SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Rintihan dari Bilik Tahanan Politik

| | |

Mereka dianiaya di dalam penjara. Dibungkam, direndahkan.

Penyiksaan terhadap warga Papua sudah lama terjadi. Penyiksaan terparah terjadi pada tahanan politik.

Di Abepura, kecamatan kecil di Kota Jayapura, penyiksaan narapidana politik di penjara menjadi makanan sehari-hari. Narapidana dipukul dan diancam agar menurut pada aturan. Akses menemui keluarga dihambat.

Seorang narapidana politik yang menjalani hukuman karena tuduhan makar, Buchtar Tabuni, mengaku penyiksaan terjadi tak kenal waktu. Hal sepele dapat berujung aniaya.

Yusak Pakage, napi kasus politik lainnya, mengatakan pernah dikurung di ruang ukuran 3x4 meter yang penuh kotoran manusia. ”Saya pernah dipukul. Kepala saya pecah. Saya disiksa dalam ruangan penuh kotoran manusia. Di sana kurang lebih empat hari. Ini yang paling saya kenang,” ujarnya.

Yusak salah satu narapidana politik yang menerima grasi. Dia dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, Doyo, Kabupaten Jayapura, 7 Juli 2010.

Pada tahun 2004 Yusak divonis 10 tahun penjara karena dianggap bersalah melakukan tindak pidana makar dan penghasutan. Yusak dibebaskan setelah terbit grasi melalui Keputusan Presiden Nomor 5/G tahun 2010 tertanggal 24 Juni 2010.

“Kami tertekan. Ada banyak penyiksaan. Salah satu korban adalah Ferdinand Pakage yang matanya buta karena dipukul Herbert Toam, petugas LP. Dalam keadaan pingsan Ferdinand dimasukkan ke sel isolasi. Dia sempat dirawat di rumah sakit, tapi sudah terlambat,” ujar Pakage.

Dari 34 napol Papua yang saat ini menjalani masa penjara, hanya Yusak Pakage dan Cosmol Yual yang mendapat grasi. Lainnya tetap dibui karena menolak mengaku bersalah.

“Saya tidak mendendam. Kalau saya punya kedudukan nanti, saya akan kembali memberi makan mereka yang telah menyiksa saya. Saya tahu orang lain pasti tidak akan terima kalau diperlakukan begitu, tapi saya tidak,” kata Pakage.

Yusak Pakage asal Paniai. Dia menyelesaikan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di Manokwari, Papua Barat. Pada tahun 2003 Pakage berangkat ke Jayapura melanjutkan magister di bidang gereja dan masyarakat.

Selain Yusak, ada juga Selpius Bobi, napol yang sebelumnya dipenjara bersama Buchtar Tabuni dan Filep Karma. Selpius dipenjara sejak 2006 dan bebas 11 Januari 2010. Dia dihukum 6 tahun karena terlibat kerusuhan Abepura Berdarah, 16 Maret 2006.

Kerusuhan Abepura dipicu pengusiran penambang liar di sekitar kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia di Tembagapura yang berujung demo menuntut Freeport ditutup. Demo memancing bentrok dengan polisi, sehingga terjadi blokade jalan dari Timika menuju Tembagapura. Unjuk rasa serupa juga terjadi di Jakarta dan Makassar.

Selpius mengalami masa buruk penyiksaan di dalam penjara. Menghuni ruang isolasi selama dua bulan, dia dipukuli menggunakan senjata. “Hampir empat hari kami disiram air panas. Kami juga diperintah untuk saling memukul. Jika tidak, polisi yang akan menghajar kami. Mata saya nyaris keluar tertusuk rotan. Kami sangat sedih karena diadu antara kami. Kami berpikir baiknya kami ditembak saja daripada disiksa seperti itu,” ujarnya.

Bebas dari tahanan, penganiayaan berlanjut di penjara. “Kami juga pernah bertengkar meski tak sampai disiksa hingga pingsan. Tiap hari pasti ada pertengkaran dengan petugas. Saya hanya membela teman-teman. Saya berpikir, jika ada orang yang masuk penjara, jangan disiksa. Karena mereka sudah penuh dengan penderitaan. Tapi penyiksaan terus saja terjadi.”


Penjara Abepura penuh dengan kenangan buruk penyiksaan. Selain narapidana politik, LP Abepura memiliki blok tahanan anak dan blok tahanan perempuan. Penjara ini berdiri ditengah kota Abepura yang dikelilingi permukiman padat penduduk. Tidak jauh dari situ, berdiri Rumah Sakit Jiwa Abepura.

LP Abepura berdiri diatas lahan seluas 2 hektare. Penjara Abepura dijaga 86 sipir dan dihuni 338 narapidana dan tahanan. Para napi dan tahanan ditempatkan dalam sel berukuran 4x5 meter. Narapidana kasus kriminal digabung dengan narapidana dan tahanan kasus politik.

Tahanan dan narapidana politik yang berada di LP Abepura berjumlah 11 orang. Diantaranya Filep Karma, Buchtar Tabuni, dan Viktor Yeimo.

Filep Karma divonis 15 tahun penjara. Pada awal Reformasi 1998, Filep Karma mengkonsolidasikan aksi damai mengibarkan Bendera Bintang Kejora, sebagai protes atas terjadinya kekerasan militer.

Sementara Buchtar Tabuni ditangkap oleh tim Opsnal Reserse dan Kriminal Polda Papua, 3 Desember 2008. Dia dituduh melakukan makar dan penghasutan.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura, Buchtar Tabuni dianggap sebagai tokoh yang memprovokasi menguatnya dukungan internal di Papua terhadap kaukus International Parlementary for West Papua (IPWP) di London, 16 Oktober 2008.

Dihari yang sama, Buchtar Tabuni memimpin demo sejumlah warga dan mahasiswa di Expo Waena dan Universitas Cendrawasih.


Kondisi tahanan LP Abepura

Seperti Buchtar, Victor Yeimo juga dituduh melakukan makar dan penghasutan saat berunjuk rasa di Perumnas I Expo Waena. Yeimo juga memimpin demo di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Jayapura, 10 Maret 2009. Yeimo saat itu menentang kekerasan militer yang terjadi di wilayah pegunungan Papua.

Victor Yeimo dituduh melakukan makar, karena membangun perlawanan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yeimo juga dituduh melakukan penghasutan.

Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Abepura, Liberty Sitinjak mengatakan, perlu indikator yang jelas untuk menentukan apakah terjadi kekerasan di LP Abepura.

“Disini kita harus tahu dulu indikator dari kekerasan. Menurut saya, kekerasan itu berlangsung sistematis, terencana, dan ada target atau tujuannya. Kalau hanya menempeleng, apakah dapat disebut kekerasan? Ini yang kita harus sepakat dulu. Jangan ngomong kekerasan jika tidak tahu apa itu kekerasan,” ujarnya.

Sitinjak membantah terjadi kekerasan di LP Abepura. “Jika memang terjadi, itu juga tidak terjadi pada zamannya saya. Saya berusaha untuk merubah sistem yang ada sekarang. Saya no comment soal kekerasan di dalam LP,” kata Liberty Sitinjak.

Didin Sudirman, Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM mengatakan, pihaknya akan melakukan reformasi birokrasi di Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Provinsi Papua. Termasuk membina sipir dan petugas LP.

Didin mengakui, pelayanan teradap narapidana di LP Abepura kurang baik. ”Untuk itu mulai saat ini LP Abepura harus dibina kembali. Mulai dari segi perilaku dan pemahaman petugas serta masyarakat sendiri,” ujar Didin. (selesai)

Foto: VHRmedia/ Jerry Omona

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?