Kolonel Dahlan Djambek (paling kiri), Burhanuddin Harahap, pemimpin Dewan Revolusi Ahmad Husein, Mr Sjafruddin Prawiranegara, dan Maludin Simbolon. Foto yang diambil Maret 1958 ini menunjukkan mereka sebagai pemimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berkedudukan di Bukittinggi, melawan rezim Soekarno.
Sulit dibayangkan jika Sjafruddin Prawiranegara tidak berinisiatif mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), saat agresi militer Belanda ke ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta, 19 Desember 1948, yang menyebabkan pemerintahan Indonesia nyaris tidak berfungsi.
Dalam kondisi tegang dan mencekam tersebut, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M Hatta yang ditangkap Belanda melakukan rapat kilat memutuskan mengirim kawat kepada Sjafruddin Prawiranegara berisi mandat membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera.
Sjafruddin yang sejak minggu ketiga November 1948 berada di Sumatera bersama Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera Mr TM Hasan kemudian bersepakat membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada 22 Desember 1948, di Halaban, Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat.
Menurut Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, saat itu terjadi dialog Sjafruddin dengan TM Hasan yang saling menolak memutuskan siapa yang akan mejadi ketua PDRI.
Sjafruddin meminta TM Hasan yang menjadi ketua, namun menolak dan mengatakan Sjafruddin lebih tepat memimpin PDRI. Setelah saling tolak-menolak, akhirnya diputuskan Sjafruddin menjadi pemimpin PDRI.
"Coba bayangkan jika hal itu terjadi hari ini, pasti kita akan berebut, apalagi untuk jabatan sekaliber kepala negara, membayar pun kita pasti mau," kata Gamawan, saat membuka peringatan mengenang satu abad Sjafruddin Prawinegara di Istana Bung Hatta Bukitinggi, Sumbar, Sabtu (2/4/2011) lalu.
Namun, kata Gamawan, untuk jabatan strategis tersebut mereka saling tolak-menolak.
"Kiranya ini sebuah pelajaran tentang keikhlasan, yang bisa kita teladani, terutama bagi pemimpin saat ini," katanya.
Seusai agresi militer tersebut, Belanda mengira eksistensi Indonesia telah berakhir dan posisi legal perwakilan RI di PBB bisa dipertanyakan. Namun, berkat PDRI, posisi Indonesia di PBB tidak bisa digugat.
PDRI telah menjadi pusat komunikasi RI dengan luar negeri sehingga dunia tetap mengetahui perjuangan rakyat Indonesia.
Dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana ketika itu PDRI tetap berjuang untuk menegakkan eksistensi Republik Indonesia di mata dunia.
Saat itu, sarana dan prasarana sangat minim, namun selama 207 hari Sjafruddin melakukan berbagai upaya untuk menegakkan eksistensi negara ini.
Kalau dibandingkan dengan pejabat saat ini, kata Gamawan, tidak ada apa-apanya. Waktu itu pejabat seperti Sjafruddin dalam bertugas ke mana-mana tidak difasilitasi dengan SPPD (surat perintah perjalanan dinas).
"Namun mereka dengan ikhlas dan penuh pengorbanan tetap berjuang. Sedangkan pejabat hari ini meskipun ke mana-mana sudah dibekali SPPD dan beragam fasilitas, terkadang masih mengeluh dalam bekerja," kata Gamawan.
Kemudian, pada 13 Juli 1949, Sjafruddin dengan ikhlas mengembalikan mandat PDRI kepada Soekarno-Hatta di Yogyakarta. Penyerahan ini memang dilematis karena sejarah mencatat mandat yang dikirim melalui kawat tersebut tidak pernah sampai kepadanya.
Banyak yang mempersoalkan, apakah Sjafruddin merupakan "Ketua PDRI" atau "Presiden PDRI" , namun ia tidak pernah mempersoalkannya. Baginya PDRI telah berkontribusi, berjuang dan berkorban bagi bangsa ini.
"Nilai keteladanan yang bisa diambil bangsa ini, dengan ikhlas Sjafruddin menyerahkan sebuah jabatan yang sangat prestisius karena merasa sudah waktunya pemerintah berdaulat kembali memimpin Indonesia," kata Gamawan.
Sementara Farid Parwiranegara yang merupakan putra Sjafruddin mengemukakan, hingga akhir hayat ayahnya tidak ingin disebut pengkhianat. Namun, Sjafruddin dituding sebagai salah seorang yang ikut bertanggung jawab dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republi Indonesia (PRRI) 1958.
"Padahal, faktanya tidak seperti itu. PRRI itu hanya wujud dari kekecewaan terhadap ketimpangan pembangunan yang dilakukan pusat (ibu kota RI)," ujar Farid.
Segarkan ingatan terhadap sejarah
Ketua Panitia satu abad mengenang Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011), AM Fatwa, mengemukakan, kegiatan ini akan menyegarkan kembali ingatan masyarakat terhadap nilai sejarah.
"Peringatan satu abad Sjafruddin Prawiranegara akan menyegarkan kembali ingatan masyarakat terhadap peristiwa heroik dan strategis yang pernah terjadi di Sumatera Barat enam dasawarsa lalu," kata AM Fatwa.
Dikatakannya, dibandingkan Presiden Soekarno, sosok Sjafruddin Prawiranegara bukan siapa-siapa, dan hanya sedikit orang yang mengenalnya.
"Namun sejarah mencatat, saat agresi militer Belanda pada 19 Desember 1948, Sjafruddin bersama Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera TM Hasan berinisiatif membentuk PDRI yang dideklarasikan di Halaban Kabupaten Limapuluhkota Sumbar 22 Desember 1948," katanya.
Upaya tersebut, ujarnya, telah berhasil mempertahankan eksistensi bangsa serta meneguhkan posisi Indonesia di Perserkatan Bangsa Bangsa (PBB) saat itu.
Pahlawan nasional?
Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, mengemukakan pihaknya akan mengusulkan Sjafruddin Prawiranegara kepada pemerintah untuk ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
"Sosok Sjafruddin Prawiranegara layak untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional, karena banyak nilai keteladanan yang bisa diambil dari pribadinya," kata Irwan Praytino.
Dikatakannya, Sjafruddin merupakan pribadi yang memiliki integritas, multitalenta, kritis, tegas, dan terbuka.
Karena itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat akan segera mengirimkan surat pengusulan Sjafruddin Prawiranegara sebagai pahlawan nasional kepada Menteri Sosial," katanya.
Menurut dia, tugas yang dilakukan Sjafruddin sebagai ketua PDRI selama 207 hari merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjuangan bela negara.
"Jika kita menggunakan cara pandang saat ini, maka Sjafruddin sangat pantas menjadi pahlawan nasional," katanya.
Selain itu, jika Sjafruddin ditetapkan sebagai pahlawan nasional perjuangan yang dilakukannya akan menjadi contoh dan model untuk bisa diteladani.
Sebelumnya, berdasarkan Keppres Nomor 28 Tahun 2006 ditetapkan setiap tanggal 19 Desember diperingati sebagai Hari Bela Negara untuk memperingati deklarasi PDRI oleh Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat pada tahun 19 Desember 1948.
Sejarah yang dipinggirkan
Intelektual muda Sumatera Barat, Fadli Zon, mengemukakan, PDRI merupakan tonggak peristiwa sejarah penting, yang selama ini terlupakan serta dipinggirkan.
"Banyak yang tidak mengetahui sejarah PDRI, seolah-oleh PDRI tidak pernah terjadi," katanya.
Padahal, Sjafruddin Prawiranegara adalah seorang pendiri republik, tokoh bangsa yang berjasa dalam memperjuangkan dan mempertahankan republik Indonesia.
Faktanya, Sjafruddin pernah mendirikan PDRI, atas mendat dari Presiden Soekarno, di tengah ketidakberdayaan republik akibat agresi militer Belanda.
"Namun, hingga kini dia tidak saja belum diakui sebagai pahlawan nasional, tetapi juga tetap menjadi kontroversi bagi sebagian kalangan militer, generasi tua, dan kalangan nasionalis yang tidak menyukai PRRI," katanya.
Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/04/10/11254546/Untung.Ada.Presiden.Sjafruddin
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar