SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

PEMBANTAIAN SETELAH G-30S

| | |
Orde Baru lahir dengan genangan darah dan airmata. Inilah sejarah hitam
pembantaian massal yang menumpuk ketakutan. Tapi sampai kapan ketakutan
mampu ditahan?
-----------------------------

Tahun 1965 bagi Indonesia sungguh menyayat hati. Apa yang kita rayakan
sebagai hari "Kesaktian Pancasila" sesungguhnya adalah saling bunuh
saudara sebangsa. Terlepas dari siapa yang benar ; Soekarno? Soeharto?
TNI AD? PKI? atau partai dan ormas saat itu? Peristiwa itu berbuntut
ajal yang tak pasti jumlahnya. Mereka dituduh PKI, sebagian memang PKI,
tapi sebagian lain tak tahu apa-apa, termasuk ibu-ibu dan anak-anak.

Berapa yang mati? Angka resmi pertama yang diumumkan di akhir 1965
adalah 78.832
jiwa. Perinciannya; korban di pihak PKI di Bali 12.500, Jawa Timur
54.000, Jawa Tengah 10.000, Sumatra Utara 2.000, sementara korban non
PKI yang dibunuh orang-orang PKI tercatat 328 orang. Itu hasil Komisi
Pencari Fakta dengan anggota 9 orang yang dibentuk Soekarno. Tapi dari
wawancara John Hughes tahun 1968 dengan salah satu anggota Komisi, angka
yang benar adalah 780.000 jiwa (baca: tujuh ratus delapan puluh ribu
jiwa). Oei Tjoe Tat, Menteri Negara d/p Presidium Kabinet yang juga
anggota Komisi, saat ditanya Bung Karno usai penyampaian laporan resmi
menjawab 500.000 atau 600.000 korban.

Memang angka resmi baru kemudian muncul setelah Kantor Berita Antara
menyatakan
ada 500.000 orang yang mati. Laksamana Soedomo dalam wawancara resmi
tahun 1977
dengan wartawan Newsweek, Bernard Krisher, mengaku ada setengah juta
korban dibunuh. Begitu banyak orang PKI yang mati dilatari dendam warga
non PKI karena aksi sepihak, kampanye PKI yang begitu provokatif, hingga
penculikan dan pembunuhan terencana oleh aktivis PKI. Di samping itu,
pemuda-pemuda anti PKI dilatih dua-tiga hari oleh Pasukan RPKAD yang
dipimpin Sarwo Edhie, lalu dilepas untuk menggerakkan masyarakat di
bawah gerakan Komite Aksi Pengganyangan.

Pembunuhan massal
Seperti mendapat pembenaran dengan maraknya demonstrasi anti PKI dan
berita-berita media massa yang menyiarkan betapa kejamnya PKI membunuhi
para jendral. Koran-koran terbitan Angkatan Darat, seperti Angkatan
Bersenjata dan Berita Yudha, koran Kristen Sinar Harapan, dan koran umum
seperti Duta Masyarakat dan Mingguan Berita, menyiarkan kekejian PKI dan
ormas-ormasnya yang membunuhi para jendral dengan silet, sabit, sundutan
rokok, dengan diiringi tarian cabul para Gerwani sampai memotong alat
vital korban. Sedangkan menurut otopsi dokter yang diperintahkan
Soeharto, para jendral mati karena tembakan, sama sekali tak ada luka
pukulan atau akibat senjata tajam, sedangkan lebam di kulit diakibatkan
benturan saat korban dijatuhkan ke sumur Lobang Buaya (Anderson, 1987).
Tapi dendam dan pengkondisian anti PKI terlanjur menyulut pembantaian.
Cara-cara yang digunakan sering di luar nalar, sampai Mayjen Achmadi
-Menteri Penerangan yang juga anggota Komite Pencari Fakta- mengucap,
"Wah terlalu, kok bangsaku bisa begitu kejam". Di Jakarta, menurut
pelaku, mereka menjerang air dalam drum sampai mendidih. Seorang aktivis
IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) diikat dengan kepala di bawah
lantas dicelupkan ke air yang menggelegak itu. Saat diangkat, kulitnya
melepuh, sebagian terkelupas matang, dan kedua bola matanya meletup.
Sebuah keluarga, suami-isteri dan anak-anak, semuanya dibunuh. Jenazah
seluruh keluarga ditusuk dengan sebatang bambu, masuk dari dubur dan
keluar pada
kerongkongan, kemudian diarak berkeliling untuk tontonan umum.

Di Jawa Tengah, menurut fakta yang ditemukan H.J. Princen, 800 orang
dibunuh massal dengan pukulan batang-batang besi ke kepala. Pembantaian
itu terjadi setelah dua bulan penggulungan atas orang-orang yang
dinyatakan sebagai komunis, yang sebelumnya dijebloskan dalam kamp-kamp
tahanan di Purwodadi, Gundi dan Kuwu.

Interogator dari Batalyon 404 dan 409 menggunakan listrik untuk
menstroom alat vital para tahanan demi mengorek info gerakan bawah tanah
PKI. Saksi mata mengatakan pada Princen bahwa Let.Kol. Tedjo Suwarno
adalah orang yang memerintahkan pembantaian massal di Purwodadi. Para
pemuka umat diancam agar tidak lapor ke Semarang. TNI AD membantah bahwa
telah terjadi pembantaian massal di Jawa Tengah. Panglima Kodam VII
(kini IV) Mayjen. Surono mengatakan bahwa para tahanan ditembak saat
hendak melarikan diri. Sementara yang lainnya mati karena bunuh diri
dipenjara.

Massa PKI di Jawa Tengah dan DIY memang cukup besar. Di Yogya, Kol.
Katamso dan Let.Kol. Sugijono mati dibantai PKI. Oleh sebab itu Kol.
Sarwo Edhie Wibowo meminta Soeharto agar pasukannya (RPKAD)
dikonsentrasikan di Jawa Tengah. Sarwo Edhie terkenal berdarah dingin.
Ia pernah memerintah langsung eksekusi atas perempuan-perempuan yang
dituduh Gerwani. Ketika penduduk desa kasak-kusuk tak puas atas
pembunuhan itu, seluruh desa disukabumikan.

Di Jawa Timur, Gatot Lestario (tokoh PKI) sebelum dieksekusi sempat
membeberkan pembelaan di pengadilan (banyak eksekusi kasus PKI tanpa
pengadilan) betapa "inovatif", "kreatif" dan "kompetitif" para algojo
terhadap korban-korban mereka. "Sadisme dan penyiksaan tak manusiawi
yang tak terperikan," gugat Gatot, "Menyertai pembantaian-pembantaian
massal. Keluarga-keluarga secara keseluruhan dihabisi, di mana anak-anak
satu demi satu dibunuh di depan mata orang tuanya hingga akhirnya tiba
giliran sang ayah. Seorang perempuan dibunuh dalam keadaan hamil.
Perempuan-perempuan dengan anak-anak di pinggul mereka dibunuh di
pesisir-pesisir sungai. Ada kompetisi dilakukan dalam pembunuhan, siapa
yang terbaik membelah dalam sekali bacok dari atas ke bawah akan
memperoleh hadiah ekstra (ini terjadi di Singosari). Banyak pembunuhan
terjadi di pesisir-pesisir sungai, agar dengan demikian orang tak perlu
lagi menggali kuburan. Kepala-kepala yang telah dipenggal digantungkan
di pasar-pasar, di depan rumah, di pinggir jalan, beberapa di antaranya
dilabur dengan kapur. Mayat-mayat perempuan dengan bayi susuannya
mengapung di Kali Brantas dan di sungai Bengawan Solo, di Bojonegoro
banjaran mayat-mayat diikat satu menjadi rakit. Pada sebuah jembatan di
lingkungan Babat yang telah berfungsi sebagai rumah potong manusia,
aliran dari gumpalan-gumpalan darah membuktikan betapa banyak orang yang
telah dibunuh di situ. Sejumlah korban dibunuh secara perlahan-lahan,
dengan cara memotong anggota-anggota badannya satu demi satu, yang
lainnya dipaksa terjun ke dalam parit untuk ditanam di situ
hidup-hidup..."

Di Jawa Barat, menurut John Hughes (Indonesian Upheaval) dan Robert
Cribb (The Indonesian Killings), kekerasan massa tidak merajalela
kecuali di Indramayu, antara Subang dan Cirebon. Meski dekat dengan
pusat kekuasaan, pendukung PKI di daerah ini relatif sedikit. Hanya di
Indramayu PKI punya massa karena wilayah ini selalu miskin. Alasan lain,
dendam terhadap orang-orang PKI tidak begitu terasa di Jawa Barat. Meski
bukan berarti tak ada kebengisan, seperti pengiriman kepala tanpa badan
seorang tokoh PKI kepada keluarganya di rumah.

Di Aceh, pengganyangan dikomandani Kolonel Ishak Djuarsa. Semua orang
PKI di Aceh binasa, tidak hanya kader-kader tapi juga seluruh keluarga,
bahkan para pembantu-pembantu rumah mereka. Di Medan, kantor
SARBUPRI/SOBSI diserang saat ada rapat. Gedung tingkat tiga itu disiram
bensin dan dibakar. Para aktivis serikat buruh yang panik mencoba
menyelamatkan diri. Tapi begitu keluar dari pintu, mereka segera
disambut dengan berondongan peluru atau keroyokan orang ramai. Melihat
tak ada lagi jalan keluar kecuali maut, sebagian menyelimuti tubuh
dengan bendera serikat buruh atau spanduk merah dengan menyerukan slogan
"Hidup SARBUPRI, Hidup SOBSI," lalu terjun ke jilatan api. Tindakan itu
makin menyulut kemarahan penyerbu yang banyak di antaranya adalah
aktivis Pemuda Pancasila, sehingga korban yang terbakar itu diseret dari
api, kepalanya dipenggal dan ditendang-tendang bagai bola mainan.

Di Bali, pembunuhan massal berlangsung tak kalah mengerikan. "Teror
massa", sebuah term yang populer di Rusia jaman Stalin, justru dirasakan
orang-orang PKI. Mereka dengan perasaan takut dan tiada harapan
menyerahkan diri untuk diapakan saja oleh penguasa. Hal ini dilakukan
untuk menghindari siksa aniaya oleh massa lawan politiknya.

Sebulan setelah peristiwa 1 Oktober 1965, Gubernur Bali, Sutedja (tokoh
PKI) masih berkuasa. Ketika ditanya Bung Karno di hadapan Sabur, Chaerul
Saleh, dan pejabat lain, apakah dia PKI? Sutedja menjawab bahwa itu
hanya fitnah belaka. Para pejabat Bali yang punya sangkut paut dengan
PKI mulai cuci tangan. Saat itu kabar tentang pembantaian di Jawa Tengah
dan Timur telah santer terdengar di Bali.

Rakyat menunggu ABRI. Tapi rupanya pimpinan ABRI di Bali, khususnya
Pangdam Sjafiuddin pun menunggu siapa yang akan menang di Jakarta.
Sebetulnya istri Sjafiuddin sendiri adalah simpatisan Gerwani. Ketua
DPRGR I Gusti Media, Ketua Bamumas I Gede Puger, Ketua Lembaga
Pariwisata Ida Bagus Komjang juga tokoh-tokoh PKI.

Namun ketika gelagat Bung Karno kalah kian menguat, para pejabat itu
mulai menghilangkan jejak. Dan pembunuhan, adalah jalan paling cepat dan
aman sebab orang mati tidak akan bisa bersaksi. Orang-orang Nasakom yang
berkuasa di Bali ingin menunjukkan bahwa merekalah yang paling anti PKI
dan paling Pancasilais.

Wedagama (tokoh PNI) menghasut rakyat bahwa membunuh PKI dibenarkan oleh
Tuhan dan tidak akan disalahkan hukum. Wijana, yang mengaku masih
kerabat Bung Karno, menyatakan bahwa mengambil barang-barang PKI
bukanlah pekerjaan yang melanggar peraturan. Pembakaran rumah orang PKI
dianjurkan sebagai warming up. Dan akhirnya pembunuhan itu pun
berlangsung di seluruh pelosok Pulau Dewata. Menurut Soe Hok Gie yang
menggunakan nama samaran Dewa dalam tulisannya di Mahasiswa Indonesia
(Des'67), pembunuhan massal di Bali telah memakan korban sedikitnya
80.000 jiwa. Korban material tak terhitung. Sementara itu pemerkosaan
terhadap mereka yang dituduh anggota Gerwani merajalela. Widagda, tokoh
PNI adik Wedastra Suyasa yang jadi anggota DPRGR Pusat, diketahui umum
telah memperkosa belasan wanita yang dituduhnya Gerwani.

Anak Agung Made Agung, Kepala Djawatan Penerangan Bali diculik dan
dibunuh. Terbukti kemudian pembunuhan itu direncanakan wakilnya yang
ingin menduduki jabatan kepala. Sedangkan Lie Lie Tjien, pengusaha yang
jadi kasir PKI, selamat jiwa dan hartanya karena menyogok Widjana
birokrat Bali Utara. Saingan Lie Tjien, Tjan Wie difitnahnya hingga
gudang kopi milik tauke itu diserbu massa dan ratusan ton kopi dibuang
berserakan di jalan-jalan Singaraja. Tjan Wie pun jadi gila setelah
peristiwa itu.

Begitulah..., fitnah, pemerkosaan dan pembunuhan massal terjadi di
berbagai pelosok tanah air. Indonesia yang "hamil tua" akhir-nya
melahirkan Orde Baru dengan genangan air mata dan darah. Siapa yang
salah, barangkali bukan pertanyaan yang relevan sebab tak menyelesaikan
persoalan. Yang terjadi adalah amok.

"Amok ya karena orang tidak berani, ketakutan yang menumpuk...
menumpuk... menumpuk.
Kelihatannya damai, indah, tapi 10 tahun kemudian meledak," ujar Romo
Mangunwijaya.

VSuara INDEPENDEN, No 11/III/September 1997
TOPIK UTAMA

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?