SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Bayi Ditahan di RSUD Koja

| | | 0 komentar
Sungguh ironis nasib pasangan suami istri Pandi Bangun (40) dengan Sri Wijiyati (35). Setelah 10 tahun berumah tangga tak dikaruniai anak tetapi begitu mereka memiliki momongan, bayinya disandera RSUD Koja, Jakarta Utara. Penyebabnya karena mereka tak memiliki uang untuk biaya persalinan. Pihak rumah sakit tak mengizinkan mereka membawa bayi laki-laki yang baru dilahirkan pada Sabtu (1/5/2010) lalu sebelum menyelesaikan biaya perawatan sebesar Rp 5 juta.

Tidak tahunya nilainya mencapai Rp 5 juta. Padahal, saya hanya punya Rp 1,5 juta.
-- Pandi Bangun

"Saat menjalani perawatan bersalin, pihak rumah sakit tak memberitahukan nilai biaya yang harus dibayarkan untuk operasi caesar. Tidak tahunya nilainya mencapai Rp 5 juta. Padahal, saya hanya punya Rp 1,5 juta dari hasil tabungan. Karena saya tidak sanggup bayar, bayi saya ditahan tak boleh dibawa pulang," ujar Pandi, ayah sang bayi, saat ditemui di kontrakannya di Jalan Tenggiri RT 02 RW 08, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (14/5/2010). Kontrakan berukuran 2,5 x 2,5 meter itu sudah didiami sekian tahun, dengan sewa Rp 250.000 per bulan.
Pandi, yang bekerja sebagai tenaga lepas di sebuah agen minuman mineral, hanya memperoleh honor sebesar Rp 40.000 per hari. Karena penghasilannya yang pas-pasan itulah, ia tak sanggup membayar biaya persalinan anak pertamanya itu. "Penghasilan saya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Saya sudah berupaya menyisihkan selama beberapa bulan untuk biaya persalinan anak sebesar Rp 1,5 juta dan ternyata tagihannya mencapai Rp 5 juta. Dari mana saya mendapat uang sebanyak itu?" tambah pria asal Klaten, Jawa Tengah, ini dengan nada lirih.
Kini istri dan bayinya masih tidak dibolehkan pulang. Mereka masih terbaring di Kamar 305 RSUD Koja. Andai saja biaya administrasi itu sudah dilunasi, Pandi dapat memboyong istri beserta bayinya ke kontrakannya itu.
Pandi mengaku kesulitan mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari RT dan kelurahan setempat karena tidak memiliki surat kependudukan yang jelas, meskipun saat ini ia memiliki KTP DKI yang dikeluarkan dari Kelurahan Sungaibambu. Pandi baru 3 tahun menetap di Jakarta, sebelumnya tinggal di Desa Gilingan, Kecamatan Trucuk, Klaten, Jawa Tengah.
"Setelah musibah gempa tahun 2006 lalu, saya pindah ke Jakarta. Semua surat seperti KTP, KK, termasuk buku nikah hilang dalam musibah itu. Namun, untuk KTP DKI sudah saya buat melalui Kelurahan Sungai Bambu, tapi tak berlaku karena tempat tinggal saya di Kelurahan Tanjung Priok," ungkap Pandi. Bayi laki-laki yang masih merah itu sudah 14 hari berada di RSUD Koja dengan kondisi berat badan 3,4 kg dan panjang 47 cm saat baru lahir. Sejauh ini, kondisi bayi itu dalam keadaan sehat.
Pandi melanjutkan, selama ditahan di RS Koja selalu mendapat tekanan dari pihak rumah sakit melalui perawat. Dengan nada ketus, perawat sering bertanya. "Kok enggak pulang juga Pak, kenapa sih betah banget di sini. Beresin dong administrasi biar cepat pulang," kata Pandi menirukan perkataan beberapa perawat di RS tersebut.
Pada Rabu (12/5/2010) lalu, pihak RSUD Koja mengancam Pandi, jika sebelum pukul 12.00 belum melunasi biaya administrasi, anaknya akan dibawa ke panti sosial. "Pihak rumah sakit mengancam, jika tidak segera melunasi seluruh biaya, sang bayi akan dikirim ke panti sosial," katanya.
Terkait hal tersebut, Ketua LSM Forum Bersama Penggugat (Formagat) Ricardo Hutahaean mengatakan, pihak rumah sakit harusnya membuat surat rekomendasi keterangan tidak mampu ke Dinas Sosial DKI Jakarta. "Sesuai dengan Manlak (Manual Pelaksana) Jamkesmas 2009, biaya itu ditanggung APBN dan selanjutnya rumah sakit menagih kepada Kementerian Kesehatan," jelasnya.
Sedangkan Juru Bicara RSUD Koja, Caroline Kawinda, membantah jika pihaknya telah mempersulit pasien tersebut. Orangtua pasien harus menghadap Direktur RSUD Koja karena keluarga pasien tidak memiliki surat-surat.
"Kita harus verifikasi data lebih dulu. Rumah sakit tidak mudah mengeluarkan keputusan tanpa ada verifikasi. Untuk itu, orangtua pasien harus menghadap direktur dulu untuk verifikasi. Pokoknya semua bisa diselesaikan. Untuk kasus ini, saya akan cek terlebih dahulu ke ruang perawatan dan persalinan bayi," tandas Caroline.



/megapolitan.kompas.com/

Republik Mafia?

| | | 0 komentar
Oleh Todung Mulya Lubis

Susno Duaji, seorang mantan Kabareskrim yang belakangan getol menjadi ”peniup peluit” (whistleblower) membongkar mafia di kepolisian, akhirnya ditahan oleh kepolisian. Dia diduga menerima suap dalam sebuah kasus.

Sejauh mana itu benar tentu pengadilan yang akan mengujinya, tetapi penahanan ini mengindikasikan bahwa nyanyian soal mafia ini bukanlah nyanyian yang sumbang. Penyelidikan dan penyidikan harus secara tuntas dilakukan karena soal mafia yang selama lebih dari satu dasawarsa dibantah, nyatanya sekarang diakui ada oleh pemerintah.

Persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh penegak hukum memang sangat serius dan bisa menghancurkan lembaga penegak hukum kalau tidak diberantas. Korupsi adalah persoalan global di mana tak sebuah negara pun yang tak terserang korupsi. Di banyak negara lain, gerakan pemberantasan korupsi menjadi gerakan nasional yang bergandeng tangan dengan gerakan global. Maka, muncul banyak terminologi yang dipakai untuk melawan korupsi, seperti perlunya good governance dan good corporate governance.

Sejalan dengan itu, berbagai survei dilakukan oleh beberapa lembaga internasional yang nyatanya menyedot perhatian dunia dan dijadikan rujukan di banyak negara termasuk Indonesia. Survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diadakan setiap tahun oleh Transparency International selalu dipublikasikan luas dan dirujuk oleh Presiden di rapat kabinet. Tahun 2009, misalnya, IPK Indonesia memperoleh skor 2,8, lebih baik daripada skor pada tahun 2008 yang 2,6. Indonesia termasuk negara yang tingkat korupsinya sangat parah dan di kawasan Asean masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Semua upaya pemerintah dalam memberantas korupsi tak mampu mengubah persepsi yang negatif tentang korupsi.

Kuartal terakhir 2009, pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kemunduran ketika Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditengarai terlibat kasus pembunuhan yang seperti sebuah cinta segitiga walau dikaitkan pula dengan adanya kasus yang ditangani. Kemudian dua komisioner KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditengarai menerima suap dan berseteru dengan kepolisian. Tuduhan ini ternyata tidak berdasar fakta, melainkan sebuah pelemahan terhadap institusi KPK sudah dimulai.

Publik mulai melihat bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia hampir seperti sesuatu yang muskil. Ketidaktegasan pemerintah yang membiarkan pelemahan KPK ini berlangsung disimpulkan sebagai suatu indikasi melemahnya komitmen pemberantasan korupsi. Popularitas pemerintah segera merosot drastis, dan ini membuat iklim pemberantasan korupsi semakin melemah.

Barangkali Presiden sadar bahwa dia mesti melakukan sesuatu untuk merebut kembali kepercayaan rakyat. Sebuah tim, tim Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dibentuk sebagai ujung tombak pelaksanaan komitmen pemerintah memberantas korupsi. KPK mesti didukung, apalagi KPK mulai terserang semacam demoralisasi. Dalam keadaan seperti ini, sebuah survei dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) yang celakanya menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling korup di antara 16 negara yang disurvei. Skor Indonesia adalah 9,27. Indonesia lebih buruk ketimbang Kamboja (9,10), Vietnam (8,07), Filipina (8,06), Thailand (7,60), Malaysia (6,47) dan Singapura (1,42). Survei dengan rentang 0-10, 0 untuk negara paling bersih korupsi dan 10 untuk negara paling korup, menunjukkan bahwa Indonesia telah sampai pada situasi terburuk di mana korupsi hampir sempurna. Sama sekali saya tak terkejut. Siapa pun tak seharusnya terkejut karena survei ini diadakan pascapelemahan KPK yang terjadi pada kuartal keempat 2009. Pesimisme memang sesuatu yang tak terhindarkan.

Apakah antisipasi terhadap persepsi yang semakin negatif ini yang membuat Presiden membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum saya tidak tahu. Namun, Satgas telah membuka kotak pandora mafia hukum yang selama ini dibantah secara keras. Terbongkarnya kasus Gayus Tambunan telah berekor panjang: menyebar ke mana-mana sehingga sekarang masyarakat melihat bahwa ada tali-temali mafia hukum yang menyebar di kantor pajak, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, profesi advokat, dan lembaga pemasyarakatan.

Mereka disebut sebagai markus, dan markus ini menjadi semacam ”unwilling whistle blower” yang mengumbar nama-nama sehingga gurita mafia hukum ini terkuak. Proses hukum terhadap mereka ini tengah berjalan dan sejauh mana perkembangannya akan segera kita saksikan.

Yang pasti sekarang kata mafia hukum tak bisa terbantahkan lagi. Presiden menggunakan terminologi ini, dan ini merupakan pengakuan resmi bahwa negara ini dirusak oleh mafia. Mafia hukum tentu tak akan hilang seketika. Dalam negara yang korupsinya sistemik, endemik, dan merajalela, dibutuhkan waktu yang panjang untuk memerangi korupsi. Yang penting adalah jangan pemberantasan korupsi ini hanya untuk politik pencitraan, hangat-hangat tahi ayam.

Pemberantasan mafia hukum ini harus semakin agresif walau saya lebih cenderung operasi pemberantasan mafia hukum ini difokuskan pada satu dua institusi saja. Menetapkan target sembilan mafia adalah target yang terlalu besar yang bisa jadi mengaburkan tujuan pemberantasan mafia hukum itu sendiri. Mengapa tak memberantas tuntas mafia hukum di kantor pajak atau kepolisian, dan menjadikan kedua institusi itu kelak sebagai ”island of integrity’” pulau integritas yang akan dijadikan model bagi pengembangan pulau-pulau lainnya.

Mengejar sembilan mafia akan membuat fokus pemberantasan mafia menjadi lemah. Di sini, pengalaman Hongkong yang berkonsentrasi pada kepolisian menjadi pelajaran menarik. Karena yang kita bangun di sini adalah sistem, reformasi sistem birokrasi. Bukan sekadar menjebloskan orang ke penjara. Kalau sistem itu tak dibangun dalam bangunan sistem birokrasi yang bersih, mafia akan tumbuh kembali, dan pelan atau lambat negeri ini akan jadi apa yang secara sinis dikatakan sebagai ”republik mafia”. Sekaranglah saatnya untuk mengatakan bahwa bukan mafia yang memerintah negara, melainkan negaralah yang berkuasa dan memerintah.

Todung Mulya Lubis Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Pajak Miras Naik, Banyak Pemabuk Tewas

| | | 0 komentar
Para pemabuk tewas sering terdengar dari berbagai daerah. Peristiwa terakhir di Cirebon, Jawa Barat, ada delapan pemabuk tewas dan dua lainnya sangat kritis.
Sebelumnya, di Salatiga, Jawa Tengah, sedikitnya 310 orang dirawat akibat minuman keras, 21 pemabuk akhirnya tewas akibat kerusakan organ tubuh. Mengapa ini sering terjadi?
Kuwu atau Kepala Desa Slangit, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, Muhaimin, menduga, semua itu terjadi setelah pajak minuman keras dinaikkan sampai 150 persen. Akibatnya, Muhaimin mengakui, warga desanya beralih mengonsumsi minuman keras oplosan.
"Akhirnya mereka beli yang harga murah yang kandungan alkoholnya juga tidak terkontrol," kata Muhaimin kepada Tribun Jabar (Kompas Gramedia Group), Minggu (9/5/2010).
Itu sebabnya, Muhaimin meminta pihak terkait agar melakukan sosialisasi tentang bahaya minuman keras kepada warganya. Tujuannya, agar warganya menjadi paham dan menghindari miras yang mematikan itu.

Terpisah, Kepala Kepolisian Wilayah Cirebon, Kombes Tugas Dwi Aprianto, melalui sambungan telepon mengatakan, pihaknya sudah mengingatkan warga agar menghindari minuman keras.
Namun ajakan itu ternyata masih kurang memberi dampak positif sehingga masih ada korban tewas akibat minuman keras oplosan. Ke depan, kata Tugas, pihaknya akan memperketat razia dan peredaran miras di kalangan masyarakat.
"Kami akan perketat razia meski sebetulnya setiap seminggu sekali jajaran kami baik di polres maupun polsek selalu rajin melakukan razia. Ke depan, kami akan perketat lagi, dengan mengajak semua elemen masyarakat bersama-sama polisi memperketat peredaran miras," ujarnya.

kompas

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?