SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Habibie: Indonesia Kaya, Tapi Warga Miskin

| | | 0 komentar
Citizen Reporter: Maqbul Halim dari Batam, Kepualuan Riau

SILATURAHMI Kerja Nasional (Silaknas) Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang berlangsung di Batam, Kepulauan Riau, 11-13 Desember 2009, dihadiri dan dibuka oleh Presiden Ke-3 RI BJ Habibie. Selain membuka, pendiri dan Ketua Dewan Pembina ICMI ini juga memberi orasi selama dua jam 15 menit.

Dalam orasinya, Habibie mengatakan bahwa kekayaan Bangsa Indonesia harus ditransformasi dari kekayaan sumber daya alam (SDA) ke sumber daya manusia (SDM). Jika hal itu tidak ditransformasi, maka fakta bahwa bangsa Indonesia kaya akan SDA tetapi warga hidup miskin.

"Ini fakta, dimana bangsa kita kaya akan sumber daya alam, namun manusianya hidup miskin," kata Habibie. SDA harus menjadi modal dasar dan menunjang pengembangan SDM. Dengan cara itu, katanya, maka kita tidak perlu dipusingkan dari mana gerangan kita mendapatkan modal untuk pengembangan SDM.

Semua pihak harus bertanggung jawab untuk membantu bangsa ini dalam tranformasi dari kaya SDA menjadi kaya SDM. Untuk itu, kata Habibie, upaya harus dilandasi dengan tiga prinsip dasar, yaitu kerja keras, selesaikan masalah secepat-cepatnya dengan pengorbanan sekecil mungkin, dan rasional/fair dalam bekerja.

Selain itu, pasar dalam negeri harus menjadi motor penggerak bagi industri dalam negeri. Ia mencotohkan mobil buatan Jerman menjadi mobil yang paling banyak digunakan oleh warga Jerman sendiri. Demikian juga di Jepang, ia mencotohkannya lagi. Di negeri matahari hari terbit itu, lebih 80 persen warga Jepang menggunakan mobil yang diproduksi oleh perusahaan otomotif dalam negeri.

Pada silknas tahun ini, seperti dilaporkan salah seorang peserta, Maqbul Halim, ICMI Orwil Sulsel mengutus delegasi yang terdiri atas badan otonom seperti Masika ICMI Orwil Sulsel, FCMP ICMI Sulsel, Simpul Madani Sulsel, ICMI Bangun Karakter Bangsa, Orbit, serta organisasi daerah dan organisasi satua se-Sulsel.

Jumlah delegasi ICMI Orwil Sulsel yang terdaftar di panitia adalah sebanyak 42 orang. Jumlah ini merupakan jumlah terbesar dari seluruh delegasi yang terdaftar di panitia.(*)

sumber Tribun Timur

Tiga Pekan Melawat ke Belanda, Sarmadji Bebas Keliling Dunia Kecuali Indonesia

| | | 2 komentar
Pergantian kekuasaan di Jakarta pasca Peristiwa 1965 meminta tumbal dari orang kebanyakan. Bahkan, anak-anak muda Indonesia yang sedang menuntut ilmu di mancanegara ikut jadi korban, seperti Sarmadji, kini 78 tahun.

Sarmadji tinggal di apartemen pinggir kali di Amsterdam. Lingkungannya bersih, tapi kamarnya kecil sekali. Sudah begitu, ruangnya penuh buku. Sekitar 3.000 judul buku berjejal di ruang tamu dan kamar tidur. Hanya dapur kecilnya yang bebas dari buku. Mayoritas buku itu terkait Indonesia.

Koleksinya yang paling berharga adalah dokumen terkait peristiwa 30 September dan buku-buku karya tokoh-tokoh kiri zaman itu. Misalnya, buku-buku karangan Ketua Umum CC PKI Dipanala Nusantara Aidit dan lainnya yang susah dicari di Indonesia.

Saya dan Kistyarini, juga dari Harian Surya, mengunjungi apartemen Sarmadji malam hari bersama belasan teman usai kursus online journalism di RNTC Hilversum atas sponsor STUNNED.

Sarmadji meladeni wawancara di ruang tamu. Sementara tiga sahabat mudanya mempersiapkan makan malam. Ketiganya adalah Judi Tahsin, putra Duta Besar RI untuk Mali di Afrika zaman Bung Karno, Soeraedi Tahsin Sandjadirdja (1922-2003), kemudian Tri Astraatmaja, putra tokoh pers Atmakusumah Astraatmaja. Satu lagi adalah Gogol Rusyanadi, profesional dari Blitar yang menetap di Amsterdam.

Sarmadji orang biasa saja sebelum 1965 itu. Ia pegawai negeri sipil di Solo yang kemudian ditarik ke Biro Pemuda Departemen Dasar dan Kebudayaan, Jl Menteng Raya 31 Jakarta, sekarang Gedung Juang di Cikini.

Sebagai pemuda yang saat itu berusia 32 tahun pada 1964, Sarmadji senang sekali mendapat tawaran beasiswa ke Sekolah Pendidikan Anak-anak di Peking, Tiongkok. “Lha saya seneng, to? Wong ndak bayar. Kendaraan gratis, apa-apa gratis dan dapat uang saku,” ia mengenang dengan cenderung ceria.

Ia tahu, Presiden Soekarno ketika itu ingin pemuda-pemuda Indonesia menuntut ilmu ke negeri-negeri sosialis semisal Tiongkok dan Uni Soviet. Peluang beasiswa dibuka lebar di Uni Soviet setelah Perdana Menteri Nikita Sergeyevich Khrushchev ke Jakarta tahun 1961. “Makanya, paling banyak mahasiswa kita di Soviet, kemudian Chekoslowakia. Kalau di Tiongkok total hanya 40-an,” katanya.

Pada pertengahan 1964, Duta Besar RI untuk Tiongkok dijabat oleh Djawoto, kelahiran Tuban, 10 Agustus 1906 yang semula Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara.

Pada September 1965, sekitar 500 delegasi berbagai organisasi dan partai politik di Indonesia berangkat untuk menghadiri peringatan Hari Nasional Tiongkok 1 Oktober. Pejabat tingginya, antara lain, Ali Sastroamijoyo dari PNI dan Ketua MPRS Chaerul Saleh dan beberapa menteri.

Usai meletus Gerakan 30 September, para pejabat itu mengumpulkan wakil-wakil delegasi itu untuk berikrar. “Pernyataannya sederhana saja, setia kepada Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Itulah yang kami pegang,” kenang Sarmadji yang mengubah namanya jadi Warjo, kependekan dari waras dan bejo.

Djawoto dikenal loyalis Soekarno. Itu sebabnya, dia mundur dari jabatan duta besar pada 16 April 1966. Kedutaan kosong, digantikan kuasa usaha sementara, dan atase militernya Kolonel Slamet.
“Kami dipanggil. Mau pulang atau mau apa? Milih Soeharto atau Soekarno gitu aja. Gampang, kan? Saya kan tidak bisa setengah-setengah. Berangkat Soekarno, pulang Soeharto. Saya ya pilih Soekarno. Kan ndak bisa saya bilang Soekarto,” cerita Sarmadji sambil tersenyum.

Konsekuensinya, paspor Sarmadji dicabut. Itu berarti dia tidak bisa pulang ke Indonesia. Sebagian temannya ada yang nekat pulang, tapi ditangkap juga oleh tentara Orde Baru.

“Tuduhannya yang paling gampang, ya komunis. Padahal, tuduhan itu tidak semuanya belajar. Jujur saja ya, orang tidak punya uang diberi beasiswa kan seneng, saya termasuk itu,” ujarnya.
Setelah geger 1965, gedung Kedutaan Besar Tiongkok di Jl Gajah Mada, Jakarta diserbu. Hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok putus. Tapi Tiongkok tetap tidak mencabut beasiswa buat mahasiswa Indonesia. “Tapi masalahnya, kami tidak boleh kerja di Tiongkok,” ujarnya.

Sarmadji bertahan di Tiongkok sampai tahun 1976, lalu masuk ke Jerman Barat. Dari sana, ia mencari suaka politik ke Belanda. Prosesnya tak mulus. Ia akhirnya diterima tapi dengan anggapan bahwa dia lahir di Solo tahun 1931. “Jadi, saya bukan dianggap sebagai warga Indonesia tapi Hindia Belanda,” ujarnya. Apa boleh buat, Sarmadji mau terima.

Ia bebas bepergian ke negara mana saja, kecuali Indonesia. Ini menyakitkan juga bagi Sarmadji. Selama di Belanda, lelaki yang masih kuat ingatannya itu bekerja di sebuah pabrik. Sempat juga jadi karyawan toko buku. “Bagaimanapun, saya harus mengubah kesedihan ini,” ujarnya.

Sebagai kaum terdidik yang tetap cinta tanah air, Sarmadji pun mengumpulkan buku-buku tentang Indonesia. Kini, semua buku koleksinya menjadi milik Yayasan Perhimpunan Dokumentasi Indonesia. Ia ingin koleksinya bermanfaat buat generasi sekarang dan akan datang. Sarmadji pernah ke Indonesia tapi setelah zaman serba bebas. Ia tak berani pulang semasa Soeharto berkuasa.

Bagaimana dengan keluarga? “Saya nggak punya istri. Maunya itu dulu sekolah pinter jadi sarjana, doktorandus atau apa kek, mulih duwe bojo (pulang dapat istri),” katanya.

Yuli Akhmada
Belanda

sumber surya online

Curi Sandal, Pemuda Tewas Dikeroyok

| | | 0 komentar
Teguh Santoso (24), warga Gedongan, Desa Kalikuning, Kecamatan Kalikotes, Klaten, Jawa Tengah meregang nyawa diamuk massa, Selasa (8/12/2009). Dia bukan pembobol ATM berisi gepokan rupiah, melainkan pencuri dua pasang sandal.

Cerita tragis ini bermula saat korban kepergok warga bertingkah laku mencurigakan. Warga menduga Teguh yang residivis ini akan melakukan aksi pencurian di rumah milik Supriyadi (37), yang tinggal di Dukuh Prigiwetan, RT 5/RW II, Desa Jogosetran, Kalikotes.

"Dia (Supriyadi) kemudian mengetahui lantas mengikuti gerak-gerik pelaku," jelas Kapolres Klaten AKBP Agus Djaka Santoso di Rumah Sakit Islam (RSI) Klaten, tempat jenazah pelaku disemayamkan.

Supriyadi melihat pelaku mengambil dua pasang sandal milik anggota keluarganya. Dia pun langsung memergoki pelaku dan langsung meneriakinya maling.

Mendengar teriakan itu, sejumlah warga langsung keluar dari rumahnya dan mengejar pelaku hingga tertangkap. Teguh langsung dihajar massa hingga luka parah di bagian kepala dan tungkai.

Petugas yang mendapatkan laporan aksi main hakim langsung mengamankan situasi. Dia sempat dibawa ke Rumah Sakit Islam (RSI) Klaten untuk mendapatkan perawatan, namun nahas, nyawanya tidak terselamatkan.

"Bila ada pelaku tindak pidana, jangan main hakim sendiri. Serahkan ke polisi untuk proses pidananya," ujar Kapolres. Saat ini kasus tersebut masih dalam penyelidikan, polisi masih meminta keterangan saksi-saksi.

Duh, Pohon Cengkeh Tertua di Dunia Kondisinya Merana

| | | 0 komentar
Kondisi tanaman cengkih afo di Ternate, Maluku Utara, yang merupakan tanaman cengkih tertua di dunia, kini semakin memprihatinkan karena kurangnya perhatian dari instansi terkait atas keberadaan tanaman tersebut.

"Saya heran, cengkih afo ini dibiarkan tidak terurus, padahal ini memiliki nilai sejarah karena merupakan cengkih tertua di dunia," kata seorang pemerhati peninggalan sejarah di Ternate, Didin Saleh, Jumat (4/12).

Cengkih yang terletak di Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah atau sekitar 6 Km dari pusat kota Ternate itu, pada batangnya terlihat ada bekas tebasan parang dari oknum tidak bertanggung jawab.

Cengkeh Afo adalah pohon cengkeh tertua di dunia yang terdapat di kota Ternate. Menurut cerita, pohon cengkeh ini sudah roboh beberapa bulan yang lalu.

Pohon cengkeh ini berumur 416 tahun, Tinggi 36,60 m, Garis Tengah 198 m dan Lingkaran 4,26 m. Cengkeh Afo ini mampu menghasilkan sekitar 400 kg Cengkeh tiap tahunnya.

Menurut Didin yang juga seorang sarjana pertanian itu, tebasan pada batang pohon cengkih yang tingginya 36,6 meter tersebut diduga sengaja dilakukan oleh oknum tertentu untuk mengambil bagian batang pohon demi kepentingan bisnis.

Sesuai informasi yang ada, kulit dan bagian batang pohon yang ditebas dari pohon cengkih afo tersebut dijual kepada oknum peniliti dari negara untuk kembangkan menjadi bahan kultur jaringan.

"Kalau Pemkot Ternate dan pihak terkait lainnya tidak segera melakukan langkah-langkah untuk mengamankan keberadaan cengkih afo tersebut, saya khawatir dalam waktu tidak lama cengkih itu akan mati," katanya.

Jalan setapak dari jalan raya ke lokasi cengkih yang berusia sekitar 416 tahun itu, juga mulai rusak dan tidak ada tanda-tanda dari pemda setempat untuk memperbaikinya.

Pihak Pemkot Ternate belum dapat dikonfirmasi terkait kondisi cengkih afo tersebut, namun sebelumnya Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Ternate, Arifin Umasangaji mengatakan, cengkih afo itu telah menjadi salah satu cagar budaya dan objek wisata di Ternate.

Oleh karena itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Ternate telah membangun berbagai fasilitas di sekitar lokasi cengkih afo, seperti membangun jalan setapak sepanjang 2,5 Km untuk memudahkan pengunjung mencapai pohon itu.


sumber kompas

Mahalnya Ongkos Mencari Keadilan

| | | 0 komentar
Sudah menjadi rahasia publik, mayoritas rakyat Indonesia lebih memilih jalan damai apabila bersinggungan dengan kasus hukum. Pertimbangannya sederhana, lebih ekonomis baik dari waktu dan biaya.

Pengalaman telah mengajarkan agar tidak mencari keadilan di lembaga peradilan. Pasalnya, untung tak dapat diraih dan malang tak bisa ditolak. Niat hati mencari keadilan, tapi bisa-bisa malah menjadi pesakitan.

Bagi yang belum pernah berurusan dengan aparat penegak hukum, tentu akan mengikuti arus mayoritas, karena sepanjang hayatnya senantiasa mendapat cerita serupa. Bahwa mencari keadilan di negeri ini tidak murah serta berisiko tinggi.

Situasi di atas, tentu muncul bukan tanpa sebab. Mahalnya ongkos mencari keadilan serta besarnya energi dan stamina yang dibutuhkan dipicu beberapa faktor. Salah satunya adalah berkeliarannya para markus alias cakil di berbagai sudut lembaga penegak hukum.

Fatalnya, profesi markus dan cakil seringkali diperankan oknum aparat penegak hukum itu sendiri. Anggodo yang diduga sebagai orang yang berprofesi sebagai markus, merupakan gunung es semata. Sejatinya di berbagai sudut lembaga penegakan hukum sudah dikapling para markus lain.

"Mereka saja cara masuknya sudah dengan menyuap, lalu apa yang bisa diharapkan setelah menjadi polisi atau jaksa," ujar civitas akademika Universitas Indonesia Heri Tjandrasari kepada okezone di Jakarta, Jumat (4/12/2009).

Faktor kedua, adalah prosedur hukum yang rigid dengan pengadilan sebagai muaranya. Bila bersinggungan dengan hukum, pidana dan perdata, maka proses hukum yang harus dilalui adalah penyidikan Polri, Kejaksaan, lalu pengadilan.

Dari masa pelaporan ke polisi atau dimulainya proses pemeriksaan hingga berkas dilimpahkan ke kejaksaan membutuhkan waktu yang tidak pendek. Bisa berbulan-bulan, tergantung kinerja para penyidik. Belum lagi oleh penyidik Kejaksaan berkas kasus bisa saja dikembalikan karena dianggap belum lengkap.

Proses selanjutnya adalah pengadilan dengan segala perangkat dan prosedurnya. Alhasil hanya individu yang memiliki "stamina" dan stamina tinggi yang bisa mencari keadilan. Proses yang panjang pasti menyita waktu dan biaya.

Tidak heran apabila para terdakwa miskin seperti Nenek Minah, Basar Suyanto, dan Kholil tak berkutik ketika duduk di kursi pesakitan. Mereka tidak hanya lemah secara finansial, tapi juga pengetahuan.

Hukum acara di pengadilan tentu bukan sesuatu yang mereka pahami, atau bahkan pernah dikenal. Di sisi lain, mustahil para terdakwa menyewa jasa pengacara, karena untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah susah.
\
sumber okezone

Nenek Minah, Pencuri Semangka, & Anggodo

| | | 0 komentar
Keadilan memang multirasa, seperti permen nano-nano. Kadang terasa pahit, manis, atau justru masam. Semua tergantung pada subjek yang menilai dan mengalaminya.

Bagi yang diuntungkan tentu akan mengecap manisnya hukum, begitu pula sebaliknya. Rasa masam keadilan di negeri ini setidaknya telah dirasakan Nenek Minah, pencuri tiga buah Kakao, duo pencuri semangka yaitu Basar Suyanto dan Kholil, serta Prita Mulyasari.

Bagi rakyat jelata seperti mereka, wajah hukum begitu beringas. Menghujam tanpa memedulikan rasa keadilan.

Nenek Minah, warga Banyumas, Jawa Tengah, divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan akibat mencuri tiga buah kakao seharga Rp2.100. Beban psikologis juga harus ditanggung nenek berusia 65 tahun itu karena harus berurusan dengan aparat penegak hukum.

Kisah serupa juga dialami dua warga Kediri, Jawa Timur, Basar Suyanto dan Kholil. Keduanya terpaksa berurusan dengan polisi karena kedapatan mencuri sebuah semangka. Keduanya sempat merasakan pengapnya ruang tahanan, sebelum akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kediri. Keluarga Basar pun mengaku sempat ditipu anggota polisi membayar Rp1 juta agar kasusnya dihentikan.

Seorang ibu rumah tangga yang curhat mengenai buruknya layanan RS Omni Internasional juga harus berurusan dengan aparat penegak hukum, karena dituduh melakukan pencemaran nama baik.

Adalah Prita Mulyasari yang hingga kini masih harus menjalani proses hukum. Kabar terbaru, ibu dua anak itu oleh Pengadilan Tinggi Banten diputus bersalah dan wajib membayar denda sebesar Rp204 juta.

Pada waktu hampir bersamaan, Anggodo Widjojo justru mendapatkan perlakukan istimewa dari aparat penegak hukum. Dia tetap bebas berkeliaran meski terindikasi kuat merekayasa kriminalisasi dua pimpinan KPK. Indikasi itu didukung adanya transkrip rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Enam tuduhan pelanggaran hukum, termasuk salah satunya tuduhan pencemaran nama baik Presiden, pun tak mampu menyeret adik koruptor Anggoro Widjojo itu ke balik jeruji besi. Besarnya tekanan dari publik seolah tak didengar aparat penegak hukum. Justru dengan alasan keamanan, polisi malah mengawal Anggodo selama 24 jam nonstop.

Manisnya wajah hukum juga dinikmati Ketua DPRD Jawa Tengah periode 1999-2004 Mardijo yang terbukti menilep duit APBD sebesar Rp14,8 miliar. Atas kejahatannya itu, Mardijo hanya dihukum percobaan dua tahun penjara.

Mungkin atas pertimbangan seperti kasus-kasus di atas, ribuan tahun yang lalu warga Romawi merumuskan bentuk Justitia, Dewi Keadilan. Justitia digambarkan sebagai matron yang membawa pedang dan timbangan di tangannya, dan terkadang memakai penutup mata.

sumber okezone

Blogger Kumpulkan Koin Peduli Prita

| | | 0 komentar
Dukungan blogger terhadap kasus Prita Mulyasari tidak berhenti sampai di sini. Setelah divonis denda sekira 204 juta, blogger langsung menggagas pengumpulan koin untuk membantu.

"Dukungan tersebut telah berlangsung sejak Jumat (4/12/2009) kemarin, pukul 16.00. Saya sendiri belum tahu sampai kapan batas akhirnya. Jumlah dana yang terkumpul juga belum diketahui," ujar penggagas Koin Peduli Prita, Wicaksono,

Blogger yang lebih dikenal dengan nama Ndorokakung ini juga mengungkapkan. Hingga saat ini kebanyakan koin terkumpul berasal dari blogger dan masyarakat luas. Dan belum banyak pejabat yang turut memberikan bantuannya.

"Pejabat belum ada yang menyisihkan dananya, baru Yenny Wahid yang memberi sekira Rp5 juta," papar Wicaksono.

Nantinya, lanjut Wicaksono, balabantuan ini akan diperbanyak dengan menggelar konser amal bertajuk 'koin peduli'. Sayangnya, belum diketahui kapan rencana tersebut akan direalisasikan.

Bantuan koin yang diberikan dapat disalurkan ke tempat tongkrongan para blogger, yakni Wetiga, di jalan Langsat I no 3A, Kebayoran, Jakarta Selatan. Atau di Markas Sehat di jalan Taman Margasatwa No.60, Jatipadang, Jakarta Selatan.

Prita Mulyasari dijatuhi hukuman denda sekira 204 juta atas kasus pencemaran nama baik melalui perangkat elektronik (email) terhadap Rumah Sakit Omni Internasional. Keputusan ini dijatuhkan hakim setelah melalui proses pengadilan yang panjang.

Blogger Indonesia memberikan dukungan yang cukup kuat terhadap Prita yang dianggap sebagai korban dari sebuah pasal karet di undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE tersebut menyebutkan Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sanksi dalam pasal tersebut akan dikenakan denda sekira 1 miliar atau hukuman penjara selama 6 tahun. (srn)

sumber okezone

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?