SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Abdul Qahhar Mudzakkar: Perang-Perangan, Sekolah, Organisasi, dan Nikah Muda

| | | 0 komentar
Di kampung Lanipa, Ponrang, dalam wilayah Luwu yang dikelilingi hutan belukar, disitulah Kahar lahir dan menjalani masa kecil. Dia lahir pada tanggal 24 Maret tahun 1921.

Kahar kemudian bergabung dengan anak-anak yang lain, bermain dan berlari kekanak-kanakan. Permainan masa kecilnya adalah perang-perangan. Dari permainan itu, karakter keberaniannya terbentuk.

Kahar bermain hingga Maghrib menjelang. Sehabis bermain, dia langsung pulang ke rumah untuk mandi dan menyiapkan diri mengikuti shalat Maghrib. Shalat maghrib diimami langsung oleh ayahnya, Malinrang. Sehabis shalat, dia lalu mengaji, diajari oleh ibunya, Kaesang.

Malinrang adalah seorang pedagang. Dia berdagang sampai ke wilayah Kalimantan; bahkan Malaysia. Dari hasil dagang, dia banyak membeli tanah di daerah Luwu. Dia pun terkenal sebagai tuan tanah. Dari hasil usahanya, Malinrang ingin anaknya bersekolah tinggi. Pada umur 7 tahun, Kahar pun dimasukkan ke Sekolah Rakyat (SR) di Lanipa.

Sejak kecil, Kahar juga sudah mengenali organisasi pergerakan, semisal Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia. Dia biasa mendengarnya dari cerita tamu-tamu yang biasa mengunjungi ayahnya atau cerita orang-orang yang sedang asyik bermain domino. Kahar memang sangat hobi bermain domino. Bahkan, dia biasa bermain domino sampai pagi. Orang-orang sekitarnya pun menggelarinya La Domeng, pemain domino.

Kahar selesai dari SR pada 1934. Dia kemudian melanjutkan ke Sekolah Standar Muhammadiyah (SSM) di daerah Palopo. Dia terdaftar sebagai siswa di SSM pada 1935. Di SSM, pikiran Kahar terbuka. Dia banyak memperoleh pengetahuan baru, tentang perhitungan, membaca, organisasi, dan pengkaderan.

Kahar selesai dari SSM pada 1938. Dia kemudian melanjutkan sekolahnya ke tanah Jawa. Dia bersekolah di Muallim Muhammadiyah (MM) di Solo, Jawa Tengah. Solo adalah pusat pendidikan kala itu dan juga tempat lahir dan berkembangnya organisasi Muhammadiyah.

Di MM, Kahar banyak mengikuti kegiatan-kegiatan kepemudaan. Dia pun bergabung dengan organisasi pemuda yang diasuh Muhammadiyah, Hizbul Wathan. Kahar juga sangat kagum kepada seorang gurunya: Prof. Abdul Qahhar Mudzakkir. Saking kagumnya, Kahar sampai menggubah namanya menjadi Abdul Qahhar Mudzakkar.

Baru setahun mendiami Solo, Kahar sudah menguasai daerah itu. Dia pun banyak berkeliling dan bergaul dengan para pemuda. Suatu ketika, dia bertemu dengan gadis Solo yang menarik hatinya, Warlina. Dia pun berkenalan dengannya dan menjadi akrab. Merasa sudah cocok dengan Warlina, Kahar segera melamarnya dan diterima. Pernikahan Kahar-Warlina pun berlangsung dengan sangat sederhana.

Sibuk mengurusi keluarga dan aktif di organisasi kepemudaan, membuat Kahar malas bersekolah. Kahar pun akhirnya tidak menyelesaikan sekolahnya di MM. Bersama istrinya, dia pun kembali ke Luwu, kampung halamannya.

[Dirangkum dari pelbagai sumber]

http://sejarah.kompasiana.com/2011/06/03/abdul-qahhar-mudzakkar-perang-perangan-sekolah-organisasi-dan-nikah-muda/

Abdul Qahhar Mudzakkar: Berdagang dan Menggalang Organisasi Pergerakan dan Militer

| | | 0 komentar
Pada Mei 1943, Kahar menetap di Solo. Dia bersama Warlina, istrinya, membuka usaha. Dia mengelola sebuah toko kain.

Usaha beli-jual kainnya kemudian berkembang. Dia pun mengajak teman-teman sekampungnya untuk berkongsi: Muhammad Idrus, Abdul Mannan, dan Saleh Sjahban. Keempatnya bersatu membuka toko dagang yang diberi nama Toko Luwu.

Toko Luwu yang banyak dikunjungi ternyata bukan hanya dijadikan sebagai tempat bisnis, tapi juga dijadikan sebagai tempat pertemuan para pemuda untuk membahas persoalan bangsa.

Pada 17 Agustus 1945, Kahar mendengar pidato proklamasi kemerdekaan Soekarno. Namun dia juga mendengar bahwa tentara sekutu, Belanda diboncengi Inggris, ingin kembali menguasai Indonesia. Dia pun memutuskan untuk pergi ke Jakarta.

Di Jakarta, dia mengumpulkan para pemuda dan pedagang Sulawesi guna membentuk organisasi pergerakan guna melawan tentara sekutu. Maka terbentuklah Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (GEPIS) yang kemudian berganti nama menjadi Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS). APIS kemudian menjadi suborganisasi dari Angkatan Pemuda Indonesia (API).

Apa kontribusi API dalam usaha meraih kemerdekaan? API turut serta merancang rapat besar menyambut proklamasi kemerdekaan. Rapat itu dilaksanakan di Lapangan Ikada pada 19 September 1945.

Dalam rapat yang dihadiri puluhan ribu massa itu, Kahar dengan parang dipinggangnya menjadi pengawal Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moehammad Hatta. Rapat di Ikada pun berhasil dimana Soekarno menyampaikan pidatonya yang dahsyat membakar semangat massa.

Sadar bahwa APIS ruang lingkup dan kekuatannya kecil, Kahar dan teman-temannya kemudian mendirikan organisasi yang lebih besar, yaitu Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Terpilih sebagai Ketua adalah Bart Ratulangi, sedangkan Kahar menjadi Sekretaris Umum.

Seberapa nesar kekuatan KRIS? Melalui kekuatan KRIS, Kahar berhasil bernegosiasi untuk membebaskan para tahanan di penjara Nusakambangan yang kebanyakan orang Bugis-Makassar.

Tentang KRIS, bukannya bertambah kuat, ternyata di dalam tubuhnya terjadi perpecahan dalam bentuk kelompok-kelompok, ada kelompok minahasa, ada kelompok Bugis-Makassar, dan lainnya. Realitas tersebut membuat Kahar memutuskan diri untuk keluar dari KRIS.

Kahar kemudian membentuk organisasi militer bernama Batalyon Kemajuan Indonesia (BKI). Anggotanya adalah pemuda-pemuda yang dibebaskan Kahar dari penjara Nusakambangan. BKI kemudian bernaung di bawah Tentara Republik Indonesia (TRI).

Sumber: Kahar Muzakkar, oleh A. Wanua Tangke dan Ahmad Nasyaruddin

http://sejarah.kompasiana.com/2011/06/05/abdul-qahhar-mudzakkar-berdagang-dan-menggalang-organisasi-pergerakan-dan-militer/

Abdul Qahhar Mudzakkar: Bersekutu dengan Jepang dan Terusir dari Luwu

| | | 0 komentar
Pada 1941, Kahar membawa istrinya Warlina ke Luwu. Mereka pun menetap di Palopo. Kahar kemudian bekerja membantu ayahnya dan juga mengaktifkan gerakan Hizbul Wathan Muhammadiyah. Wilayah kerajaan Luwu dijajah oleh Belanda kala itu.

Setahun kemudian, Kahar mendengar bahwa tentara Jepang mendarat di Indonesia dan telah memasuki Makassar. Jepang hendak mengambil alih kekuasaan dari Belanda.

Karena hal tersebut, pikiran strategis Kahar muncul. Dia mengumpulkan pemuda-pemuda Hizbul Wathan dan memberi arahan untuk bersekutu dengan Jepang.

“Kawan-kawan! Hari ini, saya sengaja mengumpulkan kalian di sini untuk menyampaikan informasi yang sangat penting, dan ini untuk kepentingan masa depan kita. Tentara Jepang telah masuk ke Makassar. Sekarang kita harus menentukan sikap: apakah kita menolak kedatangan mereka atau menerimanya sebagai kelanjutan penjajahan terhadap bangsa kita?”

“Menurut saya, kita tidak boleh langsung melakukan perlawanan, sebab kita tidak punya kekuatan senjata. Kita terlebih dahulu perlu bekerja sama untuk mengusir Belanda. Setelah merasa kuat, kita balik haluan melawan Jepang. Bagaimana pun, Belanda dan Jepang sama-sama penjajah. Keduanya tidak boleh dibiarkan, harus diusir!”

“Untuk itu, strategi awal kita adalah kooperatif dengan pemerintah Jepang,” Kahar memutuskan.

Kahar kemudian seorang diri menemui tentara Jepang di Makassar dan pemerintah Jepang pun bersepakat. Tentara Jepang dibantu pemuda-pemuda Palopo berhasil menangkapi orang-orang Belanda, termasuk orang-orang pribumi yang membantu Belanda.

Jepang pun mengambil alih Sulawesi (Celebes) dari Belanda. Sulawesi kemudian dijadikan sumber pangan beras yang kemudian disalurkan ke seluruh wilayah Indonesia. Kahar sendiri dipekerjakan di kantor Administrasi Jepang, Nippon Dahopu, di Makassar.

‘Tak lama, jiwa pemberontakan Kahar muncul. Apalagi Kahar menilai hubungan bangsawan Kerajaan Luwu sangat mesra dengan Jepang, sampai-sampai Raja Luwu tidak mampu melindungi rakyat jelata yang hasil panennya diperas oleh Jepang.

Langkah strategis kembali diambil Kahar, memecah kaum bangsawan di Kerajaan Luwu menjadi dua: pro Jepang dan kontra Jepang. Strategi yang kemudian dicium oleh Jepang.

Kahar pun dipecat dari Nippon Dahopu. Sebagian kaum bangsawan juga menaruh benci padanya karena telah memecah kesatuan di Kerajaan Luwu.

Karena hal tersebut, Raja Luwu pun menjatuhkan hukum adat kepada Kahar, yaitu mengusir Kahar dari Luwu atau yang dalam bahsa Bugis disebut ripaoppangi tana.

Keputusan Raja Luwu tersebut mengagetkan masyarakat Luwu karena yang pertama kalinya terjadi. Sebelumnya, tidak ada satu pun orang Luwu yang pernah diusir dari kampung halamannya.

Bagi Kahar, pengusiran tersebut sangat mengganggu harga dirinya (siri’). Dia pun berjanji -setelah terusir- akan kembali ke tanah Luwu memperlihatkan kemampuannya.

Selanjutnya, Kahar bersama istrinya kembali ke kampung halaman istrinya di Solo, Jawa Tengah.

Sumber: Kahar Muzakkar, oleh A. Wanua Tangke dan Ahmad Nasyaruddin

http://sejarah.kompasiana.com/2011/06/04/abdul-qahhar-mudzakkar-bersekutu-dengan-jepang-dan-terusir-dari-luwu/

Diktaktor Rumania : Ceauşescu dan istrinya dihukum mati

| | | 0 komentar
Lahir 26 Januari 1918 – meninggal 25 Desember 1989 pada umur 71 tahun adalah politikus Rumania yang menjadi sekjen Partai Komunis Rumania dari 1965 hingga 1989, Presiden Dewan Negara dari 1967, dan Presiden Rumania dari 1974 hingga 1989.

Awal kekuasaannya sebagai presiden Rumania ditandai dengan kebijakan terbuka terhadap Eropa Barat dan Amerika Serikat, yang berbeda dengan negara-negara Pakta Warsawa lainnya selama Perang Dingin. Dekade kedua kekuasaan Ceauşescu berciri meningkatnya pemujaan kepribadian dan hubungan yang memburuk dengan negara-negara Barat dan Uni Soviet. Rezim Ceauşescu dijatuhkan pada Desember 1989. Bersama dengan istrinya, Nicolae Ceauşescu dihukum mati.

Lahir di desa Scorniceşti, Ceauşescu pindah ke Bukares pada usia 11 tahun untuk bekerja di pabrik. Ia bergabung dengan Partai Komunis Rumania pada awal tahun 1932 dan ditangkap pada tahun 1933. Ia kembali ditangkap pada tahun 1934. Penangkapan tersebut membuatnya dijuluki "agitator komunis berbahaya" dan "penyebar propaganda komunis dan anti-fasis" dalam catatan polisi. Ceauşescu lalu bergerak diam-diam, namun kembali ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1936 selama dua tahun di Penjara Doftana karena aktivitas anti-fasis.

Setelah keluar dari penjara tahun 1940, ia bertemu dengan Elena Petrescu (menikah tahun 1946). Ceauşescu kembali ditangkap tahun 1940. Pada tahun 1943, ia dipindah ke kamp konsentrasi Târgu Jiu. Setelah Perang Dunia II, ketika Rumania mulai jatuh ke dalam pengaruh Uni Soviet, Ceauşescu menjadi sekretaris Uni Pemuda Komunis (1944–1945).

Setelah komunis berkuasa di Rumania tahun 1947, Ceauşescu menjadi Menteri Agrikultur, lalu menjadi Wakil Menteri Angkatan Bersenjata. Pada tahun 1954, Ceauşescu menjadi anggota penuh Politburo dan berhasil meraih posisi tertinggi kedua dalam hirarki partai.

Tiga hari setelah meninggalnya Gheorghiu-Dej pada Maret 1965, Ceauşescu menjadi sekjen pertama Partai Pekerja Rumania. Ia mengubah nama partai menjadi Partai Komunis Rumania, dan menyatakan Rumania sebagai Republik Sosialis Rumania. Pada tahun 1967, ia mengkonsolidasikan kekuatannya dengan menjadi presiden Dewan Negara. Pada tahun 1974, ia menjadi "Presiden Rumania".

Awalnya, Ceauşescu menjadi figur yang populer di Rumania dan Dunia Barat karena kebijakan luar negerinya yang independen. Pada tahun 1960-an, ia mengakhiri partisipasi aktif Rumania dalam Pakta Warsawa (meskipun Rumania masih merupakan anggota); menolak mengambil bagian dalam invasi Cekoslowakia 1968 oleh Pakta Warsawa, dan dengan terbuka mengutuk tindakan tersebut.

Pada tahun-tahun berikutnya, Ceauşescu mengejar kebijakan terbuka terhadap Amerika Serikat dan Eropa Barat. Rumania adalah negara komunis pertama yang mengakui Jerman Barat, bergabung dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan menerima Presiden Amerika Serikat Richard Nixon.

Pada tahun 1971, Rumania menjadi anggota General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Rumania dan Yugoslavia juga menjadi satu-satunya negara Eropa Timur yang terlibat dalam perdagangan bebas dengan European Economic Community sebelum runtuhnya blok komunis.

Ceauşescu juga berusaha melakukan mediasi terhadap konflik-konflik internasional agar Rumania memperoleh penghargaan dunia.

Ia menegosiasikan beberapa urusan internasional, seperti dibukanya hubungan AS dengan Cina tahun 1969 atau kunjungan presiden Mesir Anwar Sadat ke Israel tahun 1977. Selain itu, Rumania juga menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina.

Pada tahun 1974, ia menjadi "Presiden Rumania". Ceauşescu terus mengejar kebijakan luar negeri yang independen. Namun, ia menolak untuk melakukan reformasi liberal.

Mulai tahun 1972, Ceauşescu mencanangkan program sistematisasi yang berusaha membangun "masyarakat sosialis multilateral yang maju". Program penghancuran, pemindahan kembali dan konstruksi dimulai di pedesaan, yang memuncak pada usaha membentuk kembali ibukota negara. Berbagai gereja dan bangunan sejarah di Bukares dihancurkan tahun 1980-an untuk diganti dengan bangunan bergaya lain. Ceauşescu juga berencana menghancurkan banyak desa untuk memindahkan petani ke kota, sebagai bagian dari program "urbanisasi" dan "industrialisasi".

Pada tahun 1966, untuk meningkatkan jumlah penduduk Rumania, rezim Ceauşescu melarang aborsi dan kontrasepsi. Selain itu, diterapkan kebijakan lain untuk meningkatkan tingkat kelahiran, seperti pajak khusus bagi penduduk berusia diatas 25 tahun yang tidak mempunyai anak.

Pemerintah Rumania juga berusaha mengurangi tingkat perceraian dengan mempersulit proses perceraian.

Pada akhir tahun 1960-an, jumlah penduduk mulai meningkat, begitu pula dengan tingkat kemiskinan dan tunawisma. Selain itu, pembuangan anak menimbulkan masalah baru. Jumlah anak yatim piatu terus meningkat.

Kunjungan Ceauşescu ke Republik Rakyat Cina, Korea Utara dan Vietnam Utara tahun 1971 membuahkan inspirasi baginya. Ia tertarik dengan gagasan transformasi nasional secara penuh seperti Revolusi Kebudayaan di Cina. Ceauşescu lalu mulai meniru sistem di Korea Utara. Buku mengenai ideologi Juche Korea Utara mulai diterjemahkan dalam bahasa Rumania. Pada tanggal 6 Juni 1971, ia menyampaikan pidato yang dikenal sebagai Tezele din iulie (Theses Juli). Pada pidato tersebut, terdapat 17 proposal.
Theses ini dikatakan sebagai awal revolusi kebudayaan kecil di Rumania.

Pada tahun 1978, Ion Mihai Pacepa, anggota senior Securitate, membelot ke Amerika Serikat. Pengkhianatannya memberikan pukulan keras bagi rezim Ceauşescu. Buku Pacepa tahun 1986, Red Horizons: Chronicles of a Communist Spy Chief (ISBN 0-89526-570-2), membuka beberapa rahasia dalam rezim Ceauşescu, seperti kegiatan mata-mata terhadap industri Amerika.

Setelah pengkhianatan Pacepa, Rumania menjadi semakin terisolasi. Biro intelijen Ceauşescu menjadi subjek infiltrasi oleh intelijen asing. Ceauşescu mencoba melakukan reorganisasi, namun sia-sia.

Kebijakan luar negerinya yang independen menarik perhatian negara-negara Barat. Ceauşescu dapat meminjam uang sebesar lebih dari $13 milyar dari Barat untuk mendanai program ekonomi. Sayangnya, pinjaman ini malah menghancurkan Rumania. Untuk memperbaikinya, Ceauşescu berusaha membayar utang Rumania. Ia mengadakan referendum dan berhasil mengubah konstitusi, menambah larangan untuk meminjam uang di masa depan.

Pada tahun 1980-an, Ceauşescu memerintahkan ekspor produk agrikultur dan industri negara untuk membayar utang. Akibatnya, terjadi shortage di Rumania. Standar hidup orang Rumania terus berkurang.
Utang ini berhasil dibayar sepenuhnya pada musim panas tahun 1989 sebelum jatuhnya Ceauşescu.

Demonstrasi di kota Timişoara pecah karena usaha pemerintah Rumania untuk mengusir pastor Hongaria László Tőkés. Tőkés dituduh menghasut kebencian etnis oleh pemerintah. Anggota kongregasi etnis Hongaria mengelilingi apartemennya untuk menunjukan dukungan mereka kepada Tőkés. Pelajar Rumania lalu bergabung dalam demonstrasi, yang menyebar menjadi demonstrasi anti pemerintah. Tentara militer, polisi dan Securitate menembak demonstran pada 17 Desember 1989. Pada 18 Desember 1989, Ceauşescu berkunjung ke Iran, menyerahkan tugas meredam revolusi di Timişoara kepada subordinatnya. Pada saat kembalinya Ceauşescu pada 20 Desember, situasi menjadi semakin tegang.

Pada pagi hari tanggal 21 Desember, Ceauşescu memberikan pidatonya yang mengutuk insiden di Timişoara. Selama pidato berlangsung, banyak massa yang mengolok-olok Ceauşescu. Tiba-tiba terdengar suara bom dan senapan, dan kekacauan meletus. Ceauşescu dan istrinya panik, dan bersembunyi di dalam sebuah bangunan.
Revolusi telah menyebar ke seluruh kota-kota besar di Rumania pada 22 Desember. Ceauşescu mencoba untuk memberikan pidato pada massa yang berkumpul di depan bangunan Komite Pusat. Namun, ia ditolak dan massa mencoba masuk, sehingga Ceauşescu melarikan diri dengan helikopter.

Ceauşescu dan istrinya melarikan diri dari ibukota ke kediamannya di Snagov. Mereka lalu melarikan diri lagi ke Târgovişte. Dekat Târgovişte, mereka meninggalkan helikopter dan menggunakan jalur darat. Ceauşescu akhirnya ditangkap polisi. Pada hari Natal tanggal 25 Desember, Ceauşescu dan istrinya dihukum mati di Târgovişte.
Nicolae Ceauşescu dan istrinya Elena dimakamkan di kuburan Ghencea, Bukares.

Nicolae dan Elena Ceauşescu memiliki tiga anak: Valentin Ceauşescu (lahir 1948), Nicu Ceauşescu (1951–1996) dan Zoia Ceauşescu (1949–2006). Setelah kematian orang tuanya, Nicu Ceauşescu memerintahkan pembangunan kembali gereja Ortodoks dengan tembok yang didekorasi potret orang tuanya

sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Nicolae_Ceausescu

Dua Abad Perjalanan Para Kuli

| | | 0 komentar
Siapakah yang membangun Batavia? Siapakah yang membangun Kota Jakarta dengan peluh bercucur di bawah matahari yang marah? Mereka adalah orang-orang pantai utara (pantura) Pulau Jawa yang bekerja turun-temurun sebagai penggali tanah, pembersih gorong-gorong dan kali sejak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels memindahkan pusat kota Batavia dari kawasan Kali Besar ke kawasan Lapangan Banteng tahun 1808. Nasib mereka hingga kini tidak berubah. Tinggal di kolong-kolong jembatan layang, atau berlarian menjemput truk-truk proyek dengan cangkul, blencong, godam, pengki, dan pasak besi.

Kasmadi (56) duduk dibangku panjang, di bawah jembatan layang yang melintas persimpangan Jalan Letnan Jenderal S Parman-Jalan Kyai Tapa-Jalan Daan Mogot-Jalan Satria, Jakarta Barat (Jakbar). Tepatnya di seberang Universitas Trisakti. Sambil mengisap rokok kretek, pria asal Jepara, Jawa Tengah, yang kini menjadi juru parkir itu bercerita tentang pengalamannya merantau di Jakarta sejak 1972.

Ia mengawali hidupnya di Jakarta dengan berdagang makanan keliling. Karena pendapatan yang minim dan tak pasti, ia beralih bekerja menjadi penggali tanah, membuat saluran dan jalan tahun 1981. ”Pangkalannya ya di sini, dari sekitar persimpangan ini sampai Jalan Profesor Latumeten,” ucap Kasmadi.

Menurut dia, kawasan tersebut sejak tahun 70-an sudah menjadi pangkalan utama para pekerja penggali tanah di Jakarta. Kala itu, bila mendapat kerja harian, ia mendapat upah Rp 4.500. Sementara bila mendapat kerja borongan, ia mendapat upah sampai dua kali lipat. Kini upah mereka rata-rata Rp 80.000 sehari saat mendapat pekerjaan harian, sedangkan bila mendapat pekerjaan borongan mendapat Rp 100.000 sehari.

Memasuki era 90-an, Jakarta diwarnai hiruk-pikuk pembangunan jalan dan saluran. ”Setiap hari saya hanya tidur dua jam. Selebihnya mencangkul dan mencangkul,” ujarnya bersemangat.

Ia mengakui, orang-orang Sindang-lah yang merajai dunia para penggali tanah. ”Setiap ada proyek pembangunan saluran dan jalan di Jakarta, pasti ada puluhan orang Sindang di sana. Orang-orang Sindang seperti ditakdirkan hidup sebagai penggali tanah,” kata ayah tiga anak ini.

Orang-orang Sindang adalah orang-orang asal Desa Sindang Laut, Kecamatan Lemah Abang, Cirebon, Jawa Barat. Desa Sindang Laut terbagai dalam lima blok—Blok Manis, Blok Pahing, Blok Wage, Blok Puhun, dan Blok Kliwon. Seperti halnya sebagian orang Cirebon, orang-orang Sindang fasih berbahasa Sunda dan Jawa karena lokasi desa mereka di perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah.

Identik

Di Jakarta, orang-orang Sindang sudah lama identik dengan para pekerja penggali tanah, pembersih gorong-gorong dan kali, serta pekerja perbaikan jalan. Itu sebabnya, para pekerja seperti ini disebut sebagai kuli sindang. ”Jadi, walaupun yang jadi penggali tanah bukan orang Sindang, sebutan mereka tetap saja kuli sindang. Saya tidak tahu sejak kapan penggali tanah disebut kuli sindang,” tutur Kasmadi.

Dalam bukunya, Mesjid-mesjid Tua di Jakarta (Jakarta: Yayasan Cipta loka Caraka, 2003), Adolf Heuken SJ menulis, ”Dulu Masjid Luar Batang terletak di sebelah utara tembok kota lama. Lokasi ini sesudah pertengahan abad ke-17 diuruk dan mulai dihuni orang orang Cirebon tahun 1730. Mereka bertugas membersihkan mulut Kali Ciliwung dari lumpur supaya kapal bisa sampai ke Pasar Ikan yang letaknya tak jauh dari masjid ini."

Saat dihubungi, Sabtu (28/5/2011), Heuken menambahkan, orang-orang Cirebon itu didatangkan raja Cirebon atas permintaan pemerintah Hindia Belanda. ”Tidak ada catatan apakah orang-orang Cirebon tersebut berasal dari Desa Sindang Laut,” tuturnya. Menurut dia, orang-orang yang didatangkan ini bukan budak, tetapi pekerja karena mendapat upah.

”Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah menjadikan orang-orang Jawa dan Sunda sebagai budak sebab tidak ada perbudakan di kalangan elite Jawa dan Sunda. Yang membangun perbudakan pribumi itu antara lain kalangan elite Bali dan Bugis. Oleh karena itu, budak pribumi, antara lain berasal dari Bali dan Bugis. Orang-orang Belanda membeli para budak Bali dan Bugis dari para raja Bali dan Bugis,” ujar Heuken.

Sejarawan Jakarta, Chandrian Attahiyat, yang dihubungi terpisah, Jumat (27/5/2011), menambahkan, awalnya Batavia dibangun oleh pajak orang-orang China. Dengan pajak tersebut, VOC mengerahkan para pekerja kasar imigran China untuk membangun Batavia. Namun, setelah tahun 1802, nyaris tak ada orang-orang China yang menjadi pekerja kasar. ”Karena kerja keras, ekonomi mereka membaik. Mereka tidak lagi menjadi pekerja kasar, tetapi menjadi pedagang atau perajin,” tuturnya.

Posisi orang-orang China digantikan oleh orang-orang pantura. Mereka awalnya berasal dari Tegal, Brebes, dan Cirebon. ”Kakek saya, Wadjad, yang orang Tegal, menjadi kuli sindang. Tahun 1920 ia ikut membangun Stasiun Tanjung Priok dan satu benteng di Ancol, Jakarta Utara. Waktu saya mengadakan penggalian arkeologis di Pulau Onrust tahun 1985-1990, para penggali mengaku berasal dari Brebes. Mereka mengaku, nenek moyang mereka juga melakukan pekerjaan yang sama di Jakarta,” papar Chandrian.

Ia menjelaskan, tahun 1802 adalah tahun di mana Gubernur Jenderal Daendels memindahkan pusat kota Batavia dari kawasan Kali Besar, Jakarta Barat, hingga Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, ke Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. ”Puing bangunan kota lama dihancurkan dan dibawa untuk menguruk wilayah Lapangan Banteng. Mereka yang menghancurkan, membawa puing, menguruk, dan menggali adalah para kuli sindang itu,” ungkapnya.

Menurut dia, kuli sindang sudah sejak lama berdatangan ke Jakarta karena perjalanan bisa ditempuh lewat darat dan laut. ”Mereka awalnya datang ke Jakarta lewat laut, menyusuri pantai. Tetapi, setelah Daendels membangun Jalan Anyer-Panarukan, para kuli sindang lebih suka lewat darat.

”Kala itu kuli sindang datang ke Jakarta mencari pekerjaan sambil menunggu masa panen tiba. Mereka umumnya petani pantai yang masih memiliki sawah. Menjadi kuli sindang adalah pekerjaan sampingan mereka. Memasuki tahun 2000, orang bekerja sebagai kuli sindang karena terimpit kemiskinan akut,” ucap Chandrian.

Memberi harapan

Kembali kepada Kasmadi, sejak bekerja untuk bos asal Sindang Laut tahun 1996, ekonomi rumah tangganya bertambah cerah. Suami seorang perempuan asal Wonogiri, Jawa Tengah, ini mampu membeli dua bidang tanah dan rumah di Wonogiri. ”Saya beruntung bisa bekerja di bawah bos Johny, Endang, Uci, Totok, dan Barja. Kala itu, kelima bersaudara asal Sindang Laut ini merajai dunia kuli sindang,” ungkapnya. Namun, memasuki tahun 2000, Kasmadi kembali melarat karena redupnya pembangunan jalan dan saluran. Ia pun menjadi juru parkir.

Redupnya pembangunan di Jakarta ini juga disampaikan kuli sindang Sumari (70), Sutari (55), Tarjuli (50), Daiman (30), Darso (41), Sukirman (45), Kumaidi (70), Suryanto (55), Parminto (80), dan A'am (31) saat ditemui di kolong jembatan layang ruas Jalan Prof Latumeten, Jakbar, Sabtu (23/4/2011). Mereka berasal dari Jepara dan Brebes, Jawa Tengah. ”Pesaing kami adalah alat-alat berat, para mandor yang membawa orang-orang desanya langsung ke proyek untuk menjadi kuli sindang, serta bertambahnya jumlah kuli sindang di pangkalan ini,” kata Darso.

Meski demikian, mereka tetap bertahan menjadi kuli sindang di Jakarta. ”Yang bisa dikerjakan di kampung cuma membuat anyaman perlengkapan rumah tangga dari bambu. Itu pun sudah sulit dipasarkan karena tersaing produk plastik,” kata A’am. Menurut dia, dengan membuat anyaman, sebulan ia cuma mendapat penghasilan Rp 150.000. Sementara bila bekerja sebagai kuli sindang, ia dan teman-temannya sekurangnya masih mendapat upah Rp 500.000 setiap bulan. Tak heran bila mereka berani bertahan tinggal di kolong jembatan hingga dua bulan menunggu tawaran pekerjaan.

Wakil Ketua Forum Warga Kota Jakarta Ari Subagyo Wibowo yang dihubungi hari Minggu (24/4/2011) mengatakan, meski kesempatan bekerja sebagai kuli sindang kian sulit, jumlah kuli sindang bukan semakin surut, melainkan justru semakin bertambah. Lebih-lebih setelah becak dilarang di Jakarta. Lapangan kerja bagi kaum akar rumput di Jakarta kian sempit. Meski demikian, seperti disampaikan A’am, Jakarta masih lebih memberi harapan mengais rezeki.

Ketimpangan pembangunan

Menurut Ari, kisah kuli sindang mencerminkan ketimpangan pembangunan desa-kota akibat model pembangunan yang terkonsentrasi dan bertumpu pada kegiatan para pemodal besar. Ketimpangan ini membuat kemiskinan makin meluas.

”Solusinya bukan pada aspek pemberdayaan yang berskala mikro, tetapi terutama pada perubahan sistem ekonomi makro dan model pembangunan yang memihak kaum miskin. Selama model pembangunan di Indonesia masih seperti itu, kedatangan kaum urban miskin dari daerah ke kota-kota besar tak bisa dihindari dan ditekan,” ucapnya.

Salah seorang tokoh hak asasi manusia di Indonesia, Salahuddin Wahid (69), mengatakan, kehadiran kuli sindang selama dua abad lebih di Jakarta menunjukkan, ”Ada yang salah dari cara bangsa ini melaksanakan hidup beriman mereka”. Ia mengkritik penyelesaian persoalan kemiskinan dengan cara-cara karitatif atau ritual keagamaan.

”Berzakat itu baik, umrah pun baik, tetapi akan lebih baik bila umat Islam mendengar hadis Nabi yang bunyinya, ’Imanmu belum sempurna bila tetanggamu masih ada yang tak bisa makan’. Saya menafsirkannya, kaum beriman yang benar adalah mereka yang mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan, kebodohan, dan pendidikan bangsanya secara menyeluruh,” kata adik kandung almarhum Abdurrahman Wahid itu saat dihubungi terpisah, Minggu (24/4/2011).

Perbaikan menyeluruh, lanjutnya, hanya bisa dilakukan lewat pendekatan struktural dalam membangun Indonesia. ”Dengan pendekatan seperti ini akan nyata benar apa yang disampaikan Nabi bahwa ’Ibadahmu adalah kerja, dan kerjamu adalah ibadah’. Bekerja produktif, bekerja bersih, jauh dari korupsi,” tutur Salahuddin. (Windoro Adi)


C. Windoro AT.
Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/05/30/18465569/Dua.Abad.Perjalanan.Para.Kuli

Soekarno Lahir di Surabaya

| | | 0 komentar
Budayawan asal Blitar, Jawa Timur, Andreas Edison, membenarkan jika Presiden pertama RI, Soekarno, memang lahir di Surabaya, bukan di Blitar.

"Kalau merunut sejarah, memang beliau lahir di Surabaya. Kalau di Blitar, itu karena memang mengikuti orangtua dan untuk menempuh pendidikan," katanya di Blitar, Rabu (1/6/2011).

Ia mengemukakan hal itu dalam menanggapi rencana pemasangan prasasti di rumah kelahiran Soekarno di Jalan Pandean IV/40 Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juni mendatang.

Menurut Andreas, sekolah Bung Karno juga bukan hanya di Blitar, melainkan pernah juga di Tulungagung. Saat itu, usianya baru enam tahun.

Ditanya mengapa Bung Karno sampai sekolah di Tulungagung, Andreas yang juga anggota KPU Kota Blitar selama dua periode itu mengatakan, jika saat kecil Bung Karno sering sakit, maka ia dibawa ke kakeknya. Kakeknya yang bernama Hardjodikrama dan tinggal di Tulungagung dikenal mempunyai ilmu kebatinan.

"Setelah dibawa ke rumah kakeknya, dia sempat sembuh, lalu dibawa pulang ke Blitar, lalu sakit lagi. Namun setelah dibawa ke Tulungaung, ia kembali sembuh hingga akhirnya sekolah di tempat itu," katanya.

Ia juga menyebut bahwa umur 12 tahun, Bung Karno juga pindah ke Mojokerto untuk sekolah di lembaga pendidikan milik orang-orang Belanda, setelah lulus angka I (semacam pendidikan dasar), hingga kembali melanjutkan sekolah di Hoogere Burger School (HBS) yang didirikan HOS Tjokroaminoto.

"Bung Karno juga pernah sekolah di Surabaya saat menempuh pendidikan semacam sekolah menengah atas (SMA) dan kontrak di rumah HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh, Surabaya," katanya.

Oleh karena itu, ia mendukung rencana Peter A Rohi, Ketua Umum Soekarno Institute, yang akan memasang prasasti di rumah kelahiran Bung Karno di Jalan Pandean IV/40 Surabaya.

"Soekarno itu dibuatkan patung di mana saja tetap layak karena memang bumi Bung Karno itu milik Indonesia. Di Bengkulu juga punya, apalagi di Surabaya," katanya.

Pihaknya tidak khawatir jika rencana pembuatan prasasti itu berpengaruh pada turunnya jumlah wisatawan di Blitar. Ia menyebut, Blitar tetap akan menjadi bagian dari Bung Karno karena makamnya ada di Blitar.

Sebuah prasasti akan dipasang di rumah kelahiran Presiden pertama Indonesia tersebut pada 6 Juni mendatang. Jalan yang sekarang berubah menjadi Jalan Pandean IV/40, Surabaya, tersebut semula merupakan rumah kontrakan keluarga Bung Karno dengan nama Jalan Lawang Seketeng.

Rencana pemasangan prasasti oleh Soekarno Institute sengaja digelar pada 6 Juni 2011 karena disamakan dengan tanggal kelahiran Soekarno, yakni 6 Juni 1901.


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/06/02/02382730/Budayawan.Soekarno.Lahir.di.Surabaya

Sadis, Lempar Perempuan dari Pesawat Terbang

| | | 0 komentar
Pengadilan Argentina menjatuhkan hukuman kepada tiga mantan pejabat militer atas tuduhan pembunuhan sadis terhadap lima perempuan selama 'Perang Kotor' di negara itu. Pembunuhan dilakukan dengan melempar para perempuan yang masih hidup dari pesawat yang tengah mengudara.

'Perang Kotor' mengacu pada pembersihan terhadap warga negara pembangkang yang dilakukan pemerintahan militer Argentina antara 1976 dan 1983.

Berdasarkan pernyataan yang dikeluarkan pengadilan, para terdakwa dituduh terlibat dalam sejumlah 'penerbangan maut'. Hakim Sergio Torres telah menjatuhkan hukuman penjara kepada ketiga terdakwa sekaligus membekukan asetnya.

Mereka yang menjadi korban pembunuhan antara lain, seorang biarawati asal Prancis, Suster Leonie Duquet, dan empat perempuan yang tergabung dalam 'Ibu-ibu dari Plaza de Mayo', kelompok pejuang hak asasi manusia yang didirikan para perempuan keluarga korban pembunuhan atau korban hilang selama kediktatoran militer.

Rezim militer menculik Duquet dan biarawati lain asal Prancis, Alice Domon, pada Desember 1977. Dalam operasi yang sama, mereka juga menculik 10 perempuan anggota kelompok Plaza de Mayo, termasuk sang pendiri, Azucena Villaflor.

Terkubur sejak 1978, sisa-sisa jasad Duquet, Villaflor dan tiga perempuan lain, teridentifikasi pada 2005. Sementara itu, jasad Domon tidak pernah ditemukan.

Kelompok hak asasi manusia setempat mengatakan bahwa ratusan korban era kediktatoran militer dibunuh dengan cara dilempar hidup-hidup ke laut dari pesawat yang sedang mengangkasa. Sementara itu, 5.000 lainnya juga dibunuh dan disiksa di Sekolah Mekanik Angkatan Laut the Naval Mechanics School (ESMA).

Pengusutan kasus kejahatan perang di masa lampau itu telah dimulai sejak awal 2009 dan diharapkan akan berakhir pada beberapa bulan ke depan.

Salah satu yang tengah menghadapi dakwaan pengadilan adalah Alfredo Astiz. Pria 59 tahun yang memiliki julukan 'Malaikat Maut' ini dituduh bertanggung jawab atas kematian Duquet dan Domon. Saat perang, ia bertugas menyusup ke kelompok Plaza de Mayo untuk memilih target yang akan diculik.

Berdasar data pemerintah setempat, sedikitnya 9.000 orang diculik, disiksa dan dibunuh dalam apa yang dikenal sebagai 'perang kotor' di Argentina. Namun, sejumlah aktivis percaya jumlah korban mencapai 30 ribu orang. (art)

www.vivanews.com
http://dunia.vivanews.com/news/read/224433-sadis--lempar-wanita-dari-pesawat-terbang

Hamza, Bocah 13 Tahun yang Jadi Martir Suriah

| | | 0 komentar
Foto Hamza menunjukkan raut wajah yang lembut, tanpa dosa, pipinya tembem. Namun, meski sudah dimandikan dan ditaburi kelopak bunga mawar, tanda-tanda kekerasaan tidak bisa disembunyikan di tubuhnya.

Peluru menembus badannya, lehernya patah, lututnya lepas dan alat vitalnya dimutilasi. Anak itu bernama Hamza Ali al-Khateeb, 13 tahun. Ia tewas sebagai martir.

Hamza adalah korban termuda penindasan kejam tentara Suriah terhadap para demonstran yang mencoba menggulingkan Presiden Bashar al-Assad.

Keluarganya belum mau berkomentar soal nasib tragisnya, namun, mereka mengunggah rekaman mayatnya di situs YouTube, lengkap dengan keterangan detil luka-luka mengerikan di tubuhnya. Karena itulah, ayah Hamza ditahan aparat Minggu lalu. Hingga kini keberadaannya belum diketahui.

Dalam video tersebut ditunjukkan, dua peluru menembus dua lengan Hamza sampai dada. "Lihat bukti-bukti kekejaman ini, kata narator video itu. "Lihat memar di wajahnya."

Hamza ditangkap aparat dalam sebuah aksi protes di Jiza, sebuah desa di provinsi yang membangkang, Dar'a di Suriah, 29 April 2011 lalu. Selama berbulan-bulan keluarganya menunggu dia pulang, sembari dilanda kecemasan, nasib apa yang akan menimpanya.

Hamza akhirnya pulang. Tanpa nyawa. Keluarganya makin miris melihat tubuhnya yang rusak -- bukti kekejaman yang dialaminya. Di tengah luka-luka sundutan rokok, terlihat juga dua luka akibat tertembus peluru. Namun, tak pasti apa yang membuat nyawanya melayang.

Tak hanya keluarganya yang berduka, masyarakat pun terluka. Tak heran, jika kemudian bocah ini menjadi simbol kuat pemberontakan di Suriah.

Ribuan pengunjuk rasa yang turun ke jalan Kota Damaskus yang sebelumnya dilumuri darah, meneriakkan namanya. Sementara, anak-anak di Aleppo memanjat atap-atap rumah untuk merayakan 'Hari Hamza'.

Tak hanya itu, di Kota Hama, 116 mil dari ibu kota, kerumunan besar demonstran memadati alun-alun utama kota, membawa foto Hamza.

Video kematian Hamza yang menyebar di internet dan kemudian disiarkan di stasiun televisi, Al Jazeera -- membuat kemarahan rakyat Suriah makin bergolak.

Di laman jejaring sosial, muncul grup 'We are all Hamza Ali al-Khateeb, the Child Martyr' atau 'Kami Semua adalah Hamza Ali al-Khateeb, Bocah yang Menjadi Martir'. Grup ini sudah menjaring 58.000 pendukung, sementara versi Bahasa Inggrisnya meraup 3.000 pendukung.

Radwan Ziade, aktivis hak asasi manusia yang kini hidup dalam pelarian mengatakan pada Washington Post, Hamza adalah simbol Revolusi Suriah. "Kematiannya adalah tanda kekejaman sadistis rezim Assad dan aparatnya," kata dia.

"Kekejaman, penyiksaan, adalah hal yang biasa di Suriah. Ini bukan hal baru atau aneh. Tapi yang membuat Hamza spesial, ia tewas mengenaskan di usia 13 tahun. Ia masih anak-anak."

Gejolak penggulingan President Bashar al-Assad kini memasuki minggu ketujuh. Jurnalis asing dilarang keras masuk ke negara itu. (Daily Mail, umi)

www.vivanews.com
http://dunia.vivanews.com/news/read/223952-hamza--bocah-13-tahun-yang-jadi-martir-suriah

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?