Don’t come to Bandung, if you left a wife at home” (Jangan datang ke Bandung, bila kautinggalkan istrimu di rumah) merupakan motto parawisata di kota Bandung tempo doeloe. Kalau sudah tiba di Bandung, banyak turis “kecantol” hatinya pada kota yang dihuni banyak mojang kutilang ayu (kuning, tinggi, langsing, ayu) dan keindahan kota Bandung mampu menyihir sang turis sehingga melupakan istrinya di rumah. Weleh….
Kota Bandung relatif muda dibanding Sumedang, Cirebon atau Cianjur, cobalah simak: “Aen een negrije genaemt Bandong bestanende uijt 25 a 30 huysen” (Ada sebuah negeri dinamakan Bandong yang terdiri atas 25 sampai 30 rumah”. Demikian tulis seorang petualang Juliaen de Silva tahun 1641 seperti dipaparkan Haryoto Kunto, kuncen Kota Bandung dalam bukunya “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”. Buku Kunto dijadikan rujukan berbagai referensi mengenai Kota Bandung (SD Ed. 470). Menurut keterangan Prof. Dr. EC Godee Molsbergen (1935), Landasarchivaris (Arsip Belanda) di Batavia, dari data ditemukan mungkin Juliaen da Silva orang asing pertama keluyuran di wilayah Bandung.
Daerah Bandung di kalangan pribumi abad ke-17 lebih dikenal dengan sebutan “Tatar Ukur”. Tahun 1628, Tumenggung Bahureksa dan Dipatiukur diserahi tugas Sultan Agung Mataram untuk menggempur benteng Belanda di Batavia. Daerah “Tak bertuan” ini mulai dicurigai Belanda, kehadiran da Silva patut dicurigai sebagai mata-mata Kompeni. Baru tahun 1741, Kompeni menempatkan seorang serdadunya, bernama Arie Top berpangkat Kopral mirip Babinsa, dengan wilayah hampir meliputi skogar Bandung-Cimahi sekarang. Tahun 1742, orang Eropa ke Bandung bertambah lagi 3 orang Belanda lainnya, Ronde dan Jan Geysbergen dan seorang serdadu Belanda buangan dari Batavia. Sukses usaha penggergajian kayu membuatnya kaya raya, membuat berduyun-duyun orang Eropa datang ke Bandung dan daerah ini dijuluki “Paradise in Exile” (Surga dalam Pembuangan).
Bila di pertengahan abad 18, jalan dari Batavia menuju ke pedalaman Priangan masih menggunakan perahu melewati S. Citarum dan Cimanuk, maka tahun 1786, jalan setapak bisa dilewati kuda mulai menghubungkan Batavia- Cianjur – Bandung. Keterangan ini didapat dari catatan perjalanan Prof. Dr. ECG Molsbergen (1935). Gubernur Jenderal Herman Willems Daendels (1808-1811) membuat Jalan Raya Pos (Groote Postweg) Anyer-Panarukan melalui Bandung. Surat perintah Daendels tanggal 25 September 2010 tentang pembangunan sarana di daerah ini kemudian dijadikan Hari Jadi Kota Bandung, dari sebelumnya 1 April. (mengacu pembentukan kota 1 April 1906). Kota Bandung semakin ramai saat dibukanya rel kereta api Batavia-Bandung lewat Cianjur (1884), kemudian disusul Bandung-Yogya-Surabaya (1894) dan Batavia-Bandung via Purwakarta (1900).
Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC (1779), Kabupaten Bandung beribukota di Karapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.
Letaknya yang strategis dan berkembang pesat mendorong Pemerintah Hindia Belanda (1856) untuk memindahkan Ibukota Keresiden Priangan dari Cianjur ke Bandung. Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Pada waktu itu yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).
Pemerintah Kabupaten Bandung semasa Bupati R.A.A Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan daerah otonom. Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi (Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 semasa Gubernur Jenderal JB Van Heutz, Bandung ditetapkan sebagaigemeente (kotapraja) yang berpemerintahan otonom. Semula Gemeente Bandung. Dipimpin oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gemeenteraad), tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh burgemeester(walikota).
Parijs van Java, Europe in de Tropen
Peranan kaum “preangerplanter” sangat dominan dalam membangun kota ini. Pada masa itu komoditi perkebunan merupakan hasil ekspor laku keras di pasar dunia yang membuat “hujan duit” bagi pengusaha perkebunan dan kota Bandung kecipratan rejeki, karena mereka semakin royal membelanjakan uangnya.
Kota Bandung pun menjadi surga belanja dan wisata di tempo dulu. Bisa dibayangkan, 200.000 turis berkunjung ke kota ini, padahal jumlah penduduk Bandung saat itu hanya 226.877 jiwa (1941). Perkumpulan “Bandoeng Vooruit” banyak sekali berjasa dalam membangun kota hingga dijuluki Parijs van Java atau “Europa in de Tropen” (Eropa di daerah Tropis).
Sejak zaman dulu Bandung dikenal surga belanja dan wisata seantero Nusantara. Braga dikenal sebagai Kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Nusantara. Wisatawan pun menghabiskan waktunya makan-makan dan tetirah di sejumlah restoran atau menonton bioskop dan pagelaran seni berkelas. Pohon-pohon di kota Bandung sangat rindang dan udara sejuk membuat pejalan kaki tak cepat lelah. Ada obyek wisata Kebun Binatang, Pemandian Dago dan Cihampelas, Dago Tea Huis atau Situ Garunggang.
Di Lapang Tegallega, setiap bulan Juni-Juli diadakan Balap Kuda dan Bursa Tahunan. Kota Bandung menjadi gegap gempita, karena orang se-Bandung tumplek di sini. Dari pribumi udik sampai Belanda totok-gerot, ada di gelanggang pacuan kuda. Yang paling menarik dandanan kaum wanita, baik pribumi maupun Eropa, saling pamer mode baru pakaian, dandanan rambut, topi, payung, selop sampai kelom geulis sebagai bahan jorjoran.
Gaya Renaisance ditemui pada konsep ruang terbuka dengan hadirnya taman indah dan asri taman-taman (park), lapang terbuka (plein) atau boulevard seperti Paris sebenarnya. Taman kota itu di antaranya Pieters Park (Taman Merdeka), Ijzerman Park (Taman Ganeca), Molukken Park (Taman Maluku), Insulinde Park (Taman Nusantara),Jubileum Park (Taman Sari), dan lain-lain.
Kota Bandung pernah dijuluki “kota konferensi” tempat wisata turis intelektual. Technische Hoogeschool te Bandoeng disingkat TH cikal bakal ITB dengan gaya arsitek dibangun sebagai pusat studi teknik di tanah air berdiri 1920. Bandung dipilih tuan rumah pusat pertemuan ilmiah seperti Fourth Pasific Science Congress tahun 1929. Sebelumnya Natuur Wetenschappelijk Congres II (1922) dan Kongres Teh Dunia (1924). Di Bandung sudah dilengkapi Balai Penyelidikan Teh dan Kina, Laboratorium PTT, Bandoeng Botanisch Park, Museum Geologi, Peneropongan Bosscha terkenal di belahan bumi selatan, juga Institut Pasteur dengan lab pemberantasan cacar terbesar di Asia. Pengalaman ini tak salah bila Bandung sumber inspirasi penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di tahun 1955.
Fasilitas umum Kota Bandung telah lebih maju. Pembangkit listrik kecil di Dago ditambah dari Sentral Lamajang (Cisangkuy) membuat di waktu malam kota Bandung bermandikan cahaya lampu jalanan dipasang hingga pelosok kota. Tanggal 5 Mei 1923 resmi dibuka hubungan “Radio Telepon” dari Nusantara ke Negeri Belanda berjarak 12.000 km. Stasiun Pemancar Radio Telepon dibangun di lereng Gunung Malabar. Begitu pula akses pembukaan penerbangan udara “Andir” dilakukan perusahaan KNILM tanggal 1 November 1928 membuka jalur Bandung-Batavia. Tahun 1930 dibuka hubungan jalur udara ke Surabaya, Semarang, Palembang dan Singapura.
Semasa Gubernur Jenderal JP Graaf van L Stirum Bandung direncanakan menjadi ibukota negara Hindia-Belanda. Bandung berada di ketinggian 730 meter di atas permukaan laut layak disebut pemukiman cantik dan paling sehat di Nusantara. Usul itu mulai dilaksanakan pemerintah kolonial mulai tahun 1920. Pihak pertama menyambut ide ini adalah para pengusaha swasta dan perusahaan internasional ikut “boyong” ke kota Bandung.
Adapun instansi pemerintah yang menyusul pindah yakni SS (Jawatan Kereta Api Negara), PTT (Pos dan Telepon Telegraf), GB (terdiri Dinas PU, Geologi dan Metrologi) menempati Gedong Sate. Kemudian pindah pula Departemen Perdagangan dari Bogor, Lembaga Keuangan dan Lembaga Penelitian Cacar dan bergabung dengan Institut Pasteur di Bandung. Disusul D.V.O (Kementrian Peperangan) memindahkan personilnya sejak tahun 1916. Begitupula ACW atau pabrik senjata (Pindad) dialihkan dari Surabaya sejak 1898 dan rampung tahun 1920. Adapun instansi yang belum memindahkan kantor pusatnya ke Bandung cuma: Departemen Dalam negeri, Departemen Pendidikan dan Pengajaran dan Volksraad.
Kota Bandung secara resmi mendapat status gemeente (kota) dari Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz pada tanggal 1 April 1906 dengan luas wilayah waktu itu sekitar 900 ha, dan bertambah menjadi 8.000 ha di tahun 1949. Berdasarkan PP No. 16 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Bandung dan Kab. Bandung, maka wilayah Kota Bandung bertambah dua wilayah yakni wilayah Ujungberung dan Gedebage serta mendapat tambahan desa-desa sekitarnya di sebelah utara jalan tol menjadi 17.000 ha. Langkah ini sebagai usaha pemenuhan kebutuhan ruang untuk kegiatan pembangunan dan mengantisipasi pesatnya pertumbuhan kota sebagai ibukota propinsi dengan jumlah penduduk mencapai 2,5 juta jiwa.
Ayo ke Bandung, tapi jangan lupa bawa keluarga!! (**)
0 komentar:
Posting Komentar