Sebuah pesan pendek berbunyi, ”Tandzim Al Qoidah Indonesia Cabang Serambi Mekah telah bertahan untuk melanjutkan jihad terhadap musuh-musuh Allah: kaum Yahudi, Salibis, dan Murtadin serta meminta musuh-musuh Allah untuk segera meninggalkan tanah Serambi Mekah”.
Pesan lewat SMS itu dikirim Abu Yusuf dari Pegunungan Bun, Jalin, Kecamatan Jantho, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), kepada seseorang di Solo, Jawa Tengah, pada 27 Februari 2010. Abu Yusuf alias Mustaqim adalah lelaki asal Lampung yang memimpin pelatihan menembak dan membaca peta kelompok bersenjata itu. Dia disebut-sebut sebagai lulusan akademi militer Jemaah Islamiyah Hudaibiyah di Mindanao, Filipina.
Ancaman dari Abu Yusuf itu terbukti bukan gertak sambal. Sepanjang Kamis (4/3/2010), belasan kali ambulans milik Kepolisian Daerah (Polda) NAD bolak-balik Banda Aceh-Lamkabeu, Aceh Besar, untuk mengantar anggota polisi yang tertembak dalam pengejaran kelompok bersenjata yang dipimpin Abu Yusuf itu.
Hingga tengah malam, 11 anggota Satuan Brimob Polda NAD dirawat. Empat di antaranya harus menjalani operasi karena mengalami cedera serius. Kontak tembak itu juga menewaskan seorang warga sipil, dua anggota Brimob Polda NAD, dan seorang anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Esoknya, Mabes Polri menyatakan, kelompok bersenjata itu sangat menguasai medan. Mayat tiga polisi yang tewas itu pun baru bisa diambil dua hari kemudian karena aparat tak berani mendekat ke lokasi kontak tembak.
Seorang anggota Brimob Polda NAD yang ikut dalam pengepungan itu sejak 22 Februari 2010 mengisahkan, pergerakan kelompok itu di pegunungan cukup sulit untuk diikuti. Mereka, katanya, sangat mengetahui seluk-beluk kawasan perbukitan itu dan mahir menggunakan senjata api.
Tajudin (35), mantan panglima pasukan elite Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Gajah Keng wilayah Aceh Besar, mengatakan, tanpa penguasaan medan, sulit mengejar kelompok bersenjata itu. "Tempat tertembaknya anggota Densus 88 dan Brimob seperti mangkuk. Waktu ditembak, mereka berada di dasar mangkuk itu, sedangkan kelompok bersenjata itu ada di atas. Tak perlu senjata api, orang yang berada di bawah bisa mati cukup dilempari batu dari atas," kata Tajudin yang belasan tahun bergerilya di wilayah itu.
Medan geografis di Aceh memang mendukung untuk peperangan gerilya. Kontur tanahnya berbukit, dinaungi hutan hujan tropis, dengan sungai-sungai yang mengalir di lembahnya, yang merupakan tempat berlindung yang sempurna.
Memanfaatkan medan itu, para pejuang Aceh bertahan menghadapi gempuran penjajah Belanda. Tradisi gerilya itu yang kemudian diteruskan Darul Islam (DI) hingga gerakan Aceh Merdeka (AM) dan terakhir oleh GAM.
Romantisisme sejarah
Romantisisme perang Aceh yang sudah banyak dikisahkan ini agaknya telah menginspirasi kelompok teroris untuk mencoba membangun basisnya di sana.
Ditemui secara terpisah, Yudi Zulfahri dan Sofyan Tsauri, dua tersangka yang menjadi kunci untuk menyiapkan pelatihan kelompok Tandzim Al Qoidah Indonesia Cabang Serambi Mekah, mengatakan, faktor alam menjadi alasan utama mereka.
Selain itu, mereka juga menilai Aceh sebagai etalase penting bagi tegaknya syariat Islam di Indonesia. "Tapi, sayangnya, syariah yang ditegakkan di sini sekarang belum sepenuhnya tegak. Itu yang mengecewakan," kata Yudi, pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota Banda Aceh yang ditangkap dalam penggerebekan di Janto.
Latar belakang kekecewaan pribadi yang dirasakan Yudi itu menjadi salah satu pendorong untuk "mempromosikan" Aceh sebagai basis pelatihan kepada jaringan kelompok asal Jawa. Dengan pertimbangan itulah, para anggota jaringan lama, termasuk Dulmatin, menyetujui Aceh dijadikan basis persiapan kekuatan bagi gerakan mereka. Yudi dan Sofyan pun diserahi tugas-tugas persiapan, mulai dari mencari senjata dan amunisi, mencari lokasi yang cocok, hingga persiapan logistik.
Yudi pun memanfaatkan orang-orang lokal yang bisa membantu, salah satunya Munir alias Abu Rimba. Meski Abu Rimba diakui Yudi bukan sosok yang ideologis, seperti yang diyakini kelompoknya, ia dinilai memahami medan di pegunungan. Apalagi Yudi mengenal Abu Rimba sebagai mantan anggota pasukan khusus GAM Gajah Keng yang kecewa dengan kondisi Aceh pasca-perdamaian. Belakangan, mantan Panglima GAM Gajah Keng Tajudin menyatakan, Abu Rimba bukan mantan anggota pasukannya.
Hal itu dikuatkan dengan keterangan Abu Jihad. Lelaki asal Samalanga, Bireuen, ini beberapa kali dihubungi oleh Sofyan Tsauri untuk bergabung dengan kelompoknya. Abu Jihad yang bernama asli Yusuf Al Qardhawi adalah Ketua Front Pembela Islam wilayah NAD. Dia adalah inisiator perekrutan calon mujahidin ke Palestina di wilayah Aceh.
Yusuf mengatakan, ada beberapa alasan yang disebutkan Sofyan kenapa memilih Aceh. Selain medan tempur yang dinilai strategis, penduduk Aceh juga disebutkan 99 persen Muslim, yang diperkirakan akan mendukung penegakan syariat Islam. Apalagi Aceh memiliki sejarah pernah mendukung pergerakan Darul Islam (DI) yang diproklamasikan oleh SM Kartosuwiryo di Jawa Barat.
"Dengan faktor itu, mereka yakin akan didukung masyarakat Aceh, terutama oleh mantan anggota GAM yang kecewa dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Namun, mereka ternyata keliru membaca situasi," kata Yusuf.
Pendapat yang sama disampaikan Tajudin. "GAM sangat berbeda dengan mereka," ujar Tajudin, "karena bagi kami syariat Islam hanya omong-omong. Jelas ini bukan peperangan kami."
Abu Rimba
Omongan Tajudin itu dibuktikan pada Rabu (17/3) tengah malam dengan mengantarkan Abu Rimba ke Kepolisian Resor Aceh Besar. "Setelah dibujuk keluarga, Abu Rimba akhirnya mau menyerah. Dia itu masih anak-anak, memakai senjata juga belum bisa. Hanya ikut-ikutan," katanya.
Yusri (28), kakak kandung Abu Rimba, mengatakan, selama pelarian, adiknya sebenarnya tak jauh dari rumahnya yang berbatas hutan di Lamtamot, Kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar. "Dia hanya ikut-ikutan karena mengira ini masih kelanjutan dari latihan untuk dikirim ke Palestina beberapa waktu lalu," ujarnya.
Ditemui setelah hampir sebulan dalam pelarian, sosok Abu Rimba (25) terlihat jauh berbeda dengan foto sangarnya di selebaran daftar pencarian orang (DPO) yang disebarkan polisi. Rambutnya yang semula panjang tergerai dicukur tipis. Dengan tinggi sekitar 150 sentimeter dan tubuh kurus, dia lebih menyerupai anak-anak yang baru saja pulang dari main perang-perangan bersama kawan-kawannya. Tak ada sama sekali raut ketegangan sepulang dari sebuah medan pertempuran hidup-mati.
Dia menutupi mukanya dan berusaha bersembunyi dari kamera sebelum kemudian mengatakan, sambil tersenyum malu, "Kalau mau ambil foto berdua juga boleh." Lalu, dia kembali bercanda dengan mengatakan, "Bagi uangnya, ya. Kalian wartawan mendapat uang dari memotret saya...." (AIK/SF/LAS/MHD)
0 komentar:
Posting Komentar