SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Bahasa Khek yang Tetap Lestari

| | | 1 komentar
Oleh Zaenal Abidin

Perempuan paruh baya asal Jawa itu agak terkaget-kaget ketika datang pertama kalinya di Kota Pontianak, saat ingin berbelanja sayuran.

Ia terkaget tidak hanya karena harga sayuran yang mahal dibanding di daerah asalnya di Jawa Tengah, tetapi pedagang sayuran di pinggir jalan itu ternyata seorang Tionghoa, sebuah pemandangan yang jarang ditemui di daerahnya.

Belum lagi, saat ia menawar terlalu rendah, laki-laki penjual itu malah berbicara kepada perempuan Tionghoa di sampingnya, yang kemungkinan istrinya, dengan bahasa yang tak dimengertinya.

Sekilas didengarnya, seperti bahasa di film-film Mandarin. Namun, setelah diberi tahu, ternyata mereka menggunakan bahasa tutur asli dari kalangan mereka, yakni bahasa Khek.

"Kalau di daerah saya, pada umumnya mereka (warga Tionghoa) berbicara kepada sesamanya menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur Jawa dengan dialek Jawa yang "medok" (kental). Jadi kita juga tahu. Tetapi di sini, bahasa di antara mereka familiar juga dan cukup kental," kata Anisya, warga Magelang, Jateng.

Di Pontianak atau Kalbar secara umum, warga Tionghoa memang fasih berbicara dengan bahasa ibu mereka sendiri, yang disebut sebagai bahasa Khek, walaupun di antara warga Tionghoa ada juga minoritas yang menggunakan bahasa Hoklo (Tewcu).

Di antara mereka kalau bertemu sesamanya menggunakan bahasa Khek, seperti halnya orang Melayu atau Jawa saat bertemu sesamanya menggunakan bahasa etnis mereka.

Bahasa Khek pada dasarnya memang bahasa dari daratan China, tetapi ia berbeda dengan bahasa Mandarin, yang menjadi salah satu bahasa internasional walau terdapat kosakata yang mirip-mirip.

Menurut tokoh masyarakat Tionghoa Pontianak, Andreas Acui Simanjaya, bahasa Khek memang menjadi bahasa pergaulan di keluarga-keluarga Tionghoa di Kalbar ini.

Walau yang tersebar bahasa Khek pasaran daripada bahasa Khek halus, kata Acui yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Pontianak, menjadikan bahasa orang Hakka itu terjaga sebagai bahasa komunikasi warga Tionghoa. Tidak hanya di wilayah Pontianak, tetapi warga Tionghoa di daerah lain, seperti Singkawang, Sekadau, Sanggau, Sambas, Sintang, dan Ketapang, juga membiasakan berbahasa Khek dengan keluarga atau sesama etnis.

Bahkan untuk keluarga campuran, seperti keluarga dari pasangan warga Tionghoa dan Dayak, bahasa Khek tetap kental diajarkan.

Seorang peneliti asal Universiti Kebangsaan Malaysia, Chong Shin, dalam makalahnya (2005) tentang "Masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat: Tinjauan Pemilihan Bahasa di Kota Sekadau" terungkap bahwa warga Tionghoa dalam perkawinan campuran tetap berusaha mengajarkan bahasa Khek kepada anaknya walau bahasa lain juga diajarkan.

Seperti halnya, tulis Chongsin, yang mendapat cerita berasal dari informannya, seorang pria Tionghoa Khek menikahi perempuan Dayak Kerabat, maka anaknya tetap diajari berbahasa Khek dengan bapaknya dan berbahasa Kerabat dengan ibunya.

Sama halnya dengan saudara di pihak bapak (yang bersuku Tionghoa Khek), anak dari pernikahan campuran itu berbahasa Khek, tetapi saat dengan saudara dari pihak ibunya yang bersuku Dayak Kerabat, dia berbahasa Dayak Kerabat.

Chongsin juga menemukan, di dalam keluarga kawin campur, antara warga Tionghoa Hoklo (bapak)- Khek (ibu), bahasa sehari-hari di keluarganya adalah bahasa Khek.

Akan tetapi, pada hari-hari di mana istrinya berangkat ke Pontianak, pertukaran bahasa berlaku. Bapak di rumah itu mulai berbahasa Hoklo dengan anak-anaknya, dan anaknya membalas dan bertutur bahasa Hoklo dengan bapaknya.

Sekembali ibunya (penutur bahasa Khek) ke rumah lagi, dengan sendirinya bahasa harian diubah balik ke bahasa Khek, ungkap Chongs Shin.

Bagian dari multikulturisme

Bahasa Khek sendiri asal-muasalnya dari para leluhurnya, orang Hakka, yang merupakan bagian dari suku Han yang tersebar di kawasan pegunungan Provinsi Guangdong, Fujian, dan Guangxi di China sebelah utara.

Mereka beremigrasi ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Penutur bahasa Khek di Indonesia cukup banyak, khususnya warga Tionghoa di Kalbar, Palembang, dan Bangka-Belitung.

Menurut peneliti budaya lokal asal Kalbar, Dedy Ari Asfar MA, bahasa Khek ini memang bukan bahasa daerah, tetapi bahasa ini menjadi bagian multikulturisme di masyarakat provinsi ini.

Berdasarkan pengamatannya, bahasa Khek ini berkembang pada ranah oralitas saja. Artinya, ini menjadi sekadar bahasa tutur dan pergaulan di keluarga warga Tionghoa dan interaksi antar-Tionghoa.

Perkembangan bahasa Khek, kata Dedy yang bekerja di Balai Bahasa Pontianak itu, tidak memiliki kedalaman dalam pelestariannya. Di sini tidak ada pengembangan linguistiknya di segi bahasa tulis, seni sastra, atau terstruktur diajarkan di kegiatan belajar formal atau semiformal, seperti kursus-kursus.

Bahkan, pada keluarga Tionghoa di Kalbar, anak-anak mereka saat ini mulai disuruh belajar bahasa Mandarin, setidaknya melalui kursus bahasa apabila di sekolahnya tidak diajarkannya.

Acui mengakui, anak-anak Tionghoadi kota-kota besar di Kalbar ada kecenderungan mulai mempelajari bahasa Mandarin secara sistematis. Namun, belajar bahasa Mandarin bukan masalah etnisitas atau rasa keturunan China, melainkan karena kegunaannya sebagai salah satu bahasa internasional.

"Hal ini dinilai akan baik bagi masa depan anak-anaknya di pergaulan internasional, di mana China juga mengalami perkembangan ekonomi terpesat di dunia saat ini," katanya.

Hal yang sama diakui Soni Sujaya, siswa SMA Santo Petrus Pontianak yang merupakan keturunan Tionghoa. Ia biasa berbahasa Khek dalam berkomunikasi di keluarga dan kerabatnya. Namun, ia juga disuruh belajar bahasa Mandarin.

"Antara bahasa Khek dan Mandarin banyak perbedaan walau ada yang mirip. Tetapi, kita tetap harus belajar Mandarin serius karena walau sudah bisa berbahasa Khek, bukan berarti mudah berbahasa Mandarin," katanya.

Perkembangan berbahasa Mandarin di warga keturunan Tionghoa, dalam pengamatan Acui, tidak akan menggeser bahasa Khek karena kebiasaan berbahasa Khek di keluarga Tionghoa sudah kental dan menurun secara alami dari generasi ke generasi.

Di samping itu, dengan komunitas Tionghoa di Kalbar yang cukup besar, yang diperkirakan sekitar 20-an persen, menurut Acui, bahasa Khek akan tetap lestari karena faktor lingkungan yang cukup besar itu bakal mendukungnya.

Apalagi sebagian warga dari komunitas lain di Kalbar, seperti Melayu, Dayak, dan Bugis, menurut pengamatan Acui, ada yang ikut mempelajarinya akibat adanya hubungan dagang dan sosio-ekonomi yang intens dengan warga Tionghoa berbahasa Khek.

ANTSumber

"Wong Utomo" Ngayogyokarto

| | | 0 komentar
Oleh A.a. Ariwibowo

Satu cita-cita yang selalu ingin direngkuh para kawula Yogyakarta adalah menjadi "wong utomo". Siapa "wong utomo"? Jelas, bukan seperti Superman, tokoh rekaan para sineas Hollywood, yang selalu bermuka manis, berlagak melayani, dan memanjakan indera.

Wong utomo adalah laku "menjadi jawa", artinya menjadi sopan, bijak dan matang agar mengerti "isin" dan memahami "sungkan".

Orang Jogja atau kawula Ngayogyokarto, dalam keseharian mengucapkan kata dengan rumusan pembuka seperti "saya rasa" (raos kula) atau "barangkali" (mbok menawi). Sampai-sampai jawaban atas permintaan dan tawaran direspons dengan kata "inggih" yang sopan, dan tidak pernah langsung menjawab "mboten".

Begutulah cara rakyat Jogja mengungkapkan pendirian, baik saat berinteraksi dengan kerabat maupun dalam tata susila bernegara dan "berdemokrasi".

Ketika memutar ke belakang jarum jam sejarah agar sampai ke abad-19, para pemikir berkelas mundial seperti Hegel, Marx, Spencer, Nietzsche, dan Comte mengutak-atik demokrasi sebagai kerangka besar yang menjejak manusia sebagai bagian dari sejarah. Manusia hanya dapat dipahami dari realitas keseharian yang digumuli dan yang diketahuinya.

Demokrasi bukan semata-mata bersumber dari ide-ide yang menggetarkan laci penyimpan dokumen-dokumen penelitian. Kalau demokrasi mempunyai mata dan telinga, maka dia akan melihat, mendengar seraya mempelajari kebudayaan dan kebiasaan lokal serta tata krama setempat di ranah ekonomi-sosial. Demokrasi bukan "ujug-ujug" (tiba-tiba) berdatangan, tetapi ajeg (tetap) berkubang dalam reksa keseharian.

Kini, wong utomo Ngayogyokarto bergelut dengan kata ancaman. Nyatanya, dan bukan idealnya, bahaya lahar dingin dari material vulkanik hasil erupsi Gunung Merapi bakal berlangsung lebih dari satu tahun. Selain bahaya lahar dingin ketika musim hujan, besar kemungkinan terjadi "letusan sekunder" endapan lahar Merapi.

"Endapan lahar memiliki suhu sekitar 300 derajat Celcius. Saat hujan, maka kemungkinan adanya letusan sekunder," kata kata Kepala Balai Penyelidikan dan pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Subandriyo.

Ia mencontohkan bahwa banjir lahar dingin di Sungai Code pada Senin malam (29/11) membawa sedikit dari total volume material vulkanik Gunung Merapi. Lahar dingin yang membawa material hasil erupsi Gunung Merapi baru terjadi di Kali Boyong, Kali Putih dan di Kali Senowo. Diperkirakan baru 10 persen dari total 140 juta material vulkanik yang telah terbawa dalam lahar dingin itu. Prihatin!

Keprihatinan lain tiba, bak bersua Godot. Sungai Code yang melintas Kota Yogyakarta, meluap hingga ke pemukiman penduduk akibat banjir lahar dingin dari Gunung Merapi. Godot seakan meringis sambil membawa linggis agar insan bersua dengan ajal, meski bertiup harapan karena hidup diperjuangkan bukan dilotere di meja peruntungan nasib.
"Kami memperoleh informasi terjadi hujan lebat di Gunung Merapi, meskipun wilayah Kota Yogyakarta tidak hujan deras, tetapi tetap terjadi banjir lahar dingin sangat besar," kata seorang pejabat berkompeten di Yogyakarta.

Kepala Kantor Penanggulangan Kebakaran Bencana dan Perlindungan Masyarakat Kota Yogyakarta Sudarsono menyatakan, meluapnya sungai Code akibat hujan lebat hingga banjir lahar dingin di daerah itu. Arus air cukup deras mulai masuk ke rumah-rumah penduduk di sepanjang bantaran Sungai Code. Lahar dingin juga menyapu sebuah jembatan yang menghubungkan kampung-kampung di bantaran Sungai Code di Cokrokusuman dan Terban.

Berbekal demokrasi ala wong utomo Ngayogyokarto, godot-godot itu dihalau agar harapan dihidupkan dan suka cita ditumbuhkan. Bagi orang sekolahan, demokrasi adalah persamaan. Bagi wong utomo, demokrasi adalah prakarsa tiada henti menjadi manusia yang bukan medioker saja, tanpa keberanian menatap hidup.

Demokrasi bukan mencari kejayaan, tetapi mencari untuk menemukan kemuliaan hidup, sebagai wong utomo yang "jawa"; sopan, bijak, mengerti "isin" dan "sungkan".
Di tengah cita-cita ingin menjadi Jawa setiap hari, wong utomo terus merevolusi diri. Amukan dan ancaman Merapi sebagai Godot boleh saja datang, tetapi manusia perlu kembali kepada gelora kemesraan dan amuk kecintaan antar sesama.

Kini, pemerintah Kabupaten Gunung Kidul menyediakan 16 tenda barokah atau bilik mesra di Posko Pengungsian Rest Area Bunder, khusus bagi pengungsi bencana Gunung Merapi yang sudah berkeluarga agar dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya.

Entah isin, entah sungkan, pengungsi asal Dusun Batur, Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Basuki mengatakan berterima kasih dengan tenda barokah, meskipun jarang menggunakannya. Dan Parjino menyatakan, "Pelayanan yang diberikan kepada kami sangat baik. Semua kebutuhan pokok yang kami perlukan terpenuhi, dan tidak pernah terlambat, baik makan, minum, serta tempat untuk bersama keluarga juga disediakan".

Revolusi berikutnya terjadi di meja makan. Nyatanya, pecel belut masakan khas Bantul di Dusun Sedang, Bangunjiwo, menggoyang lidah wisatawan. "Kami sudah 35 tahun berjualan pecel belut. Resepnya asli dari racikan kami sendiri yang hingga saat ini masih belum berubah sejak awal berjualan hingga saat ini," kata penjual pecel belut, Warno Pawiro.

Bilik asmara terus membara, goyang lidah belut Bantul terus merangsek, dan kiprah mereka yang sedang kuliah tidak ingin kalah. Buktinya, tim Tanggap Darurat Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta membuat program pakan komplet bagi ternak milik para peternak korban bencana Merapi.

Pembuatan pakan komplet berbasis jerami padi itu untuk ternak milik peternak korban bencana Merapi di posko ternak DIY dan Jateng. "Program pembuatan pakan ternak komplet itu dilakukan bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI)," kata Ketua Tim Tanggap Darurat Fakultas Peternakan UGM, Suwignyo.

Prakarsa demi prakarsa wong utomo Ngayogyokarto bermuara dari keutamaan-keutamaan pokok (cardinal virtues), mencakup kehati-hatia (prudentia), ugahari (temperantia), keteguhan hati dan kekuatan kehendak (fortitudo), dan keadilan bagi semua (iustitia).
Demokrasi bagi wong utomo Ngayogyokarto, bukan semata rentetan pelaksanaan kewajiban demi kewajiban, melainkan hasrat berluhur budi, bersetia serta bersuka cita.

Sumber :ANT

Janji Suku Toe Menjaga Adat Manggarai

| | | 0 komentar
Oleh Hanni Sofia

Bagi Suku Toe bila ada tamu tak disambut itu berarti mereka telah gagal menjaga adat Manggarai Barat. Suku lokal di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu meletakkan adat di atas kepala sebagai pedoman hidup yang harus dijunjung tinggi.
Pantas bila siapa pun orangnya bila datang menjadi tamu salah satunya di Desa Liangdara Kecamatan Sanunggoang Manggarai Barat akan mendapatkan ritual penyambutan yang panjang.

Inilah yang akan dipersembahkan Suku Toe untuk tamunya, yakni satu cangkir tuak raja yang telah difermentasi paling sebentar sebulan.

Perempuan-perempuan berikat bali belo dan berpakaian birimbeli datang menyambut.
Beberapa perempuan berusia lanjut memukul gong dan gendang menimbulkan suara ritmik yang sederhana.

Sementara sejumlah lelaki Suku Toe menari tari tradisional Caci dengan satu janji bahwa luka yang tertoreh selama mereka menari adalah kebanggaan tersendiri.
Primus Sata, tokoh seni dan budaya Suku Toe, menjadi salah satu pria yang hingga kini memimpin ucapara penyambutan tamu tersebut.

"Setelah tidak ada lagi perang tanding, tarian caci digelar untuk menyambut tamu, saat perkawinan, atau setelah masa panen," kata pria 56 tahun itu.

Bagi pria beranak lima itu, mempertunjukkan tari Caci adalah upaya untuk menjaga adat Manggarai Barat agar tidak tertinggal sebagai kenangan belaka.

Ketika tamu datang, ia menukar baju petaninya, berganti kain songket, ikat kepala, dan tubirampai sebagai simbol jawara berjenggot.

Primus akan mengumpulkan anggota Sanggar Seni Nipuceki pimpinannya untuk menyambut tamu-tamu yang bertandang ke desanya.

"Soal berapa rupiah yang akan kami dapat itu tidak pernah kami persoalkan, motivasi kami ini memuji dan memuliakan kesenian dan kebudayaan di Manggarai Barat agar tetap lestari, itu yang penting," kata Primus yang tak segan mencium tangan tamu-tamunya itu.

Ia juga akan merasa senang bila pertunjukan adatnya dapat menghibur para pendatang yang mampir ke desanya.

Tari Caci menarik lantaran merupakan tarian perang zaman dahulu yang kini telah bermetamorfosis menjadi tarian yang mempertontonkan adegan perang tanding antarjawara dengan menggunakan cambuk yang terbuat dari kulit kerbau.

Meski sangat mungkin terluka, para penari caci akan merasa sangat bangga bila terluka atau bahkan melukai lawannya. Uniknya, tak pernah ada dendam, meski kerap ada yang terluka parah bahkan ada yang harus merelakan anak matanya terkena cambuk dan terpaksa buta setelah.

Tak cuma tari Caci, hiburan lain salah satunya Rangkuk Alu akan dipertontonkan. Primus semakin senang bila tamu-tamu turut serta menari bersama mereka.

Tak Sendiri

Primus tak sendiri menjaga adat Suku Toe di Manggarai Barat, Usman Tan adalah jawara Tari Caci kondang yang telah menari sejak kelas 4 SD.
Pria Toe 31 tahun itu kerap pulang dalam keadaan luka-luka sesudah menari Caci terkena cambuk kulit kerbau namun toh Usman tak pernah menaruh dendam.
"Tari Caci itu persahabatan, meski terluka tapi tidak ada dendam, kalau luka sembuh semua sudah hilang," katanya.

Niat di ujung hatinya hanyalah satu, yakni menjaga adat sukunya agar tak hilang ditelan zaman.

Regina Iya, perempuan Toe 34 tahun itu, sering juga menari rangkuk alu yang dipelajarinya sejak masih kecil. Tarian yang asal-usulnya merupakan upaya muda-mudi mencari jodoh itu menjadi salah satu janji suku Regina Iya untuk dijaga sampai mati.
Saat ditanya mengapa Iya melakukan itu, tidaklah dia ingin pergi merantau agar mendapat lebih banyak uang, Iya hanya singkat menjawab, "Aku niak Flores" (Aku cinta Flores).

Perempuan yang sehari-hari dipanggil Iya itu tahu betul bagaimana melompat di antara bambu yang yang digerak dan pukulkan oleh sekumpulan perempuan lain. Itu tari yang khas betul-betul adat Toe lantaran menggunakan bambu sama seperti asal usul nama suku mereka Toe yang berarti bambu hutan yang tumbuh liar.

Itulah mereka, Suku Toe, di pintu gerbang Nusa Tenggara Timur. Mereka yang sehari-harinya berkubang lumpur berkebun kopi, cokelat, dan kemiri, memanen buah durian ruteng, mangga, rambutan, dan salak setahun sekali, seluruhnya telah sepakat pada satu janji, yakni menjaga adat Manggarai Barat.

Suku Toe bersahabat dekat dengan kesederhanaan. Bagi mereka rumah mewah dan pakaian indah bukan tujuan. Adat dan budaya mereka adalah saksi yang telah menjadikan mereka masyarakat yang teramat tulus terhadap pendatang.

Banyak dari mereka kini mengenyam pendidikan tinggi. Tidak sedikit yang tak ragu untuk menuntut ilmu ke kota di Ende atau Kupang untuk belajar di universitas.
Anak kedua Primus Sata bahkan dikirim ke Jember, Jawa Timur, untuk menjadi sarjana kebanggaan sukunya.

Uang pangkal kuliahnya dibayar dari hasil panen durian ruteng setahun sekali yang paling sedikit menghasilkan Rp15 juta. Itu belum termasuk panenan kopi dan kemiri dari lahan 0,5 ha miliknya.
Namun toh kearifan lokal telah menjadikan mereka kaum yang sama sekali jauh dari kata sombong.

Toe akan menelan bulat-bulat para tamunya dalam dekap keramahan mereka. Teramat mudah membekas di hati ketulusan lelaki, perempuan, dan anak-anak Toe yang merangkai salam kesederhanaan bagi pendatangnya.

Mereka akan selalu bergegas menyambut tamu, tersenyum malu-malu, dan tak pernah keberatan untuk diambil gambarnya.

Perempuan Toe akan buru-buru merapikan rambut anaknya saat seorang tamu ingin berfoto dengannya.
Budaya mereka
menggariskan anak pertama dalam keluarga memegang tanggung jawab besar. Maka pantas bila akan tersaji pemandangan anak perempuan kecil menggendong adik-adiknya yang masih bayi. Mereka pun tak ingin ketinggalan momen untuk menyambut tamu.
Kepala Bidang Seni dan Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Manggarai Barat, NTT, Alexander Gabut, sepakat mengupayakan sebuah preservasi dan konservasi bagi Suku Toe.
Pihaknya mendukung pelestarian seni dan budaya lokal untuk kepentingan pariwisata yang menyejahterakan masyarakat sekitar.

"Ke depan kami akan kembangkan sarana dan dukungan infrastruktur agar pariwisata di wilayah Manggarai Barat semakin siap menerima lebih banyak kunjungan wisatawan," katanya.

Dengan begitu, wisatawan akan sepakat pada kalimat, "Aku taukolek ce e Flores" (Aku akan kembali lagi ke Flores). Sebuah janji untuk Suku Toe yang selalu menanti untuk ditepati.

sumber ANT

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?