SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Mengangkat Gawi Menjadi Lagu Pop Daerah

| | |
Sejumlah warga Kampung Wolonio, Desa Fatamari, Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (3/7) melakukan gawi, menyanyi dan menari bersama dengan sukacita di pelataran pusat kampung merayakan puncak pesta syukur pada acara adat Mbama, yaitu upacara pengucapan syukur atas hasil panen padi ladang dan aneka jenis tanaman tumpang sari dalam satu musim tanam. Gawi yang dilakukan juga dengan masyarakat sekitar guna mempererat tali persaudaraan itu dilakukan dari malam sampai pagi hari.
Sukaria, dukacita, sejarah leluhur, ataupun sejarah tanah kelahiran, bagi masyarakat Lio Ende di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, biasanya diungkapkan lewat Gawi. Ini adalah tarian dan nyanyian yang dilakukan masyarakat secara kolosal dalam sebuah upacara adat.

Kini, Gawi bukan sekadar ritual adat, melainkan sudah menjadi lagu pop yang bisa dinikmati masyarakat lewat rekaman pita kaset dan video compact disc (VCD). Eman Bata Dede adalah orang yang mewujudkan hal itu.

Awalnya, Eman Bata Dede, warga Kelurahan Onekore, Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, ini sempat merasa khawatir karena saat menyampaikan idenya banyak pihak yang menolak. Itu bisa dimaklumi karena sebagian orang menganggap hal itu sebagai tabu.

Penyebabnya, Gawi bukan sekadar tarian dan nyanyian biasa, melainkan sebuah ritual sakral. Gawi adalah bagian dari upacara adat. Gawi bisa menjadi ungkapan rasa syukur sebagai ungkapan sukacita masyarakat adat bersama para roh leluhur. Jika Gawi ditarik ke ranah hiburan duniawi, ketika itu, seseorang dipercaya bisa tidak berumur panjang.
Tanpa bermaksud menyepelekan kepercayaan tersebut, Eman, panggilannya, bersikukuh untuk mewujudkan niatnya. Dia meyakini, upayanya itu justru untuk melestarikan Gawi agar tidak tergerus kemajuan zaman.
”Sekarang, album Gawi semakin banyak beredar...,” kata lelaki berusia 45 tahun itu.

Merantau

Gagasan Eman untuk membawa Gawi ke ranah pop muncul saat ia merantau ke Jakarta pada 1984, selepas lulus dari SMA. Ketika dia menyanyikan syair Gawi dalam sebuah acara di Jakarta, para undangan yang kebanyakan warga Ende yang tinggal di Ibu Kota merasa dibawa bernostalgia pada masa kecil mereka di kampung. Hadirin pun ikut bernyanyi, bahkan banyak yang sampai mencucurkan air mata.

Eman semula bermaksud merantau ke Jakarta untuk menjajal kemungkinan meniti karier sebagai penyanyi. Namun, cita-cita dia untuk menembus dunia hiburan di Ibu Kota tidak kesampaian. Setelah tujuh tahun berada di Jakarta, Eman kemudian memutuskan untuk pulang ke kampung halaman pada 1991.

Pada 1995, untuk pertama kalinya Eman meluncurkan album lagu Gawi. Isinya, antara lain, lagu ”Du’a Lulu Wula More Ngga’e Wena Tana” (puji Tuhan di surga dan bumi). Lagu rohani tersebut berisi ”ratapan” tentang kebesaran Ilahi.
Tanpa dia duga, lagu itu ternyata meledak di pasaran lokal, di Ende. Album rekaman Eman tersebut bahkan sampai dimiliki banyak warga Nusa Tenggara Timur yang tinggal di Sydney, Australia.

Pejabat perut buncit

Realitas sosial tidak luput dari pengamatan Eman dan menjadi ilham karya-karyanya. Lagu ”Moke Nae Nia” (mabuk moke, minuman khas Ende), misalnya, menggambarkan kebiasaan dari sebagian masyarakat dalam mengonsumsi minuman keras. Kebiasaan itu telah membuat mereka sampai melupakan istri dan anak-anak serta lalai menyelenggarakan tradisi adat leluhur.

Kondisi topografi wilayah Ende yang memerlukan infrastruktur jalan guna membuka isolasi antardesa dan antarkota juga digambarkan oleh Eman lewat nyanyian berjudul ”Bupati Amamara” (bupati yang kami hormati).

Eman bercerita, dia terinspirasi untuk melahirkan lagu ”Bupati Amamara” karena melihat bagaimana warga selalu meminta kepada pemerintah agar dibuatkan jalan. Permintaan itu biasanya diajukan masyarakat apabila ada pejabat yang mengunjungi desa atau kampung mereka.

Kondisi banyak jalan di Ende yang jelek, bahkan rusak berat, mengakibatkan kendaraan-kendaraan tidak bisa melintas di daerah-daerah tertentu.
Kondisi tersebut telah membuat masyarakat harus memikul hasil bumi, seperti kakao dan kemiri, sampai berkilo-kilometer jauhnya. Lagu ”Bupati Amamara” itu belakangan ini acap kali diputar masyarakat sebagai sindiran ketika bupati melakukan kunjungan lapangan.

Maraknya pejabat yang korupsi atau tersangkut penyalahgunaan dana bagi korban bencana alam pun tidak luput dari pengamatan Eman. Untuk itu, dia menggambarkannya lewat lagu ”Ame Tuka Keje” (bapak perut buncit).

Dalam lagu tersebut, Eman menggambarkan sosok pejabat yang berperut buncit lantaran dia suka sekali mengambil uang rakyat.

Mencipta dan mengaransemen

Sebanyak 14 album yang telah diproduksi Eman. Di sini dia mencipta sekaligus mengaransemen lagu-lagunya. Syair lagunya yang sederhana, mudah dicerna, dan berbasis problem lokal membuat lagu-lagu Eman mengena di hati rakyat kecil.

Selain membuat lagu-lagu pop daerah, Eman juga membuat album rohani versi Gawi yang pada 2000 meledak di pasaran. Album rohani tersebut mencapai 15.000 buah untuk pita kaset. Kaset album rohani Eman itu dijual seharga Rp 15.000 per buah, sedangkan versi VCD-nya dibanderol dengan harga Rp 50.000 per keping.

Lagu-lagu Eman bisa dikatakan laris manis di daerah. Namun, seperti dialami kebanyakan pencipta lagu, karyanya tidak lepas dari pembajakan. Pada 2005, Eman sampai harus menempuh jalur hukum di Pengadilan Negeri Ende.
”Dalam sidang itu terungkap kalau proses pembajakan dilakukan di Ujungpandang (sekarang Makassar, Sulawesi Selatan), lalu hasilnya dijual di Flores,” ungkap Eman.
Sejak kasus itu diangkat ke pengadilan, tidak terdengar lagi adanya kasus bajak-membajak karya cipta seniman di Ende.

Kini, anak sulung dari enam bersaudara pasangan Thomas Bata dan Theresia Masi itu membuka ”pintu” seluas-luasnya bagi generasi muda untuk merekam lagu pop daerah di studio miliknya. Sedikitnya 10 artis lokal sudah diorbitkan dan masuk dapur rekaman milik Eman.

Sekarang, karya-karya Eman terbukti telah membuahkan hasil. Selain Gawi sebagai lagu pop daerah semakin memasyarakat, Gawi sebagai ritual pun tetap terjaga. Bahkan, Eman pun turut membantu memudahkan pelaksanaan upacara itu.
Kalau dulu, Gawi sangat melelahkan karena orang harus menari dan menyanyi dari malam hingga pagi harinya, maka sekarang ini, hal itu tidak perlu lagi. Setelah ada album rekaman lagu Gawi, masyarakat tinggal menari.

Selain itu, masuknya Gawi ke ranah pop telah membuat semakin banyak generasi muda yang mau mengenal dan memahami Gawi.

Kompas Cetak

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?