SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Mereka Masih Akrab dengan Kemiskinan

| | |
Oleh Stevano Lilinger
Lapangan Purpura dekat pantai Uhun, Pulau Kisar, Selasa pagi 17 Agustus 2010, tampak ramai dikunjungi warga Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Maluku. Mereka berkumpul untuk menyaksikan peringatan HUT RI ke-65.

Purpura dijadikan lokasi peringatan kemerdekaan karena memang desa itulah satu-satunya yang memiliki tanah lapang, cocok untuk pelaksanaan upacara dengan peserta berjumlah banyak.

Upacara itu sendiri menjadi sangat istimewa bagi warga Pulau-Pulau Terselatan, selain baru pertama kali, peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan itu merupakan acara penutup Sail Banda 2010, satu kegiatan reli dan lomba perahu layar bertaraf internasional yang melibatkan puluhan peserta dari 19 negara.

Dipimpin Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu selaku inspektur upacara, acara ini dihadiri sejumlah pejabat sipil dan militer, termasuk Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun, Sofie Ralahalu (istri Gubernur), Penjabat Bupati MBD Angky Renyaan, Pangdam XVI Pattimura Majen TNI Syafruddin Hatta, Kapolda Maluku Brigjen Pol, Totoy Herawan Indra.

Danlantamal VII Kupang Laksma Amry Husaini yang diundang khusus terlihat duduk bersama tokoh lintas agama, anggota DPRD Maluku dan Kabupaten setempat bersama tamu undangan lainnya. Mereka menempati tribun kehormatan berukuran lebih kurang 50 meter x 5 meter.

Di luar mereka, warga Pulau Kisar tua dan muda juga hadir. Namun, warga setempat yang harus menempuh perjalanan sejauh 7-12 KM itu, hanya mendapat tempat di belakang peserta upacara.

Lagu-lagu perjuangan terdengar menggaung dari perangkat tata suara berdaya listrik cukup besar, paling tidak terukur dari bunyinya yang terdengar mengalahkan deru ombak Pantai Uhun.

Beberapa menit sebelum pukul 10.00 WIT, acara pun dimulai. Derap pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) yang terdiri atas pasukan 17, 8 dan 45 terlihat gagah dan berbaris rapih menuju podium utama.

Cindy Lokarleky, siswa SMA Negeri I Pulau Pulau Terselatan, dipercayakan mengambil duplikat bendera pusaka yang diserahkan Gubernur untuk selanjutnya bersama anggota Paskibraka lainnya dibawa menuju tiang bendera untuk dikibarkan.

Ribuan mata masyarakat yang hadir tertuju pada para paskibraka, dan ini menjadi tontonan langka bagi warga di Pulau Kisar seluas 117,59 kilometer persegi yang merupakan salah datu dari delapan pulau terluar di Kabupaten MBD.

Cindy dan rekan-rekannya sukses mengibarkan Sang Merah-Putih hingga ke puncak tiang. Upacara itu berlangsung khidmat, kendati beberapa acara seperti atraksi perang pasukan kuda terpaksa dibatalkan.

Usai memimpin upacara itu, Gubernur, Wakil Menteri Perindustrian dan rombongan lainnya diundang menuju lokasi penancapan bendera merah putih di atas bukit pantai itu, yang diawali simulasi perang merebut pulau Kisar oleh pasukan elite dari Batalyon Marinir Pertahanan Pangkalan (Yonmarhanlan) Lantamal VII Kupang.

Skenario penyerangannya dilakukan pagi-pagi. Dengan menggunakan tiga perahu karet, pasukan marinir Yonmarhanlan Lantamal Kupang mendarat di pantai Uhun, namun belum sempat tiba di bibir pantai, masih di tengah laut, mereka diserang musuh dari negara asing yang mengetahui kedatangan pasukan itu.

Kontak senjata antara prajurit Marinir dan musuh tak dapat dielakan dan bakutembak berlangsung seru, karena musuh sempat bersembunyi di perbukitan batu sepanjang bibir pantai itu.

Namun dengan semangat juang tinggi pasukan Indonesia berhasil melumpuhkan musuh sekaligus membawa bendera merah putih yang terbuat dari tembaga dan menyerahkanya kepada Gubernur Karel Albert Ralahalu untuk ditancapkan di atas perbukitan batu di pulau itu.

Disaksikan ribuan masyarakat dan para tamu undangan Gubernur Maluku menancapkan bendera merah putih di pantai itu, yang dilanjutkan dengan penandatanganan prasasti pulau-pulau terluar.

Belum Merdeka?

Namun, keramaian dan suasana hingar-hingar di lapangan Purpura itu berbanding terbalik dengan suasana lengang di rumah kecil keluarga Kamanasa di Desa Ohoirata Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan di Pulau Kisar, yang berjarak sekitar 15 kilometer dari lokasi peringatan kemerdekaan.

Adalah Sevnat Kamanasa (42) bersama istrinya Tenci Kamanasa (39) dan kelima anaknya yang masih kecil seakan tak hirau dengan acara yang langka terjadi di pulau yang berhadapan dengan Negara tetangga Timur Leste itu.

Pasangan suami istri dengan lima anaknya, Marlon (17), Jhanter (12), Teguh (9), Charlos (6) sibungsu Gion (3), lebih memilih mengolah ladang yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari rumahnya.

"Jagung yang ditanam di ladang hanya bisa menghasilkan separuh saja, karena selebihnya mati dan kering akibat kemarau. Kami lebih memilih bekerja di kebun dan berharap hasil panen kali ini lebih baik," ujar Sevnat, saat ditemui di rumahnya yang hanya memiliki satu kamar dan berada di tengah rimbunan pohon koli yang berjejeran di samping kiri-kanan.

Keberhasilan mengolah lahan inilah yang dianggap sebagai "kemerdekaan" sesungguhnya oleh keluarga kecil ini.

Di gubuk kecil berukuran 5x6 meter persegi, keluarga besar Kamanasa tinggal. Beratapkan daun pohon koli, berdinding anyaman bambu yang sebagian pondasinya terbuat dari tanah liat dan berlantai tanah.

Sevnat dan istrinya membesarkan kelima buah hatinya dengan menggantungkan hidup dari hasil kebun. Walaupun sesekali di tengah senggang menunggu hasil panen kebun, dia menyempatkan diri menjadi pekerja buruh angkut di Pelabuhan Nama, yang hasilnya tidak seberapa.

"Kadang seminggu upah yang saya dapat hanya 150.000 ribu rupiah, tergantung pada kapal yang masuk di Kisar," ujarnya.

Bahkan, beberapa kali terpaksa Sevnat harus meminjam uang di kas koperasi buruh angkut untuk memenuhi biaya sekolah empat anaknya dan juga kebutuhan hidup sehari hari.

Rumah kecil dengan satu kamar itu terpaksa ditempati Sevnat dan keluarganya, karena mereka tidak mampu membuat yang lebih besar lagi, mengingat hasil panen jagung selama semusim dalam setahun hanya mampu menghasilkan empat hingga tujuh kaleng minyak, dengan harga jual Rp125 ribu per kaleng.

Di rumah itu tidak ada perabotan yang berharga. Hanya sebuah lemari pakaian yang tampak masih baru. Selebihnya perabot yang lain sudah terlihat usang. Pakaian yang mereka miliki juga terbatas, sehingga tidak heran jika kelima anaknya terlihat memakai baju kusam dan kotor, bahkan sering dipakai berulang kali sebelum diganti.

"Kalau kakaknya pakai baju baru sepulang dari Gereja atau ibadah terpaksa dibuka dan diberikan kepada adiknya yang juga ingin melakukan hal yang sama," kata Ibu Tenci malu-malu.

Tenci mengatakan, saat malam tiba, nyala pelita menjadi penerang satu-satunya. Di bawah sinar redup pelita itu pula empat dari lima anaknya yang sudah bersekolah menghafal pelajaran pada malam hari.

"Tahun 1997 sudah dipasang tiang listrik lengkap dengan kabelnya, tetapi entah kenapa kabelnya diambil lagi, tinggal tiang berdiri tanpa aliran listrik. Bahkan upah memasang tiang-tiang ini tidak dibayar," ujar Sevnat yang diiyakan istrinya yang setia mendampinginya selama 13 tahun terakhir.

Kasur berukuran 1,5 x 1 meter persegi menjadi satu-satunya pengalas kamar tidur yang pengap bagi keluarga ini melepas lelah pada malam hari, setelah seharian berpacu mengolah ladang di bawah terik matahari.

"Kami tidur berdempetan, terkadang bapak harus tidur di dipan yang terbuat dari bambu di luar rumah," tutur Tenci, sambil menunjukkan sebuah balai-balai bambu yang berjarak dua meter dari rumahnya.

Dipan ini juga berfungsi ganda karena dijadikan meja makan bagi keluarga Kamanasa.

Warga miskin

Keluarga Sevnat adalah potret dari sekitar 73 persen warga Kisar yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, dan jauh dari sentuhan pembangunan. Mereka menggantungkan hidup dari hasil ladang diantara dua musim yakni musim barat dan timur.

Musim Barat berlangsung Desember hingga April, dan musim timur pada paruh Mei hingga September, sedangkan September-Desember panas sangat terik terasa memanggang kulit. Rumput pun ikut terbakar terik matahari.

Di saat warga kesulitan bertani, seringkali bantuan dari pemerintah berupa beras (raskin) tidak cukup untuk memenuhi hidup sehari sehari. Kondisi ini sudah dianggap biasa bagi warga di beranda depan NKRI itu karena telah berlangsung turun-temurun.

Rupilus Jermias (60) dan Tomi Ratuhaurasa (52), dua keluarga miskin di Ohoirata juga mengaku bantuan raskin yang diberikan pemerintah sering datang terlambat hingga setahun, itu pun jumlahnya hanya satu kilogram atau hanya cukup untuk sekali makan saja.

"Raskin biasanya datang sekali setahun. Jatahnya 15-25 kilogram per keluarga, tetapi itu hanya di atas kertas saja. Bahkan kami pernah mendapat jatah 4 cupak (ukuran kaleng susu) beras raskin," kata Rupilus yang turut dibenarkan oleh Tomi.

Kendati demikian masyarakat tetap bisa bertahan hidup mengonsumsi persediaan makanan berupa jagung, kacang-kacangan dan biji mangga kering maupun sayuran di sekitar tempat tinggal mereka.

Tidaklah heran, jika jumlah warga miskin di Kabupaten Maluku Barat Daya masih tinggi, mencapai 57 persen dari seluruh penduduk di Kabupaten yang baru dimekarkan dari induknya Maluku Tenggara Barat (MTB) pada 16 September 2008 itu, sebanyak 74.295 jiwa.

Jauh Panggang dari Api

Kondisi perekonomian di MBD ibarat jauh panggang dari api, di tengah kesulitan mengais rupiah, mereka dihadapkan pada tingginya harga kebutuhan pokok. Contohnya, harga beras mencapai Rp12.000 per kilogram atau dua kali lipat lebih mahal dibanding di Ambon, ibu kota Provinsi Maluku maupun di kabupaten yang lain.

Kebutuhan pokok warga di MBD lebih banyak suplai dari Kupang (NTT), Surabaya (Jawa Timur), dan Makassar, Sulawesi Selatan menggunakan kapal laut.

Ironisnya fluktuasi harga kebutuhan pokok sering bervariasi dan puncak kemahalannya terjadi di saat musim barat dan timur karena tingginya gelombang laut, sehingga tidak memungkinkan bagi kapal perintis yang membawa kebutuhan pokok untuk berlayar.

Ketika musim gelombang itu pulalah hasil bumi warga Kisar sulit terjual.

"Transportasi udara yang diharapkan saat cuaca tidak bersahabat juga belum mampu manjawab kebutuhan transportasi masyarakat daerah itu, karena hanya dilayani penerbangan Merpati dengan jadwal tidak tentu, padahal seharusnya seminggu dua kali," kata Penjabat Bupati MBD. Frangky Renjaan.

Kebutuhan akan air bersih menjadi masalah lain bagi warga yang mendiami 46 pulau di kabupaten itu, yang secara geografis memiliki enam pulau terluar yakni Leti, Kisar, Marsela, Maiti Marang, Wetar dan Ustutun.

Masyarakat harus memanggul ember dan jerigen berkilo-kilo meter bahkan terkadang menggunakan perahu menuju sumber mata air. Barisan antrean warga untuk mengambil air menjadi pemandangan sehari-hari di Kisar dan pulau lainnya.

"Masalah kemiskinan, listrik, air bersih dan berbagai persoalan lainnya merupakan masalah klasik yang belum terpecahkan sejak Indonesia merdeka 65 tahun silam," kata Kepala Desa Nomaha, Weinan Reytu.

Angky Renjaan mengaku perubahan di kabupaten baru itu berjalan lamban. Apalagi dana yang tersedia untuk menopang pembangunan masih sedikit karena DPRD setempat baru terbentuk dan belum ada kepala daerah defenitif.

"Tiap tahun APBD Kabupaten Maluku Barat Daya hanya sekitar Rp200 miliar, Rp70 miliar di antaranya dipakai untuk belanja rutin dan sisanya untuk membiayai seluruh program pembangunan," katanya.

Masalah keamanan juga menjadi kebutuhan warga di pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste ini, karena mereka sering terganggu oleh maraknya pencurian ikan oleh nelayan dari Alor yang sering kali mengancam nelayan setempat dengan bom.

Semua masalah itu seakan melengkapi derita dan kemiskinan Rofilus Jermias Tomi Ratuhaurasa, Sevnat Kamanasa, serta puluhan ribu warga pulau terluar itu, entah hingga kapan.

http://oase.kompas.com/read/2010/08/22/08001186/Mereka.Masih.Akrab.dengan.Kemiskinan-8

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?