SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Melongok Pulau Penjara

| | |
Penjagaan di Nusakambangan amat ketat. Para sipir pun terpenjara.

TAK mudah menembus pulau Penjara Nusakambangan atau Alcatraz-nya Indonesia yang terletak di Jawa Tengah ini. Begitu tiba di Dermaga Wijayapura, pendatang harus menjalani pemeriksaan. Bukan hanya untuk keluarga narapidana, pengunjung ataupun wisatawan, keluarga pegawai penjara pun tak luput dari penggeledahan petugas jaga di dermaga yang menghubungkan ke pulau seluas 210.3202.50 hektare ini.

Fotokopi KTP, surat izin berkunjung, serta surat keterangan kepala desa yang menerangkan keperluan mendatangi Nusakambangan harus diserahkan kepada petugas jaga yang berjumlah tiga orang.

“Penjagaan ini sudah termasuk longgar, karena ponsel masih boleh dibawa hingga LP tujuan,” ujar Suhadi, penjaga yang telah 20 tahun bertugas di Pos Dermaga Wijayapura.

Penyeberangan bisa dilakukan dengan menggunakan KM Pengayoman milik Kementerian Hukum dan HAM Kanwil Jateng yang pada jam tertentu siap mengangkut penumpang menuju Nusakambangan. Ongkos penyeberangan Rp 25.000 per orang. Khusus pengendara mobil ada biaya tambahan Rp 75.000.

“Kapal terakhir dari Nusakambangan pukul empat sore, karena setelah itu air pasang dan kita tidak akan bisa bersandar,“ tutur Udin, nahkoda KM Pengayoman.

Tiba di Dermaga Sodong, Nusakambangan, pengunjung kembali diperiksa. Hanya sebentar, karena setelah itu boleh melanjutkan perjalanan menggunakan mobil terbuka milik Kementerian Hukum dan HAM Jateng yang telah disediakan. Di atas mobil, seorang pria yang mengaku salah satu napi LP Terbuka Nusakambangan mulai melancarkan aksi menawarkan batu cincin karyanya. Cukup mahal. Sebuah cincin ditawarkan Rp 200.000.

“Ini untuk membantu kawan-kawan yang masih di dalam serta untuk ongkos pulang kami nanti,” katanya merayu. Markus, nama pria itu, mengaku Maret 2010 nanti bebas. Dia terlibat kasus pembunuhan dengan masa hukuman 15 tahun.

Ada tujuh LP di Nusakambangan. LP Batu, Besi, Kembang Kuning, Permisan, Pasir Putih, Narkotika, dan LP terbuka. Jarak setiap LP minimal 5 kilometer. Jalan menuju LP berkelok-kelok, meski mulus beraspal. Di sisi jalan terdapat hutan lebat yang sewaktu-waktu muncul ular atau babi hutan. Hutan mendominasi Pulau Nusakambangan. Ada 8.029,50 hektare hutan, sebagian kecil lainnya digunakan untuk perkebunan karet dan kelapa.

Penjara paling jauh, yakni sekitar 35 kilometer dari Dermaga Sodong, adalah LP Pasir Putih. LP ini belum lama dibangun. Masih baru dan paling ketat penjagaannya. Saat ini ada 265 narapidana dan 104 pegawai yang menghuni LP berkapasitas 336 orang ini.

Tujuh pos mesti dilalui untuk sampai di kamar para napi. Pos pertama dipasangi CCTV yang dapat merekam aktivitas para napi di beberapa ruangan.

“Sebenarnya semua LP di Nusakambangan memiliki sarana CCTV, namun banyak yang rusak. Yang tersisa hanya dua. Satu di antaranya di Pasir Putih ini,” kata Kepala Kementerian Hukum dan HAM Jateng Chaeruddin Idrus.

Di pos pertama ini tas, telepon genggam, dan kamera harus ditinggal di loker yang disediakan. Untuk keluarga napi, ruang berkunjung tidak jauh dari pos tersebut. Disediakan dua kursi panjang dan satu meja di ruangan berukuran 3x3 meter itu.

Fasilitas kamar di tiap LP juga berbeda. Di Pasir Putih, karena masih baru, kamar napi terlihat bersih. Sampai-sampai Gunawan Santoso, pembunuh Direktur PT Asaba, mengaku betah di sana. “Di sini sangat berbeda dengan yang lain. Kami diperlakukan manusiawi, sehingga tak ada niatan untuk kabur,” kata Gunawan.

Gunawan tinggal sendiri dalam sel berukuran 3x3 meter. Sedangkan satu blok dengannya setiap sel dihuni 3 hingga 5 narapidana.

“Kami sengaja menempatkan Gunawan sendirian. Karena dia berjanji tidak akan berbuat apa-apa, jika kita memperlakukan dia manusiawi. Dan itu kita pegang teguh,” kata Yudi, sipir di Pasir Putih.

Beberapa fasilitas lain seperti lapangan olah raga disediakan di setiap LP. Aktivitas para napi dibatasi dari pukul 06.00 hingga pukul 17.00. Selepas jam itu mereka harus segera menempati sel masing-masing.

Di LP Batu setiap sel ada sebuah televisi 14 inci. Ada yang berbeda di LP ini, karena untuk warga negara asing, satu kamar ditempati tiga orang. Di sebelahnya, sel berukuran 5x6 meter ditempati 10 orang.

“Ah, begini juga kami sudah bersyukur. Lihat saja ada kasur empuk untuk kami. Ada bantal, selimut, dan juga televisi untuk hiburan,” ujar Rudi, penguni sel yang mirip bangsal rumah sakit.

Sel terburuk di LP Narkotika. Di sana ruangan berukuran 3x5 meter dihuni tiga hingga tujuh napi, tanpa fasilitas apa pun selain kasur dan bantal. Ruangan itu pengap, kusam, dan bau. Di dinding samping pintu tertera nama-nama penghuni.

“Kita sedang membangun sel yang baru. Jadi, sementara kita tampung seperti ini,” ujar Doni, sipir LP Narkotika.

Meski berbeda fasilitas, semua napi tampaknya tidak memiliki tempat menjemur pakaian yang memadahi. Mereka hanya menggantung pakaian basah di depan sel. Kesan kumuh terlihat hampir di seluruh LP.

Tidak ada kriteria dalam menempatkan napi di beberapa LP di Nusakambangan. Meski bernama LP Narkotika, pembunuh dan pemerkosa juga ditempatkan di sana.

“Demi keamanan, kami memang menyebar mereka. Terutama warga negara asing. Ingat kericuhan di NK 2008 lalu. Itu karena kami menyatukan mereka, maka timbul solidaritas ketika satu di antaranya harus menjalani eksekusi. Dan terjadilah pembakaran serta perusakan. Itu yang membuat kami menyebar mereka di berbagai LP,” kata Doni.

Ada 87 WNA asal 19 negara yang mendekam di Nusakambangan. Mereka berbaur dengan 1.676 napi. Terbanyak adalah napi kasus narkotika, 984 orang. Sayangnya tidak ada terapi khusus bagi mereka yang telanjur kecanduan dan terpenjara di Nusakambangan.

“Kita memang ada ruang sakaw untuk mereka yang kecanduan. Tapi tidak ada terapi khusus untuk mereka. Kita membiarkan saja. Karena memang tidak ada fasilitas untuk itu,” ujar Kepala LP Narkotika Marwan Adli.

Petugas medis yang berjaga hanya seorang mantri yang akan dipanggil jika napi mengalami kecanduan atau terkena gangguan kesehatan. Di LP ini pula terdapat 14 narapida yang mengidap HIV. “Jika sakitnya parah, kita bisa merujuk mereka ke RS di Cilacap sana,“ kata Adli.

Sipir Terpenjara
Bukan hanya para narapidana yang harus menunggu jika sakit. Pegawai LP pun meski menyeberang untuk berobat. Itulah yang menyebabkan keluarga pegawai LP enggan tinggal di pulau tersebut. Padahal Kementerian Hukum dan HAM Kanwil Jateng menyediakan 256 rumah untuk 427 pegawai.

“Wah, susah kalau anak-anak ikut di sini. Sekolah harus nyebrang. Sakit pun harus nyebrang. Mendingan kami kontrak rumah di Cilacap dan saya yang mengalah bolak-balik,” ujar Badri, pegawai LP yang sudah lebih dari 10 tahun bertugas di LP Besi.

Kepala LP Batu, Mirzha, yang baru tiga bulan berdinas mengaku mengawali tugasnya di pulau penjara itu sempat stres. “Saya membayangkan keadaan pulau terpencil ini sungguh menakutkan. Apalagi penjara yang berisi napi kelas berat. Ternyata tidak ada yang berbeda. Penguni yang rata-rata napi kelas kakap justru tidak segarang ketika saya bertugas di LP Pekalongan, ujarnya.

Menurut Mirzha, dengan bertugas di Nusakambangan dia punya banyak waktu untuk membaca buku dan beribadah. “Karena tidak banyak kegiatan seremoni seperti di kota, waktu yang tersisa menjadi sangat banyak. Apalagi keluarga enggan menetap di sini.”

Satu-satunya sekolah dasar yang sempat berdiri di Nusakambangan tak lagi digunakan. Dengan alasan murid sedikit dan guru ketakutan, lama-lama sekolah itu pun dihentikan.

Kini bangunan sekolah dan rumah-rumah pegawai yang tak terpakai digunakan untuk kegiatan para napi. Banyak juga yang rusak dan roboh karena lama tidak digunakan.

Rumah untuk kepala LP paling menonjol. Meski tidak sebagus rumah dinas kepala LP di kota, rumah dinas Kepala LP Nusakambangan dibangun tidak jauh dari LP dengan tiga kamar dan lantai keramik.

“Sebenarnya kami tidak beda jauh dengan para napi yang menghabiskan waktu di Nusambangan. Yang berbeda hanya status dan gaji yang kami terima karena berada di sini,” kata seorang sipir yang baru tiga tahun bertugas di Nusakambangan.

Suka atau tidak suka, tugas yang harus dilaksanakan. Tak jarang para sipir yang tidak terbiasa bertugas di Nusakambangan stres dan membuat keributan dengan bertindak sewenang-wenang terhadap napi.

“Kalau sudah begitu, biasanya kalau tidak napinya, ya sipirnya yang dipindah ke LP lain, meski masih di NK. Jadi, bisa diibaratkan kita pun ikut terpenjara bersama mereka,” ujar sipir ini. (E2)
Foto: VHRmedia / Andhika Puspita Dewi

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?