SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Gesang, Si Pemilik Kesederhanaan..

| | | 0 komentar
Pernah pada tahun 1997 saya bertemu dengan maestro keroncong Gesang di rumahnya, Jalan Bedoyo Nomor 5, Kelurahan Kemlayan, Serengan, Solo.

Hari masih sore ketika saya yang saat itu bekerja pada sebuah majalah menemuinya. Usianya kala itu sudah 80 tahun, tapi kesegaran masih nampak di wajahnya. Dengan antusias, beliau bercerita banyak tentang masa lalunya yang gemilang saat zaman menjelang kemerdekaan ketika kala itu darinya lahir lagu-lagu abadi yang masih dikenang dan dinyanyikan hingga kini.

Gesang pun lalu menunjuk ke luar rumah saat ditanya, dari mana ide lagu "Bengawan Solo" yang amat populer itu datang. "Ya dari sana itu," katanya kala itu.

Ya, Sungai Bengawan Solo memang tak jauh dari rumah Gesang. Sebuah sungai di Jawa, bahkan di Indonesia, yang paling terkenal di beberapa negara di dunia berbarengan dengan popularitas lagu "Bengawan Solo" ciptaan Gesang.

Musisi dan pengusaha Jaya Suprana mencatat, lagu "Bengawan Solo" tidak cuma terkenal di negara Jepang, sebuah negara yang secara emosional pernah bersinggungan langsung dengan sejarah bangsa Indonesia pada tahun 1942-1945, tetapi juga terkenal hingga ke China dan beberapa negara Eropa.

Pada hari ini, Kamis (20/5/2010), pukul 18.00 WIB, sang komponis besar bangsa ini pergi meninggalkan karya-karya besarnya yang bukan saja telah melambungkan namanya, melainkan juga membuat negeri Indonesia terkenal hingga negeri-negeri yang jauh.

Gesang meninggal setelah menjalani perawatan di Ruang Firdaus 5 RS PKU Muhammadiyah dengan dirawat oleh 3 dokter spesialis, yakni penyakit dalam, neurologi, dan jantung.

Menurut pengakuan keponakan Gesang, Yuniarti, dukungan datang dari salah satu penggemarnya, seorang direktur rumah sakit di China. Tak hanya itu, perkembangan kesehatan Gesang pun diliput oleh stasiun televisi China pada Minggu, 16 Mei 2010. “Mereka menyatakan dukungan kepada Mbah Gesang. Karena mereka begitu menggemari Mbah Gesang yang menciptakan lagu 'Tembok Besar'," kata Yuniarti di Solo, Minggu 16 Mei 2010. Lagu "Tembok Besar" yang diciptakan tahun 1963 itu bercerita tentang Tembok Besar China.

Menurut Yuniarti ke beberapa media, beberapa hari belakangan, kondisi Gesang memang sempat naik-turun. Gesang sendiri selama Februari tahun 2010 sudah tiga kali dilarikan ke rumah sakit. Adapun pada bulan Januari lalu, ia menjalani operasi pengangkatan prostat.

Mengenang Gesang adalah mengenali sosok manusia sederhana. Di rumahnya yang terbilang amat sederhana untuk seorang dengan nama sebesar Gesang, hanya ada sebuah piano tua dan perabotan rumah tangga sederhana serta beberapa piagam yang terpajang di dinding rumahnya.

Seperti orangnya, semua lagu karya Gesang juga sederhana, lagu-lagu yang tumbuh dari kehalusan budi manusia Jawa yang "berasa" Jawa. Itulah sebabnya, rasa lagu-lagu karya Gesang senantiasa berpijak pada laras slendro atau pentatonis, sebuah laras yang kita kenali terdapat pada instrumen gamelan.

Lagu-lagu Gesang mengalir sedemikian rupa tanpa ada ekspektasi ingin dipuji merupakan sebuah keinginan yang kerap melekat pada sejumlah seniman agar tak dibilang bodoh sehingga melahirkan karya-karya yang rumit, yang pada gilirannya justru menjauhkan karya itu dari rasa si senimannya itu sendiri.

Menurut pengusaha Jamu asal Semarang yang juga musisi, Jaya Suprana, karena keluguannya dalam berkarya itulah karya Gesang justru mendunia. "Sebab, substansi karya indah itu adalah sebuah karya yang sederhana," papar Jaya kepada Kompas.com.

Gesang pergi senja tadi. Dan syair dalam lagunya itu pun seperti nujum bagi Sungai Bengawan Solo yang membelah beberapa wilayah di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebab, pada hari-hari menjelang kepergian Gesang, sungai itu pun masih meluap sampai jauh.

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?