SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Kisah Duka Joni Malela

| | |
Irene Sarwindaningrum, Harry Susilo, dan Gregorius Magnus Finesso

Euis Rusmiati (48), istri almarhum Joni Malela, duduk bersimpuh di tikar lusuh di ruang tamunya yang sempit. Rumah mungil warisan orangtuanya itu menyempil di gang sempit Jalan Gagak Lumayung, Kotawetan, Garut, Jawa Barat.

Jenazah Joni Malela (45), yang tunanetra, telah dikebumikan, Sabtu (11/9) pagi. Euis, yang juga tunanetra dan mengalami gangguan pendengaran, tampak tabah menerima nasib naas suaminya meski hatinya remuk.

Kepada para tamu, yang hingga Minggu kemarin terus melayat, Euis bercerita.

Jumat pagi itu, tepat pada hari Lebaran—yang harusnya membahagiakan, keduanya berangkat ke Istana Negara untuk bersilaturahim dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta mendapat uang saku.

Dituntun Joni yang pagi itu berbatik biru, Euis berangkat dari rumah kontrakannya di Jalan Gotong Royong, tak jauh dari perempatan Gaplek, Pamulang, Tangerang Selatan. Keduanya menumpang mikrolet carteran bersama enam rekan tunanetra dari Yayasan Sasana Kebajikan.

Tiba di Istana Negara pukul 09.30. Nyatanya, hingga pukul 15.00, pasangan itu masih berdiri berdesak-desakan dalam terik, lapar, dan dahaga bersama ratusan tunanetra lain. Akibatnya, Joni dan beberapa warga terjatuh, beberapa lainnya pingsan.

Joni, yang berdiri tak jauh dari depan pintu gerbang, semula ingin mundur ke barisan belakang, tetapi justru jatuh. Ia terdorong ke sana kemari sebelum diselamatkan dan ditandu petugas ke Jalan Majapahit.

Menurut petugas kesehatan Theresia Indah, Jumat sore itu, Joni sempat dibantu dengan tabung oksigen selama 10 menit. Namun, jiwanya tak tertolong.

Dengan Mobil PMI, jenazah Joni dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo. Euis ikut mendampinginya hingga RSCM. Jenazah itu kemudian dibawa ke Garut.

Berjuang

Kematian tragis Joni mengakhiri perjalanan murungnya sebagai tunanetra. Menurut kawan lama Joni, yang juga adik Euis, Undang Sudarsa (46), Joni cukup pandai. Dia pernah kuliah dan mendapat gelar D-2 dari Sekolah Pendidikan Guru Luar Biasa di Yogyakarta.

Joni juga piawai bermusik dan tahun 1975 dikirim sebagai atlet tenis meja pada kejuaraan penyandang cacat di Singapura.

Namun, semua ijazah dan sertifikat prestasinya hilang sehingga Joni tak bisa melamar kerja. ”Ia pernah jadi pegawai honorer, tapi tak juga diangkat. Akhirnya, ia menjadi tukang urut sampai sekarang,” katanya.

Sebagai tukang pijat, penghasilannya minim. Larima (47), rekan Joni sesama pemijat tunanetra, menuturkan, dalam sebulan, pelanggan panti pijat ”Bina Sehat” milik Joni hanya berkisar satu hingga tiga orang. Tarif satu orang pasien berkisar Rp 25.000-Rp 35.000. Artinya, sebulan Joni hanya mengantongi sekitar Rp 100.000.

Panti ”Bina Sehat” itu ada di kontrakan Joni. Kondisinya memilukan, tirai birunya kusam, tanpa kursi, dengan perabotan sederhana.

”Hampir semua pemijat tunanetra seperti itu,” ujar Larima ditemui di kontrakannya di RT 01 RW 04 Kelurahan Kedaung, Kecamatan Sawangan, Depok.

Ny Hicks Lion (75), tetangga rumah kontrakan Joni, menuturkan, uang sewa rumah seharga Rp 285.000 per bulan didapatkan Joni dari bantuan tiap kali hadir di pengajian Khazanah Kebajikan di dekat Lanud Pondok Cabe.

Larima, yang juga mengikuti pengajian itu, mengaku, tiap kali datang diberi Rp 20.000 oleh dermawan di yayasan itu. Mereka berdua rajin mengikuti pengajian itu.

”Jujur saja, harapan kami ke istana karena kepengen dapet Rp 250.000 seperti tahun kemarin,” katanya. Tetapi, ternyata tahun ini jumlahnya hanya Rp 100.000.

Tumpuan

Meninggalnya Joni pada hari Lebaran di Istana Negara memukul teman dan keluarganya. Selama ini, Joni dipercaya sebagai Ketua Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia Banten.

Sementara bagi Euis, Joni adalah pendamping hidup dan penuntun jalan. Pasangan ini memang biasa berkeliling menawarkan jasa urut ke perumahan-perumahan. Joni menuntun Euis, kadang kala membawa kaleng. Siapa tahu, ada pemberian cuma-cuma.

Meski penghasilannya minim, Joni berusaha membiayai sekolah anaknya, Nova Novisda (18), yang sejak kecil tinggal bersama neneknya. Rencananya, uang saku dari silaturahim dengan Presiden Susilo Bambang untuk ongkos pulang ke Garut menengok putrinya itu.

Kini, setelah kematian Joni, Euis tinggal di Garut. Santunan Rp 10 juta dari Istana akan digunakan untuk makan sehari-hari karena meninggalnya Joni berarti hilangnya nafkah keluarga. ”Tak mungkin lagi saya jadi tukang urut keliling, Pak Joni yang biasanya menuntun sudah tidak ada,” ucap Euis.

Kini, tiap kali hendak berjalan, tangan ringkih Euis tergagap mencari tongkat lipatnya. Tongkat logam itu kini menjadi satu-satunya tumpuan dalam menentukan arah saat berjalan.(SUHARTONO/HENDRIYO WIDI)

http://nasional.kompas.com/read/2010/09/13/04331875/Kisah.Duka.Joni.Malela

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?