SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Kembalikan Harum Cendana di Flobamora

| | | 0 komentar
Oleh Bernadus Tokan
"Pada sekitar tahun 1930-an, kami memiliki ribuan pohon cendana. Pohon cendana itu ditanam almarhum ayah saya, Thobias Haumeni yang meninggal sekitar 40 tahun silam,".
Tatapi, semasa pemerintahan penjajahan Hindia Belanda di Timor, seluruh pohon cendana (sandalwood) diberi cap sebagai milik pemerintah.

Setelah penjajah angkat kaki dari Pulau Timor, pohon cendana ini juga tidak secara otomatis kembali ke tangan pemilik, karena pada masa kemerdekaan ada Peraturan Daerah (Perda) Nusa Tenggara Timur (NTT) Nomor 11 Tahun 1966 dan dilanjutkan Perda No 16/1986 yang menegaskan kepemilikan cendana oleh pemerintah,
Dalam Perda tahun 1966 rakyat mendapat 50 persen hasil penjualan cendana yang diambil dari tanah milik rakyat, tetapi dalam Perda tahun 1986 porsi rakyat sebagai pemilik cendana tinggal 15 persen.

Akibatnya, rakyat enggan menanam cendana sehingga kayu itu nyaris punah setelah dieksploitasi pemerintah dan dijadikan sumber pendapatan asli daerah selama bertahun-tahun.

"Sekarang kami hanya memiliki 24 pohon cendana di pekarangan rumah. Cendana ini kami tanam untuk mengenang almarhum yang karena memiliki banyak pohon cendana sehingga dipanggil Haumeni yang dalam bahasa Timor artinya Cendana,".

Kisah yang dilukiskan Yakob Fred Felipus Ora (71), warga Desa Apren, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, sekitar 35 km arah Selatan Kupang ini menggambarkan secara jelas bahwa perampasan cendana milik rakyat oleh Pemerintah Hindia Belanda dan pada masa kemerdekaan inilah yang menjadi pemicu keengganan rakyat untuk menanam cendana.
"Sekarang masyarakat sudah tidak menanam cendana lagi karena kalau menanam, mereka tidak menikmati hasilnya tetapi pemerintah yang menikmati," kata Felipus Ora yang didampingi anaknya, Wilfred Adikson Haumeni (23).

Kini populasi cendana terus menurun bahkan nyaris punah padahal keharuman cendana ini telah menjadi daya tarik bagi para pedagang dari berbagai belahan dunia untuk datang ke Timor.

Data Dinas Kehutanan Provinsi NTT menunjukkan, tahun 1987-1990 ada 176.949 tegakan induk dan 388.003 anakan di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), dan Belu. Tahun 1997-1998 tinggal 51.417 tegakan induk dan 199.523 anakan.

Jauh sebelum menjadi komoditas perdagangan, cendana dikeramatkan. Para orang di Pulau Timor sering menggelar ritual khusus agar cendana tumbuh subur dan semakin harum.
Aroma cendana yang semerbak menjadi isyarat hubungan harmonis antara manusia dan leluhur, alam raya, serta Wujud Tertinggi sehingga cendana selalu terjaga.
"Aroma cendana diyakini sebagai penyubur lahan dan penghalau bala," kata antropolog, Dr Gregor Neonbasu SVD, Ketua Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus, pengelola Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.

Ketika menyelesaikan studi S-3 bidang Antropologi di Universitas Nasional Canberra, Australia (2005), Neonbasu meneliti akar budaya warga Timor di Biboki, Kabupaten TTU.
Menurut Neonbasu, pada masa lalu, cendana dipersepsikan sebagai gadis cantik yang memancarkan keharuman bagi keluarga, masyarakat, serta tanah Timor.

Dalam mitologi, cendana disebut haumeni, gadis sumber keharuman. ?Sang gadis? dijaga kelestariannya. Perusak cendana diyakini akan mengalami musibah, tertimpa kesulitan, hingga menemui ajal.

Neonbasu menyebutkan, pada abad ke-14 cendana NTT sudah memenuhi catatan pedagang China. Masyarakat dunia, terutama China dan India, melukiskan NTT sebagai daerah penghasil cendana berkualitas istimewa.
Keberadaan cendana sebagai pohon keramat mulai bergeser menjadi komoditas perdagangan sejak abad ke-empat, seiring kedatangan pedagang perantara dari Gujarat dan kawasan lain. Sekitar abad ke-7, pedagang dunia mencari cendana hingga ke Timor dan pulau-pulau sekitarnya.

Sejak abad ke-empat, NTT dikenal dunia sebagai daerah penghasil jenis kayu beraroma harum dan mahal karena daerahnya yang kering. Cendana yang tumbuh di daerah kering akan menghasilkan kayu berkualitas baik. Nyaris seluruh NTT sangat cocok untuk cendana. Selain di Timor, cendana dijumpai juga di Sumba, Flores, Solor, dan Alor.

Budidaya cendana

Keadaan berubah sejak delapan tahun lalu. Pemerintah Provinsi NTT mencabut monopoli dan mengembalikan cendana sebagai milik masyarakat. Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, yang terpilih memimpin daerah itu pada 2008 kembali mencanangkan gerakan mengembalikan NTT sebagai Provinsi Cendana.
Pada 12 Februari 2009, Pemerintah NTT mencanangkan aksi sebar bibit dan penanaman cendana oleh masyarakat.

"Dalam 10 tahun ke depan yang penting pemulihan dulu. Kalau sudah banyak tegakan, tahun ke-11 baru dipilih bibit unggul. Saat ini ada moratorium penebangan cendana. Diharapkan tahun 2030 cendana siap panen dan menjadi komoditas bebas," kata Frans Lebu Raya.

Ia mengatakan, upaya yang dilakukan pemerintah adalah mendorong dan menggerakkan semua elemen potensial masyarakat untuk menanam dan merawat tanaman cendana sebagai upaya mengembalikan wangi cendana di bumi Flobamora.

Tujuannya, menurut dia, meningkatnya populasi cendana melalui pengelolaan secara lestari yang dapat menggerakan perekonomian daerah, peningkatan pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat serta memperbaiki kualitas lingkungan.

Sasaran lokasi pengelolaan cendana secara lestari tahap I (tahun 2009-2013), adalah lahan milik/hak, tanah adat/tanah negara bebas, dan kawasan hutan negara, yang pelaksanannya disesuaikan dengan peta tata ruang (RTRWP/RTRWK) yang telah ditetapkan terutama pada daerah-daerah endemik cendana seluas 3.500 hektar, katanya.

Untuk menyuksekan program ini, kata Lebu Raya, pemerintah melakukan penyempurnaan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan cendana yang berpihak kepada masyarakat atau kelompok tani melalui PERDA Provinsi maupun kabupaten/kota.
Ia menegaskan, perlunya emberikan perlindungan dan pelestarian pohon/tegakan sisa cendana untuk melindungi plasma nutfah cendana yang sekaligus diarahkan sebagai sumber penghasil benih cendana berkualitas.

Penanaman dan pengembangan tanaman cendana sebanyak 4.750.000 anakan selama 5 tahun, dengan rincian 2.800.000 anakan untuk kebutuhan penanaman seluas 3.500 ha dan 1.950.000 untuk kebutuhan dalam rangka mendukung gerakan massal.

Sumber dana untuk pengembangan dan pengelolaan cendana secara lestari tahap I (tahun 2009-2013), adalah APBD I, APBD II, APBN Dana bantuan lainnya yang berasal LSM, dunia usaha dan swadaya masyarakat, kata Lebu Raya.

Kini masyarakat NTT mulai bersemangat menanam cendana tetapi semangat itu perlu dijaga dengan konsistensi kebijakan.

Hal yang paling penting adalah komitmen birokrat di NTT untuk mengembangkan cendana, termasuk pendanaannya. Dengan demikian, tekad mengembalikan kejayaan NTT sebagai Provinsi Cendana, serta mengembalikan keharuman cendana di bumi Flobamora (sebutan untuk Flores, Sumba, Timor dan Alor) bisa terwujud.

http://oase.kompas.com/read/2010/12/26/19210146/Kembalikan.Harum.Cendana.di.Flobamora

Sepotong Kisah Lain Tentang Soekarno

| | | 0 komentar
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.

“Pak, Pak, ini Ega…”

Senyap.


Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.

Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

“Hatta.., kau di sini..?”

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.

“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.

Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

“No…”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya.

Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.
Berita kematian Bung Karno dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya bahwa Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan oleh rezim penguasa yang baru ini. Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini dan menghabiskan 25 tahun usia hidupnya mendekam dalam penjara penjajah kolonial Belanda demi kemerdekaan negerinya.

Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah yang hadir dari dekat saat prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar dalam salah satu milis menulis tentang kesaksiannya. Berikut adalah kesaksian dari Cak Doel Arnowo yang telah kami edit karena cukup panjang:

Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali dan sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar seratusan manusia hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui apa saja tugas mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang matanya penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah. Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.

Kita semua di kota Malang mendengar tentang almarhum yang diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno meminta agar dimakamkan di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa Barat (asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di Batu Tulis di Bogor).

Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula rezim Soeharto yang secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar dengan dalih bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno lahir di Surabaya di daerah Paras Besar, bukan di Blitar! Bung Karno terlahir dengan nama Koesno, dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto dan kemudian dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia dan dimakamkan juga di sisinya, isterinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu Nyoman Rai.

Setelah matahari tinggal sepenggalan sebelum terbenam, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat tujuan. Yang hadir didorong-dorong oleh barisan tentara angkatan darat yang berbaris dengan memaksa kumpulan manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan layak.

Tampak Komandan Upacara jenderal Panggabean memulai upacara dan kebetulan saya berdiri berdesak-desakan di samping Bapak Kapolri Hoegeng Iman Santosa, yang sedang sibuk berbicara dengan suara ditahan agar rendah frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang sudah diteriak-teriakkan. Saya berbisik kepada beliau, ujung paling belakang rombongan ini berada di mana? Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Hah?! Sebelas kilometer panjangnya iring-iringan rombongan ini sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, Utara kota Malang.

Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung dan sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There goes a very great man!!” Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans (mobil jenazah) yang mengangkut Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai dari pecahan rombongan pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari Madiun, dari Banyuwangi bahkan dari Bali.

Saya menuju ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah Bung Karno, di mana kakak kandung beliau, Ibu Wardojo tinggal. Hari sudah gelap dan perut terasa lapar karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau minuman, sebab kalau pun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan minuman atau makanan apa pun yang bisa ditelan. Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman jenazah Bung Karno, beberapa waktu di kemudian hari semua makam Pahlawan di Taman Pahlawan Sentul ini dipindahkan ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.
Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan di lokasi pemakaman sudah penuh, tetapi pada kenyataannya kemudian ada proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar.

Kuburannya Pun Tidak Boleh Dijenguk

Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum dan dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta izin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?

Saya bersama ibu saya dan beberapa saudara datang secara mendadak pergi ke Blitar dengan tujuan utama ziarah ke Makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan dan akhirnya sampai ke pimpinannya yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin dan sudah ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara. Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu ramah, mereka melayani dengan muka seperti dilipat.

Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu merasa bertambah rasa gagahnya terhadap rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua beres dan kami mendapat sepucuk surat. Apa yang terjadi?

Sesampainya di makam kami turun dari kendaraan kami dan saya bawa surat izin dari KODIM. Surat itu kami tunjukan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya terdorong untukmenoleh ke belakang. Terkejut saya. Selain rombongan sendiri, Ibu saya dan saudara-saudara, telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol. Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, melekat secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, akan tetapi saya ingat kami memasuki pagar luar dan kami bisa mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang dan hanya memandang makamnya dari jarak, yang mungkin hanya sekitar tiga meter.

Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali dan waktu kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah ada yang menciumnya, membuat saya merasa risih.

Salah seorang dari mereka ini mengatakan bahwa dia sudah dua hari bermalam di sekitar situ di udara terbuka menunggu sebuah kesempatan seperti yang telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata, saya merasakan getar hati rakyat, rakyat Marhaen kata Bung Karno! Mereka menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi seorang Pemimpin mereka dan seorang Bapak mereka. Apapun yang disebarluaskan dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara.

Dibunuh Perlahan

Keyakinan orang banyak bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan mungkin bisa dilihat dari cara pengobatan proklamator RI ini yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden Soeharto. Bung Karno ketika sakit ditahan di Wisma Yasso (Yasso adalah nama saudara laki-laki Dewi Soekarno) di Jl. Gatot Subroto. Penahanan ini membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas mengunjunginya.

Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, yang tidak dapat ditukar dengan obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan dengan obat. Bung Karno memang dibiarkan sakit dan mungkin dengan begitu diharapkan oleh penguasa baru tersebut agar bisa mempercepat kematiannya.
Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun dilarang oleh Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekadar menebus obat dan mengobati gigi yang sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita.

sumber www.andists.info

Soekarno, ‘Presiden Amerika Serikat’

| | | 0 komentar
Iwan Kamah - Jakarta

UNTUK pertama kalinya Ketua Mahkamah Agung John Roberts, akan mendapat tugas rutin tiap empat tahun seumur hidupnya (jika dia tidak mundur): mengambil sumpah jabatan presiden Amerika Serikat.

“Saya, Barack Hussein Obama, bersumpah…untuk melindungi, mempertahankan Undang-Undang Dasar Amerika Serikat (AS)”, sebaris kalimat sakti yang menyulap Obama tepat pada tengah hari 20 Januari 2009, dari orang biasa menjadi orang luar biasa, yang paling dipandang (juga dibenci) di muka bumi.

Itulah pelantikan presiden AS yang ke 57, sejak George Washington diambil sumpahnya pertama kali sebagai presiden AS kesatu, sekaligus presiden pertama di dunia, di Wall and Nassau Street, New York City, hampir 220 tahun silam.

Setiap presiden AS punya titah untuk menyebar wewangian nilai-nilai Amerika ke setiap jengkal pelosok dunia, yang belum pernah atau kurang, menghirup kebebasan. Kalau untuk ukuran ini saja, ada orang Indonesia yang bisa melakukannya. Orang itu Soekarno, yang pernah oleh AS selalu diharapkan, dihormati, dipuja dan akhirnya digulingkan, dibenci, lalu disingkirkan.

Revolusi Indonesia = Revolusi Amerika

Kok bisa bilang Soekarno sebagai ‘presiden Amerika Serikat’? Ya bisa aja kalau kita lihat sepak terjang cara berpikirnya. Meski mungkin penilaian itu tergelincir salah, akibat beda referensi nilai, budaya dan politik yang jauh antara sini dan sana. Indonesia dan Amerika.

“Masa mudaku kupergunakan untuk memuja pahlawan-pahlawan Amerika”, begitu menurut pengakuan Soekarno. Tak aneh ketika Indonesia akan lahir, dia serta segelintir sahabatnya, menyiapkannya dengan banyak membawa dan menggunakan serta meniru nilai serta corak Amerika untuk Indonesia, yang sedang dimabuk revolusi.

Kalangan akademisi Indonesia pun berani menyimpulkan bahwa revolusi Indonesia mengacu pada revolusi Amerika. Bila ini dibicarakan, Soekarno pasti hadir di dalamnya dengan berdiri ditengah bukan dipinggir.

Dari kepalanya yang selalu tertutup pici, banyak tersimpan cadangan ide, yang keluarnya sebagai pola pikir รก la Amerika, yang dicampur dengan konsep-konsep lain hasil serapan dari bangsa lain. Hasilnya bisa dilihat dari karakter revolusi Indonesia, yang seirama dengan punya Amerika. Seperti apa?

Lihat saja perubahan politik semasa revolusi, terjadi bersamaan dengan deklarasi kemerdekaan Indonesia. Didalamnya mencakup sebuah perubahan sosial. Apa amerikanya? Nah, yang kayak amerikanya, yaitu kenyataan perubahan drastis itu berlangsung tanpa kekekerasan. “Dia bisa menyatukan Indonesia tanpa pertumpahan darah setetespun”, kata Pramoedya Ananta Toer memuji Soekarno, orang yang pernah memenjarakannya.

Beda sekali revolusi yang terjadi di Prancis, Rusia, Cina atau Iran yang berdarah-darah. Ciri yang dibawakan Soekarno bertumpu pada kepercayaan bahwa perbaikan secara bertahap bisa dilakukan dengan membuka kemungkinan, seluas-luasnya, untuk bekerja sama antar kelompok yang saling bertentangan. Bukan berarti gagasan-gagasan mutakhir yang dia tiru dari Amerika itu berjalan mulus. Kadang terkesan ‘unAmerica’ karena kondisi lokal. “Soekarno sangat dramatik, pragmatik, beraneka ragam, lentur dan “berbau mistik”, menurut penilaian William Frederick, seorang guru besar ilmu politik dari universitas di Ohio, AS.

The United States of Indonesia

Bukan itu saja, lembaga-lembaga ketatanegaraan Indonesia yang tercipta, mirip dan sebangun seperti yang ada di AS. Ini divisualkan dengan baik pada seri perangko Indonesia diawal masa revolusi kemerdekaan. Prangko itu menggambarkan wajah Soekarno dengan George Washington, Mohammad Hatta dengan Abraham Lincoln, Sutan Sjahrir dengan Thomas Jefferson. Agus Salim dengan Benjamin Franklin dan AA Maramis dengan Alexander Hamilton. Dengar pengakuannya tentang ‘orang-orang suci’ Amerika’. “Aku merasa dekat dan bersahabat dengan Thomas Jefferson”, kata Soekarno yang memajang foto si brewok Abraham Lincoln di ruang tamu Istana Kepresidenan di Jogjakarta.

Ditambah lagi dalam Konferensi Meja Bundar akhir tahun 1949 (yang hasilnya terlalu dipaksakan oleh Amerika Serikat), melahirkan negara baru: Indonesia Serikat. Jadilah model negara Indonesia pas sama seperti AS, meski agak beda runut sejarahnya.

Pernah dua dari lima astronot AS dalam misi Space Shuttle ke 7 bulan Juni 1983, Frederick Hauck dan John Fabian, diundang menghadiri HUT RI tahun 1983 di Istana Merdeka, karena sukses meluncurkan sebuah satelit Indonesia. Si Fabian nyengar-nyengir waktu ditanya pendapatnya tentang Indonesia. “Waktu kecil di sekolah, saya diajarkan bahwa di dunia ini hanya ada dua negara serikat, yaitu Amerika Serikat dan Indonesia Serikat”.

Jika saja usul Mohammad Hatta diterima, saat perumusan naskah proklamasi dini hari 17 Agustus 1945, maka proklamator Indonesia tak cuma dua orang. Dia minta semua yang hadir menandatangani naskah proklamasi, agar seperti Deklarasi Kemerdekaan AS. Usul ini ditolak Soekarni (bukan Soekarno), seorang pemuda yang ikut hadir. Ini sekilas gambaran bahwa banyak kesamaan yang ingin ditampilkan dalam revolusi Indonesia, dengan yang dialami AS.

Paul Revere

Gagasan-gagasan orisinil dari Amerika, kembali dipraktekkan Soekarno ketika dia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955. Ini sebuah perhelatan terbesar dan monumental, yang pernah ada antara negara-negara terjajah. Kota yang dipilihnya adalah Bandung. Kota tempat dia mengawali karir sebagai pembangkang kolonialisme dan juga tempat romantisme yang ia reguk pertama kali bersama Inggit Garnasih, mojang priangan yang menjadi istri sekaligus dinamonya untuk menggigit keangkuhan kolonial.

Tanggal dibukanya KAA pun dipilih Soekarno hari 18 April 1955. Tepat 180 tahun silam dia mengenang peristiwa seorang pria mengendarai kuda dengan kencang pada malam hari di pedusunan New Hampshire. Pria itu membangunkan kaum revolusioner Amerika, karena pasukan kolonial Inggris sudah mendekat. Orang itu adalah Paul Revere.

Tindakan Revere tersebut, seperti membangunkan orang untuk makan sahur, menjadi sangat patriotik bagi bangsa Amerika. Pagi harinya, pejuang Amerika sudah siap tempur dan meletuslah perang di medan Lexington. Letusan bedil yang terjadi di situ, menjadi awal perang kemerdekaan yang menyulap dunia.

Soekarno mengenang dengan baik peristiwa itu, saat dia pidato membuka KAA, untuk menyiram semangat nasionalisme pada bangsa-bangsa Asia Afrika. Setelah konferensi dibuka dengan mengheningkan cipta untuk Albert Einstein, yang wafat pada hari itu, dia bergaya bagai seorang presiden AS, menyebut perang yang dibangunkan oleh Revere itu, sebagai perang anti-kolonialisme pertama yang berhasil dalam sejarah manusia. Tak lupa dia membaca sajak dari penyair AS Henry Longfellow tentang Revere, dihadapan hadirin yang justru kebanyakan anti-Amerika.

“Indonesian kiss”

Dasawarsa 1950-an menjadi kurun paling liberal dalam sejarah Indonesia, dan juga paling Amerika, yang menghembuskan budayanya sangat deras. Dan Soekarno membuka pintunya lebar-lebar. Lihat saja masa itu, misi budaya, seni, sosial, olahraga dari AS berdatangan, karena menganggap negeri ini tempat nyaman yang dipimpin oleh seorang yang cinta Amerika. Seperti Martha Graham, Harleem Globerotters, Helen Keller, dan juga film-film Hollywood yang merasuk hingga ke kepala tiap orang Indonesia. Hampir 80% film yang beredar di sini berasal dari Hollywood. “Silahkan saja Anda mengekspor sebanyak judul yang Anda inginkan ke Indonesia”, kata Soekarno sambil memberi sejumlah syarat kepada utusan AMPEA (American Motion Pictures Exporters Association) yang menemuinya.

Banyak orang tua yang remaja pada masa itu, mengenal baik nama-nama John Wayne, Rita Hayworth, James Dean, Rhonda Flemming atau Marilyn si pirang. Bahkan ada seorang bapak tua di Sumatra menamakan semua anak-anaknya dengan nama-nama aktor/tris Hollywood. Tak hanya itu, Soekarno pun punya helikopter kepresidenan Hiller 360 buatan AS, yang dimilikinya tahun 1951, enam tahun sebelum Presiden AS Dwight Eisenhower punya helikopter untuk kepresidenan.

Eisenhower paham benar kalau Soekarno mendambakan Amerika. Makanya dia tak hanya mengundang Soekarno, tapi juga menjemputnya dengan mengirim pesawatnya, Columbine III ke Honolulu, untuk menerbangkan Soekarno. Inilah pertama kali baginya menginjakkan kaki ke negeri yang dipujanya. Dia melanglang melintas tanah Amerika selama 19 hari. Kunjungan kenegaraan terlama yang pernah dilakukan kepala negara asing ke AS. Mirip orang berziarah ke tanah suci.

“Saya datang ke sini untuk membuktikan nilai-nilai Amerika yang saya tahu bertahun-tahun”, kata Soekarno sewaktu disambut dengan “wah” oleh dua sahabatnya, Wakil Presiden Richard Nixon dan Menlu John Dulles serta Admiral Arthur Radford, panglima gabungan (Pangab). Ketika “Indonesia Raya” dinyanyikan, tangan Nixon pun memegang pundak si kecil Guntur dengan penuh kebapakan. Sebuah bahasa tubuh yang penuh makna.

Seperti seorang presiden AS, tuan rumah menyiapkan 2300 tentara dan 10 korps musik berdiri sepanjang jalan yang dilalui Soekarno dari bandara menuju jantung kota Washington. Hanya untuk menyambutnya. Tapi tiba-tiba, oh..oh… Soekarno minta mobil Imperial yang ditumpanginya untuk berhenti sejenak. Dinas Rahasia (paspampres AS) pun tak bisa berbuat banyak.

Ngapain dia? Menyalami beberapa para penyambutnya dan sempat mengelus kepala bocah lima tahun. Setelah itu dia berjalan pelan menuju ke seorang wanita setengah baya. “Dear Mother, boleh saya cium Anda?”, Soekarno memohon. Ceplok! "That was an Indonesian kiss”, katanya dengan penuh perasaan saat bibirnya mendarat di wajah Lenore Coon, si wanita paruh baya itu sambil tersenyum.

Ziarah

Presiden Eisenhower, yang lebih dikenal dengan Ike, sangat menghargai pidato Soekarno yang mengutip patriotisme Paul Revere, waktu membuka KAA setahun sebelumnya. Dia bersama istrinya, Mamie, menghadiahkannya sebuah replika piring perak Paul Revere. Dia juga dipuji Amerika, karena menggelar pemilu paling liberal di dunia tahun 1955 untuk ukuran dunia ketiga, tanpa darah. Sampai kini pemilu itu juga dikenang sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia.

“Aku mencintai rakyat Amerika”, katanya. Makanya selama di sana, dengan gaya seperti presiden AS, dia mendatangi tempat-tempat impiannya, yang menjadi icon Amerika di dunia. Dia sembahyang di Islamic Center Washington. Berkhotbah di Gereje Mormon di Utah, menikmati air terjun Niagara, berpidato di Kongres, mengunjungi Hollywood, bermain di Walt Disney bersama Guntur (Soekarno adalah presiden pertama di dunia yang mengunjungi taman impian itu, justru bukan tuan rumah Presiden Eisenhower), ngobrol dengan Marilyn Monroe, juga menerima kehormatan Honorius Causa dari dua universitas ternama, dan mendatangi Lincoln Memorial, untuk menghormati ‘nabinya’, yang sering dia kutip dalam tiap pidato-pidatonya. Juga berziarah ke kuburan Thomas Jefferson di Monticello, Virginia dan tempat paling suci bagi patriot AS, makam George Washington di Mt. Vernon. Di sana dia sambil komat-kamit membaca al Fatihah di depan kuburan mereka.

James Monroe

Siapapun bisa mendapat predikat sebagai presiden AS, selama dia mempunyai otoritas resmi untuk membawa dan menyampaikan nilai-nilai Amerika kepada dunia. Soekarno setidaknya sudah melakukannya. Tidak selalu harus orang Amerika asli. Seorang pria yang berayah dari pedusunan Kenya, Afrika dan berbapak tiri orang Jawa pun, bisa akan membuktikannya tanggal 20 Januari 2009 mendatang.

AS memang banyak berharap kepada Soekarno. Dialah pemimpin asing, yang sanggup memberi contoh teladan pahlawan-pahlawan AS kepada dunia melalui pidato. Ketika Amerika menjauhinya karena tak mendapatkan seperti yang diharapkan darinya, Soekarno berang. Tak mau didikte! Sebuah sikap sangat Amerka seperti yang dicetuskan Doktrin Monroe (doktrin Presiden AS ke 5 James Monroe yang menentang dominasi Eropa di tanah Amerika).

Inilah sikap Soekarno yang paling Amerika. Karena ciri Amerika adalah tak mau dan tak pernah didikte bangsa lain. Sekaligus bukti, bahwa dia (juga Indonesia) bukanlah piaraan yang jinak bagi bangsa manapun di dunia.

______________________________

FOTO-FOTO DOK HARIAN KOMPAS


sumber http://community.kompas.com/index.php/read/artikel/2129

Sukarno: KAPITALISME BANGSA SENDIRI?

| | | 0 komentar
Di dalam salah satu rapat umum saya pernah berkata, bahwa kita bukan saja harus menentang kapitalisme asing, tetapi harus juga menentang kapitalisme bangsa sendiri. Hal ini telah mendapat pembicaraan di dalam pers, dan saya pun mendapat beberapa surat yang minta hal ini diterangkan sekali lagi dengan singkat.

Dengan segala senang hati saya memenuhi permintaan-permintaan itu. Sebab soal ini adalah soal yang mengenai beginsel (cara/metoda berpikir). Beginsel, yang harus dan musti kita perhatikan, jikalau kita mengabdi kepada rakyat dengan sebenar-benarnya, dan ingin membawa rakyat itu ke arah keselamatan.

Supaya buat pembaca soal ini menjadi terang, dan supaya pembicaraan kita bisa tajam garis-garisnya, maka perlulah lebih dulu kita menjawab pertanyaan:
Apakah kapitalisme itu?

Di dalam saya punya buku pembelaan saya pernah menjawab: “Kapitalisme adalah stelsel (sistem) pergaulan hidup, yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme adalah timbul dari cara produksi ini, yang menyebabkan meerwaarde (nilai tambah) tidak dinikmati oleh kaum buruh melainkan jatuh ke dalam tangannya kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, adalah menyebabkan kapitaalaccumulatie, kapitaalconcentratie, kapitaalcentralisatie, dan industrieel reserve armee (buruh pangangguran). Kapitalisme mempunyai arah kepada Verelendung (pemiskinan), yang menyebarkan kesengsaraan.

”Itulah kapitalisme! —yang prakteknya kita bisa lihat di seluruh dunia. Itulah kapitalisme, yang ternyata menyebarkan kesengsaraan, kepapaan, pengangguran, balapan tarif, peperangan, kematian— pendek kata menyebabkan rusaknya susunan dunia yang sekarang ini. Itulah kapitalisme yang melahirkan imperialisme modern, yang membikin kita dan hampir seluruh bangsa berwarna menjadi rakyat yang cilaka!

Siapa di dalam beginsel (cara/metoda berpikir) tidak anti kepada stelsel yang demikian itu, adalah menutupkan mata buat kejahatan-kejahatan kapitalisme yang sudah senyata-nyatanya itu. Tiap-tiap orang, yang mempunyai beginsel yang logis, haruslah anti stelsel itu. Sebab —sekali lagi saya katakan— stelsel itu ternyata dan terbukti stelsel yang mencilakakan dunia.

“Ya”, orang menyahut, “tetapi kapitalisme bangsa sendiri? Kapitalisme bangsa sendiri yang bisa kita pakai untuk memerangi imperialisme? Apakah kita harus juga anti kapitalisme bangsa sendiri itu, dan menjalankan perjuangan kelas alias klassenstrijd?”

Dengan tegas di sini saya menjawab: ya, kita harus juga anti kepada kapitalisme bangsa sendiri itu! Kita harus juga anti kepada isme yang ikut menyengsarakan Marhaen itu. Siapa mengetahui keadaan kaum buruh di industri batik, rokok kretek, dan lain-lain dari bangsa sendiri, dimana saya sering melihat upah buruh yang kadang-kadang hanya 10 atau 12 sen sehari —siapa mengetahui keadaan perburuhan yang sangat buruk di industri-industri bangsa sendiri itu— ia mustilah juga menggoyangkan kepala dan dapat rasa kesedihan melihat buahnya cara produksi yang tak adil itu. Pergilah ke Mataram, pergilah ke Lawean Solo, pergilah ke Kudus, pergilah ke Tulung Agung, pergilah ke Blitar —dan orang akan menyaksikan sendiri “rahmat-rahmatnya” cara produksi itu.

Seorang nasionalis, justru karena ia orang nasionalis, haruslah berani membukakan mata di muka keadaan-keadaan yang nyata itu. Ia harus mengabdi kepada kemanusiaan. Ia harus memperhatikan perkataan-perkataan Gandhi yang saya sajikan tempo hari: ”Nasionalismeku adalah mau memperbaiki masyarakat dan yang oleh karenanya anti segala stelsel yang mendatangkan kesengsaraan ke dalam masyarakat itu.”

Harus sebagai Jawaharlal Nehru yang berkata: “Saya seorang nasionalis. Tapi saya juga seorang sosialis dan republikein. Saya tidak percaya pada raja-raja dan ratu-ratu, tidak pula keadaan susunan masyarakat yang melahirkan raja-raja industri yang pada hakekatnya berkuasa lebih besar lagi daripada raja-raja di zaman sediakala. Saya niscaya mengerti, bahwa Congress belum bisa mengadakan program sosialistis yang selengkap-lengkapnya. Tetapi filsafat sosialisme sudahlah dengan perlahan-lahan menyerapi segenap susunan masyarakat di seluruh dunia. India niscaya akan menjalankan cara-cara India seumumnya.”

”Tetapi, apakah ini berarti, bahwa kita harus memusuhi tiap-tiap orang Indonesia yang mampu? Sama sekali tidak. Sebab pertama-tama: kita tidak memerangi “orang”, —kita memerangi stelsel. Dan tidak semua orang kaya adalah menjalankan kapitalisme. Tidak tiap-tiap orang kaya adalah karena mereka mengeksploitasi orang lain. Tidak tiap-tiap orang kaya adalah menjalankan cara produksi sebagai yang saya terangkan dengan singkat (dengan menyitat dari pembelaan) di atas tadi. Dan tidak tiap-tiap orang kaya adalah ikut atau hidup di dalam ideologi kapitalisme. Pendek, tidak tiap-tiap orang kaya adalah jenderal atau sersan atau serdadu kapitalisme!

Dan apakah prinsip kita tidak berarti, bahwa kita harus mementingkan perjuangan kelas? Juga sama sekali tidak. Kita nasionalis, mementingkan perjuangan nasional, perjuangan kebangsaan.

Hal ini saya terangkan dalam karangan saya akan datang.

II

Di dalam karangan saya yang lampau saya katakan, bahwa kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita di dalam perjuangan kita mengejar Indonesia Merdeka itu tidak pertama-tama mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus mengutamakan perjuangan nasional. Memang kita —begitulah saya tuliskan— adalah kaum nasionalis, kaum kebangsaan dan bukan kaum apa-apa yang lain.

Apa sebabnya kita mengutamakan perjuangan nasional di dalam usaha kita mengejar Indonesia Merdeka? Kita mengutamakan perjuangan nasional, oleh karena keinsyafan dan perasaan nasional, adalah keinsyafan dan perasaan yang terkemuka di dalam sesuatu masyarakat kolonial.

Di dalam semua masyarakat, selamanya terdapat antitesa, yakni perlawanan. Inilah menurut dialektiknya semua keadaan. Tetapi di Eropa, di Amerika, antitesa ini sifatnya adalah berlainan dengan antitesa yang ada di sesuatu negeri kolonial.

Pada hakekatnya, antithese di mana-mana adalah sama perlawanan antara yang “di atas” dan yang “di bawah”, antara yang “menang” dan yang “kalah”, antara yang menindas dan yang tertindas. Tetapi di Eropa, di Amerika, dan negeri-negeri lain yang merdeka, dua golongan yang berantitesa itu adalah dari satu bangsa, satu kulit, satu ras. Kaum modal Amerika dengan kaum buruh Amerika, kaum modal Eropa dengan kaum buruh Eropa, kaum modal negeri merdeka dengan kaum buruh merdeka, umumnya adalah dari satu darah, satu natie. Karena itulah maka di sesuatu negeri yang merdeka, antithese tadi tidak mengandung rasa atau keinsyafan kebangsaan, tidak mengandung rasa atau keinsyafan nasional, tetapi adalah bersifat zuivere klassenstrijd — perjuangan kelas yang melulu perjuangan kelas.

Tetapi di dalam negeri jajahan, di dalam negeri yang di bawah imperialisme bangsa asing, maka yang “menang” dan yang “kalah”, yang “di atas” dan yang “di bawah”, yang menjalankan kapitalisme dan yang di jalani kapitalisme, adalah berlainan darah, berlainan kulit, berlainan natie, berlainan kebangsaan. Antithese di dalam negeri jajahan adalah “berbarengan” dengan antithese bangsa —samenvallen atau coincideeren dengan antithese bangsa. Antithese di dalam negeri jajahan adalah, oleh karenanya, terutama sekali bersifat antithese nasional.

Itulah sebabnya, maka perjuangan kita untuk mengejar Indonesia Merdeka — jikalau kita ingin lekas mendapat hasil— haruslah pertama-tama mengutamakan perjuangan nasional, yakni pertama-tama mengutamakan perjuangan nasional. Kita anti segala kapitalisme, kita anti kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi kita untuk mencapai Indonesia Merdeka, yakni untuk mengalahkan imperialisme bangsa asing, harus mengutamakan perjuangan kebangsaan.

Mengutamakan perjuangan kebangsaan, itu TIDAK berarti bahwa kita tidak harus melawan ketamakan atau kapitalisme bangsa sendiri. Sebaliknya! Kita harus mendidik rakyat juga benci kepada kapitalisme bangsa sendiri itu juga! Tetapi MENGUTAMAKAN perjuangan nasional —itu adalah berarti bahwa pusarnya, titik beratnya, aksennya, arus utamanya kita punya perjuangan haruslah terletak di dalam perjuangan nasional. Pusarnya kita punya perjuangan sekarang haruslah di dalam memerangi imperialisme asing itu dengan segala tenaga nasional kita, dengan segala tenaga kebangsaan, yang hidup di dalam sesuatu bangsa yang tak merdeka dan yang ingin merdeka! Pusarnya kita punya perjuangan sekarang haruslah di dalam dynamisering —yakni membangkitkan menjadi aksi dan perbuatan— daripada rasa kebangsaan alias nationaal bewustzijn (kesadaran nasional) kita, —nationaal bewustzijn yang hidup di dalam hati sanubari tiap-tiap rakyat sadar yang tak merdeka.

Jadi, siapa yang mengira, bahwa kita punya nasionalisme adalah nasionalisme yang suka “main mata” dengan borjuisme, ia adalah salah sama sekali. Kita hanyalah menjatuhkan pusar, titik berat, aksennya kita punya perjuangan di dalam perjuangan nasional. Borjuisme harus kita tolak, kapitalisme harus kita lawan.

Oleh karena itulah maka kita punya nasionalisme adalah nasionalisme marhaenistis. Sebab, hanya kaum Marhaen sendirilah yang —menurut dialektik— satu-satunya golongan yang sungguh-sungguh berantitesa dengan borjuisme dan kapitalisme itu, dan yang dus bisa sungguh-sungguh menentang dan mengalahkan borjuisme dan kapitalisme itu. Hanya kaum Marhaen sendirilah yang menurut riwayat bisa menjalankan “tugas sejarah” alias “historische taak”, menghilangkan segala borjuisme dan kapitalisme di negeri kita adanya!

Memang! Nasionalisme marhaenistis pulalah yang cocok dengan keadaan nyata yang didatangkan oleh imperialisme di Indonesia sini. Imperialisme Belanda, sedikit berlainan dengan imperialisme Inggris atau imperialisme Amerika, adalah lebih “memarhaenkan” masyarakat Bumiputera daripada imperialisme-imperialisme yang lain. Imperialisme Belanda itu sejak mulanya datang di Indonesia sini, adalah berazas dan bersifat monopolistis —merebut tiap-tiap akar perusahaan, pertukangan atau perdagangan atau pelayaran yang ada di Indonesia sini. Imperialisme Belanda itu adalah imperialisme yang lebih “kolot” daripada imperialisme-imperialisme yang lain, lebih “kuno”, lebih “orthodox” daripada imperialisme-imperialisme yang lain. Tidak ada sedikitpun warna modern liberalisme padanya, sebagaimana yang tampak pada imperialisme-imperialisme lain. Politiknya adalah politik menggagahi semua alat perekonomian di Indonesia sini, menggagahi segala “economisch leven” (kehidupan ekonomi) di Indonesia sini.

Kini masyarakat Indonesia adalah “masyarakat kecil”, masyarakat yang hampir segala-galanya kecil. Kini masyarakat Indonesia buat sebagian yang besar sekali hanyalah mengenal pertanian kecil, pelayaran kecil, perdagangan kecil, perusahaan kecil. Kini masyarakat Indonesia 90% adalah masyarakat kekecilan itu —masyarakat Marhaen yang hampir tiada kehidupan ekonominya sama sekali. Oleh karena itulah, maka nasionalisme marhaenistis adalah satu-satunya nasionalisme yang cocok dengan sifatnya masyarakat Indonesia itu, cocok dengan keadaan nyata, cocok dengan realiteit di Indonesia itu. Dan oleh karena itulah pula, maka juga hanya nasionalisme marhaenistis sajalah yang bisa menjalankan historische taak mendatangkan Indonesia Merdeka dengan secepat-cepatnya, —historische taak yang sesuai juga dengan historische taak-nya menghilangkan segala borjuisme dan kapitalisme adanya!

Jawaharlal Nehru, di dalam pidatonya di muka National Congress yang ke-44, sebagai yang telah kita kutip tempo hari, mengaku dengan terus terang sebagai seorang sosialis, yang anti segala kapitalisme. Tetapi Jawaharlal Nehru itu pula adalah seorang nasionalis —the second uncrowned king of India, raja kedua yang tak bermahkota dari India— yang membangkitkan segala tenaga rakyat India ke dalam suatu perjuangan nasional yang mati-matian. Nasionalisme Jawaharlal Nehru adalah nasionalisme India yang Marhaenistis, suatu sosio nasionalisme yang ingin menghilangkan semua kapitalisme, menyelamatkan seluruh masyarakat India.

Nasionalisme yang demikian itulah nasionalisme kita pula.

sumber http://brecs.multiply.com

Pidato Presiden Sukarno di depan Majelis Umum PBB, 30 September 1960

| | | 0 komentar
Membangun Dunia Kembali
Pidato Presiden Sukarno di depan Majelis Umum PBB,30 September 1960

disalin dari teks aslinya dalam bahasa Inggris
(dengan editing minor tanpa mengubah substansi)


DEPARTEMEN PENERANGAN R.I


Para Utusan dan Wakil yang terhormat,

Hari ini, dalam mengucapkan pidato kepada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, saya merasa tertekan oleh suatu rasa tanggungjawab yang besar. Saya merasa rendah hati berbicara di hadapan rapat agung para negarawan yang bijaksana dan berpengalaman dari timur dan barat, dari utara dan dari selatan, dari bangsa-bangsa tua dan dari bangsa-bangsa muda dan dari bangsa-bangsa yang baru bangkit kembali dari tidur yang lama.

Saya telah memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar lidah saya dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan perasaan hati saya, dan saya juga telah berdoa agar kata-kata ini akan bergema dalam hati sanubari mereka yang mendengarnya.

Saya merasa gembira sekali dapat mengucapkan selamat kepada Tuan Ketua atas pengangkatannya dalam jabatannya yang tinggi dan konstruktif. Saya juga merasa gembira sekali untuk menyampaikan, atas nama bangsa saya, ucapan selamat datang yang sangat mesra kepada keenambelas anggota baru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Kitab Suci Islam mengamanatkan sesuatu kepada kita pada saat ini. Qur'an berkata: "Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah yang lebih taqwa kepadaKu."

Dan juga Kitab Injil agama Nasrani beramanat pada kita. "Segala kemuliaan bagi Allah di tempat yang Mahatinggi, dan sejahtera di atas bumi di antara orang yang diperkenankanNya".

Saya sungguh-sungguh merasa sangat terharu melepaskan pandangan saya atas Majelis ini. Di sinilah buktinya akan kebenaran perjuangan yang berjalan bergenerasi. Di sinilah buktinya, bahwa pengorbanan dan penderitaan telah mencapai tujuannya. Di sinilah buktinya, bahwa keadilan mulai berlaku, dan bahwa beberapa kejahatan besar sudah dapat disingkirkan.

Selanjutnya, sambil melepaskan pandangan saya kepada Majelis ini, hati saya diliputi dengan suatu kegirangan yang besar dan hebat. Dengan jelas tampak di mata saya menyingsingnya suatu hari yang baru, dan bahwa matahari kemerdekaan dan emansipasi, matahari yang sudah lama kita impikan, sudah terbit di Asia dan Afrika. Sekarang, hari ini, saya berbicara di hadapan para pemimpin bangsa-bangsa dan para pembangun bangsa-bangsa. Namun, secara tidak langsung, saya juga berbicara kepada mereka yang Tuan-tuan wakili, kepada mereka yang telah mengutus Tuan-tuan kemari, kepada mereka yang telah mempercayakan hari depan mereka di tangan Tuan-tuan. Saya sangat menginginkan agar kata-kata saya akan bergema juga di dalam hati mereka itu, di dalam hati nurani umat manusia, di dalam hati besar yang telah mencetuskan demikian banyak teriakan kegembiraan, demikian banyรกk jeritan penderitaan dan putus-harapan, dan demikian banyak cinta-kasih dan tawa.

Hari ini presiden Sukarno-lah yang berbicara di hadapan tuan-tuan. Namun lebih dari itu, ia adalah seorang manusia, Sukarno, seorang Indonesia, seorang suami, seorang Bapak, seorang anggauta keluarga umat manusia. Saya berbicara kepada Tuan-tuan atas nama rakyat saya, mereka yang 92 juta banyaknya di suatu nusantara yang jauh dan luas, 92 juta jiwa yang telah mengalami hidup penuh dengan perjuangan dan pengorbanan, 92 juta jiwa yang telah membangun suatu Negara di atas reruntuhan suatu Imperium.

Mereka itu, dan rakyat Asia dan Afrika, rakyat-rakyat benua Amerika dan benua Eropa serta rakyat benua Australia, sedang memperhatikan dan mendengarkan serta mengharap-harap. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini bagi mereka merupakan suatu harapan akan masa-depan dan suatu kemungkinan-baik bagi zaman sekarang ini. Keputusan untuk menghadiri Sidang Majelis Umum ini bukanlah merupakan suatu keputusan yang mudah bagi saya. Bangsa saya sendiri menghadapi banyak masalah, sedangkan waktu untuk memecahkan masalah-masalah itu selalu sangat terbatas. Akan tetapi sidang ini mungkin merupakan sidang Majelis yang terpenting yang pernah dilangsungkan dan kita semuanya mempunyai suatu tanggung-jawab kepada dunia seluruhnya disamping kepada bangsa-bangsa kita masing-masing. Tak seorangpun di antara kita dapat menghindari tanggungjawab itu, dan pasti tak seorangpun ingin menghindarinya. Saya sangat yakin bahwa pemimpin-pemimpin dari negara-negara yang lebih muda dan negara-negara yang lahir kembali dapat memberikan sumbangannya yang sangat positif untuk memecahkan demikian banyak masalah yang dihadapi Organisasi ini dan dunia pada umumnya. Memang, saya percaya bahwa orang akan mengatakan sekali lagi bahwa: "Dunia yang baru itu diminta untuk memperbaiki keseimbangan dunia yang lama."

Jelaslah bahwa pada dewasa ini segala masalah dunia kita saling berhubungan. Kolonialisme mempunyai hubungan dengan keamanan; keamanan mempunyai hubungan dengan persoalan perdamaian dan perlucutan senjata; perlucutan senjata berhubungan dengan perkembangan secara damai dari negara-negara yang belum maju. Yah, segala itu saling bersangkut-paut. Jika kita pada akhirnya berhasil memecahkan satu masalah, maka terbukalah jalan penyelesaian untuk masalah-masalah lainnya. Jika kita berhasil memecahkan misalnya masalah perlucutan senjata, maka akan tersedialah dana-dana yang diperlukan untuk membantu bangsa-bangsa yang sangat memerlukan bantuan itu.

Akan tetapi, yang sangat diperlukan ialah bahwa masalah-masalah semuanya itu harus dipecahkan dengan penggunaan prinsip-prinsip yang telah disetujui. Setiap usaha untuk memecahkannya dengan menggunakan kekerasan, atau dengan ancaman kekerasan, atau dengan pemilikan kekuasaan, tentu akan gagal bahkan akan mengakibatkan masalah-masalah yang lebih buruk lagi. Dengan singkat, prinsip yang harus diikuti ialah prinsip persamaan kedaulatan bagi semua bangsa, hal mana tentunya tidak lain dan tidak bukan, merupakan penggunaan hak-hak azasi manusia. dan hak-hak azasi nasional. Bagi semua bangsa-bangsa harus ada satu dasar, dan semua bangsa harus menerima dasar itu, demi perlindungan dirinya dan demi keselamatan umat manusia.

Bila saya boleh mengatakannya, kami dari Indonesia menaruh perhatian yang khusus sekali atas Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami mempunyai keinginan yang sangat khusus agar Organisasi ini berkembang dan berhasil baik. Karena tindakan-tindakannya, perjuangan untuk kemerdekaan dan kehidupan nasional kami sendiri telah dipersingkat. Dengan berkepercayaan penuh saya mengatakan, bahwa perjuangan kami, bagaimanapun juga, akan berhasil baik, namun tindakan-tindakan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu telah mempersingkat perjuangan dan telah mencegah banyak pengorbanan dan penderitaan serta kehancuran, baik di pihak kami maupun di pihak lawan-lawan kami.

Apakah sebabnya saya percaya, bahwa perjuangan kami akan berhasil baik, dengan atau tanpa kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa? Saya yakin akan hal itu kerena dua sebab. Pertama, saya mengenal rakyat saya; saya mengetahui kehausan mereka yang tiada terhingga akan kemerdekaan nasional, dan saya mengetahui akan tekadnya. Kedua, saya yakin akan hal itu karena jalannya sejarah. Kita semua, di manapun di dunia ini, hidup di zaman pembangunan bangsa-bangsa dan runtuhnya imperium-imperium. Inilah zaman bangkitnya bangsa-bangsa dan bergejolaknya nasionalisme. Menutup mata akan kenyataan ini adalah membuta terhadap sejarah, tidak mengindahkan takdir dan menolak kenyataan. Sekali lagi saya katakan, kita hidup di zaman pembangunan bangsa-bangsa.

Proses ini tidak dapat dielakkan dan merupakan sesuatu yang pasti; kadang-kadang lambat dan tidak dapat dielakkan, bagaikan lahar menurun lereng sebuah gunung-api di Indonesia; kadang-kadang cepat dan tidak terelakkan, bagaikan dobrakan air bah dari balik sebuah bendungan yang dibangun tidak sempurna. Lambat dan tak terelakkan, atau cepat dan tak terelakkan, kemenangan perjuangan nasional adalah suatu kepastian. Bila perjalanan menuju kebebasan itu sudah selesai di seluruh dunia, maka dunia kita akan menjadi suatu tempat yang lebih baik; akan merupakan suatu tempat yang lebih bersih dan jauh lebih sehat. Kita tidak boleh berhenti berjuang pada saat ini, manakala kemenangan telah menampakkan diri, sebaliknya kita harus melipatgandakan usaha kita. Kita telah berjanji kepada masa-depan dan itu harus dipenuhi. Dalam hal ini kita tidak hanya berjuang untuk kepentingan kita sendiri, melainkan kita berjuang untuk kepentingan umat menusia seluruhnya. Ya, perjuangan kita bahkan untuk kepentingan mereka yang kita tentang.

Lima tahun yang lalu, dua puluh sembilan bangsa-bangsa Asia dan Afrika telah mengirimkan utusannya ke kota Bandung, Indonesia. Dua puluh sembilan bangsa Asia dan Afrika. Kini, berapakah jumlah bangsa yang merdeka di sana? Saya tidak akan menghitungnya, tetapi silakan melihat di sekeliling Majelis ini sekarang! Dan katakanlah apakah saya benar, bila saya berkata bahwa kinilah saatnya pembangunan bangsa, dan saat bangkitnya bangsa-bangsa. Kemarin Asia, dan itu merupakan suatu proses yang belum selesai. Kini Afrika, itupun merupakan suatu proses, ya, belum selesai. Lagi pula, belum semua bangsa-bangsa Asia dan Afrika diwakili di sini. Organisasi bangsa-bangsa ini telah dilemahkan selama masih menolak perwakilan satu bangsa, dan teristimewa suatu bangsa yang tua dan bijaksana serta kuat.

Saya maksudkan Tiongkok. Saya maksudkan yang sering disebut Tiongkok Komunis, yang bagi kami adalah satu-satunya Tiongkok yang sebenarnya. Organisasi bangsa-bangsa ini sangat dilemahkan justru karena ia menolak keanggotaan bangsa yang terbesar di dunia

Setiap tahun kami menyokong diterimanya Tiongkok ke dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai anggota. Kami akan terus melakukannya. Kami tidak memberikan sokongan itu semata-mata karena kami mempunyai hubungan baik dengan negara tersebut. Dan pasti sokongan itu tidak kami berikan karena sesuatu alasan partisan. Tidak, pendirian kami mengenai persoalan ini dibimbing oleh realisme politik. Dengan secara picik mengecualikan suatu bangsa yang besar, bangsa agung dan kuat dalam arti kuantitet, kebudayaan, ciri-ciri suatu peradaban kuno, suatu bangsa yang penuh dengan kekuatan dan daya ekonomi, dengan mengecualikan bangsa itu kita lebih melemahkan Organisasi internasional ini, dan dengan demikian, lebih menjauhkannya dari kebutuhan dan cita-cita kita.

Kita bertekad untuk menjadikan Perserikatan Bangsa-Bangsa kuat dan universil serta mampu untuk memenuhi fungsinya yang layak. Itulah sebabnya mengapa kami senantiasa memberikan sokongann atas ikut-sertanya Tiongkok dalam lingkungan kita. Lagi pula, perlucutan senjata merupakan suatu keperluan yang mendesak dalam dunia ini. Persoalan yang terpenting ini dari semua masalah harus dirundingkan dan dipecahkan dalam rangka Organisasi ini. Namun bagaimana dapat tercapai suatu keputusan realistis mengenai perlucutan senjata, bila Tiongkok yang merupakan salah satu negara terkuat dalam dunia ini, tidak diturutsertakan dalam musyawarah-musyawarah itu? Diwakilinya Tiongkok dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengikutsertakan negara itu dalam masalah dunia yang konstruktif dan dengan demikian akan betul-betul memperkuat lembaga ini.

Di tahun sembilan belas enam puluh ini, Majelis Umum kembali berkumpul dalam sidang tahunannya. Namum Majelis Umum ini janganlah hanya dianggap sebagai suatu sidang rutin lainnya. Dan bila dianggap demikian, bila dianggap sebagai suatu sidang rutin, maka kemungkinan besar Organisasi internasional seluruhnya ini akan terancam kehancuran.

Camkanlah kata-kata saya, itulah permohonan saya! Janganlah memperlakukan masalah-masalah yang akan Tuan-tuan perbincangkan sebagai masalah rutin. Bila diperlakukan demikian, Organisasi ini yang telah memberikan kita suatu harapan untuk masa-depan, suatu kemungkinan-baik akan adanya persesuaian internasional, mungkin akan pecah. Ia mungkin akan lenyap perlahan-lahan di bawah gelombang pertikaian, sebagimana dialami oleh organisasi yang digantikannya. Bila hal ini terjadi, maka umat manusia sebagai keseluruhan akan menderita, dan suatu impian yang agung, suatu cita-cita yang agung, akan hancur. Ingatlah, bukanlah hanya kata-kata yang Tuan-tuan hadapi. Bukanlah pion-pion di atas papan catur yang Tuan-tuan hadapi. Yang Tuan-tuan hadapi adalah manusia, impian-impian manusia, cita-cita manusia dan hari-depan semua manusia.

Dengan segala kesungguhan, saya katakan: kami bangsa bangsa yang baru merdeka bermaksud berjuang untuk kepentingan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami bermaksud memperjuangkan suksesnya dan menjadikannya efektif. Badan itu dapat dijadikan efektif, dan akan dijadikan efektif, hanya bila anggota-anggota seluruhnya mengakui tiada terelakkannya jalan sejarah. Badan itu hanya dapat menjadi efektif, bila badan tersebut mengikuti jalannya sejarah, dan tidak mencoba untuk membendung atau mengalihkan ataupun menghambat jalannya sejarah itu.

Telah saya katakan, bahwa inilah saat pembangunan bangsa-bangsa dan runtuhnya imperium-imperium. Itulah kebenaran yang sesungguhnya. Berapa banyaknya bangsa-bangsa yang telah memperoleh kemerdekaan sejak terciptanya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa? Berapa banyak bangsa-bangsa telah melemparkan rantai penindasan yang membelenggunya? Berapa banyaknya imperium-imperium yang dibangun atas penindasan manusia telah hacur-lebur? Kami yang tadinya tiada bersuara, tidak membisu lagi. Kami yang tadinya membisu di alam kesengsaraan imperalisme tidak membisu lagi. Kami yang perjuangan hidupnya tertutup di bawah selubung kolonialisme, tidak tersembunyikan lagi.

Sejak hari bersejarah di tahun Sembilanbelas Empatpuluh Lima, dunia telah berobah, dan dia telah berobah ke arah perbaikan. Dari zaman pembangunan bangsa-bangsa ini telah muncul kemungkinan —ya, keharusan!— akan suatu dunia yang bebas dari ketakutan, bebas dari kekurangan, bebas dari penindasan-penindasan nasional. Kini, saat ini juga, di Majelis Umum ini, kita dapat mempersiapkan diri untuk menempatkan diri kita di dunia masa-depan itu, dunia yang telah kita pikirkan dan impikan serta bayangkan. Hal itu dapat kita lakukan, tetapi hanya bila kita tidak memperlakukan sidang ini sebagai suatu sidang rutin. Kita harus mengakui, bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa menghadapai suatu penimbunan masalah-masalah, masing-masing mendesak, masing-masing mengandung kemungkinan ancaman terhadap perdamaian dan kemajuan secara damai.

Kita bertekad, bahwa nasib dunia, dunia kita, tidak akan ditentukan tanpa kita. Nasib itu akan ditentukan dengan keikutsertaan dan kerjasama kita. Keputusan-keputusan yang penting bagi perdamaian dan masa-depan dunia dapat ditentukan di sini dan sekarang ini juga. Di sini berkumpul Kepala-Kepala Negara dan Kepala-Kepala Pemerintahan. Itulah rangka Organisasi kita. Saya sangat mengharapkan agar soal-soal protokol yang kaku serta perasaan sakit hati yang picik —perasaaan-perasaan perorangan maupun nasional— tidak akan menghalangi dipergunakannya kesempatan itu sebaik-baiknya. Kesempatan seperti ini tak akan sering ada. Hal itu harus dipergunakan sebaik-baiknya. Kita pada saat ini mempunyai kesempatan unik untuk menggabungkan diplomasi perseorangan dengan diplomasi umum. Marilah kita pergunakan kesempatan itu. Kesempatan yang tak akan kembali lagi!

Saya menyadari sedalam-dalamnya bahwa hadirnya demikian banyak Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, memenuhi harapan berjuta-juta orang. Mereka itu dapat mengambil keputusan-keputusan yang vital untuk menentukan wajah baru bagi dunia kita ini, dan dengan sendirinya juga wajah baru bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Layaklah pada saat ini untuk mempertimbangkan kedudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam hubungan dengan zaman pembangunan dan bangkitnya bangsa-bangsa hari ini.

Ini saya kemukakan: bagi suatu bangsa yang baru lahir atau suatu bangsa yang baru lahir-kembali, milik yang paling berharga adalah kemerdekaan dan kedaulatan.

Mungkin —saya tidak tahu, tapi mungkin— bahwa rasa untuk memegang teguh permata kedaulatan dan kemerdekaan yang berharga ini, hanya terdapat di lingkungan bangsa-bangsa yang baru bangkit kembali. Mungkin setelah berlalunya beberapa generasi perasaan kebanggaan dan tercapainya cita-cita itu menjadi pudar. Mungkin demikian, tetapi saya rasa tidak.

Bahkan sekarang ini, duaratus tahun kemudian, adakah seorang Arnerika yang tidak tergetar jiwanya mendengarkan kata-kata Declaration of Independence? Adakah seorang Italia yang kini tidak menyambut penggilan Mazzini? Adalah seorang warga Amerika Latin yang tidak lagi mendengar gemanya suara San Martin?

Benar, adakah seorang warga dunia yang tidak menyambut panggilan dan suara-suarai tu? Kita semua tergetar, kita semua menyambut, karena suara-suara itu adalah universal, baik mengengenai waktu maupun tempatnya. Suara-suara itu adalah suara umat manusia yang menderita, suara masa depan, dan kita masih mendengarnya sepanjang jaman.

Tidak, saya yakin, seyakin-yakinnya bahwa di dalam kedaulatan dan kemerdekaan nasional ada sesuatu yang kekal, sesuatu yang sekeras dan secerlang permata, dan jauh lebih berharga.

Banyak bangsa-bangsa di dunia ini telah lama memiliki permata ini. Mereka telah biasa memilikinya, tetapi saya yakin, bahwa mereka masih tetap menganggapnya yang paling dicintai di antara milik-miliknya, dan mereka akan lebih baik mati daripada melepaskannya.

Bukankah begitu? Apakah bangsa saudara sendiri akan pernah bersedia melepaskan kemerdekaannya? Setiap bangsa yang patut dinamakan bangsa akan memilih mati! Setiap pemimpinya yang patut disebut pemimpin dari bangsa manapun, juga akan memilih mati!

Betapa lebih berharga hal itu bagi kami, yang pernah suatu waktu memiliki permata kemerdekaan dan kedaulatan nasional itu, dan kemudian merasakan dirampasnya dari tangan kami oleh bandit-bandit yang bersenjata lengkap, dan yang kini telah kami rebut kembali!

Perserikatan Bangsa-bangsa ini adalah suatu organisasi dari negara-negara bangsa yang masing-masing menggenggam permata itu kuat-kuat sebagai sesuatu yang berharga. Kita semuanya telah berhimpun dengan sukarela, sebagai saudara dan sederajat dalam Organisasi ini. Sebagai saudara dan sederajat, karena kita semua memiliki kedaulatan yang sederajat, dan kita semua menganggap kedaulatan yang sederajat itu sama-sama berharga.

Ini adalah suatu badan internasional. Badan ini belumlah super-nasional ataupun supra-nasional. Badan ini merupakan suatu organisasi negara-negara bangsa, dan hanya dapat bekerja sepanjang Negara-Negara Bangsa menghendakinya.

Apakah kita semuanya dengan suara bulat telah menyetujui untuk menyerahkan suatu bagian dari kedaulatan kita kepada badan ini? Tidak, tidak pernah. Kita telah menerima baik Piagam, dan Piagam itu telah ditandatangani oleh negara-negara bangsa yang berdaulat penuh dan sederajat penuh

Ada kemungkinan, bahwa badan ini harus mempertimbangkan, apakah anggota-anggotanya harus menyerahkan sesuatu bagian dari kedaulatan mereka kepada badan internasional ini. Tetapi jika keputusan yang semacam itu diambil, keputusan itu harus diambil secara bebas, dan dengan suara bulat, dan sederajat. Harus diuputuskan sederajat oleh semua bangsa, yang kuno dan yang baru, bangsa yang baru muncul dan yang sudah lama maju dan yang belum maju.

Hal ini bukannya sesuatu yang dapat dipaksakan pada bangsa manapun juga. Selanjutnya, dasar satu-satunya yang mungkin bagi badan semacam itu ialah persamaan yang sejati. Kedaulatan dari bangsa yang paling baru atau bangsa yang paling kecil sama berharganya, sama tidak dapat dilanggarnya, seperti kedaulatan bangsa yang paling besar atau bangsa yang paling tua. Dan selain daripada itu, sesuatu pelanggaran terhadap kedaulatan sesuatu bangsa merupakan suatu ancaman potensiil terhadap kedulatan semua bangsa.

Dalam gambaran dunia inilah, kita harus melihat dunia sekarang ini. Dunia kita yang satu ini terdiri dari negara-negara bangsa, masing-masing sama berdaulat dan masing-masing berketetapan hati menjaga kedaulatan itu, dan masing-masing berhak untuk menjaga kedaulatan itu. Dan sekali lagi saya katakan —dan saya ulang ini karena merupakan dasar dari pengertian terhadap dunia dewasa ini— kita hidup dalam zaman pembangunan bangsa.

Kenyataan ini jauh lebih penting daripada adanya senjata-senjata nuklir, lebih eksplosif daripada bom-bom hidrogen, dan mempunyai harga potensial yang lebih besar untuk dunia daripada pemecahan atom.

Keseimbangan dunia telah berobah sejak hari itu dalam bulan Juni, limabelas tahun yang lalu, ketika Piagam ditandatangani di kota San Francisco di Amerika, pada saat manusia sedang bangkit kembali dari neraka peperangan.

Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat saja. Juga kami, bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil, kamipun berhak bersuara dan suara itu pasti akan berkumandang di sepanjang jaman.

Yah, kami insyaf akan tanggung jawab kami terhadap masa-depan semua bangsa, dan kami dengan gembira menerima tanggungjawab itu. Bangsa saya berjanji pada diri sendiri untuk bekerja mencapai suatu dunia yang lebih baik, suatu dunia yang bebas dari sengketa dan ketegangan, suatu dunia dimana anak-anak dapat tumbuh dengan bangga dan bebas, suatu dunia dimana keadilan dan kesejahteraan berlaku untuk semua orang. Adakah sesuatu bangsa akan menolak janji semacam itu?

Beberapa bulan yang lalu, sesaat sebelum para pemimpin negara-negara besar bertemu sesingkat itu di Paris, Tuan Khrushchov menjadi tamu kami di Indonesia. Saya jelaskan padanya sejelas-jelasnya, bahwa kami menyambut baik Konferensi Tingkat Tertinggi, yang kami harapkan berhasil, tetapi bahwa kami skeptis. Empat negara besar itu saja, tidak dapat menentukan masalah perang dan damai. Lebih tepat —barangkali— mereka mempunyai kekuatan untuk merusak perdamaian, tetapi mereka tidak mempunyai hak moral, baik secara sendirian maupun bersama-sama, untuk mencoba menentukan hari depan dunia.

Selama lima belas tahun ini, Barat telah mengenal perdamaian, atau sekurang-kurangnya ketiadaan perang. Tentu saja ada ketegangan-ketegangan. Memang, ada bahaya. Tetapi tetap merupakan kenyataan, bahwa di tengah-tengah suatu revolusi yang meliputi tiga perempat dari dunia, Barat tetap dalam keadaan damai. Kedua blok besar, sebetulnya, telah berhasil mempraktekkan koexistensi selama bertahun-tahun itu, sehingga dengan demikian membantah mereka yang menyangkal kemungkinan adanya koexistensi.

Kami di Asia tidak pernah mengenal keadaan damai! Setelah perdamaian datang untuk Eropah, kami merasai akibat bom-bom atom. Kami merasai revolusi nasional kami sendiri di Indonesia. Kami merasai penyiksaan Vietnam. Kami menderita penganiayaan Korea. Kami masih senantiasa menderita kepedihan Aljazair. Apakah sekarang ini seharusnya giliran Saudara-saudara kita di Afrika? Apakah mereka harus disiksa, sedang luka-luka kami masih belum sembuh?

Toh masih saja Barat dalam keadaan damai. Herankah Tuan-tuan bahwa kami sekarang menuntut, ya, menuntut batalnya siksaan terhadap kami? Herankah Tuan-tuan, bahwa kini suara saya diperdengarkan sebagai protes?

Kami, yang dulu tidak bersuara, mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan; kami berhak untuk didengar. Kami bukannya barang perdagangan, tetapi adalah bangsa-bangsa yang hidup dan yang perkasa, yang mempunyai peranan di dunia ini, dan yang harus memberikan sumbangannya.

Saya pergunakan kata-kata yang keras, dan saya pergunakan kata-kata itu dengan sengaja, karena saya punya pendirian yang tegas mengenai soal itu. Dengan sengaja saya pergunakan kata-kata keras, karena saya bicara untuk bangsa saya dan karena saya bicara di muka para pemimpin bangsa-bangsa.

Selain daripada itu, saya tahu bahwa Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika mempunyai pendirian yang sama tegasnya, walaupun saya tidak berani berbicara atas nama mereka.

Majelis Umum ini tentunya akan menghadapi banyak hal yang penting. Tetapi tidaklah ada hal yang lebih penting daripada perdamaian. Mengenai ini, saya pada saat ini tidak membicarakan soal-soal yang timbul antara negara-negara besar di dunia. Soal-soal demikian itu sangat vital bagi kami, dan saya nanti kembali pada soal-soal tersebut. Tapi tengoklah sekeliling dunia kita ini. Di banyak tempat terdapat ketegangan-ketegangan dan sumber-sumber sengketa potensial. Perhatikanlah tempat-tempat itu dan tuan akan jumpai, bahwa hampir tanpa perkecualian, imperialisme dan kolonialisme di dalam salah satu dari banyak manifestasinya adalah sumber ketegangan atau sengketa itu. Imperialisme dan kolonialisme dan pemisahan terus-menerus secara paksa dari bangsa-bangsa merupakan sumber dari hampir semua kejahatan internasional yang mengancam dunia kita ini.

Sebelum kejahatan-kejahatan dari masa lampau yang terkutuk itu diakhiri, tidak akan ada ketenangan atau perdamaian di seluruh dunia ini!

Imperialisme, dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang besar di dunia kita ini. Banyak di antara Tuan-tuan dalam Sidang ini tidak pernah mengenal imperialisme. Banyak di antara Tuan-tuan lahir merdeka dan akan mati merdeka. Beberapa di antara Tuan-tuan lahir dari bangsa-bangsa yang telah menjalankan imperialisme terhadap yang lain, tetapi tidak pernah menderitanya sendiri. Akan tetapi Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika telah mengenal cambuk imperialisme. Mereka telah menderitanya. Mereka mengenal bahayanya dan kelicikannya serta keuletannya. Kami di Indonesia mengenalnya juga. Kami adalah ahli-ahli dalam soal ini! Berdasarkan pengetahuan itu dan berdasarkan pengalaman itu, saya katakan pada Tuan-tuan bahwa berlanjutnya imperialisme dalam setiap bentuknya merupakan suatu bahaya yang besar dan berlarut-larut.

Imperialisme belum lagi mati. Imperialism is dying! Ya, sedang dalam keadaan sekarat; ya, arus sejarah sedang melanda bentengnya dan menggerogoti pondamen-pondamennya; ya, kemenangan kemerdekaan dan nasionalisme sudah pasti. Akan tetapi —dan camkanlah perkataan saya ini— imperialisme yang sedang sekarat itu berbahaya, sama berbahayanya dengan seekor harimau yang luka di dalam rimba raya tropik.

Ini saya tegaskan pada Tuan-tuan —dan saya sadar bahwa sekarang berbicara untuk Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika— perjuangan untuk kemerdekaan senantiasa dibenarkan dan benar. Mereka yang menentang gerakmaju yang tidak terelakkan dari kemerdekaan nasional dan hak menentukan nasib sendiri, adalah buta; mereka yang berusaha untuk mengembalikan apa yang tidak dapat dikembalikan merupakan bahaya bagi mereka sendiri dan bagi dunia.

Sebelum kenyataan-kenyataan ini —dan ini memang kenyataan-kenyataan— diakui, tidak akan ada perdamaian dunia ini, dan tidak akan lenyaplah ketegangan. Saya serukan kepada Tuan-tuan: tempatkanlah kewibawaan dan kekuatan moral dari Organisasi Negara-Negara ini di belakang mereka yang berjuang untuk kemerdekaan. Lakukanlah itu secara jelas dan tegas. Lakukanlah itu sekarang! Lakukanlah, dan Tuan-tuan akan memperoleh dukungan bulat dan tulus ikhlas dari semua orang yang berkemauan baik. Lakukanlah sekarang, dan generasi-generasi yang akan datang akan menghargai Tuan-tuan. Saya serukan kepada Tuan-tuan, kepada semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa: Bergeraklah bersama arusnya sejarah; janganlah mencoba membendung arus itu!

Perserikatan Bangsa-Bangsa sekarang ini juga berkesempatan untuk membangun bagi dirinya sendiri, reputasi dan gengsi yang besar. Mereka yang berjuang untuk kemerdekaan akan mencari sokongan dan sekutu-sekutu di mana saja dapat diperolehnya; alangkah baiknya bilamana mereka berpaling kepada badan ini dan kepada Piagam kita, daripada kepada sesuatu kelompok atau bagian dari badan ini.

Lenyapkanlah sebab-sebab peperangan, dan kita akan merasa damai. Lenyapkanlah sebab-sebab ketegangan dan kita akan merasa tenang. Jangan ditunda-tunda. Waktunya singkat, bahayanya besar!

Umat manusia di seluruh dunia berteriak minta perdamaian dan ketenangan, dan hal-hal itu berada dalam kekuasaan kita. Jangan mencegahnya, karena nanti badan ini akan dicemarkan namanya dan ditinggalkan. Tugas kita bukannya untuk mempertahankan dunia ini, akan tetapi untuk membangun dunia kembali! Hari depan —andai-kata ada hari depan— akan menilai kita berdasarkan berhasilnya tugas kita ini.

Saya minta kepada bangsa-bangsa yang sudah lama berdiri, janganlah menganggap remeh kekuatan nasionalisme. Jika tuan menyangsikan kekuatannya, tengoklah di sekitar Majelis ini dan bandingkanlah dengan San Francisco lima belas tahun yang lalu. Nasionalisme, nasionalisme yang mencapai kemenangan dengan gemilang, telah menyebabkan perobahan ini, dan ini adalah baik. Dewasa ini dunia diperkaya dan dimuliakan oleh kebijaksanaan dari para pemimpin bangsa-bangsa berdaulat yang baru dibentuk. Untuk menyebut enam dari banyak contoh, yakni seorang Norodom Sihanouk, seorang Nasser, seorang Nehru, seorang Sekou Toure, seorang Mao Tse Tung dan seorang Nkrumah. Bukankah dunia menjadi lebih baik, jika mereka berada di sini daripada mereka mempergunakan seluruh hidupnya dan seluruh kekuatannya untuk menggulingkan imperialisme yang membelenggu mereka? Dan bangsa-bangsa merekapun sudah merdeka, dan bangsa saya merdeka, dan lebih banyak lagi bangsa yang merdeka. Bukankah dengan demikian, dunia menjadi suatu tempat yang lebih baik dan lebih kaya?

Memang, saya tidak perlu membentangkan kepada Tuan-tuan, bahwa kami dari Asia dan Afrika menentang kolonialisme dan imperialisme. Lebih daripada itu, siapakah dalam dunia sekarang ini masih akan membela hal-hal itu? Secara universal hal-hal itu telah dikutuk, dan sudah sepantasnya, dan alasan-alasan sinis yang usang itu tidak terdengar lagi. Pertentangan sekarang berpusat pada persoalan kapankah daerah-daerah jajahan akan merdeka, dan bukan pada persoalan apakah mereka akan merdeka. Tetapi saya hendak menegaskan soal ini. Oposisi kami terhadap kolonialisme dan imperialisme timbul —baik dari hati maupun dari kepala kami. Kami menentangnya atas dasar kemanusiaan, dan kami menentangnya pula dengan alasan bahwa hal ini merupakan suatu ancaman yang besar dan makin besar lagi terhadap perdamaian. Tiadanya persesuaian pendapat dengan kekuatan-kekuatan kolonial berkisar pada soal-soal waktu dan keamanan, karena sekarang setidak-tidaknya mereka beromong-kosong tentang cita-cita kemerdekaan nasional.

Oleh karena itu, renungkanlah dalam-dalam mengenai nasionalisme dan kemerdekaan, mengenai patriotisme dan mengenai imperialisme. Renungkanlah dalam-dalam —demikian permohonan saya— jangan sampai arus sejarah melanda Tuan-tuan. Dewasa ini, kita banyak mendengar dan membaca mengenai perlucutan senjata. Perkataan itu biasanya dipakai dalam hubungan perlucutan senjata nuklir dan atom. Maafkanlah saya. Saya seorang sederhana dan seorang yang cinta damai. Saya tidak dapat bicara mengenai detil-detil perlucutan senjata. Saya tidak dapat memberikan penilaian mengenai pendapat-pendapat yang bersaing tentang pengawasan, mengenรกi percobaan-percobaan di bawah tanah dan mengenai catatan-catatan seismografik.

Mengenai persoalan-persoalan imperialisme dan nasionalisme, saya seorang ahli, sesudah seumur hidup mempelajarinya dan berjuang. Dan mengenai soal-soal ini, saya bicara dengan kewibawaan. Tetapi mengenai persoalan-persoalan peperangan nuklir, saya hanya seorang biasa saja, mungkin seperti tetangga tuan atau seperti saudara tuan atau bahkan seperti ayah tuan. Saya ikut merasakan kengerian mereka, saya ikut merasakan ketakutan mereka.

Saya ikut merasakan kengerian dan ketakutan, itu karena saya adalah bagian dari dunia ini. Saya punya anak-anak, dan hari depan mereka terancam bahaya. Saya seorang Indonesia, dan bangsa itu terancam bahaya.

Mereka yang mempergunakan senjata penghancur massal itu sekarang harus menghadapi hati nurani mereka sendiri, dan akhirnya, mungkin dalam keadaan hangus menjadi debu radio aktif, mereka harus menghadapi al-Khaliknya. Saya tidak iri terhadap mereka.

Mereka yang mempersoalkan perlucutan senjata nuklir jangan lupa bahwa kami, yang dalam hal ini sebelumnya tidak dapat bersuara, sedang memperhatikan dan mengharap-harap.

Kami sedang memperhatikan dan mengharap-harap, toh kami diliputi oleh kecemasan, karena jika perang nuklir menghancurkan dunia kita ini, kami juga ikut menderita.

Tidak seorang mahlukpun berhak untuk menggunakan hak-hak prerogatif Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak seorangpun berhak mempergunakan bom-bom hidrogen. Tidak satu bangsapun berhak untuk menyebabkan kemungkinan hancurnya semua bangsa-bangsa.

Tiada suatu sistim politik, tiada suatu organisasi ekonomi yang layak untuk menyebabkan musnahnya dunia, termasuk sistim maupun organisasi itu sendiri.

Jika hanya negara-negara yang bersenjata hidrogen yang tersangkut dalam persoalan ini, maka kami bangsa-bangsa Asia dan Afrika tidak akan menghiraukannya. Kami hanya akan melihat saja sambil menjauhkan diri, dengan perasaan heran mengapa negara-negara, darimana kami belajar sedemikian banyaknya itu, serta yang sangat kami kagumi itu, pada dewasa ini harus tenggelam dalam rawa immorality. Kami akan dapat berseru: "Terkutuklah kalian!", dan kami akan dapat kembali ke dalam dunia kami sendiri yang lebih berimbang dan damai.

Tetapi, kami tak dapat berbuat demikian. Kami bangsa Asia telah menderita akibat bom atom. Kami bangsa Asia terancam lagi, dan selain itu, kami merasa sebagai suatu kewajiban moral untuk memberikan bantuan dimana mungkin. Kami bukanlah musuh Timur maupun Barat. Kami merupakan suatu bagian dari dunia ini dan kami ingin membantu.

Ini adalah suatu jeritan dari hati-sanubari Asia. Biarkanlah kami membantu memecahkan masalah-masalah ini. Mungkin Tuan-tuan memperhatikannya terlampau lama, dan tak lagi melihatnya secara jelas. Biarkanlah kami membantu Tuan-tuan, dan dalam membantu Tuan-tuan, kami bantu diri kami sendiri, dan semua generasi yang akan datang di seluruh dunia.

Jelaslah, bahwa masalah perlucutan senjata bukan hanya perselisihan pendapat tentang dasar-dasar teknis yang sempit. Ini adalah pula persoalan saling mempercayai. Sebetulnya telah jelas, bahwa dalam bidang teknik dan dalam cara-cara berunding dan berdiplomasi, sesungguhnya antara kami dari Asia-Afrika dan kedua blok itu tidaklah banyak berbeda. Soalnya sebenarnya lebih merupakan soal saling tidak mempercayai. Ini adalah suatu masalah yang dapat dipecahkan dengan cara-cara itu. Negara-negara lain yang tidak tergabung dalam suatu blok, bisa memberi bantuan dalam hal ini! Kami tidak kurang pengalaman dan kepandaian untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan. Mungkin perantaraan kami dapat juga berharga. Mungkin kami dapat pula memberikan bantuan dalam mencari suatu penyelesaian. Mungkin —siapa tahu— kami dapat memperlihatkan kepada Tuan-tuan jalannya menuju ke arah satu-satunya perlucutan senjata yang sesungguhnya, yaitu perlucutan senjata di dalam hati manusia, perlucutan ketidakpercayaan dan kebencian manusia.

Tidak ada sesuatupun yang lebih mendesak daripada hal ini. Dan persoalan ini demikian vital bagi seluruh umat manusia, sehingga seluruh umat manusia harus diikutsertakan dalam pemecahannya. Saya kira pada saat ini kita boleh berkata, bahwa sebenarnya hanyalah desakan dan usaha dari negara-negara non blok akan memberikan hasil yang diperlukan seluruh dunia. Pembicaraan yang sungguh-sungguh tentang perlucutan senjata, di dalam rangka organisasi ini, dan didasarkan pada suatu harapan yang sungguh-sungguh akan suksesnya, adalah yang esensial sekarang ini.

Saya tekankan "dalam rangka organisasi ini", karena hanya Majelis inilah yang mulai mendekati suatu cerminan yang sebenarnya dari dunia dimana kita hidup.

Renungkan, renungkan sejenak, apa yang mungkin terjadi jika kita dapat meletakkan suatu dasar bagi perlucutan senjata yang sejati. Ingatlah akan dana-dana yang sangat besar yang dapat digunakan untuk perbaikan dunia dimana kita hidup ini. Ingatlah akan daya gerak yang maha hebat yang dapat diberikan kepada perkembangan mereka yang kurang maju, sekalipun hanya sebagian saja dari anggaran belanja pertahanan dari negara-negara besar disalurkan ke arah itu. Ingatlah akan bertambahnya secara hebat kebahagiaan manusia, produktivitas manusia dan kesejahteraan manusia jika hal itu diselenggarakan.

Perlu saya tambahkan sesuatu lagi pada hal ini. Jika ada suatu immoralitas yang lebih besar daripada memperagakan senjata-senjata hidrogen, maka hal itu adalah melakukan percobaan-percobaan dengan senjata-senjata tersebut. Saya tahu bahwa ada suatu perbedaan pendapat ilmiah tentang akibat genetik daripada percobaan-percobaan itu. Akan tetapi perbedaan ini hanya mengenai jumlah korban-korban. Tentang adanya akibat genetik yang buruk, terdapat persesuaian pendapat. Pernahkah mereka yang mengesahkan percobaan-percobaan itu membayangkan akibat-akibat perbuatan mereka? Pernakah mereka melihat kepada anak-anak mereka sendiri dan merenungkan akibat-akibat itu? Pada dewasa ini, percobaan-percobaan dengan senjata-senjata nuklir ditangguhkan —perhatikan tidak dilarang, tetapi hanya ditangguhkan. Maka, marilah kita pergunakan kenyataan ini sebagai permulaan. Marilah kita pergunakan kenyataan ini sebagai dasar untuk melarang percobaan, dan kemudian untuk pelucutan senjata yang sungguh-sungguh.

Sebelum meninggalkan persoalan perlucutan senjata, saya hendak memberikan suatu ulasan lagi. Berbicara tentang perlucutan senjata memang baik. Tetapi berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun suatu persetujuan perlucutan senjata akan lebih baik. Dan yang terbaik adalah pelaksanaan daripada persetujuan perlucutan senjata itu. Akan tetapi marilah kita realistis. Bahkan pelaksanaan daripada suatu persetujuan perlucutan senjatapun tidak akan merupakan jaminan bagi perdamaian dunia yang dalam kesengsaraan dan kesukaran. Perdamaian hanya akan datang, jika sebab-sebab ketegangan dan bentrokan disingkirkan.

Jika ada suatu sebab untuk bentrokan, maka manusia akan berjuang dengan bambu runcing, jika tidak terdapat senjata lain. Saya tahu oleh karena bangsa saya sendiri melakukannya dalam perjuangan kami untuk kemerdekaan. Kami telah berjuang dengan menggunakan pisau dan bambu runcing. Untuk mencapai perdamaian, kita harus menyingkirkan sebab-sebab ketegangan dan sebab-sebab bentrokan itu. Itulah sebabnya saya berbicara dari lubuk hati saya mengenai perlunya bekerja sama untuk menyebabkan matinya imperialisme dengan cara yang hina .

Di mana terdapat imperialisme, dan di mana terdapat penyusunan kekuatan bersenjata yang serentak, maka keadaan memang berbahaya. Sekali lagi saya berbicara berdasarkan pengalaman. Begitulah keadaannya di Irian Barat. Begitulah keadaannya di seperlima wilayah nasional kami yang pada dewasa ini masih tetap membungkuk di bawah belenggu imperialisme.

Di sanalah kami menghadapi imperialisme dan kekuatan bersenjata dari imperialisme. Di perbatasan daerah itu tentara kami berbicara di darat maupun di lautan. Kedua kekuatan bersenjata itu saling berhadapan, dan dapat saya katakan bahwa hal itu merupakan suatu keadaan yang explosif. Belum lama berselang, tentara di Irian Barat yang masih muda serta tersesat itu dan yang membela suatu faham yang telah ketinggalan zaman, diperkuat dengan datangnya kapal induk Karel Doorman dari tanah airnya yang jauh itu. Maka saat itulah keadaan menjadi betul-betul berbahaya. Kepala Staf Angkatan Darat Indonesia duduk dalam delegasi saya ini: namanya Jenderal Nasution. Ia adalah prajurit profesional dan seorang perajurit yang ulung. Seperti halnya dengan anak buah yang dipimpinnya, dan seperti juga halnya dengan bangsa yang dibelanya, ia pertama-tama adalah seorang yang cinta damai. Tetapi lebih daripada itu, ia dan anak buahnya serta bangsa saya mengabdi untuk mempertahankan tanah air kami. Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan bertahun-tahun. Kami telah berusaha dan tetap berusaha. Kami telah berusaha menggunakan alat-alat Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kekuatan pendapat dunia yang dinyatakan di sini. Kami telah berusaha dan dalam hal inipun kami tetap berusaha. Harapan lenyap; kesabaran hilang; bahkan toleransipun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya kecuali memperkeras sikap kami. Jika mereka gagal untuk secara tepat menilai arus sejarah, maka kita tidaklah dapat dipersalahkan. Akan tetapi akibat daripada kegagalan mereka ialah timbulnya ancaman terhadap perdamaian dan —sekali lagi— hal ini menyangkut pula Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Irian Barat merupakan pedang kolonial yang diancamkan terhadap Indonesia. Pedang ini diarahkan pada jantung kami, akan tetapi disamping itu mengancam pula perdamaian dunia.

Usaha-usaha kami dewasa ini yang sungguh-sungguh untuk mencapai penyelesaian dengan cara-cara kami sendiri, adalah bagian dari sumbangan kami ke arah terjaminnya perdamaian dunia. Ini adalah bagian dari usaha kami untuk mengakhiri masalah dunia, yang merupakan kejahatan yang usang. Usaha kami adalah usaha pembedahan yang sungguh-sungguh untuk menyingkirkan kanker imperialisme dari sebuah wilayah dunia, di mana kami hidup dan berada.

Saya katakan dengan segala kesungguhan bahwa keadaan di Irian Barat adalah keadaan yang berbahaya, suatu keadaan yang explosif, suatu hal yang merupakan sebab ketegangan dan suatu ancaman bagi perdamaian. Jenderal Nasution tidak bertanggungjawab atas hal itu. Tentara kami tidak bertanggungjawab atas hal itu. Sukarno tidak bertanggungjawab atas hal itu. Indonesia tidak bertanggungjawab atas hal itu. Tidak! Ancaman terhadap perdamaian berasal langsung dari adanya imperialisme dan kolonialisrne itulah.

Singkirkan pengekangan terhadap kemerdekaan dan emansipasi, dan ancaman terhadap perdamaian akan lenyap. Tumbangkan imperialisme, dan segera dengan sendirinya dunia akan menjadi suatu tempat yang lebih bersih, suatu tempat yang lebih baik, dan suatu tempat yang lebih aman.

Saya tahu bahwa jika saya kemukakan hal ini, banyak pikiran akan beralih kepada keadaan di Konggo. Tuan-tuan mungkin bertanya, bukankah imperialisme telah diusir dari Konggo dengan akibat bahwa di daerah itu sekarang terjadi persengketaan dan pertumpahan darah? Tidak demikian halnya! Keadaan di Konggo yang sangat disesalkan adalah langsung disebabkan oleh imperialisme, dan tidak disebabkan oleh berakhirnya imperialisme itu. Imperialisme berusaha untuk mempertahankan kedudukannya di Konggo; berusaha untuk dapat memutungkan dan melumpuhkan negara baru itu. Itulah sebabnya Konggo berkobar.

Ya, di Konggo, terdapat penderitaan. Akan tetapi penderitaan itu merupakan kesakitan dari lahirnya kemajuan, dan kemajuan yang explosif senantiasa membawa kesakitan. Mencabut sampai ke akar-akarnya kepentingan nasional dan internasional yang sudah bercokol selalu menyebabkan kesakitan dan kegoncangan.

Kami mengetahuinya. Kami mengetahui pula dari pengalaman-pengalaman kami sendiri bahwa perkembangan itu sendiri menimbulkan pergolakan. Suatu bangsa yang sedang bergolak membutuhkan pimpinan dan bimbingan, dan akhirnya akan menghasilkan pimpinan serta bimbingannya sendiri.

Kami bangsa Indonesia berbicara berdasarkan pengalaman-pengalaman yang pahit. Masalah Konggo, yang merupakan masalah kolonialisme dan imperialisme, harus diselesaikan dengan menggunakan prinsip-prinsip yang telah saya uraikan tadi. Konggo adalah negara yang berdaulat. Hendaknya kedaulatan itu dihormati. Ingatlah kedaulatan Konggo tidak kurang daripada kedaulatan setiap bangsa yang diwakili dalam Majelis ini, dan kedaulatan ini harus dihormati secara sama.

Dalam soal-soal dalam negeri Konggo tidak boleh ada cumpur tangan dan sama sekali tidak boleh ada bantuan, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi, untuk menghancurkan negara ini.

Ya, memang bangsa itu akan membuat kesalahan-kesalahan, kita semua membuat kesalahan-kesalahan dan kita semua belajar dari kesalahan-kesalahan. Ya, pergolakan akan timbul, akan tetapi itupun biarlah berlangsung, karena ini merupakan tanda bagi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Sampai mana pergolakan itu adalah soalnya bangsa itu sendiri.

Marilah kita, baik secara perseorangan, maupun secara bersama-sama, membantu di sana apabila kita diminta oleh pemerintah yang sah dari bargsa itu. Akan tetapi tiap-tiap bantuan semacam itu harus jelas didasarkan atas kedaulatan Konggo yang tidak boleh diganggu-gugat.

Akhirnya, taruhlah kepercayaan pada bangsa itu! Mereka sedang mengalami masa percobaan yang besar dan sedang sangat menderita. Taruhlah kepercayaan pada mereka sebagai bangsa yang baru merdeka, dan mereka akan menemukan jalannya sendiri ke arah penyelesaiannya sendiri atas masalah-masalahnya sendiri.

Di sini hendak saya kemukakan peringatan yang sangat serius. Banyak anggota organisasi ini dan banyak pejabat organisasi ini mungkin tak begitu menyadari perbuatan-perbuatan imperialisme dan kolonialisme.

Mereka tak pernah mengalaminya; mereka tak mengenal keuletannya dan kebengisannya dan banyaknya mukanya, dan kejahatannya.

Kami dari Asia dan Afrika mengenalnya. Saya katakan pada Tuan-tuan: Janganlah bertindak sebagai alat yang tak tahu apa-apa dari imperialisme. Janganlah bertindak sebagai tangan kanan yang buta dari kolonialisme. Jika tuan bertindak demikian, maka tuan pasti akan membunuh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, dan dengan begitu tuan akan.membunuh harapan dari berjuta-juta manusia, yang tiada terhitung itu dan mungkin tuan akan menyebabkan hari depan, mati dalam kandungan. Sebelum meninggalkan persoalan-persoalan ini, saya hendak menyinggung pula suatu persoalan besar lain yang kira-kira sama sifatnya. Yang saya maksud ialah Aljazair. Di sini terdapat suatu gambaran yang menyedihkan, dimana kedua belah fihak sedang berlumuran darah dan dihancurkan karena ketiadaan penyelesaian. Itu merupakan suatu tragedi!

Sudah jelas sekali bahwa rakyat Aljazair menghendaki kemerdekaan. Hal itu tidak dapat dibantah lagi. Andaikata tidak demikan, maka perjuangan yang lama dan pahit dan berdarah itu sudah akan berakhir bertahun-tahun yang lalu. Kehausan akan kemerdekaan serta ketabahan untuk memperoleh kemerdekaan merupakan faktor-faktor pokok dalam situasi ini.

Apa yang belum ditentukan, hanyalah betapa akrab dan selaras suatu kerjasama di hari depan dengan Prancis seharusnya. Kerjasama yang sangat akrab dan sangat selaras tidak akan sukar dicapai, bahkan pada taraf sekarang ini, meskipun barangkali ia akan bertambah sukar dicapainya dengan terus berlangsungnya perjuangan itu. Maka, adakanlah suatu plebisit di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Aljazair untuk menentukan kehendak rakyat, akan betapa akrab dan selaras hubungan-hubungan itu seharusnya. Plebisit itu hendaknya jangan mengenai soal kemerdekaan. Kemerdekaan itu sudah ditentukan dengan darah dan air mata dan pastilah akan berdiri suatu Aljazair yang merdeka.

Plebisit seperti yang saya sarankan, jika diselenggarakan dalam waktu singkat, akan merupakan jaminan yang terbaik bahwa antara Aljazair merdeka dan Prancis akan terdapat suatu kerjasama yang akrab dan baik untuk keuntungan bersama. Sekali lagi saya berbicara berdasarkan pengalaman. Indonesia tadinya tidak mengandung niat untuk merusak hubungan-hubungan yang erat dan selaras dengan Belanda. Akan tetapi, rupa-rupanya bahkan dewasa ini, seperti generasi-generasi yang sudah-sudah, pemerintah bangsa itu berpegang teguh pada "memberi terlalu sedikit dan meminta terlampau banyak". Baru ketika hal itu tak tertahankan lagi, hubungan-hubungan tersebut diputuskan.

Ijinkanlah saya beralih ke masalah yang lebih luas tentang perang dan damai di dunia kita ini. Yang pasti adalah bahwa negara-negara yang baru lahir dan yang dilahirkan kembali tidak merupakan ancaman terhadap perdamaian dunia. Kami tidak mempunyai ambisi-ambisi teritorial; kamipun tidak mempunyai tujuan-tujuan ekonomi yang tidak bisa disesuaikan. Ancaman terhadap perdamaian tidak datang dari kami, tetapi malahan dari fihak negara-negara yang lebih tua, yang telah lama berdiri dan stabil itu.

O, ya, di negara-negara kami terdapat pergolakan. Sebenarnya, pergolakan itu seakan-akan merupakan suatu fungsi dari jangka waktu pertama kemerdekaan. Apakah itu mengherankan? Coba, marilah saya ambil contoh dari sejarah Amerika. Dalam satu generasi harus dialami Perang Kemerdekaan dan Perang Saudara antara negara-negara bagian. Selanjutnya dalam generasi itu juga harus dialami timbulnya perserikatan-perserikatan buruh yang militan —masa dari International Workers of the World (IWW), "Wobblies". Harus pula dialami hijrah ke Barat. Harus pula dialami Revolusi Industri dan, ya, bahkan masa "pedagang-pedagang aktentas". Harus pula diderita akibat orang-orang ala Benedict Arnold. Dan seperti sering saya katakan, kami desakkan banyak revolusi dalam satu revolusi dan banyak generasi dalam satu generasi. Maka herankah Tuan-tuan jika terdapat pergolakan pada kami? Bagi kami hal itu adalah biasa dan kami telah menjadi biasa untuk menunggang angin pusar. Saya mengerti benar, bahwa untuk orang luaran hal ini seringkali tampak seperti gambaran kekacauan dan kerusuhan dan rebut-merebut kekuasaan.

Bagaimanapun juga, pergolakan itu adalah merupakan urusan kami sendiri dan tidak merupakan suatu ancaman bagi siapapun, meskipun hal itu sering memberi kesempatan-kesempatan untuk mencampuri urusan kami. Meskipun demikian, kepentingan-kepentingan yang bertentangan dari negara-negara besar adalah soal lain: dalam hal ini, masalah-masalah dikaburkan oleh ancaman-ancaman dengan bom-bom hidrogen dan oleh diulang-ulangnya slogan-slogan lama yang telah usang.

Kami tak dapat mengabaikannya, karena masalah-masalah itu mengancam kami. Toh; terlalu sering masalah-masalah tersebut nampak seakan-akan tidak sungguh. Dengan terus terang dan tanpa ragu-ragu hendak saya katakan kepada Tuan-tuan bahwa kami menempatkan hari-depan kami sendiri jauh di atas percekcokan-percekcokan di Eropah.

Ya, kami banyak belajar dari Eropa dan Amerika. Kami telah mempelajari sejarah Tuan-tuan dan penghidupan orang-orang besar dari bangsa tuan. Kami telah mengikuti contoh dari Tuan-tuan, bahkan kami telah berusaha melebihi Tuan-tuan. Kami berbicara dalam bahasa-bahasa Tuan-tuan dan membaca buku-buku tuan-tuan. Kami telah diilhami oleh Lincoln dan Lenin, oleh Cromwell dan Garibaldi. Dan memang masih banyak yang harus kami pelajari dari Tuan-tuan di banyak bidang. Tetapi pada dewasa ini bidang-bidang yang kami harus pelajari lebih banyak lagi dari Tuan-tuan, adalah bidang teknik dan ilmiah, dan bukan paham-paham atau gerakan yang didiktekan oleh ideologi. Di Asia dan Afrika pada dewasa ini masih hidup, masih berpikir, masih bertindak, mereka yang memimpin bangsanya ke arah kemerdekaan, mereka yang mengembangkan teori-teori ekonomi yang agung dan membebaskan, mereka yang telah menumbangkan kelaliman, mereka yang mempersatukan bangsanya dan mereka yang menaklukkan perpecahan bangsanya.

Oleh karena itu dan memang selayaknya, kami dari Asia-Afrika saling mendekati untuk memperoleh bimbingan dan inspirasi, dan kami mencari pada diri sendiri pengalaman dan kebijaksanaan yang telah terhimpun pada bangsa-bangsa kami.

Apakah Tuan-tuan tidak berpendapat bahwa Asia dan Afrika mungkin mempunyai suatu amanat dan suatu cara untuk seluruh dunia?

Ahli filsafah Inggris, Bertrand Russell yang ulung itulah, yang pemah berkata bahwa umat manusia sekarang terbagi dalam dua golongan. Yang satu menganut ajaran Declaration of American Independece dari Thomas Jefferson. Golongan lainnya menganut ajaran Manifesto Komunis.

Maafkan, Lord Russell, akan tetapi saya kira Tuan melupakan sesuatu. Saya kira Tuan melupakan adanya lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu.

Siapakah yang tidak akan dapat ilham dari kata-kata dan semangat Declaration of Independence itu! "Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini sebagai suatu, yang tak dapat disangkal lagi: bahwa manusia diciptakan dengan hak-hak yang sama, bahwa mereka diberikan oleh al-Khalik hak-hak tertentu yang tak dapat diganggu-gugat, dan bahwa di antara hak-hak itu terdapat hak untuk hidup, hak kemerdekaan dan hak mengejar kebahagiaan". Siapakah yang terlibat dalam perjuangan untuk kehidupan dan kemerdekaan nasional; yang tak diilhami? Dan sekali lagi, siapakah di antara kita, yang berjuang menegakkan suatu masyarakat, yang adil dan makmur di atas puing-puing kolonialisme, yang tak diilhami oleh bayangan kerjasarna dan perkembangan ekonomi yang dicetuskan oleh Marx dan Engels?

Sekarang telah terjadi suatu konfrontasi di antara kedua pandangan itu, dan konfrontasi itu membahayakan, tidak hanya untuk mereka yang berhadapan tetapi juga untuk bagian dunia lainnya.

Saya tidak dapat berbicara atas nama negara-negara Asia dan Afrika lainnya —saya tidak diberi kuasa untuk itu, dan bagaimanapun juga mereka sendiri cakap untuk mengemukakan pandangannya masing-masing. Akan tetapi saya diberi kuasa —bahkan ditugaskan— untuk berbicara atas nama bangsa saya yang berjumlah sembilan puluh dua juta itu.

Seperti saya katakan; kami telah membaca dan mernpelajari kedua dokumen yang pokok itu: Dari masing-masing dokumen itu banyak yang telah kami ambil dan kami buang apa yang tak berguna bagi kami, kami yang hidup di benua Iain dan beberapa generasi kemudian. Kami telah mensintesakan apa yang kami perlukan dari kedua dokumen itu, dan ditinjau dari pengalaman serta dari pengetahuan kami sendiri, sintesa itu telah kami saring dan kami sesuaikan.

Jadi, dengan minta maaf kepada Lord RusselI yang sangat saya hormati , dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua pihak seperti dikiranya.

Meskipun kami telah mengambil sarinya, dan meskipun kami telah mencoba mensintesakan kedua dokumen yang peting itu; kami tidak dipimpin oleh keduanya itu saja. Kami tidak mengikuti konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya? Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok.

Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan sesuatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya. Sejarah Indonesia kami sendiri memperlihatkannya dengan jelas, dan demikian pula halnya dengan sejarah seluruh dunia.

"Sesuatu" itu kami namakan "Panca Sila". Ya, "Panca Sila" atau Lima Prinsip Negara kami. Lima Prinsip itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Memang, gagasan-gagasan dan cita-cita itu, mungkin sudah ada sejak berabad-abad telah terkandung dalam bangsa karni. Dan memang tidak mengherankan bahwa faham-faham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.

Jadi berbicara tentang Panca Sila di hadapan Tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari peradaban kami selama dua ribu tahun.

Apakah lima prinsip itu? la sangat sederhana: pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua Nasionalisme, ketiga Internasionalisme, keempat Demokrasi, dan kelima Keadilan Sosial.

Perkenankanlah saya sakarang menguraikan sekedarnya tentang kelima pokok itu. Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama. Ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Budha, dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian, untuk delapan puluh lima persen dari sembilan puluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari para pengikut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini, dan mengingat akan berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafah hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhanpun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima Sila pertama ini.

Kemudian sebagai nomor dua ialah Nasionalisme. Kekuatan yang membakar dari nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup kami dan memberi kekuatan kepada kami sepanjang kegelapan penjajahan yang lama, dan selama berkobarnya pejuangan kemerdekaan. Dewasa ini, kekuatan yang membakar itu masih tetap menyala-nyala di dada kami dan tetap memberi kekuatan hidup kepada kami! Akan tetapi nasionalisme kami sekali-kali bukanlah chauvinisme. Kami sekali-kali tidak menganggap diri kami lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Kami sekali-kali tidak pula berusaha untuk memaksakan kehendak kami kepada bangsa-bangsa lain. Saya mengetahui benar, bahwa istilah "nasionalisme" dicurigai, bahkan tidak dipercayai di negara-negara Barat. Hal ini disebabkan karena Barat telah memperkosa dan memutarbalikkan nasionalisme. Padahal nasionalisme yang sejati masih tetap berkobar-kobar di negara-negara Barat. Jika tidak demikian, rnaka Barat tidak akan menantang dengan senjata terhadap chauvinisme Hitler yang agresif.

Tidakkah nasionalisme —sebutlah jika mau, patriotisme— mempertahankan kelangsungan hidup semua bangsa? Siapa yang berani menyangkal bangsa yang melahirkan dia? Siapa yang berani berpaling dari bangsa, yang menjadikan dia? Nasionalisme adalah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita; nasionalisme adalah sumber besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan.

Nasionalisme kami di Asia dan Afrika tidaklah sama dengan yang terdapat pada sistem negara-negara Barat. Di Barat, nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif yang mencari ekspansi serta keuntungan bagi ekonomi nasionalnya. Nasionalisme di Barat adalah kakek dari imperialisme, yang bapaknya adalah kapitalisme. Di Asia dan Afrika dan saya kira juga di Amerika Latin, nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme, dan suatu jawaban terhadap penindasan nasionalisme-chauvinis yang bersumber di Eropah. Nasionalisme Asia dan Afrika serta nasionalisme Amerika Latin tidak dapat ditinjau tanpa memperhatikan inti sosialnya.

Di Indonesia, kami menganggap inti sosial itu sebagai pendorong untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Bukankah itu tujuan yang baik yang dapat diterima oleh semua orang? Saya tidak berbicara hanya tentang kami sendiri di Indonesia, juga tidak hanya tentang Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika serta Amerika Latin. Saya berbicara tentang seluruh dunia. Masyarakat adil dan makmur dapat merupakan cita-cita dan tujuan semua orang.

Mahatma Gandhi pernah berkata: "Saya seorang nasionalis, akan tetapi nasionalisme saya adalah perikemanusiaan." Kamipun berkata demikian. Kami nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa. Kami nasionalis karena kami percaya bahwa bangsa-bangsa adalah sangat penting bagi dunia di masa sekarang ini, dan kami tetap demikian, sejauh mata dapat memandang ke masa depan. Karena kami nasionalis, maka kami mendukung dan menganjurkan nasionalisme di mana saja kami jumpainya.

Sila ketiga kami adalah Internasionalisme. Antara Nasionalisme dan Internasionalisme tidak ada perselisihan atau pertentangan. Memang benar, bahwa internasionalisme tidak akan dapat tumbuh dan berkembang selain di atas tanah yang subur dari nasionalisme. Bukankah Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini merupakan bukti yang nyata dari hal ini? Dahulu ada Liga Bangsa-Bangsa. Kini ada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nama-nama itu sendiri menunjukan bahwa bangsa-bangsa mengingini dan membutuhkan suatu badan internasional, dimana setiap bangsa mempunyai kedudukan yang sederajat.

Internasionalisme sama sekali bukan kosmopolitanisme, yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme, yang anti-nasional dan memang bertentangan dengan kenyataan.

Sila keempat adalah Demokrasi. Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Lebih tegas, demokrasi tampaknya merupakan keadilan asli dari manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang khusus. Selama beribu-ribu tahun dari peradaban Indonesia, kami telah mengembangkan bentuk-bentuk demokrasi Indonesia. Kami percaya bahwa bentuk-bentuk ini mempunyai pertalian dan arti internasional. Ini adalah soal yang akan saya bicarakan kemudian.

Akhirnya, sila yang penghabisan dan yang terutama ialah Keadilan Sosial. Pada Keadilan Sosial ini kami rangkaikan kemakmuran sosial, karena kami menganggap kedua hal ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Benar, hanya suatu masyarakat yang makmur akan dapat menjadi masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidakadilan sosial.

Demikianlah Panca Sila kami. Ketuhanan Yang Maha Esa, Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi dan Keadilan Sosial.

Tidaklah termasuk tugas saya hari ini untuk menguraikan bagaimana kami berusaha, dalam kehidupan dan urusan nasional kami, menggunakan dan melaksanakan Panca Sila. Jika saya menguraikan hal ini, maka ini akan mengganggu keramah-tamahan badan internasional ini.

Akan tetapi saya sungguh-sungguh percaya bahwa Panca Sila mengandung lebih banyak daripada arti nasional saja. Panca Sila mempunyai arti universal dan dapat digunakan secara internasional.

Tidak seorangpun akan membantah unsur kebenaran dalam pandangan yang dikemukakan oleh Bertrand Russell itu. Sebagian besar dari dunia telah terbagi menjadi golongan yang menerima gagasan dan prinsip-prinsip Declaration of American Independence dan golongan yang menerima gagasan dan prinsip-prinsip Manifesto Komunis. Mereka yang menerima gagasan yang satu menolak gagasan yang lain, dan terdapatlah bentrokan atas dasar ideologis maupun praktis.

Kita semuanya terancam oleh bentrokan ini dan kita merasa khawatir karena bentrokan ini. Apakah tidak ada sesuatu tindakan yang dapat diambil terhadap ancaman ini? Apakah hal ini harus berlangsung terus dari generasi ke generasi, dengan kemungkinan pada akhirnya akan meletus menjadi lautan api yang akan menelan kita semuanya? Apakah tidak ada suatu jalan keluar?

Jalan keluar harus ada. Jika tidak ada, maka semua musyawarah kita, semua harapan kita, semua perjuangan kita akan sia-sia belaka.

Kami bangsa Indonesia tidak bersedia bertopang dagu, sedangkan dunia menuju ke jurang keruntuhannya. Kami tidak mau fajar cerah dari kemerdekaan kami diliputi oleh awan radio-aktif. Tidak satupun di antara bangsa-bangsa Asia atau Afrika akan bersedia menerima hal ini. Kami memikul tanggung jawab terhadap dunia, dan kami siap menerima serta memenuhi tanggung jawab itu. Jika itu berarti turut-campur dalam apa yang tadinya merupakan urusan negara-negara besar yang dijauhkan dari kami, maka kami akan bersedia melakukannya. Tidak ada bangsa Asia dan Afrika manapun juga yang akan menyingkiri tugas itu. Bukankah jelas, bahwa friksi timbul terutama karena ketidaksamaan? Di dalam suatu bangsa, adanya yang kaya dan miskin, dan dihisap dan yang menghisap, menimbulkan bentrokan. Hilangkan penghisapan, dan bentrokan itu akan lenyap, karena sebab yang menimbulkan bentrokan itu telah tidak ada. Di antara bangsa-bangsa, jika ada yang kaya dan yang miskin, yang menghisap dan dihisap, akan pula ada bentrokan. Hilangkan sebab yang menimbulkan bentrokan, dan bentrokan itu akan lenyap. Hal ini berlaku, baik internasional maupun di dalam suatu bangsa. Dilenyapkannya imperialisme dan kolonialisme meniadakan penghisapan demikian dari bangsa terhadap bangsa.

Saya percaya, bahwa ada jalan keluar dari konfrontasi ideologi-ideologi ini. Saya percaya bahwa jalan keluar itu terletak pada dipakainya Panca Sila secara universal! Siapakah di antara Tuan-Tuan menolak Panca Sila? Apakah wakil-wakil yang terhormat dari Bangsa Amerika yang besar menolaknya? Apakah wakil-wakil yang terhormat dari bangsa Rusia yang besar menolaknya? Ataukan wakil-wakil yang terhormat dari Inggris atau Polandia, atau Prancis atau Cekoslowakia? Ataukah memang ada di antara mereka yang agaknya telah mengambil posisi yang statis dalam Perang Dingin antara gagasan-gagasan dan praktik-paktik, dan yang berusaha tetap berakar sedalam-dalamnya, sedangkan dunia menghadapi kekacauan-kekacauan?

Lihatlah, lihatlah delegasi yang mendukung saya! Delegasi itu bukan terdiri dari pegawai-pegawai negeri atau politisi-politisi profesional. Delegasi ini mewakili bangsa Indonesia. Dalam delegasi ini ada prajurit-prajurit, mereka menerima Panca Sila. Ada seorang ulama Islam yang besar, yang merupakan soko guru bagi agamanya. Ia menerima Panca Sila. Selanjutnya, ada pemimpin Partai Komunis Indonesia yang kuat. Ia menerima Panca Sila. Seterusnya ada wakil-wakil dari golongan-golongan Katolik dan Protestan, dari Partai Nasionalis dan organisasi-organisasi buruh dan tani, ada pula wanita-wanita, kaum cendekiawan dan pejabat-pejabat pemerintahan. Semuanya, ya, menerima Panca Sila.

Mereka bukannya menerima Panca Sila semata-mata sebagai konsepsi ideologi belaka, melainkan sebagai suatu pedoman yang praktis sekali untuk bertindak. Mereka di antara bangsa saya yang berusaha menjadi pemimpin tetapi menolak Panca Sila, ditolak pula oleh bangsa Indonesia.

Bagaimanakah penggunaan secara internasional daripada Panca Sila? Bagaimana Panca Sila itu dapat dipraktikkan? Marilah kita tinjau kelima pokok itu satu demi satu. Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak seorangpun yang menerima Declaration Of American Independence sebagai pedoman untuk hidup dan bertindak, akan menyangkalnya. Begitu pula tidak ada seorang pengikutpun dari Manifesto Komunis, dalam forum internasional ini akan menyangkal hak untuk percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini, saya persilahkan Tuan-tuan yang terhormat bertanya kepada Tuan Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia, yang duduk dalam delegasi saya yang menerima sepenuhnya baik Manifesto Komunis maupun Panca Sila.

Kedua: Nasionalisme. Kita semua adalah wakil-wakil bangsa-bangsa. Bagaimana kita akan dapat menolak nasionalisme? Jika kita menolak nasionalisme, maka kita harus menolak kebangsaan kita sendiri dan menolak pengorbanan-pengorbanan yang telah diberikan oleh generasi-generasi. Akan tetapi saya peringatkan Tuan-tuan: jika Tuan-tuan menerima prinsip nasionalisme, maka Tuan-tuan harus menolak imperialisme. Dan pada peringatan itu saya ingin menambahkan peringatan lagi: jika Tuan-tuan menolak imperialisme, maka secara otomatis dan dengan segera Tuan-tuan lenyapkan sebab terbesar yang menimbulkan ketegangan dan bentrokan dari dunia yang dalam kesukaran ini.

Ketiga: Internasionalisme. Apakah perlu untuk berbicara dengan panjang lebar mengenai internasionalisme dalam badan internasional ini? Tentu tidak! Jika bangsa-bangsa kita tidak "Internationally minded", maka bangsa-bangsa itu tidak akan menjadi anggota organisasi ini. Akan tetapi, internasionalisme yang sejati tidak selalu terdapat di sini. Saya menyesal harus mengatakan demikian, akan tetapi hal ini adalah suatu kenyataan. Terlalu sering perserikatan bangsa-bangsa dipergunakan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional yang sempit atau tujuan-tujuan golongan saja. Terlalu sering pula tujuan-tujuan yang agung dan cita-cita yang luhur dari Piagam kita dikaburkan oleh usaha untuk mencari keuntungan nasional atau prestise nasional. Internasionalisme yang sejati harus didasarkan atas persamaan kehormatan, persamaan penghargaan dan atas dasar penggunaan secara praktis daripada kebenaran, bahwa semua orang adalah saudara. Untuk mengutip piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa —dokumen yang sering kali dilupakan orang itu— internasionalisme itu harus "meneguhkan kembali keyakinan ……berdasarkan hak-hak-yang sama bagi…… bangsa-bangsa, baik besar maupun kecil".

Akhirnya, dan sekali lagi, internasionalisme akan berarti berakhirnya imperialisme dan kolonialisme, sehingga dengan demikian berakhirnya banyak bahaya dan ketegangan.

Keempat: Demokrasi. Bagi kami bangsa Indonesia, demokrasi mengandung tiga unsur yang pokok. Demokrasi mengandung pertama-tama prinsip yang kami sebut Mufakat yakni kebulatan pendapat. Kedua, demokrasi mengandung prinsip Perwakilan. Akhirnya demokrasi mengandung, bagi kami, prinsip musyawarah. Ya, demokrasi Indonesia mengandung ketiga prinsip itu, yakni: mufakat, perwakilan dan musyawarah antara wakil-wakil.

Perhatikanlah. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini adalah organisasi dari bangsa-bangsa yang sederajat, organisasi dari negara-negara yang mermiliki kedaulatan yang sederajat, kemerdekaan yang sederajat dan rasa bangga yang sederajat tentang kedaulatan serta kemerdekaan. Satu-satunya cara bagi organisasi ini untuk dapat menjalankan fungsinya secara memuaskan, ialah dengan jalan mufakat yang diperoleh dalam musyawarah. Musyawarah harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga tidak ada saingan antara pendapat-pendapat yang bertentangan, tidak ada resolusi-resolusi dan resolusi-resolusi balasan, tidak ada pemihakan-pemihakan, melainkan hanya usaha yang teguh untuk mencari dasar umum dalam memecahkan sesuatu masalah. Dari musyawarah semacam ini timbullah permufakatan, suatu kebulatan pendapat, yang lebih kuat daripada suatu resolusi yang dipaksakan melalui jumlah suara mayoritas, suatu resolusi yang mungkin tidak diterima, atau yang mungkin tidak disukai oleh minoritas. Apakah saya berbicara idealistis? Apakah saya memimpikan dunia yang ideal dan romantis?

Tidak! Kedua kaki saya dengan teguh berpijak di tanah! Betul saya menengadah ke langit untuk mendapatkan inspirasi, akan tetapi pikiran saya tidak berada di awang-awang. Saya tegaskan, bahwa cara-cara musyawarah demikian ini dapat dilaksanakan. Cara-cara itu bagi kami dapat dijalankan. Cara-cara itu dapat dijalankan dalam DPR kami, cara-cara itu dapat dijalankan dalam DPA kami, cara-cara itu dapat dijalankan dalam Kabinet kami.

Cara musyawarah ini dapat dijalankan, karena wakil-wakil bangsa kami berkeinginan agar cara-cara itu dapat berjalan. Kaum Komunis menginginkannya, kaum nasionalis menginginkannya, golongan Islam menginginkannya, dan golongan Kristen menginginkannya. Tentara menginginkannya, baik warga kota maupun rakyat di desa-desa yang terpencil menginginkannya. Kaum cendekiawan menginginkannya dan orang yang berusaha dengan sekuat tenaga memberantas buta huruf menginginkannya. Semua menginginkannya, karena semuanya menginginkan tercapainya tujuan jelas dari Panca Sila, dan tujuan yang jelas itu ialah masyarakat adil dan makmur. Tuan-tuan boleh berkata: "Ya, kita akan menerima kata-kata Presiden Sukarno dan kita akan menerima bukti-bukti yang kita lihat dalam susunan delegasinya di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada hari ini, akan tetapi kita adalah kaum realis dalam dunia yang kejam. Cara satu-satunya untuk menyelenggarakan pertemuan internasional ialah cara yang dipergunakan dalam menyelenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu dengan resolusi-resolusi, amandemen-amandemen, suara-suara mayoritas dan minoritas."

Perkenankanlah saya menegaskan sesuatu. Kami tahu dari pengalaman yang sama pahitnya, sama praktisnya dan sama realistisnya, bahwa cara-cara musyawarah kami dapat pula diselenggarakan di bidang internasional. Di bidang itu, cara-cara itu berjalan sama baiknya seperti di bidang nasional.

Seperti Tuan-tuan ketahui, belum begitu lama berselang, wakil-wakil dari dua puluh sembilan bangsa-bangsa dari Asia dan Afrika berkumpul di Bandung. Pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa itu bukan pemimpin pengelamun yang tidak praktis. Jauh dari itu! Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang keras dan realistis dari rakyat dan bangsa-bangsa, sebagian besar di antara mereka lulus dari perjuangan kemerdekaan nasional, semuanya mengetahui benar akan realitas-realitas daripada kehidupan serta kepemimpinan, baik politik maupun internasional.

Mereka mempunyai pandangan politik yang berbeda-beda, dari ekstrim kanan sampai ekstrim kiri.

Banyak orang di negara-negara Barat tidak dapat percaya bahwa konferensi semacam itu dapat menghasilkan sesuatu yang berguna. Banyak orang bahkan berpendapat bahwa konperensi itu akan bubar dalam keadaan kacau dan saling tuduh-menuduh, terpecah-belah di atas karang perbedaan paham politik.

Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan dengan cara-cara musyawarah. Dalam konferensi itu tidak terdapat mayoritas dan minoritas. Tidak pula diadakan pemungutan suara. Dalam konferensi itu hanya terdapat musyawarah dan keinginan umum untuk mencapai persetujuan. Konperensi itu menghasilkan komunike yang dibuat dengan suara bulat, komunike yang merupakan salah suatu yang terpenting dalam windu ini atau mungkin salah satu dokumen yang terpenting dalam sejarah. Apakah Tuan-tuan masih sangsi terhadap faedah dan efisiensi daripada cara musyawarah semacam itu?

Saya yakin bahwa pemakaian dengan tulus ikhlas dari cara-cara musyawarah demikian ini, akan mempermudah pekerjaan organisasi internasional ini. Ya, barangkali cara ini akan memungkinkan pekerjaan yang sebenarnya dari organisasi ini. Cara musyawarah ini akan menunjukkan jalan untuk menyelesaikan banyak masalah yang makin bertumpuk-tumpuk bertahun-tahun. Cara musyawarah ini akan memungkinkan terselesaikannya masalah-masalah yang tampaknya tidak terpecahkan. Dan saya minta dengan hormat, hendaknya Tuan-tuan ingat bahwa sejarah memperlakukan mereka yang gagal tanpa mengenal ampun.

Siapakah yang sekarang ini ingat kepada mereka yang membanting-tulang dalam Liga Bangsa-Bangsa? Kita hanya ingat kepada mereka yang telah menghancurkan suatu organisasi negara-negara dari sebagian dunia saja. Kita tidak bersedia bertopang dagu dan melihat organisasi ini, organisasi kita sendiri, dihancurkan karena tidak flexible, atau karena lambat menyambut keadaan dunia yang berobah.

Apakah tidak patut dicoba? Jika Tuan-tuan berpendapat tidak, maka Tuan-tuan harus bersedia untuk mempertanggungjawabkan keputusan Tuan-tuan di hadapan mahkamah sejarah.

Akhirnya, di dalam Panca Sila terkandung Keadilan Sosial. Untuk dapat dilaksanakan di bidang internasional, mungkin hal ini akan menjadi keadilan sosial internasional. Sekali lagi, menerima prinsip ini akan berarti menolak kolonialisme dan imperialisme.

Selanjutnya, diterimanya keadilan sosial oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai suatu tujuan, akan berarti diterimanya pertanggungjawaban dan kewajiban-kewajiban tertentu.

Ini akan berarti usaha yang tegas dan berpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan sosial, yang menyusahkan dunia kita. Ini akan berarti bahwa bantuan kepada negara-negara yang belum maju dan bangsa-bangsa yang kurang beruntung akan disingkirkan dari suasana Perang Dingin. Ini akan berarti pula pengakuan yang praktis bahwa semua orang adalah saudara dan bahwa sernua orang mempunyai tanggung-jawab terhadap saudaranya.

Apakah ini bukan tujuan yang mulia?! Apakah ada yang berani menyangkal kemuliaan dan keadilan daripada tujuan ini? Jika ada yang berani menyangkalnya, maka suruhlah ia menghadapi kenyataan! Suruh ia menghadapi si lapar, suruh ia menghadapi si buta huruf, suruh ia menghadapi si sakit dan suruhlah ia kemudian membenarkan sangkalannya!

Perkenankanlan saya sekali lagi mengulangi lima sila itu. Ketuhanan Yang Maha Esa; Nasionalisme; Internasionalisme; Demokrasi; Keadilan Sosial.

Marilah kita selidiki apakah hal-hal itu sebenarnya merupakan suatu sintesa yang dapat diterima oleh kita semua. Marilah kita bertanya pada diri sendiri, apakah penerimaan prinsip-prinsip itu akan memberikan suatu pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh organisasi ini.

Benar, Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak hanya terdiri daripada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa saja. Meskipun demikian, dokumen yang bersejarah itu tetap merupakan bintang pembimbing dan ilham organisasi ini.

Dalam banyak hal, piagam mencerrninkan konstelasi politik dan kekuatan pada saat dilahirkannya. Dalam banyak hal lain, piagam itu tidak mencerminkan kenyataan-kenyataan masa sekarang.

Oleh karena itu, rnarilah kita pertimbangkan apakah lima sila yang telah saya kemukakan, dapat memperkuat dan memperbaiki piagam kita.

Saya yakin, ya, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa diterimanya kelima prinsip itu dan dicantumkannya dalam Piagam, akan sangat memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya yakin, bahwa Panca Sila akan menempatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejajar dengan perkembangan terakhir dunia. Saya yakin bahwa Panca Sila akan memungkinkan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghadapi hari kemudian dengan kesegaran dan kepercayaan. Akhirnya, saya yakin bahwa diterimanya Panca Sila sebagai dasar Piagam, akan menyebabkan Piagam ini dapat diterima lebih ikhlas oleh semua anggota, baik yang lama maupun yang baru.

Saya akan ajukan satu soal lagi dalam hubungan ini. Adalah suatu kehormatan besar bagi suatu negara, bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa berkedudukan di dalam wilayahnya. Kita semua benar-benar bersyukur bahwa Amerika Serikat telah memberi tempat yang tetap bagi Orgasisasi kita. Tetapi, mungkin dapat dipersoalkan apakah itu memang tepat.

Dengan segala hormat, saya kemukakan bahwa ia mungkin tidak tepat. Bahwasanya kedudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa berada dalam wilayah salah satu negara yang terkemuka dalam Perang Dingin, berarti Perang Dingin telah merembes bahkan sampai ke pekerjaan dan administrasi serta rumah-tangga Organisasi kita ini. Sedemikian luasnya perembesan itu, sehingga hadirnya pemimpin sesuatu bangsa yang besar dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa ini saja sudah menjadi persoalan Perang Dingin dan senjata Perang Dingin, serta alat untuk mempertajam cara kehidupan yang berbahaya serta yang sia-sia itu.

Marilah kita tinjau apakah tempat kedudukan Organisasi kita tidak perlu dipindahkan dari suasana Perang Dingin. Marilah kita tinjau apakah Asia atau Afrika atau Jenewa akan dapat memberi tempat yang permanen kepada kita, yang jauh dari Perang Dingin, tidak terikat pada salah suatu blok, di mana para Delegasi dapat bergerak dengan leluasa dan bebas sekehendak mereka.

Dengan demikian, mungkin akan diperoleh pengertian yang lebih luas tentang dunia dan masalah-masalahnya.

Saya yakin, bahwa suatu negara Asia atau Afrika, mengingat akan keyakinan dan kepercayaannya, dengan senang akan mengunjukkan kemurahan hatinya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, mungkin dengan menyediakan suatu daerah yang cukup luas, dimana Organisasi itu sendiri akan berdaulat dan dimana perundingan-perundingan yang penting bagi pekerjaan vital dapat dilaksanakan secara aman dan dalam suasana persaudaraan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak lagi merupakan badan seperti yang menandatangani Piagam lima belas tahun yang lalu. Dunia inipun tidak sama dengan yang dahulu. Mereka yang dengan kebijaksanaan berjerih-payah untuk menghasilkan Piagam Organisasi ini, tidak dapat menyangka akan terjelmanya bentuk yang sekarang ini. Di antara orang-orang yang bijaksana dan jauh pandangannya itu, hanya beberapa yang sadar, bahwa akhir imperialisme sudah tampak dan bahwa bila Organisasi ini harus hidup terus, maka ia mesti memberi kemungkinan kepada bangsa-bangsa yang lahir kembali untuk masuk beramai-ramai, berduyun-duyun dan bersemangat.

Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa seharusnya ialah memecahkan masalah-masalah. Menggunakannya sebagai forum perdebatan belaka, atau sebagai saluran propaganda, atau sebagai sambungan dari politik dalam negeri, berarti memutarbalikkan cita-cita mulia yang seharusnya meresap di dalam badan ini.

Pergolakan-pergolakan kolonial, perkembangan yang cepat dari daerah-daerah yang belum maju di lapangan teknis, dan masalah perlucutan senjata, semuanya merupakan masalah-masalah yang tepat dan mendesak untuk kita pertimbangkan dan musyawarahkan. Akan tetapi, telah menjadi jelas, bahwa masalah-masalah yang vital ini tidak dapat dibicarakan secara memuaskan oleh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sekarang ini. Sejarah badan ini menunjukkan kebenaran yang menyedihkan dan yang jelas mengenai yang telah saya katakan.

Sungguh tidak mengherankan bahwa demikianlah jadinya. Kenyataannya ialah bahwa Organisasi kita mencerminkan dunia tahun 1945, dan bukan dunia zaman sekarang. Demikianlah halnya dengan semua badan-badannya —kecuali satu-satunya Majelis yang agung ini— dan dengan semua lembaganya. Organisasi dan keanggotaan Dewan Keamanan —badan yang terpenting itu— mencerminkan peta ekonomi, militer dan kekuatan daripada dunia tahun Sembilanbelas Empatpuluh Lima, ketika Organisasi ini dilahirkan dari inspirasi dan angan-angan yang besar. Demikian pula halnya dengan sebagian besar daripada lembaga-lembaga lainnya. Mereka itu tidak mencerminkan bangkitnya negara-negara sosialis ataupun berkembangnya dengan cepat kemerdekaan Asia dan Afrika.

Untuk memodernisir dan membuat efisien Organisasi kita, barangkali juga Sekretariat di bawah pimpinan Sekretaris Jenderalnya, mungkin membutuhkan peninjauan kembali. Dengan mengatakan demikian, saya tidak —sama sekali tidak— mengeritik atau mencela dengan cara apapun Sekretaris Jenderal yang sekarang, yang senantiasa berusaha, dalam keadaan-keadaan yang tak dapat diterima lagi, melakukan tugasnya dengan baik, yang kadang-kadang tampaknya tidak mungkin dilaksanakan.

Jadi, bagaimanakah mereka bisa efisien? Bagaimanakah anggota-anggota kedua golongan dalam dunia ini —yakni golongan-golongan yang merupakan suatu kenyataan dan yang harus diterima— bagaimanakah anggota-anggota kedua golongan itu bisa merasa tenang di dalam Organisasi ini dan mempunyai kepercayaan penuh yang diperlukan terhadapnya?

Sejak perang kita telah menyaksikan tiga gejala-gejala besar yang permanen. Pertama ialah bangkitnya negara-negara sosialis. Hal ini tidak disangka dalam tahun Sembilanbelas Empatpuluh Lima. Kedua ialah gelombang besar daripada pembebasan nasional dan emansipasi ekonomi yang melanda Asia dan Afrika serta Saudara-saudara kita di Amerika Latin. Saya kira bahwa hanya kita, yang langsung terlibat di dalamnya, dapat menduganya. Ketiga ialah kemajuan ilmiah besar, yang semua bergerak di lapangan persenjataan dan peperangan, akan tetapi yang dewasa ini berpindah ke lapangan rintangan dan perbatasan ruang angkasa. Siapakah yang dapat meramalkannya ketika itu?

Benar, Piagam kita dapat dirubah. Saya menyadari, bahwa ada prosedur untuk melakukan hal ini dan akan tiba waktunya ini dapat dilakukan. Akan tetapi persoalan ini mendesak. Hal ini mungkin merupakan persoalan mati atau hidup bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Janganlah sampai pandangan legalistik yang picik dapat menghalangi dikerjakannya usaha itu dengan segera.

Adalah sama pentingnya bahwa pembagian kursi dalam Dewan Keamanan dan badan-badan serta lembaga-lembaga lainnya harus dirobah. Dalam hal ini saya tidak berpikir dalam istilah blok-blokan, tetapi saya memikirkan betapa sangat perlunya Piagam dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, dari badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa, semuanya itu mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari dunia kita sekarang ini.

Kami dari Indonesia memandang organisasi ini dengan harapan yang besar, tetapi juga dengan kekhawatiran yang besar. Kami memandangnya dengan harapan besar, karena pernah berfaedah bagi kami dalam perjuangan untuk kehidupan nasional kami. Kami memandanginya dengan harapan besar, karena kami percaya bahwa hanya organisasi semacam inilah yang dapat memberikan rangka bagi dunia yang sehat dan aman sebagaimana kami rindukan.

Kami memandanginya dengan kekhawatiran besar, karena kami telah mengajukan suatu masalah nasional yang besar, masalah Irian Barat, ke hadapan Majelis ini, dan tiada suatu penyelesaian dapat dicapai. Kami memandanginya dengan kekhawatiran, karena negara-negara besar dunia telah memasukkan permainan Perang Dingin mereka yang berbahaya itu ke dalam ruangan-ruangannya.

Kami memandanginya dengan kekhawatiran, kalau-kalau Majelis ini akan menemui kegagalan dan akan mengikuti jejak organisasi yang digantikannya, dan dengan demikian melenyapnya dari pandangan mata umat manusia suatu gambaran daripada suatu masa depan yang aman dan bersatu.

Marilah kita hadapi kenyataan bahwa Organisasi ini, dengan cara-cara yang dipergunakannya sekarang in dan dalam bentuknya sekarang, adalah suatu hasil sistim negara Barat. Maafkan saya, tetapi saya tidak dapat menjunjung tinggi sistim itu. Bahkan saya tidak dapat memandanginya dengan rasa kasih, meskipun saya sangat menghargainya.

Imperialisme dan kolonialisme adalah buah dari sistim negara Barat itu, dan seperasaan dengan mayoritas yang luas dalam Organisasi ini, saya benci pada imperialisme, saya jijik pada kolonialisme, dan saya khawatir akan akibat-akibat perjuangan hidupnya yang terakhir yang dilakukan dengan sengitnya. Dua kali di dalam masa hidup saya sendiri sistim negara Barat itu telah merobek-robek dirinya sendiri dan pernah hampir saja menghancurkan dunia dalam suatu bentrokan yang sengit.

Herankah Tuan-tuan, bahwa banyak di antara kami memandang Organisasi yang juga merupakan hasil sistim negara Barat itu dengan penuh pertanyaan? Janganlah Tuan-tuan salah mengerti. Kami menghormati dan mengagumi sistim. Kami telah diilhami oleh kata-kata Lincoln dan Lenin, oleh perbuatan-perbuatan Washington dan oleh perbuatan-perbuatan Garibaldi. Bahkan, mungkin, kami melihat dengan irihati kepada beberapa di antara hasil-hasil fisik yang dicapai oleh Barat. Tetapi kami bertekad bahwa bangsa-bangsa kami, dan dunia sebagai keseluruhan, tidak akan menjadi permainan dari satu bagian kecil dari dunia.

Kami bukan berusaha mempertahankan dunia yang kami kenal, namun kami berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik!

Kami berusaha membangun suatu dunia yang sehat dan aman. Kami berusaha membangun suatu dunia, dimana setiap orang dapat hidup dalam suasana damai. Kami berusaha membangun suatu dunia, dimana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua orang. Kami berusaha membangun suatu dunia, dimana kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya yang penuh.

Telah dikatakan bahwa kita hidup di tengah-tengah suatu Revolusi Harapan Yang Meningkat. Ini tidak benar! Kita hidup di tengah-tengah Revolusi Tuntutan Yang Meningkat. Mereka yang dahulunya tanpa kemerdekaan, kini menuntut kemerdekaan. Mereka yang dahulunya tanpa suara, kini menuntut agar suaranya didengar. Mereka yang dahulunya kelaparan, kini menuntut beras, banyak-banyak dan setiap hari. Mereka yang dahulunya buta huruf, kini menuntut pendidikan.

Seluruh dunia ini merupakan suatu sumber tenaga-tenaga revolusi yang besar, suatu gudang mesiu revolusioner yang besar.

Tidak kurang dari tiga-perempat umat manusia terlibat di dalam Revolusi Tuntutan Yang Meningkat, dan ini adalah revolusi maha hebat, sejak manusia untuk pertama kalinya berjalan dengan tegak di suatu dunia yang murni dan menyenangkan.

Berhasil atau gagalnya Organisasi ini akan dinilai dari hubungannya dengan Revolusi Tuntutan Yang Meningkat itu. Generasi-generasi yang akan datang akan memuji atau mengutuk kita atas jawaban kita terhadap tantangan ini.

Kita tidak berani gagal. Kita tidak berani membelakangi sejarah. Jika kita berani, kita sungguh tidak akan tertolong lagi. Bangsa saya bertekad tidak akan gagal. Saya tidak berbicara kepada Tuan-tuan karena lemah, saya berbicara karena kuat. Saya sampaikan kepada Tuan-tuan salam dari sembilan puluhdua juta rakyat dan saya sampaikan kepada Tuan-tuan tuntutan bangsa itu. Kita mempunyai kesempatan untuk bersama-sama membangun suatu dunia yang lebih baik, suatu dunia yang lebih aman. Kesempatan ini mungkin tidak akan ada lagi. Maka peganglah, genggamlah kuat-kuat, dan pergunakanlah kesempatan itu.

Tidak seorangpun yang mempunyai kemauan baik dan kepribadian, akan menolak harapan-harapan dan keyakinan-keyakinan yang telah saya kemukakan atas nama bangsa saya, dan sesungguhnya atas nama seluruh umat manusia. Maka marilah kita berusaha, sekarang juga dengan tidak menunda lagi, mewujudkan harapan-harapan itu menjadi kenyataan.

Sebagai suatu langkah yang praktis ke arah ini, maka merupakan kehormatan dan tugas bagi saya untuk menyampaikan suatu Rancangan Resolusi kepada Majelis Umum ini.

Atas nama Delegasi-Delegasi Ghana, India, Republik Persatuan Arab, Yugoslavia dan Indonesia, saya sampaikan dengan ini resolusi sebagai berikut:

"MAJELIS UMUM;

"MERASA SANGAT CEMAS berkenaan dengan memburuknya hubungan-hubungan internasional akhir-akhir ini, yang mengancam dunia dengan konsekuensi-konsekuensi berat;

"MENYADARI harapan besar dari dunia ini bahwa Majelis ini akan membantu dalam menolong mempersiapkan jalan ke arah peredaan ketegangan dunia;

"MENYADARI tanggungjawab yang berat dan mendesak yang terletak di atas bahu Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk mengambil inisiatif dalam usaha-usaha yang dapat membantu;

"Minta sebagai langkah pertama yang mendesak, agar Presiden Amerika Serรญkat dan Ketua Dewan Menteri Republik-Republik Sovyet Sosialis memulai kembali kontak-kontak mereka yang telah terputus baru-baru ini, sehingga kesediaan yang telah mereka nyatakan untuk mencari pemecahan masalah-masalah yang terkatung-katung, dapat dilaksanakan secara progresif melalui perundingan-perundingan."

Tuan Ketua, perkenankanlah saya memohon, atas nama delegasi-delegasi kelima negara tersebut di atas, supaya resolusi ini segera mendapat pertimbangan Tuan. Sepucuk surat dengan maksud itu, ditandatangani oleh para Ketua Delegasi-Delegasi dari Ghana, India, Republik Persatuan Arab, Yugoslavia dan Indonesia, telah disampaikan kepada Sekretariat.

Saya sampaikan Rancangan Resolusi ini atas nama kelima Delegasi itu dan atas nama jutaan rakyat yang hidup di negara-negara itu.

Menerima Resolusi ini merupakan suatu langkah yang mungkin dan langsung dapat diselenggarakan. Maka hendaknya Majelis Umum ini menerima Resolusi ini secepat-cepatnya. Marilah kita mengambil langkah praktis itu ke arah peredaan ketegangan dunia yang membahayakan. Marilah kita menerima Resolusi ini dengan suara bulat, sehingga segenap tekanan dari kepentingan dunia dapat dirasakan. Marilah kita mengambil langkah pertama ini, dan marilah kita bertekad untuk melanjutkan kegiatan dan desakan kita sampai tercapainya dunia yang lebih baik dan lebih aman seperti yang kita bayangkan.

Ingatlah apa yang telah terjadi sebelumnya. Ingatlah akan perjuangan dan pengorbanan yang dialami oleh kami, anggota-anggota baru dari Organisasi ini. Ingatlah bahwa usaha keras kita telah disebabkan dan diperpanjang oleh penolakan dasar-dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami bertekad agar hal ini tidak akan terjadi lagi. Bangunlah dunia ini kembali! Bangunlah dunia ini kokoh dan kuat dan sehat! Bangunlah suatu dunia dimana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan. Bangunlah dunia yang sesuai dengan impian dan cita-cita umat manusia. Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau, karena fajar sedang menyingsing. Putuskan sekarang hubungan dengan masa-lampau, sehingga kita bisa mempertanggungjawabkan diri terhadap masa depan.

Saya memanjatkan doa, semoga Yang Maha Kuasa memberi rahmat dan bimbingan kepada permusyawaratan Majelis ini.

sumber http://brecs.multiply.com/journal/item/170

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?