SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Menyingkap Ulasan Isi Percakapan Daud Beureu’eh - Soekarno

| | | 0 komentar
Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakak” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah:

Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”

Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”

Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”

Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”

Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”

Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”

Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”

Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”

Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan,

Soekarno berkata, : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”

Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno berjanji,

Soekarno berkata : “Wallah Billah (Demi Allah), Kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”

Daud Beureu’eh menjawab, “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”

Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.

Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.

Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telah menjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak pernah termaafkan.

http://sejarah.kompasiana.com/2010/10/15/aceh-beureueh-%C3%B7-soekarno/

Tangis Soekarno, Awal Derita Aceh

| | | 1 komentar
“Wallah, Billah, Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai Syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu?”

Kata-kata di atas diucapkan oleh Soekarno sambil terisak di bahu seseorang yang ia panggil Kakak. Sang kakak, tidak lain adalah Daud Beureueh. Akhirnya, berbekal iba dan isak tangis, Soekarno berhasil meluluhkan hati sang Abu Jihad, demikian panggilan Daud Beureueh. Soekarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureueh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, Syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Maka urung niat Daud Beureu’eh meminta perjanjian hitam di atas putih.

Tapi ternyata janji tinggal janji, Belum kering bibir Soekarno berjanji, Ia sendiri yang menghianati janjinya sendiri. Dan penerapan Syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara. Air mata tangisan Bung Karno berbuah malapetaka yang menjadi titik awal mula penderitaan Rakyat Pemodal Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Siapakah Daud Beureueh? Ia adalah cikal bakal semua gerakan Kemederkaan Aceh. Lahir 17 September 1899, dengan nama asli Muhammad Daud di sebuah dusun kecil bernama Beureu’eh di Aceh Pidie. Nama dusun itulah yang kelak yang lebih dikenal sebagai namanya. la bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku, ia seorang rakyat biasanya saja. Gelar Tengku di depan namanya menandakan ia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya. Selain Abu Jihad, orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Daud atau Abu Beureueh.

Pada zamannya, Daud Beureueh dikenal sebagai seorang ulama yang tegas dan keras pendiriannya. la tak segan-segan menjatuhkan vonis haram atau kafir bagi setiap orang yang telah melanggar aturan agama. Menurut beberapa catatan dan keterangan orang-orang yang dekat dengan Abu Daud, ia termasuk salah seorang yang buta huruf (tapi akhimya ia bisa juga baca dan tulis huruf latin). Ia hanya bisa membaca aksara Arab. Tapi jangan ditanya soal kemampuannya dalam masalah agama dan siasat perang.

Pendidikan yang ia jalani adalah pendidikan dari beberapa pesantren di daerahnya. Beberapa pesantren yang pernah menempa tokoh yang satu ini adalah Pesantren Titeue dan Pesantren Leumbeue. Kedua pesantren itu terkenal sebagai “pabrik” yang melahirkan pribadi-pribadi dengan militansi tinggi di Bumi Serambi Makkah.

Abu Daud terkenal sebagai orator dan seorang yang pemurah hati. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang membuatnya pada tahun 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli.

Sembilan tahun kemudian, bersama seorang sahabatnya, Daud Beureueh mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah para ulama Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), begitu ia memberi nama organisasi tersebut. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.

Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, tak urung PUSA akhirnya dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.

Kabar kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, terlambat sampai di Aceh. Kabar merdeka baru diterima pada 15 Oktober1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian meledak. “Aceh juga harus merdeka,” pekiknya membangkitkan semangat mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar rakyat Aceh mendukung Soekarno. Namun seperti tertulis di atas, air susu dibalas air tuba.

Selain dukungan untuk Soekarno, masih banyak lagi sumbangsih rakyat Aceh yang nota bene salah satu hasil perjuangan Daud Beureueh. Sumbangsih tanda kasih pada Rl itu antara lain adalah saat ibukota Rl masih di Yogyakarta. Ketika kota itu diduduki dan Soekarna-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II, tanpa dikomando, rakyat Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.

Begitu juga saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittingi dipindahkan ke Bireuen. Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya “akomodasi” pemerintahan darurat. Daftar sumbangsih rakyat Aceh untuk Rl akan semakin panjang jika kita masih mau mencari. Sebut saja cikal bakal penerbangan Indonesia. Rakyat Aceh-lah yang memulai dengan pesawat terbang Seulawah I dan II yang disumbangkan untuk Rl. Namun, tuntutan untuk hidup di bawah Syariat Islam belum juga terwujud. Bahkan rakyat Aceh cenderung menjadi “anak tiri” Rl, ketika Soekarno membubarkan Provinsi Aceh dan melebumya menjadi bagian dari Sumatera Utara.

Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan Rakyat Aceh. Daud Beureueh yang menjadi gubernur pertama Aceh, berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.”

Puncaknya pada 21 September 1953, ia memimpin dan memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal itu tidak lebih dari respon atas penindasan dan kekecewaan yang telah menggunung pada pemerintah Rl, lebih-lebih pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo.

Untuk meredakan aksi tersebut, pemerintah mengirim M. Natsir ke Aceh, dengan disepakatinya tuntutan rakyat Aceh dan diberikannya otonomi untuk Aceh. Namun masa tenang itu tak berlangsung lama. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan pada anggota DI/TII terus berlanjut karena isu-isu rapat rahasia antara Daud Beureueh dengan Kartosoewiryo. Banyak orang menyebut Daud Beureueh sebagai pemberontak. Pemberontakkah ia, jika setelah sekian lama memberikan baktinya tapi malah dera derita untuk Aceh yang diterimanya…??

http://sejarah.kompasiana.com/2010/11/27/tangis-soekarno-awal-derita-aceh/

Balada Pengembara Wakatobi

| | | 0 komentar
Oleh : Budi Suwarna
Betapa molek Wakatobi. Namun, sebagian besar penduduknya barangkali tidak sempat menghiraukan keindahan kepulauan itu. Pasalnya, sepanjang usia, mereka sibuk mengembara atau ”buang diri”.

Buat penduduk Wakatobi—baik suku Bajo, Buton, maupun Ciacia—mengembara merupakan episode wajib dalam perjalanan hidup mereka. ”Kalau tidak mengembara, kita malu, tidak punya cerita,” ujar Sahrudin (34), warga Kabupaten Wakatobi (kependekan dari Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko), Sulawesi Tenggara.

Ketika usia tujuh tahun pada tahun 1983, anak muda dari suku Buton ini telah diajak ibunya mengembara ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Mereka menyusul ayahnya yang pergi mengembara sejak Sahrudin lahir. ”Itulah pertama kali saya bertemu Bapak,” ujarnya.

Tidak lama hidup bersama, dia ditinggal ibunya yang bekerja di pabrik kayu lapis. Sementara ayahnya merantau ke Singapura. Sahrudin pun harus tinggal bersama tetangganya. Setelah tiga tahun, dia dibawa pulang ke rumah neneknya di Tomia. Ayah-ibunya merantau lagi dan Sahrudin tidak selalu tahu di mana mereka berada.

”Kami hanya bertitip kabar lewat tetangga yang kebetulan merantau. Kabar itu akan disampaikan berantai. Kadang, setelah enam bulan, kabar baru sampai. Maklum, dulu belum ada handphone,” ujarnya.

Ketika berusia 20 tahun, Sahrudin memulai pengembaraannya sendiri. ”Kami menyebutnya ’buang diri’, menyerahkan diri kepada nasib. Nanti di perantauan jadi pengusaha, buruh, atau penjahat, terserah saja.”

Pembajak kapal

Dan, pengembaraan Sahrudin ternyata penuh warna. Dia pernah bekerja di bengkel sambil meneruskan sekolah di Kendari, menjadi penjaga rumah di Jakarta, dan menjadi buruh tambang timah. Dia kemudian pulang tahun 2003 dan hidup tenang di Tomia hingga sekarang. Selama di pengembaraan, dia sempat bertemu orang-orang sepulau dengan berbagai profesi, dari buruh hingga perompak.

Kisah Sadar (30) tak kalah berwarna. Dia lahir di sope-sope (rumah perahu) ketika ayahnya sakai (mengembara) di tengah lautan. ”Sejak saat itu saya hidup di perahu dan belajar hidup dari lautan luas,” ujar Sadar, anak suku Bajo atau suku laut yang kini tinggal di permukiman Bajo di Mola, Wangi-Wangi.

Ketika Sadar berusia tujuh tahun, ayahnya mendorong dia mengembara untuk melihat dunia. Dia dititipkan ke sebuah kapal pengangkut hasil bumi. Di sana, dia mendapat peran sebagai tukang masak dan pelayan nakhoda. Selama setahun ikut kapal itu, dia melihat Poso, Manado, Maluku, Tanjung Pinang, Malaysia, Singapura, dan Brunei.

Setelah setahun, Sadar pulang ke rumah. Ketika itu, ayahnya bertanya, ”Apa saja yang kau lihat di pengembaraan?”

Sadar menceritakan apa yang dia lihat, termasuk semua hambatan selama di pengembaraan. ”Saya bilang, ’saya belum mengerti navigasi alam’,” katanya.

Hari itu juga ayahnya membawa Sadar ke laut. Dia mengajarinya memahami cuaca, membaca rasi bintang, cuaca, angin, dan mengenali arus laut. ”Begitulah orang Bajo mengajari anaknya memahami dunia. Semua ilmu diturunkan dengan bahasa tutur,” ujar Sadar.

Sejak berusia 13 tahun, dia mengembara di darat selama bertahun-tahun. Dia mencari ilmu di sekolah hingga mampu meraih gelar sarjana Jurusan Bahasa Inggris dari Universitas Hasanuddin. Sekarang, Sadar menjadi peneliti suku Bajo, sukunya sendiri.

Ditinggal suami

Tradisi mengembara ini melahirkan kisah lain yang tidak kalah menarik. Salah satunya tentang nasib perempuan di kampung yang ditinggal suami ”buang diri”.

Di Kulati, Pulau Tomia, yang didiami orang-orang Buton, ada Wa Jania (40) yang telah 10 tahun ditinggal suami mengembara. ”Sejak dia pergi, tak pernah ada kabar. Mungkin dia sudah kawin lagi,” katanya kesal.

Wa Jania pun harus membesarkan empat anaknya seorang diri di sebuah rumah berlantai tanah, berdinding papan pinjaman tetangga. Untuk makan sekeluarga, dia mengandalkan kebun singkong dan meti (daerah pasang-surut) tempat gurita, kerang, dan bulu babi ditemukan.

Perempuan senasib Wa Jania mudah ditemukan di Tomia. Aminudin (42), warga Kulati, mengatakan, di sekitar rumahnya ada 10 perempuan yang ditinggal suami. ”Ada yang sudah 20 tahun ditinggal dan anak-anaknya tidak tahu wajah bapaknya.”

Barangkali, inilah kisah pahit dari tradisi mengembara meski, kata Sahrudin, soal ini dianggap jamak dan merupakan bagian dari perjalanan hidup keluarga-keluarga suku pengembara.

”Meski ditinggal orangtua merantau, hubungan kami tetap dekat,” ujarnya.

Orang-orang Bajo, Buton, dan Ciacia merupakan potret rakyat jelata yang tangguh dalam menghadapi kehidupan keras tanpa mengeluh.
sumber artikel ;Kompas Cetak
sumber foto :antarafoto

‘Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi’

| | | 0 komentar
Seorang sejarawan pernah berujar bahwa sejarah itu adalah versi atau sudut pandang orang yang membuatnya. Versi ini sangat tergantung dengan niat atau motivasisi pembuatnya. Barangkali ini pula yang terjadi dengan Majapahit, sebuah kerajaan maha besar masa lampau yang pernah ada di negara yang kini disebut Indonesia. Kekuasaannya membentang luas hingga mencakup sebagian besar negara yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara.

Namun demikian, ada sesuatu yang ‘terasa aneh’ menyangkut kerajaan yang puing-puing peninggalan kebesaran masa lalunya masih dapat ditemukan di kawasan Trowulan Mojokerto ini. Sejak memasuki Sekolah Dasar, kita sudah disuguhi pemahaman bahwa Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu terbesar yang pernah ada dalam sejarah masa lalu kepulauan Nusantra yang kini dkenal Indonesia. Inilah sesuatu yang terasa aneh tersebut. Pemahaman sejarah tersebut seakan melupakan beragam bukti arkeologis, sosiologis dan antropologis yang berkaitan dengan Majapahit yang jika dicerna dan dipahami secara ‘jujur’ akan mengungkapkan fakta yang mengejutkan sekaligus juga mematahkan pemahaman yang sudah berkembang selama ini dalam khazanah sejarah masyarakat Nusantara.

‘Kegelisahan’ semacam inilah yang mungkin memotivasi Tim Kajian Kesultanan Majapahit dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta untuk melakukan kajian ulang terhadap sejarah Majapahit. Setelah sekian lama berkutat dengan beragam fakta-data arkeologis, sosiologis dan antropolis, maka Tim kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku awal berjudul ‘Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi’.

Buku ini hingga saat ini masih diterbitkan terbatas, terutama menyongsong Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Sejarah Majapahit yang dikenal selama ini di kalangan masyarakat adalah sejarah yang disesuaikan untuk kepentingan penjajah (Belanda) yang ingin terus bercokol di kepulauan Nusantara.

Akibatnya, sejarah masa lampau yang berkaitan dengan kawasan ini dibuat untuk kepentingan tersebut. Hal ini dapat pula dianalogikan dengan sejarah mengenai PKI. Sejarah berkaitan dengan partai komunis ini yang dibuat dimasa Orde Baru tentu berbeda dengan sejarah PKI yang dibuat di era Orde Lama dan bahkan era reformasi saat ini. Hal ini karena berkaitan dengan kepentingan masing-masing dalam membuat sejarah tersebut.

Dalam konteks Majapahit, Belanda berkepentingan untuk menguasai Nusantara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Untuk itu, diciptakanlah pemahaman bahwa Majapahit yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia adalah kerajaan Hindu dan Islam masuk ke Nusantara belakangan dengan mendobrak tatanan yang sudah berkembang dan ada dalam masyarakat.

Apa yang diungkapkan oleh buku ini tentu memiliki bukti berupa fakta dan data yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan. Beberapa fakta dan data yang menguatkan keyakinan bahwa kerajaan Majpahit sesungguhnya adalah kerajaan Islam atau Kesultanan Majapahit adalah sebagai berikut:

1. Ditemukan atau adanya koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’. Koin semacam ini dapat ditemukan dalam Museum Majapahit di kawasan Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Koin adalah alat pembayaran resmi yang berlaku di sebuah wilayah kerajaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sangat tidak mungkin sebuah kerajaan Hindu memiliki alat pembayaran resmi berupa koin emas bertuliskan kata-kata Tauhid.



2. Pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam sistem Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah Qadhi atau hakim agama Islam kerajaan Majapahit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Agama Islam adalah agama resmi yang dianut oleh Majapahit karena memiliki Qadhi yang dalam sebuah kerajaan berperan sebagai hakim agama dan penasehat bidang agama bagi sebuah kesultanan atau kerajaan Islam.

3. Pada lambang Majapahit yang berupa delapan sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat. Kata-kata yang beraksara Arab ini terdapat di antara sinar-sinar matahari yang ada pada lambang Majapahit ini.

Untuk lebih mendekatkan pemahaman mengenai lambang Majapahit ini, maka dapat dilihat pada logo Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, atau dapat pula dilihat pada logo yang digunakan Muhammadiyah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majapahit sesungguhnya adalah Kerajaan Islam atau Kesultanan Islam karena menggunakan logo resmi yang memakai simbol-simbol Islam.

4. Pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah seorang muslim. Hal ini karena Raden Wijaya merupakan cucu dari Raja Sunda, Prabu Guru Dharmasiksa yang sekaligus juga ulama Islam Pasundan yang mengajarkan hidup prihatin layaknya ajaran-ajaran sufi, sedangkan neneknya adalah seorang muslimah, keturunan dari penguasa Sriwijaya. Meskipun bergelar Kertarajasa Jayawardhana yang sangat bernuasa Hindu karena menggunakan bahasa Sanskerta, tetapi bukan lantas menjadi justifikasi bahwa beliau adalah seorang penganut Hindu.

Bahasa Sanskerta di masa lalu lazim digunakan untuk memberi penghormatan yang tinggi kepada seseorang, apalagi seorang raja. Gelar seperti inipun hingga saat ini masih digunakan oleh para raja muslim Jawa, seperti Hamengku Buwono dan Paku Alam Yogyakarta serta Paku Buwono di Solo.

Di samping itu, Gajah Mada yang menjadi Patih Majapahit yang sangat terkenal terutama karena Sumpah Palapanya ternyata adalah seorang muslim. Hal ini karena nama aslinya adalah Gaj Ahmada, seorang ulama Islam yang mengabdikan kemampuannya dengan menjadi Patih di Kerajaan Majapahit. Hanya saja, untuk lebih memudahkan penyebutan yang biasanya berlaku dalam masyarakat Jawa, maka digunakan Gajahmada saja. Dengan demikian, penulisanGajah Mada yang benar adalah Gajahmada dan bukan ‘Gajah Mada’.

Pada nisan makam Gajahmada di Mojokerto pun terdapat tulisan ‘LaIlaha Illallah Muhammad Rasulullah’ yang menunjukkan bahwa Patih yang biasa dikenal masyarakat sebagai Syeikh Mada setelah pengunduran dirinya sebagai Patih Majapatih ini adalah seorang muslim.

5. Jika fakta-fakta di atas masih berkaitan dengan internal Majapahit, maka fakta-fakta berikut berhubungan dengan sejarah dunia secara global. Sebagaimana diketahui bahwa 1253 M, tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan menyerbu Baghdad. Akibatnya, Timur Tengah berada dalam situasi yang berkecamuk dan terjebak dalam kondisi konflik yang tidak menentu.

Dampak selanjutnya adalah terjadinya eksodus besar-besaran kaum muslim dari TimurTengah, terutama para keturunan Nabi yang biasa dikenal dengan‘Allawiyah. Kelompok ini sebagian besar menuju kawasan Nuswantara (Nusantara) yang memang dikenal memiliki tempat-tempat yang eksotis dan kaya dengan sumberdaya alam dan kemudian menetap dan beranak pinak di tempat ini. Dari keturunan pada pendatang inilah sebagian besar penguasa beragam kerajaanNusantara berasal, tanpa terkecuali Majapahit.

Inilah beberapa bukti dari fakta dan data yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Majapahit adalah Kesultanan Islam yang berkuasa di sebagian besar kawasan yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara ini. Sekali lagi terbukti bahwa sejarah itu adalah versi, tergantung untuk apa sejarahitu dibuat dan tentunya terkandung di dalamnya beragam kepentingan.Wallahu A’lam Bishshawab. Hanya Tuhan Yang Maha MEngetahui .... [sejarah-kompasiana]

http://misteri-us.blogspot.com/2010/11/kesultanan-majapahit-fakta-sejarah-yang.html

Merauke, Bergulat Menuju Peradaban Baru

| | | 0 komentar
Sejumlah siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri I Sota, Kabupaten Merauke, Papua, me l e wa t i Tugu Kembar yang berada di perbatasan Merauke dengan negara Papua Niugini, Sabtu (16/10). Tugu serupa juga ada di Sabang, DI Aceh, yang menandakan perbatasan paling barat Republik Indonesia.

OLEH ASWIN RIZAL HARAHAP dan A PONCO ANGGORO

Merauke, kabupaten di ujung timur Nusantara, tengah gamang. Tata nilai setempat secara perlahan ditantang bertransformasi menuju peradaban baru.
Di satu sisi, warga asli sangat kuat mempertahankan totem, sebagai simbol keseimbangan jiwa dengan alam, menuju animha (manusia sejati). Namun, upaya pencapaian itu terusik bias-bias eksploitasi sumber daya alam. Interaksi sosial antara Merauke dan wilayah lain di Tanah Air berkonsekuensi pada pola anutan enam suku setempat.

Keenam suku itu adalah Malind, Marori, Yeinan, Makleuw, Kima-Khima, dan Canume. Mereka memiliki totemnya masing-masing. Kelapa, misalnya, menjadi totem marga Gebze, sementara sagu dipercaya marga Mahuze sebagai totem mereka. Ada pula yang meyakini satwa sebagai totem, seperti kanguru (Samkakai), burung ndik (Ndiken), burung elang (Balagaize), dan babi (Basik-basik).

Mereka membatasi eksploitasi flora dan fauna itu untuk menghormati arwah leluhur. Pelestarian lingkungan juga bertujuan menjaga hubungan dengan nenek moyang. Cara pandang ini pula yang mendasari ritual sal atau sasi, kepercayaan untuk membatasi perburuan hewan dan eksploitasi tanaman di suatu kawasan.

Sekretaris Dewan Adat Wilayah V Papua Yohanes Wob mengatakan, harmonisasi dengan alam, yang diyakini warga asli Merauke sebagai syarat menjadi manusia sejati, kini semakin terdesak laju pertumbuhan penduduk. Eksploitasi hasil alam terus terjadi demi memenuhi kebutuhan hidup.

Perburuan tanpa batas membuat kanguru dan rusa kian langka. Sagu yang menjadi makanan asli warga Merauke juga mulai langka. Hal tersebut dipicu alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian di sebagian besar dari 20 distrik di Merauke.

Program mendatangkan transmigran yang secara bergelombang dilakukan pemerintah sejak pertengahan tahun 1960 membuat sebagian besar wilayah di ketiga distrik itu tak lagi menunjukkan wajah Merauke yang dulu.

Para pendatang yang memang sudah terbiasa bercocok tanam tersebut menyulap lahan tidur menjadi areal pertanian. Mereka menggarap areal pertanian seluas 38.402 hektar (ha) yang tersebar di enam distrik, yaitu Merauke, Semangga, Tanah Miring, Kurik, Sota, dan Malind. Tanah seluas 26.848 ha itu ditanami padi dengan produksi 55.000-an ton beras setahun. Sisanya ditanami jagung, umbi-umbian, kol, dan wortel.
Hasil pertanian ini tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan 195.577 jiwa penduduk Merauke, tetapi juga ratusan ribu penduduk di Kabupaten Asmat, Boven Digoel, dan Mappi.

Namun, tak sedikit transmigran pulang kampung atau banting setir jadi kuli bangunan. Penyebabnya kompleks, mulai dari mahalnya harga pupuk dan obat-obatan hingga rendahnya harga jual hasil panen. ”Enam tahun lalu saya beralih menjadi kuli bangunan,” kata Suryana (39), transmigran asal Jawa Barat di Distrik Sota yang berbatasan dengan Papua Niugini.

Sementara petani yang bertahan harus puas dengan masa tanam 1-2 kali dalam setahun karena minimnya infrastruktur pertanian. Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Merauke Harry Bariono Tobing mengatakan, 40 persen dari areal yang ada baru bisa ditanami sekali dalam setahun, yaitu saat musim hujan. Minimnya sumber air menjadi kendala utama sehingga harus disiasati dengan membuat embung dan saluran irigasi dari rawa-rawa.

Struktur tanah di Merauke yang datar juga menyulitkan pengaliran air ke sawah.
Di tengah situasi seperti itu, pemerintah justru mencanangkan program pengembangan pertanian dan perkebunan berskala luas dalam proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) tahun 2006. Dengan alokasi dana pembangunan dan pembenahan irigasi di Merauke ”hanya” Rp 40 miliar per tahun, realisasi program MIFEE yang berbiaya sekitar Rp 30 triliun akan memakan waktu relatif lama.

Pemerintah pun menyediakan lahan 552.316 ha bagi investor, atau 12,5 persen dari luas wilayah Merauke. Lahan itu hasil kompromi antara pemerintah pusat, Pemprov Papua, dan Pemkab Merauke. Sebelumnya, lahan yang dibidik 1,2 juta ha.

Dari 47 perusahaan yang direncanakan berinvestasi, 7 di antaranya sudah mengisi lahannya dengan tanaman sawit. Adapun 40 investor masih menunggu perizinan untuk lahan pertanian dan perkebunan tebu.

Pemerintah juga membuka lahan di sejumlah distrik untuk warga asli Merauke. Namun, pemberian lahan itu gagal mengenalkan budaya bercocok tanam kepada penduduk setempat. Ratusan hektar lahan di Kampung Serapu, Distrik Semangga, dan Kampung Sota, Distrik Sota, justru jadi telantar.

Ketua Dewan Adat Merauke Ahmad Waros Gebze berharap pemerintah tidak mengalihfungsikan lahan dalam jumlah besar untuk program MIFEE. Dalam rencana investasi di Merauke, areal MIFEE memakan 75 persen kawasan hutan. Hutan yang tersisa hanya hutan di kawasan konservasi seluas 547.783 ha.

Menyikapi hal itu, Manajer Transfly WWF Indonesia di Merauke Martinus Cornelis Wattimena dan Rektor Universitas Negeri Musamus, Merauke, Philipus Betaubun menyatakan, pemerintah sebaiknya memaksimalkan lahan pertanian yang sudah ada saja, tetapi menambah dan membangun infrastruktur yang dibutuhkan.
Penggunaan lahan secara bijak, kata Philipus Betaubun,
bertujuan melestarikan totem warga Merauke sebagai penyeimbang jiwa dan alam.

Bagi Merauke, budidaya pertanian dan peternakan adalah keharusan. Namun, kebutuhan pokok gula, ayam, dan telur di Merauke sampai sekarang masih harus didatangkan dari Surabaya atau Makassar.

Konflik Korea, Kisah dari Utara

| | | 0 komentar
Tentara Korea Utara (http://5magazine.com)

Di tengah kesulitan pangan, Korea Utara menyerang Selatan. Cari perhatian dunia?

Dia dipanggil dengan nama lazim di Korea: Kim. Dia perempuan, dan usianya 41 tahun. Dengan dua putranya, Kim berhasil menembus perbatasan dua Korea, dan masuk ke Korea Selatan, 11 November 2010.

Penguasa Korea Selatan (Korsel) menutup identitas Kim. Soalnya, nyawa Kim dan dua putranya terancam. Mereka lari dari Korea Utara (Korut). Demi keselamatan kerabat mereka di kampung halaman, seperti dilaporkan VoA News, nama lengkap Kim tak boleh dibuka.

Bagi rezim komunis di Korut, ulah Kim kabur bersama dua putranya itu adalah dosa besar. Aksi itu setara pengkhianatan kepada negara. Kalau tertangkap, hukumannya berat. Mereka akan menghuni kamp kerja paksa.

Kim kini menjadi satu dari 20.000 pembelot Korut, sejak semenanjung Korea itu terpecah setelah Perang Dunia Kedua. Menurut pejabat Kementrian Unifikasi Korsel, Kim terpaksa kabur dari negaranya. Kampung mereka di Provinsi Yanggang tak lagi bisa menjadi tumpuan hidup. Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 10.000 orang Korut kabur ke Korsel.

Korut kini dilanda krisis pangan. Ekonomi sulit. Keadaan Korut, seperti digambarkan Victorio Sekitoleko, seorang pejabat Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), tak begitu baik. Victorio melawat Korut, September lalu. Dia mengunjungi rumah dan sekolah. "Saya melihat orang-orang di jalan. Setiap menatap mata mereka, yang kita saksikan adalah orang kelaparan," tutur Sekitoleko.

Dia lalu mencatat, lebih dari 30 persen orang Korut mengalami kekurangan pangan cukup parah. Mereka akhirnya nekad, menerobos perbatasan, meski harus bertaruh nyawa.

Serangan ke selatan

Krisis itu tak hanya membuat warga Korut frustasi. Bahkan, penguasa Kim Jong-il berupaya menarik perhatian internasional atas krisis di negeri mereka. Pyongyang pun kadang bertindak nekad. Korsel dijadikan sasaran tembak.

Itu sebabnya Korut kembali disorot dunia atas serangan artileri ke Pulau Yeonpyeong, Korsel, 23 November 2010. Sedikitnya empat orang di Korsel, dua diantaranya warga sipil, tewas akibat serangan itu. Dua hari kemudian, Menteri Pertahanan Korsel, Kim Tae-young, mundur dari jabatannya setelah dianggap tak mampu mengantisipasi, dan memberi tindakan cepat serangan Korut.

Sebagai negara Stalinis terakhir di dunia, Korut kerap dituding oleh negara Barat sebagai biang keladi konflik di Semenanjung Korea. Banyak pihak was-was bila krisis dibiarkan maka bisa menjadi pemantik terjadinya perang skala besar.

Kendati bersiaga penuh, Korsel dan sekutunya, Amerika Serikat (AS), menahan diri tak langsung membalas berupa serangan frontal. Tak mau gegabah, mereka sadar lawan yang dihadapi adalah negara nekad. Korut dianggap tak punya apa-apa lagi, selain harga diri dan senjata. Kantor berita Associated Press, mengatakan kalangan intelijen AS yakin Korut punya delapan sampai dua belas bom nuklir yang siap dipindahkan ke rudal.

Kecaman atas serangan ke Korsel itu pun dikritik China, sekutu terdekat Korut. Meksipun reaksi Beijing tak sampai mengecam dan marah seperti halnya Amerika Serikat (AS), Korsel, Jepang dan sekutu-sekutu Barat lainnya.

Saling tuding

Kedua Korea saling tuduh mengenai siapa penyulut gejolak kali ini. Korsel, seperti dikutip kantor berita Yonhap, menuding Korut sebagai pihak pertama pemantik konflik.

Sebaliknya, kantor berita Korut KCNA, menyebutkan Korsel pertama kali melontarkan tembakan. Pada saat itu Korsel sedang latihan militer di perairan dekat Yeonpyeong. Sebagian perairan di Laut Kuning itu masih dipersengketakan kedua negara.

Dalam siaran televisi pemerintah Korut, rezim di Pyongyang menyalahkan Korsel - yang mereka anggap sebagai pemerintahan boneka AS dan sekutu-sekutunya. "Angkatan bersenjata terpaksa mengambil tindakan militer atas provokasi militer oleh rezim boneka," demikian siaran televisi Korut seperti yang dikutip harian Korsel, Chosun Ilbo, dua hari setelah serangan berlangsung.

Bahkan Korut berani mengancam akan kembali melakukan serangan. "Bila kelompok boneka itu berani masuk ke wilayah kami, bahkan 0,001 mm pun, angkatan bersenjata revolusioner akan tidak ragu-ragu mengambil tindakan militer balasan yang tidak mengenal ampun," lanjut siaran itu lagi.

Masalahnya, bukan kali itu saja Korut bikin ulah. Sejumlah insiden berlangsung sejak Perang Korea 1950-1953. Pada Maret lalu, torpedo kapal selam Korut merontokkan satu kapal patroli Korsel. Sekitar 46 pelaut tewas. Sebelumnya, pada 1987, sekitar 104 penumpang dan 11 awak pesawat Korean Air tewas akibat ledakan bom di dalam pesawat yang dilakukan agen-agen intelijen Korut.

Pada dekade 1970an, Korut pun berulah dengan menculik sejumlah warga Jepang dan Korsel. Mereka pun gemar berkonfrontasi dengan negara-negara Barat di forum diplomasi, terutama soal senjata nuklir. Itulah sebabnya, berkali-kali Korut mendapat sanksi ekonomi, dan perdagangan dari Dewan Keamanan PBB dalam beberapa tahun terakhir.

Seperti agama

Mantan Presiden AS, Jimmy Carter, mengakui tak mudah menghadapi Korut. Terlepas dari kemampuan militernya yang cukup tangguh, apalagi memiliki teknologi senjata nuklir, Korut sulit diajak kompromi dan cenderung mudah tersinggung.

"Berurusan dengan Korut telah lama menjadi tantangan bagi AS," tulis Carter dalam opininya di harian Washington Post, 24 November 2010. Presiden AS ke-39 itu menilai ada semacam karakter khusus yang membentuk rezim, dan masyarakat di Korut. Meraka tidak mudah tunduk kepada pengaruh asing. Carter menyebut karakter itu sama seperti agama.

"Agama resmi di masyarakat yang tertutup itu adalah 'juche.' Itu artinya bertumpu pada diri sendiri dan jangan mau didominasi pihak lain," kata Carter. Dengan kata lain, demi mendapatkan sesuatu, mereka memilih berjibaku ketimbang tunduk pada perintah orang lain, apalagi dengan pihak yang dianggap musuh.

Karakter itulah yang selalu ditekankan pemimpin Korut sejak akhir Perang Korea. Terutama oleh Kim Il-sung hingga ke putranya yang menjadi penguasa saat ini, Kim Jong-il. Sikap itu tampaknya akan diwariskan kepada putranya, Kim Jong-un, calon pemimpin generasi ketiga.

Korut tidak pernah gamblang menjelaskan alasan atas serangan dan sabotase yang mereka lakukan selama ini. Namun, kalangan pengamat menduga serangan ke Pulau Yeonpyeong dan kasus-kasus insidentil terkait meredupnya harga diri atau prestise Korut di panggung dunia.

Kelaparan

Kekuatan militer Korut memang dipandang tangguh. Riset Library of Congress maupun badan intelijen CIA memasukkan Korut ke dalam kelompok 20 negara militer terkuat di dunia. Korut pun dianggap masuk "kelompok macho," yaitu negara-negara yang punya teknologi senjata nuklir.

Tapi, selain itu, tak ada lagi yang bisa diandalkan Korut. Negara itu tertinggal jauh dari tetangga sekaligus seterunya, Korsel. Korut tidaklah semakmur 40 atau 50 tahun lalu. Saat itu, ekonomi mereka jauh lebih baik dari Korsel, yang merangkak dari nol setelah porak poranda akibat Perang Korea. Tapi situasi kini berbalik.

Korsel kini masuk dalam kelompok negara-negara elit, diantaranya sebagai anggota Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan dan G20. Sementara, Korut tampak kian meralat. Saat tetangga mereka larut dalam hiruk pikuk sebagai tuan rumah sejumlah peristiwa penting dunia - seperti Olimpiade 1988, Piala Dunia 2002, hingga KTT G-20 November lalu - rakyat Korut dilanda kesulitan pangan sejak dekade 1990an.

Mayoritas rakyat Korut terancam menghadapi kelaparan yang berkelanjutan pada tahun mendatang. Itu akibat cuaca buruk membuat jadwal panen terganggu, demikian laporan gabungan dari dua lembaga PBB, yaitu Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Program Pangan Dunia (WFP), pada 16 November 2010.

Laporan itu merujuk pada kunjungan tim gabungan itu ke Korut, atas undangan pemerintah setempat selama 21 September hingga 2 Oktober 2010. Mereka bertugas meninjau hasil panen tahun ini sekaligus membuat proyeksi tahun depan, serta menaksir seberapa bantuan pangan yang dibutuhkan rakkyat Korut.

Hasilnya sangat memprihatinkan. Selain hasil panen yang terganggu, sekitar lima juta jiwa - atau kurang lebih 20 persen dari total populasi Korut - membutuhkan bantuan pangan. Mereka sebagian besar adalah anak-anak, ibu hamil maupun menyusui serta kaum jompo yang tidak punya bantuan dari kerabat.

Menurut laporan FAO dan WFP, rakyat Korut dalam beberapa dekade terakhir sering menderita kekurangan pangan. Situasi terjadi saat wilayah mereka dilanda cuaca buruk sehingga merusak tanaman di ladang pertanian kolektif. Itu adalah cara utama bagi rakyat di pedesaan mendapatkan makanan. Bila panen, hasil pertanian kolektif itu lebih banyak dikirim ke kota sebagai pajak negara.

Situasi itu berkembang sangat buruk pada pertengahan 1990-an. Menurut laman harian The Guardian, saat itu banyak warga Korut tewas. Jumlahnya bervariasi antara 600.000 hingga lebih dari dua juta jiwa.

Sejak saat itu, negeri ini sangat tergantung pada bantuan pangan, terutama dari tetangga sekaligus "musuhnya," Korsel. FAO dan WFP mengingatkan, kendati sudah ada kiriman paket beras dan mi instan dari Korsel September lalu, bantuan itu masih sangat kurang, tidak sampai 4 persen dari jumlah yang dibutuhkan.

Pemerintah Korsel pun prihatin atas masalah melanda tetangganya di utara. "Krisis pangan Korut merupakan 'bencana kelaparan yang bergerak lambat,' yaitu menimbulkan dampak dalam waktu lama. Sepertinya, kelaparan telah menimbulkan kerugian bagi seluruh sendi kehidupan populasi Korut," demikian pernyataan lembaga informasi statistik Korsel, Statistics Korea.

Pembelot

Saat pemerintah komunis itu bersikeras tetap memusuhi Korsel, banyak warga Korut justru hijrah diam-diam ke Selatan. Tujuannya bukan soal menikmati kebebasan, taoi ini urusan perut agar lolos dari bencana kelaparan, dan kemiskinan di Korut.

Menurut harian JoongAng Ilbo, saat ini Korsel menampung lebih dari 20.000 pembelot dari Korut. Kondisi mereka menyedihkan. Banyak para pembelot kehabisan uang karena dipakai untuk membayar calo yang menawarkan jasa untuk membelot. Kalaupun ada, mereka terpaksa membongkar celengan untuk membayar calo agar bersedia menjemput sanak saudara dari Korut. Tentu menggunakan cara ilegal. Soalnya, pemerintah Korut tak sekalipun mengizinkan warganya menyeberang ke Korsel.

Akibat ketatnya penjagaan perbatasaan Korsel-Korut, warga yang mau kabur dari Korut harus menyeberang dulu ke China, negara yang berbatasan dengan utara Korut. Itu merupakan jalan berbahaya, namun tidak ada pilihan lain.

Menurut radio VOA News, kaum perempuan dan anak-anak banyak diselundupkan ke China. Tanpa bekal cukup dan berstatus pendatang gelap, mereka akhirnya menjadi pekerja seks, kawin paksa, atau menjadi buruh rendahan. Itulah membuat perdagangan manusia dari Korut ke China, menurut data Departemen Luar Negeri AS, termasuk tertinggi di dunia.

Pemerintah China menganggap para penyelundup itu sebagai "migran ekonomi," terpaksa menyusup karena kesulitan ekonomi. Bila tertangkap, mereka dipulangkan paksa ke Korut, dan terancam menerima hukuman berat dari penguasa.

Kalangan pengamat mengaitkan kesulitan pangan Korut itu dengan serangan di Yeonpyeong. Serangan itu bisa diartikan sebagai pesan, bahwa Korut sedang krisis, tapi tak harus sampai mengemis-ngemis. Apalagi, AS masih menolak mencabut embargo ekonomi dan perdagangan atas Korut.

"Tidak bisa menekan Washington, akhirnya mereka berbuat ulah lagi kepada Seoul," kata Choi Jin-wook, peneliti dari South Korean Institute for National Unification, seperti yang dikutip The New York Times. "Mereka berada dalam situasi yang putus asa dan mereka butuh bantuan pangan secepatnya, bukan tahun depan," kata Choi.(np)
• VIVAnews

Derita Tiada Akhir Nelayan Muara Angke

| | | 0 komentar
Sampah menumpuk di pinggir pantai di kawasan Kampung Nelayan, Muara Angke, Jakarta Utara, Senin (22/6). Selain sampah yang terbawa aliran sungai, tumpukan sampah itu juga dari sampah rumah tangga milik warga di sekitar kawasan tersebut.

Oleh BM Lukita Grahadyarini



Casmadi (40) duduk melamun di kapalnya di pinggiran pantai Teluk Jakarta. Di sebelahnya, puluhan kapal kecil berjajar tanpa tuan. Empat bulan nelayan kecil Muara Angke menelantarkan kapal mereka.

Casmadi biasa mengoperasikan kapal berbobot mati 2 ton (GT) bersama tiga rekannya. Namun, sejak Agustus lalu kapal jaring rampus (penangkap rajungan) itu pulang tanpa hasil.
Casmadi dan tiga rekannya pun sejak Oktober lalu berhenti melaut. Selasa sore lalu hingga Rabu pagi Casmadi dan rekannya baru kembali melaut.

Namun, setelah melaut sejauh 2 mil (3,2 kilometer) dari bibir pantai mereka hanya mendapat 1 kilogram (kg) rajungan mati, yang biasanya tidak laku dijual karena dagingnya mudah hancur.

Namun, kali ini tengkulak masih membeli tangkapan Casmadi meski harganya hanya Rp 20.000 per kg. Biasanya harga rajungan Rp 26.000-Rp 28.000 per kg. ”Untung bos (tengkulak) mau membeli rajungan mati. Mungkin kasihan sebab kami sudah nekat menambah utang ke bos untuk modal melaut,” ujar Casmadi.

Hasil penjualan itu masih harus dibagi buat empat orang. Padahal, untuk biaya operasional melaut butuh Rp 80.000.
Pencemaran
Dalam kondisi normal, setiap nelayan kapal rampus mampu menjaring 10-15 kg rajungan per hari. Pencemaran laut yang parah telah membuat ikan di wilayah tangkapan nelayan kecil kian langka. Limbah pencemaran berwarna putih, kadang kehitaman, dengan bau menyengat, telah merusak ekosistem.

Bertahun-tahun Muara Angke menjadi ”tempat pembuangan sampah” Jakarta. Bagi nelayan, dampak pencemaran paling parah tahun ini. Pada September 2010 ikan dan rajungan mati mengambang di laut.
Ilyas, Ketua Kelompok Nelayan Pancing Sembilang, mengungkapkan, sekitar 30 nelayan sudah sebulan terakhir berhenti melaut. ”Dengan kapal ikan berbobot 1 GT, sama saja menjemput kerugian jika melaut tanpa hasil,” ujarnya.

Kondisi pembudidaya kerang hijau dengan lokasi budidaya di perairan 0,5-1 mil (0,8-1,6 km), lebih memprihatinkan. Pada bulan Oktober hampir seluruh kerang mati kena limbah.
Tahun-tahun sebelumnya limbah datang hanya pada musim hujan. Nelayan hanya berhenti melaut 3-4 hari. Setelah itu kembali melaut. Tahun ini tak lagi demikian, aliran limbah terus berlangsung karena hujan turun sepanjang tahun.

Nelayan pendatang yang berhenti melaut pulang ke kampung halamannya di Indramayu, Jawa Barat. Adapun yang masih bertahan menyambung hidup dengan berbagai cara.
Dalam situasi ini, tengkulak dan pedagang seolah menjadi ”penyelamat”. Hanya tengkulak yang mau meminjamkan modal untuk biaya melaut. Untuk makan sehari-hari, nelayan berutang ke pemilik warung.

Para nelayan tak peduli dengan bunga yang berlipat ganda, asalkan ”dapur” mereka bisa terselamatkan. Meski untuk itu, utang terus menumpuk.

Tidak melautnya nelayan kecil di Muara Angke berimbas kepada pemilik warung. Nelayan tak mampu membayar cicilan utang, pemilik warung pun kelimpungan memutar modalnya.
Edi Kuraedi, pemilik warung bahan bakar minyak di Blok Eceng, menutup warungnya karena tak ada nelayan yang melaut. Padahal, 64 perahu nelayan di blok itu masih berutang BBM di warungnya. Utang nelayan Rp 400.000-Rp 800.000 per orang.

”Kami sudah capek melapor ke LSM, aparat kelurahan, sampai kantor pelelangan ikan untuk mencari penyelesaian. Tak ada tanggapan,” kata Ilyas.

Harapan nelayan sederhana. Mereka hanya ingin pemerintah menghentikan pembuangan limbah ke laut.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Dedy Sutisna mengatakan bahwa pihaknya sudah memproses penyelesaian masalah di Teluk Jakarta dengan pemerintah daerah.

Dedy menyatakan, pencemaran bukan karena limbah, melainkan dampak reklamasi di pesisir utara Jakarta. ”Kami sedang memproses perkara ini,” ujarnya.
Entah kapan derita nelayan kecil berakhir. Mereka tak hanya ”bertarung” menghadapi gelombang lautan, tetapi juga ketidakpedulian, dan ketidakadilan.

Sumber :Kompas Cetak

Separuh Hati buat Sumiati...

| | | 0 komentar
Sumiati, tenaga kerja Indonesia yang disiksa oleh majikannya di Arab Saudi, kini dirawat di sebuah rumah sakit di Madinah. Sumiati diperkirakan akan berada di rumah sakit selama dua minggu.

Oleh Hamzirwan

Pembenahan pelayanan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia sebenarnya tidaklah sesulit menegakkan benang basah. Semuanya berawal dari kemauan dan niat baik pemerintah.

Sepanjang pemerintah mampu melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum, Indonesia pasti mampu mengirim pekerja berkualitas. Bukan malah menghamba kepada negara penempatan demi mengejar remintasi TKI yang diprediksi Bank Dunia mencapai 7,1 miliar dollar AS tahun 2010.

Mungkin penjajahan terlalu lama memengaruhi rasa percaya diri bangsa dalam pergaulan internasional. Indonesia seakan menjadi pihak paling membutuhkan dalam penempatan pekerja rumah tangga (PRT) di negara tujuan. Akibatnya, agen pekerja di negara tujuan seenaknya menetapkan gaji dengan dalih PRT asal Indonesia tidak kompeten dan segudang alasan lain.

Pelanggaran hak asasi terhadap TKI terus terjadi. Lemahnya pengawasan di negara penempatan membuat kasus kekerasan baru muncul setelah berakibat fatal. Pemerintah seperti gagal melindungi TKI di negara penempatan.

Sedikitnya 6 juta TKI bekerja di luar negeri, dengan hampir 80 persen menjadi PRT. Keahlian terbatas dan pendidikan rendah membuat mereka hanya dapat memasuki pasar kerja sektor domestik yang informal. Mereka bergaji rendah, jam kerja tak terbatas, kondisi kerja rentan pelecehan dan penganiayaan, serta terisolasi dari dunia di luar rumah pengguna jasa.

Penganiayaan majikan atas Sumiati binti Salan Mustapa (23), TKI asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang baru diketahui begitu dia dirujuk ke Rumah Sakit Raja Fahd di Madinah, Arab Saudi, sungguh mengecewakan.

Begitu kasus mencuat, pemerintah segera bertindak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (16/11/2010), langsung memerintahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari berangkat ke Madinah melihat Sumiati. Namun, sampai Senin (22/11/2010) siang, Linda masih di Jakarta menunggu visa karena Kedutaan Besar Arab Saudi sedang libur Idul Adha selama seminggu.

Reaksi dan tindakan pemerintah belum menyentuh dasar jurang penderitaan TKI di negara penempatan. Presiden semestinya berbicara langsung dengan Menteri Dalam Negeri Arab Saudi Pangeran Fayeh yang kini mewakili raja dan pangeran mahkota yang sedang sakit, membahas perlindungan TKI.

Pemerintah harus menegaskan kepada Pemerintah Arab Saudi, perlindungan TKI mutlak dilaksanakan. Dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (18/11/2010), Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Abdurrahman Mohammad Amen Al Khayat meminta kasus Sumiati tidak dibesar-besarkan. Menurut dia, peristiwa itu hanya sedikit kasus kenakalan warga negara biasa dibandingkan dengan banyak TKI yang hidup senang dengan majikan baik.

Apa yang dialami Sumiati jelas tidak bisa diteropong hanya sebagai angka statistik. Walaupun jumlah TKI yang mengalami kekerasan relatif kecil dibandingkan dengan total jumlah TKI, hak asasi atas perlakuan layak tetap harus ditegakkan. Mereka bekerja ke luar negeri bukan untuk dipukuli atau dirampas kemerdekaannya. Mereka hanya ingin lepas dari kemiskinan akibat ketidakmampuan pemerintah menggerakkan sektor riil dan menciptakan lapangan kerja baru di dalam negeri.

Gagal

Pascakrisis ekonomi tahun 1999, lembaga jasa keuangan internasional menganjurkan Indonesia mengirim tenaga kerja ke luar negeri untuk mendapat remitansi guna mengurangi beban negara. Sejak itu, Indonesia terus mengirim tenaga kerja hingga kini sedikitnya 6 juta orang. Mereka telah mengirim remitansi ke Indonesia. Ironisnya, Indonesia gagal mengalihkan pengiriman pekerja informal ke sektor formal. Hampir 80 persen tenaga kerja Indonesia ke luar negeri menjadi PRT.

Status informal membuat mereka kerap menjadi korban keserakahan sponsor, pengusaha penempatan, dan birokrat. Para pemangku kepentingan semestinya menciptakan mekanisme rekrutmen bebas sponsor, pelatihan sesuai standar internasional, dan jaminan perlindungan di negara tujuan.

Sudah menjadi pengetahuan umum, sponsor berkeliling ke desa-desa mengiming-imingi calon TKI dengan gaji besar tanpa menginformasikan situasi sebenarnya. Sponsor memberi sekitar Rp 3 juta untuk keluarga yang ditinggalkan calon TKI. Banyak keluarga TKI terkesima dengan kemurahan hati sponsor. Mereka tidak tahu, agen akan memotong sebagian besar gaji TKI paling sedikit tujuh bulan untuk menutupi ongkos yang dipakai.

Saat ini, pemerintah menyediakan kredit usaha rakyat untuk mengatasi kesulitan permodalan TKI. Mennakertrans juga mencabut izin 22 pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) dan menskors tujuh PPTKIS yang melanggar aturan.

Persoalan lain yang tak kunjung tuntas adalah pelatihan TKI. Kemennakertrans mensyaratkan calon TKI wajib mengikuti pelatihan minimal 200 jam dan 100 jam bagi TKI yang sudah pernah bekerja di luar negeri. Materi pelatihan adalah bahasa negara tujuan, kompetensi kerja, pengetahuan budaya setempat, hingga perlindungan hukum apabila terjadi sesuatu.

Mereka lalu diuji di lembaga sertifikasi profesi (LSP) dan mendapat sertifikat kompetensi kerja jika lulus. Sekali lagi, pengawasan dan penegakan hukum yang lemah membuat oknum LSP mendagangkan sertifikat asli tetapi palsu seharga Rp 70.000 per lembar, jauh di bawah biaya pelatihan komplet yang mencapai Rp 1,1 juta per orang.

Pembenahan rekrutmen dan pelatihan sebenarnya kunci menyiapkan TKI berkualitas. Pemerintah harus berhenti mengejar jumlah penempatan TKI yang sempat ditargetkan 1 juta orang per tahun demi menekan potensi permasalahan yang mengorbankan pekerja.

Pemerintah harus mau sepenuh hati membangun sistem perlindungan yang komprehensif bagi para pahlawan devisa. Jangan lagi separuh hati.


Sumber : Kompas Cetak

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?