SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Zhuhai Telah Mengalahkan Jakarta

| | | 0 komentar
Oleh Iwan Santosa

Kemajuan pembangunan China memang memesona. Dusun nelayan bernama Zhuhai disulap menjadi metropolis dengan fasilitas mengalahkan Jakarta yang dirongrong minimnya infrastruktur, kerusakan lingkungan, dan perilaku jorok warganya.

Zhuhai di selatan Provinsi Guangdong dengan Daerah Administrasi Khusus Makau, ditetapkan menjadi zona ekonomi khusus sejak tahun 1979 menyusul wilayah Shenzhen, maju pesat, setidaknya secara fisik infrastruktur. Wilayah seluas Jakarta dengan penduduk sekitar dua juta jiwa itu memenuhi syarat sebagai kota modern meninggalkan Jakarta yang pembangunannya jalan di tempat.

Saat Kompas bersama tim balap mobil Alexandra Asmasoebrata tiba di pelabuhan feri Jiu Zhou, Zhuhai, suasana kampung nelayan sudah tak ada. Gedung megah menjulang tinggi, jalan lebar enam lajur di tepi pantai yang indah membentang di sepanjang tepi pantai yang bersih.

Jogging track, jalur sepeda, dan taman membentang di sepanjang pantai hingga ke patung gadis nelayan yang menjadi landmark Zhuhai, seperti patung Little Mermaid di Copenhagen dan patung Duyung di pantai Samila, Songkhla, Thailand.

Asri, bersih, dan indah. Wajar jika Zhuhai dijuluki Riviera-nya China, setara dengan kawasan Riviera di selatan Perancis!

Budi Siswanto, wartawan tabloid Otomotif yang sudah enam kali ke Zhuhai sejak medio 1990-an, mengaku selalu melihat ada infrastruktur baru di Zhuhai setiap kali dia datang.

”Jalan di tepi pantai ini semakin dilebarkan. Reklamasi terus berlangsung. Apartemen kumuh diperbarui tanpa harus mengusir rakyat kecil. Mal, pertokoan, hingga pabrik serta sirkuit balap menjadi daya tarik Zhuhai,” kata Budi.

Pada tahun 1996, Zhuhai Guo Ji Sai Che Zhang (Sirkuit Internasional Zhuhai) resmi digunakan. Bertambahlah fasilitas internasional di Zhuhai.

Ada gula, ada semut
Pemeo ada gula ada semut berlaku di Zhuhai. Pemerintah China cukup menyediakan infrastruktur, perekonomian bergerak, warga dari daerah minus pun berdatangan ke Zhuhai.

Ye Zheng, seorang warga suku Hui dari Lan Chou, Provinsi Gansu, di perbatasan Mongolia di utara China, membuka restoran Muslim di Zhuhai. ”Saya berbisnis di sini. Lumayan banyak pelanggan orang Han (etnis mayoritas di China) hingga warga dari negara Muslim,” kata Ye.

Biaya hidup di metropolis sekelas Zhuhai masih terjangkau bagi ukuran Indonesia. Semangkuk la mian sapi di kedai Ye dijual seharga RMB 7 (sekitar Rp 8.750). Padahal, di Jakarta, semangkuk la mian di restoran besar dihargai Rp 50.000!

Kedai Ye berdampingan dengan toko kelontong, restoran tradisional, kelab malam, dan toko penjual anggur impor.

Harga manisan buah pun tergolong murah. Sebungkus buah dan manisan kering dijual pada kisaran RMB 3 hingga RMB 7 (Rp 3.750-Rp 8.750).

Justin Wong, pemilik toko anggur, mengaku sengaja pulang setelah studi di Adelaide, Australia, karena peluang bisnis di Zhuhai menjanjikan.

Sebotol anggur lokal dijual RMB 20 (sekitar Rp 25.000) dan anggur Bordeaux, Perancis, RMB 80 (sekitar Rp 100.000). Jauh lebih murah dibandingkan anggur impor di Jakarta yang rata-rata Rp 500.000 per botol.

Berbelanja di Gongbei, distrik di selatan Zhuhai di perbatasan Makau, pun sangat murah. Banyak orang Indonesia yang berbelanja barang dagangan seperti tas tiruan dan pelbagai produk tekstil untuk dijual di Jakarta.

”Harga murah. Ni men shi Malaysia de ma (kalian dari Malaysia, kah)?” ujar pemilik toko yang mengaku punya pelanggan tetap dari Indonesia dan Malaysia. Sehelai cheongsam katun—gaun tradisional China—dijual RMB 90 (Rp 112.500).

A Piao, warga Hunan, pesisir timur China, mengaku lebih suka mengadu nasib di Zhuhai. ”Zhe bian quan de qian bi jiao jian yi (Di sini cari uang lebih mudah),” ujar pria yang sehari-hari mengemudikan taksi itu.

Infrastruktur modern dan rapi memang kunci kemajuan sebuah kota. Zhuhai adalah buktinya!
Editor: Egidius Patnistik | Sumber : Kompas Cetak

Batas Itu Telah Tercapai?

| | | 0 komentar
Oleh DAHONO FITRIANTO

Dalam dunia persilatan dikenal pepatah di atas langit masih ada langit. Selama ini, pepatah tersebut seolah juga berlaku dalam perlombaan senjata di dunia. Namun, bahkan langit pun memiliki batas teratas.

Sebuah laporan di majalah The Economist edisi 28 Agustus ini mengungkap fakta, yang meski sudah bisa diduga dalam kondisi perekonomian dunia saat ini, tetapi tetap mengejutkan.

Negara-negara yang selama ini dikenal sebagai adidaya dalam hal militer, mulai memikirkan ulang strategi pengembangan persenjataan mereka karena biaya yang makin mencekik leher. Benarkah batas langit itu telah tercapai?

Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Robert Gates telah memerintahkan penghentian produksi pesawat tempur F-22 Raptor, akhir tahun ini. Dengan demikian, total jumlah produksi pesawat tempur tercanggih itu hanya akan berhenti di angka 187 unit. Padahal, pada awal produksinya dulu, pesawat itu diperkirakan paling tidak akan diproduksi hingga 750 unit.

Di Eropa, pesanan untuk pesawat Eurofighter Typhoon, yang dikembangkan Inggris, Jerman, Italia, dan Spanyol, juga merosot. Hal yang sama juga dikhawatirkan terjadi pada proyek pesawat F-35 Joint Strike Fighter (JSF) yang dikembangkan bersama antara AS dan Eropa.

Krisis keuangan dunia, perubahan ancaman konflik global, hingga kemajuan teknologi sendiri menjadi beberapa faktor yang memicu negara-negara maju tersebut memikirkan ulang strategi militer mereka, termasuk dalam hal kelengkapan senjata.

Menteri Pertahanan Jerman Karl-Theodor zu Guttenberg, minggu ini, mengumumkan akan memangkas jumlah personel angkatan bersenjatanya, dari sekitar 247.000 personel menjadi hanya sekitar 165.000 personel. Rencana ini adalah bagian dari rencana Jerman untuk menghemat anggaran pertahanan hingga sebesar 8,3 miliar euro (Rp 95,8 triliun) hingga 2014.

Keterbatasan

Menurut Guttenberg, pihaknya akan berkonsentrasi pada pengembangan pasukan yang kecil, tetapi berkualitas lebih baik dan lebih operasional.

Langkah serupa juga dilakukan Inggris, yang berencana memotong belanja pertahanan 10-20 persen dalam lima tahun mendatang. Spanyol juga menyatakan akan mengurangi hingga 9 persen dan Italia 10 persen.

Karena keterbatasan anggaran pertahanan, saat ini Perancis hanya mengoperasikan satu kapal induk, yakni kapal induk Charles de Gaulle. Inggris juga hanya mempertahankan dua kapal induk berukuran sedang, yakni HMS Invincible dan HMS Ark Royal, tetapi menurut The Economist, dua kapal tersebut sering berlayar tanpa membawa pesawat.

Di belahan lain Eropa, Belanda telah menghentikan program pengintaian maritim, Denmark telah meninggalkan armada kapal selamnya, dan negara- negara Baltik tidak lagi memiliki angkatan udara (AU) yang bisa diandalkan kecuali mengandalkan pesawat-pesawat dari sekutu NATO untuk mengamankan ruang udara mereka.

Amerika sendiri, sebagai pemimpin dan patron Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), kewalahan mengelola pengeluaran militernya meski dengan anggaran pertahanan sebesar 700 miliar dollar AS per tahun (sekitar Rp 6,3 kuadriliun, atau hampir setara dengan anggaran pertahanan negara sedunia digabung jadi satu).

Gates mengatakan, ia akan mengurangi sedikitnya 50 perwira tingginya untuk menghemat biaya. Saat ini, angkatan bersenjata AS memiliki lebih dari 900 perwira tinggi setingkat jenderal dan laksamana. Selain itu, ia juga akan menghapus komando gabungan angkatan (joint-forces command), memotong anggaran para kontraktor, dan mengurangi staf di kantor departemen pertahanan sendiri.

Masalah biaya ini juga disebut-sebut menjadi salah satu alasan percepatan penarikan mundur pasukan AS dari Irak, khususnya untuk memusatkan tenaga dan biaya bagi perang di Afganistan.

Makin tinggi

Wajar saja negara-negara ini mengeluhkan anggaran pertahanan karena harga dan biaya perawatan persenjataan terbaru saat ini sama sekali tidak bisa dibilang murah, bahkan untuk ukuran kocek mereka.

Harga pesawat F-22 Raptor saat ini mencapai 160 juta dollar AS (Rp 1,4 triliun) per unit, atau 350 juta dollar AS (Rp 3,2 triliun) per unit jika termasuk ongkos pengembangan pesawat itu ke depan. Bandingkan dengan harga pendahulunya, F-16 Fighting Falcon, yang ”hanya” 50 juta-60 juta dollar AS (Rp 450 miliar) per unit.

Harga pesawat pengebom siluman B-2 Spirit lebih tinggi lagi, yakni sekitar 2 miliar dollar AS (hampir Rp 18 triliun) per unit. Itu sebabnya, AU AS akhirnya hanya membeli 20 unit B-2 dari total 132 unit yang direncanakan sebelumnya.

Harga pesawat (dan senjata berteknologi tinggi lain, seperti kapal perang) ini dari generasi ke generasi akan terus meningkat seiring dengan makin mahalnya teknologi yang harus dicangkokkan ke dalamnya. Peningkatan harganya bahkan disebut jauh di atas laju inflasi atau pertumbuhan produk domestik bruto negara produsen.

Dalam sebuah analisis, pakar industri penerbangan AS, Norman Augustine, pernah membuat ekstrapolasi harga pesawat tempur ini berdasarkan tren yang terjadi saat ini, dan kesimpulannya: ”Pada tahun 2054 seluruh anggaran pertahanan hanya cukup untuk membeli satu pesawat.”

Tidak terpakai

Selain mahal, pesawat-pesawat berteknologi tinggi ini belum tentu terpakai di medan perang yang sesungguhnya. Dalam rapat dengan Komisi Angkatan Bersenjata Senat AS dua tahun lalu, Gates mengatakan, F-22 Raptor belum pernah terpakai dalam satu misi pun selama perang di Irak dan Afganistan.

”Faktanya, kita saat ini menghadapi dua perang, di Irak dan Afganistan, dan pesawat F-22 itu belum pernah terpakai di satu misi pun dalam dua perang tersebut,” ungkap Gates, seperti dikutip majalah Time (www.time.com, 7 Februari 2008).

Alih-alih, para perwira tinggi militer AS di lapangan justru mengaku puas dengan performa pesawat tak berawak (drone atau UAV, unmanned aerial vehicle), yang berharga beberapa kali lebih murah dan tidak berisiko menewaskan pilot, dalam menghadapi gerilyawan Taliban di Afganistan dan perbatasan Pakistan.

Kekuatan udara AS memang tak terkalahkan dan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan invasi ke Irak pada tahun 2003. Namun, begitu pasukan darat AS menduduki Irak selama 7,5 tahun kemudian, mereka tak mampu mengendalikan sepenuhnya kondisi di dalam negeri Irak sampai misi perang dihentikan hari Selasa (31/8) lalu.

Zaman memang sudah berubah sejak era Perang Dingin berakhir. Dulu, dalam konteks mencari perimbangan kekuatan, terjadi perlombaan senjata, baik dalam hal teknologi maupun jumlah, antara Blok Barat dan Blok Timur.

Kini, tanpa F-22 dan B-2 pun, kekuatan udara AS sudah tak ada yang menandingi di dunia ini, apalagi ”sekadar” untuk menyerang negara dunia ketiga, seperti Irak atau Afganistan.

Fakta terbaru ini mengingatkan, dalam perang, keunggulan teknologi dan anggaran melimpah belum tentu menjadi faktor penentu kemenangan.

Sebuah Negara Tanpa Jaksa Agung?

| | | 0 komentar
Sebuah negara tanpa Jaksa Agung? Begitulah, mungkin, yang akan dialami Indonesia setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian kecil uji materi Undang-undang Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan yang dilayangkan Yusril Ihza Mahendra. Ah, alangkah amburadulnya pengelolaan negara ini. mari kita sebagai orang awam melihat carut marutnya sistem ketatanegaraan kita.

Yusril mengatakan, Hendarman Supandji tidak sah menjadi Jaksa Agung. Menurut bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu, masa jabatan Hendarman seharusnya berakhir berbarengan dengan masa jabatan Presiden dan anggota kabinet lainnya. Nyatanya, sampai saat ini, Hendarman masih menjadi orang nomor satu di Kejaksaan. Celakanya lagi ketetapan itu tak diiringi Surat Keputusan Presiden.

hal itulah yang dipersoalkan Yusril. Dan, kemarin, MK mengabulkan keberatan Yusril. Menurut MK, masa jabatan Jaksa Agung sama dengan anggota kabinet lainnya, walau pengankatan Jaksa Agung menjadi hak prerogatif presiden. tetapi disini jaksa agung di angkat sesuai masa jabatan kabinet, sedangkan kabinet bentukan presiden jilid I telah selesei masa jabatannya, dan apakah ini masih tetap berlanjut walaupun tidak ada surat pengangkatan lanjutan

Ironisnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dikatakan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, menilai Hendarman masih sah sebagai Jaksa Agung berdasarkan Keputusan Presiden periode lalu. Selama Keppres berlaku, jabatan Jaksa Agung masih melekat kepada Hendarman.

lalu siapa yang benar dan bagaimana solusi dari akar masalah tersebut, mari kita sebagai anak bangsa rakyat biasa hendaknya menoleh sejenak apa yang telah terjadi dalam sistem ketatanegaraan kita. apakah memang benar begini adanya,

sumber http://hukum.kompasiana.com/2010/09/24/sebuah-negara-tanpa-jaksa-agung/-12

Yang Terus Dikalahkan

| | | 0 komentar
Wajah kemiskinan di kota dan kota besar adalah muara yang persoalan hulunya hampir tak pernah disentuh. Kampung dan dusun ibarat wilayah antah berantah yang sumber dayanya terus dikeruk dan wilayahnya dikuasai atas nama devisa negara. Mereka yang masih punya daya berduyun-duyun mengungsi ke kota, tanpa keterampilan, tanpa modal, mengaisi remah-remah rezeki untuk bertahan hidup.

Urbanisasi tak terbendung ketika disparitas pembangunan desa-kota semakin tak terjembatani. Kalau pada tahun 2009 sekitar 53 persen penduduk Indonesia menumpuk di perkotaan, menurut perkiraan Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi, jumlahnya menjadi 68,3 persen pada 2025.

Artinya, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kota. Kemiskinan di perkotaan meningkat akibat daya dukung lingkungan dan daya serap ekonomi terbatas. Kebutuhan kota akan tenaga kerja terampil tak terpenuhi sehingga angka pengangguran perkotaan meningkat drastis. Kemiskinan antargenerasi dengan mudah terbangun karena orang yang menganggur cenderung lebih mudah menjadi miskin.

Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan cenderung tidak berubah selama hampir 20 tahun. Lembaga Demografi FE UI mencatat, pada 1990, persentase penduduk miskin sekitar 15,1 persen dan tahun 2008 sekitar 15,4 persen.

”Itu kalau standarnya satu dollar per hari. Kalau 1,5 dollar per hari, jumlahnya menjadi 57 persen atau 66 persen atau lebih dari 100 juta jiwa kalau ukurannya dua dollar sehari,” ujar Don.

Kemiskinan multidimensi menjadi sangat serius karena lebih dari 50 persen tenaga kerja di Indonesia hanya berpendidikan SD ke bawah. Mereka akan berjubel di pasar kerja selama usia produktif meski terus digilas oleh roda mekanisme pasar.

Jadi, jangan harap program-program penghapusan kemiskinan yang parsial dan bias kota seperti selama ini akan menghapus mimpi kemiskinan pada tahun 2015! (THY/INE/MH)

sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/09/21/03494219/yang.terus.dikalahkan

Kisah Duka Joni Malela

| | | 0 komentar
Irene Sarwindaningrum, Harry Susilo, dan Gregorius Magnus Finesso

Euis Rusmiati (48), istri almarhum Joni Malela, duduk bersimpuh di tikar lusuh di ruang tamunya yang sempit. Rumah mungil warisan orangtuanya itu menyempil di gang sempit Jalan Gagak Lumayung, Kotawetan, Garut, Jawa Barat.

Jenazah Joni Malela (45), yang tunanetra, telah dikebumikan, Sabtu (11/9) pagi. Euis, yang juga tunanetra dan mengalami gangguan pendengaran, tampak tabah menerima nasib naas suaminya meski hatinya remuk.

Kepada para tamu, yang hingga Minggu kemarin terus melayat, Euis bercerita.

Jumat pagi itu, tepat pada hari Lebaran—yang harusnya membahagiakan, keduanya berangkat ke Istana Negara untuk bersilaturahim dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta mendapat uang saku.

Dituntun Joni yang pagi itu berbatik biru, Euis berangkat dari rumah kontrakannya di Jalan Gotong Royong, tak jauh dari perempatan Gaplek, Pamulang, Tangerang Selatan. Keduanya menumpang mikrolet carteran bersama enam rekan tunanetra dari Yayasan Sasana Kebajikan.

Tiba di Istana Negara pukul 09.30. Nyatanya, hingga pukul 15.00, pasangan itu masih berdiri berdesak-desakan dalam terik, lapar, dan dahaga bersama ratusan tunanetra lain. Akibatnya, Joni dan beberapa warga terjatuh, beberapa lainnya pingsan.

Joni, yang berdiri tak jauh dari depan pintu gerbang, semula ingin mundur ke barisan belakang, tetapi justru jatuh. Ia terdorong ke sana kemari sebelum diselamatkan dan ditandu petugas ke Jalan Majapahit.

Menurut petugas kesehatan Theresia Indah, Jumat sore itu, Joni sempat dibantu dengan tabung oksigen selama 10 menit. Namun, jiwanya tak tertolong.

Dengan Mobil PMI, jenazah Joni dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo. Euis ikut mendampinginya hingga RSCM. Jenazah itu kemudian dibawa ke Garut.

Berjuang

Kematian tragis Joni mengakhiri perjalanan murungnya sebagai tunanetra. Menurut kawan lama Joni, yang juga adik Euis, Undang Sudarsa (46), Joni cukup pandai. Dia pernah kuliah dan mendapat gelar D-2 dari Sekolah Pendidikan Guru Luar Biasa di Yogyakarta.

Joni juga piawai bermusik dan tahun 1975 dikirim sebagai atlet tenis meja pada kejuaraan penyandang cacat di Singapura.

Namun, semua ijazah dan sertifikat prestasinya hilang sehingga Joni tak bisa melamar kerja. ”Ia pernah jadi pegawai honorer, tapi tak juga diangkat. Akhirnya, ia menjadi tukang urut sampai sekarang,” katanya.

Sebagai tukang pijat, penghasilannya minim. Larima (47), rekan Joni sesama pemijat tunanetra, menuturkan, dalam sebulan, pelanggan panti pijat ”Bina Sehat” milik Joni hanya berkisar satu hingga tiga orang. Tarif satu orang pasien berkisar Rp 25.000-Rp 35.000. Artinya, sebulan Joni hanya mengantongi sekitar Rp 100.000.

Panti ”Bina Sehat” itu ada di kontrakan Joni. Kondisinya memilukan, tirai birunya kusam, tanpa kursi, dengan perabotan sederhana.

”Hampir semua pemijat tunanetra seperti itu,” ujar Larima ditemui di kontrakannya di RT 01 RW 04 Kelurahan Kedaung, Kecamatan Sawangan, Depok.

Ny Hicks Lion (75), tetangga rumah kontrakan Joni, menuturkan, uang sewa rumah seharga Rp 285.000 per bulan didapatkan Joni dari bantuan tiap kali hadir di pengajian Khazanah Kebajikan di dekat Lanud Pondok Cabe.

Larima, yang juga mengikuti pengajian itu, mengaku, tiap kali datang diberi Rp 20.000 oleh dermawan di yayasan itu. Mereka berdua rajin mengikuti pengajian itu.

”Jujur saja, harapan kami ke istana karena kepengen dapet Rp 250.000 seperti tahun kemarin,” katanya. Tetapi, ternyata tahun ini jumlahnya hanya Rp 100.000.

Tumpuan

Meninggalnya Joni pada hari Lebaran di Istana Negara memukul teman dan keluarganya. Selama ini, Joni dipercaya sebagai Ketua Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia Banten.

Sementara bagi Euis, Joni adalah pendamping hidup dan penuntun jalan. Pasangan ini memang biasa berkeliling menawarkan jasa urut ke perumahan-perumahan. Joni menuntun Euis, kadang kala membawa kaleng. Siapa tahu, ada pemberian cuma-cuma.

Meski penghasilannya minim, Joni berusaha membiayai sekolah anaknya, Nova Novisda (18), yang sejak kecil tinggal bersama neneknya. Rencananya, uang saku dari silaturahim dengan Presiden Susilo Bambang untuk ongkos pulang ke Garut menengok putrinya itu.

Kini, setelah kematian Joni, Euis tinggal di Garut. Santunan Rp 10 juta dari Istana akan digunakan untuk makan sehari-hari karena meninggalnya Joni berarti hilangnya nafkah keluarga. ”Tak mungkin lagi saya jadi tukang urut keliling, Pak Joni yang biasanya menuntun sudah tidak ada,” ucap Euis.

Kini, tiap kali hendak berjalan, tangan ringkih Euis tergagap mencari tongkat lipatnya. Tongkat logam itu kini menjadi satu-satunya tumpuan dalam menentukan arah saat berjalan.(SUHARTONO/HENDRIYO WIDI)

http://nasional.kompas.com/read/2010/09/13/04331875/Kisah.Duka.Joni.Malela

Penderitaan Rakyat Banten Selama Penjajahan Jepang

| | | 0 komentar
Banten- Setelah pasukan Jepang mengalami kekalahan terus-menerus dalam medan perang di Pasifik, pemenuhan kebutuhan logistik tentara di garis belakang pun banyak mendapat kesulitan. Untuk mengatasi hal tersebut, Jepang berusaha merekrut penduduk dari daerah-daerah kuasanya untuk dikerahkan dalam segala kegiatan ekonomi dan perang.

Melalui unit-unit desa terkecil masyarakat diwajibkan mengumpulkan dan menyerahkan hasil bumi berupa padi, karet dan sebagainya; dan juga barang-barang berharga lainnya seperti emas, perak, intan, sampai dengan besi tua. Petani dipaksa untuk menyerahkan hampir seluruh hasil panennya, di samping dibebani kewajiban untuk menanam pohon jarak ─ yang dipakai sebagai bahan baku membuat minyak pelumas mesin. Padi untuk persediaan makan habis dan beras sudah lama menghilang dari pasaran.

Akibat tindakan tentara Jepang semacam itu, penghidupan rakyat menjadi semakin sengsara. Untuk memperoleh makanan pokok seperti beras dan jagung saja mereka harus mempunyai “kartu tanda beli” dari lurah. Penduduk harus antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan satu liter beras. Para pegawai pemerintah (dari bangsa Indonesia) saja hanya dapat jatah dua kilogram untuk kebutuhan keluarganya selama satu minggu. Sehingga untuk mengatasi kelaparan ini orang terpaksa makan umbi-umbian seperti umbi jalar, ketela pohon dan talas, bahkan tidak jarang ada yang makan pokok batang pisang (gedebong) atau umbut batang nipah.

Kerena keadaan kurangnya persedian pangan dan kondisi yang sangat menyedihkan ini, banyak penduduk yang sakit berat dan meninggal disebabkan kelaparan dan kekurangan gizi. Penyakit kolera, malaria, busung lapar dan penyakit cacar mewabah serta banyak menelan korban (Soeara Merdeka, 28 Oktober 1945).

Bahan pakaian pun sulit diperoleh, sehingga penduduk terpaksa memanfaatkan bahan kelambu, seprei atau gorden yang masih dapat dipakai. Bahkan di pedesaan keadaannya lebih sulit lagi, banyak penduduk desa yang mengunakan bahan bekas karung goni atau lembaran karet sebagai bahan penutup tubuh. Akibatnya banyak yang menderita penyakit borok karena gigitan kutu atau karena lekatnya baju karet itu dengan kulit tubuh si pemakai.

Yang paling mengenaskan bagi penduduk adalah kewajiban untuk menjadi romusha, yaitu pekerja kasar yang bekerja untuk kepentingan perang dan tidak mendapat bayaran ─ semacam pekerja rodi pada masa Belanda. Di samping kekurangan makanan, penginapan dan kebebasan, para romusha ini diperintahkan untuk bekerja keras tanpa henti, seperti layaknya budak belian. Tragisnya, oleh pemerintah Jepang, para romusha itu dijuluki “pahlawan ekonomi”.

Para romusha inilah yang dikerahkan untuk pembuatan jalan kereta api dari Seketi ke Bayah, pembuatan lapangan terbang Gorda, pembuatan basis pertahanan di Pulau Panaitan, penggalian batu bara di Bayah, Banten Selatan. Untuk menggambarkan bagaimana keadaan para “pahlawan ekonomi” ini, dapat dilihat dari keadaan para romusha di pertambangan batubara di Bayah Kozan.

Tenaga mereka diperas habis-habisan, sementara kesejahteraannya tidak diperhatikan pemerintah. Mereka ditempatkan di bedeng-bedeng kecil yang tidak berdinding dan hanya beratapkan daun kirai (sejenis daun enau atau aren) sebagai penahan air hujan dan segatan matahari. Makanan yang disediakan dijatah sangat terbatas, masing-masing mereka hanya mendapat 2 ons beras per hari setiap orang (Tan Malaka t.t. :53). Karena tindakan tentara pendudukan Jepang di luar batas nilai-nilai kemanusiaan itu, beribu-ribu romusha meninggal di tempat mereka bekerja.

Sepanjang jalan antara Saketi dan Bayah ditemui banyak mayat para romusha yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi sepanjang jalan kereta api dari Saketi sampai Bayah, atau dalam pembuatan lapangan udara di Gorda, Cikande (Sudiro, 1979:).

Disamping itu, untuk keperluan memelihara “semangat bertempur” di kalangan tentara Jepang, mereka mendirikan “tempat-tempat rekreasi” ─ lebih tepat disebut rumah bordil ─ yang didirikan di beberapa kota. Di tempat-tempat semacam itulah disediakan jugun ianfu, yaitu wanita penghibur yang mengikuti tentara Jepang; atau dalam arti yang sebenarnya adalah wanita-wanita pelacur, yang disiapkan untuk penghibur dan pemuas seks tentara Jepang. Untuk mendapatkan jugun ianfu ini ditempuh dengan berbagai cara, baik dengan tipuan halus ─ misalnya dengan bujukan untuk disekolahkan di Singapura, dan lain-lain ─ ataupun dengan kekerasan; misalnya ancaman keluarganya akan dijadikan romusha.

Beribu-ribu gadis muda Indonesia dipaksa untuk melayani kebutuhan seksual tentara Jepang ini, seperti layaknya budak seks. Sebagai gambaran yang jelas tentang banyaknya jugun ianfu ini, gadis-gadis Korea yang dipaksa untuk pekerjaan itu diperkirakan lebih dari 200.000 orang. Dan tidak jarang terjadi kekerasan bagi gadis yang menolak melayani tentara Jepang itu; ia dihukum dengan cara mengikatkan leher dan keempat anggota tubuhnya ke lima ekor kuda yang menariknya ke arah yang berlawanan.

Malahan bagi jugun ianfu yang ketahuan telah mengidap penyakit kotor dibakar hidup-hidup atau diledakkan dengan granat. Para wanita ini dibawa kemana tentara Jepang itu dikirim, berkeliling sampai ke Cina, Asia Tenggara, bahkan sampai ke Rabaul di Papua Nugini, salah satu pangkalan militer Jepang. Di antara para jugun ianfu yang selamat dari kekejaman tentara Jepang pun banyak yang akhirnya bernasib sangat mengenaskan: mati bunuh diri atau menjadi gila (Tempo, No. 21/XXII, 25 Juli 1992).

Di Serang, para jugun ianfu itu ─ oleh penduduk setempat disebut “jobong jepang” ─ ditempatkan di beberapa hotel, bar, rumah peristirahatan perwira, dan di dekat tangsi militer Jepang; misalnya di perumahan perwira di Cirendong, di Kantin atau di tempat perisrahatan tamu penting (sekarang rumah dinas Danrem). Biasanya, untuk menghindari timbulnya emosi masyarakat, para jugun ianfu tidak ditempatkan di daerah asalnya, melainkan ditukar-tempat; misalnya gadis asal Serang ditempatkan di Bogor, demikian juga sebaliknya.

Anak-anak pelajar Sekolah Rakyat (SR), setiap hari sebelum masuk kelas, diharuskan melakukan sinkerei yang dilanjutkan dengan taiso. Kemudian setiap hari Senin, sambil mengibarkan bendera Jepang mereka menyanyikan lagu Kimigayo. Hari-hari berikutnya, para siswa ini diharuskan mencari bebangah dan menanam pohon jarak, yang hasilnya nanti dikumpulkan di tiap-tiap sekolah untuk keperluan Jepang.

Orang-orang kampung diintruksikan untuk membuat lobang-lobang perlindungan, misalnya di pinggir Kalibanten (Cibanten), berupa gua-gua sedalam 2 meter lebar dan tinggi 1 meter. Gua-gua perlindungan ini digunakan sebagai tempat perlindungan, dimana anak-anak dibekali karet untuk digigit bilamana sirine dibunyikan. Begitulah gambaran suasana yang mencengkam dalam saat transisi selama 3,5 tahun.

sumber http://www.rakyatbanten.com/penderitaan-rakyat-banten-selama-penjajahan-jepang

Gembel-gembel Beijing, Suatu Hari

| | | 0 komentar
Pria berkaus putih keruh merebahkan tubuhnya di bangku taman kawasan pedestrian di luar tembok Kota Terlarang, Beijing, Republik Rakyat Cina. Handuk putih menyampir di sandaran bangku tempat dia tidur pada siang bolong itu. Tas hitam menyangga tengkuk dan kepalanya, menggantikan tugas bantal.

Ia seperti ingin melupakan Beijing yang sedang tertimpa cuaca ganjil. Siang itu, cuaca demikian panas. Menurut badan meteorologi, dalam sepuluh hari terakhir akhir Juli itu suhu berada pada titik 38 derajat Celsius. Biasanya ketika musim panas tiba suhu "cuma" 35 derajat. Terlihat di mana-mana orang gerah, berkipas, membuka baju, atau berpayung. Tapi aneh, pria itu terlelap.

Lima puluh meter dari pria itu, ada lelaki sepuh duduk di bangku taman lain. Kepalanya doyong ke kanan dan memejamkan mata. Hanya celana pendek hitam yang melindungi tubuh kurusnya yang tak terurus.

Ya, mereka gelandangan. Dua orang gelandangan itu sebagian dari puluhan lainnya yang menumpang hidup di taman-taman sekeliling Kota Terlarang, salah satu pusat wisata di Beijing. Mereka bagian dari ratusan orang miskin yang menyandarkan hidup di sana, entah sebagai pengemis, pemulung, penjual asongan air kemasan dalam botol, entah pengecer koran.

Mereka adalah sisa-sisa orang miskin yang "lolos" dari gerakan pembersihan yang dilakukan pemerintah Cina sejak menjelang peringatan 50 tahun kemerdekaan Republik Rakyat Tiongkok sebelas tahun lalu. Sebelum itu, pengemis, pedagang asongan, dan pengamen banyak dijumpai di persimpangan jalan. Sejumlah kawasan kumuh, terutama yang tampak dari jalan raya, dibongkar habis. Urbanisasi ke Beijing juga diawasi ketat. Orang miskin di pedesaan Cina dan di provinsi-provinsi miskin di kawasan barat Cina dilarang masuk Beijing.

Semua jalan raya dibikin lebar, menjadi tiga, empat, bahkan enam lajur. Yang menarik, hampir semua jalan di Beijing lurus, sedikit sekali yang berkelok. "Di Beijing yang ada jalan tegak dan lurus," kata Tommy Lie, seorang warga Beijing sembari tangannya membuat lambang tegak lurus di depannya. Ini beda dengan Shanghai, banyak jalan berkelok-kelok. Sejak itu, Beijing tertib dan bersih.

Pembersihan Beijing dari orang dan kawasan miskin kian gencar ketika kota ini membedaki diri demi Olimpiade pada Agustus dua tahun lalu. Olimpiade Musim Panas 2008 adalah titik balik Beijing. Pemerintah Cina menganggap pesta olahraga bangsa-bangsa seluruh dunia ini sebagai lambang keterbukaan negara itu. Mereka membawa angin perubahan "Beijing Baru". Beijing yang lebih megah dan wah.

Separuh dari jutaan penduduk Cina tersingkir dari perkampungan tradisional (hutong) mereka dan digantikan dengan berbagai kondominium, mal, serta gerai makan dan minum cepat saji produk Amerika. Pengendara sepeda berkurang, sedangkan jumlah lapangan golf, tempat ski, klub dansa, dan spa makin banyak.

Menjelang perhelatan akbar olahraga musim panas sedunia itu, tinggal 1.500 hutong. Padahal dulu setidaknya ada 10 ribu hutong. Kini jumlahnya terus menyusut. Memang, setelah Partai Komunis menang di Cina pada 1949, pemerintah mengambil alih kepemilikan hutong. Penghuni hutong tak lagi memiliki rumah sendiri.

l l l

Beijing atau Pinyin atau Peking adalah kota yang struktur administrasinya setingkat provinsi, mirip DKI Jakarta. Kota ini berpenduduk sekitar 14 juta jiwa dan merupakan kota terbesar kedua di Cina setelah Shanghai. Beijing adalah pusat politik, pendidikan, dan kebudayaan di Cina. Sedangkan Shanghai dan Hong Kong pusat perekonomian. Beijing ibu kota bagi negeri berpenduduk hampir 1,5 miliar orang ini. Pada 1 Oktober nanti Republik Rakyat Cina berusia 61 tahun.

Wajah Beijing yang dulu identik dengan gerobak dan sepeda ontel orang-orang miskin berubah menjadi kota yang bisa dibilang serba digital. Bus kota dan kereta bawah tanah menjual karcis dengan sistem digital. Peta, petunjuk jalan, dan iklan di stasiun serba digital. Dulu, Beijing cuma punya satu jalur kereta bawah tanah. Menjelang penyelenggaraan Olimpiade, Beijing membangun sembilan lagi jalur baru. Untuk mengelilingi Beijing yang luasnya 22 kali Jakarta, seorang penumpang cukup membeli tiket dua kali.

Berkat Olimpiade Beijing, semua tanda, pengumuman, dan nama stasiun menggunakan bahasa Inggris, selain bahasa Mandarin. Olimpiade juga menjadi momentum buat Beijing mengharamkan sepeda motor melintasi jalanan di kawasan dalam kota. Alasannya, sepeda motor kerap dipakai penjambret melakukan aksinya. Setelah menjambret, biasanya mereka lari ke kawasan perumahan kumuh dengan gang-gang sempit yang tidak bisa dilalui mobil.

Menjelang Olimpiade, Beijing berbenah. Warisan Cina era tua diperbaiki habis-habisan. Pemerintah Kota Beijing memasok anggaran khusus satu miliar yuan untuk proyek pembangunan kembali gedung lama dan prasarana kota. Wakil Direktur Komisi Pembangunan Kota Beijing Zhang Jiaming mengatakan, "Kami perbaiki 40 kawasan rumah lorong dan 140 taman."

Beijing pun membangun stadion raksasa untuk pesta megah olahraga musim panas sedunia dua tahun lalu. Kini stadion itu menjadi landmark baru Beijing era modern setelah Kota Terlarang dan Tembok Raksasa. Stadion Nasional Beijing, demikian nama resminya, menjadi semacam monumen sukses Cina menyelenggarakan Olimpiade. Orang juga mengenalnya sebagai Bird Nest Building atau Niao Ciao. Sebuah gedung berkonstruksi baja yang terinspirasi oleh sarang burung walet. Di sinilah dulu upacara megah pembukaan dan penutupan Olimpiade berlangsung. Cina mengeluarkan pundi-pundi hingga sekitar Rp 4,8 triliun untuk membangunnya.

Stadion Nasional berada dalam satu kawasan dengan Stadion Tertutup Nasional dan Pusat Akuatik Nasional. Tiga bangunan ini menyatu dengan Gedung Pertemuan, Pusat Olahraga, dan Gedung Budaya Wukesong Beijing, sebuah kawasan yang kemudian diberi nama Taman Olimpiade. Enam lokasi utama ini dibangun dengan biaya US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 19 triliun. Fantastis!

Alun-alun superluas membentang. Sejauh mata memandang belum juga ditemukan ujung Taman Olimpiade pada saat Beijing berkabut, akhir Juli lalu. Setidaknya 20 ribu orang berkunjung per hari. Pada musim liburan musim panas akhir Juli lalu, kunjungan makin banyak. Orang-orang dari pelosok Cina berduyun-duyun mengunjungi kemegahan stadion sarang burung itu. Turis asing pun terus mengalir. "Luas dan megahnya menakjubkan," kata Jodie O'tania, seorang pelancong.

Kemewahan stadion ini didukung patung kontemporer di Taman Olimpiade. Ada dua puluh patung. Dua tahun lalu, sebagai bagian dari cara Beijing berdandan menyambut Olimpiade, Institut Seni Patung Cina mengundang 20 pematung top dunia untuk membangun 20 karya monumental. Salah satunya adalah pematung top Italia, Alfio Mogelli.

l l l

Ekonomi Cina memang sedang tumbuh melesat. Akhir Juli lalu, Bank Dunia membuat laporan yang mengatakan pertumbuhan ekonomi Cina telah membantu negara-negara berkembang di Asia Timur pulih dari krisis global. Tapi Bank Dunia tetap mengingatkan Cina agar tak buru-buru mencabut kebijakan propertumbuh-an. "Terima kasih sekali kepada Cina. Kebanyakan produksi, ekspor, dan kesempatan kerja di sini telah kembali ke tingkat sebelum krisis," tulis laporan lembaga pemberi pinjaman yang berbasis di Washington.

Laporan itu menyebutkan perekonomian Cina tumbuh 10,7 persen pada kuartal keempat 2009. Ini meningkatkan perekonomian, terutama melalui permintaan impor dari Cina yang terus menanjak. Pertumbuhan ekonomi Cina ini ikut mengatrol pertumbuhan ekonomi di negara berkembang di Asia Timur.

Wilayah itu meliputi Vietnam, Filipina, Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Sehingga Asia Timur memimpin pertumbuhan ekonomi global tahun. Bank Dunia pun memperbarui target pertumbuhan tahun ini menjadi 8,7 persen. Ini melebihi target yang ditetapkan pada November tahun lalu sebesar 7,8 persen.

Cina terus membangun. Tahun ini Negeri Paman Mao Tse Tung ini melakukan investasi lebih dari US$ 100 miliar atau sekitar Rp 930 triliun pada 23 proyek infrastruktur baru. Sebagian besar untuk memacu pertumbuhan kawasan barat, meliputi Xinjiang, Tibet, Mongolia Dalam, Sichuan, dan Yunnan. Daerah ini lebih miskin dibanding kawasan timur Cina. Ini sekaligus untuk mendorong naiknya permintaan dalam negeri. Perdana Menteri Wen Jiabao mengumumkan ini pada Juli lalu.

Menurut Wen Jiabao, ekonomi Cina menghadapi situasi sangat rumit. Ekonomi Cina memang stabil. Tapi lambannya pemulihan ekonomi global dari yang diperkirakan berimbas pula pada Cina. Survei terhadap manajer pembelian dua bulan lalu juga menunjukkan kegiatan pada industri manufaktur juga melemah.

Uang 682,2 miliar yuan itu akan digunakan untuk membangun rel kereta api, jalan, bandara, tambang batu bara, pusat pembangkit listrik tenaga nuklir, dan jaringan listrik. Cina menganggarkan 2,2 triliun yuan untuk 120 proyek besar sejak tahun 2000 hingga 2009. Media pemerintah Cina melaporkan pada Juni lalu, Beijing akan mengalirkan bantuan ekonomi sekitar 10 miliar yuan untuk Xinjiang. Bantuan mengucur ke rakyat mulai tahun depan.

Ini bagian dari upaya meningkatkan standar hidup suku minoritas Uighur. Bayaran atas dilarangnya orang-orang miskin menyerbu Beijing yang wah. Pemerintah Cina tampak berupaya keras menjadikan Beijing steril dari gembel di jalanan. Namun upaya ini belum sepenuhnya berhasil.

Selain pengemis yang tidur di taman-taman seputar kawasan Kota Terlarang di atas, banyak pemulung yang berkeliaran di seputar stadion mewah bekas Olimpiade. Mereka memungut botol-botol bekas dari tempat sampah atau dari orang yang sembarang membuang sampah. Ada yang mencangklong karung sembari berputar dari tempat sampah yang satu ke tempat sampah yang lain. Ada juga yang menggunakan sepeda bergerobak, menunggu bekas kemasan makan dan minum di warung-warung tenda ditinggal pembelinya.

Di beberapa tempat di Taman Olimpiade, tampak warga Cina yang masih terlihat ndeso antre panjang ingin difoto kamera digital. Tukang foto keliling laris manis. Selama musim panas Juli itu, begitu banyak gembel menuju taman-taman Kota Beijing untuk sekadar mendinginkan badan. Warga miskin Beijing itu tampak duduk-duduk bertelanjang dada, tak ubahnya orang kampung di Jawa atau orang Tionghoa papa yang berserak di Pontianak hingga Singkawang, Kalimantan Barat.

Sunudyantoro (Beijing)

SUMBER http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/09/20/IMZ/mbm.20100920.IMZ134617.id.html

Kesaksian Maulwi Saelan, Wakil Komandan Tjakrabirawa

| | | 0 komentar
Sebagai Wakil Komandan Tjakrabirawa, sebuah resimen yang bertugas mengamankan presiden, Maulwi Saelan tahu banyak jalannya sejarah yang terjadi sejak tahun 1962 hingga lengsernya Bung Karno. Ia sendiri termasuk tentara yang dipanggil khusus ke Jakarta dari Makassar untuk mengonsep dan mempersiapkan pembentukan Resiman Tjakrabirawa tersebut. Jabatan pertamanya adalah Kepala Staf dengan pengkat Kolonel CPM.

Dalam buku tersebut, Maulwi membeberkan secara gamblang ihwal tragedi Gerakan 30 September 1965 atau yang Bung Karno selalu istilahkan sebagai Gerakan 1 Oktober (Gestok). Maulwi dengan sangat pasti menyebut bahwa gerakan itu merupakan kudeta yang dilakukan Soeharto kepada Sukarno. Tentu saja, ini murni pandangan Maulwi Saelan, dengan dukungan kesaksian sebagai saksi hidup.

Selain topik hangat tersebut, buku ini juga mengulas riwayat karier Maulwi yang juga pernah tercatat sebagai kiper PSSI. Karenanya, ia dikomentari oleh Dr Asvi Marwan Adam dalam kata pengantarnya, dengan istilah Penjaga Gawang hingga Penjaga Presiden.

Pada bagian lain, ia mengulas juga sejarah lahirnya Resimen Tjakrabirawa. Nah, yang ini nanti akan saya kupas khusus, guna memenuhi “request” tamu blog ini.

Sebenarnya masih banyak kandungan buku ini. Tapi jari-jemari ini sungguh berat buat disuruh menari di atas tuts laptop. Bisa jadi karena pengaruh “jetlag” mudik, kemarin dulu…. Karenanya, saya sudahi saja info tentang salah satu koleksi buku (referensi) saya tentang sosok Bung Karno ini.

Sebagai penutup, saya kutipkan kata-kata Bung Karno yang diucapkan khusus kepada Maulwi Saelan pasca tragedi Gestok. “Saelan, percayalah! Saya yakin nanti sejarah akan mengungkapkan kebenaran dan siapa yang sebetulnya benar, Soeharto atau Sukarno!”. (roso daras)

Riwu Ga, Sang Terompet Proklamasi Riwu dan anaknya

| | | 0 komentar
Lelaki tua itu mengayunkan cangkulnya, membenamkan dalam-dalam ke kulit bumi. Sejengkal demi sejengkal tanah terbelah…. Begitu Peter A. Rohi melukiskan aktivitas Riwu Ga dalam bukunya, “Riwu Ga, 14 Tahun Mengawal Bung Karno, Kako Lami Angalai?”. Siapakah Riwu? Dialah pelayan sekaligus pengawal setia Bung Karno, sejak era pembuangan di Ende tahun 1934 hingga Indonesia merdeka 1945.

Nama ini tak pernah disebut-sebut dalam sejarah perjalanan bangsa. Rupanya, memang Riwu sendiri yang menghendaki begitu. Tak lama setelah Indonesia merdeka, Riwu pamit kepada Bung Karno untuk pulang ke Pulau Sabu, Timor, tanah kelahirannya. Sejak itu, ia tak pernah sekalipun bercerita, ihwal peran pentingnya mengawal dan melayani Bung Karno.

Tidak heran, ketika penulis Peter A. Rohi mengunjunginya di tengah hutan gewang, di ladang jagung miliknya, ia tengah giat mencangkul, meski usianya sudah 70-an tahun. Padahal, pada hari itu, kantor-kantor desa, kecamatan, hingga Istana Negara, tengah melangsungkan upacara peringatan proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus.

Di desanya, tidak seorang pun mengetahui peran Riwu dalam gelar sejarah bangsa. Tidak kepala desa, tidak camat, tidak bupati, bahkan gubernur NTT sendiri tidak tahu ihwal sejarah Riwu. Meski begitu, sedikit pun tak ada gurat penyesalan dalam wajahnya. “Merah-putih itu ada di dalam hati ini,” ujar Riwu, memaknai seremoni 17 Agustus.

Bisa jadi, Riwu adalah sepenggal sejarah yang terlepas. Akan tetapi, Riwu-lah sang terompet proklamasi di Jakarta pada hari 17 Agustus 1945. Ia ingat persis peristiwa hari itu. Tidak lama setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi, ia dipanggil, “Angalai (sahabat), sekarang giliran angalai,” lalu Bung Karno melanjutkan instruksinya, “sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera.”

Riwu sangat bangga mendapat perintah Bung Karno itu. Walaupun situasi kota Jakarta sungguh mencekam. Secara resmi, Jepang tidak atau belum mengakui kemerdekaan kita. Di jalan-jalan protokol tampak para serdadu kenpetai (tentara Jepang), yang bisa saja mencegat, melarang, atau bahkan menembaknya. Sedikit pun Riwu tak gentar. Ia harus menyebarkan berita kemerdekaan itu dengan berkeliling kota Jakarta, membawa bendera, seperti perintah Bung Karno.

Untuk tugas itu, ia dibantu Sarwoko, adik Mr. Sartono. Sarwoko mengemudikan mobil jip terbuka. Sementara Riwu berdiri sambil melambai-lambaikan bendera merah putih, dan berteriak-teriak sepanjang jalan. Mula sekali ia berteriak, “Kita sudah merdekaaaaa…..” tapi sambutan masyarakat di pinggir jalan dingin. Entah shock, entah tidak percaya, atau mungkin menanggap Riwu adalah seorang pemuda “gila” yang sedang mencari mati.

Demi melihat masyarakat bengong, Riwu berteriak lagi, dengan sangat meyakinkan, “Kita sudah merdekaaaa… merdekaaa… merdekaaa…. Kita sudah merdekaaa… merdekaaa… merdekaaa….” Barulah rakyat menyambutnya dengan teriakan yang sama, “Kita sudah merdekaaa… merdekaaa… merdekaaa…” sambil tangan kanan mengepal meninju angkasa. Bahana merdeka menggema di sepanjang jalan sahut-menyahut, disusul tangis histeris sebagian orang.

Begitulah. Jumat, 17 Agustus 1945, Riwu dan Sarwoko berkeliling kota Jakarta mengabarkan proklamasi yang baru saja diucapkan Bung Karno (dan Bung Hatta) atas nama seluruh bangsa Indonesia. (roso daras)

Malam Minggu Bersama Habib

| | | 0 komentar
Rohim, 19 tahun, dengan kopiah putih serta baju dan celana koko putih, mau menghabiskan malamnya bersama habib. Ia memang selalu ingin bersama habib, yang diyakini sebagai keturunan Rasulullah melalui putrinya, Fatimah az-Zahra, dan menantunya, Ali bin Abi Thalib. Di rumah, gambar sang habib yang berkacamata minus, berjubah, dan bersorban putih menghiasi pintu kamarnya. Di jalan, gambar habib yang sama menemani nya, melekat pada tangki bensin sepeda motornya.

Senin malam terakhir sebelum Lebaran, dalam konvoi sepeda motor yang panjang, Rohim melesat cepat. Jaket hitam yang dikenakannya dengan sulaman benang emas Majelis Rasulullah pada punggungnya menyala di gelap malam. Duduk di belakangnya, Yakub, seorang anak tetangga sesama penduduk Jagakarsa yang masih seusia dengannya, memegang bendera hijau bertuliskan Majelis Rasulullah dalam aksara Arab.

Jaket hitam, kopiah putih, dan bendera yang bergelombang gagah merupakan lambang identitas anak-anak muda yang melupakan hedonisme remajanya, seraya menghabiskan malam Selasa bersama habib. Dan harus diakui, ini juga merupakan simbol menyebalkan bagi pengemudi metromini dan ribuan komuter para penduduk Depok, Bogor, Cimanggis, dan sekitarnya yang telah lelah bekerja tapi harus berjuang menembus hiruk-pikuk jalanan ini.

"Ngaji kok nyusahkan orang, dasaaar...," sopir metromini berlogat Jawa Timur memaki. Ia tak menyelesaikan kalimatnya, tapi meng injak gas dan rem silih berganti. Rohim, Yakub, dan kawan-kawannya tidak mengendarai sepeda motor secara ugal-ugalan. Tapi, seperti melihat pendukung kesebelasan lokal, Jakmania, yang bergerak berkelompok, sopir ini berusaha menghindari tiap benturan dengan anak-anak muda yang memacu sepeda motor sonder helm itu.

Sang habib memang sosok populer. Gambarnya tampak di mana-mana: dari baliho yang mencolok berisi undangan pengajian di pinggir-pinggir jalan strategis, hingga dinding rumah penduduk yang bersembunyi di gang-gang sempit. Tidak memiliki majelis yang menetap awalnya, habib ini lalu mengandalkan sebuah masjid jami masjid yang biasa dipakai untuk sembahyang Jumat sebagai basis dakwah nya di Pancoran, Jakarta Selatan. Dan manakala pengikut majelis yang dibina sejak 1998 ini berkembang menjadi ribuan, puluhan, bahkan ratusan ribu orang, tidak bisa tidak terganggulah lalu lintas di daerah sepanjang masjid itu. Kendaraan padat merayap di jalan depan masjid, dua sisi, hingga satu kilometer. Area rumah toko di kanan-kiri masjid pun menjadi tempat parkir dadakan.

Dia Habib Munzir bin Fuad al-Musawa. Usianya 37 tahun. Dakwah yang dulu dilakoninya secara bersahaja dari rumah ke rumah itu sekarang telah menjadi sebuah pohon besar yang bercabang banyak. Habib Munzir berceramah di sepanjang pantai utara dan pantai selatan Jawa, terus meluas ke Bali, Nusa Tenggara Barat, Papua, bahkan Singapura, Johor, dan Kuala Lumpur. Majelis Rasulullah sendiri mengisi acara bim bingan rohani di gedung-gedung perkantoran dan di stasiun-stasiun televisi. Sebuah kios didirikan persis di belakang Masjid Al-Munawar, menjual aneka aksesori Majelis Rasulullah.

Belajar bahasa Arab dan kemudian syariah dari beberapa habib ternama yang menguasai bidang itu di Jakarta, Munzir mengikuti tradisi panjang para habib: belajar agama di Hadra maut. Hadramaut belakangan menjadi destinasi belajar agama yang memikat bagi para pelajar yang berasal dari Indonesia, karena Mekah sudah mengurangi jatah beasiswa bagi mahasiswa asing. Maka, di pesantren Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut, di bawah bim bingan langsung Guru Besar Habib Umar bin Hafidz, ia mendalami ilmu fikih, tafsir Quran, ilmu hadis, sejarah, tauhid, tasawuf, dakwah, dan syariah.

"Habib Umar bin Hafidz secara eksplisit melarang murid-muridnya berdemonstrasi atau ikut politik praktis," kata Ismail Fajrie Alatas, sejarawan, kandidat doktor University of Michigan, Ann Arbor, Amerika Serikat, yang memperhatikan diaspora orang-orang Hadrami di Asia Tenggara. Habib Umar mengajarkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Allah dan Rasul tetap merupakan rujukan paling substansial. Namun ia tidak mengizinkan murid-muridnya mengkritik keras mazhab yang tidak sehaluan dengannya.

Habib Umar menekankan kesalehan individu, dan hasilnya bisa dilihat pada Munzir al-Musawa, bekas murid Ma'had Darul Mustafa dengan ceramahnya yang banyak menawarkan tasawuf dalam kemasan populer itu. "Saya berdakwah dengan mengenalkan kelembutan Allah dan rasul-Nya yang jarang dibahas oleh para dai masa kini," kata Habib Munzir al-Musawa.

Habib Munzir tak berhenti di situ. Baliho, umbul-umbul, drum band, live streaming video yang memungkinkan audiens lebih luas menyaksikan acara yang tengah berlangsung di Majelis Rasulullah, dan perencanaan matang layaknya yang dilakukan sebuah event organizer dikerahkan serentak. Mereka menawarkan gabungan antara dakwah dan showmanship. "Masjid dan halaman penuh, sampai jalanan," kata Taufik, orang Majelis Rasulullah, salah satu anggota panitia dalam acara Senin malam di Masjid Al-Munawar.

Satu ruas Jalan Pasar Minggu Raya mendadak jadi pasar malam. Maka terbentanglah arena jual-beli sepanjang 500 meter, dipenuhi pedagang yang menjual aneka rupa perlengkapan pengajian, dari kopiah, tasbih, gamis, sampai minyak wangi. Dua puluh ribu orang dalam acara malam Selasa, satu juta orang dalam acara spesial seperti malam Nuzul Quran di lapangan Monumen Nasional, Kamis malam dua pekan lalu, begitulah kesimpulan Taufik.

Tidak semua anak muda Ibu Kota lantas jatuh hati kepada Habib Munzir. Di bilangan Kebagusan, Pasar Minggu, seorang habib telah memulai langkahnya dengan kemasan yang tak kalah memukau. Membidik segmen yang sama, Habib Hasan bin Ja'far Assegaf, pendiri Majelis Nurul Musthofa, di kawasan ini, memang berusaha meyakinkan anak-anak muda bahwa menghabiskan malam Minggu di majelis taklim itu tidak membosankan. Maka, tiap malam Minggu, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain. "Bisa puluhan ribu orang datang," kata Habib Abdullah bin Ja'far, Ketua Yayasan Nurul Musthofa, adik Habib Hasan bin Ja'far Assegaf.

Raungan arak-arakan sepeda motor dan letusan petasan biasa mengawali majelis taklim yang ajarannya berpusat pada gagasan yang berkembang di kalangan habaib ini: cinta Allah dan Rasul. Meniru gaya Wali Songo yang banyak memberikan tempat untuk budaya lokal, ia pun mengatakan, " Syiar harus mengetahui apa yang disukai (umat)." Mungkin bisa dipahami mengapa Habib Hasan bin Ja'far Assegaf, 33 tahun, yang menimba ilmu dari Pondok Pesantren Darul Hadits di Malang, Jawa Timur, kemudian suka menyitir cerita tentang wali dalam dakwahnya. Dan ini berbeda dengan Habib Munzir, yang berpendidikan Hadramaut dan gemar berkisah tentang keteladanan dalam keluarga Rasul.

Sama-sama berusia di bawah 40 tahun, punya karisma tinggi, kedua habib sadar akan kemasan dan teknologi. Dua majelis taklim besar di Jakarta dan sekitarnya itu mempunyai website dengan informasi lengkap, seperti jad wal majelis, kajian, dan perangkat identitas dari jaket sampai helm. Website kedua majelis itu misalnya bisa diakses di www.majelisrasulullah.org dan nurulmusthofa.org. Dari pemantauan, kedua website cukup rutin di-update, sedikitnya sepekan sekali.

Habib Abdullah bin Ja'far Assegaf dari Yayasan Nurul Musthofa menggambarkan hubungan kedua majelis ini sangat positif. "Tepatnya berlomba dalam kebaikan. Majelis lain sukses, kita juga harus bisa," katanya. Seandai nya terjadi ketegangan di tengah jalan, Habib Munzir punya resep mujarab untuk mengatasinya. "Dengan metode Nabi: berakhlak baik kepada semua, mencium tangan orang yang lebih tua, banyak tersenyum, dan tidak berat untuk memuji dan memuliakan orang lain walau di majelis saya sendiri, maka kita tak punya musuh," katanya.

Ramadan tak lama lagi berakhir, dan Yakub, si pemegang bendera, menjadi sibuk luar biasa. Sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, malam-malamnya diisi dengan agenda kegiatan yang demikian padat: di kawasan Empang Bogor pada 21 Ramadan malam, di makam Habib Kuncung, Kalibata, pada 22 Ramadan malam, di majelis Al-Hawi di Condet pada 23 Ramadan malam, di Kwitang pada 25 Ramadan malam, dan di Pekojan (Hb. Ibrahim Kramat Pulo) pada 27 Ramadan malam. Seperti ayahandanya, Yakub pengunjung setia majelis taklim habaib yang tersebar di Jakarta dan Bogor. Kegiatan sepanjang sepuluh malam terakhir Ramadan ini diawali dengan membaca ratib bersama, kemudian membaca asmaul husna, mendengarkan tausiah, salat isya, dan ditutup dengan tarawih bersama.

Dan satu lagi, demi menjaga perasaan hadirin di majelis-majelis tradisi onal itu, ia cukup mengenakan kopiah putih dan setelan baju koko putih, tanpa jaket hitam kebanggaan pengikut pengajiannya. Yakub sengaja menghindari eksklusivitas kelompok. Dengan begitu, ia mudah berbaur dengan massa dari majelis lain yang mengharapkan kedatangan lailatulkadar. Yakub telah menjalankan tradisi turun-temurun keluarganya dan ia telah memperlihatkan sebuah local wisdom dalam keputusannya itu.

Rohim dan Yakub dari Jagakarsa, Taufik dari Kalibata, semua bergerak mendekati nukleus yang berdaya tarik besar: Munzir al-Musawa, Hasan bin Ja'far Assegaf, dan sejumlah habib lain. Delapan dasawarsa silam, seorang habib kelahiran Betawi yang mengenyam pendidikan agama di Hadramaut dan Hijaz pulang kampung dan mulai melakukan sesuatu yang rutin, sederhana, tapi berakibat besar.

Ia seorang pedagang yang berdomisili di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat. Pagi-pagi sang habib sudah membuka tokonya yang terletak di Tanah Abang. Melayani pembeli dan kebutuhan lainnya, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi kemudian bersiap-siap pulang ketika matahari tinggi, pukul 11.00-12.00. Ya, ia pulang, tapi tidak langsung ke rumah. Mengendarai kuda, ia bergerak sampai jauh, dari kampung ke kampung, menawarkan dagangannya, sembari berbincang-bincang mengenai pelbagai masalah agama dengan kiai-kiai setempat.

Bertahun-tahun ia menjalani rutin itas ini sampai akhirnya terbentuklah jaringan yang luas, dan terbitlah gagas an untuk membangun sebuah majelis taklim yang menjadi wadah tempat kiai-kiai lokal itu membawakan pidatonya. Waktu dan tempat ditetapkan, Minggu pagi, di Kwitang, dan sejak itu berlangsunglah tradisi hadir tiap Ahad pagi di tempat yang sama, hingga kini. Dan saking populernya pengajian ini, tak ada kiai di Betawi yang menyelenggarakan pengajian pada Minggu pagi.

Habib Ali al-Habsyi dikenal dengan panggilan Habib Ali Kwitang adalah sosok yang paling berjasa mempopulerkan maulud di Jakarta. Maulud adalah teks yang bercerita tentang kelahiran Nabi yang selalu dibacakan dalam aneka peristiwa penting, seperti kelahiran dan sunatan. Maulud menjadi penting karena naskah ini juga menyentuh satu konsep teologi bahwa Tuhan meletakkan nur Muhammad sebagai sebuah ciptaan yang merupakan awal dari segala makhluk, karena ia manifestasi dari cahaya Tuhan sendiri. "Maka orang Betawi dulu, kalau bikin maulud, harus ada habib. Belum ada habib belum afdal," kata Ismail Fajrie Alatas.

Dua puluh ribu orang dalam pengajian harian, sejuta orang dalam pengajian-pengajian istimewa, seperti maulud, Nuzul Quran, dan Isra Mikraj. "Cara mereka berdakwah itu menunjukkan ada kecocokan di tengah-tengah masya rakat, sehingga masyarakat mau berduyun-duyun datang ke majelis-majelis mereka," kata Menteri Agama Surya dharma Ali. Tidak dimobilisasi, tidak diberi bus, tidak dikasih makan, mereka datang dengan sukarela, dengan ikhlas. "Saya orang partai, memobilisasi orang 10 ribu, busnya disediakan, nasi bungkusnya disediakan, memang cost-nya tinggi. Ini malah enggak." Ia melihat sisi positifnya: daripada tawuran, anak-anak muda diajak berzikir, berselawat.

Empat dasawarsa sepeninggal Habib Ali Kwitang (1875-1968), sesuatu yang alamiah terjadi: regenerasi habaib. Se iring dengan perkembangan zaman, pola dakwah dan pendidikan para habib pun banyak berubah. Tapi, dalam kurun sepanjang ini, mungkin ada satu yang tidak banyak berubah: godaan dari para politikus. Habib Abdurrahman al-Habsyi, kini penyelenggara acara hadir tiap Ahad di Kwitang, mengingatkan. "Massa besar pasti jadi incaran, padahal rayuan politik kadang halus, tak terasa," katanya.

Idrus F. Shahab, Harun Mahbub, Ahmad Taufik

sumber http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/habib/index.php

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?