SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Bocah SMP Tewas Diterkam Ular Phiton di Medan

| | | 0 komentar
Seorang siswa kelas II SMP PGRI Tembung, Medan, Sumatera Utara bernama M Zakaria (13 tahun) ditemukan tewas diterkam seekor ular sawah berukuran raksasa.

Korban diterkam ular bertubuh sebesar tiang listrik yang dikenal dengan sebutan ular phiton itu di pinggir sungai Tembung, Kamis (18/3) malam.

"Saat itu, ia bersama lima orang temannya naik dari sungai ke darat melalui aliran lorong pembuangan air limbah,” tutur Jahri Sihombing, salah seorang warga yang menyaksikan peristiwa tersebut, Sabtu (20/3).

Namun, kata dia, tiba tiba muncul ular phiton dari dalam lorong tersebut dan menerkamnya. Zakaria sempat melawan ular itu.

“Tetapi karena kaki kanannya telah digigit, ia tidak bisa melawan lagi dan diseret ke semak-semak," ujarnya.

Korban sendiri bersama kelima temannya bermain rakit dan mandi di sungai tersebut sejak sore. Setelah azan Magrib, mereka pun beranjak ke tepian.

Karena lokasi pinggiran sungai sangat curam, mereka pun naik melalui pembuangan air limbah salah satu pabrik di sana. Saat itulah korban yang lebih tua dari teman-temannya itu diterkam oleh ular phiton tersebut.

Jahri Sihombing yang juga merupakan keluarga korban, segera berlari menuju lokasi setelah mendapat informasi dari teman-teman korban sekira 15 menit kemudian. Kebetulan Jahri saat itu sedang berada tidak jauh dari lokasi.

Ia memukuli kepala ular itu dengan bambu berkali-kali, sehingga kaki kanan korban yang sudah ditelan ular itu pun akhirnya dilepaskan.

Namun, ular tersebut tak juga kabur. Tubuh korban malah dililit dan diputar-putar di dalam semak-semak tersebut hingga terjatuh ke pinggiran sungai.

Jahri kembali memukuli kepala ular yang saat itu sudah hendak menerkam kepala korban. Karena merasa kesakitan dipukuli dengan bambu, ular itu pun akhirnya lilitannya dan kabur ke dalam air sungai.

Sayangnya, ketika tubuh korban diangkat ke darat dan akan dibawa ke rumah sakit, ia sudah tidak bernyawa lagi. Diduga, korban mati lemas akibat dililit dan diputar-putar oleh ular tersebut hampir sekitar setengah jam.

Setelah disemayamkan di rumah duka di Jalan Pasar VIII Gambir, Dusun VI, Desa Sei Rotan, Kecamatan Percut Sei Tuan, Medan, korban pun langsung dimakamkan, Jumat (19/3) sore. (abe)

Kepincut Mobil Mewah, Agus Tjondro Terima Cek

| | | 0 komentar
Sidang kasus cek perjalanan atau travellers cheque saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) di Komisi IX pada 2004, dengan terdakwa mantan anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan, Dudhie Makmun Murod kembali digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (19/3/2010). Sidang mendengarkan kesaksian dari tiga orang mantan anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan, Agus Tjondro, Max Moein, dan Engelina A Pattiasina.
Agus Tjondro mengungkapkan bahwa dia menerima cek senilai Rp 500 juta langsung dari tangan Dudhie di ruang kerja Emir Moeis. Penerimaan cek yang juga disaksikan Emir Moeis itu terjadi usai Miranda Swaray Goeltom terpilih. "Satu hari setelah itu, saya lagi nongkrong, dan diberi tahu oleh Williem Tuttuarima untuk naik ke ruang Emir Muis. Di situ ada Dudhie, Rusman, pak Ikbal. Pak Dudhie bilang, ini dananya, coba dihitung," ungkap Agus Tjondro.
Namun, ada yang lucu dari kesaksian Agus Tjondro.
Pria asal Pekalongan itu mengaku tidak terpikirkan untuk menolak uang ratusan juta, karena memang bercita-cita memiliki mobil mewah, yang baru. "Enggak ada kepikiran (maksud pemberian cek). Karena pejabat, maklum ingin punya mobil baru, tinggal beli yah beli," ucap Agus dengan polos, yang mengundang gelak tawa para pengunjung sidang.
Keinginan Agus membeli mobil cocok dengan keinginan sopirnya. Sebelum ganti mobil, sopir Agus sering mengeluh dengan kondisi mobil lamanya. "Karena sopir saya sering ngomong, mas mobilnya tolong diganti. Kata sopir, kalau datang ke hotel naik mobil itu, seperti tidak dihargai sama tukang parkir. Ini harus dipenuhi, agar jaga gengsi gitu," papar Agus yang kembali mengundang tawa pengunjung sidang.
Ia menceritakan penggunaan dana Rp 500 juta yang diterimanya. Satu hari setelah menerima, Agus mencairkan 4 lembar cek senilai Rp 200 juta dan langsung menuju show room mobil bekas di Jakarta. Di show room itu, ia membeli mobil Mercy seharga Rp 170 juta. Hari-hari berikutnya ia mudik ke kampung halaman, Pekalongan.
Di kampungnya, Agus kembali mencairkan enam lembar cek senilai Rp 600 juta. Seolah belum puas dengan Mercy yang sudah dibeli, di sana ia kembali membeli mobil baru Hyundai Trajet seharga Rp 130 juta.
Sisa pencairan cek, Agus gunakan untuk membuka sebuah LSM yang bergerak di bidang pengawasan antikorupsi. Selain itu, uang sisa ia pinjamkan ke sejumlah temannya untuk bisnis kecil-kecilan, yang ternyata ujung-ujungnya bangkrut. "Sisanya dipinjam teman, untuk bisnis kapling, bisnis cabe merah, yang tidak jelas, akhirnya bangkrut bisnisnya," ujarnya.
Dari Rp 500 juta yang telah dipakai, Agus Tjondro belum sama sekali mengembalikan uang negara itu kepada KPK. Ia berkilah, pengembalian akan dilakukan jika apartemennya laku dijual. "Yah, nanti tunggu kalau apartemen saya laku. Kalau sekarang belum bisa," kilahnya.
Ia menduga pemberian cek tersebut berhubungan dengan pemenangan Miranda Goeltom sebagai pejabat Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Pasalnya, sebelum pemilihan ketua fraksi PDI Perjuangan saat itu, Tjahjo Kumolo sudah memerintahkan agar anggotanya memilih Miranda. Hal itu disampaikan Tjahjo dalam dua pertemuan, yakni di Gedung DPR dan Hotel Dharmawangsa. "Sekitar awal Juni, seluruh anggota fraksi dikumpulkan oleh pimpinan fraksi oleh Tjahjo Kumolo dan Panda di ruang fraksi. Dia bilang, teman-teman anggota Komisi IX diinstruksikan untuk memilih Miranda Goeltom," ujarnya.

Kisah Usep Si Pedagang Asongan dan Tuduhan Kepemilikan ganja

| | | 0 komentar
Seperti halnya kisah pemulung Chaerul Saleh yang dituduh memiliki beberapa gram ganja, nasib sama juga menimpa seorang pedagang asongan yang bernama Usep Cahyono (20).

Pria asal Tasikmalaya, Jawa Barat ini harus merasakan dinginnya lantai penjara di rumah tahanan Cipinang, Jakarta Timur karena dituduh sebagai pemilik dan pengedar ganja oleh Polres Jakarta Utara.

"Usep dituduh sebagai pemilik dan pengedar ganja, tanpa dasar dan dengan modus rekayasa oleh oknum polisi dari Polres Jakarta Utara," ujar Kuasa hukum Usep, John I.M Pattiwael di kantornya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron, Jl. Kelapa Gading Raya, Jakarta Utara, Rabu (17/3/2010).

Berdasarkan pengakuan Usep kepada John, pada tanggal 20 Januari 2010, sekitar pukul 16.00 WIB, Usep yang saat itu duduk di pinggir Stasiun Kampung Bandan, Jakarta Utara didatangi oleh seorang pria yang berpakaian preman.

"Pria tersebut datang untuk meminjam korek api. Tiba-tiba dari jaket pria itu jatuh selembar uang Rp 50 ribu dan sebuah bungkusan koran yang dilipat kecil," jelasnya.

ketika bungkusan tersebut jatuh, pria itu menyuruh Usep untuk mengambilnya. "Ketika Usep mengambil barang itu, pria tersebut langsung menarik tangan Usep dan membekap lehernya," katanya.

Usep yang juga buta huruf ini, akhirnya di gelandang menuju Polres Jakarta Utara. "Belakangan diketahui, koran yang dilipat tersebut ternyata berisi ganja. Usep pun disuruh menandatangani BAP tanpa tahu isi BAP tersebut," tuturnya.

"Jangankan menandatangai BAP, membaca dan menulis saja Usep tidak bisa karena ia tidak lulus sekolah dan buta huruf," tambahnya.

Rencananya, Kamis (18/3/2010) besok, Usep akan menjalani sidang perdana kasus narkoba golongan I di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

"Baru sebulan di Jakarta, Usep harus menjalani sidang yang tak pernah dilakukannya," ucapnya.

sumber detiknews.com

Bukan Peperangan Orang Aceh....

| | | 0 komentar
Sebuah pesan pendek berbunyi, ”Tandzim Al Qoidah Indonesia Cabang Serambi Mekah telah bertahan untuk melanjutkan jihad terhadap musuh-musuh Allah: kaum Yahudi, Salibis, dan Murtadin serta meminta musuh-musuh Allah untuk segera meninggalkan tanah Serambi Mekah”.

Pesan lewat SMS itu dikirim Abu Yusuf dari Pegunungan Bun, Jalin, Kecamatan Jantho, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), kepada seseorang di Solo, Jawa Tengah, pada 27 Februari 2010. Abu Yusuf alias Mustaqim adalah lelaki asal Lampung yang memimpin pelatihan menembak dan membaca peta kelompok bersenjata itu. Dia disebut-sebut sebagai lulusan akademi militer Jemaah Islamiyah Hudaibiyah di Mindanao, Filipina.

Ancaman dari Abu Yusuf itu terbukti bukan gertak sambal. Sepanjang Kamis (4/3/2010), belasan kali ambulans milik Kepolisian Daerah (Polda) NAD bolak-balik Banda Aceh-Lamkabeu, Aceh Besar, untuk mengantar anggota polisi yang tertembak dalam pengejaran kelompok bersenjata yang dipimpin Abu Yusuf itu.

Hingga tengah malam, 11 anggota Satuan Brimob Polda NAD dirawat. Empat di antaranya harus menjalani operasi karena mengalami cedera serius. Kontak tembak itu juga menewaskan seorang warga sipil, dua anggota Brimob Polda NAD, dan seorang anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror.

Esoknya, Mabes Polri menyatakan, kelompok bersenjata itu sangat menguasai medan. Mayat tiga polisi yang tewas itu pun baru bisa diambil dua hari kemudian karena aparat tak berani mendekat ke lokasi kontak tembak.

Seorang anggota Brimob Polda NAD yang ikut dalam pengepungan itu sejak 22 Februari 2010 mengisahkan, pergerakan kelompok itu di pegunungan cukup sulit untuk diikuti. Mereka, katanya, sangat mengetahui seluk-beluk kawasan perbukitan itu dan mahir menggunakan senjata api.

Tajudin (35), mantan panglima pasukan elite Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Gajah Keng wilayah Aceh Besar, mengatakan, tanpa penguasaan medan, sulit mengejar kelompok bersenjata itu. "Tempat tertembaknya anggota Densus 88 dan Brimob seperti mangkuk. Waktu ditembak, mereka berada di dasar mangkuk itu, sedangkan kelompok bersenjata itu ada di atas. Tak perlu senjata api, orang yang berada di bawah bisa mati cukup dilempari batu dari atas," kata Tajudin yang belasan tahun bergerilya di wilayah itu.

Medan geografis di Aceh memang mendukung untuk peperangan gerilya. Kontur tanahnya berbukit, dinaungi hutan hujan tropis, dengan sungai-sungai yang mengalir di lembahnya, yang merupakan tempat berlindung yang sempurna.

Memanfaatkan medan itu, para pejuang Aceh bertahan menghadapi gempuran penjajah Belanda. Tradisi gerilya itu yang kemudian diteruskan Darul Islam (DI) hingga gerakan Aceh Merdeka (AM) dan terakhir oleh GAM.

Romantisisme sejarah

Romantisisme perang Aceh yang sudah banyak dikisahkan ini agaknya telah menginspirasi kelompok teroris untuk mencoba membangun basisnya di sana.

Ditemui secara terpisah, Yudi Zulfahri dan Sofyan Tsauri, dua tersangka yang menjadi kunci untuk menyiapkan pelatihan kelompok Tandzim Al Qoidah Indonesia Cabang Serambi Mekah, mengatakan, faktor alam menjadi alasan utama mereka.

Selain itu, mereka juga menilai Aceh sebagai etalase penting bagi tegaknya syariat Islam di Indonesia. "Tapi, sayangnya, syariah yang ditegakkan di sini sekarang belum sepenuhnya tegak. Itu yang mengecewakan," kata Yudi, pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota Banda Aceh yang ditangkap dalam penggerebekan di Janto.

Latar belakang kekecewaan pribadi yang dirasakan Yudi itu menjadi salah satu pendorong untuk "mempromosikan" Aceh sebagai basis pelatihan kepada jaringan kelompok asal Jawa. Dengan pertimbangan itulah, para anggota jaringan lama, termasuk Dulmatin, menyetujui Aceh dijadikan basis persiapan kekuatan bagi gerakan mereka. Yudi dan Sofyan pun diserahi tugas-tugas persiapan, mulai dari mencari senjata dan amunisi, mencari lokasi yang cocok, hingga persiapan logistik.

Yudi pun memanfaatkan orang-orang lokal yang bisa membantu, salah satunya Munir alias Abu Rimba. Meski Abu Rimba diakui Yudi bukan sosok yang ideologis, seperti yang diyakini kelompoknya, ia dinilai memahami medan di pegunungan. Apalagi Yudi mengenal Abu Rimba sebagai mantan anggota pasukan khusus GAM Gajah Keng yang kecewa dengan kondisi Aceh pasca-perdamaian. Belakangan, mantan Panglima GAM Gajah Keng Tajudin menyatakan, Abu Rimba bukan mantan anggota pasukannya.

Hal itu dikuatkan dengan keterangan Abu Jihad. Lelaki asal Samalanga, Bireuen, ini beberapa kali dihubungi oleh Sofyan Tsauri untuk bergabung dengan kelompoknya. Abu Jihad yang bernama asli Yusuf Al Qardhawi adalah Ketua Front Pembela Islam wilayah NAD. Dia adalah inisiator perekrutan calon mujahidin ke Palestina di wilayah Aceh.

Yusuf mengatakan, ada beberapa alasan yang disebutkan Sofyan kenapa memilih Aceh. Selain medan tempur yang dinilai strategis, penduduk Aceh juga disebutkan 99 persen Muslim, yang diperkirakan akan mendukung penegakan syariat Islam. Apalagi Aceh memiliki sejarah pernah mendukung pergerakan Darul Islam (DI) yang diproklamasikan oleh SM Kartosuwiryo di Jawa Barat.

"Dengan faktor itu, mereka yakin akan didukung masyarakat Aceh, terutama oleh mantan anggota GAM yang kecewa dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Namun, mereka ternyata keliru membaca situasi," kata Yusuf.

Pendapat yang sama disampaikan Tajudin. "GAM sangat berbeda dengan mereka," ujar Tajudin, "karena bagi kami syariat Islam hanya omong-omong. Jelas ini bukan peperangan kami."

Abu Rimba

Omongan Tajudin itu dibuktikan pada Rabu (17/3) tengah malam dengan mengantarkan Abu Rimba ke Kepolisian Resor Aceh Besar. "Setelah dibujuk keluarga, Abu Rimba akhirnya mau menyerah. Dia itu masih anak-anak, memakai senjata juga belum bisa. Hanya ikut-ikutan," katanya.

Yusri (28), kakak kandung Abu Rimba, mengatakan, selama pelarian, adiknya sebenarnya tak jauh dari rumahnya yang berbatas hutan di Lamtamot, Kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar. "Dia hanya ikut-ikutan karena mengira ini masih kelanjutan dari latihan untuk dikirim ke Palestina beberapa waktu lalu," ujarnya.

Ditemui setelah hampir sebulan dalam pelarian, sosok Abu Rimba (25) terlihat jauh berbeda dengan foto sangarnya di selebaran daftar pencarian orang (DPO) yang disebarkan polisi. Rambutnya yang semula panjang tergerai dicukur tipis. Dengan tinggi sekitar 150 sentimeter dan tubuh kurus, dia lebih menyerupai anak-anak yang baru saja pulang dari main perang-perangan bersama kawan-kawannya. Tak ada sama sekali raut ketegangan sepulang dari sebuah medan pertempuran hidup-mati.

Dia menutupi mukanya dan berusaha bersembunyi dari kamera sebelum kemudian mengatakan, sambil tersenyum malu, "Kalau mau ambil foto berdua juga boleh." Lalu, dia kembali bercanda dengan mengatakan, "Bagi uangnya, ya. Kalian wartawan mendapat uang dari memotret saya...." (AIK/SF/LAS/MHD)

"Kami Terpaksa Pak, Kami Lapar"

| | | 0 komentar
Fransiskus Sunadi (14) dan Alexius Jubertus (13) mungkin tidak menyangka mereka harus berurusan dengan aparat kepolisian, jaksa dan penjara. Dari awal mereka datang ke Sikakap hanya untuk menuntut ilmu lantaran di kampung mereka di Maonai belum memiliki sekolah tingkat SD.

Jarak dari dusun Maonai ke Desa Bulasat saja harus ditempuh dengan transportasi laut dengan lama tempuh sekira 3 jam dan itu sekolahnya juga belum bagus. Sehingga orang tua menyekolahkan mereka di SD Vincentius milik Yayasan Prayoga di Sikakap dengan jarak tempuh dari Maonai sekira 4 jam dengan perahu.

Orang tua Frans dan Alex memilih menyekolahkan mereka di SD Vincentius di mana mutu pendidikannya lebih bagus di banding SD negeri lainya di daerah tersebut. Fransiskus saat ini menduduki kelas VI dan Alex kelas III.

Frans sudah empat tahun ia hidup di kos-kosan sedangkan Alex baru masuk kelas III bergabung dengan Frans. “Setiap bulan kami dikirimi uang sebanyak Rp100 ribu, uang tersebut untuk bayar kos Rp30 ribu dan selebihnya untuk keperluan sehari-hari.

Kejadian yang menimpa mereka setelah orang tuanya yang bekerja sebagai petani musiman itu tidak mengirim uang sudah sebulan pada bulan Februari, kondisi perut lapar membuat kedua bocah itu terpaksa mencuri. “Kami terpaksa melakukannya pak, kami lapar,” kata Frans.

Fransiskus merupakan anak ke tiga, saudaranya paling sulung Rijon (20), Anggi (18), Fransiskus (14), Alexius (13), Dayan (8), Randi (6) dan Kepin (bayi). Kini dua anak Ejilius tersebut harus menghabiskan waktu mereka di dalam sel.

Sidang perdana kasus pencurian yang mereka jalani kemarin dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Yose Rizal dan Jaksa Penuntut Umum, Febru Mahdi, Muldiana dan Elan, sidang tersebut tetutup untuk umum.

Menurut JPU Elan kedua bocah itu didakwa dengan ancaman 5 tahun penjara, sesuai Pasal 480 ayat (1) Kupidana junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP junto UU No. 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak.

“Nanti tuntutan kami akan pertimbangkan dengan kondisi mereka yang masih anak-anak,” kata Elan.

Aksi pencurian yang mereka lakukan itu terjadi pada 19 Januari 2010 di kedai Irwan, di Dusun Sikakap Timur Sikakap, Desa Sikakap, Kecamatan Sikakap, Mentawai.

“Kami mengambil beberap slop rokok dan 1 jeriken minyak nilam di kedai Irwan, itu makanya kami ditangkap polisi,” kata Frans yang mengenakan kemeja merah bergaris, dengan polos pada okezone di ruang tahanan PN Padang saat menunggu sidang perdana mereka, Kamis (18/3/2010).

Mereka mengaku aksi nekat ini dilakukan terpaksa. Pasalnya kiriman dari orang tua sudah terlambat sebulan lebih. Kedua bocah kakak beradik itu sebenarnya berasal Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan, mereka datang ke Sikakap untuk sekolah.

“Tak ada uang untuk beli makanan kami terpaksa mencuri, nanti curian itu akan kami jual pada orang, orang tua saya sudah sebulan tidak mengirimi uang,” ungkapnya.

Ketika mencuri kata Frans, mereka masuk lewat ventilasi rumah Irwan dari sana mereka mencuri rokok dan minyak nilam. Di mana saat mereka melakukan aksi itu kondisi hujan dan itu dilakukan dini hari sekira pukul 02.00 WIB. Aksi yang mereka semula berjalan mulus tanpa ada yang tahu. Sayang ketika mereka simpan barang curian itu di kamar mereka tiga orang anak muda di sekitar situ curiga dan meminta barang curian itu.

Ternyata Irwan sebagai pemilik barang melaporkan pada Polsek Sikakap, Polsek Sikakap melakukan penyelidikan pada 04 Februari 2010 ketiga pemuda itu ditangkap dan setelah melakukan penyidikan ketiga orang itu, 16 Februari 2010 Frans dan Alex ikut diseret oleh Polisi.

PERTEMPURAN LAUT JAWA 1942 (AKHIR KEKUASAAN HINDIA-BELANDA)

| | | 1 komentar
Dalam perang di dunia modern, negara manapun juga tidak akan bisa menang tanpa angkatan laut yang superior (P.K. Ojong, 1:1). Pendapat tersebut sangat relevan jika menyimak bagai-mana kekaisaran Jepang mem-bangun Angkatan Laut kekaisarannya (Nihon Kaigun) menjadi sebuah kekuatan yang menakjubkan dan modern sejak menjalankan Politik Pintu Terbuka di Era Meiji tahun 1868. Kemudian untuk menambah kedigdayaan armada kapal perangnya, Jepang juga membangun skuadron pesawat tempur yang mampu memberikan dukungan penuh bagi operasional AL, baik untuk pengintaian, penyerangan maupun angkut. Setelah AL Jepang “berguru” ke Amerika Serikat, Inggris dan Jerman, berhasil dilakukan alih-teknologi dan membuat pesawat tempur dan pembom yang mampu take-off / landing dari/ke atas kapal perang. Tidak hanya itu, Jepang juga berhasil merancang sendiri di dalam negerinya kapal induk pengangkut pesawat (aircraft carrier), berbagai tipe kapal selam dan kapal perang permukaan berbagai ukuran.
Namun seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi keangkatanlautan tersebut, kelompok ultra-nasionalis Jepang yang di pertengahan kurun waktu 1930-an berhasil mendominasi pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat di Jepang. Semua itu berujung pada bangkitnya semangat ekspansionis Jepang. Setelah berhasil menaklukkan Manchuria, Semenanjung Korea dan sebagian Cina, Jepang mulai melirik kawasan Asia Tenggara bagian selatan yang kaya hasil alam, terutama minyak, yang sangat dibutuhkan industri mesin perangnya. Guna memuluskan rencananya ter-sebut, Jepang terlebih dahulu harus mengeliminir kekuatan Amerika Serikat, Inggris Australia dan Belanda di Pasifik serta Asia Tenggara. Ketika perang dimulai, 4 negara seteru Jepang di Asia Teng-gara kemudian bergabung dalam Sekutu atau ABDA (America, British, Dutch, Australia). ABDA dipimpin oleh Jenderal Sir Archibald Wavell (Inggris), sementara sebagai Komandan Armada Gabungan adalah Admiral Conrad Emil L. Helfrich (Belanda). Untuk me-nguasai kawasan selatan, Jepang mengandalkan kekuatan armada kapal perang, yang terdiri atas kapal induk, kapal tempur, destroyer bertorpedo dan kapal selam, serta didukung penuh oleh skuadron udara yang berpangkalan di kapal induk. “Gebukan” pertama AL Jepang terhadap Sekutu diawali dengan membombardir Pangkalan Armada Pasifik Amerika di Pearl Harbor, Hawaii, tanggal 8 Desember 1941.
Setelah melumpuhkan Armada Pasifik, bala tentara gabungan Jepang serentak bergerak menguasai kawasan selatan dengan menggelar Operasi Octopus (Gurita) yang terbagi dalam 2 kolom, yaitu Gurita Timur dan Gurita Barat. Gerakan Gurita yang bertujuan merebut Hindia Belanda dipimpin langsung oleh Rear Admiral Takeo Takagi. Ekspansi Jepang tersebut kemudian dihadapi oleh Sekutu dengan mengerahkan armada kapal perangnya yang berpangkalan di Asia Tenggara, sehingga kemudian meletuslah Pertempuran Laut Jawa pada tanggal 27 Pebruari 1942 yang akan menjadi penentu nasib Sekutu di Asia Tenggara (kecuali Australia).

Jawa ”Benteng Alamo”
Asia Tenggara
Gurita Timur dalam gerakannya untuk menguasai wilayah selatan, menjadikan Pulau Jawa, Markas Komando ABDA di Pasifik Barat dan sekaligus pusat pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia, red), sebagai sasaran utamanya. Menyusul sukses meluluh-lantakkan Armada Pasifik Amerika di Pearl Harbor, memasuki paruh awal tahun 1942, AL kekaisaran Jepang terus merangsek ke wilayah selatan seolah tanpa hambatan berarti. Kejatuhan Singapura yang disusul oleh Kalimantan dan Sulawesi seolah menjadi penanda akan berakhirnya riwayat Sekutu di Asia Tenggara.
Dalam menghadapi ancaman serangan dan pendaratan amfibi pasukan Jepang, Sekutu berencana menghadang musuh di perairan Laut Jawa, tepatnya di depan Pulau Bawean. Di atas kertas, seolah perimbangan kekuatan antara 2 pihak yang bermusuhan tersebut, nampak tidak banyak perbedaan. Namun ada beberapa nilai tambah yang dimiliki pihak Jepang, yaitu diperkuat sejumlah pesawat pengintai, kompak, daya jangkau tembakan meriam kapal penjelajahnya lebih jauh diban-dingkan penjelajah Sekutu, per-sonilnya bersemangat tinggi dan terlatih, adanya keseragaman bahasa dan kode, serta yang terpenting seluruh kapal perangnya dipersenjatai dengan torpedo. Sementara Sekutu tidak diperlengkapi pesawat intai, lalu kapal perang yang dipersenjatai torpedo hanya 2 yaitu HMS Exeter (Inggris) dan HMAS Perth (Aus-tralia), yang terparah tidak ada keseragaman kode serta penggunaan 2 bahasa: Inggris dan Belanda. Semua itupun masih harus diperumit dengan adanya friksi diantara ko-mando Sekutu sendiri, seperti nasib Admiral Thomas C Hart Komandan AL Amerika di Pasifik Barat yang semua perintahnya diabaikan oleh para komandan Belanda, hanya karena tidak senang orang Amerika memimpin perang laut di wilayah Belanda. Sehingga akhirnya Helfrich dengan inisiatif pribadi langsung mengambilalih komando Armada Gabungan Sekutu di Hindia-Belanda.
Adanya ketidakkompakan diantara pimpinan teras Sekutu kian kentara, ketika Jenderal Wavell menarik mundur seluruh kekuatan Inggris dari Hindia-Belanda ke Australia. Pertimbangan jenderal tua veteran Perang Dunia I tersebut, adalah Jawa sudah tidak akan mungkin dipertahankan lagi, apalagi se-bagian besar Asia Tenggara sudah ada dalam cengkeraman Jepang. Ditambah lagi, pertahanan Sekutu di Pasifik Tengah, Timor dan Papua sudah kian kocar-kacir yang mengakibatkan posisi Australia menjadi “sangat berbahaya”. Tindakan Wavell kemudian diikuti oleh Jenderal Brereton, Komandan AU Amerika di Pasifik Barat, yang juga memerintahkan penarikan seluruh kekuatan udara Sekutu. Seluruh kekuatan pertahanan Sekutu (ABDA) akan dipusatkan di Australia, sebagai benteng terakhir. Meskipun demikian Sekutu, masih meninggalkan beberapa kapal perang tua dan segelintir pesawat tempur untuk mempertahankan Jawa. Keputusan ABDA tersebut kontan memancing kemarahan pihak Belanda yang merasa dikhianati rekan-rekannya sendiri. Akhirnya semua komando ABDA di Jawa diambil-alih oleh perwira-perwira Belanda. Sekutu telah kalah sebelum bertempur, sementara dua Gurita Jepang terus bergerak mengepung Jawa dan menjadikannya mirip nasib Benteng Alamo di Texas, Amerika, tahun 1836. Saat itu, para pejuang Texas yang mempertahankan Alamo dibiarkan berjuang sendirian, karena pasukan induknya lebih memilih bertahan di sekitar perbatasan Texas (Koloni Mexico)-Amerika, walaupun pasukan Mexico yang berjumlah lebih besar mengepung benteng tua tersebut. Semua itu didasari pandangan bahwa mempertahankan Jawa adalah sia-sia dan hanya akan mendatangkan kehancuran total bagi Sekutu di Pasifik. Bertahan di Australia dipandang jauh lebih rasional dan lebih aman untuk mendatangkan bantuan dari Amerika.

Een Mooie Zeeslag
Setelah sepenuhnya memegang komando, Belanda bermaksud melakukan peperangan laut terakhir dan menentukan di Laut Jawa dengan mengerahkan seluruh armada Sekutu yang tersisa di Pulau Jawa. Helfrich bermaksud menunjukkan kepada Komando ABDA, bahwa Belanda masih memiliki kehormatan untuk bertempur hingga titik akhir ketimbang melakukan gerakan mun-dur, sebagaimana yang dilakukan Sekutu di tiap front. Armada Sekutu yang dike-rahkan untuk mencegat Gurita Timur Jepang dipimpin oleh Schout Bij Nacht Rear Admiral Karel Willem Frederik Marie Doorman. Kapal perang yang di-kerahkan antara lain: Belanda (Penjelajah Ringan Hr. Ms. De Ruyter dan Hr. Ms. Java, Destroyer Hr. Ms. Kortenaer, Hr. Ms. Evertsen dan Hr. Ms. Witte de With), Amerika-US Destroyer Division 58 (Penjelajah Berat USS Houston, Destroyer USS John D. Ford, USS Pope, USS Paul Jones, USS John D. Edwards dan USS Alden), Inggris (Penjelajah Berat HMS Exeter, Destroyer HMS Electra, HMS Jupiter dan HMS Encounter) dan Australia (Pen-jelajah Ringan HMAS Perth). Selain itu, juga diperkuat oleh sejumlah pesawat tempur jenis Buffalo Brewster dan Glenn Martin. Sebagai kapal bendera adalah Hr. Ms. De Ruyter.
Armada Sekutu tersebut ha-rus menghadapi Gurita Timur pimpinan Rear Admiral Takeo Takagi, Pe-nakluk Filipina, yang ditugaskan untuk menundukkan Jawa. Armada Jepang terdiri atas Penjelajah Berat Nachi dan Haguro, Penjelajah Ringan Naka dan Jintsu, serta diperkuat 14 Des-troyer. Sebagai kapal bendera adalah Nachi. Sementara itu untuk mendukung pengintaian juga diperkuat dengan sejumlah pesawat intai dan untuk pendaratan amfibi disertakan se-jumlah kapal angkut pasukan. Armada Jepang tersebut mendekati Jawa melalui Selat Makassar dan terus bergerak mendekat ke Pulau Bawean.
Sesungguhnya jauh sebelum ke-dua kekuatan tersebut bertemu, pihak pemenang seolah telah di-gariskan oleh takdir. Sebagaimana telah disampaikan di awal, ke-lemahan terbesar pihak Sekutu da-lam menghadapi tekanan Gurita Jepang di Hindia Belanda, adalah adanya ketidak-kompakan komando diantara anggota ABDA serta ketidakimbangan kekuatan di la-pangan. Hal tersebut tampak kian nyata saat menjelang pertempuran terjadi. Armada ABDA pimpinan Karel Doorman berangkat dengan kondisi tergesa-gesa, tanpa per-siapan matang dan tanpa perlindungan udara yang memadai. Dengan bermodal semangat membara mempertahankan wilayah terakhir Koloni Hindia Belanda, Karel Doorman memerintahkan armadanya berlayar sejak tanggal 25 Februari 1942. Namun, musuh yang dicari-carinya belum dijumpainya karena masih terlalu jauh. Setelah 2 hari penuh berlayar tanpa henti, akhirnya Armada Sekutu tersebut bermaksud kembali ke Surabaya untuk beristirahat pada pukul 09.30 pagi. Namun sebelum rencana ter-sebut terlaksana, Admiral Helfrich, yang telah mendeteksi kedatangan Armada Gurita Timur di Laut Jawa sejak fajar tanggal 27 Februari 1942, memerintahkan untuk kembali ke sebelah timur Bawean. Menyadari kondisi anak-buahnya yang telah ke-lelahan dan bahan bakar yang me-nipis, perintah tersebut sempat di-abaikan oleh Doorman yang tetap memerintahkan armadanya terus bergerak ke Surabaya. Pukul 15.00, Helfrich kembali memerintahkan Doorman untuk mencegat musuh yang telah mendekati sebelah timur Pulau Bawean. Akhirnya, tanpa sempat beristirahat, Doorman terpaksa memerintahkan armadanya berputar arah menghadang musuh yang kondisinya lebih segar dan tengah “mabuk kemenangan”. Akhirnya, dua kekuatan tersebut bertemu di sekitar perairan Teluk Banten pada tanggal 27 Februari 1942 pukul 16.16.
Guna melindungi diri dari gempuran kapal-kapal penjelajah Sekutu, Jepang kemudian memasang tabir asap dan sempat membingungkan Armada Sekutu yang tidak dapat mengoreksi akurasi tembakannya. Sebaliknya, Armada Jepang tidak sedikitpun terganggu, karena sebelum pecah pertempuran telah meluncurkan 3 pesawat intainya yang berbasis di kapal induk mereka sehingga dapat mengoreksi tembakannya. Pesawat-pesawat tempur Sekutu sempat memberikan bantuan dengan melakukan serangan udara atas kapal-kapal angkut Jepang, namun ironisnya tak ada yang berpikir untuk menghalau pesawat intai Jepang. Penjelajah HMS Exeter yang terlebih dahulu kena hajar torpedo hingga rusak, bermaksud kembali ke Surabaya. Ironisnya, tindakan Exeter tersebut disalah-artikan sebagai manuver pertempuran, akibatnya formasi menjadi kacau. Doorman yang melihat kondisi tersebut, mengeluarkan perintahnya yang terkenal: “Ik val aan, volg mij!” (Saya menyerang, ikuti saya). Namun, perintah tersebut sudah ter-lambat.
Bagaikan masuk perangkap sitting duck, satu demi satu Armada Sekutu dihabisi Jepang. Agar menyelamatkan satuan kapal angkutnya dari incaran Sekutu, Jepang bermanuver ke arah barat dan langsung dikejar oleh Doorman. Di tengah kegelapan malam, pesawat Jepang melepaskan peluru suar yang menyinari posisi Sekutu, sehingga Armada Jepang dengan leluasa menembakinya tanpa mendapat balasan berarti. Menyadari posisinya yang tidak menguntungkan, Doorman bergerak ke arah timur (perairan Tuban) yang celakanya justru masuk ke ladang ranjau Sekutu sendiri. HMS Jupiter menjadi korban ranjau Sekutu dan tenggelam. Setelah berhasil menjepit sisa-sisa Armada Doorman, Penjelajah Nachi dan Haguro melepaskan hujan torpedo ke arah De Ruyter, Java dan Perth. Kontan De Ruyter (berikut Doorman) dan Java tenggelam, sementara Perth dengan terseok-seok lari ke Tanjung Priok. Sementara itu, Exeter dan Encounter ditenggelamkan tanggal 28 Februari. Lalu, Witte de With diledakkan sendiri oleh Belanda di Pelabuhan Surabaya. Pertempuran terus berlanjut hingga tanggal 1 Maret malam. Sisa Armada Sekutu, yaitu Pope, Houston dan Perth dihabisi di Selat Sunda. Sementara itu, Alden, Ford, P. Jones dan J. Edwards berhasil melarikan diri ke Australia. Di pihak Jepang, tak satupun yang tenggelam. Pertempuran laut ini, oleh Helfrich dikenangnya sebagai Een Mooie Zeeslag is het niet geweest (Itu adalah pertempuran laut yang tidak bagus).

Tertunda Satu Hari
Penghadangan Armada Karel Doorman terhadap konvoi Gurita Timur Jepang di perairan Laut Jawa memang tidak menimbulkan kerugian besar bagi Jepang. Namun pengorbanan Doorman berhasil menunda kejatuhan Pulau Jawa 1 hari dari jadwal yang telah ditarget oleh pihak Jepang. Hindia Belanda sendiri menyerah kepada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942 di Kalijati, Jawa Barat. Pada Pertempuran Laut Jawa 27 Februari 1942, diantara 2.300 prajurit Sekutu yang gugur terdapat sejumlah pelaut keturunan Indonesia (pribumi). Di Hr. Ms. De Ruyter saja diperkirakan ada 74 pelaut yang gugur di tempat dari 108 pelaut pribumi. Para pelaut pribumi tersebut rata-rata bertugas sebagai inheemse matroos, stoker dan inheemse jongen.©
posted @ Wednesday, April 08, 2009 10:57 AM by cakrawala

Pertempuran Lima Hari di Semarang

| | | 1 komentar

Oleh Dahlan Zailani



Dengan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan disusul dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka seharusnya tammatlah kekuasaan Jepang di Indonesia.


Dan ditunjuknya Mr Wongsonegero sebagai Penguasa Republik di Jawa Tengah dan pusat pemerintahannya di Semarang, maka adalah kewajiban Pemerintah di Jawa Tengah mengambilalih kekuasaan yang selama ini dipegang Jepang, termasuk bidang pemerintahan, keamanan dan ketertibannya. Maka terbentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).


Di beberapa tempat di Jawa Tengah telah terjadi pula kegiatan perlucutan senjata Jepang tanpa kekerasan antara lain di Banyumas, tapi terjadi kekerasan justru di ibu kota Semarang. Kido Butai (pusat Ketentaraan Jepang di Jatingaleh) nampak tidak memberikan persetujuannya secara menyeluruh, meskipun dijamin oleh Gubernur Wongsonegoro, bahwa senjata tersebut tidak untuk melawan Jepang. Permintaan yang berulang-ulang cuma menghasilkan senjata yang tak seberapa, dan itu pun senjata-senjata yang sudah agak usang.


Kecurigaan BKR dan Pemuda Semarang semakin bertambah, setelah Sekutu mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Pihak Indonesia khawatir Jepang akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada Sekutu, dan berpendapat kesempatan memperoleh senjata harus dimanfaatkan sebelum Sekutu mendarat di Semarang. Karena sudah pasti pasukan Belanda yang bergabung dengan Sekutu akan ikut dalam pendaratan itu yang tujuannya menjajah Indonesia lagi.


Pertempuran 5 hari di Semarang ini dimulai menjelang minggu malam tanggal 15 Oktober 1945. Keadaan kota Semarang sangat mencekam apalagi di jalan-jalan dan kampung-kampung dimana ada pos BKR dan Pemuda tampak dalam keadaan siap. Pasukan Pemuda terdiri dari beberapa kelompok yaitu BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan organisasi para pemuda lainnya.


Dapat pula kita tambahkan di sini, bahwa Markas Jepang dibantu oleh pasukan Jepang sebesar 675 orang, yang mereka dalam perjalanan dari Irian ke Jakarta, tapi karena persoalan logistik, pasukan ini singgah di Semarang. Pasukan ini merupakan pasukan tempur yang mempunyai pengalaman di medan perang Irian.


Keadaan kontras sekali, karena para pemuda pejuang kita harus menghadapi pasukan Jepang yang berpengalaman tempur dan lebih lengkap persenjataannya, sementara kelompok pasukan pemuda belum pernah bertempur, dan hampir-hampir tidak bersenjata. Juga sebagian besar belum pernah mendapat latihan, kecuali diantaranya dari pasukan Polisi Istimewa, anggota BKR, dari ex-PETA dan Heiho yang pernah mendapat pendidikan dan latihan militer, tapi tanpa pengalaman tempur.


Pertempuran lima hari di Semarang ini diawali dengan berontakan 400 tentara Jepang yang bertugas membangun pabrik senjata di Cipiring dekat Semarang. Pertempuran antara pemberontak Jepang melawan Pemuda ini berkobar sejak dari Cipiring (kl 30 Km sebelah barat Semarang) hingga Jatingaleh yang terletak di bagian atas kota. Di Jatingaleh ini pasukan Jepang yang dipukul mundur menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai yang memang berpangkalan di tempat tersebut.


Suasana kota Semarang menjadi panas. Terdengar bahwa pasukan Kidobutai Jatingaleh akan segera mengadakan serangan balasan terhadap para Pemuda Indonesia. Situasi hangat bertambah panas dengan meluasnya desas-desus yang menggelisahkan masyarakat, bahwa cadangan air minum di Candi telah diracuni. Pihak Jepang yang disangka telah melakukan peracunan lebih memperuncing keadaan dengan melucuti 8 orang polisi Indonesia yang menjaga tempat tersebut untuk menghindarkan peracunan cadangan air minum itu.


Dr Karyadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purasara) ketika jenazahnya diketemukan di jalan Pandanaran Semarang, karena dibunuh oleh tentara Jepang, dan keesokan harinya 15 Oktober 1945 jam 03.00 pasukan Kidobutai benar-benar melancarkan serangannya ke tengah-tengah kota Semarang.


Markas BKR kota Semarang menempati komplek bekas sekolah MULO di Mugas (sekarang Akubank). di belakangnya terdapat sebuah bukit rendah dari sinilah di waktu fajar Kidobutai melancarkan serangan mendadak terhadap Markas BKR. Secara tiba-tiba mereka melancarkan serangan dari dua jurusan dengan tembakan tekidanto (pelempar granat) dan senapan mesin yang gencar. Diperkirakan pasukan Jepang yang menyerang berjumlah 400 orang. Setelah memberikan perlawanan selama setengah jam, pimpinan BKR akhirnya menyadari markasnya tak mungkin dapat dipertahankan lagi dan untuk menghindari kepungan tentara Jepang, pasukan BKR mengundurkan diri meninggalkan markasnya.


Kemudian pasukan Jepang bergerak membebaskan markas Kempeitai yang sedang dikepung para Pemuda. Setelah mematahkan para Pemuda pasukan Jepang menuju ke markas Polisi Istimewa di Kalisari dan berhasil menduduki markas tersebut. Di sini terjadi pembunuhan kejam yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap anggota Polisi Istimewa yang tidak berhasil meloloskan diri dari pengepungan.


Juga di depan markas Kempeitai terjadi pertempuran sengit antara pasukan Jepang melawan para Pemuda yang bertahan di bekas Gedung NIS dan di Gubernuran (bekas APDN). Pasukan gabungan yang terdiri dari BKR, Polisi Istimewa dan AMKA melawan secara gigih, sehingga banyak jatuh korban di kedua belah pihak.


Meskipun dalam pertempuran tahap pertama pihak Jepang bagian timur dapat berhasil menduduki beberapa tempat penting, mereka tidak dapat bertahan karena selalu mendapat serangan dari BKR dan Pemuda. Terpaksa mereka meninggalkan tempat-tempat tersebut, yang kemudian dikuasai kembali oleh para Pemuda. Demikianlah pasukan silih berganti antara Jepang dan pemuda menempati posisi strategis.


Selain menangkap Mr Wongsonegoro, Jepang juga menangkap pimpinan Rumah Sakit Purusara yaitu Dr Sukaryo, Komandan Kompi BKR ialah ex-Sudanco Mirza Sidharta dan banyak pimpinan-pimpinan lainnya. Untuk menuntut balas, bantuan dari luar kota terus berdatangan yang menggabungkan diri dengan para Pemuda yang ada dalam kota.


Pasukan BKR dan para pemudanya dari Pati bergabung dengan pasukan Mirza Sidharta dan mengadakan serangan balasan terhadap Jepang yang telah menguasai tempat-tempat penting dalam kota, sehingga berlangsung dengan sengitnya. Taktik gerilya-kota dapat dilaksanakan dengan menghindari pertempuran terbuka, dengan tiba-tiba menyerang dan segera menghilang. Sekalipun belum ada komando terpusat, namun datangnnya serangan terhadap Jepang selalu bergantian dan bergelombang. Keberanian mereka benar-benar patut dibanggakan, sehingga menyulitkan Jepang menguasai kota.


Markas Jepang di Jatingaleh pun tak luput dari serangan BKR dan para pemudanya yang menimbulkan korban yang tidak sedikit kepada pihak Jepang. Gerak maju Jepang selanjutnya tidak berjalan lancar, karena tertahan di depan kantor PLN, bahkan sempat dipukul mundur.


Akibat serangan Jepang yang membabi buta, petugas PMI tidak dapat bergerak leluasa, yang menyebabkan korban pertempuran sangat menyedihkan. Mereka yang menderita luka-luka tidak dapat perawatan yang semestinya dan mayat-mayat bergelimpangan di beberapa tempat sampai membusuk, karena tidak segera dikubur.


Petugas lain yang sangat besar jasanya yang bermarkas di Hotel du Pavillion (Dibya Puri) ialah dapur umum dimana para pemuda memperoleh makanannya, tetapi setelah pertempuran meluas, selanjutnya para pemuda mendapat bantuan dari rakyat dengan bergotong royong menyediakan makannya, walaupun mereka sendiri saat itu juga kekurangan. Tapi solidaritas rakyat dalam hal ini patut dibanggakan dan jangan dilupakan.


Diperkirakan 2.000 pasukan Jepang terlibat dalam pertempuran besar-besaran melawan pemuda-pemuda kita. Senjata-senjata modern dan lengkap dilawan semangat joang yang menyala-nyala dari rakyat Semarang. Di tempat yang paling seru pertempuran terjadi di simpang lima (Tugu Muda). Puluhan Pemuda yang terkepung oleh Jepang dibantai dengan kejamnya oleh pasukan Kidobutai itu. Pemuda dan pasukan rakyat dari luar kota sekitar Semarang menunjukkan kesetia-kawanannya. Bala-bantuan mengalir terus ke kota Semarang. Mereka yang baru datang, langsung terjun terus ke kancah pertempuran.


Setelah BKR berhasil mengadakan konsolidasi dan mendapat bantuan dari daerah lain di Jawa Tengah, situasi menjadi berbalik pada saat Jepang berada dalam keadaan kritis. Untuk mengatasi situasi itu serangan makin diperhebat. Banyaknya korban di kalangan penduduk telah meninggikan para pemuda untuk menuntut balas. Diperkirakan 200 pasukan rakyat kita gugur dalam pertempuran besar-besaran ini, sedangkan dari pihak Jepang tak kurang dari 500 orang kedapatan tewas.


Jepang kembali mendekati MR Wongsonegoro yang didesak untuk segera meghentikan pertempuran. Dari hasil peninjauan dapat diketahui banyak rakyat yang tidak berdosa tewas dalam pertempuran kedua belah pihak. Oleh karena desakan Jepang untuk menghentikan pertempuran, diterima oleh Mr Wongsonegoro. Pertimbangan lain adalah untuk menyusun kembali kekuatan dalam menghadapi musuh yang sebenarnya, ialah tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda yang segera akan mendarat di Semarang.


Dalam perundingan dengan Jepang, Jepang menghendaki agar senjata-senjata yang dirampas oleh orang Indonesia dikembalikan lagi kepada Jepang. Tapi Mr Wongsonegoro menolak tuntutan itu, karena selain tak menjamin penyerahan senjata itu, pun tak diketahui siapa-siapa yang memegang senjata itu. lagi pula apa si pemegang senjata akan menyerahkan senjata itu kembali kepada Jepang? Akhirnya Jepang menerima pendirian Mr Wongsonegoro itu soal penyerahan senjata, dan demikian tercapailah persetujuan gencatan senjata dengan pihak Jepang.


Pada umumnya para pemuda kecewa atas gencetan senjata itu, karena banyak kawan-kawan yang telah gugur dan mereka menghendaki menuntut balas.


Setelah Sekutu mendarat di Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945, maka berakhir pulalah pertempuran dengan pihak Jepang yang selama 5 hari itu.


Kesimpulan pertempuran lima hari di Semarang itu mempunyai nilai tersendiri, khususnya bagi rakyat Jawa Tengah. Peristiwa itu menunjukkan kebulatan tekad rakyat untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Tindakan kekerasan harus diambil, karena cara berunding dan diplomasi diabaikan oleh Jepang.


Beberapa aspek strategis dalam perlawanan bersenjata, terlihat pada kegigihan rakyat Semarang beserta para pemudanya yang berperan dalam mematahkan kekuasaan Jepang dalam mempertahankan Kemerdekaan RI serta memberikan dukungan aktif bagi Pemerintahan Jawa Tengah yang berpusat di Semarang.


Aspek kepemimpinan yang menonjol, ialah sikap Mr Wongsonegoro, baik menghadapi pihak Jepang, maupun pihak BKR dan para pemudanya. Sedangkan aspek kejuangan yang menonjol ialah sikap patriotisme yang ditunjukkan dalam kesetiaan dan kesediaan dalam membela Negara dan Bangsa dengan aparat kekuasaannya serta kesadaran dan tanggungjawab dalam menjaga keamanan dan lingkungan. Pengabdian yang diberikan kepada Negara tanpa pamrih diberikan kepada Negara dan Tanah Air dengan tidak mengharapkan memperoleh penghargaan, balas jasa ataupun kedudukan.


Terbentuknya bermacam-macam organisasi bersenjata diawal Kemerdekaan adalah spontanitas pemuda pada waktu itu untuk mempertahankan Bangsa dan Tanah Air, tanpa perhitungan untuk memperoleh upah, pangkat dan jabatan. Yang mendorong mereka hanya semangat pengabdian untuk mempertahankan Kemerdekaan dan Kedaulatan Republik Indonesia.(Penulis adalah pejuang '45 dan mantan tawanan)

sumber .hupelita.com

Wagub Aceh Keberatan Penggunaan Kata "Teroris Aceh"

| | | 0 komentar
Wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Muhammad Nazar mengkritik penggunaan kata "teroris Aceh" yang disiarkan media massa cetak dan elektronik karena dinilai dapat merusak citra provinsi tersebut.

"Menggunakan kata 'teroris Aceh' yang setiap kali diberitakan media massa itu telah merusak citra Aceh sendiri. Apa maksudnya penyebutan 'teroris Aceh' itu," katanya, di Banda Aceh, Rabu (10/3/2010).

Hal itu disampaikan Wagub Muhammad Nazar seusai memimpin apel khusus yang dihadiri ribuan pegawai negeri sipil dan Kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) provinsi tersebut.

Karena itu, dia mengimbau media massa terutama para wartawan yang datang dari luar Aceh dan kurang paham tentang provinsi ini agar dalam penggunaan bahasa atau nomenklatur harus sesuai, jangan terus menggunakan "teroris Aceh".

"Terus terang, kami dan masyarakat Aceh saat ini merasa terganggu dengan kata-kata 'teroris Aceh' itu," kata Nazar.

Dikatakan, dayah atau pondok pesantren di Aceh tidak pernah mengajarkan tentang terorisme. Dayah di Aceh selama ini mendidik perdamaian.

Sepanjang sejarah di Aceh, kata Nazar, tidak pernah setuju dengan aksi-aksi terorisme dan tidak ada dalam sejarah Aceh diperbolehkan bunuh diri meski yang dilawan adalah penjajah Belanda.

"Artinya, jika ada pejuang Aceh yang meninggal dunia dalam pertempuran karena tertembak, bukan bunuh diri seperti yang dipraktikkan paham terorisme," kata dia.

Karena itu, Nazar minta masalah teroris tersebut agar diusut tuntas. Mengapa tiba-tiba di Aceh dimanfaatkan untuk pelatihan mereka (teroris). Apakah masalah adanya teroris di Aceh itu terkait dengan rencana kedatangan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia.

"Jadi semuanya itu perlu diusut, apakah ada kaitannya dengan kedatangan Obama atau memang adanya kasus-kasus politik nasional. Semua itu harus ditelusuri oleh Polri," katanya.

Menggunakan kata "teroris Aceh" yang setiap kali diberitakan media massa itu telah merusak citra Aceh sendiri.

Azwani, Tersangka Teroris yang Pernah Latihan di Markas Brimob

| | | 0 komentar
Tersangka teroris ternyata bukan hanya berlatih militer di Aceh Besar. Mereka juga berlatih menembak di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Tersangka teroris itu kini menjadi buruan Polri karena ulahnya itu.

"Dia Azwani alias Abu Mus'ab alias Maratunsi. Berasal dari Gampong Awee Geutah, Peusangan, Bireun. Dia diketahui pernah latihan menembak di lapangan tembak Markas Brimob Kelapa Dua, Depok," tutur kadiv Humas Polri, Irjen Pol Edward Aritonang, di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (18/3).

Azwani merupakan panglima Al-Qaeda wilayah Batee Iliek. Edward mengatakan, total ada 31 nama teroris yang masuk buron Polri. Mereka terkait kegiatan teroris di Aceh, Jawa, dan Jakarta.
Selain Azwani, salah satu buron lainnya adalah Babe alias Abu Hamzah alias Reza. "Dia sepupunya Shiren Sungkar, pemain sinetron Cinta Fitri," kata Edward.

Babe alias Abu Hamzah alias Reza diketahui berdomisili di Ciledug, Jakarta. "Dia menjadi salah satu DPO yang melarikan diri dari Aceh," ujar Edward.
Namun, Edward mengaku sejauh ini belum mengetahui peranan Abu Hamzah dalam jaringan kelompok teroris itu. "Kami dapat nama itu dari yang baru menyerahkan diri (Mukhtar alias Faruqy dan Abu Rimba alias Munir alias Abu Uteun). Nanti kami cek. Kalau bukan orang itu nanti kami cek kembali," timpalnya.

Edward hanya mengungkap peranan Abu Rimba yang menyerahkan diri bersama satu pucuk senjata laras panjang AK 47, dan 134 butir amunisi.
"Perannya sebagai penunjuk jalan, dia sangat menguasai hutan," tutur Edward. Tengku Mukhtar yang merupakan Panglima Tandhim Al-Qaeda wilayah Pasee, eks Panglima Laskar FPI Aceh, dan eks GAM Pasee, dikatakan Edward menyerahkan diri ke Polres Aceh Besar sehari sebelum Abu Rimba, yaitu 16 Maret lalu dengan satu pucuk senjata laras panjang M 16 dan ribuan butir peluru.

kompas

Inilah Tersangka Teroris yang Sudah Ditembak Mati

| | | 0 komentar
Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri menunjukkan foto gembong teroris, Dulmatin alias Amar Usman alias Muktamar alias Djoko Pitono di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (10/3/2010). Dulmatin bersama dua pengawalnya tewas saat penyergapan Densus 88 di Pamulang Selasa 9 Maret 2010. KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN
TERKAIT:
Polisi Buru Residivis Terkait Teroris
Teroris Ingin Bentuk NII dan Islam Asia Tenggara
Saptono Calon Pemimpin Baru Kelompok Teroris
Antisipasi Teroris, Polda Bali Razia Penumpang
3 Dakwaan untuk Terdakwa Terorisme Aris Maruf
JAKARTA, KOMPAS.com- Polri akhirnya mengumumkan tujuh nama tersangka teroris yang sudah tewas dalam penyergapan di Aceh dan Jakarta. Selain nama Dulmatin, ada juga seorang warag negara Filipina.
"Atas nama Hasan Nur alias Blackberry. Dia asal Filipina dan ditembak mati tanggal 9 Maret lalu," kata Kepala Dibisi Humas Polri Irjen Edward Aritonang, di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (18/3/2010).

Berikut adalah daftar nama mereka:

1. Dulmatin alias Mansyur alias Yahya Ibrahim alias Fahri Ardiansyah alias Joko Pitono alias Hamzah, asal Pemalang, yang ditembak mati 9 Maret lalu di Pamulang.
2. Jaja alias Slamet alias Pak Tuo alias Pura Sudarma alias Pura Sudarmo alias Mamang, asal Bandung, Jawa Barat, yang berperan sebagai pengawas latihan, ditembak mati 12 Maret lalu.
3. Ust Ardi alias Arham alias Arnold alias Enceng Kurnia, lulusan JI Mindanao yang berperan sebagai unsur pimpinan dan pengajar olahraga serta pengurus logistik. Ditembak mati 12 Maret.
4. Iwan Suka Abdulah, asal Aceh Besar, ditembak mati 3 Maret lalu.
5. T Marzuki alias Tengku, asal Aceh, ditembak mati 4 Maret.
6. Ridwan alias Niko, asal Sulawesi Selatan, ditembak mati 9 Maret di Jakarta.

Menyiapkan "Jihad" di Aceh

| | | 0 komentar
Awal Januari 2009. Sebuah iklan di koran lokal berisi kisah penindasan di Palestina yang diikuti pendaftaran calon mujahidin membakar semangat Baili (24), santri dari Dayah, pesantren di Blang Pidie, Aceh Barat Daya, Nanggroe Aceh Darussalam.

Anak keenam dari delapan bersaudara dari Desa Alue Bilie, Nagan Raya, ini segera menuju ke Banda Aceh untuk mendaftarkan diri. "Saya ingin membantu Palestina yang ditindas. Tetapi, saya miskin, hanya bisa berjihad dengan tenaga," ujar Baili mengisahkan alasannya mendaftar sebagai relawan ke Palestina yang diprakarsai Front Pembela Islam (FPI) itu.

"Dari 400-an pendaftar dari seluruh Aceh, dipilih 125 orang. Baili termasuk yang terpilih," kata Yusuf Al Qardhawi, Ketua FPI wilayah NAD.

Baili berkenalan dengan Munir alias Abu Rimba (25), anak desa dari Lamtamot, Kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar, yang juga lolos seleksi. Munir juga berasal dari keluarga miskin. Mereka sama-sama menjadi saksi perang Aceh. "Saya dulu simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, karena masih terlalu kecil, akhirnya belajar di Dayah dulu," kata Baili.

Kepada teman-temannya, Abu Rimba mengaku sebagai mantan anggota GAM Gajah Keng, GAM di wilayah Aceh Besar. Beberapa kali ia membanggakan bahwa dirinya mahir menggunakan senjata AK-47, senjata api yang biasa dipakai GAM kala itu. Namun, mantan Panglima GAM Gajah Keng Tajudin (35) menjelaskan, nama Munir alias Abu Rimba tak terdaftar. "Mungkin dia mengaku GAM biar dianggap hebat," ujarnya.

Untuk tahap awal, 15 dari 125 relawan yang terpilih dikirim ke Dayah Darul Mujahidin, Gampong Blang We Panjoe, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe. Dayah itu dipimpin Teungku Muslim Attahiri, ulama yang dikenal amat bersemangat menyerukan syariat Islam di Serambi Mekkah. Bersama santrinya, mereka gencar melakukan razia di jalanan untuk mencari pelanggar Qanun (Peraturan Daerah) Syariat Islam.

Selama empat hari, 15 orang itu mendapat pelatihan paramiliter, termasuk pengenalan senjata api. Seorang pelatihnya adalah Sofyan Tsauri, mantan anggota kepolisian yang ditangkap pekan lalu karena diduga terlibat dalam terorisme.

Dari Aceh Utara, 15 orang kemudian dikirim ke Markas Pusat FPI di Jakarta. Di sana mereka kembali dilatih paramiliter. "Saya disiapkan menjadi tenaga medik. Diajari obat-obatan dan bela diri, tetapi tidak memakai senjata api," ungkap Baili.

Di sela-sela pelatihan itulah, Baili dan kawan-kawannya, termasuk Abu Rimba, beberapa kali diundang ke rumah Sofyan di Depok. Akhirnya, ujar Yusuf, FPI batal mengirimkan relawan yang dilatih, termasuk yang berasal dari Aceh, ke Palestina.

Setelah masa pelatihannya dengan FPI berakhir, Baili dan beberapa kawannya didekati Sofyan kembali. ”Dia mengajak untuk berjihad di Indonesia,” kata Baili.

Namun, ia mengaku tak setuju dengan doktrin jihad yang disampaikan Sofyan. "Tujuan saya awalnya betul-betul jihad ke Palestina, bukan di dalam negeri. Apalagi mereka menyebutkan boleh membunuh dan mengambil harta saudara yang dianggap sesat," katanya.

Baili lalu memutuskan bekerja sebagai penjaga keramba ikan di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung, untuk mengumpulkan ongkos pulang kembali ke Aceh. Sejak itu, ia kehilangan kontak dengan Abu Rimba dan kawan-kawannya. Hampir sembilan bulan ia berada di sana untuk mengasingkan diri dan bekerja sebelum akhirnya kembali ke Aceh beberapa hari lalu. "Saya kaget ketika beberapa kawan menjadi buron polisi karena diduga ikut kelompok teroris," kata Baili, ditemui di sebuah desa di Banda Aceh.

Yusuf mengatakan, dari 15 orang yang dikirim mengikuti pelatihan di Jakarta, hanya tujuh yang kembali. "Saya tak tahu ke mana sisanya. Saya khawatir mereka ikut kelompok teroris itu. Tiga di antaranya ditetapkan sebagai DPO polisi," katanya.

Pada April 2009, Mukhlis, seorang anak yang pernah dikirim FPI ke Jakarta, ditangkap Poltabes Banda Aceh karena kepemilikan senjata api. Sebulan kemudian, anak lainnya, Muhibuddin, juga tertangkap polisi dengan alasan yang sama. Sesudah itu, gerak-gerik "calon mujahidin" ini nyaris sunyi.

Menyiapkan Aceh

Namun, sebuah rencana besar disiapkan. Sebuah sel kelompok bersenjata yang ditanam pascatsunami Aceh tahun 2006 mulai dibangkitkan. Yudi Zulfahri (27), seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Banda Aceh, menjadi kunci untuk menyiapkan jejaring itu.

Warga Keutapang, Aceh Besar, yang ditangkap dalam penyerbuan polisi di Krueng Linteng, Jalin, Aceh Besar, pada 22 Februari lalu, mengaku memiliki dorongan pribadi untuk mencari ilmu agama sejak duduk di tahun terakhir STPDN pada 2006. Ia mengaku hampir ikut kelompok Negara Islam Indonesia (NII) yang kerap merekrut mahasiswa di berbagai kampus. Namun, dia membatalkan niatnya setelah berkonsultasi dengan seorang ustaz di Jatinangor, Jawa Barat.

Setelah itu, Yudi rajin membaca buku tentang agama dan menonton VCD tentang jihad. Dari satu VCD yang dimilikinya, ia mengenal sosok Halawi Makmun dan Fauzan Al-Anshari. Karena terkesan, ia lalu mencari tahu nomor telepon Halawi dari seorang teman di Aceh. "Beliau pernah datang ke Aceh setelah dilanda tsunami. Sejak itu, saya sering konsultasi dengan beliau melalui telepon," katanya.

Awal 2007, Yudi mangkir dari pekerjaannya dan pergi ke Bandung untuk berbisnis pulsa dan baju. Di Jatinangor, ia mengikuti pengajian Halawi. Berdasarkan data Pemerintah Kota Banda Aceh, status Yudi masih tetap PNS.

Akhir 2007, Yudi pindah mencari kerja di Jakarta. Ia lalu mengontrak di Jagakarsa di belakang Perumahan Tanjung Mas, Jakarta Selatan. Dia kerap mengikuti kelompok pengajian kecil yang dipimpin Aman Abdurrahman alias Oman Rahman, yang pernah ditangkap dalam kasus peledakan bom Cimanggis, Maret 2004. Salah satu dari murid Aman adalah Kamal, yang lalu menjalin hubungan akrab dengan Yudi.

Secara hampir bersamaan, di Lenteng Agung, Jakarta, Yudi berkenalan dengan Sofyan Tsauri. Bersama Sofyan, ia juga ikut berbisnis soft gun, senjata mainan. Yudi segera dekat dengan Sofyan yang juga gemar mengoleksi buku-buku mengenai jihad. Apalagi istri kedua Sofyan juga berasal dari Aceh dan Sofyan juga pernah menjadi relawan Aceh lewat Bulan Sabit Merah.

Akhir 2008, Yudi memutuskan kembali bekerja di Pemkot Banda Aceh. Tak berapa lama, Sofyan berkunjung bersama istrinya. Dari perbincangan dengan Sofyan, digagas perlunya membentuk basis pelatihan di Aceh untuk berjuang menegakkan syariat Islam sepenuhnya.

Saat itu, Yudi mengaku memiliki komunitas kecil yang sepaham soal jihad. Komunitas kecil warga lokal itu dikenalnya setelah mengikuti pengajian seorang ustaz. Namun, ustaz itu tidak memiliki paham yang sama dengan mereka soal jihad.

Awal 2009, Sofyan kembali lagi ke Aceh dengan membawa seseorang bernama Mus’ab. Tiga hari kemudian, datang Hamzah (yang diketahuinya belakangan sebagai Dulmatin). Mereka membicarakan rencana pembukaan kamp pelatihan di Aceh. Namun, rencana itu tertunda ketika pada 17 Juli 2009 terjadi peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Kuningan, Jakarta.

Yudi dan beberapa rekannya mulai mencari lokasi dan mengumpulkan perlengkapan, mulai dari senjata sampai logistik. Senjata diperoleh Yudi melalui Sofyan, yang mendapatkannya dari Trisno (masih buron). Dari jaringan Sofyan, Yudi mendapatkan lima pucuk senjata (M-16 dan AK-47). Ia mengaku memperoleh uang dari Hamzah alias Dulmatin. Yudi juga kerap datang ke kontrakan Hamzah di Pamulang, Tangerang selatan,
Banten. (AIK/SF/MHD)

Kwik: PDI Perjuangan Partai Paling Korup, Banyak Koruptornya!

| | | 0 komentar
Mantan Ketua Litbang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kwik Kian Gie menyatakan tidak merasa heran atas keterlibatan 19 anggota Fraksi PDIP periode 2004-2009 yang disebut-sebut menerima travel cek mencapai Rp 9,8 miliar dalam pemilihan Dewan Gubernur BI Miranda Gultom. Alasannya, PDIP adalah partai paling korupsi yang banyak koruptornya.

“Kalau saya ditanya, apakah heran atau tidak. Saya jawab tidak heran karena banyak koruptor di PDIP,” kata Kwik di Jakarta, Senin (15/3/2010).

Diungkapkan, indikatornya sangat mudah, yaitu mobil para anggota DPR dari PDIP sangat mewah. “Saya kenal mereka. Waktu tahun 1998, betapa miskin mereka. Sekarang kok mobil mereka mewah-mewah,” kata Kwik.

...Kalau saya ditanya, apakah heran atau tidak. Saya jawab tidak heran karena banyak koruptor di PDIP, kata Kwik ...

Dijelaskan, saat dirinya menjabat Kepala Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) diminta untuk memberikan paparan tentang korupsi. Lalu peserta bertanya, apakah partai politik tidak korupsi.

"Saya menjawab, partai yang paling korupsi adalah partai saya, PDIP," kata Kwik.

Terkait soal pilihan Anggota DPR dari fraksi PDIP terhadap Miranda Gultom sebagai calon Gubernur BI tersebut, Kwik mengungkapkan bahwa pemilihan tersebut atas perintah dari Ketua Umum PDIP, Megawari Soekarnoputri.

“Perintah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memang mesti menggolkan Miranda saat berhadapan dengan Burhanuddin Abdullah saat pemilihan calon Gubernur BI,” kata Kwik.

Oleh karena sudah ada sinyal dari Megawati, maka anggota DPR dari PDIP memberikan suaranya untuk memilih Miranda Gultom.

“Tapi tentunya tidak gratis begitu saja,” tandas mantan Menteri Koordinator Perekonomian ini.

...Saya menjawab, partai yang paling korupsi adalah partai saya, PDIP," kata Kwik...

Dijelaskan, sewaktu pemilihan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang waktu itu tiga nama bersaing yakni Burnahunddin Abdullah, Miranda Gultom dan Cyrilus Harinowo.

Diberitakan sebelumnya, sebanyak 19 politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) disebut menerima suap dalam proses pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom.

Total uang suap yang diterima 19 politisi PDIP itu mencapai Rp 9,8 miliar. Informasi ini terungkap dalam sidang dengan terdakwa anggota Komisi VI DPR dari FPDIP, Dudhie Makmun Murod di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/3/2010). Dalam surat dakwaan jaksa disebutkan, uang suap itu diberikan agar para politisi menjatuhkan pilihan kepada Miranda.

Atas perbuatan itu, terdakwa Dudhie Makmun Murod diancam pidana sesuai Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) butir b Undang-Undang No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

...Total uang suap yang diterima 19 politisi PDIP itu mencapai Rp 9,8 miliar. Informasi ini terungkap di Pengadilan Tipikor, Jakarta...

Nama-nama politisi PDIP yang masuk daftar jaksa, beserta uang suap yang diterimanya:

Panda Nababan menerima uang terbesar (Rp1,45 miliar)
Williem M Tutuarima (Rp500 juta)
Sutanto Pranoto (Rp600 juta)
Agus Chondro Prayitno (Rp500 juta)
M Iqbal (Rp500 juta)
Budhiningsih (Rp500 juta)
Poltak Sitorus (Rp500 juta)
Aberson M Sihaloho (Rp500 juta)
Rusman Lumban Toruan (Rp500 juta)
Max Moein (Rp500 juta)
JeffeyTongas Lumban Batu (Rp500 juta)
Matheos Pormes (Rp350 juta)
Engelina A Pattiasina (Rp500 juta)
Suratal HW (Rp500 juta)
Ni Luh Mariani Tirtasari (Rp500 juta)
Soewarno (Rp500 juta)
Emir Moeis (Rp200 juta)
Sukarjo (Rp200 juta).
Anehnya, Ketua Umum DPP PDIPMegawati Soekarnoputri, menyatakan tidak akan ikut campur dengan kasus hukum yang menimpa politisinya, karena korupsi itu tanggung jawab masing-masing, bukan partai. [taz/inlh]
sumber voa-islam.com

Siapa Sebenarnya Belanda Depok?

| | | 0 komentar
Belanda Depok. Siapa yang tak akrab dengan sebutan itu. Terkadang sebutan itu selalu digunakan masyarakat Jabodetabek dan sekitarnya, untuk meledek orang-orang yang sok kebule-bulean.

Siapa sangka jika Belanda Depok memang benar ada, bahkan beranak-pinak. Namun jangan sangka, kaum Belanda Depok dan turunannya ini tidaklah berambut pirang, berkulit putih, serta bermata biru, seperti layaknya bangsa Belanda. Justru sebaliknya, yang disebut Belanda Depok ini berperawakan yang tidak jauh dari perawakan orang pribumi.

Lalu bagaimana asal muasalnya? Berikut kami tuturkan.

Pada abad ke-16, saat Indonesia masih dijajah oleh Belanda, hiduplah seorang tuan tanah bernama Cornelis Chastelein yang mendiami dan membeli sebuah wilayah pertanian dan perkebunan bernama Depok. Cornelis kemudian menjadi Presiden di wilayah yang luasnya ribuan hektare itu.

Karena tak sanggup merawat tanahnya yang begitu luas, dia kemudian mengambil dan mempekerjakan budak-budak yang umumnya berasal dari Indonesia bagian timur, seperti Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa, Pulau Rote serta Filipina. Setidaknya terdapat 200 budak dipekerjakannya.

Tak selayaknya tuan tanah lainnya di masa itu, Cornelis memperlakukan para budaknya dengan sangat manusiawi. Budak-budak tersebut dirawat, diberikan pendidikan, serta diperkenalkan agama Kristen Protestan lewat sebuah Padepokan Kristiani. Padepokan ini bernama De Eerste Protestante Organisatie van Christenen, disingkat Depok. Dari sinilah nama kota ini berasal.

Karena terlihat adanya kesetaraan dengan majikannya, tak pelak masyarakat yang hidup di sekitar perkebunan menyebut para budak itu Belanda Depok.

Suatu saat, Cornelis Chastelein meninggal dunia pada tanggal 28 Juni 1714 karena sakit. Cornelis pun mewariskan perkebunannya pada para budaknya yang telah dibebaskannya. Berikut isi wasiatnya.

"... Maka hoetang jang laen jang di sabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe... dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja,..."

Kemudian ratusan budak tersebut kemudian dikelompokan menjadi 12 fam atau marga dan mewarisi surat wasiat dari Cornelis untuk merawat perkebunan tersebut. Belasan marga tersebut yaitu Laurenz, Loen, Leander, Jonathans, Toseph, Yakob, Sudira, Samuel, Zadoch, Isac, Bakas dan Tholence.

Seiring perkembangan zaman, wilayah yang disebut Depok pada zaman Cornelis Chastelein, kini hanyalah sebuah Kecamatan bernama Pancoran Mas Depok. Komunitas Belanda Depok sendiri masih dapat dijumpai di kawasan Depok Lama karena terdapat sebuah yayasan kumpulan mereka yang diberi nama Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC).

Salah satu keturunan mereka yang juga anggota YLCC, Suzana Leander menuturkan, sebelum menjadi yayasan, YLCC hanya sebuah lembaga yang didirikan sebagai lambang persatuan budak-budak, serta tempat berkumpul komunitas mereka.

Hingga saat ini, Suzana bersama 150 pegawai lainnya yang juga keturunan budak-budak Cornelis Chastelein, bekerja mengabdi di YLCC untuk menjaga aset warisan yang masih tersisa, serta melestarikan keturunan mereka agar tidak punah.(hri)

okezone

Mayat Bayi Disandera Rumah Sakit

| | | 0 komentar
Entah kesedihan seperti apa yang menggeleyatuti benak pasangan Nurul Istiqomah (25) - Abdul Karim (40), warga Dusun Bataan, Desa Kertosono, Kec. Gading, Kab. Probolinggo demi mendapatkan ujian hidup. Bayi perempuannya yang berusia 3 hari meninggal di RSUD Waluyo Jati, Selasa (9/2) menjelang subuh, sekitar pukul 04.00.

Pasangan suami-istri itu hendak membawa pulang mayat bayi yang belum diberi nama itu. Sisi lain, ia harus membayar biaya persalinan dan perawatan selama 3 hari di RSUD sebesar Rp 2,3 juta.

”Pikiran saya campur aduk, sedih karena bayi meninggal dunia dan bingung menyikapi rumah sakit yang tidak boleh membawa pulan jenasah anak saya sebelum biaya dilunasi,” ujar Abdul Karim, Rabu (10/2).

Kesedihan serupa juga terlihat di wajah Zubaidah (42), kakak Abdul Karim. Ia hanya duduk lesu di depan Ruang NICU RSUD. ”Mudah-mudahan adik saya segera cepat dapat utangan untuk melunasi biaya rumah sakit,” ujarnya.

Disinggung mengapa jenasah tidak segera dibawa pulang, Zubaidah mengatakan, ”Kata petugas rumah sakit, jenasah tidak boleh di bawa pulang sebelum biaya dilunasi,” ujarnya.

Zubaidah pun menceritakan kronologis hingga jenasah bayi itu disandera pihak RSUD. Jumat (5/2) lalu, Abdul Karim membawa istrinya, Nurul Qomariah ke RS Permata Bunda, Kraksaan.

Karena alasan minimnya peralatan medis, RS Permata Bunda merujuk Nurul Qomariah ke RSUD Waluyo Jati. Akhirnya, Sabtu (6/2) sekitar pukul 12.00, Nurul Qomariah melahirkan melalui operasi.

Di hari ketiga Selasa (9/2), bayi perempuan seberat 1,9 Kg anak ketiga dari Abdul Karim-Nurul Qomariah itu meninggal dunia. ”Adik saya, Karim langsung menghubungi pihak keluarga lainnya untuk mempersiapkan proses penguburan jenasah bayi itu,” ujar Zubaidah.

Ternyata mayat bayi itu tidak segera bisa dibawa pulang. Pihak rumah sakit membolehkan mayat bayi dibawa pulang asalkan melunasi biaya perawatan sebesar Rp 2,3 juta.

Abdul Karim pun kelabakan saat hendak melunasi biaya persalinan dan perawatan istri dan bayinya. Pagi itu ia langsung pulang untuk mencari pinjaman uang. ”Bahkan adik saya sempat menawarkan sepetak tanah milik Nurul Qomariah untuk dijual tetapi belum ada yang membeli,” ujar Zubaidah.

Sampai tengah hari mayat bayi itu masih tersandera di Ruang NICU RSUD Waluyo Jati. Sekitar pukul 12.30, Abdul Karim kemudian terlihat bergegas menuju ruang administrasi RSUD.

Abdul Karim pun meminta keringanan biaya, tidak sebesar Rp 2,3 juta. Pihak RSUD kemudian mengurangi biaya perawatan menjadi sekitar Rp 1,98 juta. Itu pun Abdul Karim mengaku masih belum mampu, karena ia hanya membawa uang Rp 950 ribu hasil meminjam ke kerabatnya.

Akhirnya laki-laki paro baya itu bisa membawa pulang bayinya dengan membayar Rp 950 ribu. ”Itu dianggap uang cicilan dari total Rp 1.980.000 yang harus saya lunasi. Itu pun saya harus menyerahkan SIM C sebagai jaminan,” ujarnya.

”Rumah sakit benar-benar keterlaluan. Meski saya orang miskin, saya tidak akan melarikan diri. Hanya sekarang saya memang tidak punya uang,” ujarnya sambil meninggalkan RSUD.

Laporan: Ikhsan Makhmudi

• VIVAnews

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?