Pasar modern tumbuh pesat di kota-kota besar di tanah air. Modal besar menggurita melalui mal dan minimarket, menusuk hingga kampung. Pasar Johar kian tersisih.
Suatu sore pada tahun 1930. Thomas Karsten, arsitek Belanda, baru saja memaparkan rancangan pasar tradisional kepada Gubernur Jenderal BC de Jonge. Rancangan pasar sebagai akibat pemberlakuan politik etis mendapat respons baik. Enam tahun kemudian, ia kembali menghadap Gubernur Jenderal Jonkheer Mr. Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Kembali ia mempresentasikan rancangannya dan langsung disetujui.
Rancangan itu adalah rancangan Pasar Johar yang direncanakan sejak awal tahun 1930. Merupakan penggabungan dari pasar-pasar yang telah ada di kawasan pusat pemerintahan Kanjengan Semarang. Pembangunannya dilaksanakan secara bertahap. Intinya menyatukan lima pasar dalam satu labirin. Pasar disatukan adalah Pasar Johar, Pasar Pedamaran, Pasar Benteng, Pasar Jurnatan, dan Pasar Pekojan. Lahan yang diambil termasuk bekas rumah penjara, beberapa toko yang menyelip di antara kawasan, sebagian halaman Kanjengan, dan sebagian alun-alun. Pembangunan Pasar Johar “baru” ditujukan untuk menjadi pasar sentral, yang akhirnya berkembang menjadi pusat perdagangan dalam skala lokal maupun regional.
Sore 80 tahun kemudian. Pasar Johar diselimuti bau sampah menyengat. Kaki juga mesti lincah menapak di jalan yang terendam air. Salah langkah bisa terjebak dalam selokan air yang kotor dan bau. “Kalau kaki gampang gatal, lebih baik pakai sepatu seperti itu kalau ke Johar,” kata seorang pedagang menunjuk tukang sampah yang mengenakan sepatu bot.
Para pedagang di Pasar Johar seperti pasrah pada rob atau air pasang laut yang kian parah. Mereka beraktivitas di pasar yang sering tergenang air rob itu tanpa alas kaki. Prioritas mereka adalah mengamankan dagangan agar tidak terjatuh di air.
Pasar Johar Semarang di Tahun 1930
Kendaraan yang melintas di dalam pasar menambah keruwetan. Sebagaimana pasar tradisional di kota-kota besar, para copet yang mencari mangsa membuat Pasar Johar semakin ditinggalkan.
Ketua Forum Pedagang Pasar Tradisional Semarang, Agus Setianto, mengaku pernah berupaya mengadukan kondisi Pasar Johar yang kian parah dengan rob itu ke pemerintah, baik Pemerintah Kota Semarang maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Namun tidak pernah mendapat tanggapan dan tindakan yang berarti.
“Sementara ini pemerintah belum memperhatikan dengan serius nasib pedagang pasar tradisional. Pasar tradisional seakan-akan dibiarkan mangkrak. Lihat saja, tidak ada lahan parkir di sini. Belum lagi rob yang setiap hari menerjang. Betul-betul ingin mematikan kami,” ujar Agus.
Berbeda dari kondisi buruk pasar tradisional, pasar modern menawarkan suasana nyaman dan aman. Pendingin ruangan dan alunan musik sayup-sayup memanjakan para pembeli.
Pipit, seorang ibu muda, mengaku nyaman berbelanja di pasar modern. Dia selalu membeli kebutuhan rumah di pasar modern. “Soalnya nggak perlu nawar. Saya nggak bisa nawar. Udah gitu tempatnya adem, nggak bau. Pokoknya bersih. Saya lebih seneng belanja di sini. Saya pernah ke Pasar Johar karena katanya lebih murah. Ternyata sama saja. Kalau tidak pintar nawar, ya dapat mahal. Bau lagi,” ujarnya.
Kemunculan pasar-pasar modern yang menawarkan kenyamanan memang berdampak buruk terhadap para pedagang pasar tradisional. Suliyah, yang sudah sepuluh tahun berdagang buah, mengaku pembeli berkurang sejak kemunculan pasar-pasar modern. “Kita kan pedagang kecil, otomatis agak turun pendapatannya.Tapi kita pasrah, rezeki kan sudah ada yang mengatur,” tutur Suliyah yang diamini teman-temannya.
Perda Perlindungan
Setelah terus mendapatkan protes dari para pedagang, akhirnya DPRD Jawa Tengah mencoba membuat peraturan daerah yang diklaim untuk melindungi pedagang tradisional.
Namun, anggota DPRD Nunik Sriyuningsih, mengatakan dalam rancangan perda yang tengah dibahas itu poin yang menyatakan perlindungan terhadap pedagang pasar tradisional hanya ada dalam pengaturan jam buka bagi pasar modern.
“Dalam perda tersebut kita mengatur jam buka antara pasar tradisional dan pasar modern. Mengatur kemitraan. Kalau izin, ranahnya adalah kabupaten. Paling tidak kita memberikan warning kepada kabupaten yang nantinya juga menyusun perda mengenai pengaturan pasar tradisional dan modern agar pembangunan pasar modern sesuai dengan tata ruang. Kalau tidak, sanksinya sesuai perda tata ruang masing-masing,” papar Nunik.
Pembahasan perda pasar tradisional diperkirakan baru akan rampung tiga bulan mendatang. Namun, para pedagang pesimistis atas janji wakil rakyat itu. “Perda perlindungan pasar memang diperlukan, tapi jangan hanya mengatur jam buka. Lebih diutamakan adalah jarak pendirian pasar modern yang harus jauh dari pasar tradisional,” kata Agus Setianto.
Jika perda perlindungan pasar tradisional itu rampung dan benar-benar diterapkan dengan muatan yang mampu melindungi pedagang pasar tradisional, bisa jadi pasar tradisional tidak akan punah. Sebab, mereka memiliki konsumen sendiri, yang meyakini berbelanja dengan tawar-menawar merupakan keasyikan tersendiri yang tidak ditemukan di pasar modern.
“Jelas senang berbelanja di sini. Kan harga-harganya lebih murah. Terus bisa nawar. Soalnya orang belanja tuh kalau boleh nawar puas. Nggak afdol kalau tidak nawar. Di sini juga lebih komplet. Apa-apa ada,” kata Sunaryati.
Gurita Minimarket
Selain ancaman pasar modern skala besar, kehadiran minimarket yang kian menjamur di Semarang juga merupakan ancaman yang tidak boleh diabaikan. Tidak ada data pasti mengenai jumlah minimarket di Semarang. Yang pasti, hampir di setiap lingkungan RW terdapat dua minimarket.
Jika pasar modern skala besar juga dijadikan tempat rekreasi atau sekadar cuci mata karena sering menggelar pertunjukan musik, pameran lukisan, dan sejenisnya, tidak demikian halnya dengan minimarket. Keberadaan minimarket murni untuk menggaet pembeli. Tak ada kegiatan yang sifatnya menghibur.
“Kalau butuh apa-apa, saya lebih sering ke Indomaret atau Alfamart. Selain harganya pasti, juga buka 24 jam. Jadi bisa sewaktu-waktu,” kata Indah, warga Purwomukti, Semarang.
Indah mengunjungi supermarket besar sehabis gajian. Terakhir kali dia mengunjungi pasar tradisional adalah saat berbelanja kebutuhan pesta menikah. Setelah itu tidak pernah lagi. Padahal, saat ini anak sulungnya sudah berumur 12 tahun.
Minimarket yang memiliki jaringan kuat, selain mengancam pasar tradisional, juga mengancam kelangsungan toko kelontong dan toko rumahan. Sejak kehadiran minimarket berjaringan, toko-toko kecil di kampung mulai menyusut tajam.
“Yang nyebelin, minimarket juga jualan gas, air galon. Bahkan, terasi dan obat sakit kepala eceran sampai keran air, peralatan listrik. Ini jelas mematikan kami. Saat ini para tetangga jarang kemari, bahkan sekadar membeli rokok,” tutur Wibowo, pemilik toko kelontong di kawasan Candi Lama, Semarang.
Dalam peraturan daerah tentang perlindungan pasar tradisional yang sedang dibahas DPRD Jawa Tengah, ternyata yang diatur hanya jam operasional pasar modern. Namun tidak ada pembatasan jarak minimarket dalam radius tertentu.
Semarang berbenah menjadi kota metropolis, namun bukan berarti harus dipenuhi supermarket, minimarket, dan kekuatan kapital lain. Yang terjadi saat ini, masyarakat tengah diguyur pencitraan bahwa kota besar adalah kota yang dipenuhi kekuatan modal dan jaringan.
Hiruk-pikuk pasar dengan penjual dan pembeli saling menawar, kadang ditingkahi suara sember pengamen dan teriakan kuli panggul yang meminta jalan masih terdengar. Namun desak-desakan orang berbelanja mulai berkurang. Akankah pasar tradisional punah? Dan, anak cucu kita harus ke museum untuk melihat pasar asli Indonesia. (E4)
sumber vhrmedia
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar