SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Mars Berdarah di Filipina : 10-4-1942

| | | 1 komentar
Pada 70 tahun yang lalu, Perang Dunia Kedua di Filipina mengalami episode paling berdarah. Sehari setelah Pulau Luzon jatuh ke tangan Jepang, sebanyak 75.000 tentara Filipina dan Amerika yang tertangkap di Semenanjung Bataan dipaksa menjalani mars panjang, atau perjalanan jauh dari satu tempat ke tempat lain dengan berjalan kaki, menuju kamp tahanan di dekat Kota Cabanatuan.

Menurut stasiun televisi The History Channel, perjalanan itu dikenal sebagai "Mars Kematian Bataan." Para tahanan dipaksa jalan kaki sepanjang 85 mil, atau sekitar 136 km dalam waktu enam hari.

Selama perjalanan, mereka hanya sekali diberi makan nasi bungkus oleh pasukan Jepang. Itulah sebabnya, di akhir perjalanan, ratusan tentara Amerika dan banyak lagi warga Filipina meregang nyawa.

Ini merupakan salah satu kekejaman pasukan Jepang yang terekam dalam sejarah. Sehari setelah mengebom pangkalan Angkatan Laut AS Pearl Harbor di Hawaii pada 7 Desember 1941, Jepang memulai invasi ke Filipina dan negara-negara lain di Asia.

Dalam sebulan, Jepang berhasil menaklukan Ibukota Manila. Pasukan AS dan Filipina di Pulau Luzon dipaksa mundur ke Semenanjung Bataan. Mereka hanya bertahan tiga bulan sebelum akhirnya menyerah karena terkena bencana kelaparan dan wabah penyakit.

Di bawah tahanan Jepang, penderitaan mereka pun bertambah. Selain menjalani mars berdarah, para tahanan pun banyak tewas selama di kamp tahanan dekat Cabantuan. Hanya sedikit yang hidup dan bisa merayakan datangnya bala bantuan pasukan AS pimpinan Jenderal Douglas McArthur, yang membebaskan Filipina dari cengkeraman Jepang pada 1945.

Maka, setiap 9 April, Filipina memperingati Mars Berdarah Bataan sebagai hari libur nasional. Pada hari itu, warga Filipina menyelenggarakan kirab untuk mengenang penderitaan para korban di jalur mars.





www.vivanews.com

Kisah Budak di Mauritania, Dianggap Binatang

| | | 0 komentar
Mauritania, sebuah negeri dengan lautan pasir menyembunyikan sebuah rahasia: praktek perbudakan. Di mana langkah pertama menuju kebebasan adalah ketika seorang budak menyadari bahwa ia diperbudak.

Jika klaim ini terlalu bombastis, anggap saja negara berpenduduk 3,4 juta orang ini adalah negara terakhir di dunia yang berusaha menghapuskan praktek perbudakan.

Berdasarkan laporan PBB, pada 1981, sebanyak 10 hingga 20 persen penduduk Mauritania hidup dalam perbudakan. Ironisnya, praktek ini disinyalir masih ada meskipun tahun 2007 sudah dibuat UU yang memidanakan perbudakan. Dilansir CNN, hingga saat ini baru ada satu kasus yang ditangani.

Bagi para budak, perbudakan bagai mata rantai penyiksa fisik dan mental yang tidak bisa dengan mudah diputus. Tengok saja kisah pilu Moulkheir Mint Yarba, seorang budak yang berhasil melarikan diri.

Moulkheir berkali-kali diperkosa pemiliknya sehingga melahirkan banyak anak, yang semuanya juga menjadi budak. Dia sendiri tidak pernah melawan karena menganggap pemiliknya paling tahu apa yang terbaik baginya. "Saya merasa menjadi binatang yang hidup bersama binatang," ujarnya.

Kebebasan itu datang tatkala Moulkheir bertemu dengan pasangan 'aneh' Boubacar Messaoud dan Abdel Nasser Ould Ethmane. Disebut 'aneh', karena Boubacar adalah mantan budak, sementara Abdel adalah pemilik budak yang kini beralih menjadi pembebas budak.

Terlahir sebagai pria kaya, Abdel bisa mendapatkan budak dengan mudah, bahkan sebagai kado. Nuraninya justru terketuk setelah ia memiliki banyak budak. Adalah sebaris kalimat 'Manusia terlahir bebas dan setara dalam hak' dari komik favoritnya, Asterix, yang menyadarkannya.

Hati kecil Abdel mengatakan ada yang salah, entah itu komik favoritnya ataupun tradisi perbudakan yang berlaku di Mauritania. Belakangan dia baru menyadari, perbudakan adalah hal yang salah sehingga dia pun segera membebaskan budaknya. "Namun di luar dugaan, mereka malah tidak ingin dibebaskan, atau tidak mengerti apa arti kebebasan," kenangnya.

Abdel lalu bertemu Boubacar, mantan budak yang berhasil melarikan diri dan 'bebas' dan dapat mengenyam pendidikan yang layak. Keduanya lantas berkolaborasi mendirikan SOS Slaves untuk memerangi praktek perbudakan di Mauritania.

Perjuangan SOS Slaves memang tidak mudah. Namun diakui, keberanian para mantan budak untuk menuturkan kisah mereka, merupakan sebuah kemenangan tersendiri karena bisa menjadi awal yang bagus menuju kemerdekaan sebagai manusia.

Ada beberapa hal yang turut menjadi faktor masih suburnya perbudakan di Mauritania hingga 2012 ini. Di antaranya, rasisme bahwa orang kulit terang lebih tinggi derajatnya, kemiskinan, kurangnya komitmen pemerintah, serta kurangnya edukasi karena perbudakan cenderung dianggap sebagai sesuatu yang lazim.

SUMBER http://dunia.vivanews.com/news/read/298008-kisah-budak-di-mauritania--dianggap-binatang

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?