Oleh Iwan Santosa
Kemajuan pembangunan China memang memesona. Dusun nelayan bernama Zhuhai disulap menjadi metropolis dengan fasilitas mengalahkan Jakarta yang dirongrong minimnya infrastruktur, kerusakan lingkungan, dan perilaku jorok warganya.
Zhuhai di selatan Provinsi Guangdong dengan Daerah Administrasi Khusus Makau, ditetapkan menjadi zona ekonomi khusus sejak tahun 1979 menyusul wilayah Shenzhen, maju pesat, setidaknya secara fisik infrastruktur. Wilayah seluas Jakarta dengan penduduk sekitar dua juta jiwa itu memenuhi syarat sebagai kota modern meninggalkan Jakarta yang pembangunannya jalan di tempat.
Saat Kompas bersama tim balap mobil Alexandra Asmasoebrata tiba di pelabuhan feri Jiu Zhou, Zhuhai, suasana kampung nelayan sudah tak ada. Gedung megah menjulang tinggi, jalan lebar enam lajur di tepi pantai yang indah membentang di sepanjang tepi pantai yang bersih.
Jogging track, jalur sepeda, dan taman membentang di sepanjang pantai hingga ke patung gadis nelayan yang menjadi landmark Zhuhai, seperti patung Little Mermaid di Copenhagen dan patung Duyung di pantai Samila, Songkhla, Thailand.
Asri, bersih, dan indah. Wajar jika Zhuhai dijuluki Riviera-nya China, setara dengan kawasan Riviera di selatan Perancis!
Budi Siswanto, wartawan tabloid Otomotif yang sudah enam kali ke Zhuhai sejak medio 1990-an, mengaku selalu melihat ada infrastruktur baru di Zhuhai setiap kali dia datang.
”Jalan di tepi pantai ini semakin dilebarkan. Reklamasi terus berlangsung. Apartemen kumuh diperbarui tanpa harus mengusir rakyat kecil. Mal, pertokoan, hingga pabrik serta sirkuit balap menjadi daya tarik Zhuhai,” kata Budi.
Pada tahun 1996, Zhuhai Guo Ji Sai Che Zhang (Sirkuit Internasional Zhuhai) resmi digunakan. Bertambahlah fasilitas internasional di Zhuhai.
Ada gula, ada semut
Pemeo ada gula ada semut berlaku di Zhuhai. Pemerintah China cukup menyediakan infrastruktur, perekonomian bergerak, warga dari daerah minus pun berdatangan ke Zhuhai.
Ye Zheng, seorang warga suku Hui dari Lan Chou, Provinsi Gansu, di perbatasan Mongolia di utara China, membuka restoran Muslim di Zhuhai. ”Saya berbisnis di sini. Lumayan banyak pelanggan orang Han (etnis mayoritas di China) hingga warga dari negara Muslim,” kata Ye.
Biaya hidup di metropolis sekelas Zhuhai masih terjangkau bagi ukuran Indonesia. Semangkuk la mian sapi di kedai Ye dijual seharga RMB 7 (sekitar Rp 8.750). Padahal, di Jakarta, semangkuk la mian di restoran besar dihargai Rp 50.000!
Kedai Ye berdampingan dengan toko kelontong, restoran tradisional, kelab malam, dan toko penjual anggur impor.
Harga manisan buah pun tergolong murah. Sebungkus buah dan manisan kering dijual pada kisaran RMB 3 hingga RMB 7 (Rp 3.750-Rp 8.750).
Justin Wong, pemilik toko anggur, mengaku sengaja pulang setelah studi di Adelaide, Australia, karena peluang bisnis di Zhuhai menjanjikan.
Sebotol anggur lokal dijual RMB 20 (sekitar Rp 25.000) dan anggur Bordeaux, Perancis, RMB 80 (sekitar Rp 100.000). Jauh lebih murah dibandingkan anggur impor di Jakarta yang rata-rata Rp 500.000 per botol.
Berbelanja di Gongbei, distrik di selatan Zhuhai di perbatasan Makau, pun sangat murah. Banyak orang Indonesia yang berbelanja barang dagangan seperti tas tiruan dan pelbagai produk tekstil untuk dijual di Jakarta.
”Harga murah. Ni men shi Malaysia de ma (kalian dari Malaysia, kah)?” ujar pemilik toko yang mengaku punya pelanggan tetap dari Indonesia dan Malaysia. Sehelai cheongsam katun—gaun tradisional China—dijual RMB 90 (Rp 112.500).
A Piao, warga Hunan, pesisir timur China, mengaku lebih suka mengadu nasib di Zhuhai. ”Zhe bian quan de qian bi jiao jian yi (Di sini cari uang lebih mudah),” ujar pria yang sehari-hari mengemudikan taksi itu.
Infrastruktur modern dan rapi memang kunci kemajuan sebuah kota. Zhuhai adalah buktinya!
Editor: Egidius Patnistik | Sumber : Kompas Cetak
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar