SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Cu Chi (2): Ibu Bunuh Anak Sendiri karena Amerika

| | | 0 komentar
Sebagai tempat komunitas Vietkong, terowongan Cu Chi memiliki banyak kisah. Salah satunya seorang ibu terpaksa membunuh anak sendiri di terowongan itu.

Sepanjang Perang Vietnam antara tahun 1955 sampai 1975, Amerika Serikat (AS) selalu disulitkan oleh pola gerilya Vietkong. Sebab, mereka selalu bersembunyi di terowongan yang tak mungkin bisa dikejar tentara AS.

Namun, tentara AS selalu berusaha menemukan terowongan demi terowongan, kemudian dihancurkan dengan bom. Beberapa kali, tentara AS memang berhasil menemukan dan sukses menghancurkannya. Namun, ternyata itu hanya sebagian kecil dari 250 kilometer terowongan yang dibuat Vietkong.

"Tentara AS hanya mampu menghancurkan lapisan pertama terowongan itu. Selebihnya, mereka tak bisa menjangkau lapisan atau bagian lain. Sebab, AS benar-benar buta tentang peta terowongan itu," jelas Hung Tran, seorang pengusaha wisata yang ayahnya tentara Vietnam.

Namun, tak jarang pula bom yang diledakkan AS di sekitar terowongan cukup mematikan puluhan, bahkan ratusan Vietkong dan keluarganya. Tapi, hanya wilayah itu yang hancur, tak sampai merambah wilayah lain. Sebab, terowongan itu sangat panjang dan luas.

Suatu hari, AS mengerahkan pasukan terbesarnya untuk mencari dan menghancurkan terowongan Vietkong. Rupanya, ini juga diketahui para Vietkong, sehingga mereka tetap bersembunyi di ruang-ruang bawah tanah.

Di salah satu sektor ruang bawah tanah, ada seorang ibu yang akan melahirkan. Ibu tersebut bernama Lny. Sementara, tentara AS tepat berada di atas mereka.

Karena sudah saatnya, anak itu terlahir pula. Seperti halnya bayi yang baru lahir, anak itu pasti menangis. Namun, sebelum anak itu bisa mengeluarkan suara, Lny memencet hirungnya agar tak menangis, sampai meninggal dunia.

"Ini dia lakukan sebagai bentuk pengorbanan kepada negara dan komunitas Vietkong. Sebab, jika anak itu sampai menangis, maka tentara AS di atasnya akan mendengar. Sehingga, sektor itu bisa dihancurkan dan akan ada puluhan atau bahkan ratusan korban jiwa," cerita Nhi Nguyen, wanita asal Mekong.

Bayi Lny meninggal, tapi komunitas Vietkong di sektor itu selamat. Sebab, tentara AS tak menemukannya. Lny sendiri, setelah sehat, akhirnya memutuskan menjadi tentara wanita melawan AS.

Namun, setelah merdeka pada 1975, dia tak bisa ikut merasakan kebahagiaan seperti orang Vietnam lainnya. Sebab, Lny menjadi gila karena merasa berdosa kepada anaknya dan sangat kehilangan.

"Lny ke mana-mana membawa boneka dan sering menangis. Namun, pemerintah Vietnam merawat dan menghidupinya, juga menganggap sebagai salah satu pahlawan," cerita Nhi.

Tak hanya itu kisah sedih seputar Cu Chi. Saking kesulitan dan mangkelnya, AS sering menyerang membabi buta ke wilayah-wilayah terowongan. Bahkan, ditengarai mereka juga menggunakan zat kimia.

"Efek zat kimia sangat luar biasa. Sampai perang usai, masih berdampak karena sudah merasuk ke udara, air, dan tanaman," timpal Hung Tran.

Karena itu, di wilayah Cu Chi akhirnya banyak anak yang lahir dalam keadaan cacat. Ini karena pengaruh sisa-sisa zat kimia dari senjata AS.

"Pemerintah Vietnam menyediakan fasilitas pendidikan buat mereka dan menjamin penghidupannya. Yang bisa diajarkan untuk mandiri diberi berbagai pendidikan dan keterampilan, sehingga nanti bisa mandiri. Sedangkan yang tak bisa mandiri dipelihara oleh negara," terang Nhi.

Orang-orang Amerika sendiri kini sering berkunjung ke Vietnam sebagai wisata. Mereka kadang mengunjungi orang-orang yang terlahir cacat akibat kimia tinggalan AS tersebut.

"Banyak orang Amerika yang sampai menangis sedih menyaksikan akibat serangan mereka pada masa perang. Mereka kemudian meminta maaf," jelas Hung. (Hery Prasetyo)

Untung Dan Tragedi Tjakrabirawa (Resimen Khusus Tjakrabirawa dan G-30-S)

| | | 0 komentar
Resimen Khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia No. 211/PLT/1962 tanggal 5 Juni 1962. Tjakrabirawa dibentuk sebagai suatu resimen khusus di bawah Presiden yang diberi tanggung jawab penuh untuk menjaga keselamatan pribadi Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia beserta keluarganya. Resimen ini terdiri atas Detasemen Kawal Pribadi, Batalion Kawal Pribadi, dan Batalion Kawal Kehormatan.

Pembentukan Tjakrabirawa merupakan tanggapan strategis atas upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, yang terjadi pada 14 Mei 1962 saat Presiden bersembahyang Idul Adha di Masjid Baitturahman di kompleks Istana Merdeka, Jakarta.

Sebagai suatu resimen khusus, Tjakrabirawa dipersiapkan sebagai suatu kesatuan militer yang memiliki kualifikasi setingkat kesatuan komando. Dalam suatu wawancara dengan Benedict Anderson dan Arief Djati (Indonesia No. 78, Oktober 2004), mantan komandan peleton Tjakrabirawa, Sersan Mayor Boengkoes, menceritakan sulitnya rangkaian tes yang harus dijalani oleh seorang prajurit ABRI untuk dapat bergabung di Tjakrabirawa.

Tidak seperti pembentukan kesatuan-kesatuan baru lainnya yang sekadar mengandalkan penggabungan dari beberapa peleton dan kompi untuk membentuk satu batalion, resimen khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan kumpulan individu yang berhasil lulus dari rangkaian tes seleksi. Keketatan tes seleksi Tjakrabirawa tampak dari data bahwa hanya 3-4 prajurit dari satu kompi suatu batalion yang berkualifikasi raider atau paratrooper atau airborne yang mendapat panggilan untuk mengikuti tes seleksi.

Letnan Kolonel Untung, yang berperan sebagai pimpinan militer Gerakan 30 September, misalnya, dari 1954 sampai 1965 bertugas di Batalion 454 Banteng Raiders yang memiliki kualifikasi paratroop-airborne. Pada 1961, Untung memimpin salah satu kompi relawan dalam Operasi Naga yang mengawali tahap infiltrasi penyerbuan Irian Barat di bawah pimpinan Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto.

Atas keberaniannya dalam Operasi Naga, Untung, bersama L.B. Moerdani sebagai pimpinan kompi relawan lainnya, mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Pada Februari 1965, Letkol Untung, yang saat itu menjabat Komandan Batalion 454 Banteng Raiders, dipromosikan menjadi Komandan Batalion I Tjakrabirawa.

Kualifikasi khusus yang dimiliki Tjakrabirawa tidak langsung menjadikan Tjakrabirawa suatu kesatuan militer yang mampu melakukan kudeta pada 1 Oktober 1965. Kompi Tjakrabirawa di bawah pimpinan Letnan Satu Dul Arief dipilih menjadi penjuru Pasukan Pasopati untuk melaksanakan operasi penculikan para jenderal karena kesatuan ini berada langsung di bawah Presiden (bukan di bawah Markas Besar AD) sehingga saat melaksanakan operasi tidak akan menimbulkan kecurigaan dari para jenderal TNI-AD.

Keterlibatan Tjakrabirawa lebih ditentukan oleh sosok Letkol Untung, yang memiliki rekam jejak militer yang memungkinkannya membangun jejaring militer dengan kesatuan-kesatuan AD lainnya yang bergabung dalam Gerakan 30 September, yaitu Batalion 454, Batalion 530, dan Brigade I. Beberapa peleton dari ketiga kesatuan ini memperkuat Pasukan Pasopati. Batalion 454 dan 530 juga digelar untuk melakukan pengamanan Istana dan kantor RRI.

Jejaring Letkol Untung dengan Batalion 454 telah dibangun sejak 1954. Saat Gerakan 30 September digelar, Batalion 454 dipimpin oleh Mayor Kuntjoro Judowidjojo, yang menjadi wakil komandan batalion saat Letkol Untung menjabat Komandan Batalion 454. Kedekatan Letkol Untung dengan Komandan Brigade I Kodam Djaya Kolonel A. Latief, yang juga berperan dalam Gerakan 30 September, diawali di Batalion 454. Sebelum dipindahkan ke Jakarta pada 1963, Brigade I merupakan bagian dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) yang bermarkas di Ungaran, dekat dengan markas Batalion 454.

Jika jejaring Letkol Untung yang dijadikan rujukan untuk mengurai keterlibatan kesatuan-kesatuan AD dalam Gerakan 30 September, pusat jejaring Gerakan ini bisa dilacak dari Batalion 454 Banteng Raiders. Secara taktis militer, bisa dikatakan bahwa titik awal dan titik akhir Gerakan 30 September adalah Batalion 454.

Karier militer cemerlang Letkol Untung yang membawanya ke jabatan Komandan Batalion I Tjakrabirawa berawal dari Batalion 454. Komandan Kompi Tjakrabirawa yang juga Komandan Pasukan Pasopati, Letnan Satu Dul Arif, juga pernah bertugas di Banteng Raiders langsung di bawah pimpinan Mayor Ali Moertopo.

Penugasan ini terjadi pada akhir 1952, saat Banteng Raiders digelar melawan Batalion 426 yang memberontak dan bergabung dalam gerakan Darul Islam di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat. Kesatuan Banteng Raiders sendiri dibentuk oleh Kolonel Ahmad Yani pada Juni 1952. Sebagai komandan brigade di wilayah Jawa Tengah bagian barat, Kolonel Ahmad Yani memiliki ide membentuk kesatuan khusus yang dapat diandalkan untuk melawan pemberontakan Darul Islam.

Kesatuan Banteng Raiders bentukan Ahmad Yani ini akhirnya menjadi Batalion 454. Pada 1961, Batalion 454 (dan Batalion 530) dijadikan bagian dari Tjaduad yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto. Tjaduad yang dibentuk oleh KSAD Jenderal A.H. Nasution ini ditingkatkan menjadi Kostrad pada Februari 1963.

Sebagai pimpinan Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengundang Batalion 454 (dan Batalion 530) untuk berpartisipasi dalam perayaan 5 Oktober 1965. Sebagai Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih kepemimpinan operasional AD dan memimpin operasi penumpasan Gerakan 30 September. Dalam operasi penumpasan ini, Panglima Kostrad memerintahkan pasukan baret merah RPKAD menghentikan petualangan militer pasukan baret hijau Batalion 454.

Sejarah akhirnya mencatat bahwa penumpasan Gerakan 30 September berakhir dengan gelar operasi khusus yang dipimpin oleh Letkol Ali Moertopo yang juga alumnus Banteng Raiders. Operasi khusus ini menjadi awal kelahiran Kopkamtib yang turut memperkuat rezim politik-militer Orde Baru.

semua tentang "Untung Dan Tragedi Tjakrabirawa" bersumber dari tempointeraktif

Untung Dan Tragedi Tjakrabirawa (Untung dan Jejaring Diponegoro')

| | | 0 komentar
“Cornell Paper", yang disusun Ben Anderson dan Ruth McVey setelah meletus Gerakan 30 September, mengesankan bahwa gerakan itu merupakan peristiwa internal Angkatan Darat dan terutama menyangkut Komando Daerah Militer Diponegoro. Tentu saja pandangan tersebut merupakan versi awal yang belum lengkap walau tetap menarik untuk diulas dan diteliti lebih lanjut.

Setelah tiga dekade di penjara, Soebandrio, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen, mengelaborasi versi di atas. Walaupun sama-sama berasal dari Diponegoro, terdapat trio untuk dikorbankan (Soeharto, Untung, Latief) dan ada trio untuk dilanjutkan (Soeharto, Yoga Soegama, dan Ali Moertopo). Dari dua trio itu terlihat bahwa baik pelaku gerakan maupun pihak yang menumpasnya berasal dari komando daerah militer yang sama, yakni Kodam Diponegoro. Itu pula yang menjelaskan bahwa gerakan tersebut tampil hanya di Jakarta dan di wilayah Kodam Diponegoro (Semarang dan Yogyakarta) dan dapat dipadamkan dalam hitungan hari. Alasan itulah yang digunakan kenapa Soeharto tidak masuk daftar orang yang diculik: ia dianggap "kawan", minimal "bukan musuh". Soeharto dan Latief sama-sama ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang kemudian dijadikan hari sangat bersejarah oleh pemerintah Orde Baru.

Pada malam 30 September 1965, Latief menemui Soeharto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan beberapa hari sebelumnya, Latief bersama istrinya sempat berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim. Walau tidak sedekat dengan Latief, Soeharto berhubungan baik dengan Untung. Kabarnya, sewaktu Untung menikah di Kebumen, Soeharto menghadirinya. Di jalur yang lain, hubungan Yoga Soegama dan Ali Moertopo terbina ketika mereka melakukan serangkaian manuver untuk mendukung Soeharto menjadi Komandan Teritorium IV, yang kemudian menjadi Kodam Diponegoro.

Ketika pasukan Tjakrabirawa dibentuk pada 6 Juni 1962, terdapat satu batalion Angkatan Darat. Sejak Mei 1965, batalion ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, yang karena keberaniannya dalam operasi Tritura mendapatkan Bintang Sakti. Ada informasi yang perlu diteliti lagi bahwa Kapten Rochadilah yang "mengajak" Untung bergabung ke pasukan pengamanan presiden.

Rochadi adalah anggota Tjakrabirawa yang ikut dalam salah satu rombongan delegasi Indonesia ke Beijing pada 25 September 1965 dan sejak itu terhalang pulang. Terakhir ia memperoleh suaka di Swedia dan berganti nama menjadi Rafiuddin Umar (meninggal pada 2005). Di kalangan eksil 65 di Swedia, ia agak tertutup. Kapten Rochadi berasal dari batalion yang pernah dipimpin Letnan Kolonel Untung di Kodam Diponegoro.

Ben Anderson memulai analisisnya dengan mengutarakan karakter "Jawa" dari Divisi Diponegoro yang Panglima Kodamnya sejak awal sampai 1965 berasal dari "Yogya-Banyumas-Kedu". Sulit dibayangkan seorang Batak atau Minahasa menjadi Panglima Kodam Diponegoro, seperti yang terjadi pada Kodam Siliwangi. Kodam Diponegoro berada pada wilayah yang sangat padat penduduk, pangan tidak seimbang, serta berpaham komunisme dan sentimen anti-aristokrat cukup kuat. Ketidakpuasan muncul di kalangan perwira Diponegoro, seperti Kolonel Suherman, Kolonel Marjono, dan Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto (dan di Jakarta terdapat Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung) terhadap para perwira tinggi yang dinilai hidup mewah di tengah kemiskinan rakyat, termasuk tentara.

Stroke ringan yang dialami Presiden Soekarno (4 Agustus 1965), beredarnya dokumen Gilchrist dan isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta (5 Oktober 1965) menambah panas suasana politik. Sebagai komandan batalion militer dalam pasukan yang tugasnya mengamankan presiden, Untung "terpanggil" untuk menyelamatkan presiden dari ancaman para jenderal tersebut dengan "mendului" mereka melalui Gerakan 30 September.

Walaupun namanya tertulis sebagai komandan gerakan tersebut, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa Untung bukanlah pemimpin utama aksi ini, karena berbagai hal ditentukan oleh Sjam Kamaruzzaman dari Biro Chusus PKI. Ketika banyak persiapan (tank, senjata, logistik, dan personel) masih kacau, Untung tidak mengambil keputusan menunda aksi ini.

Mereka lebih mendengar Sjam, yang berujar, "Kalau mau revolusi ketika masih muda, jangan tunggu sampai tua, "dan "Ketika awal revolusi banyak yang takut, tetapi ketika revolusi berhasil semua ikut." Gerakan 30 September yang dilakukan secara ceroboh itu rontok dalam hitungan hari. Dokumen Supardjo—dianggap cukup sahih—memperlihatkan bahwa kelemahan utama Gerakan 30 September adalah tidak adanya satu komando. Terdapat dua kelompok pimpinan, yakni kalangan militer (Untung, Latief, dan Sudjono) dan pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono, dan Bono).

Sjam memegang peran sentral karena ia berada dalam posisi penghubung di antara kedua pihak ini. Namun, ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden Soekarno, bahkan diminta agar dihentikan, kebingungan terjadi. Kedua kelompok itu terpecah. Kalangan militer ingin mematuhi, sedangkan Biro Chusus melanjutkan.

Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dan kedua serta ketiga terdapat selang waktu sampai lima jam. Sesuatu yang dalam upaya kudeta merupakan kesalahan besar. Pada pagi hari, mereka mengumumkan bahwa presiden dalam keadaan selamat. Sedangkan pengumuman berikutnya pada siang hari sudah berubah drastis (pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet). Jadi, dalam tempo lima jam, operasi "penyelamatan Presiden Soekarno" berubah 180 derajat menjadi "percobaan makar melalui radio".

Uraian di atas sekali lagi memperlihatkan bahwa Untung bukanlah komandan Gerakan 30 September yang sesungguhnya. Ia bisa diatur oleh Sjam Kamaruzzaman. Untung dieksekusi pada 1969. Sebelumnya, di penjara Cimahi, ia menuturkan kepada Heru Atmodjo (Letnan Kolonel Udara Heru Atmodjo pada 1965 menjabat Asisten Direktur Intelijen AURI) bahwa ia tidak percaya akan ditembak mati karena hubungan baiknya dengan Jenderal Soeharto. Namun, Untung memang tidak beruntung.

Untung Dan Tragedi Tjakrabirawa (Misteri Rekaman Tape)

| | | 0 komentar
Di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, Untung menghadirkan saksi Perwira Rudhito Kusnadi Herukusumo, yang mendengar rekaman rahasia rapat Dewan Jenderal.

Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri layaknya seorang pelaku kriminal. Turun dari panser, lelaki cepak bertubuh tegap itu tampak menggigil ketakutan. Kepalanya menunduk, takut menatap ratusan orang yang tak henti menghujatnya. Bekas Komandan Batalion I Tjakrabirawa itu juga gamang ketika akan menembus barikade massa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, yang menyemut di pelataran parkir gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.

Kala itu, Rabu, 23 Februari 1966, pukul 9 pagi. Di lantai dua gedung di Jalan Taman Suropati Nomor 2 itu, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mengadili Untung, 40 tahun, bekas Ketua Dewan Revolusi Indonesia, dengan tuduhan makar.

Saat akan memasuki gedung itulah Untung terus mendapat hujatan dan cemoohan massa. Letnan I Dra Sri Hartani, yang saat itu menjadi protokoler atau semacam pembawa acara sidang, ingat intimidasi massa tersebut membuat nyali Untung ciut. "Untung terlihat takut dan tidak terlihat seperti ABRI. Padahal kalau ABRI tidak begitu," kata Sri, kini 69 tahun, kepada Tempo di rumahnya di Jakarta Pusat pada pertengahan September lalu.

Sri menyatakan Untung menjadi orang kedua setelah Njono, tokoh Partai Komunis Indonesia, yang diperiksa dan diadili di Mahmilub 2 Jakarta. Di depan Mahmilub, Untung sangat yakin bahwa Dewan Jenderal itu ada. Menurut Untung, ia mendengar adanya Dewan Jenderal dari Rudhito Kusnadi Herukusumo, seorang perwira menengah Staf Umum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat-6. Untung mengatakan, kepada dirinya, Rudhito mengaku mendengar rekaman tape hasil rapat Dewan Jenderal pada 21 September 1965 di gedung Akademi Hukum Militer (AHM), Jalan Dr Abdurrachman Saleh I, Jakarta.

Rekaman itu berisi pembicaraan tentang kudeta dan susunan kabinet setelah kudeta. Itu sebabnya, Untung ngotot menghadirkan Rudhito sebagai saksi dalam persidangan. Rudhito kemudian dihadirkan di Mahmilub 2. Dalam kesaksiannya, seperti dapat kita baca dalam buku proses mahmilub Untung (1966), Rudhito memang mengaku pernah melihat tape rekaman tersebut dan sudah melaporkannya kepada Presiden Soekarno.

Rudhito menjelaskan, dirinya menerima tape rekaman yang dia dengar dan catatan tentang isinya pada 26 September 1965 di ruangan depan gedung Front Nasional. Dia menerima bukti itu dari empat orang, yakni Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution, keduanya dari Nahdlatul Ulama, plus Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang dari IP-KI.

Menurut Rudhito, keempat orang itu mengajaknya membantu melaksanakan rencana-rencana Dewan Jenderal. Mereka mengajak karena kapasitasnya selaku Ketua Umum Ormas Central Comando Pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rencana Dewan Jenderal itu adalah mengudeta Soekarno seperti cara-cara di luar negeri. Misalnya Soekarno akan disingkirkan seperti matinya Presiden Republik Korea Selatan Sihgman Ree.

Selanjutnya, tutur Rudhito, jika belum berhasil, akan dibuat seperti hilangnya Presiden Bhao dari Vietnam Selatan. "Kalau masih tidak bisa juga, Soekarno akan 'di-Ben Bella-kan’," pria berusia 40 tahun ini menjelaskan isi rekaman di depan Mahkamah. "Di-Ben Bella-kan" maksudnya adalah dikudeta dengan cara seperti Jenderal Boumedienne terhadap Presiden Aljazair bernama Ahmad Ben Bella.

Lebih jauh rekaman tersebut, menurut Rudhito, juga berisi pembicaraan mengenai siapa nanti yang duduk dalam kabinet apabila kudeta sukses dijalankan. Ada nama Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai calon perdana menteri, Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai wakil perdana menteri I merangkap menteri pertahanan dan keamanan, Letnan Jenderal Ruslan Abdul Gani sebagai wakil perdana menteri II merangkap menteri penerangan, dan Mayor Jenderal S. Parman sebagai menteri jaksa agung serta masih ada beberapa nama lagi.

"Dalam rekaman, saya ingat almarhum Jenderal S. Parman yang membacakan susunan kabinet itu," ujar Rudhito. Bukti dokumen-dokumen Dewan Jenderal, menurut Rudhito, sebagian besar ada pada Brigadir Jenderal Supardjo. Dokumen itu juga sudah sampai di tangan Presiden Soekarno, Komando Operasi Tertinggi Retuling Aparatur Revolusi dan Departemen Kejaksaan Agung.

Nah, dari dokumen yang dipegang Supardjo itu sebenarnya terendus ada uang cek penerimaan dari luar negeri untuk anggota Dewan Jenderal yang aktif. "Kalau tidak salah hal itu telah dipidatokan Presiden Soekarno bahwa uang Rp 150 juta itu merupakan suatu fondsen atau dana pensiun bagi masing-masing anggota Dewan Jenderal yang aktif," tutur Rudhito.

Hanya, Rudhito—mengaku di Mahmilub— tak menyimpan tape rekaman itu. Dan hal itu dinilai oleh Mahkamah sebagai unus testis nullus testis, yang berarti keterangan saksi sama sekali tak diperkuat alat-alat bukti lainnya, sehingga tak mempunyai kekuatan bukti sama sekali. Selain itu, apa yang dikemukakan Rudhito, menurut Mahkamah, sama sekali tak benar. Rapat Dewan Jenderal yang diadakan di gedung AHM pada 21 September 1965 nyatanya cuma suatu commander's call Komando Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat—berdasarkan surat bukti hasil rapat tersebut yang didapat Mahkamah.

Mahkamah berpendapat, Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta ternyata baru merupakan info yang bersumber dari Sjam Kamaruzzaman dan Pono—utusan Ketua CC PKI D.N. Aidit—yang tak terbukti kebenarannya. Berdasarkan itu, Mahkamah memvonis Untung bersalah karena melakukan kejahatan makar, pemberontakan bersenjata, samen-spanning atau konspirasi jahat, dan dengan sengaja menggerakkan orang lain melakukan pembunuhan yang direncanakan.

Ahad, 6 Maret 1966, Mahkamah memutuskan menghukum Untung dengan hukuman mati. Saat itu yang bertindak sebagai hakim ketua adalah Letnan Kolonel Soedjono Wirjohatmojo, SH, dengan oditur Letnan Kolonel Iskandar, SH, dan panitera Kapten Hamsil Rusli. Dan tak lama berselang Untung dikabarkan meregang nyawa di depan regu tembak.

Untung Dan Tragedi Tjakrabirawa (Stroke Mengalahkan Penyuka Keroncong Itu)

| | | 0 komentar
"Gelap. Saya coba cari stop kontak, saya raba-raba dinding. Tiba-tiba ada bayangan putih lari. Anak buah saya berteriak, 'Pak, ada bayangan putih.' Saya mengangkat senjata dan dor...."

Hernawati baru saja menyiapkan makan siang untuk ayahnya. Menunya: nasi putih dan telur mata sapi. Meski rapuh, lelaki tua itu menolak disuapi. Ia berkeras makan dengan tangannya sendiri. "Sambil melatih tangan," kata Hernawati, 50 tahun.

Lelaki yang kini berusia 82 tahun itu adalah Boengkoes, mantan bintara Tjakrabirawa. Pangkat terakhirnya sebelum mendekam selama 33 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, adalah sersan mayor. Menurut Hernawati, anak kedua Boengkoes, sudah enam bulan ini ayahnya tergolek lemah karena stroke. Ia susah berbicara. Tangan dan kedua kakinya setengah lumpuh. Ia kini terbaring di rumah anak keempatnya, Juwatinah, yang berdempetan dengan rumah Hernawati di Jalan PG Demaas, Dusun Kalak, Desa Demaas, Kecamatan Besuki, Situbondo, Jawa Timur.

Hernawati tak mengizinkan Tempo menemui ayahnya. Ia hanya mengizinkan Slamet Wagiyanto, 30 tahun, anak keduanya, untuk memotret sang kakek. "Percuma, Bapak tidak bisa bicara dan ingat apa pun," ujar Hernawati. Boengkoes tinggal di Situbondo setelah mendapatkan grasi dari Presiden B.J. Habibie pada 25 Maret 1999. Di kota inilah istri dan anak-anaknya tinggal setelah Boengkoes masuk bui. Sebelumnya, keluarga Boengkoes tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Ia menikah dengan Jumaiyah (kini 70 tahun) dan dianugerahi enam anak.

Hernawati berkisah, sebelum menderita stroke, ayahnya lebih banyak menghabiskan waktunya di pekarangan belakang rumah. Di atas lahan berukuran 10 x 15 meter itu, Boengkoes merawat 10 ayam kampung dan suka menanam pisang. "Ayamnya sekarang tinggal tiga ekor karena nggak ada yang ngerawat lagi," kata Hernawati.

Hobi lain lelaki kelahiran Desa Buduan, Besuki, itu adalah menyanyikan lagu keroncong. Lagu favoritnya: Sepasang Mata Bola dan Bengawan Solo. Menurut Hernawati, hanya itulah kegiatan Boengkoes setelah bebas dari bui. Ia tak aktif di kegiatan kampung. Boengkoes juga tak pernah bertemu dengan temantemannya sesama mantan tahanan politik.

Kepada anak-anaknya pun ia tak pernah bercerita tentang pengalamannya di dalam penjara atau saat berdinas di Tjakrabirawa. Hernawati mengatakan ayahnya tak mau menambah beban keluarganya. Dulu, setiap tahun beban itu terasa makin berat ketika televisi memutar film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Saat film itu diputar, keluarganya tak pernah berani keluar dari rumah. Hampir seisi kampung tahu Boengkoes terlibat dalam pembunuhan para jenderal.

Namun, sepahit apa pun pengalaman masa lalu ayahnya, Hernawati tetap yakin ayahnya tak bersalah. "Ayah cuma bawahan yang menjalankan perintah atasan," tuturnya. Boengkoes pada 1999, selepas keluar dari penjara, dalam sebuah kesempatan wawancara, mengatakan hal yang sama, "Nggak ada, tentara kok merasa bersalah, mana ada...."

Boengkoes kini terkena stroke. Entah apakah ia masih ingat detik-detik ketika masuk mendobrak rumah M.T. Harjono. Thompsonnya melepaskan tembakan pada bayangan putih itu. Dan, saat lampu dinyalakan, tubuh M.T. Harjono tak berdaya. Peluru menembus tubuhnya dari punggung sampai perut.

Untung Dan Tragedi Tjakrabirawa (Tjakrabirawa, Dul Arief, dan 'Madura Connection')

| | | 0 komentar
Benedict Anderson menemukan indikasi bahwa eksekutor lapangan Tjakrabirawa yang menculik para jenderal adalah "komunitas Madura", yang di antaranya sudah dikenal oleh Ali Moertopo, intelijen Soeharto sejak 1950-an.

Lelaki tua itu duduk bersandar di atas sebuah dipan besi. Dengan susah payah ia menyuapkan nasi dan lauk itu ke mulutnya. Beberapa butir nasi jatuh di atas seprai. Sudah enam bulan ini Boengkoes, nama lelaki 82 tahun itu, terbaring lemah di tempat tidur. Stroke melumpuhkannya. Mantan bintara Tjakrabirawa itu, seperti dilihat Tempo di rumah anaknya di Besuki, Situbondo, Jawa Timur, kini menghabiskan sisa hidupnya di atas dipan besi. Boengkoes adalah salah seorang pelaku dalam tragedi 30 September 1965. Pria berdarah Madura, yang saat itu berpangkat sersan mayor, ini bertugas menjemput Mayor Jenderal M.T. Harjono, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat.


Dalam sebuah wawancara dengan Tempo setelah bebas dari LP Cipinang pada 1999, Boengkoes menceritakan tugasnya itu dengan terperinci. Pada 30 September 1965 sekitar pukul 15.00. "Dalam briefing itu dikatakan ada sekelompok jenderal yang akan 'mengkup' Bung Karno, yang disebut Dewan Jenderal. Wah, ini gawat, menurut saya."

Ia menyangka perintah itu baru akan dilaksanakan setelah 5 Oktober 1965. Namun, pada pukul 08.00, dipimpin oleh Dul Arief, pasukannya kembali ke Halim. Sekitar pukul 03.00 keesokan harinya, kata Boengkoes, komandan komandan pasukan berkumpul lagi. "Lalu, pasukan Tjakra dibagi tujuh oleh Dul Arief dan dikasih tahu sasarannya. Saya kebagian (Mayor) Jenderal M.T. Harjono," ujar Boengkoes. Boengkoes kemudian berhasil menembak M.T.

Harjono. "Setelah sampai sana (Lubang Buaya), mayatnya saya serahkan ke Pak Dul Arief." Seluruh pengakuan Boengkoes ini menarik minat Ben Anderson, Indonesianis dari Universitas Cornell. Ben pada 2002 sampai datang lagi ke Indonesia menemui Boengkoes di Besuki. Pertemuannya itu menghasilkan paper setebal 61 halaman, The World of Sergeant-Mayor Bungkus, yang dimuat di Jurnal Indonesia Nomor 78, Oktober 2004.

Paper ini, menurut Ben, melengkapi Cornell Paper yang terkenal itu. Pada 1966—setahun setelah peristiwa berdarah—bersama Ruth McVey dan Fred Bunnel, Ben menulis Cornell Paper. Pada saat itu Ben mengira bahwa inti serdadu yang bergerak di lapangan adalah orang-orang Jawa. Anggapan ini berubah setelah Ben bertemu dengan Boengkoes. Ia melihat fakta menarik bahwa hampir semua serdadu yang ditugasi menculik berdarah Madura. Pimpinan lapangannya juga berdarah Madura.

Pimpinan lapangan penculikan, seperti dikatakan Boengkoes di atas, adalah Dul Arief. Dul Arief adalah serdadu berdarah Madura. Nah, menurut Ben, Dul Arief adalah orang yang sangat dekat dengan Ali Moertopo, intelijen Soeharto. Dul dikenal Ali sejak Benteng Raiders memerangi Darul Islam di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1950-an.

Perihal apakah benar Dul Arief dekat dengan Ali Moertopo, Tempo mencoba mengecek kepada Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, yang oleh Untung diikutkan dalam Dewan Revolusi. Heru sendiri berdarah Madura. Dan ternyata jawabannya mengagetkan: "Dul Arief itu anak angkat Ali Moertopo," kata Heru kepada Erwin Dariyanto, dari Tempo.

Dalam paper Ben, anggota Tjakra lain yang berdarah Madura adalah Djahurup. Ini pun informasi menarik. Sebab, Djahurup, oleh Letnan Kolonel CPM (Purnawirawan) Suhardi diceritakan (baca: Perwira Kesayangan Soeharto), adalah orang yang ingin menerobos Istana pada 29 September, tapi kemudian dihadangnya.

Ben menemukan fakta bahwa ternyata Boengkoes telah mengenal akrab Dul Arief sejak 1947. Saat itu mereka bergabung dalam Batalion Andjing Laut di Bondowoso. Boengkoes mengawali karier semasa revolusi di Batalion Semut Merah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1945 di Situbondo.

Setelah Semut Merah dihancurkan Belanda pada Juli 1947, ia bergabung dengan Batalion Andjing Laut di Bondowoso dengan pangkat prajurit satu. Sebagian besar personel Andjing Laut adalah orang-orang setempat keturunan Madura.

Selama clash kedua dengan Belanda, Boengkoes bertempur di sejumlah daerah, seperti di Kediri, Madiun, dan Yogyakarta. Ia juga pernah bertugas di Seram. Pada 1953, pasukan Andjing Laut ditarik dari Seram. Seluruh personel Andjing Laut tak kembali ke Brawijaya, melainkan bergabung dengan Divisi Diponegoro di Salatiga, Jawa Tengah.

Di Divisi Diponegoro, nomor batalion berubah dari 701 menjadi 448. Namun, nama Andjing Laut tetap mereka pertahankan. Kemudian Andjing Laut menjadi bagian dari Brigade Infanteri. Hampir seluruh personelnya berdarah Madura. "Dul Arief, Djahurup, dan Boengkoes berada dalam satu batalion 448 Kodam Diponegoro," kata Heru Atmodjo. Dan yang mengejutkan lagi: "Komandannya waktu itu Kolonel Latief," kata Heru.

Itu artinya, dapat kita simpulkan bahwa Kolonel Latief pun sudah mengenal para eksekutor Tjakrabirawa sejak dulu. Setelah menyelesaikan Sekolah Kader Infanteri, Boengkoes dipindah ke Cadangan Umum di Salatiga. Cadangan Umum adalah gabungan pasukan Garuda I dan II yang baru pulang bertugas di Kongo. Ada dua unit pasukan Cadangan Umum di Semarang, yakni baret hijau di Srondol dan baret merah di Mudjen. Dan informasi yang mengagetkan lagi: komandan baret hijau di Srondol saat itu, menurut Boengkoes, adalah Untung!

Ketika bertugas di Cadangan Umum inilah Boengkoes direkrut masuk Banteng Raiders I di Magelang. Tak lama kemudian ia direkrut pasukan Tjakrabirawa. Meski sudah bersama dengan Untung sejak di Banteng Raiders, Boengkoes mengaku kepada Ben Anderson baru bertemu dengan Untung ketika sudah di Jakarta. "Saya belum kenal dia waktu di Srondol," tuturnya.

Boengkoes tidak menghadapi kesulitan saat masuk Tjakrabirawa. Padahal Boengkoes menderita wasir dan disentri. "Penyakit itu saya sudah katakan. Tapi besoknya, saya diberi tahu bahwa saya sehat. Jadi saya senang." Boengkoes tak sendirian. Ada seratusan personel Banteng Raiders yang juga lolos seleksi. "Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi cukup untuk membentuk satu kompi," ujar Boengkoes. Tugas mereka menggantikan Polisi Militer berjaga di Istana Presiden.

Kepada Ben, Boengkoes menyebut Dul Arief sebagai kawan sehidup-semati. Keduanya kerap berbincang dalam bahasa Madura. Bongkoes bercerita, suatu waktu dia dan Dul Arief pergi jalan-jalan ke Pasar Senen, Jakarta. Di sebuah pertigaan, ada warung cendol. Di papan namanya tertulis "Dawet Pasuruan". Ada dua gadis berparas manis yang membantu pedagang cendol itu.

"Kami duduk ngobrol dan ngrasani gadis itu dengan bahasa Madura. Tapi kok mereka kemudian tersenyum senyum. Saya mulai curiga," ujar Boengkoes. Ternyata kemudian, pemilik warung tersebut mengaku berasal dari Pasuruan, Jawa Timur.

Dan kedua gadis tersebut mengerti bahasa Madura. "Wah, mati aku," ujar Boengkoes. Yang aneh, menurut Ben Anderson, setelah tragedi September itu Dul Arief, si anak angkat Ali Moertopo, dan Djahurup seolah hilang tak berbekas. Menurut Heru, beberapa hari setelah G-30-S dinyatakan gagal, 60 anggota Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa berusaha lari dari Jakarta menuju Jawa Tengah. Di Cirebon, pasukan CPM menghadang mereka. Kepada Tempo, Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, menceritakan ke-60 orang tersebut mampir di sebuah asrama TNI di Cirebon karena tidak membawa bekal makanan. Salah satu prajurit di asrama tersebut berinisiatif melapor kepadanya. "Saya perintahkan mereka untuk ditahan dulu. Pasukan dari Jakarta yang akan menjemput," kata Maulwi.

Tapi kemudian Dul Arief dan Djahurup hilang, lenyap. Hanya Kopral Hardiono, bawahan Dul Arief, yang kemudian disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1966 dan dituduh bertanggung jawab atas penculikan para jenderal tersebut.

"Dul Arief dan Djahurup tidak bisa dihadirkan dalam persidangan (Mahmilub)," kata Heru. Apakah keduanya "diamankan" Ali Moertopo? Entahlah.

Untung Dan Tragedi Tjakrabirawa (Sebuah Kunci dari Swedia)

| | | 0 komentar
30September 1965. Jam menunjuk pukul 7 malam di Istora Senayan, Jakarta. Tamu besar, Presiden Soekarno, sudah datang untuk menutup Musyawarah Kaum Teknisi Indonesia. Terasa benar Istora kian bungah.

Wakil Komandan Tjakrabirawa Kolonel Maulwi Saelan tak ikut larut pada pesta yang berlangsung hingga tengah malam itu. Ia makin waspada. Malam itu, dialah yang bertanggung jawab menjaga keselamatan Presiden. Atasannya, Brigadir Jenderal Moch. Saboer, sedang ke Bandung. Sekali lagi ia memeriksa setiap jengkal gedung itu.

Lhakadalah..., satu pintu yang mestinya tertutup dibiarkan ngeblong. Ia berteriak kepada seorang anak buahnya. Tentara itu kekarnya setanding dengan dia, namun lebih pendek. "Kenapa pintu itu terbuka?" Maulwi menghardik.
Yang ditegur menjawab singkat, lalu menjalankan perintah Maulwi. Dialah Letnan Kolonel Untung Samsuri, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa.

Kepada Tempo dua pekan lalu, Maulwi menceritakan kembali kisah ini. Inilah pertemuan terakhirnya dengan Untung, sebelum peristiwa penculikan para jenderal beberapa jam kemudian. Maulwi mengaku sempat heran atas kelalaian Untung kala itu. "Dia itu tahu tugasnya apa. Saya heran, kenapa malam itu dia bisa sangat ceroboh dan lalai begitu," ujarnya.

Tapi ia tak memperpanjang urusan tersebut. Ia tahu Untung sebenarnya dapat diandalkan. Untung memang tentara bermutu kelas satu. Dalam Operasi Mandala di Irian Jaya, ia menerima anugerah Bintang Sakti. Di medan tempur itu, cuma ada satu orang lagi yang menerima penghargaan tertinggi untuk tentara tersebut. Dia adalah L.B. Moerdani, yang juga pernah digadang-gadang untuk menjadi Komandan Tjakra di awal berdirinya resimen ini.

Tapi Heru Atmodjo, mantan Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, menduga bergabungnya Untung dengan Tjakra tak semata karena prestasinya. "Ia bagian dari strategi Sjam Kamaruzzaman dari Biro Chusus PKI," ujarnya. Heru—namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi—menyatakan penaut Untung dan Sjam adalah Kapten Sujud Surachman Rochadi. "Sjam yang memasukkan Untung ke Tjakrabirawa melalui Rochadi," ujar Heru.

"Dia itu agen yang disusupkan Sjam ke Tjakra." Nama Rochadi juga disebut anggota Provoost Tjakrabirawa, Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. "Ke-PKI-an Rochadi dibina langsung oleh Sjam," ujarnya.

Suhardi mengatakan informasi soal Rochadi-Sjam didapatnya dari Kapten Soewarno, komandan kompi lainnya di Batalion I Kawal Kehormatan. Soewarno mengaku kepadanya bahwa ia bersama Rochadi sering bertandang ke mes tentara Jalan Kemiri di bilangan Senen. "Di tempat itulah Sjam melakukan pembinaan terhadap keduanya," kata Suhardi.

Jelas Rochadi orang penting PKI. Namun, menurut Heru, namanya tak pernah disebut dalam berbagai cerita tentang Gerakan 30 September 1965, "Karena pada 26 September ia berangkat ke Peking (sekarang Beijing) untuk menghadiri peringatan Hari Nasional RRC."

"Ia berangkat bersama Adam Malik dan tak kembali lagi ke Indonesia," katanya. "Posisinya di Tjakra waktu itu digantikan oleh Dul Arief, yang memimpin operasi penculikan para jenderal." Cerita ini membikin Maulwi heran. Mengaku tak ingat ada anak buahnya yang bernama Rochadi, dia mengatakan keikutsertaan seorang Tjakrabirawa dalam sebuah delegasi tak lazim terjadi.

"Tjakra hanya bertolak ke mancanegara jika Presiden berangkat ke luar negeri," ujarnya. Heru juga menggarisbawahi soal ini. Rochadi, yang cuma seorang kapten, tak mungkin ikut delegasi itu jika bukan orang penting—resmi maupun tak resmi.

Dia bahkan telah menemukan jejaknya di Swedia. Di sana ia sebagai eksil. Namanya sudah berganti menjadi Rafiudin Umar. Heru bercerita, saat ia mengontak Rochadi lewat telepon dan memanggil dengan nama aslinya, Rochadi langsung menutup telepon itu.

Ahli sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, juga pernah mencari Rochadi di Swedia setelah ia mendengar kisah Heru. Gagal. Dari para eksil Indonesia di negeri itu diperoleh keterangan bahwa Rochadi tak pernah bergaul dengan orang-orang yang diasingkan pemerintah Orde Baru.

"Orangnya disebut-sebut agak misterius. Dia juga tak pernah bercerita alasan sampai ia melarikan diri ke Eropa," ujar Asvi. Jejak Rochadi dibaca Asvi dalam sebuah otobiografi di perpustakaan Institut Sejarah Sosial Indonesia yang diperoleh sejarawan asal Universitas Columbia, John Roosa, saat menulis buku tentang G-30-S/PKI. Dalam riwayat hidup setebal 31 halaman bertahun 1995 itu, tertulis Rochadi lahir pada 1927 dari pasangan Umar dan Kartini. Pada usia 17 tahun, ia masuk Heiho.

Di masa-masa awal kemerdekaan, ia bergabung dengan pasukan Divisi IV/Panembahan Senopati. Menjelang peristiwa Madiun 1948, divisinya sempat bentrok dengan Divisi Siliwangi, yang dikirim pemerintah untuk meredam gerakan Musso dan Amir Sjarifuddin.

Mengacu pada catatan itu, Rochadi tampaknya sejak awal sudah "kekiri-kirian" dan bersimpati pada gerakan Amir Sjarifuddin. Bagi Rochadi, peristiwa itu bukan pemberontakan PKI, melainkan provokasi dari pemerintah pusat yang disokong oleh Blok Amerika Serikat untuk memberangus PKI.

Dalam catatan itu, Rochadi tak menulis nama kesatuannya di Panembahan. Namun, menurut Heru, dia berada di Batalion Mayor Sudigdo. "Di sanalah awal pertautan Rochadi dan Untung," kata dia. Rochadi berhasil lolos dari pembersihan PKI di tubuh Batalion Sudigdo, yang dilakukan Gatot Subroto, karena Belanda keburu melakukan agresi yang kedua.

Seusai agresi itu, dia ikut operasi penumpasan gerakan separatis Republik Maluku Selatan pada akhir 1950. Sepuluh tahun kemudian, ia menjadi komandan kompi Cadangan Umum (sejak 1963 namanya menjadi Kostrad) Resimen 15, yang kemudian digabungkan dalam Batalion Raiders 430 di bawah Komando Daerah Militer VII Diponegoro.

Pada Februari 1963, setahun setelah Tjakrabirawa berdiri, kompinya diboyong ke Jakarta untuk bergabung dalam Resimen Tjakrabirawa. Menurut buku Himpunan Peraturan-peraturan Resimen Tjakrabirawa, Rochadi diangkat sebagai salah satu komandan kompi Batalion I Kawal Kehormatan pada 3 April tahun itu. Pangkatnya letnan satu. Salah satu bawahan langsungnya adalah Boengkoes, yang pada penculikan para jenderal menembak mati Mayjen M.T. Harjono.

Otobiografi Rochadi berhenti pada 1964. Setelah tahun itu, jejaknya di Tjakra tak jelas. "Ia meninggal empat tahun lalu di Swedia. Sayang, pada periode itu, ia disebut-sebut tengah memainkan peran penting karena ikut menentukan seleksi anggota Tjakra, termasuk memasukkan Untung," ujar Asvi.

Tempo mencoba mendapatkan cerita dari putranya, yang kini tinggal di Swedia. Soalnya, menilik bagian pembukaan otobiografi itu, Rochadi menujukkannya bagi anaknya. Sayangnya, hingga tulisan ini diterbitkan, putranya tak bisa dihubungi. Namun, dari cerita yang didapatkan Asvi dari komunitas eksil di Swedia, putra Rochadi juga tak tahu banyak tentang kehidupan ayahnya.

"Jadi peran Kapten Rochadi ini masih samar-samar," ujar Asvi. "Sungguhpun begitu, kemunculan namanya itu bagus karena berarti ada banyak hal yang masih bisa diungkap dari peristiwa 30 September." Dari Maulwi—yang tak menampik kemungkinan Tjakra disusupi tentara kiri atau tentara yang sudah dipengaruhi Sjam—ada versi lain soal kedatangan Untung ke Tjakra. Dia mengatakan Tjakra tak ikut menentukan seleksi anggotanya.

"Semua keputusan seleksi anggota Tjakra ada di angkatan masing-masing. Jadi kami terima bersih," katanya. Maka Maulwi melihat, yang paling berperan atas masuknya Untung ke Tjakrabirawa adalah para perwira tinggi di Angkatan Darat. Keputusan mengangkat Untung sebagai komandan batalion, ujarnya, diambil pada sebuah rapat di Markas Besar Angkatan Darat. "Untung lolos dari sana karena ia kesayangan (Ahmad) Yani dan Soeharto. Yani, Soeharto, dan Untung juga berasal dari Kodam Diponegoro."

Tapi Maulwi menduga kuat Soehartolah yang paling berperan merekomendasikan Untung masuk Tjakrabirawa. Pasalnya, Batalion Raiders berada di bawah kendali Kostrad. Apalagi Untung dan Soeharto—yang sudah saling kenal jauh sebelum Operasi Mandala—memang dekat.

"Terbukti, saat Untung menikah di Kebumen, Jawa Tengah, Soeharto dan istrinya naik jip dari Jakarta ke Kebumen untuk menghadiri resepsinya," ujar dia. Ada kisah dari Boengkoes, yang mendukung cerita Maulwi tentang peran Soeharto. Boengkoes mengatakan, ketika mengikuti seleksi Tjakra, dia sudah mengaku menderita wasir dan disentri sehingga langsung meninggalkan rumah sakit militer di Semarang. Eh, besoknya dia diberi tahu bahwa dia sehat dan lulus.

Kala itu, kata Boengkoes, ada seratusan personel Banteng Raiders yang juga lolos seleksi. "Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi cukup untuk membentuk satu kompi," ujar Boengkoes.

Mana yang benar? Wallahualam. Tapi, menurut Asvi, menyusupkan orang ke Tjakrabirawa adalah bagian penting dari strategi. "Karena gerakan dijalankan dengan alasan menyelamatkan presiden, yang paling cocok menjalankannya adalah pasukan pengawal presiden."

Untung Dan Tragedi Tjakrabirawa (Yang Terbaik Lalu Terbalik)

| | | 0 komentar
Idul Adha, Mei 1962. Presiden Soekarno pagi itu salat di lapangan rumput Istana Presiden. Ia di saf terdepan. Tiba-tiba seorang pria di saf keempat berdiri menghunus pistol. Ia membidik Presiden. Tar! Tembakannya luput. Peluru mengoyak dada KH Zainul Arifin. Ketua DPR Gotong Royong itu meninggal setahun kemudian.

Sudah berkali-kali Soekarno dicoba dibunuh. Ia pernah digranat, dibidik pesawat MIG, tapi insiden Hari Raya Kurban inilah yang tergawat. Detasemen Kawal Pribadi Presiden kecolongan di halaman Istana, yang dijaganya 24 jam. Karena itu, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution memanggil Letnan Kolonel Moch. Saboer, ajudan Presiden, untuk membicarakan pembentukan pasukan pengawal presiden. Sebenarnya itu bukan gagasan baru, tapi selalu ditolak Soekarno.

Namun, kali ini Nasution berhasil meyakinkan Soekarno bahwa keberadaan pasukan itu lazim di semua negara. Karena tak ada waktu untuk menyeleksi personel kesatuan baru itu, Nasution memerintahkan setiap angkatan menyetorkan pasukan khususnya. Masing-masing satu batalion. Kepolisian menyumbangkan Mobrig (Brimob), Angkatan Laut memberikan Korps Komando (KKO), dan Angkatan Udara menyetor Pasukan Gerak Tjepat.

Angkatan Darat seharusnya mengirimkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). L.B. Moerdani—waktu itu masih berpangkat mayor RPKAD—sudah digadang-gadang sebagai komandan di kesatuan itu. Namun, pasukan elite ini menolak tugas tersebut dengan alasan ingin berkonsentrasi sebagai pasukan tempur. Sebagai gantinya, mereka memberikan pasukan Kostrad (waktu itu Tjadangan Umum Angkatan Darat, Tjaduad). Dua kompi di antaranya dari Batalion 454/Kodam VII Diponegoro, yang dikenal dengan sebutan Batalion Raiders atau Banteng Raiders.

Batalion ini sebenarnya punya catatan buruk di masa lalu. Sebagian anggotanya berasal dari Batalion Sudigdo, yang terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Ketika pemberontakan itu dipadamkan, batalion ini sempat dibersihkan dari unsur PKI. Namun, sebelum rampung, Belanda melancarkan agresi militer kedua.

Tapi soal itu sepertinya tertutupi oleh pamor tim tempur ini yang moncer dalam operasi PRRI/Permesta dan Operasi Trikora di Irian Barat. Apalagi Jenderal Ahmad Yani, yang dekat dengan Soekarno, dulu dari batalion ini. Pada hari ulang tahunnya, 6 Juni 1962, Soekarno meresmikan resimen itu. Ia memberi nama Tjakrabirawa, senjata pamungkas Batara Kresna dalam lakon wayang kegemarannya. Ia pulalah yang memilihkan seragamnya: baju warna cokelat tua dengan baret merah gelap.

Setahun kemudian, pasukan ini sudah dalam kekuatan penuh. Senjata mereka serba canggih. Maklum, pasukan ini mendapat anggaran langsung dari pemerintah pusat, bukan dari kantong ABRI. Lalu, 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan, melakukan makar. Kisah Tjakrabirawa setelah itu cuma berisi tragedi.

Sebenarnya cuma dua kompi Tjakra yang jahat. Ini kesaksian mantan Provoost Tjakra, Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Pagi 1 Oktober 1965, ujar Suhardi kepada Tempo, ia—saat itu kapten—menemukan, di markasnya di Wisma Kala Hitam hanya ada kompi Jawa Barat dan Jawa Timur. "Harusnya ada empat. Kompi Raiders dari Jawa Tengah dua-duanya tidak ada."

Belakangan, sebagian anggota kompi itu tertangkap di Cirebon. Rupanya, setelah aksi makarnya gagal, mereka melakukan long march ke pangkalannya di Srondol, Semarang, di bawah pimpinan Dul Arief. Sial, di Kota Udang, pasukan ini kehabisan ransum. Berdasarkan pemeriksaan di Cirebon oleh Mayor Soetardjo, diketahui bahwa yang terlibat gerakan Untung hanya 86 orang.

Tapi ada versi lain. Menurut Antonie Dake dalam bukunya, Soekarno File, ada banyak Tjakra terlibat. Mereka bahkan sudah menyiapkan kedatangan Soekarno ke Halim sehari sebelum 30 September. Ini dibantah Kolonel Maulwi Saelan. Menurut Maulwi, langkah mengungsikan Soekarno ke Halim diambil semata-mata agar dia dekat dengan pesawat kepresidenan Jet Star, yang mangkal di sana.

Tudingan terhadap Tjakra juga dilontarkan pengamat politik militer Australia, Ulf Sundhaussen. Dia mengatakan, pada 3 Oktober Saelan memimpin Tjakrabirawa pergi ke Lubang Buaya untuk menghilangkan jejak penculikan atas perintah Soekarno.

"Itu kebohongan yang menjijikkan," ujar Maulwi. "Seperti laporan Soetardjo, yang terlibat hanya 86 orang." Ia memang ke Lubang Buaya bersama pasukannya. Tapi ini berkat informasi dari agen polisi Sukitman, yang terculik bersama para jenderal dan kemudian ditemukan oleh pasukannya. Ketika memeriksa lokasi yang disebut Sukitman—yang sudah mereka serahkan ke Kostrad—pasukannya menemukan sumur tempat para jenderal itu dibuang.

Gara-gara aksi Untung, resimen ini bahkan coreng-moreng oleh perbuatan yang tidak mereka lakukan. Pada 1996, misalnya, Tjakra dituduh menembak mahasiswa Universitas Indonesia, Arief Rahman Hakim. Maulwi, dalam bukunya, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, menulis, penembaknya sebetulnya anggota Pom Dam V yang jadi patroli garnisun.

Riwayat resimen ini tamat pada 22 Maret 1966. "Tugas kalian sudah selesai," kata Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maraden Panggabean kepada para petinggi resimen ini di Markas Angkatan Darat. Ia meminta anggota Tjakra, yang disebutnya de beste zoneri (putra terbaik angkatan), kembali ke kesatuannya. Enam hari setelahnya, Saboer menyerahkan pengawalan presiden kepada Polisi Militer Angkatan Darat. Namun, kisah Tjakra masih berlanjut. Untung divonis mati. Dul Arief hilang tak berbekas. Anggota kompinya dijebloskan ke rumah tahanan militer.

Memang banyak anggota Tjakra yang tak dipenjara dan dipulangkan ke kesatuan lamanya. Namun, menurut Maulwi, di kesatuannya, mereka rata-rata disisihkan. "Kami yang diperintahkan setia kepada Presiden dianggap kekuatan Soekarno yang harus disingkirkan," ujar Maulwi. "Saya kasihan pada anggota Tjakra. Mereka prajurit cemerlang tapi berada di posisi salah."

"Tjakra seperti bertukar nasib dengan Tjaduad," Maulwi menambahkan. "Tjaduad hanya tempat untuk tentara yang sudah masuk kotak... seperti Soeharto, yang akan dipensiunkan."

Untung Dan Tragedi Tjakrabirawa (Dia Jenderal, Bukan Letnan Kolonel)

| | | 0 komentar
Di mata Sadali, teman masa kecilnya, Untung adalah seorang prajurit cerdas. Sadali, yang sekarang berdagang peci, masih ingat perjalanan karier karibnya itu. Untung, kata Sadali, memulai dinas militernya di Heiho pada 1943. Setelah Jepang hengkang, Untung bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia. Kariernya mulai bersinar terang di kesatuan Banteng Raiders, Diponegoro, yang bermarkas di Gombel, dekat Semarang, Jawa Tengah.

Pada 1961, pangkatnya sudah mayor. "Ada satu melati putih di pangkatnya." Warga Dukuh Kedung Bajul, tempat kelahiran Untung, di Kebumen, Jawa Tengah, amat mengingat Untung ikut berjasa membebaskan Irian Barat pada 1962. Bahkan, Sadali percaya, Untunglah arsitek di balik perebutan Irian Barat dari tangan Belanda.

Dari mulut Sadali terurai strategi Untung yang cerdik dan tak lazim. Setelah diterjunkan di Irian Barat, konon Untung memadamkan semua lampu di kota-kota. Sebaliknya hutan-hutan dibuatnya benderang. "Belanda tertipu," kata Sadali. "Untung bersama pasukannya berhasil masuk ke kota-kota." Entah dengan cara apa Untung menerangi rimba Papua yang ganas itu.

Prestasi di Irian Barat membuat Untung menjadi salah satu penerima penghargaan Bintang Sakti, yang langsung disematkan Presiden Soekarno. Penerima penghargaan lainnya adalah Mayor L.B. Moerdani. Pangkat Untung dinaikkan menjadi letnan kolonel. Dia pun secara khusus diminta Presiden Soekarno menjadi anggota pasukan pengawal Tjakrabirawa.

Hingga dieksekusi pada pertengahan 1966, pangkat Untung masih letnan kolonel. Namun, bagi warga Kedung Bajul, pangkat Untung terus terdongkrak beberapa tingkat sekaligus. Dengan takzim mereka menyebutnya Jenderal Untung. "Jenderal Untung dikenal karismatis," Mashud Efendi, 69 tahun, yang tinggal berdekatan dengan rumah Untung, memuji. Kepala Desa Bojongsari Mohamad Asibun ikut menyebutnya Jenderal Untung. "Paling tidak ada orang Kebumen yang berhasil membebaskan Irian Barat," ujar Asibun, 40 tahun.

Mereka bukannya tak tahu soal keterlibatan Untung dalam penculikan para jenderal Angkatan Darat. Tapi mereka tidak terlalu peduli. Syukur Hadi Pranoto, yang tinggal di belakang rumah Sukendar, mertua Untung, mengetahui keterlibatan Untung dalam peristiwa G-30-S melalui radio. Massa yang marah sempat menjadikan rumah Sukendar sebagai sasaran.

"Sekitar seratus orang siap membakar rumah Sukendar dengan bom molotov," kata Syukur, yang kini 71 tahun. Beruntung rumah itu bisa diselamatkan seorang anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Kendati Syukur mendengar Untung terlibat G-30-S, ia tak percaya pria itu bersalah. "Dia hanya alat atau korban politik. Dalangnya, ya, Soeharto." Sebaliknya, ia yakin Untung orang yang jujur dan bertanggung jawab.

Dan, seperti warga dukuh lainnya, ia bangga ada putra Kebumen yang menjadi pahlawan pembebasan Irian Barat. Bahkan Siti Fatonah, 78 tahun, yang masih terhitung kerabat Hartati, istri Untung, tak percaya warga kebanggaan Kedung Bajul itu terlibat penculikan para jenderal. Pada malam kejadian, kata dia, Untung nongkrong makan bakso di Hotel Des Indes Harmoni, Jakarta, atau Duta Merlin sekarang.

Yang lebih unik, seorang kerabat dekat Hartati lainnya percaya Untung masih hidup dan tinggal di Kopeng, Salatiga, Jawa Tengah. "Ia menjadi kasepuhan atau paranormal," kata orang yang tak pernah bertemu dengan Untung itu.

Untung Dan Tragedi Tjakrabirawa (Kenangan Pernikahan Lelaki Kedung Bajul)

| | | 0 komentar
Di Kebumen, Soeharto datang menghadiri pernikahan Untung. Kedatangan Soeharto dan Tien yang mendadak membuat tuan rumah kebingungan menyambutnya.

Dusun yang tak jauh dari Pantai Krakal, di bagian timur Kebumen, siang itu begitu panas menyengat ketika Tempo mengunjunginya Hawanya gersang, khas kawasan pesisir. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai perajin dan pedagang peci. Dulu, daerah itu basis Angkatan Oemat Islam, organisasi yang didirikan untuk melawan pendudukan Belanda sekitar 1945-1950.

Orang-orang Kedung Bajul, Desa Bojongsari, nama daerah itu, tergolong pemeluk Islam yang taat. Tua-muda rajin beribadah dan mendaras Al-Quran. Dusun itu merupakan tempat kelahiran Letnan Kolonel Untung. Tetangga dan teman masa kecil mengingatnya sebagai Kusmindar atau Kusman. Kus, begitu ia biasa dipanggil.

Bagi Sadali, Untung orang yang ramah, halus tutur katanya dan rajin mengaji hingga dewasa. Jika bertemu, ia senang mengajak ngobrol Sadali, bahkan menasihati. "Sesama orang Kebumen di perantauan harus saling membantu." Selebihnya, orang-orang Kedung Bajul tak tahu lagi kabarnya hingga pernikahannya dengan Hartati digelar megah pada 1963, setahun setelah kepulangannya dari Irian Barat. "Pesta paling meriah waktu itu," kata Syukur Hadi Pranoto, 71 tahun, tetangga Hartati di Kelurahan Kebumen.

Untung menikahi Hartati setelah bertemu di rumah Yudo Prayitno di Kecamatan Klirong, pesisir selatan Kebumen, pada sebuah acara keluarga. "Usia Hartati jauh lebih muda dari Untung," kata Siti Fatonah, kerabat Hartati di Kebumen. Hartati adalah anak kelima dari tujuh anak Sukendar, pemborong besar yang kaya dan terpandang. "Dia punya banyak kuli," ujar Syukur. Beberapa gedung besar di Kebumen adalah hasil karyanya.

Tak aneh jika pesta pernikahan Hartati-Untung yang digelar siang hari dibikin megah. Tenda besar dibentang. Hiburannya wayang orang Grup Ngesti Pandawa dari Semarang yang sedang ngetop. Jalanan sekitar rumah Sukendar ditutup. Mobil tetamu berjajar di sepanjang jalan di sekitar rumah Sukandar.

Menikah dengan adat Jawa, Untung mengenakan beskap dan blangkon. Setelah itu ia mengenakan pakaian kebesaran militer. Tamunya kebanyakan petinggi pemerintahan, pejabat militer, dan anggota Dewan. Soeharto dan Tien Soeharto pun datang. "Soeharto datang mendadak, membuat tuan rumah sedikit kebingungan menyambut kedatangannya," kata Syukur, yang sempat dipenjara enam tahun karena dituduh terlibat G-30-S.

Di antara para tamu, tak ada tetangga dan kerabat dari Kedung Bajul yang diundang. Dikabari pun tidak. "Mungkin karena ia sudah menjadi orang besar," kata Mashud, tetangga dekat Untung di dusun. Padahal keluarga besar Slamet masih berada di dusun itu hingga sekarang. Setelah menikah, Untung memboyong Hartati ke Jakarta. Siti Fatonah, kerabat Hartati yang masih tinggal di Kebumen, mengatakan, dari pernikahannya dengan Hartati, Untung mendapat seorang anak lelaki, Anto. Fatonah menyebutnya, Insinyur Anto.

Sepeninggal Untung, Hartati menikah lagi dengan seorang petinggi sebuah perusahaan tekstil di Bandung.


Dari percakapan dengan penduduk setempat, Tempo mendapat informasi Untung tak punya darah militer maupun politik dari kedua orang tuanya. Slamet, kakek Kusman, cuma tukang sapu di Pasar Seruni di desa itu. Ayahnya, Abdullah Mukri, buruh peralatan batik di Solo, Jawa Tengah.

Meski cuma buruh, Mukri dikenal sebagai penakluk wanita. Ia kawin-cerai sampai tujuh kali. Untung lahir dari istri kedua Mukri. "Ibunya pemain wayang orang desa kami," kata Sadali, 71 tahun, tetangga dekat Untung di Kedung Bajul. Sadali, yang sekarang berdagang peci, tak ingat nama perempuan yang minggat, menikah dengan lelaki lain ketika Untung masih 10 tahun, itu.

Sepeninggal ibunya, Untung hijrah ke Solo. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri, yang tak punya anak. Karena itu, "Dia lebih dikenal sebagai Untung bin Samsuri," kata Sadali, yang kakaknya sekelas dengan Untung di Sekolah Rakyat Seruni, Kebumen, hingga kelas III. Seperti kakaknya, Samsuri buruh perajin batik di Solo. Meski begitu, Samsuri memperhatikan pendidikan sang keponakan.

Suhardi, teman kecil sekaligus junior Untung di Tjakrabirawa, bercerita, dari sekolah rakyat di Kebumen, Untung dipindahkan ke Sekolah Rakyat di Jayengan, Kartopuran, Solo. Barangkali karena Samsuri berada di lingkungan pedagang yang kuat, selepas sekolah rakyat Untung dimasukkan ke Klienhandel, sekolah dagang Belanda setingkat SMP. Toh, setamat sekolah dagang, Untung tidak jadi saudagar. Ia malah masuk Heiho pada 1943, yakni ketika Jepang masuk ke Indonesia. Sejak itu ia terus berkarier di militer.

Sejak pindah ke Solo, Untung tak pernah lagi pulang ke Kedung Bajul. Sekitar 1957-1958, menurut Sadali, yang kala itu berdagang batik, dia beberapa kali bertemu dengan Untung. Temannya itu, kata bulan ketika masih berdinas di kesatuan Banteng Raiders di Gombel, Semarang.

Untung dan Tragedi Tjakrabirawa (Kisah Perwira Kesayangan Soeharto)

| | | 0 komentar
Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar. "Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih," kata Untung kepada Soebandrio.

Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.

Keyakinan Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu "misteri" tragedi September-Oktober. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan Soeharto.


Salah satu saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe adalah orang tua Suhardi.

"Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi," ujar Suhardi. Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di rumahnya.

Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi badannya gempal. "Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya," kata Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. "Saya yang mengantarkanUntung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari."

Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. "Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia)," kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.

Clash yang terjadi pada 1948 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. "Untung kemudian masuk Korem Surakarta," katanya. Saat itu, menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. "Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto di situ," kata Suhardi.

Keterangan Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.

Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.

Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Sebelum Operasi
Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya.

Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa perwira yang mendapatkan penghargaan ini. Bahkan Soeharto, selaku panglima saat itu, hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.

"Kedua prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan Soeharto," kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.

Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu. Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa. "Adalah menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi Batalion Banteng Raiders masuk Tjakrabirawa," kata Suhardi. Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948.

"Pasti Soeharto tahu itu eks PKI Madiun." Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung. Untung, menurut dia, sosok yang tidak mudah bergaul dan pendiam.

Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, "Gus, kamu ada di sini...." Menurut Maulwi, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di kalangan perwira Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran mengapa, misalnya, pada Februari 1965, Soeharto yang Panglima Kostrad bersama istri menghadiri pesta pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. "Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?" Menurut Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. "Kami, dari Tjakra, tidak ada yang hadir," kata Maulwi.

Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. "Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung," tulis Soebandrio.

Hal itu diiyakan oleh Suhardi. "Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung," katanya. Dari mana Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.

"Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu," demikian kata Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio. Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.

Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. "Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal," kata Maulwi.

Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah.

Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober. Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. "Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam," kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. "Itu ada petunjuk teknisnya," ujarnya.

Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional. Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.

Dalam perjalanan pulang, Soeharto seperti diyakini Subandrio dalam bukunya, sempat melintasi kerumunan pasukan dengan mengendarai jip. Ia dengan tenangnya melewati pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal itu.

Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya. Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29 September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama Djahurup hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, tindakan Djahurup itu tidak diperbolehkan karena tugasnya adalah di ring luar sehingga tidak boleh masuk. "Saya tegur dia."

Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. "Saya heran, dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara." Ia langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang. Yang membuatnya heran lagi, pengawal di pos yang biasanya menghormat kepadanya tidak menghormat lagi.

"Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders," kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada. Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut.

Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. "Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI," katanya. Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. "Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka," jawab Untung.

Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzzaman-lah yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih banyak diam.

"Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30-S)," kata Heru saat ditemui Tempo. Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang kenal dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta. “Itu tak
masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang gerakan Letkol Untung,” katanya kepada Retnowati.

Demikianlah Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.

sumber : tempointeraktif

Cu Chi (1): Ribuan Orang Hidup di Bawah Tanah

| | | 0 komentar
Cu Chi amat dibanggakan orang Vietnam. Terowongan tikus ini menjadi simbol kejayaan dan kemenangan mereka atas Prancis, pemerintah Vietnam Selatan, juga Amerika Serikat.

Tak ada senjata hebat yang dimiliki Vietnam semasa perang. Kunci terbesar kemenangan mereka justru ada pada terowongan tersebut. Ini juga menjadi simbol frustrasi dan kekalahan Amerika dalam perang Vietnam.

Cu Chi merupakan nama terowongan bawah tanah yang digali orang Vietnam semasa perang. Terowongan itu awalnya dibuat pada masa penjajahan Perancis. Perancis sendiri mulai menjajah Vietnam pada 1859. Pada 1941, mereka sempat menyingkir karena diusir Jepang. Tapi, setelah kekalahan Jepang, Perancis kembali lagi. Sementara, Viet Minh (gerakan kemerdekaan) pimpinan Ho Chi Minh sudah menguasai Vietnam Utara dan melakukan perlawanan.

Perang ini sampai 1954. Semasa itu, Perancis yang menguasai Vietnam Selatan melakukan kerja paksa. "Rakyat Vietnam seperti menghadapi buah simalakama. Menuruti kerja paksa akhirnya mati, menolak juga mati. Tapi, mereka sebagian besar akhirnya memilih menolak dan sembunyi. Maka, dibuatlah terowongan untuk bersembunyi dari Perancis dan kerja paksa," jelas Hung Tran yang ayahnya tentara Vietnam.

Setelah perang Viet Minh dan Perancis berakhir pada 1954, Amerika Serikat (AS) muncul. Mereka mendukung Perancis dan pemerintah Vietnam Selatan yang republik. Maka, terowongan itu diperluas lagi oleh orang Vietnam, terutama yang pro komunis atau pemerintahan Vietnam Utara.

Perang lawan AS semakin panas. Terowongan itu pun terus diperpanjang sebagai markas dan benteng Vietnam pro Hanoi (Viet Minh). Karena perang terus berlangsung, maka terowongan juga terus diperluas dan diperpanjang, terutama pada 1966-1968, sampai akhirnya mencapai 250 kilometer. Sungguh luar biasa. Apalagi, di dalamnya hidup sekitar 10 ribu orang Vietnam, tentara dan keluarganya. Sebab, hanya dengan demikian mereka lebih aman dari kejaran AS.

Hebatnya, terowongan ini dibuat dengan cara manual, memakai alat-alat pertanian. Namun, hasilnya sangat luar biasa.

Terowongan ini tak hanya panjang, tapi dirancang sangat bagus dan strategis. Berpusat di daerah Cu Chi, Hoj Non, sekitar 70 kilometer di luar Kota Ho Chi Minh (Saigon), Cu Chi memiliki tiga sap. Sap pertama bertinggi 3 meter, sap kedua 6 meter, dan sap ketiga 10 meter. Banyak area yang menjadi tempat tinggal. Untuk menghubungkannya dibuat terowongan kecil yang hanya bisa dilewati secara jongkok oleh orang-orang kecil seperti orang Vietnam.

Di terowongan ini terdapat rumah sakit untuk merawat yang sakit, dapur, tempat sekolah, juga tempat membuat senjata. Tentara, wanita dan anak-anak hidup di sini selama perang lawan AS.

Jangan harap mudah menemukan tempat ini. Kalaupun bisa, paling hanya bsebagian dan akan kehilangan bagian lainnya. Sebab, terowongan ini dibuat dengan pintu masuk amat kecil, hanya cukup untuk ukuran orang Vietnam yang kecil. Memang ada pintu-pintu cukup besar, tapi sangat tersembunyi dan dijaga ketat.

"Setiap sektor di terowongan dipimpin oleh empat orang. Mereka hanya menguasai sektornya saja. Sehingga, jika tertangkap mereka tak bisa menjelaskan bagian lainnya. Hanya para pimpinan yang tahu detil peta terowongan bawah tanah itu," jelas Hung.

Setiap ruang di terowongan itu juga hanya dihubungkan terowongan amat kecil. Hanya bisa dilewati dengan cara jongkok. Bagi orang Vietnam yang dulu kecil-kecil, ini amat mudah. Bagi tentara AS yang besar dan tinggi, jelas kesulitan, bahkan tak bisa masuk.

AS amat kesulitan mencari dan mengatasi perlawanan Vietnam. Terowongan itu sering dibuat sampai ke bawah markas AS. Mereka muncul, senantiasa membuat teror. Sehingga, tentara AS tak pernah dibuat aman.

Beberapa kali AS berusaha menemukan dan menghancurkan terowongan ini, tapi tak pernah berhasil. Padahal, AS sampai mengeluarkan senjata-senjata berat berupa bom besar-besar.

"Terowongan ini dibuat dengan pertimbangan dan desain yang bagus. Mungkin AS bisa membom, tapi hanya bisa merusak lapisan atas. Lapisan lainnya tetap aman. Bahkan, AS pernah memasukkan zat kimia, tapi tetap saja gagal masuk ke bagian paling vital," terang Hung.

Maka, AS tak pernah sukses melawan Vietnam. Bahkan, beberapa kali mereka terjebak oleh senjata-senjata rahasia Vietnam yang sederhana, tapi berdampak besar. Bahkan, tank-tank AS pun sering bisa dilumpuhkan.

Selama AS berada di Vietnam, Vietkong (orang Vietnam yang membela Vietnam Utara pro kemerdekaan) berada di terowongan itu. Terutama Vietkong yang berada di Vietnam Selatan. Terowongan ini menjadi basis perlawanan terhadap AS. Jadi, AS harus menghadapi Vietkong dari terowongan, juga dari Vietnam Utara.

Satu-satunya jalan agar selamat memang tetap tinggal di terowongan itu. Sedangkan makan-minum dan kebutuhan lain disuplai oleh para Vietkong yang menyamar. Selain itu, jika malam hari, sebagian keluar mencari makanan dan mencari senjata. Mereka juga punya tempat kerja untuk membuat senjata-senjata sederhana.

Dari hari ke hari, Vietkong yang tinggal di terowongan itu makin banyak. Bahkan, puncaknya mencapai 10 ribu orang, baik tentara gerilyawan, wanita, dan anak-anak. Terowongan itu juga dilengkapi lobang udara yang rapi dan bisa masuk secara menyeluruh. Sebagian lubang udara terdapat di gundukan tanah yang dibuat menyerupai sarang semut. Selain itu juga ada di bawah pohon-pohon yang tertutup akar.

Akhirnya, pada 1975, AS menyerah dan memutuskan kembali ke negaranya. Vietnam pun merdeka. Dan, Vietkong yang hidup di terowongan pun keluar merayakan kemenangan itu.

"Saya waktu itu baru berumur lima tahun. Tapi, saya masih ingat kemeriahan menyambut kemerdekaan itu. Waktu itu," tutur Hung.

Baru tahun 1975 itu pula Vietkong yang tinggal di bawah tanah keluar secara bebas. Artinya, mereka hidup di bawah tanah sekitar 20 tahun. Sebuah rekor luar biasa. Ini berkat desain Cu Chi yang sangat bagus dan mengagumkan.

Terowongan Cu Chi pun kini dirawat oleh pemerintah Vietnam. Sebab, ini menjadi simbol kemenangan mereka atas AS, sekaligus simbol frustrasi dan kekalahan AS. Saat ini, Cu Chi justru menjadi obyek wisata yang menarik.

sumber kompas

Pristiwa 3 Oktober 1945 di Pekalongan

| | | 0 komentar
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia , PPKI bersidang tanggal 18 Agustus 1945, yang menetapkan :
1. Mengesahkan dan menetapkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia yang kemudian lebih dikenal sebagai Undang Undang Dasar 1945.
2. Memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
3. Sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, pekerjaan presiden un- tuk sementara waktu dibantu dibantu oleh Komite Nasional.

Pengisian alat kelengkapan negara ini dilanjutkan dengan sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 yang menghasilkan keputusan membentuk (1). Komite Nasional (2). Partai Nasional Indonesia (3). Badan Keamanan Rakyat.

Berdasarkan hasil sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 tentang pembentukan Komite Nasional, maka di Jakarta dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat atau yang disebut KNIP yang diresmikan pada tanggal 29 Agustus 1945 dengan ketuanya Mr Kasman Singodimejo dan anggotanya sebanyak 60 orang. Komite Nasional ini dimaksudkan sebagai penjelmaan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia yang menye- lenggarakan kemerdekaan Indonesia dan berlandaskan kedaulatan rakyat.

Pembentukan KNI di daerah tentu saja tidak sebaik di tingkat pusat, namun se- mangat pembentukan KNID inilah yang perlu dibanggakan, sebagai pelaksanaan dik- tum proklamasi, yaitu hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan akan dilaksanakan dengan cara yang seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Maka seperti halnya di daerah lain di Indonesia, di Karesidenan Pekalonganpun di bentuk Komite Nasional Indonesia..
Atas instruksi dari Sarmidi Mangunsarkoro, tiap daerah agar segera membentuk Komite Nasional Indonesia untuk membantu Kepala Daerah. Di Karesidenan Pekalongan dibentuk Komite Nasional Indonesia dengan badan pekerjanya, sebagai Badan Eksekutip untuk membantu Kepala Daerah. Adapun tokoh pendirinya antara lain Dr. Sumbadji; Sarpan; Djohar Arifin; K.H. Iljas; Kromo Lawi; Kadir Bakri; Dr. Ma’as; H. Siroj dan Hasan Ismail.( Yayasan Resimen XVII, 1983 : 12 ).Komite Nasional Indonesia untuk karesidenan Pekalongan terbentuk tanggal 28 Agustus 1945, dengan susunan anggota Badan Eksekutipnya adalah Dr. Sumbadji sebagai Ketua, Wakil Ketua Dr. Ma’as, Sekretaris S. Wignyo Suparto, sedangkan anggotanya R. Suprapto; Kromo Lawi; A. Kadir Bakri; K.H. Moch Iljas; dan Jauhar Arifin.

Residen Pekalongan waktu itu dijabat oleh Mr. Besar. Pemerintah pusat biasanya mengangkat Fuku Syuchokan ( Wakil Residen ) sebagai Residen dalam pemerintahan Republik Indonesia.Jabatan residen ini merupakan jabatan fungsionaris tertinggi yang semula hanya dipegang oleh orang Jepang saja. Pengangkatan Mr Besar sebagai Residen pada tanggal 18 September 1945, oleh Presiden Soekarno ( A.H. Nasution, 1977 : 366 ). KNI Daerah Karesidenan Pekalongan mengusulkan agar Mr Besar diangkat sebagai Residen Pekalongan kepada Presiden Soekarno tanggal 12 September 1945, dan oleh AG Pringgodigdo menjawab resmi usulan KNI Pekalongan ini tanggal 21 September 1945 bahwa Mr Besar secara resmi diangkat sebagai Residen Pekalongan..Pengangkatan Mr Besar sebagai Residen Pekalongan ini terlambat sampai tanggal 23 September 1945, sehingga Mr Besar belum secara resmi mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Empat hari kemudian Jepang secara resmi menyerahkan kekuasaan kepada Mr Besar sebagai Residen Republik secara resmi. ( Lucas, 1989 : 99 ).

Usaha KNI setelah terbentuknya lembaga ini tanggal 28 Agustus 1945, adalah mengambilalih kekuasaan pemerintahan sipil dan militer dari tangan Jepang. Mr Besar sendiri pernah membicarakan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan setelah kemerdekaan dengan beberapa tokoh seperti A. Bustomi dan Dr. Ma’as. Di dalam kontak dengan Mr Besar, Dr.Ma’as bertanya tentang bagaimana sebaiknya sikap kita setelah proklamasi ? Gerakan pengambilalihan kekuasaan di beberapa daerah sudah dimulai.Bahkan di Purwokerto Tentara Jepang menyerahkan kekuasa- annya kepada Mr. Ishak Tjokroadisuryo, Residen Banyumas.

KNI Pekalongan pada bulan September 1945 sudah mulai menghubungi Syuchokan Pekalongan, yaitu Tokonami untuk mengikuti Tentara Jepang di Purwokerto menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Indonesia.Namun sebagai bawahan dari Keibutai atau Komandan Garnisun di Purwokerto, Tokonomi sendiri masih ragu-ragu dan harus berkonsultasi dahulu dengan pihak Keibutai karena wilayah Pekalongan, Purwokerto dan Cirebon merupakan bawahan Kei butai Purwokerto.

Dr. Sumbadji, Sebagai ketua KNI Daerah Pekalongan melontarkan gagasan agar di Pekalongan dibentuk Badan Kontak untuk menyatukan berbagai aliran politik di masyarakat. Tujuannya menaEmpung aspirasi rakyat, agar segala tindakan bisa manunggal dan terkoordinir. Gagasan ini menarik, karena akan mengajak masyarakat berpartisipasi dalam memecahkan masalah-masalah yang sedang dihadapi, yakni pengambilalihan kekuasaan.Sebab partai politik sejak masa pendudukan Jepang di Indonesia memang sudah dilarang. Pada saat itu partai politikpun belum muncul. Partai politik mulai berkembang di Republik Indonesia yang baru berdiri ini sejak tanggal 3 November 1945. Dasarnya adalah keluarnya Maklumat Pemerintah

3 November 1945 tentang pembentukan partai-partai politik. Setelah dikonsultasikan kepada Mr Besar, gagasan membentuk Badan Kontak ini akhirnya tidak dilaksanakan karena menurut Mr Besar semua aliran politik yang ada di masyarakat sudah tertampung di dalam KNI sehingga kontak dan koordinasi diserahkan kepada Badan Eksekutip KNI , selain itu supaya tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak Jepang.

Sebetulnya di Pekalongan ada 3 kekuatan moral yang mendukung pengambilalihan kekuasaan ini, yakni kelompok KNI yang dipimpin Dr. Sumbadji; kelompok BPKKP yang dipimpin oleh Dr. Ma’as dan kelompok Angkatan Muda yang dipimpin oleh Mumpuni dan Margono Jenggot. Ketiga kelompok inilah yang dikoordinir oleh KNI mulai aktip mengadakan pendekatan dengan pihak Jepang.

Tiga kelompok yakni BPKKP, KNI dan angkatan muda, selalu selalu berunding di kantor BPKKP. Pertemuan ini merupakan kegiatan rutin dari tokoh-tokoh masyarakat Pekalongan.Mereka selalu kordinasi dalam mengambil langkah-langkah dan selalu menunggu perkembangan yang akan terjadi dengan sikap kematangan dan menjaga persatuan, sehingga arah perjuangan jelas dan tidak menyimpang dari rel perjuangan yang telah disepakati bersama. Di dalam pertemuan ini akhirnya disepakati bahwa pelaksanaan pengambilalihan kekuasaan dilakukan dengan cara diplomasi atau perundingan dengan pihak Jepang.Dr. Sumbadji dan Dr. Ma’as menjadi utusan untuk menghadap Syuchokan Tokonami agar menentukan kapan dan di- manakah akan diadakan perundingan dengan tokoh-tokoh masyarakat.

Akibat situasi yang memanas di Pekalongan, dan agar tidak terjadi insiden yang tidak diinginkan,akhirnya pihak Jepang mau berunding dengan pihak Tokoh masyarakat di Pekalongan. Perundingan akan dilaksanakan tanggal 1 Oktober 1945 pukul 10.00 bertempat di kantor Karesidenan Pekalongan atau kantor Syucho.Namun karena situasi yang kurang menguntungkan di Semarang, akhirnya pihak Jepang menunda perundingan dengan Tokoh masyarakat Pekalongan. Usul perundingan ini dibahas di rumah Mr Besar oleh kelompok masyarakat Pekalongan, dan akhirnya ditentukan:
Perundingan di tetapkan tanggal 3 Oktober 1945 pukul 10.00 pagi di markas Kempeitai; Para delegasi Indonesia terdiri dari Mr. Besar dan anggota Eksekutip KNI; Ketua delegasi ditetapkan Dr. Sumbadji; Sedangkan tuntuan dari pihak Indonesia terdiri dari tiga pasal yaitu (1). Pemindahan kekuasaan pemerintahan dari Jepang kepada pihak Indonesia dilaksanakan dengan damai dan secepatannya. (2). Diserahkan semua senjata yang ada ditangan Jepang, baik yang ada di Kempeitai, Keibitei, maupun yang ditangan Jepang Sakura kepada pihak Indonesia. (3). Memberi jaminan pada pihak Jepang bahwa mereka akan dilindungi, diperlakukan diperlakukan dengan baik dan dikuEmpulkan menjadi satu di markas keibitei ( sekarang kantor Pemda Kodya Pekalongan ) sampai dan termasuk Societeit Delectatio dan Handelsbank ( Oetoyo, 1983 : 2 ).

Apa yang telah dilakukan pihak KNI yang selalu kerjasama dengan pihak lain seperti para pemuda dan BPKKP menunjukan adanya sikap persatuan diantara kelompok kekuatan di Pekalongan. Hal ini menunjukkan bahwa keutuhan pendapat dan kelompok akan berarti bagi setiap perjuangan. Kekompakan inilah yang akhirnya membawa hasil dengan jatuhnya kekuasaan Jepang kepada masyarakat Pekalongan, meskipun dengan tebusan mahal, yakni 37 orang gugur dan 12 orang cacat dalam Peristiwa 3 Oktober 1945 di Pekalongan.
Pengunduran waktu perundingan yang semula akan dilaksanakan tanggal 1 Oktober 1945 menjadi 3 Oktober 1945 tidak menyebabkan melemahnya moral Tokoh-tokoh masyarakat Pekalongan, justru dianggap hal yang menguntungkan sekali. sebab dengan diundurnya perundingan dengan pihak Jepang, konsolidasi dari pihak Indonesia semakin mantap. Bahkan waktu inipun dimanfaatkan antuk membocorkan penundaan perundingan kepada masyarakat. Masyarakat diharapkan menyaksikan perundingan dengan pihak Jepang untuk memberi semangat kepada pihak Indonesia dan menurunkan moral pihak Jepang yang sudah jatuh akibat kekalahan dalam Perang Asia Timur Raya melawan sekutu. Dukungan masyarakat inilah yang mencer minkan manifestasi rasa kebanggaan dan patriotismenya dengan mendatangi tempat perundingan, yaitu Markas Kempeitai yang selama ini dianggap sebagai lambang kekejaman pendudukan Jepang di Indonesia. Masyarakat akhirnya berbondong-bondong menyaksikan wakil-wakil mereka berunding denga pihak Kempeitai
tanggal 3 Oktober 1945.

Tanggal 3 Oktober 1945, masyarakat Pekalongan pada pagi hari sudah banyak yang berkuEmpul di sekitar Markas Kempeitai, di Lapangan Kebon Rojo, baik tua maupun muda, laki-laki maupun perEmpuan. Mereka tidak hanya datang dari dalam kota saja, namun dari luar kota Pekalongan seperti daerah Buaran dan Comal. Mereka memakai pakaian tEmpur, dengan bersenjata seadanya seperti bambu runcing, parang, kayu serta potongan besi dan lain-lainnya. Merah Putih dipakai sebagai lencana dan ikat kepala. Mereka semakin banyak berdatangan di lokasi perundingan hingga pukul 09.30. Mereka ingin melihat keberhasilan wakil mereka dalam perundingan dengan Jepang.

Pukul 09.45 Delegasi Indonesia dengan berjalan kaki dari rumah Mr.Besar menuju Markas Kempeitai. Mereka dielu-elukan masa dengan teriakan “ Hidup Repu blik Indonesia, jangan mundur dari tuntutan; hidup wakil-wakil rakyat Pekalongan “. Rombongan diantar sampai ke pintu gerbang Markas Kempeitai dengan sorakan dan teriakan massa “ Jangan mau tawar, jangan mundur dari tuntutan , berhasillah kami menunggu; kami tidak akan bubar sebelum bapak-bapak kembali; kembalilah dengan selamat ‘.

Sementara pada hari itu juga 15 orang dari kelompok Jepang Sakura disandera para pemuda dan mereka dimasukkan di salah satu ruangan kantor Syucho Pekalongan. Ancaman para pemuda yang menyekap orang Jepang tersebut , adalah akan membunuh mereka bila perundingan gagal.

Salah satu Tokoh masyarakat, yaitu Ulama KH Syafi’i turut menggerakkan massanya memberikan dorongan moral bagi delegasi Indonesia . Pada kerumunan massa ini tampak polisi Indonesia seperti Suwarno, Sunaryo, Hugeng, Utaryo, A. Bustomi dan lain-lainnya.

Tepat pukul 10.00 pagi perundingan dimulai. Meja perundingan diatur leter U Pihak Jepang duduk dalam satu baris menghadap ke barat, terdiri dari (1). Tokonomi ( Syuchokan ); (2).Kawabata ( Kempeitaidan ); (3). Hayashi ( Staf Kempeitai ); (4). Harizumi ( Penterjemah ). Sedangkan dari pihak Indonesia tersusun dalam dua baris terdiri dari baris utara dan baris selatan. Deret sebelah utara berturut-turut (1). Mr. Besar; (2). Dr. Sumbadji; (3). Dr. Ma’as. Adapun deretan sebelah selatan berturut-turut (1). R. Suprapto; (2). A. Kadir Bakri; (3). Jauhar Arifin.

Anggota eksekutip KNI yaitu Kromo Lawi dan Kyai Moch Iljas, sampai perundingan dimulai tidak hadir. Menurut M. Syaichu dalam tulisannya yang berjudul Seki las Perjalanan Hidupku, mengatakan bahwa ketidak hadiran dua tokoh KNI ini karena sesuatu dan keperluan lain. Hasil wawancara penulis dengan Bapak Setyadi Lawi, pu- tera Bapak Kromo Lawi , mengatakan bahwa Bapak Kromo Lawi, salah satu tokoh pergerakan nasional di Pekalongan yang disegani, memang tidak hadir tetapi tidak pernah menjelaskan mengapa bapak tidak hadir waktu itu.Sementara menurut Anton E lucas , Karena kedekatannya dengan Jepang, sebagai ketua PUTERA, seksi perdagangan Hokokkai, Kromo Lawi tidak disenangi oleh Pangreh Praja. Ketika bentrokan dengan Jepang pada awal Oktober , pemuda menangkap Kromo Lawi dengan tuduhan agen subversif kempeitai.( lucas, 1969 : 95 ).

Mr. Besar membuka perundingan dengan terlebih dahulu memperkenalkan dele- gasi Indonesia, dilanjutkan mengemukakan maksud dan tujuan mengadakan perun- dingan dengan pihak Jepang. Pihak Jepang menyambut dengan pertanyaan mengapa pihak Indonesia datang dengan membawa massa yang banyak ? karena hal ini akan menimbulkan kejadian yang tidak diinginkan.

Dr. Sumbadji selaku ketua delegasi menyatakan perlunya tindak lanjut setelah adanya proklamasi kemerdekaan, yakni terlaksananya pemindahan kekuasaan pe- merintah dari tangan Jepang kepada pihak Indonesia dengan damai, serta disam- paikan tuntutan tiga pasal dengan harapan jangan sampai terjadi insiden yang dapat mengorbankan rakyat banyak.

Adapun tuntutan tiga pasal tersebut adalah: (1). Pemindahan kekuasaan dilaksanakan dengan damai dan secepatnya; (2). Penyerahan senjata dari tangan Jepang adalah semua senjata yang ada ditangan Jepang baik yang ada di Kempeitai, Keibitei, maupun Jepang Sakura kepada pihak Indonesia; (3). Memberikan jaminan pada pihak Jepang bahwa, mereka akan dilindungi, diperlakukan dengan baik, dan dikuEmpulkan menjadi satu di Markas Keibitei. ( DHC Angkatan ’45 Pekalongan, 1983 : 7-8 ).

Tokonomi menjawab bahwa, Pemerintah Bala Tentara Nippon sudah mendengar proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, namun di daerah ini pemerintah Dai Nippon tidak bisa menerima ke- inginan pihak Indonesia karena pihaknya masih berkewajiban menjaga status quo yang ada demi kepentingan, keamanan, dan ketentraman rakyat.Pihak Jepang mema- hami tuntutan dari pihak Indonesia, tetapi pihaknya terikat dengan Sekutu bahwa sebelum ada instruksi dari Dai Nippon di Jakarta, pihaknya masih bertanggungjawab untuk mempertahankan status quo. Kemudian Dr. Ma’as angkat bicara, bahwa sebenarnya tentang pemindahan kekuasaan sudah tiada persoalan lagi.Karena Jendral Terauchi telah berjanji waktu bertemu Bung Karno di Dalat akan memerdekakan Indonesia. Bukankah sekarang sudah tepat pada waktunya ?

Seorang Kempeitai melaporkan bahwa, ada wakil pemuda yang akan bertemu dengan Dr. Sumbadji. Setelah diijinkan, Mumpuni dan Margono berbicara langsung dengan Dr. Sumbadji dengan nada keras:”Sudahkah perundingan selesai ? jangan terlalu lama rakyat tidak sabar menunggu”.

Sesudah dua jam menunggu hasil perundingan antara Residen Besar dan Kempeitei, mereka itu tidak sabar lagi. Mr Besar terpaksa keluar untuk men jelaskan kompromi yang telah tercapai; Kempeitei akan menghentikan aksi-ak si keliling kota dan menyerahkan sejumlah senjata kepada polisi kota, supaya jumlah senjata polisi sama dengan yang dimiliki Kempeitei. Senjata ini harus di simpan di societeit, sedangkan kuncinya yang satu dipegang oleh Residen Besar dan lainnya dipegang oleh Komandan Kempeitei. Ini berarti pemuda tidak dapat mengeluarkan senjata tanpa seizin kedua penguasa itu. ( Lucas, 1989 : 124-125 )

Ketika penterjemah sedang menterjemahkan pembicaraan Dr. Sumbadji, sekonyong-konyong terdengar letusan senjata dari luar. Keadaan menjadi sunyi . Terdengar teriakan serbu ! dari luar. Letusan ini tidak diketahui dari pihak mana yang memulai.Suasana berubah menjadi kacau.

… sampai sekarang kita belum mengetahui dengan pasti letusan senjata itu dari pihak siapa. ? Apakah itu dari pihak Kempeitai ? Kita kurang mengetahui. Akibat selanjutnya terjadi tembak-menembak antara massa di luar gedung dan pihak kempeitai, juga markas kempeitai dikepung rapat oleh rakyat. ( Yayasan Resimen XVII, 1983 : 18 )

Dalam tulisannya yang berjudul Peristiwa Perebutan Kekuasaan Pemerintah dari Pemerintah Penjajahan Jepang di Pekalongan, DHC Angkatan ’45 melukiskan sebagai berikut :Selagi perundingan sedang berjalan, terdengarlah ledakan senjata api, yang tidak jelas dari mana datangnya. Perundingan menjadi bubar tidak membawa hasil. Letusan api yang tidak jelas itu, disusul rentetan bunyi metraliur.

Mr.Besar beserta pengurus KNI menyelamatkan diri, meninggalkan meja perundingan dan melalui tembok samping kanan markas kempeitai menerobos masuk ke ruang kantor karesidenan . ( Yayasan Resimen XVII, 1983 : 94 ).

Pemuda Rahayu dan Bismo dengan beraninya menancapkan bendera merah putih di atas atap markas kempeitai, dalam rangka mengobarkan semangat rakyat ketika terjadi peristiwa perlawanan rakyat terhadap Jepang, ketika perundingan belum selesai dan Kempeitai menembaki massa di depan markas. Mereka naik ke atas atap tanpa komando dan tanpa memikirkan bahaya menimpanya. Mereka bertindak secara spontan.

Dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan I, A.H. Nasution menuliskan sebagai berikut :
Rupanya Jepang sudah membuat siasat. Dari dalam gedung mereka melepaskan tembakan dengan senapan mesin, sehingga rakyat kacau balau dan korban-korban berjatuhan. Akan tetapi rakyat tidak mau mengalah begitu saja. Seorang pemuda dari barisan kereta api naik ke atas gedung untuk mengibarkan sang merah putih. Ia ditembak jatuh, akan tetapi tetap memegang bendera sampai ajalnya. ( A.H. Nasution, 1977 : 367 ).

Saksi sejarah yang bernama bapak Azis Basyarachil mengatakan pada penulis, ketika peristiwa 3 Oktober 1945 , beliau masih menjadi pelajar SMP, dan menceriterakan peristiwa ini antara lain ketika peristiwa ini terjadi, beliau melihat suasana di sekitar Markas Kempeitai, Kantor Karesidenan serta daerah Kebon Rojo yang dipadati manusia yang akan menuntut senjata dari Jepang. Sebetulnya di markas kempetei tidak ada senjata, karena senjata disimpan di tempat lain.Mereka heran kenapa Jepang tidak mau menyerahkan senjatanya kepada pihak Republik, padahal Indonesia sudah merdeka.Menurut bapak Azis kenapa pula di Markas Kempeitai masih menaikan bendera Jepang ? hal inilah yang akhirnya mendorong Rahayu, untuk mengibarkan merah putih di atas atap Markas Kempeitai.

Yang pertama kali menembak dengan senapan pistol adalah Jepang, disusul dengan tembakan senapan mesin oleh Jepang terhadap massa terutama yang berada di sekitar halaman markas kempeitai. Menurut bapak Azis , betapa terkejutnya beliau ketika Jepang meletakkan metraliur yang berarti Jepang akan membuat gara-gara. dan betul, tembakan pistol, adalah pertanda bagi Jepang untuk segera melancarkan penembakan kepada rakyat.Jepanglah yang mulai melakukan penembakan.

Mana mungkin rakyat Indonesia waktu itu bersenjata api. Peta di Pekalonganpun dibubarkan Jepang sebelum peristiwa ini terjadi. Kalau ada polisi bersenjata, dan siap di atas pagar, ternyata tidak menembak kepada Jepang sebagai balasan atas perlakuan Jepang karena senjata mereka tidak berpeluru.Memang rakyat Pekalongan datang ke Sekitar Markas Kempeitai dalam sikap siap tempur, dengan senjata seadanya. Bapak Azis sendiri waktu itu membawa bambu runcing, namun akhirnya terbuang karena terjadinya kekacauan tersebut. ( wawancara dengan Bapak Azis Basyarachil ).

Delegasi Jepang segera meninggalkan sidang, kemudian masuk ke ruang kempeitai sehingga perundingan mengalami kegagalan dan diakhiri dengan korban yang berjatuhan.
Masyarakat yang di luar gedung yang mengepung rapat tempat perundingan, menjadi sasaran tembakan senapan mesin dari Kempeitai.Rakyat marah dan tanpa komando menyerbu markas, melalui pintu masuk, lewat memanjat tembok keliling gedung, menaiki atap gedung yang bertujuan menghancurkan dan merampas senjata dari Jepang.Rakyat banyak yang menjadi korban dalam peristiwa ini.Puluhan orang menggeletak di depan gedung berlumuran darah.Beberapa diantaranya pelajar,seperti Nugroho, Mujiono dan Murtono. Perlawanan yang tak seimbang berlangsung sekitar satu jam.( Lud, 1995 : 11 ).

Para korban umumnya yang memanjat tembok keliling Markas Kempeitai, dan yang menyerbu lewat pintu depan. Banyak penyerbu yang meninggalkan teman-te mannya untuk menyelamatkan diri.Korban yang terluka masih dapat diseret ke luar markas.Namun ada yang tergeletak dua hari di depan Markas Kempeitai.

Rasmadi menjadi korban penembakan Jepang dalam Peristiwa 3 Oktober 1945 sehingga menjadi cacat tetap, karena tertembak kakinya dan terbaring selama 3 hari di depan Markas Kempeitai. ( wawancara dengan Budi Suparno, Putera Rasmadi ).

Rakyat membubarkan diri untuk menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi bila pihak Jepang membalas dendam. Dari salah satu saksi sejarah yang penulis temui menuturkan sebagai berikut tentang peristiwa 3 Oktober 1945 antara lain …Bapak Muhardjo adalah anggota pemuda pegawai Pamong Praja Kota Pekalongan, yang menjadi salah satu saksi dalam pertempuran 3 Oktober 1945 di Pekalongan. Melihat sendiri betapa Jepang dengan kejam membantai rakyat Pekalongan.

Mengenai Perundingan dengan Jepang KNID mulai berunding pukul 10.00, namun terjadinya tembakan pertama dan dilanjutkan penembakan dengan mitraliur Oleh Jepang terhadap massa.Seusai peristiwa 3 Oktober 1945 Bapak Muhardjo tidak berani pulang di Bendan, tetapi malamnya menginap di Pesindon. Pada pagi buta baru pulang, karena takut Jepang akan membalas dendam setelah peristiwa tersebut.

Penaikan bendera oleh Rahayu dan Bismo, merupakan simbol semangat nasionalisme yang berkobar dari jiwa muda yang masih idealis tanpa merasa adanya resiko yang bakal diterima. ( wawancara dengan Bapak Muhardjo ).

Sementara sandera Jepang yang di tangkap para pemuda dan dikuEmpulkan di ruang Syucho dibunuh tanpa kenal aEmpun Jumlah orang Jepang yang dibunuh tidak jelas, karena yang luka dan yang meninggal dibawa lari oleh Jepang. Diperkirakan korban dari pihak Jepang sebanyak 22 orang.Termasuk Hayashi, Kempeitai yang terkenal kejam.Hayashi ditembak oleh Sumantra.Beberapa pemuda yang ditawan Jepang sampai berakhirnya peristiwa ini adalah Suhardjo, Sudjono, Djoned, Kuswadi, Singgih, Suwarno, Sarino dan lain-lain. ( S. Prawiro, 1983 : 89 ).

Dalam hal ini ada kejadian yang menarik perhatian kita, yaitu adanya pengibaran bendera merah putih di atap markas kempeitai yang dilakukan oleh Rahayu dan Bismo. Insiden ini menarik perhatian penulis. Apa sesungguhnya yang mendorong timbulnya peristiwa bendera ini ? Keberanian Rahayu dan Bismo yang menurunkan bendera Jepang dan mengibarkan sang merah putih di atap markas kempeitai patut dicatat dalam sejarah di Pekalongan ini.

Setelah pertempuran yang tidak seimbang terjadi, rakyat akhirnya bubar, semen- tara korban bergelimpangan di sekitar Markas Kempeitai. Suasana menjadi sunyi, dan hanya ada beberapa anggota Kempeitai yang berjaga-jaga di luar dengan bayonet terhunus. (Oetoyo,1983:12)

Korban peristiwa berdarah ini bagi pihak Indonesia cukup banyak baik mereka yang gugur sebagai pahlawan bangsa maupun mereka yang cacat sebagai pembela negara.
Korban yang tergeletak di depan Markas Kempeitai ada yang masih hidup. Untuk menolong mereka akhirnya minta bantuan dari Embrio PMI yang di Pekalongan tokohnya DR. Sumakno, Dr. J. J Tupamahu, Dr.L S Lisapally, Dr. Sunarya Said dan Dr. sumbadji. Mereka inilah yang menolong korban pertempuran, setelah berunding dengan Kempeitai yang bertahan di markasnya. Barulah hari ketiga setelah pertempuran, mayat yang sudah mulai membusuk diangkat oleh sukarelawan yang berasal dari Rumah Sakit Kraton, dinas kesehatan dan eks EHBO ( EERSTE HULP BY ONBELUKKEN ) yaitu Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan,yang di bentuk pada jaman penjajahan Belanda. ( wawancara dengan Bapak Abdul Karnen ). Dan yang mengurus jenasah di Markas Kempeitai menurut hasil perundingan dengan pihak Jepang harus para wanita, atau dokter sendiri, supaya tidak menimbulkan kecurigaan Jepang. Sukarelawan PMI yaitu Hardinar Mulyadi, dan Mary Soemakno
( sekarang isteri Hugeng mantan KAPOLRI ).Menurut Mary Hugeng kenangan pada peristiwa ini dituturkan sebagai berikut:

…..Dr Tupamahu membawa bendera palang merah ukuran kecil yang biasanya untuk kendaraan. Enam orang dari kami berjalan lambat-lambat sambil berharap peneropong mereka melihat bendera kami.Ketika sampai di depan barikade, Dr Tupamahu menjelaskan bahwa kami dari palang merah dan akan mengambil siapapun yang terluka.

Lalu kita mulai bekerja. Saya ingat tidak seorang pun dari pemuda itu yang mempunyai senjata kecuali bambu runcing. Mereka itu masih hidup (setelah pertempuran) walau perutnya kena tusuk, kadang-kadang dua orang direnteng dalam satu tusukan bambu, seperti sate, sungguh mengerikan !

Mereka semua ditembak dadanya dengan senapan mesin. Tiba-tiba salah satu mayat itu berkata, “ Tolonglah saya. “ Kakinya telah ditembak dan telah terkapar sepanjang siang hari di bawah terik matahari. Ia berkata, “ Saya sudah mati seandainya hujan tidak turun semalam. “ Kami segera membawanya ke Rumah Sakit dan diperbolehkan mengambil semua mayat manfaat identifikasi. Salah seorang saudara puteri saya jatuh pingsan begitu tiba di rumah sakit. ( Lucas, 1989 : 126 ).

Jenasah disemayamkan di Rumah Sakit Kraton dan dimakamkan di daerah Panjang, pada tanggal 6 Oktober 1945 sekitar pukul 4 sore. Tempat pemakaman ini sekarang diberi nama Taman Makam Pahlawan Rekso Negoro.Kadang kala pihak keluarga korban tidak tahu dimanakah makam keluarganya di Taman Makam Pahla- wan itu. Penuturan Ibu Martono, puteri Bapak Rifai yang menjadi korban penem- bakan oleh Kempeitai mengatakan bahwa sampai sekarang tidak tahu yang mana makam ayahnya itu. ( Wawancara dengan ibu Martono ).
Beberapa pendapat mengenai jumlah korban yang dihiEmpun penulis adalah :
1. Menurut buku Pengabdian Resimen XVII Kepada Bangsa Dan Negara, mencatat korban meninggal 35 orang dan mereka tergeletak selama dua hari dihalaman gedung Kempeitai.
2. Menurut catatan DHC Angkatan ’45 Pekalongan yang berjudul Perjuangan Pemuda Pekalongan Mengusir Jepang 3 Oktober 1945, menuliskan pahlawan yang gugur 36 orang , seorang meninggal di depan kantor Kempeitei.
3. M. Syaichu dalam bukunya yang berjudul Sekilas Perjalanan Hidupku, melaporkan bahwa korban di pihak pejuang 32 orang, tetapi ada yang mencatat 37 orang, sedang menderita cacat sebanyak 12 orang.
4. Dalam buku Pekalongan Kota Batik yang diterbitkan Pemda Dati II Kotamadya
Pekalongan mencatat 35 orang meninggal dan 12 orang cacat.

5. Paguyuban Keluarga Pahlawan 3 Oktober 1945 di Pekalongan, mencatat ada
37 orang yang meninggal dan 12 orang yang mengalami cacat tetap.( lihat lampiran
IV tentang daftar Pahlawan 3 Oktober 1945 di Pekalongan ).

Jumlah korban ini belum semuanya diinventarisasikan, karena bisa jadi jumlah mereka lebih banyak lagi.Karena ada pula yang terluka dan beberapa hari kemudian meninggal. Ada juga yang tidak melaporkan keluarganya yang menjadi korban pada peristiwa ini. Namun nama pahlawan yang resmi tercatat di dalam Paguyuban Keluarga Pahlawan 3 Oktober 1945 jumlahnya seperti yang telah disebutkan di atas.

Kelompok delegasi dan pemuda berusaha menyelesaikan masalah dengan sangat hati-hati.Sebab mereka khawatir bila pihak Kempeitai membalas dendam terhadap masyarakat Pekalongan pada malam harinya.

Suasana di kota Pekalongan selama 3 hari sangat mencekam. Para pemuda mematikan aliran listrik dan telepon serta air minum ke markas kempeitei.Masyarakat berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

Usaha penyelamatan rakyat terus dilakukan dengan menunjuk H. Iskandar Idris, eks Daidancho Peta untuk menghubungi Butaicho di Purwokerto serta melaporkan situasi di Pekalongan. Usaha mencari bantuan ke Purwokerto dilakukan karena usaha menghubungi Semarang mengalami kesulitan. B Suprapto sulit dihubungi via interlokal sebab Semarang sendiri suasananya gawat. H. Iskandar Idris minta bantuan eks Daidancho Sudirman ( Panglima Besar Sudirman ) di Purwokerto agar menghubungi Butaicho Purwokerto yang membawahi militer Banyumas dan Pe- kalongan, untuk menarik mundur pasukan Jepang dari Pekalongan. H. Iskandar Idris juga menjelaskan kepada Daidancho Sudirman tentang perkembang situasi di Pekalongan.

Usaha minta bantuan kepada Daidancho Sudirman tidak sia-sia, karena pada tanggal 5 Oktober 1945 diterima berita dari Purwokerto, bahwa penyelesaian masalah berhasil dengan baik.Tentara akan ditarik dari Pekalongan dan dibawa ke Purwokerto, serta Minta agar saluran telepon Markas Kempeitai yang diputus agar disambung kembali sebab Butaicho dapat menghubungi dan memberi perintah kepada Kepala Tentara Jepang di Pekalongan. Jepang akhirnya menyerah dan mengibar kan bendera putih setelah listrik, air minum dan telepon dimatikan para pemuda. ( Wa wancara dengan Bapak Abdul Karnen ).

…..Pada sore hari itu Residen Banyumas Iskaq Cokrohadisuryo disertai seorang penterjemah, Saburo Tamuro, dan Kapten Nonaka dari garnisun Banyumas untuk mengadakan perundingan dengan BKR yang dipimpin Iskandar Idris.BKR menuntut gencatan senjata segera dimulai Semua orang Jepang di wilayah Pekalongan harus menyerahterimakan senjatanya kepada BKR, dan setelah itu dan harus secepatnya meninggalkan wilayah ini.Dua orang Jepang yang menyertai Residen Iskaq itu menyetui persyaratan ini dan mengatakan akan berusaha melakukan kontak dengan opsir-opsir Kempeitei yang terkepung itu.

Ini dilakukan sekitar pukul 9.00 malam. Setelah dua jam yang mendebarkan, seorang wakil Jepang bekas staf Syuchokan ( Residen ) datang ke kantor kawedanan dan memberitahu bahwa Kempeitei menerima persyaratan itu.Perundingan langsung antara Kempeitei, Iskandar Idris, komandan garnisun Pekalongan, Kapten T. Oka, dan beberapa orang lagi berakhir dengan sukses pada tengah malam tanggal 6 Oktober. ( Lucas, 1989 : 126-127 ).

Hasil perundingan Eks Daidancho Sudirman dengan Butaicho berhasil dengan baik dan hampir memenuhi harapan rakyat Pekalongan, yakni :(1). Seluruh Bala Tentara Jepang dan Jepang Sipil akan dijemput oleh Butaicho dari Purwokerto, dan akan diangkut dengan truk ke Purwokerto. (2). Semua peralatan perang akan ditinggalkan dan akan diserahkan kepada eks Daidancho Pekalongan. (3). Pemerintahan dipin- dahkan kepada pejabat Indonesia secara geruisloos ( tanpa upacara dan tanpa timbang terima ). (4). Tanggungjawab keamanan dan ketentraman menjadi tanggung jawab bangsa Indonesia. (5). Eks Daidancho Pekalongan supaya menjEmput utusan Butaicho dari Purwokerto di Tegal. Perjalanan dan pulangnya mengangkut orang-orang Jepang jangan sampai terganggu atau ada provokasi dari pihak pemuda. (6). Penyerahan senjata tersebut butir 2, dilaksanakan setelah sampai di Tegal secara geruisloos.

Pelaksanaan pemindahan Tentara Jepang dari Pekalongan ke Purwokerto berjalan dengan aman. Konvoi diberangkatkan tanggal 7 Oktober 1945, pukul 04.30 dari Pekalongan lewat Tegal secara diam-diam. Kota Pekalongan menjadi aman dan baru di Pekalongan inilah tentara Jepang terusir dari wilayah Indonesia.

Rentetan peristiwa penting di Pekalongan dari sekitar proklamasi sampai peristiwa 3 Oktober 1945 , terlihat peranan penting dari KNI Daerah Pekalongan dalam pengambilalihan kekuasaan yaitu :
Membentuk KNID dan Badan Eksekutipnya untuk membantu tugas-tugas Kepala Daerah.
Melakukan perundingan awal dengan pihak Jepang untuk mengambilalih kekuasaan baik sipil, maupun militer.

Menyatukan segala kekuatan masyarakat untuk menuju satu cita-cita bersama yakni menegakkan kemerdekaan . Contoh selalu terjadi koordinasi antara kelompok KNID, BPKKP, dan para pemuda.

Menyelesaikan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang setelah kegagalan dalam perundingan, dengan menugaskan H. Iskandar Idris untuk minta bantuan mengatasi masalah di Pekalongan kepada Eks Daidancho Sudirman di Purwokerto, yang berhasil baik, terbukti dengan dapat ditariknya Tentara Jepang ke Purwokerto dari Pekalongan.
Itulah peranan KNI Daerah Pekalongan yang berhasil menyelesaikan pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang, meskipun harus ditebus dengan gugurnya 37 orang dan cacat tetap sebanyak 12 orang

Usaha menghargai jasa pahlawannya oleh masyarakat dibuatkan suatu monumen sebagai tanda kebesaran perjuangan rakyat mengambilalih kekuasan dari Jepang di Pekalongan. Monumen Perjuangan 3 Oktober 1945 di Pekalongan semula dibuatkan di halaman depan bekas Markas Kempeitai dan masuk dalam lingkup situs sejarahnya. Namun berbagai faktor menyebabkan letak monumen berubah beberapa kali, dan letak yang terakhir di bekas Kebon Rojo, tempat dulu rakyat menyaksikan dan menjadi korban keganasan Jepang dalam Peristiwa 3 Oktober 1945 di Pekalongan

Monumen Perjuangan 3 Oktober 1945 mula-mula dibangun pada tahun 60-an, tepatnya diresmikan tanggal 20 Mei 1964, bersamaan dengan peringatan Kebangkitan Nasional sekalian peresmian Tugu Pahlawan 3 Oktober 1945. Tujuan pembangunan Tugu Pahlawan ini ada dua yaitu:
1. Mengabadikan semangat juang rakyat Pekalongan dalam melawan fascisme Jepang dan kolonialisme.
2. Untuk menambah keindahan kota Pekalongan

Demikian menurut Pidato Pembukaan Ketua Panitia Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1964 Kotapraja dan Kabupaten Pekalongan dan Peresmian Tugu Pahlawan 3 Oktober 1945 yang dibacakan oleh Suratman. ( lihat lampiran VII dan VIII ).
Monumen ini dibangun tepat di depan gedung Markas Kempeitai, sehingga kete- patan penempatan monumen memiliki kebanggaan tersendiri bagi masyarakat.

Karena pada masa Orde Lama dominasi PKI tampak dalam bentuk monumen maupun reliefnya, maka setelah peristiwa G 30 S/ PKI, Kesatuan Aksi KAPPI dan KAMI mendesak agar monumen yang bernafaskan komunis itu dibongkar saja. Karena dana yang terbatas, pembongkaran total terhadap monumen tidak dilakukan, dan hanya unsur yang berbau komunis dihilangkan. Akhirnya bentuk monumen dibuat kerucut dengan hiasan topi-topi baja saja. Nama gedung Pemuda diganti dengan Wisma Taruna Tama.

DHC Angkatan 45 memprakasai penyempurnaan monumen yang berbentuk kerucut ini dengan menggali dana lewat kerjasama dengan Ketoprak Siswo Budoyo yang sedang pentas di Pekalongan. Ternyata pendanaan tidak cukup untuk pembiayaan pembuatan taman di lapangan sebelah gedung, sehingga pembangunan Taman Monu- mennya ditunda.

Pembangunan Taman Monumen gagal. Pihak Pemda Dati II mengulurkan bantuan kepada DHC Angkatan 45 untuk menyerahkan rencananya kepada pemerintah daerah bahkan anggaran akan dimasukkan didalam APBD Kodya Pekalongan, termasuk biaya penyelenggaraan peringatan-peringatan 3 Oktober tiap tahunnya serta 3 Oktober akan diangkat menjadi Perda sebagai Hari Peringatan Pertempuran Kodya Pekalong Janji pihak Pemda Kodya Dati II Pekalongan terlaksana dengan dibangunnya Taman Monumen yang megah.

Peresmian Monumen Perjuangan 3 Oktober1945 ini dilaksanakan tanggal 3 Oktober 1983, bersamaan peringatan Peristiwa Pertempuran 3 Oktober 1945 di Pekalongan, yang ditetapkan Panitia oleh Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Pekalongan No: 003.I /118 Tahun 1983 yang ditandatangani Djoko Prawoto, BA. .

Adapun tanggal 3 Oktober ditetapkan sabagai Hari Peringatan Peristiwa Pertempuran di Pekalongan dengan keluarnya Peraturan Daerah Kodya Dati II Pekalongan No: 6 tahun 1983 Tentang Penetapan Tanggal 3 Oktober sebagai Peringatan Peristiwa Pertempuran di Pekalongan. Penetapan Perda ini tanggal 19 September oleh Walikotamadya Dati II Pekalongan Djoko Prawoto, BA dan Ketua DPRD Kotamadya Daerah Tingat II Pekalongan RH. ABS. Herman Koestino.

Lokasi gedung Pemuda dan Lokasi Monumen Perjuangan 45 di Jalan Pemuda Pekalongan.Situs sejarah berupa markas Kempeitei sekarang sudah berubah menjadi Masjid yang cukup megah yang diberi nama Masjid Syuhada.



Bambang Indriyanto

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?