SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Warisan Tanpa Ahli Waris

| | |
Oleh Rusmanadi
Secara bergantian, empat lelaki Dayak Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, itu mengayunkan tongkat bambu panjang di tangan kanan mereka.

Ayunannya bergerak naik-turun dengan irama teratur dan konstan, membuat ujung bambu yang dibentuk sedemikian rupa, mengeluarkan nada-nada indah.

Saat seorang dari mereka berpindah posisi, yang lain segera menggantikannya. Begitu pula dengan posisi bambu yang kadang diayunkan dengan tangan kanan, terkadang dengan tangan kiri.

Ayunan-ayunan tongkat bambu yang berfungsi layaknya alat musik itu membentuk sebuah lubang kecil pada tanah ketika pangkalnya dientakkan. Begitu lubang terbentuk, dengan cekatan kaum wanita memasukkan benih padi ke dalamnya.

Itulah kesenian khas masyarakat adat Dayak Meratus yang mengiringi prosesi menanam padi atau biasa di sebut "manugal".

Sebuah prosesi kebudayaan dan tradisi berupa tarian dengan disertai entakan-entakan batang bambu yang mampu menghasilkan nada-nada indah itu merupakan pengiring kegiatan bercocok tanam yang disebut ’bahilai’.

Masyarakat adat Dayak Meratus tak memerlukan organ atau biola untuk dapat menciptakan komposisi-komposisi musik yang memikat.

Mereka, yang dekat dan hidup berdampingan dengan alam, amat pandai beradaptasi dan memanfaatkannya, bahkan dalam urusan bermusik sekalipun.

Melalui media sebatang bambu yang pada bagian ujungnya dibuat sedemikian rupa agar menghasilkan bunyi, bagian pangkalnya difungsikan sebagai alat pembuat lubang pada tanah.

Prosesi itu dilakukan bukan tanpa maksud dan tujuan. Bukan pula sekadar bersenang-senang atau pengusir rasa lelah belaka.

Lebih jauh lagi, padi bagi masyarakat adat Dayak Meratus adalah sesuatu yang suci, sedangkan huma yang digarap adalah Ibu Pertiwi tempat mereka menggantungkan harap. Karena itu, proses menanam padi dilakukan dengan keceriaan, kegembiraan dan beribu pengharapan.

Tapi jangan harap menemukan pemandangan indah nan eksotik itu lagi sekarang ini. Datanglah ke kawasan Kecamatan Batang Alai Timur (BAT) misalnya dan bertanyalah kepada pemuda Dayak di sana.

Tahukah mereka dengan bahilai? Mohon jangan kecewa bila jawabannya adalah "tidak tahu".

Keadaan kini telah berubah. Gempuran ilmu dan teknologi dengan beragam kemudahannya membuat Facebook mungkin lebih dikenal oleh mereka.

Bahilai kini tinggal sebuah kata yang pernah diucapkan dan kenangan bagi para tetua masyarakat adat Dayak Meratus di sana.

Menyedihkan memang, ketika sebuah kebudayaan luhur yang luar biasa dan tidak semua orang dapat melakukannya, harus tersingkir dan terkalahkan oleh zaman.
Bahilai kini bagi masyarakat adat Dayak Meratus hanyalah sebuah warisan yang ironisnya tidak seorang pun mewarisinya.

Kondisi itu menimbulkan keprihatinan seorang Mido Basmi, tokoh adat Dayak Meratus di Desa Hinas Kanan.

"Saat ini, budaya dan kesenian adat Dayak Meratus seperti tari bagintor, bakanjar, dan babansai hanya digelar saat ada aruh bawanang atau upacara adat lainnya, yang pelaksanaannya terkadang hanya sekadar simbol ritual adat, tanpa makna," ujarnya sambil menghela napas, tercekat.

Paling menyedihkan tentu saja adalah nasib balihai yang tak lagi dikenal generasi muda Dayak Meratus.

Prihatin akan punahnya budaya dan kesenian adat mendorong ia membentuk sebuah kelompok seni yang mengajarkan berbagai kesenian dan prosesi adat kepada generasi muda Dayak Meratus.

Namun sayangnya, hal itu tak bertahan lama dan bahkan kelompok itu bubar sebelum padi tugalan sempat tercicipi.

Saat mengelola kelompok seni tersebut, pernah ia mencoba meminta bantuan kepada pemerintah daerah setempat untuk pengadaan kostum. Namun, permintaan itu tidak pernah ditanggapi meski yang diminta hanya sekadar baju kabaya (kebaya), sarung dan kakamban (selendang) sebagai perlengkapan panggung. Itu saja.

Seiring dengan bubarnya satu-satunya kelompok seni yang pernah ada itu, kini tak ada lagi upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya adat Dayak Meratus, hingga di ambang kepunahan.

Juliade, koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, menganggap hilang dan tidak dikenalnya lagi kesenian serta budaya adat disebabkan dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan oleh masyarakat adat itu sendiri dan faktor eksternal berupa dukungan dari pemerintah daerah setempat.

"Faktor internal merupakan sikap dan kepedulian dari generasi muda Dayak Meratus yang kini enggan melestarikan kesenian dan budayanya sendiri," ujarnya.

Dalam hal ini, kemajuan ilmu dan teknologi ikut berperan menjadi salah satu pendorong sikap apatis pada generasi muda Dayak Meratus. Kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kesenian dan budaya serta pengaruh asing sangat mudah masuk untuk kemudian merasuk dalam diri generasi muda Dayak Meratus.

Lambat laun, hal itu memengaruhi generasi muda Dayak Meratus untuk mengikuti budaya luar, termasuk gaya hidup. Andai saja pengaruh asing yang masuk dijadikan penambah pengetahuan, tentu akan lebih arif dan bijaksana.

"Namun yang terjadi adalah yang diikuti hanya style-nya tanpa peduli apakah hal itu cocok atau tidak dengan keseharian dan budaya yang ada. Sehingga yang terjadi sekarang ini bahkan banyak dari mereka yang malu mengaku sebagai orang Dayak," ujar Juliade, menyayangkan.

Peran dan dukungan pemerintah daerah setempat juga dinilai sangat kurang, bila tidak ingin dikatakan tidak ada sama sekali.

Hal itu diperparah oleh lembaga-lembaga yang mengayomi masyarakat adat Dayak, yang justru lebih berorientasi pada perbaikan ekonomi, taraf hidup, lingkungan, dan pengakuan dari masyarakat luar.

Bahkan, LPMA Borneo Selatan sendiri dalam hal ini juga memiliki program kerja yang lebih cenderung ke arah hal itu.

Penyebab dari kurangnya konsentrasi program untuk masalah kesenian dan budaya sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan dan anggapan masyarakat luar terhadap masyarakat adat, di mana mereka sering kali dianggap tertinggal, terbelakang, dan primitif.

Mido Basmi pun mengatakan hal serupa. "Akhirnya lembaga dan masyarakat adat disibukkan oleh upaya serta keinginan untuk membuktikan keberadaan mereka sehingga melupakan urusan lain di luar itu," ujarnya.

Bagitu pula dengan masyarakat adat yang telah terpelajar, mereka lebih terkonsentrasi kepada satu titik masalah hingga nilai budaya dan seni tertinggalkan.

Ada secercah harapan ketika kemudian LPMA Borneo Selatan kemudian merencanakan penambahan divisi baru di tubuh lembaga mereka. Mereka akan membentuk divisi khusus untuk menangani masalah kesenian dan budaya adat dengan harapan dinas pendidikan setempat dapat memasukkannya sebagai materi dalam kurikulum muatan lokal.

Menyoal masalah itu, Kadisdik HST, Agung Parnowo, mengaku hanya dapat mengakomodasi bila memang hal itu diprogramkan oleh Dinas Pemuda Olahraga Seni Budaya dan Pariwisata (disporabudpar) setempat.

"Dalam kurikulum, kita hanya mengajarkan budaya Indonesia secara global, termasuk budaya masyarakat adat Dayak. Namun bila Disporabudpar bisa memprogramkannya secara khusus, tidak tertutup kemungkinan hal itu bisa dilakukan," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Disporabudpar HST, Muhammad Yusuf, mengaku saat ini pihaknya tengah melakukan pendataan tentang potensi kekayaan daerah, termasuk seni dan budaya.

"Kami tengah menyusun program pengembangan seni, budaya, dan pariwisata daerah yang di dalamnya termasuk seni dan budaya masyarakat adat sehingga dapat diketahui kesenian dan budaya apa yang dapat dikembangkan atau perlu penanganan," ujarnya.

Namun, hal itu dapat terwujud bila masyarakat adat setempat ikut berperan serta menginformasikan dan mendukungnya.

Sekarang, terpulang kepada masyarakat adat Dayak Meratus itu sendiri, adakah sebuah keinginan dalam diri mereka untuk melestarikan adat istiadat, seni, dan budaya nenek moyang? Bila memang ada terbersit keinginan itu, harapan kiranya dapat dilambungkan mengingat peluang yang diberikan pihak Disporabudpar HST.

Setidaknya, tak salah bila masyarakat adat menagih janji di kemudian hari. Walaupun untuk sementara ini, pemuda Dayak Meratus nampaknya lebih menikmati jelajah Facebook dibandingkan ikut batandik (prosesi adat berupa tarian).

sumber http://oase.kompas.com/read/2010/08/20/06091989/Warisan.Tanpa.Ahli.Waris

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?