primitif, gading gajah disamakan dengan perempuan. Jika laki-laki itu tidak memiliki gading, tetapi memiliki saudara perempuan, satu atau beberapa saudara perempuan akan diambil keluarga perempuan untuk dijadikan istri atau menjadi budak sesuai keinginan keluarga perempuan.
Nasib perempuan pengganti mahar kawin gading gajah ini tidak menentu. Ia tidak mempunyai hak sama sekali untuk membela diri ataupun menentukan pilihan hidup. Jika nantinya ia berkeluarga tetap akan dikendalikan pihak keluarga perempuan yang berpiutang.

Sebaliknya, pihak keluarga perempuan yang mengambil gading gajah tanpa memerhatikan nasib anak perempuan yang telah bergabung dengan keluarga suami, mereka dipercaya akan mendapat kutukan leluhur.

Mahar kawin tidak boleh diambil tanpa membawa kain tenun ikat berkualitas tinggi yang disebut kewatek lodan (tenun emas). Harga selembar tenun ikat ini bisa sampai Rp 20 juta. Biasanya, saat mengambil gading gajah, keluarga perempuan menyerahkan lebih dari 10 lembar kewatek lodan.

Harga gading gajah bervariasi, yaitu Rp 13 juta sampai Rp 100 juta per batang tergantung ukurannya. Namun, kini tak mudah mendapatkan gading. Di kalangan suku Lamaholot, sebagian besar gading telah dijual ke luar Flores atau dipotong untuk gelang, cincin, dan perhiasan lain. (KORNELIS KEWA AMA)
Kompas Cetak

Mengangkat Gawi Menjadi Lagu Pop Daerah

| | | 0 komentar
Sejumlah warga Kampung Wolonio, Desa Fatamari, Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (3/7) melakukan gawi, menyanyi dan menari bersama dengan sukacita di pelataran pusat kampung merayakan puncak pesta syukur pada acara adat Mbama, yaitu upacara pengucapan syukur atas hasil panen padi ladang dan aneka jenis tanaman tumpang sari dalam satu musim tanam. Gawi yang dilakukan juga dengan masyarakat sekitar guna mempererat tali persaudaraan itu dilakukan dari malam sampai pagi hari.
Sukaria, dukacita, sejarah leluhur, ataupun sejarah tanah kelahiran, bagi masyarakat Lio Ende di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, biasanya diungkapkan lewat Gawi. Ini adalah tarian dan nyanyian yang dilakukan masyarakat secara kolosal dalam sebuah upacara adat.

Kini, Gawi bukan sekadar ritual adat, melainkan sudah menjadi lagu pop yang bisa dinikmati masyarakat lewat rekaman pita kaset dan video compact disc (VCD). Eman Bata Dede adalah orang yang mewujudkan hal itu.

Awalnya, Eman Bata Dede, warga Kelurahan Onekore, Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, ini sempat merasa khawatir karena saat menyampaikan idenya banyak pihak yang menolak. Itu bisa dimaklumi karena sebagian orang menganggap hal itu sebagai tabu.

Penyebabnya, Gawi bukan sekadar tarian dan nyanyian biasa, melainkan sebuah ritual sakral. Gawi adalah bagian dari upacara adat. Gawi bisa menjadi ungkapan rasa syukur sebagai ungkapan sukacita masyarakat adat bersama para roh leluhur. Jika Gawi ditarik ke ranah hiburan duniawi, ketika itu, seseorang dipercaya bisa tidak berumur panjang.
Tanpa bermaksud menyepelekan kepercayaan tersebut, Eman, panggilannya, bersikukuh untuk mewujudkan niatnya. Dia meyakini, upayanya itu justru untuk melestarikan Gawi agar tidak tergerus kemajuan zaman.
”Sekarang, album Gawi semakin banyak beredar...,” kata lelaki berusia 45 tahun itu.

Merantau

Gagasan Eman untuk membawa Gawi ke ranah pop muncul saat ia merantau ke Jakarta pada 1984, selepas lulus dari SMA. Ketika dia menyanyikan syair Gawi dalam sebuah acara di Jakarta, para undangan yang kebanyakan warga Ende yang tinggal di Ibu Kota merasa dibawa bernostalgia pada masa kecil mereka di kampung. Hadirin pun ikut bernyanyi, bahkan banyak yang sampai mencucurkan air mata.

Eman semula bermaksud merantau ke Jakarta untuk menjajal kemungkinan meniti karier sebagai penyanyi. Namun, cita-cita dia untuk menembus dunia hiburan di Ibu Kota tidak kesampaian. Setelah tujuh tahun berada di Jakarta, Eman kemudian memutuskan untuk pulang ke kampung halaman pada 1991.

Pada 1995, untuk pertama kalinya Eman meluncurkan album lagu Gawi. Isinya, antara lain, lagu ”Du’a Lulu Wula More Ngga’e Wena Tana” (puji Tuhan di surga dan bumi). Lagu rohani tersebut berisi ”ratapan” tentang kebesaran Ilahi.
Tanpa dia duga, lagu itu ternyata meledak di pasaran lokal, di Ende. Album rekaman Eman tersebut bahkan sampai dimiliki banyak warga Nusa Tenggara Timur yang tinggal di Sydney, Australia.

Pejabat perut buncit

Realitas sosial tidak luput dari pengamatan Eman dan menjadi ilham karya-karyanya. Lagu ”Moke Nae Nia” (mabuk moke, minuman khas Ende), misalnya, menggambarkan kebiasaan dari sebagian masyarakat dalam mengonsumsi minuman keras. Kebiasaan itu telah membuat mereka sampai melupakan istri dan anak-anak serta lalai menyelenggarakan tradisi adat leluhur.

Kondisi topografi wilayah Ende yang memerlukan infrastruktur jalan guna membuka isolasi antardesa dan antarkota juga digambarkan oleh Eman lewat nyanyian berjudul ”Bupati Amamara” (bupati yang kami hormati).

Eman bercerita, dia terinspirasi untuk melahirkan lagu ”Bupati Amamara” karena melihat bagaimana warga selalu meminta kepada pemerintah agar dibuatkan jalan. Permintaan itu biasanya diajukan masyarakat apabila ada pejabat yang mengunjungi desa atau kampung mereka.

Kondisi banyak jalan di Ende yang jelek, bahkan rusak berat, mengakibatkan kendaraan-kendaraan tidak bisa melintas di daerah-daerah tertentu.
Kondisi tersebut telah membuat masyarakat harus memikul hasil bumi, seperti kakao dan kemiri, sampai berkilo-kilometer jauhnya. Lagu ”Bupati Amamara” itu belakangan ini acap kali diputar masyarakat sebagai sindiran ketika bupati melakukan kunjungan lapangan.

Maraknya pejabat yang korupsi atau tersangkut penyalahgunaan dana bagi korban bencana alam pun tidak luput dari pengamatan Eman. Untuk itu, dia menggambarkannya lewat lagu ”Ame Tuka Keje” (bapak perut buncit).

Dalam lagu tersebut, Eman menggambarkan sosok pejabat yang berperut buncit lantaran dia suka sekali mengambil uang rakyat.

Mencipta dan mengaransemen

Sebanyak 14 album yang telah diproduksi Eman. Di sini dia mencipta sekaligus mengaransemen lagu-lagunya. Syair lagunya yang sederhana, mudah dicerna, dan berbasis problem lokal membuat lagu-lagu Eman mengena di hati rakyat kecil.

Selain membuat lagu-lagu pop daerah, Eman juga membuat album rohani versi Gawi yang pada 2000 meledak di pasaran. Album rohani tersebut mencapai 15.000 buah untuk pita kaset. Kaset album rohani Eman itu dijual seharga Rp 15.000 per buah, sedangkan versi VCD-nya dibanderol dengan harga Rp 50.000 per keping.

Lagu-lagu Eman bisa dikatakan laris manis di daerah. Namun, seperti dialami kebanyakan pencipta lagu, karyanya tidak lepas dari pembajakan. Pada 2005, Eman sampai harus menempuh jalur hukum di Pengadilan Negeri Ende.
”Dalam sidang itu terungkap kalau proses pembajakan dilakukan di Ujungpandang (sekarang Makassar, Sulawesi Selatan), lalu hasilnya dijual di Flores,” ungkap Eman.
Sejak kasus itu diangkat ke pengadilan, tidak terdengar lagi adanya kasus bajak-membajak karya cipta seniman di Ende.

Kini, anak sulung dari enam bersaudara pasangan Thomas Bata dan Theresia Masi itu membuka ”pintu” seluas-luasnya bagi generasi muda untuk merekam lagu pop daerah di studio miliknya. Sedikitnya 10 artis lokal sudah diorbitkan dan masuk dapur rekaman milik Eman.

Sekarang, karya-karya Eman terbukti telah membuahkan hasil. Selain Gawi sebagai lagu pop daerah semakin memasyarakat, Gawi sebagai ritual pun tetap terjaga. Bahkan, Eman pun turut membantu memudahkan pelaksanaan upacara itu.
Kalau dulu, Gawi sangat melelahkan karena orang harus menari dan menyanyi dari malam hingga pagi harinya, maka sekarang ini, hal itu tidak perlu lagi. Setelah ada album rekaman lagu Gawi, masyarakat tinggal menari.

Selain itu, masuknya Gawi ke ranah pop telah membuat semakin banyak generasi muda yang mau mengenal dan memahami Gawi.

Kompas Cetak

Alunan Musik Ungkap Isi Hati

| | | 0 komentar
Dalam acara Indonesia’s Got Talent akhir November 2010, Jeremiah A Paah yang aktif memopulerkan sasando bermain bersama dua putranya, Djitron Paah dan Berto Paah, dan membuat para pemirsa terpesona.

Sasando, alat musik petik dari bambu dalam wadah terbuat dari daun lontar yang biasa digunakan warga Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, sejak abad ke-7, kini populer lagi. Artikel tentang alat musik itu mudah didapatkan di internet. Videonya pun banyak beredar dan mudah diakses di YouTube.

Selain sasando, masih banyak alat musik lain yang dimiliki NTT, misalnya sato, alat musik gesek di Flores. Alat musik ini ditemui tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT di desa kecil nan elok, Waturaka, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende.

Semula sato dimainkan sebagai teman pelipur lara, ungkapan hati di kala sepi. Namun, kini alat musik tersebut berkembang menjadi hiburan musik panggung dan mengisi acara rohani.

Sato dibuat dari bila (semacam labu), dapat pula dibuat dari batok kelapa. Alat musik ini mirip biola. Dulu, dawai sato dibuat dari lema mori (serat daun lidah buaya yang dijalin dengan getah kenari). Saat ini, dawai sato kebanyakan menggunakan senar gitar nomor 1-3. Alat geseknya berbentuk busur kecil dengan tali dari bahan ijuk.

Di desa itu ada Marselinus Satu (58), seorang pemusik dan pemelihara musik sato di Waturaka. Juga ada sanggar musik tradisional bernama Mutu Lo’o (Kelimutu Kecil) tahun 2000. Sanggar musik itu beranggotakan 25 orang yang berusia 30 tahun ke atas, dipimpin oleh Robertus Nggele.

Sanggar musik ini memiliki koleksi perkusi langka, nggo dhengi atau nggo bhonga. Alat ini terdiri atas tujuh ruas kayu denu atau wae sebagai sumber nada, dirangkai dengan tali dan digantung di antara dua tiang. Ketujuh kayu itu dipukul dengan sepotong kayu kering sehingga menghasilkan bunyi.

Pada saat tim Kompas berkunjung, mereka dengan senang hati memainkannya. Untuk mengumpulkan mereka harus menunggu sekitar 30 menit karena mereka masih bekerja di kebun.

Penampilan mereka seadanya, atasan kaus dipadu sarung atau celana pendek, tanpa alas kaki. Namun, paduan musiknya terasa unik dan menenangkan perasaan. Selain sato, ada juga suling, gambus, ukulele, dan gendang.

Suling dan perkusi

Sekitar 150 kilometer ke arah barat dari Ende, di Kampung Woloroa, Desa Sarasedu, Kecamatan Golewa, dan di Desa Ratogesa, Golewa, Kabupaten Ngada, terdapat alat musik tiup dan perkusi bambu yang tak kalah unik.

Ada alat musik tiup berupa suling dua tabung yang disambung disebut foy doa. Suling ini memiliki tangga nada pentatonik. Ada juga foy pay, semacam suling sepanjang hampir 1 meter.

Perkusinya adalah tobho, musik bas dari bambu. Bentuknya seperti kentungan, bergagang sepanjang 1 meter, bagian bawahnya runcing. Ada dua jenis tobho, satu bernada dasar C (agak kecil), yang lain bernada dasar F (lebih besar). Alat musik ini dimainkan dengan cara ditumbukkan ke tanah sehingga menghasilkan bunyi dentuman bas. Ada lagi teko reko, semacam kulintang dengan tujuh tangga nada.

Di Sumba ada nggunggi, sejenis harmonika dari bambu. Nggunggi biasa dimainkan untuk mengundang arwah leluhur agar hadir pada seremoni menanam di ladang. Sampai tahun 1960-an, nggunggi juga digunakan pemuda untuk menyatakan cinta dan meminang gadis.

Alat musik lain yang hampir punah adalah jungga. Alat ini mirip biola dari kayu dilengkapi dua dawai dan dimainkan dengan cara dipetik seperti gitar. Dulu alat musik ini biasa dimainkan di pesta adat, pesta kelahiran, dan pesta panen.

Kini jungga masih ditemukan di desa-desa, tetapi sudah langka. Pada Sabtu (30/10) sekitar pukul 20.30, tim Kompas menyaksikan permainan jungga di rumah panggung di Kampung Pau, Desa Watu Hadangu, Kecamatan Melolo, Sumba Timur. Beberapa warga usia muda ikut hadir untuk mendengarkan Katuhi Baha Hamba Banju (66) memainkan jungga.

Sambil sesekali menenggak laru (tuak), Katuhi bernyanyi sambil memetik jungga dalam posisi bersila. Dawai ditekan dan dipetik, mengiringi nada suara yang meliuk tinggi diselingi nada rendah.

Tidak berapa lama, seorang pemuda, Hambuku Rihidiawa (29), bergabung memainkan jungga bertali empat yang disebut jungga jawa. Bentuknya lebih mirip gitar berukuran kecil terbuat dari kayu.

Di kampung itu tinggal satu jungga. Dikhawatirkan tidak sampai satu dekade lagi alat-alat musik kekayaan Nusantara akan hilang karena tidak dipelihara dan tidak terdokumentasi. (SEM/RUL/KOR/JPE)
ANT

Kaya Alat Musik, Lupa Konservasi

| | | 0 komentar
Nusa Tenggara Timur tidak hanya provinsi yang memiliki 566 pulau, tetapi juga memiliki ratusan nyanyian dan instrumen musik yang unik. Sayangnya, kekayaan budaya itu tak terurus dan semakin tergerus modernisasi.

J Kunst, etnograf asal Belanda, pernah meneliti lagu dan musik instrumental pada suku-suku di Pulau Flores. Hasilnya diterbitkan di Leiden, 1942. Dari Pulau Flores saja, ia mengumpulkan 200 nyanyian dan menemukan 59 jenis instrumen musik yang berbeda. Sasando, yang semakin populer, adalah salah satu dari alat musik yang dikaji Kunst kala itu.

Tidak banyak orang Indonesia yang mengkaji alat musik tradisional. Dosen Sastra dan Seni Musik dari Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, Agus Beda Ama, mengaku kesulitan mendapatkan literatur tentang etnomusikologi di NTT. Sepengetahuan dia, belum ada satu lembaga pun di Tanah Air ini yang mendokumentasikan secara lengkap berbagai alat musik etnik NTT.

Situs resmi Pemerintah Provinsi NTT hanya menyebut sebagian kecil dari alat musik tradisional NTT. Di antara alat musik tiup ada foy doa, foy pay, knobe khabetas, nuren, sunding tongkeng, prere, dan suling hidung. Ada juga alat musik petik, seperti gambus, knobe oh, heo, leko boko/bijol, reba, mendut, ketadu mara, serta sejumlah alat musik lain, misalnya sowito, kelontang, tata buang, thobo, dan sejumlah gong.
Menurut Beda Ama, musik rakyat NTT tergerus karena tidak mampu bersaing dengan budaya pop. ”Karena itu, harus ada strategi pelestarian,” katanya.

Beda Ama mengusulkan ada semacam program jumpa ”empu” peduli musik kuno di sekolah-sekolah secara berkala untuk memperkenalkan cara membuat dan bermain alat musik tradisional. ”Perlu intervensi akademis untuk melakukan inventarisasi, dokumentasi, notasi, dan analisis musikal untuk dipakai sebagai bahan belajar di sekolah-sekolah. Pemerintah harus lebih aktif karena masyarakat masih harus mengurus kebutuhan perutnya,” katanya.

Di tengah berbagai keterbatasan, ada sebagian masyarakat NTT yang melestarikan alat musik tradisionalnya. Di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, Pulau Timor, setidaknya ada enam sekolah yang aktif mempertahankan musik suling atau musik bambu, antara lain SD Negeri As Manulea, SD Inpres Bikane, dan SMP Keputu.

Ketika berkunjung ke SD As Manulea, sebanyak 25 anak kelas III dan IV tengah bersiap menyuguhkan alunan musik bambu kepada tamu yang akan datang dari Jakarta. Namun, karena tamu itu batal berkunjung, mereka mempertontonkan kebolehannya kepada tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT Kompas. Dipimpin kepala sekolahnya, Anton Massan, kelompok siswa tersebut dengan lincah memainkan beberapa lagu.

”Musik bambu di daerah lain di NTT mungkin sudah sangat langka, tetapi di Belu, terutama di As Manulea dan sekitarnya, musik bambu tetap bertahan dan hidup,” kata Anton Massan.

Sejumlah sekolah tak jarang menggelar festival musik bambu tingkat kecamatan pada perayaan Hari Kemerdekaan, acara adat di kampung tua As Manulea atau acara lain. ”Dengan festival seperti itu, sekolah terpacu untuk menjadi yang terbaik dalam bermusik bambu,” kata Manuel Un Bria, pensiunan guru SD As Manulea. (Frans Sarong)
Kompas Cetak

Kerisauan Ahli Waris Musik Bambu Ngada

| | | 0 komentar
Alat musik ini mirip seruling, terbuat dari bambu. Bedanya, seruling ini memiliki dua tabung. Kedua tabung itu disambungkan sedemikian rupa sehingga embusan angin dari sang peniup bisa terbagi ke dua tabung tersebut. Alat musik itu disebut Foy doa.

Tim Ekspedisi Jejak Peradaban Nusa Tenggara Timur menemukan alat musik itu ketika bergerak ke Kabupaten Ngada, Pulau Flores, NTT. Kabupaten ini terletak di barat Ende. Kawasan ini ditempuh sekitar tiga jam perjalanan darat dengan mobil.

Di Kabupaten Ngada terdapat banyak jenis alat musik etnik bambu yang unik. Ada Bhiru lilu, misalnya, seruling sepanjang 15 sentimeter (cm) yang memiliki dua lubang sekitar 0,5 cm di tengah-tengahnya.

Satu lubang berfungsi untuk meniupkan udara, sedangkan satu lubang lagi yang berdiameter lebih kecil mampu melahirkan nada kres. Sementara bagian kiri-kanannya menjadi tangga nada. Ada juga alat musik Teko reko, semacam kulintang yang memiliki tujuh tangga nada.

Nada pentatonik itu agaknya ”turunan” alat musik tradisional Gong Gendang, yang didominasi gong kecil (mirip gambang keromong, alat musik Betawi), dengan tangga nada wela (sol), uto-uto (fa), duru/dere (mi), dan doga (nada do dan re).

Sayangnya, alat musik etnik tersebut nyaris punah. Di Ngada sudah tidak banyak lagi orang yang bisa memainkan alat musik itu, apalagi membuatnya. Tinggal Daniel Watu, pria berusia 62 tahun yang tinggal di Kampung Woloroa, Desa Sarasedu, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, yang masih setia dan gigih menekuni alat musik etnik tersebut.

Belum ada orang yang mau mengikuti jejak musisi tua itu untuk memelihara dan menyelamatkan musik bambu Ngada dari kepunahan.

Warisan

Bisa dikatakan, Daniel adalah satu-satunya sosok yang memiliki keterampilan paripurna dan sangat mencintai alat musik tradisi Ngada itu. Dia belajar musik bambu itu dari ibunya, Elisabeth Baba (85).

Saking cintanya kepada sang bunda dan musik bambu, Daniel bercerita, dahulu dia sampai sering membolos dari sekolah. ”Saya kemudian bertemu kepala sekolah, saya minta berhenti,” kata Daniel mengenang.

Dia kemudian mengisi hari-harinya dengan bertani, juga memainkan Foy doa dan mencipta lagu. Banyak lagu berhasil dia ciptakan dari keakrabannya memainkan musik bambu.

”Kalau tidak salah, sekitar 30 lagu yang saya ciptakan,” kata Daniel seraya membolak-balik lembaran buku lusuh berisi dokumentasi lagu-lagu karyanya.

Lagu-lagu ciptaan Daniel kebanyakan bertema rohani, ajaran cinta kasih, atau tentang keseharian kehidupan petani peladang yang merupakan mata pencarian umumnya penduduk di Ngada.

Lagu berjudul ”Wula kasu da te’a” (Saat Padi Menguning), misalnya, berkisah tentang keriangan para petani yang terbebas dari pekerjaan di ladang untuk sementara waktu sebelum kembali disibukkan dengan musim petik padi.

Lagu dia lainnya, ”Manu Naru” (Ayam Betina), mengisahkan seekor ayam betina yang dipinang ayam jantan dan induk ayam yang mengajak anak-anaknya untuk mengais-kais makanan.

Bersama rekannya bermain seruling, Johanes Wawo, lahir lagu ”Tuga Mori Rua” (Dua Anak Cukup) yang merupakan lagu pesanan dari pemerintah agar suami-istri mau mengatur jumlah kelahiran anaknya guna mengatasi ledakan jumlah penduduk.

Mengandalkan perasaan

Pengembangan keterampilan membuat alat musik bambu diperoleh Daniel secara otodidak. Pria yang putus sekolah saat kelas I SMP ini bercerita, ia lebih mengandalkan perasaan saat menyelaraskan nada pada alat musik yang dibuatnya.

Setelah itu, dia baru mengecek kemampuan alat musik tersebut dengan membawanya ke paroki terdekat, menggunakan alat musik organ. Ternyata, 99 persen alat musik bambu karyanya memenuhi standar nada.

Bahan bambu alat musik buatan Daniel selalu diambil saat ”gelap bulan” pada musim kemarau atau dua minggu sebelum bulan purnama. Alasannya, ketika ”gelap bulan”, batang bambu bersih dari serbuk dan kutu kayu. Kondisi ini membuat bambu tahan lama. Bambu yang digunakan untuk membuat seruling adalah bambu pilihan, yaitu bambu betho (petung) berusia matang—sekitar dua tahun.

Dari pengalaman mengutak-atik bambu, Daniel berhasil mendesain seruling yang masing-masing memiliki nada tersendiri: B, G, A, Ais (Bes), B, C, dan D. Pada 2009, satu set (enam unit) alat musik bambu karyanya dibeli seorang pastor asal Manggarai, Flores, seharga Rp 3,5 juta.

Sebagian alat musik buatan Daniel dia simpan sendiri dan dipakai untuk berlatih bersama kelompoknya yang tergabung dalam Sanggar Persada. Latihan itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan mengisi acara pesta perkawinan, ritual potong gigi bagi gadis yang memasuki masa akil balik, serta syukuran setelah seseorang ditahbiskan sebagai imam dalam agama Katolik.

Sayang, karena kurang terawat, kondisi koleksi alat musik itu banyak yang dimakan kutu kayu.

Bercerita tentang bahan baku bambu untuk membuat seruling, Daniel tak pernah kesulitan mendapatkannya. Bambu tumbuh di sejumlah lokasi sekitar hutan kampung itu. Rumpun bambu setiap hari dia lewati saat pergi-pulang dari rumah ke kebun. ”Nenek moyang masih banyak punya (bambu),” katanya.

Kerisauan justru muncul karena ia belum tahu bagaimana bisa mewariskan keahliannya itu kepada generasi muda. Tak seorang pun dari anak-anaknya yang mau meneruskan keterampilannya itu. Padahal, menurut Daniel, mereka relatif sudah mahir memainkan seruling karena diajari sejak berusia dini.

”Setelah saya tidak ada, saya tak tahu nasib kesenian ini nanti,” katanya galau.
Kompas Cetak

Lota Ende Terasing di Negeri Sendiri

| | | 0 komentar
Tak banyak yang mengetahui bahwa di kawasan Nusa Tenggara Timur, khususnya Kabupaten Ende, Pulau Flores, terdapat aksara asli yang disebut Lota. Aksara ini nyaris punah.

Tim Kompas bersama peneliti aksara Lota, Maria Matildis Banda, mengunjungi sejumlah tempat di Kecamatan Ende, Ende Selatan, Ende Utara, dan Nangapanda, yaitu permukiman etnik Ende yang beragama Islam, pengguna terbesar aksara Lota pada masa lalu.

Tima (84), warga Kampung Woloare, Kota Ende, menuturkan, ia mengenal aksara Lota sejak kelas I sekolah rakyat. Karena sudah lama tidak menggunakan, Tima mengerutkan kening dan berusaha mengingat ketika diminta membaca atau menulis aksara itu.

"Saya sudah banyak lupa," katanya setelah berhasil menulis beberapa kosakata huruf Lota.

Surat beraksara Lota dulu ditulis menggunakan ujung pisau pada wunu koli (daun lontar). Hal senada diutarakan Murukana (80), nelayan Ndao.

Aksara Lota mulai kehilangan penggunanya tahun 1990-an. Generasi muda lebih suka belajar huruf Arab untuk membaca Al Quran dan huruf Latin sebagai media komunikasi. Hal ini menyedihkan mengingat aksara Lota adalah aset budaya Ende yang turut menyumbang kebinekaan Indonesia.

Mungkin hanya Mustafa Saleh Nggae (52), warga Kampung Pu’u Mbara, Kecamatan Ende Utara, yang masih mahir membaca dan menulis aksara Lota. Ia langsung membaca dengan cara bersenandung (wo’i) ketika disodori naskah prosa berjudul Ratu Jie Ne’e Ratu Re’e, yang ditulis dengan bahasa Lio Ende.

Wo’i merupakan tradisi di etnik Ende, semacam syair dalam aksara Lota yang dibacakan pada acara sunatan, pesta pernikahan, dan pembangunan rumah. Wo’i berisi silsilah keluarga, sambutan bagi kedatangan kerabat, dan doa-doa agar hajatan berjalan baik.

"Tapi, dalam tiga tahun terakhir ini jarang orang meminta wo’i," kata Mustafa, yang belajar aksara Lota dari kakeknya, Abdul Fatah (almarhum).

Aksara Lota merupakan turunan langsung dari aksara Bugis. Sejarah mencatat, aksara Lota masuk Ende sekitar abad ke-16 semasa pemerintahan Raja Goa XIV I Mangngarangi Daeng Manrabia bergelar Sultan Alaudin (1593-1639). Ia dibawa orang Bugis yang migrasi ke Ende. Aksara Bugis beradaptasi dan berkembang sesuai dengan sistem bahasa Ende menjadi aksara Lota.

Lota berasal dari kata lontar. Mulanya aksara Ende ditulis pada daun lontar. Dalam perkembangannya ditulis di kertas.

Ada delapan aksara Lota Ende yang tidak ada dalam aksara Bugis, yaitu bha, dha, fa, gha, mba, nda, ngga, dan rha. Sebaliknya ada enam aksara Bugis yang tidak ada dalam aksara Lota Ende, yaitu ca, ngka, mpa, nra, nyca, dan nya.

Aksara Lota Ende sudah diteliti sejumlah pakar linguistik dan filologi, antara lain S Ross yang hasilnya dibukukan oleh Suchtelen tahun 1921 dalam Encyclopaedisch Bureau Endeh Flores. Peneliti lain adalah Jan Djou Gadi Ga’a tahun 1959, 1978, 1984, serta Maria Matildis Banda meneliti tahun 1993 dengan dukungan dana dari Ford Foundation. Hasilnya dibukukan tahun 2005 dengan judul Deskripsi Naskah dan Sejarah Perkembangan Aksara Ende Flores Nusa Tenggara Timur.

Menurut Maria, aksara Lota sebenarnya gampang untuk dipelajari, tetapi seperti dibiarkan mati. Perhatian pemerintah daerah juga kurang. ”Padahal, salah satu tanda tingginya peninggalan budaya suatu bangsa adalah budaya tulisnya,” kata Maria, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali.

Prof Stephanus Djawanai, Guru Besar Bidang Linguistik dari Universitas Gadjah Mada, di Ende menyatakan, aksara Ende termasuk jenis silabik (syllabic writing, syllabibography, syllable writing), yang menggambarkan suku-suku kata, mirip dengan Hiragana Jepang. Jadi, bukan alfabet seperti huruf Latin.

”Tradisi penulisan aksara Lota bisa dikembangkan lewat jalur pendidikan. Strateginya, menjadikan aksara Lota sebagai salah satu pelajaran muatan lokal,” kata Stephanus.

Saran itu patut menjadi perhatian. Jika proses regenerasi terputus, bisa jadi generasi masa depan NTT tinggal mengenang aksara Lota sebagai sejarah.(SEM/RUL)
Kompas Cetak

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?