Siapakah yang membangun Batavia? Siapakah yang membangun Kota Jakarta dengan peluh bercucur di bawah matahari yang marah? Mereka adalah orang-orang pantai utara (pantura) Pulau Jawa yang bekerja turun-temurun sebagai penggali tanah, pembersih gorong-gorong dan kali sejak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels memindahkan pusat kota Batavia dari kawasan Kali Besar ke kawasan Lapangan Banteng tahun 1808. Nasib mereka hingga kini tidak berubah. Tinggal di kolong-kolong jembatan layang, atau berlarian menjemput truk-truk proyek dengan cangkul, blencong, godam, pengki, dan pasak besi.
Kasmadi (56) duduk dibangku panjang, di bawah jembatan layang yang melintas persimpangan Jalan Letnan Jenderal S Parman-Jalan Kyai Tapa-Jalan Daan Mogot-Jalan Satria, Jakarta Barat (Jakbar). Tepatnya di seberang Universitas Trisakti. Sambil mengisap rokok kretek, pria asal Jepara, Jawa Tengah, yang kini menjadi juru parkir itu bercerita tentang pengalamannya merantau di Jakarta sejak 1972.
Ia mengawali hidupnya di Jakarta dengan berdagang makanan keliling. Karena pendapatan yang minim dan tak pasti, ia beralih bekerja menjadi penggali tanah, membuat saluran dan jalan tahun 1981. ”Pangkalannya ya di sini, dari sekitar persimpangan ini sampai Jalan Profesor Latumeten,” ucap Kasmadi.
Menurut dia, kawasan tersebut sejak tahun 70-an sudah menjadi pangkalan utama para pekerja penggali tanah di Jakarta. Kala itu, bila mendapat kerja harian, ia mendapat upah Rp 4.500. Sementara bila mendapat kerja borongan, ia mendapat upah sampai dua kali lipat. Kini upah mereka rata-rata Rp 80.000 sehari saat mendapat pekerjaan harian, sedangkan bila mendapat pekerjaan borongan mendapat Rp 100.000 sehari.
Memasuki era 90-an, Jakarta diwarnai hiruk-pikuk pembangunan jalan dan saluran. ”Setiap hari saya hanya tidur dua jam. Selebihnya mencangkul dan mencangkul,” ujarnya bersemangat.
Ia mengakui, orang-orang Sindang-lah yang merajai dunia para penggali tanah. ”Setiap ada proyek pembangunan saluran dan jalan di Jakarta, pasti ada puluhan orang Sindang di sana. Orang-orang Sindang seperti ditakdirkan hidup sebagai penggali tanah,” kata ayah tiga anak ini.
Orang-orang Sindang adalah orang-orang asal Desa Sindang Laut, Kecamatan Lemah Abang, Cirebon, Jawa Barat. Desa Sindang Laut terbagai dalam lima blok—Blok Manis, Blok Pahing, Blok Wage, Blok Puhun, dan Blok Kliwon. Seperti halnya sebagian orang Cirebon, orang-orang Sindang fasih berbahasa Sunda dan Jawa karena lokasi desa mereka di perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah.
Identik
Di Jakarta, orang-orang Sindang sudah lama identik dengan para pekerja penggali tanah, pembersih gorong-gorong dan kali, serta pekerja perbaikan jalan. Itu sebabnya, para pekerja seperti ini disebut sebagai kuli sindang. ”Jadi, walaupun yang jadi penggali tanah bukan orang Sindang, sebutan mereka tetap saja kuli sindang. Saya tidak tahu sejak kapan penggali tanah disebut kuli sindang,” tutur Kasmadi.
Dalam bukunya, Mesjid-mesjid Tua di Jakarta (Jakarta: Yayasan Cipta loka Caraka, 2003), Adolf Heuken SJ menulis, ”Dulu Masjid Luar Batang terletak di sebelah utara tembok kota lama. Lokasi ini sesudah pertengahan abad ke-17 diuruk dan mulai dihuni orang orang Cirebon tahun 1730. Mereka bertugas membersihkan mulut Kali Ciliwung dari lumpur supaya kapal bisa sampai ke Pasar Ikan yang letaknya tak jauh dari masjid ini."
Saat dihubungi, Sabtu (28/5/2011), Heuken menambahkan, orang-orang Cirebon itu didatangkan raja Cirebon atas permintaan pemerintah Hindia Belanda. ”Tidak ada catatan apakah orang-orang Cirebon tersebut berasal dari Desa Sindang Laut,” tuturnya. Menurut dia, orang-orang yang didatangkan ini bukan budak, tetapi pekerja karena mendapat upah.
”Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah menjadikan orang-orang Jawa dan Sunda sebagai budak sebab tidak ada perbudakan di kalangan elite Jawa dan Sunda. Yang membangun perbudakan pribumi itu antara lain kalangan elite Bali dan Bugis. Oleh karena itu, budak pribumi, antara lain berasal dari Bali dan Bugis. Orang-orang Belanda membeli para budak Bali dan Bugis dari para raja Bali dan Bugis,” ujar Heuken.
Sejarawan Jakarta, Chandrian Attahiyat, yang dihubungi terpisah, Jumat (27/5/2011), menambahkan, awalnya Batavia dibangun oleh pajak orang-orang China. Dengan pajak tersebut, VOC mengerahkan para pekerja kasar imigran China untuk membangun Batavia. Namun, setelah tahun 1802, nyaris tak ada orang-orang China yang menjadi pekerja kasar. ”Karena kerja keras, ekonomi mereka membaik. Mereka tidak lagi menjadi pekerja kasar, tetapi menjadi pedagang atau perajin,” tuturnya.
Posisi orang-orang China digantikan oleh orang-orang pantura. Mereka awalnya berasal dari Tegal, Brebes, dan Cirebon. ”Kakek saya, Wadjad, yang orang Tegal, menjadi kuli sindang. Tahun 1920 ia ikut membangun Stasiun Tanjung Priok dan satu benteng di Ancol, Jakarta Utara. Waktu saya mengadakan penggalian arkeologis di Pulau Onrust tahun 1985-1990, para penggali mengaku berasal dari Brebes. Mereka mengaku, nenek moyang mereka juga melakukan pekerjaan yang sama di Jakarta,” papar Chandrian.
Ia menjelaskan, tahun 1802 adalah tahun di mana Gubernur Jenderal Daendels memindahkan pusat kota Batavia dari kawasan Kali Besar, Jakarta Barat, hingga Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, ke Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. ”Puing bangunan kota lama dihancurkan dan dibawa untuk menguruk wilayah Lapangan Banteng. Mereka yang menghancurkan, membawa puing, menguruk, dan menggali adalah para kuli sindang itu,” ungkapnya.
Menurut dia, kuli sindang sudah sejak lama berdatangan ke Jakarta karena perjalanan bisa ditempuh lewat darat dan laut. ”Mereka awalnya datang ke Jakarta lewat laut, menyusuri pantai. Tetapi, setelah Daendels membangun Jalan Anyer-Panarukan, para kuli sindang lebih suka lewat darat.
”Kala itu kuli sindang datang ke Jakarta mencari pekerjaan sambil menunggu masa panen tiba. Mereka umumnya petani pantai yang masih memiliki sawah. Menjadi kuli sindang adalah pekerjaan sampingan mereka. Memasuki tahun 2000, orang bekerja sebagai kuli sindang karena terimpit kemiskinan akut,” ucap Chandrian.
Memberi harapan
Kembali kepada Kasmadi, sejak bekerja untuk bos asal Sindang Laut tahun 1996, ekonomi rumah tangganya bertambah cerah. Suami seorang perempuan asal Wonogiri, Jawa Tengah, ini mampu membeli dua bidang tanah dan rumah di Wonogiri. ”Saya beruntung bisa bekerja di bawah bos Johny, Endang, Uci, Totok, dan Barja. Kala itu, kelima bersaudara asal Sindang Laut ini merajai dunia kuli sindang,” ungkapnya. Namun, memasuki tahun 2000, Kasmadi kembali melarat karena redupnya pembangunan jalan dan saluran. Ia pun menjadi juru parkir.
Redupnya pembangunan di Jakarta ini juga disampaikan kuli sindang Sumari (70), Sutari (55), Tarjuli (50), Daiman (30), Darso (41), Sukirman (45), Kumaidi (70), Suryanto (55), Parminto (80), dan A'am (31) saat ditemui di kolong jembatan layang ruas Jalan Prof Latumeten, Jakbar, Sabtu (23/4/2011). Mereka berasal dari Jepara dan Brebes, Jawa Tengah. ”Pesaing kami adalah alat-alat berat, para mandor yang membawa orang-orang desanya langsung ke proyek untuk menjadi kuli sindang, serta bertambahnya jumlah kuli sindang di pangkalan ini,” kata Darso.
Meski demikian, mereka tetap bertahan menjadi kuli sindang di Jakarta. ”Yang bisa dikerjakan di kampung cuma membuat anyaman perlengkapan rumah tangga dari bambu. Itu pun sudah sulit dipasarkan karena tersaing produk plastik,” kata A’am. Menurut dia, dengan membuat anyaman, sebulan ia cuma mendapat penghasilan Rp 150.000. Sementara bila bekerja sebagai kuli sindang, ia dan teman-temannya sekurangnya masih mendapat upah Rp 500.000 setiap bulan. Tak heran bila mereka berani bertahan tinggal di kolong jembatan hingga dua bulan menunggu tawaran pekerjaan.
Wakil Ketua Forum Warga Kota Jakarta Ari Subagyo Wibowo yang dihubungi hari Minggu (24/4/2011) mengatakan, meski kesempatan bekerja sebagai kuli sindang kian sulit, jumlah kuli sindang bukan semakin surut, melainkan justru semakin bertambah. Lebih-lebih setelah becak dilarang di Jakarta. Lapangan kerja bagi kaum akar rumput di Jakarta kian sempit. Meski demikian, seperti disampaikan A’am, Jakarta masih lebih memberi harapan mengais rezeki.
Ketimpangan pembangunan
Menurut Ari, kisah kuli sindang mencerminkan ketimpangan pembangunan desa-kota akibat model pembangunan yang terkonsentrasi dan bertumpu pada kegiatan para pemodal besar. Ketimpangan ini membuat kemiskinan makin meluas.
”Solusinya bukan pada aspek pemberdayaan yang berskala mikro, tetapi terutama pada perubahan sistem ekonomi makro dan model pembangunan yang memihak kaum miskin. Selama model pembangunan di Indonesia masih seperti itu, kedatangan kaum urban miskin dari daerah ke kota-kota besar tak bisa dihindari dan ditekan,” ucapnya.
Salah seorang tokoh hak asasi manusia di Indonesia, Salahuddin Wahid (69), mengatakan, kehadiran kuli sindang selama dua abad lebih di Jakarta menunjukkan, ”Ada yang salah dari cara bangsa ini melaksanakan hidup beriman mereka”. Ia mengkritik penyelesaian persoalan kemiskinan dengan cara-cara karitatif atau ritual keagamaan.
”Berzakat itu baik, umrah pun baik, tetapi akan lebih baik bila umat Islam mendengar hadis Nabi yang bunyinya, ’Imanmu belum sempurna bila tetanggamu masih ada yang tak bisa makan’. Saya menafsirkannya, kaum beriman yang benar adalah mereka yang mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan, kebodohan, dan pendidikan bangsanya secara menyeluruh,” kata adik kandung almarhum Abdurrahman Wahid itu saat dihubungi terpisah, Minggu (24/4/2011).
Perbaikan menyeluruh, lanjutnya, hanya bisa dilakukan lewat pendekatan struktural dalam membangun Indonesia. ”Dengan pendekatan seperti ini akan nyata benar apa yang disampaikan Nabi bahwa ’Ibadahmu adalah kerja, dan kerjamu adalah ibadah’. Bekerja produktif, bekerja bersih, jauh dari korupsi,” tutur Salahuddin. (Windoro Adi)
C. Windoro AT.
Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/05/30/18465569/Dua.Abad.Perjalanan.Para.Kuli
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar