SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Merauke, Bergulat Menuju Peradaban Baru

| | |
Sejumlah siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri I Sota, Kabupaten Merauke, Papua, me l e wa t i Tugu Kembar yang berada di perbatasan Merauke dengan negara Papua Niugini, Sabtu (16/10). Tugu serupa juga ada di Sabang, DI Aceh, yang menandakan perbatasan paling barat Republik Indonesia.

OLEH ASWIN RIZAL HARAHAP dan A PONCO ANGGORO

Merauke, kabupaten di ujung timur Nusantara, tengah gamang. Tata nilai setempat secara perlahan ditantang bertransformasi menuju peradaban baru.
Di satu sisi, warga asli sangat kuat mempertahankan totem, sebagai simbol keseimbangan jiwa dengan alam, menuju animha (manusia sejati). Namun, upaya pencapaian itu terusik bias-bias eksploitasi sumber daya alam. Interaksi sosial antara Merauke dan wilayah lain di Tanah Air berkonsekuensi pada pola anutan enam suku setempat.

Keenam suku itu adalah Malind, Marori, Yeinan, Makleuw, Kima-Khima, dan Canume. Mereka memiliki totemnya masing-masing. Kelapa, misalnya, menjadi totem marga Gebze, sementara sagu dipercaya marga Mahuze sebagai totem mereka. Ada pula yang meyakini satwa sebagai totem, seperti kanguru (Samkakai), burung ndik (Ndiken), burung elang (Balagaize), dan babi (Basik-basik).

Mereka membatasi eksploitasi flora dan fauna itu untuk menghormati arwah leluhur. Pelestarian lingkungan juga bertujuan menjaga hubungan dengan nenek moyang. Cara pandang ini pula yang mendasari ritual sal atau sasi, kepercayaan untuk membatasi perburuan hewan dan eksploitasi tanaman di suatu kawasan.

Sekretaris Dewan Adat Wilayah V Papua Yohanes Wob mengatakan, harmonisasi dengan alam, yang diyakini warga asli Merauke sebagai syarat menjadi manusia sejati, kini semakin terdesak laju pertumbuhan penduduk. Eksploitasi hasil alam terus terjadi demi memenuhi kebutuhan hidup.

Perburuan tanpa batas membuat kanguru dan rusa kian langka. Sagu yang menjadi makanan asli warga Merauke juga mulai langka. Hal tersebut dipicu alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian di sebagian besar dari 20 distrik di Merauke.

Program mendatangkan transmigran yang secara bergelombang dilakukan pemerintah sejak pertengahan tahun 1960 membuat sebagian besar wilayah di ketiga distrik itu tak lagi menunjukkan wajah Merauke yang dulu.

Para pendatang yang memang sudah terbiasa bercocok tanam tersebut menyulap lahan tidur menjadi areal pertanian. Mereka menggarap areal pertanian seluas 38.402 hektar (ha) yang tersebar di enam distrik, yaitu Merauke, Semangga, Tanah Miring, Kurik, Sota, dan Malind. Tanah seluas 26.848 ha itu ditanami padi dengan produksi 55.000-an ton beras setahun. Sisanya ditanami jagung, umbi-umbian, kol, dan wortel.
Hasil pertanian ini tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan 195.577 jiwa penduduk Merauke, tetapi juga ratusan ribu penduduk di Kabupaten Asmat, Boven Digoel, dan Mappi.

Namun, tak sedikit transmigran pulang kampung atau banting setir jadi kuli bangunan. Penyebabnya kompleks, mulai dari mahalnya harga pupuk dan obat-obatan hingga rendahnya harga jual hasil panen. ”Enam tahun lalu saya beralih menjadi kuli bangunan,” kata Suryana (39), transmigran asal Jawa Barat di Distrik Sota yang berbatasan dengan Papua Niugini.

Sementara petani yang bertahan harus puas dengan masa tanam 1-2 kali dalam setahun karena minimnya infrastruktur pertanian. Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Merauke Harry Bariono Tobing mengatakan, 40 persen dari areal yang ada baru bisa ditanami sekali dalam setahun, yaitu saat musim hujan. Minimnya sumber air menjadi kendala utama sehingga harus disiasati dengan membuat embung dan saluran irigasi dari rawa-rawa.

Struktur tanah di Merauke yang datar juga menyulitkan pengaliran air ke sawah.
Di tengah situasi seperti itu, pemerintah justru mencanangkan program pengembangan pertanian dan perkebunan berskala luas dalam proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) tahun 2006. Dengan alokasi dana pembangunan dan pembenahan irigasi di Merauke ”hanya” Rp 40 miliar per tahun, realisasi program MIFEE yang berbiaya sekitar Rp 30 triliun akan memakan waktu relatif lama.

Pemerintah pun menyediakan lahan 552.316 ha bagi investor, atau 12,5 persen dari luas wilayah Merauke. Lahan itu hasil kompromi antara pemerintah pusat, Pemprov Papua, dan Pemkab Merauke. Sebelumnya, lahan yang dibidik 1,2 juta ha.

Dari 47 perusahaan yang direncanakan berinvestasi, 7 di antaranya sudah mengisi lahannya dengan tanaman sawit. Adapun 40 investor masih menunggu perizinan untuk lahan pertanian dan perkebunan tebu.

Pemerintah juga membuka lahan di sejumlah distrik untuk warga asli Merauke. Namun, pemberian lahan itu gagal mengenalkan budaya bercocok tanam kepada penduduk setempat. Ratusan hektar lahan di Kampung Serapu, Distrik Semangga, dan Kampung Sota, Distrik Sota, justru jadi telantar.

Ketua Dewan Adat Merauke Ahmad Waros Gebze berharap pemerintah tidak mengalihfungsikan lahan dalam jumlah besar untuk program MIFEE. Dalam rencana investasi di Merauke, areal MIFEE memakan 75 persen kawasan hutan. Hutan yang tersisa hanya hutan di kawasan konservasi seluas 547.783 ha.

Menyikapi hal itu, Manajer Transfly WWF Indonesia di Merauke Martinus Cornelis Wattimena dan Rektor Universitas Negeri Musamus, Merauke, Philipus Betaubun menyatakan, pemerintah sebaiknya memaksimalkan lahan pertanian yang sudah ada saja, tetapi menambah dan membangun infrastruktur yang dibutuhkan.
Penggunaan lahan secara bijak, kata Philipus Betaubun,
bertujuan melestarikan totem warga Merauke sebagai penyeimbang jiwa dan alam.

Bagi Merauke, budidaya pertanian dan peternakan adalah keharusan. Namun, kebutuhan pokok gula, ayam, dan telur di Merauke sampai sekarang masih harus didatangkan dari Surabaya atau Makassar.

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?