Banten- Setelah pasukan Jepang mengalami kekalahan terus-menerus dalam medan perang di Pasifik, pemenuhan kebutuhan logistik tentara di garis belakang pun banyak mendapat kesulitan. Untuk mengatasi hal tersebut, Jepang berusaha merekrut penduduk dari daerah-daerah kuasanya untuk dikerahkan dalam segala kegiatan ekonomi dan perang.
Melalui unit-unit desa terkecil masyarakat diwajibkan mengumpulkan dan menyerahkan hasil bumi berupa padi, karet dan sebagainya; dan juga barang-barang berharga lainnya seperti emas, perak, intan, sampai dengan besi tua. Petani dipaksa untuk menyerahkan hampir seluruh hasil panennya, di samping dibebani kewajiban untuk menanam pohon jarak ─ yang dipakai sebagai bahan baku membuat minyak pelumas mesin. Padi untuk persediaan makan habis dan beras sudah lama menghilang dari pasaran.
Akibat tindakan tentara Jepang semacam itu, penghidupan rakyat menjadi semakin sengsara. Untuk memperoleh makanan pokok seperti beras dan jagung saja mereka harus mempunyai “kartu tanda beli” dari lurah. Penduduk harus antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan satu liter beras. Para pegawai pemerintah (dari bangsa Indonesia) saja hanya dapat jatah dua kilogram untuk kebutuhan keluarganya selama satu minggu. Sehingga untuk mengatasi kelaparan ini orang terpaksa makan umbi-umbian seperti umbi jalar, ketela pohon dan talas, bahkan tidak jarang ada yang makan pokok batang pisang (gedebong) atau umbut batang nipah.
Kerena keadaan kurangnya persedian pangan dan kondisi yang sangat menyedihkan ini, banyak penduduk yang sakit berat dan meninggal disebabkan kelaparan dan kekurangan gizi. Penyakit kolera, malaria, busung lapar dan penyakit cacar mewabah serta banyak menelan korban (Soeara Merdeka, 28 Oktober 1945).
Bahan pakaian pun sulit diperoleh, sehingga penduduk terpaksa memanfaatkan bahan kelambu, seprei atau gorden yang masih dapat dipakai. Bahkan di pedesaan keadaannya lebih sulit lagi, banyak penduduk desa yang mengunakan bahan bekas karung goni atau lembaran karet sebagai bahan penutup tubuh. Akibatnya banyak yang menderita penyakit borok karena gigitan kutu atau karena lekatnya baju karet itu dengan kulit tubuh si pemakai.
Yang paling mengenaskan bagi penduduk adalah kewajiban untuk menjadi romusha, yaitu pekerja kasar yang bekerja untuk kepentingan perang dan tidak mendapat bayaran ─ semacam pekerja rodi pada masa Belanda. Di samping kekurangan makanan, penginapan dan kebebasan, para romusha ini diperintahkan untuk bekerja keras tanpa henti, seperti layaknya budak belian. Tragisnya, oleh pemerintah Jepang, para romusha itu dijuluki “pahlawan ekonomi”.
Para romusha inilah yang dikerahkan untuk pembuatan jalan kereta api dari Seketi ke Bayah, pembuatan lapangan terbang Gorda, pembuatan basis pertahanan di Pulau Panaitan, penggalian batu bara di Bayah, Banten Selatan. Untuk menggambarkan bagaimana keadaan para “pahlawan ekonomi” ini, dapat dilihat dari keadaan para romusha di pertambangan batubara di Bayah Kozan.
Tenaga mereka diperas habis-habisan, sementara kesejahteraannya tidak diperhatikan pemerintah. Mereka ditempatkan di bedeng-bedeng kecil yang tidak berdinding dan hanya beratapkan daun kirai (sejenis daun enau atau aren) sebagai penahan air hujan dan segatan matahari. Makanan yang disediakan dijatah sangat terbatas, masing-masing mereka hanya mendapat 2 ons beras per hari setiap orang (Tan Malaka t.t. :53). Karena tindakan tentara pendudukan Jepang di luar batas nilai-nilai kemanusiaan itu, beribu-ribu romusha meninggal di tempat mereka bekerja.
Sepanjang jalan antara Saketi dan Bayah ditemui banyak mayat para romusha yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi sepanjang jalan kereta api dari Saketi sampai Bayah, atau dalam pembuatan lapangan udara di Gorda, Cikande (Sudiro, 1979:).
Disamping itu, untuk keperluan memelihara “semangat bertempur” di kalangan tentara Jepang, mereka mendirikan “tempat-tempat rekreasi” ─ lebih tepat disebut rumah bordil ─ yang didirikan di beberapa kota. Di tempat-tempat semacam itulah disediakan jugun ianfu, yaitu wanita penghibur yang mengikuti tentara Jepang; atau dalam arti yang sebenarnya adalah wanita-wanita pelacur, yang disiapkan untuk penghibur dan pemuas seks tentara Jepang. Untuk mendapatkan jugun ianfu ini ditempuh dengan berbagai cara, baik dengan tipuan halus ─ misalnya dengan bujukan untuk disekolahkan di Singapura, dan lain-lain ─ ataupun dengan kekerasan; misalnya ancaman keluarganya akan dijadikan romusha.
Beribu-ribu gadis muda Indonesia dipaksa untuk melayani kebutuhan seksual tentara Jepang ini, seperti layaknya budak seks. Sebagai gambaran yang jelas tentang banyaknya jugun ianfu ini, gadis-gadis Korea yang dipaksa untuk pekerjaan itu diperkirakan lebih dari 200.000 orang. Dan tidak jarang terjadi kekerasan bagi gadis yang menolak melayani tentara Jepang itu; ia dihukum dengan cara mengikatkan leher dan keempat anggota tubuhnya ke lima ekor kuda yang menariknya ke arah yang berlawanan.
Malahan bagi jugun ianfu yang ketahuan telah mengidap penyakit kotor dibakar hidup-hidup atau diledakkan dengan granat. Para wanita ini dibawa kemana tentara Jepang itu dikirim, berkeliling sampai ke Cina, Asia Tenggara, bahkan sampai ke Rabaul di Papua Nugini, salah satu pangkalan militer Jepang. Di antara para jugun ianfu yang selamat dari kekejaman tentara Jepang pun banyak yang akhirnya bernasib sangat mengenaskan: mati bunuh diri atau menjadi gila (Tempo, No. 21/XXII, 25 Juli 1992).
Di Serang, para jugun ianfu itu ─ oleh penduduk setempat disebut “jobong jepang” ─ ditempatkan di beberapa hotel, bar, rumah peristirahatan perwira, dan di dekat tangsi militer Jepang; misalnya di perumahan perwira di Cirendong, di Kantin atau di tempat perisrahatan tamu penting (sekarang rumah dinas Danrem). Biasanya, untuk menghindari timbulnya emosi masyarakat, para jugun ianfu tidak ditempatkan di daerah asalnya, melainkan ditukar-tempat; misalnya gadis asal Serang ditempatkan di Bogor, demikian juga sebaliknya.
Anak-anak pelajar Sekolah Rakyat (SR), setiap hari sebelum masuk kelas, diharuskan melakukan sinkerei yang dilanjutkan dengan taiso. Kemudian setiap hari Senin, sambil mengibarkan bendera Jepang mereka menyanyikan lagu Kimigayo. Hari-hari berikutnya, para siswa ini diharuskan mencari bebangah dan menanam pohon jarak, yang hasilnya nanti dikumpulkan di tiap-tiap sekolah untuk keperluan Jepang.
Orang-orang kampung diintruksikan untuk membuat lobang-lobang perlindungan, misalnya di pinggir Kalibanten (Cibanten), berupa gua-gua sedalam 2 meter lebar dan tinggi 1 meter. Gua-gua perlindungan ini digunakan sebagai tempat perlindungan, dimana anak-anak dibekali karet untuk digigit bilamana sirine dibunyikan. Begitulah gambaran suasana yang mencengkam dalam saat transisi selama 3,5 tahun.
sumber http://www.rakyatbanten.com/penderitaan-rakyat-banten-selama-penjajahan-jepang
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar