SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Peristiwa Mandor 28 Juni 1944

| | | 2 komentar
Catatan Syafaruddin Usman MHD


Mandor Kabupaten Landak, kota kecamatan 88 km timur Pontianak. Sebuah tragedi sejarah terjadi 65 tahun silam. Tentara pendudukan Jepang melakukan pembantaian masal di Kalbar terhadap kalangan feodal lokal, cerdik pandai, ambtenar, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga rakyat jelata, dari berbagai etnik, suku maupun agama.

Borneo Sinbun suratkabar Pemerintah Bala Tentara Jepang, Sabtu 1 Sitigatu 2604 atau 1 Juli 1944 halaman pertama menurunkan berita utama (head line) bertajuk Komplotan Besar yang Mendurhaka untuk Melawan Dai Nippon Sudah Dibongkar Sampai ke Akarakarnya. Judul kecil (kicker) di bawahnya berbunyi Kepala-kepala Komplotan serta Lain-lainnya Ditembak mati. Keamanan di Borneo Barat Tenang Kembali dengan Sempurna.

Di bawah judul itu—dalam tanda kurung—tertulis Pengumuman Pasukan di Daerah Ini pada Tanggal 1 Juli 1944.

Koran Borneo Sinbun cukup dikenal di Kalbar masa itu, penerbitannya menginjak tahun kedua. Ukuran halamannya sebesar kertas folio, 5 kolom, terdiri dari 4 halaman, terbit tiga kali dalam seminggu. Pada 1 Juli 1944, tiga halaman pertama koran ini habis dimakan berita tersebut. Dalam tubuh berita (body text) antara lain tertulis .. Oleh sebab itu baru-baru ini dalam Sidang Majelis Pengadilan Hukum Ketentaraan Angkatan Laut, kepala-kepala komplotan serta lain-lainnya telah dijatuhkan hukum mati, maka pada tanggal 28 Rokugatu (28 Juni 1944 –pen) mereka pun telah ditembak mati.

Setidaknya ada 48 nama korban yang dimuat Borneo Sinbun hari itu, lengkap dengan keterangan umur, suku, jabatan atau pekerjaan. Mereka adalah JE Pattiasina, Syarif Muhammad Alkadri, Pangeran Adipati, Pangeran Agung, Ng Nyiap Soen, Lumban Pea, dr Rubini, Kei Liang Kie, Ng Nyiap Kan, Panangian Harahap, Noto Soedjono, FJ Loway Paath, CW Octavianus Lucas, Ong Tjoe Kie, Oeray Alioeddin, Gusti Saoenan, Mohammad Ibrahim Tsafioeddin, Sawon Wongso Atmodjo, Abdul Samad, dr Soenaryo Martowardoyo, M Yatim, Rd Mas Soediyono, Nasaruddin, Soedarmadi, Tamboenan, Thji Boen Khe, Nasroen St Pangeran, E Londok Kawengian, WFM Tewu, Wagimin bin Wonsosemito, Ng Loeng Khoi, Theng Swa Teng, dr RM Ahmad Diponegoro, dr Ismail, Ahmad Maidin, Amaliah Rubini (istri dr Rubini), Nurlela Panangian Harahap (istri Panangian), Tengkoe Idris, Goesti Mesir, Syarif Saleh, Gusti A Hamid, Ade M Arief, Goesti M Kelip, Goesti Djafar, Rd Abdulbahri Danoeperdana, M Taoefik, AFP Lantang, dan Rd Nalaprana. (Kaum-kerabat, anak-cucu korban, kini pasti ada bertebaran di Nusantara ini—pen).



Tuduhan terhadap para korban itu diungkapkan pula oleh Borneo Sinbun: Apa yang diidamkan oleh mereka ialah sambil mempergunakan kekalutan keamanan sewaktu Bala Tentara Dai Nippon memasuki daerah ini, melaksanakan kemerdekaan Borneo Barat dengan sekaligus. Diungkapkan pula, penangkapan secara besar-besaran pertama kali dilakukan tentara Jepang subuh 23 Zyugatu (23 Oktober 1943), disusul penangkapan gelombang kedua subuh 24 Itigatu (24 Januari 1944). Sekitar tiga tahun mendaulat Kalimantan Barat, tentara pendudukan Jepang telah membantai 21.037 warga versi Pemprop Kalbar 1977. Dari lingkungan Istana Kadriyah Pontianak, Jepang bukan cuma menangkap dan membunuh Sultan Syarif Muhammad Alkadri, tetapi juga 59 korban lainnya. Sungguh sedikit nama-nama korban yang tertulis di Borneo Sinbun itu.

Adapun data 21.037 korban ini terungkap dari mulut Kiyotada Takahashi seorang turis Jepang yang berkunjung ke Kalbar 2-122 Maret 1977 kepada Mawardi Rivai (alm) seorang wartawan di Pontianak. “Saya ingat dan masih punya catatan tentang jumlah korban yang tertangkap ataupun terbunuh secara masal pada sekitar bulan Juni 1944, yaitu 21.037 orang. Tapi saya kurang mengetahui dengan pasti apakah semua tawanan itu dibunuh di daerah Mandor. Akan tetapi tentang jumlah korban tersebut pernah tercatat dalam sebuah dokumen perang yang tersimpan di museum di Jepang,” ucap Kiyotada Takahashi. Takahashi datang ke Pontianak bersama 21 orang turis Jepang lainnya, dan mereka sempat berziarah ke Mandor dan meneteskan air mata di sana.

Iseki Dan Takahashi Bersaksi

Satu buku berjudul Peristiwa Pembantaian Penduduk Borneo Barat: Pembuktian Peristiwa Pontianak (Juli 1987) ditulis Tsuneo Iseki. Ia pernah menetap di Kalimantan Barat pada 1928-1946 dan bisa berbahasa Indonesia. Pada 29 Januari 1942 pasukan Jepang mendarat di Kota Pontianak. Waktu itu, tulis Tsuneo Iseki dalam bukunya, kontrol administrasi Borneo (Kalimantan) di bawah Angkatan Darat (Rikugun) Jepang. Kemudian dialihkan ke tangan Angkatan Laut (Kaigun). Pontianak berada di bawah pemerintahan militer Pasukan ke-22 Kaigun, bermarkas besar di Balikpapan. Adalah Letnan satu Yoshiaki Uesugi yang menjadi komandan pasukan di Pontianak.

Uesugi, 25 tahun, sangat patriotik dan punya disiplin tinggi. Maka setibanya di Pontianak, ia melakukan reformasi. Dibentuklah pasukan khusus istimewa, Tokkei Kaigun dipimpin Letnan Dua Yamamoto. Anggotanya 10 orang, ditambah empat (dua pribumi dan dua Tionghoa) informan yang diambil dari warga sipil setempat. Selain membentuk Tokkei, Uesugi mengeluarkan aturan baru: warga Jepang di Pontianak dilarang beristri dua. Jika mereka sudah telanjur punya gundik, misalnya, harap menyerahkannya kepada pasukan Jepang agar dijadikan wanita penghibur (jugun ianfu).

Pada awal pendudukan Jepang, tulis Iseki, keadaan di Kota Pontianak dan masyarakatnya sangat damai. Tidak ada gerakan anti-Jepang. Tapi pada Juli 1943, terbongkar komplotan melawan Jepang di Banjarmasin. Otaknya adalah BJ Haga bekas Gubernur Belanda di Borneo. Tentara Jepang tak memberi ampun. Haga dan 800 orang yang dituduh terlibat gerakan itu dihabisi oleh Administrator Kaigun, Iwao Sasuga. Rupanya, berdasarkan informasi dari para informan Jepang, kelompok Banjarmasin itu telah menjalin hubungan dengan para aktifis di Pontianak. Tentu informasi dari Amir, seorang informan di Tokkei ini, membuat pihak Jepang marah. Menurut amir, Manajer Asahikan sebuah bioskop di Pontianak Ahmad Maidin, malah telah menyebarkan berita fitnah yang meresahkan. Misalnya, kota Surabaya dibom dan pasukan Jepang kalah perang terus. Kabar itu tersebar pada Juli-Agustus 1943.

Atas informasi tersebut, beberapa hari kemudian Maidin ditangkap polisi khusus Kaigun. Setelah itu, Iseki yang bekerja pada Sumitomo Shokusan, didatangi Tokkei. Ia diminta mengikuti operasi militer menangkap orang-orang anti jepang. Terjaringlah sekitar 60 orang yang dituduh sebagai orang anti Dai Nippon.

Beberapa hari kemudian Iseki diminta menjadi penerjemah dalam pemeriksaan. Di situlah ia bertemu Maidin. Maidin menduga dirinya dituduh punya kontak dengan komplotan Banjarmasin, padahal mendengar komplotan itu saja Maidin baru ketika itu. Tapi polisi khusus memaksanya harus mengaku. Lim seorang Tionghoa yang dikenal Iseki, juga diperlakukan sama. Untuk itu, Iseki berjanji memperjuangkan Lim semaksimal mungkin. Ternyata itulah pertemuan terakhir kalinya dengan Lim dan Maidin.

Pada akhir Januari 1944 terjadi lagi penangkapan tahap II. Sekitar 120 orang yang ditangkap, antara lain tokoh-tokoh Singkawang. Sedangkan penangkapan tahap III terjadi pada Februari 1944, menimpa para ambtnaar dan kaum intelektual pada zamannya. Pada 28 Juni 1944 itulah saat yang menyeramkan warga Pontianak. Waktu itu, demikian Iseki dalam bukunya, dilakukan pengadilan kilat terhadap 48 tokoh. Hari itu pula, para perintis kemerdekaan itu divonis hukuman mati dan langsung ditembak saat itu. Tawanan yang lain, yang berjumlah sedikitnya 1.000 orang papar Iseki, dipancung dengan samurai tanpa diadili.

Siapakah Takahashi? Ia bukan lain, mantan opsir Syuutizityo Minseibu yang pernah tinggal di Jalan Zainuddin Pontianak. Selain Takahashi, dalam rombongan itu terdapat beberapa orang lagi bekas Kaigun Minseibu yang pada hari tuanya telah menjadi pengusaha. Takahashi sendiri, pada tahun 1977 itu adalah Presiden Direktur perusahaan Marutaka House Kogyo Co Ltd.

Data akurat tentang jumlah korban ini memang belum ada, namun untuk sementara data inilah yang dijadikan pegangan Pemprop Kalbar. Sedangkan satu-satunya dokumen tertulis yang ada di Kantor Arsip Pemprop Kalbar hanya selembar suratkabar Borneo Sinbun tersebut. Itu pun hanya halaman 1 dan 2 saja. Namun dari beberapa sumber yang pernah membaca berita tersebut selengkapnya, di halaman 3 suratkabar itu disebutkan bahwa jumlah korban seluruhnya sekitar 20.000 orang!

Akhirnya Jepang jatuh dihajar Sekutu. Bergantian pula pihak Sekutu (dan Belanda) yang mengadili tentara Jepang. Kekalahan ini juga membuat Iseki yang pernah bergabung pada Rikugun Jepang di Kuching malaysia ditahan di sebuah kamp milik Australia. Pada 30 Januari 1946, tulisnya, ia dikirim ke Pontianak dengan naik pesawat amfibi Belanda. Dirinya dituduh sebagai kriminal Jepang. Ketika pesawat itu mampir di Kuching, ada sekitar 30-an bekas prajurit Kaigun yang senasib dengan Iseki untuk dikirim ke Pontianak. Di antara tawanan itu, ia bertemu dengan Seichi Hirayama. Lalu Iseki bertanya apakah Hirayama juga membantai penduduk Pontianak. Ia menjawab ia ikut melakukannya. Soalnya, kata Hirayama kutip Iseki itu perintah militer Jepang. Mendengar itu Iseki menyarankan agar Hirayama mencabut ucapannya itu. Tapi ia tak mau. Alasannya pembunuhan itu atas perintah atasan.

Tanpa terasa pesawat pun mendarat di Pontianak. Para tawanan perang disambut massa rakyat Pontianak dengan teriakan kebencian. Di hadapan pemeriksa pihak Belanda, Iseki mengatakan bahwa ia tidak pernah membunuh penduduk asli. Tak pernah pula menyiksa warga Pontianak. Ketika itu ia disuruh memeriksa mereka oleh atasan sebagai penerjemah. Menurutnya, peristiwa Pontianak itu tidak lain adalah sebuah kesalahan, memanfaatkan kekuasaan atas dasar kekuatan militer. (*)

sumber equator-news.com

Pahlawan yang Terabaikan – Tak Menyusahkan Orang

| | | 0 komentar
Sepanjang Jumat (1/8), POSMETRO kembali berniat menemui Anwar. Namun, “Sang Letnan” menghilang dari Simpang Kandang. Dua onggok batu yang biasanya jadi sandaran Anwar kehilangan tuannya. Anwar raib. Padahal hari masih pagi, jarum jam baru berada di angka sembilan. Kemana Sang Letnan itu?
Ketika ditelusuri hingga ke RTH (Ruang Terbuka Hijau) Imam Bonjol, tempat biasanya Anwar tidur ketika penat datang mendera tubuh rentanya. Benar juga, tubuh renta Anwar tergolek diantara rumpun hijau Imam Bonjol. Namun ada yang lain dari penampilan Anwar hari ini. Bajunya tak hanya buram seperti kemarin. Tapi lebih parah. Kemeja biru yang dipakainya sudah tak berbuah. Mempertontonkan tulang-tulangnya yang kelihatan menonjol dibalut kulit keriput. Perutnya kempis. Sandalnyapun berlainan warna, hijau dan biru berbalut seutas tali plastik warna putih.
Saat didekati, Anwar terlihat tengah tidur pulas. Dadanya terlihat turun naik beraturan, membusung. Tulang dadanya semakin menonjol. Perlahan mata Anwar terbuka. Sesaat pandangannya kosong. “Tadi saya pingsan nak, perut lapar. Padahal saya belum dapat apa-apa. Saya tak kuat berdiri. Untunglah ada seorang tukang becak yang kasihan pada saya. Membelikan saya sebungkus nasi telur. Tapi badan ini masih lemas,” terang Anwar lesu. Seperti sebelumnya, walaupun tubuh rentanya masih lemah, Anwar tetap bercerita panjang lebar tentang kerasnya hidup yang dilewatinya selama 10 tahun hidup dijalanan.
“Saya hanya kuat berdiri di simpang ini sampai pukul 11 siang. Tubuh ini sudah terlalu tua untuk lama-lama berdiri. Matahari terlalu garang. Berlainan benar waktu muda dulu, beratnya medan tempur selalu bisa saya taklukkan. Ah, sampai kapan tubuh ini bisa bertahan menunggu kepingan logam. Saya tak tahu,”Anwar menerawang. Perlahan, rentetan-rentetan kehidupan Anwar mulai terkuak. Celoteh panjang Anwar menguak tabir hidupnya. Rupanya, Anwar juga pernah menjadi awak kapal barang berbendera Jerman. Lulus di Sekolah Sembilan (Belakang Tangsi) tahun 1930. Anwar mulai berpetualang.
Dari tahun 1932 sampai 1939 Anwar berlayar. Dalam kurun waktu itu tak sedikit keragaman budaya yang dilihat Pak Tua. “Setelah lulus di sekolah Belakang Tangsi 1930, rantau yang sempat saya jelejahi selama tujuh tahun hingga berbagai negara yang ada di Asia sampai ke Australia. Kemudian, pulang untuk berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas kapal, sementara bangsa kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang memanggil jiwa ini untuk ikut berjuang,” terang Anwar.
Anwar berpetualang, menyelusuri setiap pelosok tanah Indonesia untuk berjuang mengusir Sang Meneer dari Indonesia. Awalnya hanya bermodalkan bambu runcing. Anwar akhirnya mendapatkan senjata rampasan dari tentara Belanda. Senjata ditangan, Anwar muda mulai merengsek. Memuntahkan pelurunya di barisan terdepan pejuang Indonesia. “Pada awalnya tak ada senjata. Kami hanya bermodalkan bambu. Namun, dari tangan belanda yang berhasil kami bunuh, kami nisa memperoleh senjata. Dengan itulah kami menyerbu musuh. Mengambil topinya sebagai “cinderamata” dari medan tempur,” lanjut Anwar.
Hingga Akhirnya Indonesia merdeka. Belanda pergi dari tanah Bangsa. Tentu, kemerdekaan itu adalah hasil perjuangan pahlawan kita. Termasuk Si Anwar yang berjuang di dua episode perang tersebut. Anwar bertarung dengan gagah. Namun apa yang didapatkan sang Letnan? Hingga detik ini Anwar masih berstatus pahlawan bangsa yang terabaikan. Pahlawan yang menyongsong hari tuanya dengan melakoni profesi sebagai pengemis. Indonesia merdeka, namun Anwar masih tetap “terjajah oleh hidup!”
Memang, dulu Anwar pernah diberi secarik kertas bertuliskan penganugrahan sebagai pejuang oleh pemerintah. Namun, karena jalan hidupnya yang sering berpindah tempat “surat wasiat” itu raib entah kemana. Padahal, surat itu adalah sebagai landasan Anwar untuk menerima haknya sebagai seorang veteran. “Dulu saya memang ada diberi surat oleh pemerintah. Kalau tak salahnya surat Bintang Gerilya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu adalah syarat untuk menerima tunjangan dari pemerintah.
Tapi tak apalah, saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang bukan untuk uang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta, tapi saya tak menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal. Sekarang saatnya susah. Hidup seperti roda. Kadang di bawah. Sekali lagi, saya berjuang untuk Indonesia. Melihat Merah Putih berkibar tanpa gangguan itu adalah suatu kebanggaan tersendiri. Tak ada yang membuat saya bahagia kecuali melihat kibaran bendera Indonesia,” celoteh Anwar.
Memang Anwar tak minta apa-apa dari perjuangannya. Tapi, apakah kita tega melihat orang yang melepaskan kita dari jeratan penjajah harus terlunta. Mengemis untuk hidup. Tanah kemerdekaan yang kita pijak adalah hasil dari muntahan peluru Pahlawan mengusir penjajah. Namun kenapa kita menutup mata untuk itu. Apakah rasa penghormatan kepada para Pahlawan sudah pudar dihantam terjangan zaman. Sekali lagi, jangan lupakan Anwar yang telah gigih perjuangkan bangsa. Pemerintah? mungkin lupa juga akan nasib Sang Kapten.

Kisah Perang Melawan Jepang

| | | 1 komentar
Sesuai catatan sejarah ada 2 orang perwira bangsa Indonesia yang pertama-tama terlibat perang frontal dengan tentara Jepang yaitu Kapten inf. J.Kaseger dan Letnan Satu inf. Didi Kartasasmita.

Kedua-duanya adalah lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.Tentara Jepang mulai menyerang Pulau Ambon pada tanggal 8 Januari 1942 dengan serangan dari udara dan laut tetapi baru mendarat pada tanggal 30/31(malam) Januari 1942 dibawah pimpinan Mayor Jenderal Takeo Ito yang terdiri dari 5300 orang,400 ekor kuda dan 110 kendaraan bemotor dan dibantu oleh kurang lebih 1000 orang marinir.

Pulau Ambon dipertahankan oleh tentara Hindia Belanda(KNIL) dibawah Letkol. Inf.J.L.R.Kapitz dengan pasukan ang terdiri dari 2600 orang ditambah bantuan tenatara Australia sebanyak 1170 orang.Kapt J.Kaseger adalah komandan kompi 4 dan Lettu Didi Kartasasmita komandan kompi perajurit bumiputera dan wajib latih.

Pertempuran belangsung satu minggu dan pada tanggal 7 Februari 1942, Belanda menyerah dan yang menyerah paling akhir adalah kompi dari Lettu Didi Kartasasmita. Namun dicatat bahwa korban tentara Jepang adalah 2400 orang belum termasuk dari marinir.Satu kapal torpedo Jepang tenggelam di Teluk Ambon karena kena ranjau laut.

Oleh sebab mereka orang bumiputera maka Kapt.J.Kaseger dan Lettu yang ditangkap Jepang dan ditahan sebentar, diperbolehkan pulang ke tempat asal mereka tetapi karena Kapt.J.Kaseger beristrikan wanita Belanda totok, ia ditangkap lagi dan meninggal dalam kamp konsentrasi sedangkan Lettu Didi Kartasasmita yang belum menikah, pulang ke Jawa Barat dan turut mendirikan PETA dan BKR.

Ia adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang mempunyai pengalaman untuk bertempur melawan tentara asing(Jepang) .Tentara Jepang menyerang dan mendarat di pulau Tarakan pada tanggal 11 Februari 1942 yang terdiri dari 3 batalyon( dari resimen inf.146) kira-kira 3000 orang dan 1 batalyon mariner. Tentara Hindia Belanda berkekuatan 1100 termasuk orang bumiputera Indonesia yaitu Korps Mangkunegaran Sayang tidak ada cacatan mengenai pewira-perwiranya dan berapa banyak juga yang gugur.

Tanggal 29 Juli 1942, sersan Julius Tahija dengan pasukan sejumlah 12 orang. Berhasil menggagalkan pendaratan tentara Jepang yang terdiri dari beberapa ratus orang di Saumlaki kepulauan Tanimbar.Sersan J.Tahija kehilangan 8 orang yang mati tetapi tentara Jepang mengundurkan diri.Untuk kejadian ini Julius Tahija dianugerahi oleh Belanda bintang Militaire Willems Orde yang sama tingkatnya dengan Victoria Cross(Inggris) atau Congessional Medal (Amerika).

Perang gerilya melawan tentara Jepang di Kolonedale yang berlangsung lama setelah tentara Hindia Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942..Perang gerilya itu berlangsung sampai tanggal 25 Agustus 1942 dibawah komando sersan J.Klinkhamer( karena para perwiranya terbunuh dan tertangkap) yang akhirnya diteruskan oleh sersan KNIL Kapojos yang adalah orang bumiputera.

Peristiwa pemberontakan PETA di Blitar (daiichi dai dan) yang dipimpin oleh Daidanco Soepriadi.Yang mana semua pelakukunya dihukum pancung kecuali Soeprijadi yang melarikan diri dan konon berharakiri dengan menerjunkan diri dalam kawah gunung Bromo karena jika tertangkap tentara Jepang ia akan disiksa berat.(meskipun denikian secara absensia ia pernah diangkat menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinet Republik Indonesia yang pertama).

Peristiwa Lengkong tgl 25 Januari 1946, yaitu pertempuran melawan tentara Jepang dan para perwira bumiputera Indonesia yang mempertahankan Akademi Militer di Tangerang dan Jepang ingin merebut kembali senjatanya.Yang gugur pada waktu itu adalah Mayor inf.Daan Mogot dan Lettu inf. Soebianto Djojohadikusumo( 21 Tahun) dan Soejono Djojohadikusumo( 16 tahun).

Kemudian terjadi beberapa penyerangan kecil-kecilan tetapi bukan perang , dalam usaha untuk merebut senjata Jepang di kota Yogya ,Solo dan beberapa kota lain tetapi yang berupa perang adalah pertempuran lima hari di Semarang yang terjadi pada tanggal 14 sampai dengan 19 Oktober 1945, yang mana tentara Jepang dipimpin oleh Butaicho Kido yang sangat berpengalaman tempur karena pernah merebut Syonanto(Singapura) yaitu pasukan istimewa atau sekarang dinamakan special troops atau pasukan komando.

Pasukan ini terdiri dari pasukan cadangan dibawah komando kapt.Yamada, pasukan tempur dibawah komando mayor Yagi, kompi 9 dibawah kapt..Motohiro . kompi 10 dibawah kapt. Nakasima dan pasukan artileri dibawah kapt.Fukuda) .Para pemuda Semarang pada waktu itu berada dibawah pimpinan S.Broto(komandan Barisan Srobot). Ali Said,Sudharmono, Hoegeng,Wongsonegor o(residen) dll.Memang banyak berdatangan para pemuda dari Pati,Purwodadi, Solo dan Yogya untuk membantu melawan tentara Jepang .

Pertempuran ini adalah yang kedua hebatnya setelah Surabaya dan mengakibatkan berpuluh ribu korban diantara para pemuda dan penduduk dan pada waktu itu tentara Jepang melakukan hal-hal yang sangat kejam seperti memenggal kepala para pemuda yang tetangkap.Hal itu dilakukan dengan menggepe (menjepit) dan mengikat dada dan punggung para pemuda dengan dua batang bambu dalam barisan 5 orang. Pada waktu itu ada 3 barisan dan algojo dengan satu kali tebas memotong 2 atau tiga kepala.

Pada barisan terakhir mungkin kekuatan algojo sudah kurang dan barisan ambruk oleh badan manusia yang tak berkepala sehingga ada 2 orang yang ikut jatuh dan pura-pura mati bermandi darah kawan-kawannya. Rupanya Jepang sendiri juga sudah groggy dan tidak mengadakan pemeriksaan lagi dan terus pergi.Kejadian ini berlangsung di depan kantor Kenpetai( sekarang Markas Kodam) dan mereka yang selamat, melarikan diri masuk kedalam Kali Sari yaitu Warkam Murtiharsojo (Jl.Papandayan Belakang Semarang).

Pada waktu pertempuran 5 hari itu seluruh kampung Batik Semarang di bakar habis oleh Jepang tetapi dibumihanguskannya kampung Pandean Lamper Lor oleh tentara Jepang, baru dilakukan sesudah pertempuran 5 hari. Pada waktu itu kampung Pandean Lamper Lor dibakar dan penduduk yang keluar menyelamatkan diri ditembaki dengan senapan mesin dan Markas Pemuda yaitu rumah Drh Marah Rusli(pengarang Siti Nurbaya), dengan komandan pemuda Rushan Rusli(ayah Harry Rusli), juga ikut dibakar. Mungkin Suharto ada diantara pasukan yang datang membantu dari Yogya.

Sumber:
1)Seratus tahun KNIL di Hindia BelandaOleh sejarawan militer Kapt. Pieter van Meel(terjemahan oleh Wal Suparmo)
2) Sejarah pertempuran lima hari di SemarangOleh Mr.Han Bin Siong & Dipl.Ing J.M.Rebel(idem)
3) Warkam Murtiharsojo

diposkan oleh ludihasibuan

Ada Apa Dengan Perang Dunia

| | | 0 komentar
PERANG DUNIA I menandai mulai munculnya sejumlah besar gejala yang mematikan. Salah satu di antaranya adalah bahwa perang mulai menyerang tidak hanya pasukan tentara, tetapi juga rakyat sipil. Pengeboman pertama yang ditujukan kepada penduduk sipil adalah serangan pada tahun 1915 ke Inggris oleh pesawat zeppelin Jerman. Bom yang dijatuhkan dari pesawat zeppelin ini meminta korban nyawa banyak orang tak berdosa.
Kapal selam Jerman U-boat memulai operasi untuk menembaki kapal-kapal sipil yang melintasi Samudera Atlantik. Pada tanggal 7 Mei 1915, kapal lintas-atlantik terbesar di dunia, Lusitania, tenggelam tepat di dekat pantai Irlandia karena serangan kapal U-boat. Dari 2.000 orang penumpang Lusitania, sejumlah 1.195 orang tenggelam atau tewas dalam serangan tersebut.

Bencana perang lainnya adalah senjata kimia. Gas beracun, senjata yang pertama kali digunakan oleh Prancis dan kemudian juga oleh Jerman, menyebabkan kematian menyedihkan ribuan serdadu. Banyak serdadu menjadi buta karena gas tersebut, dan pasukan harus membagikan topeng anti gas sebagai alat pelindung. Rakyat sipil pun diberikan topeng anti gas untuk melindungi mereka dari ancaman yang seringkali mematikan ini. Bahkan anak-anak kecil pun binasa.

Medan paling ganas dari Perang Dunia I terlihat di Canakkale. Armada Prancis dan Inggris mendobrak garis pertahanan Kekhalifahan Utsmaniyyah dan memulai serangan ke arah Laut Hitam. Namun, armada terbesar di dunia ini terhenti dengan serta-merta saat berhadapan dengan pasukan meriam Turki.

Setelah menderita kekalahan di laut ini, Inggris mengirim pasukan darat ke Gallipoli. Tentara Turki menunjukkan jiwa kepahlawanan yang bersejarah dan memukul balik serangan ini. Setelah perang yang berlangsung selama berbulan-bulan, pasukan Inggris terpaksa menarik diri dari Canakkale. Sejumlah 250.000 serdadu Turki, ditambah dengan serdadu Anzac dan Inggris dalam jumlah yang hampir sama, menemui ajal mereka di sini.

Di pertempuran Gallipoli, tentara Kekhalifahan Utsmaniyyah Turki dengan gagah berani menghadang pasukan musuh yang dipimpin Inggris. Dalam pertempuran itu sekitar 250.000 serdadu Turki ditambah dengan serdadu Anzac dan Inggris dalam jumlah yang hampir sama, menemui ajal mereka.

Pada tahun 1918, Perang Dunia I akhirnya berakhir, setelah empat tahun serangan tanpa guna di tangan tentara Jerman, Prancis, dan Inggris. Namun perdamaian ini, yang dinyatakan pada jam 11 pagi, hari kesebelas dari bulan kesebelas, tidak membawa kebahagiaan untuk siapa pun.

Ratusan ribu serdadu menjadi cacat. Sebagian lainnya terbukti tidak mampu mengatasi dampak kejiwaan karena perang setelah tinggal di dalam parit yang penuh dengan lumpur, kotoran, dan mayat. Bentuk trauma yang dikenal sebagai “shell shock” atau “kejutan bom” sangat umum di antara para veteran perang, dan hal ini menyebabkan penderitanya mengalami serangan ketakutan dan goncangan yang berat. Rasa takut akan dibom, yang mereka alami setiap hari selama empat tahun berturut-turut, telah terukir di benak mereka. Ada beberapa penderita yang merasa harus segera bersembunyi hanya karena kata ‘bom’ disebutkan. Beberapa veteran bahkan merasa ngeri setiap kali mereka melihat seragam. Puluhan ribu serdadu juga kehilangan satu atau lebih anggota badannya dalam perang ini. Serdadu ini adalah tentara yang mata, dagu, atau hidungnya menjadi cacat selama pengeboman, sehingga topeng khusus diciptakan di Eropa untuk menyembunyikan wajah mereka yang cacat.

Derita yang parah akibat Perang Dunia I juga tercermin di dalam karya seni. Hasil karya sesudah perang menggambarkan kesakitan dan penyakit jiwa. Karya-karya ini tidak hanya mencerminkan keadaan jiwa sang seniman, namun juga keadaan jiwa seluruh generasi tersebut. Generasi yang merasakan akibat kesengsaraan perang yang sangat mendalam ini kemudian dijuluki “Generasi yang Hilang.”

Kehancuran yang diakibatkan oleh perang
Sebagaimana yang telah kita saksikan, perang adalah perantara kekejaman yang besar yang tidak bermanfaat bagi pribadi atau pun masyarakat. Perang adalah malapetaka kemanusiaan yang menimbulkan kepedihan besar dan menorehkan luka yang dalam kepada manusia, yang akan perlu waktu lama, jika dapat disembuhkan.

Allah, di lain pihak, telah memerintahkan manusia untuk menghindari perang dan mengutamakan perdamaian. Allah memberi kabar gembira untuk orang yang melakukan amal saleh:

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Qashash, 28:83)
Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat? (QS. Shaad, 38:28)

Jadi, apakah penyebab bencana ini, yang telah mengubah Eropa menjadi lautan darah? Mengapa para pemimpin negara-negara berkuasa menjerumuskan bangsa mereka ke dalam lembah kematian yang sia-sia ini?

sumber thomy265.wordpress.com

Tarakan, “Pearl Harbor” Indonesia yang Terlupakan

| | | 1 komentar
Sumber minyak mentah di bumi Tarakan adalah salah satu pemicu Perang Pasifik yang terabaikan. Fakta sejarah ini terkubur oleh sudut pandang sejarah Perang Dunia II dari sisi Amerika Serikat yang lebih membesar-besarkan kisah Perl Harbour. Tarakan, sebuah pulau kecil yang kaya minyak. Tarakan pernah menjadi surga bagi kolonialis Belanda. Begitu juga Jepang tatkala berhasil merebut pulau itu.

PULAU Tarakan di Kalimatan Timur bisa disebut sebagai “Pearl Harbour“-nya Indonesia. Drama pertempuran berdarah yang terjadi di pulau kecil ini adalah bagian penting sejarah Indonesia. Tetapi, sejarah itu terlupakan begitu saja. Pembahasan Perang Pasifik selama ini hanya seputar Pearl Harbor, perebutan Iwo Jima, kembalinya MacArthur ke Philipina, hingga bom atom Hirosima dan Nagasaki. Sejarah ala Paman Sam ini menggambarkan Amerika bangkit dari korban kekejaman agresor menjadi pahlawan perang.

Tarakan adalah daratan pertama Nusantara yang diserbu bala tentara Jepang pada dini hari, 11 Januari 1942. Diawali dengan serangan udara pesawat Jepang terhadap posisi pertahanan pasukan Belanda yang lebih dahulu menguasai di sana.
Sekitar 20 ribu serdadu Kekaisaran yang dimotori Pasukan Kure, pasukan elit angkatan laut Jepang, mendarat di pantai timur Tarakan dalam dua kelompok. Pihak Belanda berusaha bertahan, meski tanpa harapan untuk bisa mengusir tentara Nipon. Bermodalkan 1.300 serdadu Batalion VII KNIL, segelintir kapal perang ringan, pesawat tempur dan bomber.

Pulau kecil yang kaya minyak itu pun akhirnya bagaikan neraka. Sebelum pasukan Jepang mendarat, terlebih dahulu tentara Belanda membakar ladang-ladang minyak di Tarakan agar lawannya tidak mendapatkan pasokan bahan bakar.,Dalam pertempuran tak seimbang itu, Belanda akhirnya kalah telak. Sebagian tentaranya tewas terbubuh, dibunuh dan lainnya menjadi tawanan. Tak sedikit pula korban di pihak sipil.
Namun, terjadilah balas dendam terhadap Jepang. Lagi- lagi Tarakan menjadi neraka. Pasukan sekutu yang berintikan tentara Australia dengan bantuan Amerika Serikat (AS) mulai menggempur posisi Jepang di Tarakan.

Demikianlah perang Tarakan seolah terlupakan. Menjelang Perang Pasifik berakhir, tepat 1 Mei 1945, Tarakan digempur oleh 20 ribu serdadu Australia melawan 2.000 angkatan laut Jepang. Drama kemanusiaan babak kedua terjadi di sana.
Gempuran pasukan sekutu terhadap pasukan Jepang, secara simultan juga dilakukan di wilayah-wilayah yang dikuasi, mulai dari Malaya, Pattani, Philipina, Hongkong sampai wilayah Jepang sendiri. Hal ini menyebabkan bantuan dari negara induknya semakin sulit. Pasukan Jepang di Tarakan pun harus berjuang sendiri di tengah gempuran pasukan Australia yang telah lama menyimpan dendam kesumat. Pasukan sekutu yang sebelumnya berhasil diusir Jepang dari berbagai wilayah pendudukan di Asia, kembali bangkit.

Di Tarakan, pasukan Jepang tidak hanya kalah jumlah, tetapi teknologi persenjataan juga sudah ketinggalam dari yang dimiliki pasukan sekutu. Tetapi, jiwa patriotisme tentara Jepang yang pantang menyerah terhadap lawan, menjadikan di pihak tentara Australia banyak jatuh korban.

Sampai berakhirnya perang di Tarakan, lebih dari 2.000 tentara dari berbagai kebangsaan, tewas di sana. Dari pihak Australia, sekitar 230 tentaranya tewas dan dimakamkan di Tarakan. Ini merupakan sebuah tragedi bagi negeri Kangguru itu. Kabar memilukan bagi rakyat Australia terjadi ketika Letnan Thomas Derrick tewas di tangan penembak gelap tentara Jepang yang bersembunyi di hutan belantara Tarakan. Derrick dikenal sebagai sosok pemberani, pernah bertempur di Afrika, Papua, dan akhirnya gugur di Tarakan menjelang perang dunia kedua berakhir. Korban dari pihak Jepang sendiri juga cukup besar. Tercatat lebih dari 1.500 prajurit Jepang tewas saat merebut Tarakan dari tangan Belanda hingga pertempuran terakhir dengan pasukan Australia.

Kepulauan Nusantara, termasuk Asia Tenggara, pada dekade 1930- 1940 merupakan sumber utama bahan mentah bagi negara industri kapitalis Barat maupun Jepang. Bahan mentah, terutama pasokan bahan bakar minyak sangat vital bagi industri dan mesin perang mereka di Asia-Pasifik.
T
ak pelak lagi, konfrontasi berujung pada perang terbuka di Pasifik memang ditujukan untuk menguasai sumber daya alam, terutama minyak. Sasaran utama tersebut meliputi ladang-ladang minyak di Kalimantan Timur, Palembang di Sumatera dan Cepu di Jawa Tengah.

sumber .vivaborneo.com

Tersangka ‘Teroris’ yang Bebas Berkeliaran: Tabung Gas 3 Kg

| | | 0 komentar
Terlalu sering kita mendengar kisah tragis tentang meledaknya tabung Gas ukuran 3 Kg. Terlalu bosan pula kita mendengar ‘petuah’ para penyelenggara ini tentang cara menggunakan kompor & tabung ‘jatah’ ukuran 3 Kg.

Tabung gas ukuran 3 Kg adalah jenis tabung yg diproduksi atas pesanan pemerintah demi tercapainya program alih minyak tanah ke Gas. Sudah menjadi kebiasaan, setiap ada proyek dari pemerintah, apalagi ini termasuk mega proyek, selalu saja ada pihak2 yang ‘nakal’ yang coba coba cari untung dari kelemahan program ini.

Kelemahan ? Lihatlah, salah satu langkah utama dalam menjalankan program alih minyak tanah ke Gas ini adalah pembagian secara gratis seperangkat kompor komplit, yang diperuntukkan bagi warga pedesaan dan atau warga kota yg berekonomi lemah, yang sebelumnya selalu mengandalkan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk masak memasak. Sebagaimana biasa, pemerintah tidak atau kurang melakukan kontrol terhadap peralatan yang diperuntukan bagi rakyat kecil/ pedesaan.Padahal kompor gas tidaklah sesederhana kompor minyak tanah yang sistim kerjanya mudah dipahami oleh orang paling bodoh sekalipun. Belum lagi sifat mudah terbakarnya yang menimbulkan kerawananan kerawanan baru, hingga setiap ketidak standaran alat Gratisan ini punya potensi ancaman kebakaran dan atau ledakan. Timbulnya ketidak standaran tabung, slang dan regulator sangat dimungkinkan oleh sistim pengadaanya yg Dibagikan Secara Gratis. Sesuatu yang diperoleh secara Gratis menjadikan si penerima merasa sungkan ( tidak enak hati ) kalau ternyata barang yang diterimanya cacat atau tidak sesuai standar. Sehingga, munculnya resiko kebakaran dan atau ledakan tinggal soal waktu belaka.

Sikap nrimo dari kaum marginal inilah yang segera dimanfaatkan oleh oknum2 pengusaha nakal yg ingin meraup untung dengan mensiasati kompor & tabung gratisan ini. Apa saja yg mereka curangi ? Yang mudah ditelusuri secara awam adalah pengurangan isi tabung. Yang seharusnya 3 Kg menjadi berkurang hingga tinggal 2,5 atau 2,25 Kg. Yang sulit dtelusuri adalah dari pihak produsen Kompor -Tabung serta perangkat pendukungnya seperti, regulator, slang dll.Kesulitan untuk mengetahui kestandaran alat kompor &tabungnya ini adalah karena itu merupakan pekerjaan khusus dari petugas yang terlatih yang memahami hal2 teknis tentang apa dan bagaimana bentuk selang dan regulator yg memenuhi standar keamanan/ layak pakai.

Lihatlah, Belakangan marak diberitakan oleh media massa, tentang munculnya beberapa Agen Gas yang nakal yang secara amatiran melakukan penguran isi Gas tabung 3 Kg (Bersubsidi) lalu dipindahkan ke Tabung ukuran 12 Kg ( non Subsidi).

Ini jelas merugikan negara dan masyarakat konsumen. Konsumen 3 Kg rugi dalam dua hal . Pertama, ia mendapat Gas yang tidak utuh. Kedua, ia mendapat tabung yang telah dibuka segelnya untuk proses transfer Gas oleh pengusaha yg yang nakal tersebut ,sehingga patut dicurigai bahwa tabung tersebut telah berkurang tingkat kestandarannya akibat terbukanya segel dan terjadinya proses transfer tsb, sehingga resiko kecelakaanpun meningkat.

Kalau densus 88 sedang disibukkan oleh tingkah polah para ektreemis -teroris yang bisa meledakkan sebuah tempat tanpa diduga kapan dan dimana terjadinya hingga menbuat hati kita cemas dan was was, maka saat ini pun muncul sumber kecemasan baru dari “oknum teroris” yang bahkan keberadaannya amat dekat dengan kita . Selalu berada di sekitar kita. Sewaktu waktu bisa muncul muncul aksi terornya. Jleger..!! DDuarr..!. Ada ledakan hebat. Ada aksi teroris..?

“Iya, Mas…Teroris nya berbaju hijau muda. Kecil, imut imut. Banyak sekali temennya, merata di seluruh Indonesia. TABUNG GAS 3 kG….!!! “


sumber kompasiana

Menggendong Mayat Anaknya karena Tak Mampu Sewa Mobil Jenazah

| | | 0 komentar
” Hanya ingin menyampaikan pesan yang mungkin belum tersampaikan”

PEJABAT Jakarta seperti ditampar. Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah.

Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor pun geger

Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn).
Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. “Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari”. Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu.
Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00.
Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet.
Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun. Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.

Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.
Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku. Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi Karen atidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor.

Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. “Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia”, ujarnya.

“Terkadang kita terus berpikir, apa yang ditinggalkan dari kita setelah kita mati…..”

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?